Friday, July 29, 2016

Obama Terjebak “Perang Vietnam” Edisi-2 Di Afghanistan

Andre001obama002

Para sejarawan masih berdebat apakah Presiden John F. Kennedy akan menarik pasukan AS dari Vietnam seandainya ia masih hidup untuk memenangkan kembali pemilu tahun 1964. Sejak Presiden Barack Obama mengumumkan niatnya baru-baru ini untuk tetap mempertahankan 8.400 pasukan AS di Afghanistan hingga akhir masa jabatannya, satu-satunya perdebatan adalah mengenai soal mengapa ia tidak mau menarik mundur pasukannya, sebaliknya memilih kebijakan tanggung dengan mewariskan sebuah perang yang tidak bisa dikalahkan (perang terpanjang dalam sejarah Amerika) kepada penggantinya.
Campur Tangan 3,5 Dekade AS di Afghanistan
Secara resmi perang AS di Afghanistan sudah akan melewati tahun ke-15 dalam beberapa bulan ke depan. Tetapi sebagaimana perang Vietnam yang pada mulanya AS membantu pasukan kolonial Perancis pada akhir tahun 1940an, faktanya Afghanistan telah menjadi target perang jangka panjang Washington selama periode lebih dari tiga setengah dekade.
Tanggal 3 Juli 1979, pertama kali Presiden Carter memberikan otorisasi bagi keputusan rahasia untuk membantu pasukan oposisi melawan rezim komunis di Kabul. Seorang pejabat senior Pentagon mendukung kebijakan tersebut dengan tujuan untuk menarik raksasa Soviet ke dalam jebakan lumpur “perang Vietnam” (Akibat sindrom, Washington menyebut “perang Vietnam” maksudnya adalah perang Afghanistan).
Ketika Moskow terpancing dan mengirim puluhan ribu pasukan pada bulan Desember untuk membantu rezim Kabul melawan pemberontakan/perlawanan mujahidin yang terus berkembang, penasehat keamanan nasional Amerika Serikat, Zbigniew Brzezinski, dengan girangnya menulis pesan kepada Presiden Carter, “Sekarang kita punya peluang untuk menghadiahi Uni Soviet dengan sindrom Perang Vietnam.”
Jebakan Menjadi Bumerang
Ternyata menjadi bumerang, atau sekedar ironi sejarah, bahwa Afghanistan bahkan kini telah berubah menjadi Perang Vietnam edisi ke-2 bagi Amerika. Di masanya, Uni Soviet akhirnya menyadari bahwa negaranya harus menarik diri setelah banyak mengalami kerugian berdarah-darah selama sepuluh tahun. Sementara pemerintahan Obama memilih tetap bertahan hingga batas waktu yang tak ditentukan. Di bawah Kesepakatan Keamanan Bilateral, Presiden Obama menandatangani perjanjian dengan bonekanya di Kabul pada tahun 2014, isinya untuk mempertahankan pasukan AS di Afghanistan “hingga akhir tahun 2024 dan setelahnya”.
Dalam sebuah pidatonya tujuh tahun silam, secara eksplisit Presiden Obama menolak analogi kebijakannya di Afghanistan dengan perang Vietnam. Namun sebagaimana kasus Vietnam, realita bahwa konflik AS yang berkepanjangan di Afghanistan telah menjadi sebuah jebakan yang tak berkesudahan, ditandai dengan berbagai kebohongan pejabat pemerintah, kejahatan dan kekejaman terhadap rakyat sipil, korupsi yang merajalela, dan pasukan pemerintah (lokal) yang hanya mampu bertahan jika ada bantuan serangan udara dari Amerika. Seperti di Vietnam, Afghanistan juga menjadi arena yang memakan banyak korban manusia. Tercatat lebih dari 300.000 orang telah menjadi korban tewas hingga awal tahun 2015, sementara US$ 2 trilyun telah tersedot untuk membiayai perang tersebut.
Logika Meja Kasino ala Obama
Bahkan perang Afghanistan lebih parah, karena Afghanistan adalah sebuah konflik di mana para stake-holder di Washington tidak ada yang bisa memberikan alasan logis & strategis keterlibatan negaranya. Paling banter adalah pernyataan Obama pada tanggal 6 Juli saat ia mengatakan, “Saya sangat yakin bahwa ini adalah untuk kepentingan keamanan nasional kita – terutama setelah kita mengorbankan banyak darah dan sumber daya di Afghanistan selama bertahun-tahun – bahwa kita memberi peluang yang sangat baik kepada partner-Afghan kita untuk sukses.” Logika ini persis dengan cara berfikir yang dipakai para penjudi yang membuat mereka akan terus datang dan datang kembali ke kasino Sheldon Adelson selama bertahun-tahun sehingga akan semakin banyak uang mereka yang hilang.
