Tuesday, May 10, 2016

Menyoal Perang Melawan ISIS Yang Didengungkan Barat Dan Eropa. Rezim Barbar Suriah Nyata-Nyata Melakukan Kejahatan Perang Di Depan Mata Mereka Dan Dunia.

Hasil gambar untuk marines iraq 2016

Kekuatan-kekuatan Barat –AS dan Eropa– menganggap orang-orang yang tewas dan menjadi korban di Aleppo itu sebagai manusia seutuhnya atau hanya semi-manusia, atau bahkan bukan manusia !

Aleppo – Apa yang sedang terjadi di Suriah beberapa hari terakhir betul-betul di luar batas yang bisa kita bayangkan. Aksibrutalisme-barbar rezim Assad dengan dukungan sekutu-sekutunya membombardir daerah pemukiman warga sipil terutama di Aleppo, yang notabene merupakan rakyat mereka sendiri. Lebih menyedihkan lagi, aksi yang dilakukan dengan tanpa membedakan target serangan tersebut, masih juga belum mampu membuat dunia internasional mengambil tindakan segera untuk menyelamatkan warga sipil yang menjadi korban serta melindungi warga lainnya.
Situasi yang sedemikian chaos ini menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, apakah kekuatan-kekuatan Barat –AS dan Eropa– menganggap orang-orang yang tewas dan menjadi korban di Aleppo itu sebagai manusia seutuhnya atau hanya semi-manusia, atau bahkan bukan manusia, sehingga tidak perlu diberikan perlindungan. Pertanyaan yang sama juga layak disampaikan kepada entitas negara-negara yang selama ini mengaku menjunjung tinggi hak-hak manusia secara adil dan beradab, bahwa dengan kekuasaan dan sumber daya sedemikian besar yang mereka miliki, apakah orang-orang di Aleppo itu manusia atau bukan yang layak dibela dan dilindungi?
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap Liga Arab, juga Organisasi Konferensi Islam, yang sama sekali tidak menunjukkan ada tanda-tanda kehidupan sebagai sebuah organisasi induk/payung yang diharapkan mampu melindungi warga sipil daribrutalisme rezim diktator semacam Bashar Assad. Euforia hasil KTT Organisasi Kerjasama Islam (OIC) di Istanbul bulan April kemarin yang mengecam Iran –sekutu dekat Basyar Assad– sebagai negara sponsor terorisme seharusnya tidak sekedar kata-kata “Oo.. I  See” (O..I..C) tanpa tindakan nyata.  Warga sipil Suriah adalah manusia juga yang harus dilindungi dan diberi keberpihakan dari kejahatan penguasa, terlepas apa keyakinan mereka, ras, etnis, dan warna kulitnya.
Berbagai laporan berita di media menyebutkan lebih dari 600 orang tewas di Aleppo hanya dalam rentang waktu dua hari. Dan dunia hanya menyaksikan melalui media sosial ataupun TV sebuah kota yang diluluhlantakkan dan diratakan dengan tanah, sementara penduduknya dibantai dengan darah dingin.
Sementara AS dan sejumlah kekuatan Eropa masih saja gembar-gembor dan sibuk sendiri dalam perang “virtual” melawan ISIS. Rezim Suriah nyata-nyata melakukan kejahatan perang di depan mata mereka dan dunia, dan tidak perlu menggunakan peralatan canggih semacam satelit intelijen untuk membuktikan kejahatan yang sangat mengerikan tersebut.
Jadi, jangan-jangan perang Barat –AS dan Eropa– melawan ISIS di Iraq dan Suriah adalah perang yang salah? Karena pada dasarnya ISIS hanyalah sebuah gejala ataupun efek derivatif dari sebuah kejahatan perang sistemik seperti yang sedang terjadi ini? Di Suriah, kejahatan itu diperankan oleh rezim Assad dengan dukungan sekutu-sekutunya: Rusia, Iran, Syiah Hizbullah, dan milisi-milisi Syiah lainnya; sementara di Iraq kejahatan perang itu dimainkan oleh penguasa “terpilih” yang (juga) didominasi oleh elemen Syiah, termasuk skandal penyiksaan di penjara Abu Ghuraib oleh militer Amerika Serikat dan CIA.
