Sunday, September 20, 2015

Pengamat Sejarah: Politisasi Isu Wahabi Sebagai Pemecah Belah Umat

Sabtu, 19 September 2015 - 22:37 WIB
Nama Wahabi sengaja dipilih –para pembencinya- agar dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah abad keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum
Bertempat di aula AQL Islamic Center, Tebet Jakarta Selatan, pada hari Sabtu 19 September 2015, Forum Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) menyelenggarakan diskusi menarik tentang isu Wahabi.
Kajian perdana yang disebut Ngobrol Bareng Sejarah Indonesia (NGOBRAS) diikuti 89 peserta dengan mengangkat tema; “Gerakan Pembaruan Islam Awal Abad 20”.
Tema ini diangkat bersamaan dengan memanasnya kembali isu wahabisme di Indonesia. Tentu saja, sebagai umat Islam diperlukan kajian serius agar tidak terjerumus pada berita-berita yang simpang-siur dan provokatif.
Acara dimulai pukul 10.00 WIB dan dibuka oleh Beggy Rizkiyansyah, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), selaku moderator.
Dalam memaparkan sinopsis ringkas tentang tema kajian, Beggy mengharap agar kajian sejarah seperti ini bisa konsisten dilaksanakan setiap bulan.
Setelah dirasa cukup, acara diserahkan langsung kepada presentator Tiar Anwar Bachtiar, doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia ini.
Dalam pembukaan, Tiar menandaskan pentingnya sejarah sebagai referensi bagi tindakan umat.

Selanjutnya, Ketua Persatuan Pemuda PERSIS ini menjelaskan panjang lebar mengenai sejarah muncunya Wahabi serta pengaruhnya pada Pembaruan Islam Indonesia pada awal 20-an hingga masa sekarang.

Ada catatan penting yang beliau sampaikan, di antaranya; penyebutan istilah Wahabi sebenarnya kuranglah tepat. Pasalnya, kalau mau konsisten, seharusnya kalau dinisbahkan kepada Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka semestinya bernama: Muhammadiyah.
“Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam menggunakan istilah,” ujar Tiar.
Lebih jauh ia benang merah, penyebutan istilah Wahabi sangat sarat muatan politis. Sebab nama Wahabi sengaja dipilih –oleh pembencinya- supaya dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah pada abad keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum.

“Masalah konflik antara Wahabi dan Asy`ari sudah terjadi beberapa abad yang lalu, kalau sekarang memanas kembali berarti ada yang menunggangi,” ujarnya.

Paling tidak –menurut analisis Tiar- ada dua hal mendasar yang menyebabkan isu ini memanas kembali.
Pertama, isu ini dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak berkepentingan untuk memecah-belah umat.

Tiar menyebut adagium menarik yang sempat dikemukakan terkait masalah konflik internal umat Islam ini.

Konflik yang terjadi sebenarnya bukan karena perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan,” demikian ia mengistilahkan.
Artinya, konflik perbedaan sebenarnya sudah lama usai. Namun karena ada kepentingan politis, isu ini diangkat kembali.
Kedua, buntunya komunikasi umat. Akibatnya terjadi kesenjangan yang luar biasa di antara umat Islam. Apalagi, jika masalah khilafiyah furu`iyah (perbedaan pada masalah agama yang cabang bukan pokok) dibesar-besarkan, maka akan menjadi semakin runyam.
Solusi paling riil untuk menghadapinya jelasnya ialah tidak memperbesar konflik di wilayah furu`iyah, sembari dibangun kembali semangat bertoleransi, kemudian perlu dijalin komunikasi yang baik antar umat.
Selama umat Islam tidak “terpadu”(tergantung pada duit), tak bermuatan kepentingan politik, serta mampu menjalankan komunikasi dengan baik, maka Insyaallah isu lama seperti Wahabisme tidak akan berakibat pada konflik yang lebih besar.
“Lebih baik energi umat Islam disatukan pada hal-hal yang disepakati, serta tolerir terhadap yang tidak disepakati agar tidak terbuang percuma.”
Menjelang Pukul 12.00 siang, diskusi pun dipungkasi dengan beberapa harapan besar dari pembicara.

Pertama, ia meminta agar umat bisa menjaga persatuan dan tidak terpengaruh dengan istilah-istilah provokatif. Kedua, pentingnya menjalin komunikasi yang baik antarumat Islam.*/Kiriman Mahmud Budi Setiawan