Ratusan Ribu Pasukan dan Senjata Canggih yang Tak Mengubah Situasi
Di Vietnam, AS tidak mampu memenangkan peperangan dengan lebih dari setengah juta pasukan. Di Afghanistan, AS tidak bisa mengalahkan Taliban meski telah mengerahkan 100.000 pasukan plus berbagai senjata & teknologi perang tercanggih. Dan kini, Obama tidak betul-betul yakin akan menang dengan hanya 8.400 pasukan, terutama di tengah situasi Taliban yang terus mengalami kemajuan. “Situasi keamanan masih belum menentu,” katanya mengakui. Bahkan ketika Taliban semakin menguat, pasukan sekutu lokal Afghan masih belum cukup kuat seperti yang diharapkan. Taliban masih menjadi ancaman, dan semakin banyak wilayah yang mereka kuasai.
Meski demikian, para perwira ambisius di kalangan militer dan pejabat-pejabat sipil “hawkish” yang ada di belakang meja mengklaim sangat yakin bahwa kemenangan bisa tercapai dengan sedikit meningkatkan eskalasi (pasukan). Di antaranya adalah para pendukung perang di era-Vietnam & perang Iraq, seperti pensiunan Jenderal David Petraeus dan Michael O’Hanlon dari Brookings. Kedua figur ini menyalahkan pemerintah Amerika karena dianggap telah membuat pasukan AS dan koalisinya di Afghanistan tidak mampu berbuat maksimal. Untuk bisa memenangkan perang atas Taliban, menurut mereka, “Kita harus mengerahkan kekuatan & serangan udara untuk mendukung partner-Afghan (sekutu lokal) kita.”
Bombardemen Picu Resistensi Rakyat
Di Indocina (Vietnam), bom-bom yang dijatuhkan Amerika tiga kali lebih banyak daripada bom yang digunakan saat PD II, dan ternyata semakin membuat gigih perlawanan. Berbagai studi terkini mengkonfirmasi bahwa serangan membabi-buta dengan bombardir tidak efektif dan akan membuat rakyat sipil berpihak pada Viet Cong, persis seperti bom-bom Amerika di Afghanistan termasuk drone dan berbagai operasi penyergapan/penggerebegan di malam hari justru malah memperkuat dukungan rakyat kepada Taliban.
Presiden Richard Nixon saat itu sudah mengetahui, bahwa meskipun di setiap kesempatan publik ia terus bersikeras bombardir Amerika “sangat, sangat efektif”. Tetapi dalam sebuah catatan yang ia tulis kepada penasehatnya di bidang keamanan nasional saat itu, Henry Kissinger, Presiden Nixon dengan putus asa menyatakan, “Sudah sepuluh tahun kita berkuasa penuh atas wilayah udara di Laos dan Vietnam, namun hasilnya nihil. Pasti ada yang salah dengan strategi kita dan juga Angkatan Udara.”
Pemboman masif tidak mampu membuat pasukan Vietnam Selatan percaya kepada pemimpin-pemimpin mereka yang korup. Sebagaimana di Vietnam yang di kemudian hari dianggap sebagai “perang yang kotor”, para pejabat boneka Afghan telah mengantongi milyaran dolar Amerika untuk proyek infrastruktur dan pembangunan gedung-gedung pemerintah. Mereka juga mendorong penyelundupan opium dan heroin. Para pejabat Afghanistan memperkaya diri dan keluarga-keluarga mereka dengan memiliki rekening-rekening gendut dan vila-vila mewah di Dubai.
Kanker Tentara “Hantu” di Tubuh Militer Afghan
Di kalangan militer Afghanistan kebanyakan terdiri dari tentara-tentara dan perwira “hantu” yang keberadaannya fiktif namun tetap menerima gaji sehingga hanya akan memperkaya pemimpinnya. Di sejumlah propinsi, hampir setengah dari jumlah polisi yang ada termasuk para pekerja sipil adalah “fiktif” alias “hantu”. Sementara tentara-tentara riil “non-hantu” sibuk menjual puluhan ribu senjata-senjata buatan Amerika milik mereka kepada Taliban, di saat anggota-anggota militer lainnya menghambur-hamburkan tembakan ke arah target “kosong” hanya untuk mendapatkan selongsongan peluru yang berbahan tembaga. Selongsongan peluru itu kemudian dijual di black market.