Bukankah rezim Bashar Assad merupakan akar segala sebab bencana kemanusiaan yang terjadi di Suriah hari ini? Sehingga secara tidak langsung mendorong munculnya kelompok-kelompok “teror” perlawanan semacam ISIS? Daily Telegraph di Inggris baru-baru ini mengungkap bahwa transaksi bisnis antara rezim Assad dengan kelompok ISIS mencapai US$ 40 juta per bulan.
Sebuah kesepakatan, sebagaimana klaim koran tersebut, telah dibuat sejak 2014 antara rezim Assad & Daesh untuk menjual minyak ke wilayah yang mereka kontrol. Al-Araby 21 juga melaporkan, tertanggal 26 April 2016, bahwa sumber informasi terungkapnya “skandal” ini adalah dari dokumen-dokumen rahasia yang diperoleh pasukan khusus Inggris dan Amerika saat mereka menangkap pemimpin terkemuka ISIS, Abu Sayyaf yang juga menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Keuangan kelompok ISIS.
Jumlah pemasukan yang begitu besar dari hasil penjualan minyak kepada rezim Assad menjelaskan sumber daya logistik yang luar biasa yang dimiliki ISIS. Demikian juga, unjuk kekuatan (militer) yang dipertontonkan oleh kelompok tersebut mengungkap hal yang sama, termasuk kemampuan militer non-konvensional yang dimiliki oleh sebuah entitas kelompok yang diserang oleh kekuatan-kekuatan besar negara-negara Barat.
Laporan-laporan terkini dari berbagai media, termasuk Komisi HAM PBB, memberikan testimoni terjadi bencana kemanusiaan yang terus meningkat di wilayah-wilayah lainnya, seperti di Homs, Damaskus dan sekitarnya, Idlib, dan Deir Ezzor. Realitas tragis ini membuat kita terus bertanya: Apakah perang yang selama ini dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan besar melawan ISIS adalah perang yang salah? Apakah (diam-diam) mereka sedang mencoba mengalihkan perhatian masyarakat internasional dari masalah/bencana yang sesungguhnya? Dan, nampaknya mereka akan terus memelihara/menjaga supaya rezim Assad terus hidup, sementara setiap hari kita menyaksikan penghancuran rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, dan infrastruktur lainnya yang masih ada yang menopang kehidupan warganya yang tersisa.
Barangkali bahwa para pemimpin oposisi Suriah yang baru-baru ini menyatakan mundur dari proses perundingan damai karena memang disebabkan oleh tidak adanya kesungguhan apalagi ketulusan dari delegasi rezim. Dan penolakan mereka untuk menerima Assad sebagai bagian dari solusi masa depan Suriah, telah berkonskuensi pada sanksi atau “hukuman” dari rezim Assad. Assad mencoba mem-fetakompli faksi-faksi oposisi Suriah: menerima konsesi terkait Assad, atau akan terus menghadapi gempuran yang lebih besar.
Ketika kita tahu bahwa rezim Assad lah yang sebetulnya bertanggung jawab atas munculnya ISIS serta menopang kekuatan mereka melalui penyediaan rute yang aman bagi transaksi minyak, kita menyadari bahwa perang seharusnya bukan diarahkan untuk melawan ISIS, tetapi melawan rezim sektarian Bashar Assad dan sekutu-sekutunya.
Stigma terkait dengan bencana yang terjadi di Suriah akan terus melekat dengan Assad hingga beberapa tahun yang akan datang. Jika kekuatan-kekuatan dunia masih membisu dan tidak mengambil langkah konkrit secara cepat, maka bisa dianggap mereka juga terlibat dalam kejahatan tersebut. Dan tangan-tangan mereka akan berlumuran darah orang-orang yang lemah dan tak berdosa, termasuk wanita dan anak-anak.
Penulis: Yasin Muslim

Breaking News ! Menlu Polandia Sebut Rusia Lebih Berbahaya Dari Islamic State (IS) ! Fakta 100 % Muslim ( Suni ) Arab Mengangap Barbar Komunis Rusia ( Juga Syiah ) Musuh Bersama Dan Lebih Berbahaya Dari Isis

Apakah Amerika Sedang Kebingungan dalam
 Mengatur Militernya?