Sebaliknya, pejuang-pejuang Taliban yang terkenal ulet dan memiliki semangat juang tinggi sulit ditundukkan terutama karena mereka punya basis dan dukungan di wilayah Pakistan. Di wilayah tetangganya ini pula para pemimpin mereka diduga berada. Salah satu pelajaran penting bahwa hampir tidak mungkin untuk bisa mengalahkan gerakan atau pasukan pemberontak yang memiliki basis pendukung yang aman di negara tetangganya.
Proses Negosiasi yang Mati
Di Vietnam, paling tidak para pemimpin AS punya keinginan bernegosiasi dengan musuh untuk mengakhiri konflik. Di Afghanistan tidak ada negosiasi, dan serangan drone Amerika yang menewaskan pemimpin Taliban Mullah Akhtar Muhammad Manshur pada bulan Mei yang lalu menjadikan Taliban semakin sulit menerima tawaran “negosiasi” dari Washington.
Pakistan menyalahkan pemerintah Afghan bentukan Amerika atas kegagalan proses perdamaian tersebut. Seorang juru bicara Islamabad menyebut “tidak adanya suatu konsensus nasional untuk mendukung proses rekonsiliasi,” termasuk juga “situasi keamanan yang semakin teruk, korupsi merajalela, dan berbagai masalah administrasi lainnya” telah menjadi hambatan sehingga proses perdamaian gagal.
Taliban dan faksi lain – sekutu seperjuangannya – juga menyalahkan pemerintah Kabul. Pada bulan Juni, Gulbuddin Hekmatyar, pemimpin Hezbi Islamiy, menuntut pemerintah Kabul memulangkan seluruh pasukan asing ke negara masing-masing, dan kemudian membubarkan diri. Ironisnya, Hekmatyar di era perang melawan Uni Soviet merupakan sekutu utama Amerika dan juga Pakistan. Sejumlah pihak tidak bisa melupakan reputasi Hekmatyar yang pernah terlibat konflik dengan sesama mujahidin pasca mundurnya Soviet dari Kabul. Bahkan media Barat menudingnya terlibat perdagangan/penyelundupan narkoba (opium).
Pertimbangan Politis Jangka Pendek
Jadi mengapa Obama tidak secara tegas memutuskan keluar dari Afghanistan? Padahal itu bisa dilakukan di Vietnam, bahkan Washington hari ini bisa menjadikannya sebagai sekutu. Namun sebagaimana kebanyakan para kepala eksekutif hari ini, sang presiden nampaknya lebih mementingkan dampak jangka pendeknya daripada efek jangka panjang nantinya setelah ia tidak lagi menjadi presiden.
Dan lagi, kasus Vietnam lebih instruktif. Presiden Lyndon Johnson mau mendengar banyak nasehat/peringatan bahwa perang Vietnam tidak akan bisa dimenangkan, di samping juga ia ingat bagaimana para Republikan mengkritik habis pemerintahan Truman pasca “jatuhnya” Cina. Lyndon B. Johnson mengatakan kepada duta besar AS untuk Vietnam saat itu, Henry Cabot Lodge, pada tahun 1963 akhir, “Saya tidak akan kehilangan Vietnam. Saya tidak akan menjadi presiden yang menyaksikan Asia Tenggara seperti Cina.” Persis perkataan Presiden Nixon yang membangun karir di Kongres dengan jargon anti-komunis, yang mengatakan bahwa ia tidak akan menjadi presiden Amerika pertama yang kalah perang.
Presiden Obama sangat tahu bahwa “mesin penyerang” Partai Republik akan terus mengejarnya dan juga terhadap orang-orang Partai Demokrat lainnya jika sampai Amerika “kalah” di Afghanistan dan Iraq, meskipun di kalangan publik sendiri masih terdapat pertentangan mengenahi dua perang tersebut. Maka hasil akhir kalkulasi keputusannya adalah tetap berperang, dengan biaya minimal meskipun tidak ada harapan untuk menang. Inilah keputusan yang bersifat politis, yang diambil karena kekhawatiran akan konskuensi politis jika mau menerima realita dan mengakui kekalahan, maka sindrom “perang Vietnam” akan terulang kembali, bahkan lebih akut.
Reporter : Yasin Muslim
Sumber : Consortium News
http://www.kiblat.net/2016/07/27/obama-terjebak-perang-vietnam-edisi-2-di-afghanistan/