Tidak ada yang menyangkal bahwa pasukan militer Amerika Serikat saat ini sedang terlibat perang & pertempuran di Iraq dan Suriah, termasuk di sejumlah negara lainnya seperti Afghanistan, kecuali (mungkin) Presiden Barack Obama dan beberapa pejabat di pemerintahannya yang terus menolak cara pandang semacam itu.
Argumentasi-argumentasi semantik Washington yang menggunakan permainan bahasa  terkait ada-tidaknya pasukan (darat) Amerika telah mengaburkan fakta di mana ribuan personil militer AS bersenjata saat ini sedang berada di Iraq dan Suriah. Obama berulang kali mengatakan – lebih dari belasan kali – bahwa Washington tidak akan mengerahkan pasukan tempur di Iraq & Suriah, sementara pada saat yang sama terjadi peningkatan kekuatan dan jumlah personil militer Amerika di kedua negara tersebut.
Pekan lalu, Menteri Pertahanan Ash Carter mengakui personil militer mereka di Iraq & Suriah terlibat pertempuran. Ia mengatakan, “Kita harus menyatakan hal tersebut secara jelas”. Jadi, kapan suatu pasukan bisa dikatakan telah berada di medan/darat dan terlibat pertempuran, dan apa maksud dari semua itu?
Pasukan AS di Iraq dan Suriah
Lebih dari 5.500 orang personil militer AS saat ini berada di Iraq. Namun demikian, Pentagon memberikan data jumlah personil militer tersebut dengan angka yang lain. Baru-baru ini, Obama memberikan otorisasi penambahan jumlah pasukan yang bisa dikerahkan ke Iraq untuk memberikan nasehat dan bantuan kepada pasukan Iraq dalam memerangi kelompok ISIS. Jumlah serdadu Amerika pada pekan lalu bertambah dari 3.870 menjadi 4.087 personil.
Tetapi sejumlah personil militer tidak dimasukkan dalam angka penjumlahan tersebut disebabkan pihak militer punya “sistem” penghitungan sendiri. Misalnya, bahwa jumlah pasukan militer yang ditugaskan untuk mengamankan kantor Kedutaan AS, atau unit-unit lain yang dikirim ke Iraq untuk misi-misi tertentu berjangka pendek dan bersifat sementara adalah di luar angka 4.087 tersebut.
Menteri Pertahanan Ash Carter saat berada di Stuttgart, Jerman, untuk menghadiri upacara serah terima tugas komando militer pada hari Selasa (03/05) pekan ini mengungkap adanya seorang tentara Amerika yang tewas dalam pertempuran di Iraq di suatu lokasi dekat Irbil. Seorang pejabat militer AS di lapangan memberikan keterangan dengan kondisi anonim, bahwa tentara Amerika itu tewas saat bertugas melaksanakan misinya sebagai penasehat militer milisi Peshmerga – Kurdi. Tentara naas tersebut tewas oleh tembakan langsung setelah para jihadis dari kelompok ISIS berhasil menembus garis depan pertahanan Peshmerga. Pejabat anonim itu mengatakan, posisi tentara Amerika ketika itu berada pada jarak dua hingga tiga mil di belakang front pertempuran.
Pekan lalu Pentagon mengumumkan penambahan jumlah personil pasukan AS yang akan ditempatkan atau bertugas di Suriah dari 50 menjadi 300 tentara. Unit pasukan tersebut, terutama berasal dari pasukan khusus Angkatan Darat, saat ini diklaim sedang bekerja sama dengan pasukan lokal oposisi Suriah. Dan penambahan kekuatan baru itu termasuk unit medis dan logistik.
Membangun Basis di Iraq, Bekerja “Jarak Jauh” di Suriah
Di Iraq, di sana ada para penasehat militer, pelatih/instruktur, unit pasukan operasi khusus, dan pasukan-pasukan lainnya yang ditempatkan di basis-basis militer Iraq dan bekerja sama dengan personil militer Iraq. Pekan lalu, Menteri Pertahanan Ash Carter mengumumkan, beberapa penasehat militer akan mulai bekerja dengan militer Iraq di tingkat brigade dan batalyon. Selama ini mereka sudah bekerja dengan personil militer Iraq di tingkat headquarter Divisi. Perubahan ini akan berdampak ditempatkannya unit-unit yang lebih kecil tim penasehat militer yang kemungkinan besar akan lebih dekat dengan pertempuran.