Obama, Presiden “Cinta Damai” yang Kini Doyan Perang

OBAMA001

Seorang jurnalis, John Isaacs,  baru-baru ini melontarkan kritikan kepada Barack Husein Obama, Presiden Amerika Serikat. Kritikan yang dimuat di situs TheHill.com ini mengungkapkan perubahan Obama, yang sebelum menjadi Presiden adalah sosok yang menentang perang, kini justru menjadi sosok yang doyan perang.

Isaacs memulai artikelnya dengan menyebut Barack Obama mengalahkan Hillary Clinton pada nominasi Partai Demokrat untuk presiden pada tahun 2008 dengan mencitrakan diri sebagai calon presiden yang cinta perdamaian. Namun, Isaacs menyebut dalam dua setengah tahun menjelang akhir masa jabatannya, Obama berpotensi diberi julukan “Presiden yang doyan perang.”

Isaacs melihat mundur ke belakang pada tahun 2002, ketika masih menjadi Senator, Obama mengkritik perang Irak yang diluncurkan oleh Presiden George W. Bush sebagai “perang yang bodoh.”

Lalu, saat Obama menjabat sebagai Presiden, ia memenuhi janjinya ketika ia menolak untuk meneruskan perjanjian Bush dengan Irak dengan menarik semua pasukan AS pada tahun 2011, setelah perang yang diklaim menewaskan 4.500 nyawa warga negara Amerika dan 500.000 jiwa warga negara Irak, menurut sebuah studi.

Kemudian datang ancaman dari ISIS di Timur Tengah, dan tiba-tiba AS kembali terlibat perang di Irak dan ragu-ragu untuk melakukan intervensi dalam situasi yang sangat rumit di Suriah setelah terjebak untuk melakukannya selama bertahun-tahun.

Keputusan untuk mengirimkan 275 tentara untuk melindungi Kedutaan Besar Amerika di Baghdad pada Juni 2014 telah dimulai dengan serangan udara di Suriah dan kini hampir berjumlah 3.000 tentara saat ini. Tujuan baru AS sekarang adalah untuk menurunkan kekuatan dan akhirnya menghancurkan Islamic State. Perang, yang diumumkan, bisa jadi berlangsung selama 36 bulan.

Seorang ahli hubungan internasional, Andrew Bacevich, mengatakan bahwa Suriah adalah negara Islam ke-14 yang telah diinvasi, diduduki atau dibom oleh pasukan AS sejak tahun 1980. Bacevich menambahkan, “Dengan sengaja menabur ketidakstabilan, Amerika Serikat telah bermain berhadapan secara langsung dengan kekuatan Islam radikal anti-Barat.”

Sukses lainnya yang dilakukan sang presiden untuk membebaskan AS dari perang, kini juga sedang ia rusak perlahan. Presiden mengumumkan pada bulan Mei bahwa semua pasukan tempur AS dari Afghanistan akan ditarik pada akhir 2014 dan 9.800 tentara yang tersisa tidak akan memiliki peran tempur.

Pada saat itu, Obama menyatakan “Misi tempur Amerika akan berakhir pada akhir tahun ini (2014). Mulai tahun depan, Afghanistan akan sepenuhnya bertanggung jawab untuk mengamankan negara mereka. Personil Amerika akan berada dalam peran penasehat. Kita tidak akan lagi melakukan patroli di kota Afghanistan atau desa, gunung atau lembah. Itu adalah tugas bagi rakyat Afghanistan.”

Namun, Isaacs menyebutkan, pada tanggal 21 November, The New York Times mengungkapkan rahasia pada perubahan rencana AS di Afghanistan, yaitu sisa jet, pembom dan pesawat boleh digunakan untuk mendukung pasukan Afghanistan pada misi tempur melawan Taliban. Sebuah misi yang telah berlangsung 13 tahun, akan berlanjut selama setidaknya satu tahun lagi, atau lebih.

Isaacs melanjutkan, bahwa Amerika Serikat telah gagal belajar dari sejarah yang menyedihkan atas intervensi militer mereka pada konflik yang terletak jauh di luar negeri mereka, menghabiskan miliaran dolar untuk melatih dan menempatkan tentara di negara asing di mana hanya sedikit orang Amerika yang memahami budaya atau bahasa negeri asing tersebut.

Kesalahan Pemerintah AS, menurut Isaacs, adalah lebih fokus pada mempertahankan kontrol yang ketat atas wilayah kekuasaan dan kurang perhatian pada pembangunan kemajemukan masyarakat yang mungkin dapat menjadi kekuatan pendukung bagi negara tersebut ketika AS telah pergi. Amerika Serikat telah mengalami kekalahan mengerikan di Vietnam; kalah dengan buruk di Irak; dan juga berisiko mengalami kekalahan berikutnya.

Dalam penutup tulisannya, Isaac menyebutkan bahwa pada bulan Mei, Obama menyatakan, “Saya pikir orang Amerika telah belajar bahwa lebih sulit untuk mengakhiri perang daripada memulainya.” Ya, kata Isaacs, “Atas hal itu, setidaknya, kali ini Obama benar.”
Penulis: Multazim Jamil
Sumber: thehill.com

9.800 Tentara AS Masih di Afghanistan, Taliban: Perang Berlanjut
Kandidat Presiden AS: Tak Ada Alasan Bagi Amerika Terlibat Perang di Afghanistan