Di Suriah, Amerika memiliki 50 personil pasukan operasi khusus yang masuk ke wilayah Suriah dari negara tetangganya untuk bekerja sama dengan pasukan lokal oposisi Suriah. Mereka tidak berbasis di Suriah, sehingga posisi mereka bergerak keluar masuk, sesekali berada di negara tersebut dalam beberapa hari. Menurut sumber dari sejumlah pejabat, penambahan kekuatan sebanyak 250 personil itu akan melakukan misi yang sama.  Mereka juga tidak akan membangun basis di Suriah, karena akan sangat rentan dan menjadi sasaran empuk para jihadis. Sebaliknya, pasukan Amerika itu akan bekerja secara Long-Distance dari negara-negara tetangganya, seperti Iraq & Turki. Dan mereka berada di sana, tidak untuk bertempur bersama dengan pasukan oposisi Suriah, melainkan hanya memberikan nasehat dan bantuan-bantuan lainnya.
Re-definisi Pentagon
Sejak 2013, para pejabat pemerintahan Obama secara konsisten menyampaikan kepada publik Amerika bahwa mereka tidak akan mengerahkan pasukan darat untuk bertempur di Iraq dan Suriah. Argumentasi mereka itu berdasarkan pada asumsi bahwa tidak ada pasukan darat konvensional atau reguler AS dalam jumlah besar yang akan bertempur melawan para jihadis secara langsung. Pernyataan ambigu “tidak ada pasukan darat AS” ini menurut perspektif pemerintah Amerika maksudnya adalah pasukan AS tidak berada di garis depan untuk berperang. Sebaliknya, pasukan militer AS akan mengambil peran memberikan nasehat dan bantuan kepada pasukan Iraq dan oposisi Suriah, termasuk melatih, memberikan dukungan intelijen dan logistik dari garis belakang pertempuran.
Susunan kata-kata tersebut dimaksudkan untuk membedakan pola penanganan dalam menghadapi konflik terbaru menghadapi para jihadis termasuk ISIS, dengan perang-perang sebelumnya di Iraq & Afghanistan di mana ribuan pasukan reguler AS dikerahkan dan terlibat pertempuran konvensional dengan “musuh”  dalam unit-unit kecil hingga setingkat regu, serta dalam situasi pertempuran jarak dekat. Pola pendekatan ini dianggap tidak efektif dan berbiaya tinggi bagi AS di samping berisiko akan jatuhnya banyak korban, karena sama saja dengan memaksa pasukan reguler Amerika untuk menghadapi determinasi pasukan jihadis yang secara taktis lebih mengenal medan dan terbiasa berlatih dengan intensitas tinggi.
Carter menyampaikan kepada Komisi Militer di Senat pekan lalu bahwa pasukan AS tidak akan terjun secara langsung ke dalam perang & pertempuran  dengan menggantikan peran pasukan lokal, tetapi akan mencoba membuat pasukan sekutu lokal menjadi lebih kuat sehingga cukup mampu mengusir para militan teroris dengan dukungan Amerika. Dan ketika Amerika memberikan dukungan kepada pasukan sekutu lokal, Carter mengatakan, “Kami menempatkan orang-orang kami dalam situasi yang berbahaya. Maka, kami meminta mereka bertempur”.
Serangan Udara dan Operasi Pasukan Khusus adalah Pengecualian
Jenderal Joseph Dunford, panglima Kepala Staf Gabungan memperjelas fakta keterlibatan pasukan Amerika dalam pertempuran saat menghadiri agenda dengar pendapat dengan Senat AS pekan lalu. Dunford mengatakan bahwa jet-jet tempur Amerika yang melancarkan serangan udara di Iraq dan Suriah itu sedang melaksanakan misi tempur.
Pentagon tidak berbicara mengenahi berbagai operasi rahasia, yang sedang dilaksanakan oleh unit pasukan komando AS, termasuk Delta Force dari matra Darat atau SEALs dari  Angkatan Laut,  di mana saja mereka berada. Dan pasukan khusus AD atau Green Berets yang berada di negara-negara yang tengah dilanda perang, memberikan pelatihan dan bantuan, karena itu adalah salah satu pekerjaan utama mereka.
Dalam beberapa kasus, pejabat-pejabat Washington mengakui adanya misi-misi yang bersifat khusus untuk menangkap atau membunuh target-target ber-profil tinggi, termasuk juga misi-misi penyelamatan sandera. Namun, misi-misi semacam itu tidak dianggap “pasukan darat” karena mereka bergerak dan berpindah dengan cepat, dan berada di suatu area tertentu dalam waktu yang tidak lama.
Kontemplasi  Kegagalan Sebelumnya
Amerika Serikat telah belajar dari kesalahan strategi di masa lampau dalam kebijakan kontra-terorisme terutama selama dekade pertama pasca 11/9. Kampanye militer tunggal di satu negara tertentu terbukti tidak memberikan dampak keberhasilan permanen dan berjangka panjang. Keberhasilan invasi AS tahun 2001 di Afghanistan dalam menjatuhkan pemerintahan Taliban ternyata merupakan keberhasilan temporer. Lima tahun kemudian, Taliban mulai bangkit dengan kekuatan baru yang lebih segar mengancam rezim boneka di Kabul, sementara al-Qaidah semakin berkembang dan beroperasi di lebih dari 20 negara di dunia. Kampanye militer AS di Iraq juga mendorong munculnya kelompok-kelompok ultra militan semacam ISIS.
Bagi AS, aliansi “nyaman” dengan komposisi negara-negara atau entitas tertentu yang relatif tetap, seperti aliansi antara Rusia dengan Iran, Suriah, dan Syiah Hizbullah masih dianggap tidak efektif dan tidak akan memberikan dampak keberhasilan permanen jangka panjang. Demikian juga, pengerahan pasukan atau invasi berskala besar juga bukan solusi yang tepat.
Strategi Baru Kontra Terorisme Amerika
Pasca empat tahun revolusi Arab Spring dan setelah pasukan AS secara resmi ditarik dari Iraq, Amerika juga telah belajar bahwa, “Jika kita (Amerika) tidak melakukan sesuatu, musuh akan menjadi semakin kuat, semakin kaya, dan semakin luas menguasai suatu wilayah”. Pada akhirnya, musuh akan mengancam: kepentingan-kepentingan Amerika, sekutu-sekutu Amerika, dan negara Amerika sendiri.
Dalam strategi baru Pentagon yang terus dikembangkan, untuk mengalahkan “teroris” diperlukan upaya di segala bidang, termasuk kampanye militer yang di-sinkronisasi dengan langkah & upaya-upaya diplomatik, ideologi, dan politik.  Strategi di bidang militer, berfokus pada upaya mengurangi kemampuan musuh untuk melakukan kekerasan di berbagai wilayah dan negara yang menyebar di seluruh dunia. Untuk menghadapi tantangan itu diperlukan kemitraan, bukan ekspedisi militer besar-besaran. Kehadiran militer AS akan diperlukan, tetapi mereka harus memanfaatkan pasukan sekutu lokal di setiap negara.
Diplomasi semantik yang dilakukan Washington dalam menjelaskan keberadaan pasukan militer negaranya  merupakan manifestasi kebijakan AS dalam menghadapi perang generasi terbaru. Tidak dipungkiri, pasukan militer negara superpower ini memiliki kemampuan atrisi (menghancurkan musuh) luar biasa yang masif & berskala besar, termasuk ratusan arsenal senjata nuklir yang tersebar di seluruh dunia. Namun dalam perang yang oleh sebagian pengamat dan akademisi strategi militer dikategorikan sebagai perang generasi IV ini,  sumber daya destruktif tersebut tidak bisa serta merta digunakan begitu saja, melainkan harus tunduk di bawah narasi-narasi yang dibangun dengan merujuk pada strategi yang diterapkan.
Sumber: Military