Wednesday, August 17, 2016

Sikap Lemah Lembut ( Hikmah) Dalam Berdakwah, Tanpa Melukai, Tidak Memaksakan Kehendak (Menghujat) Terhadap Sesama Muslim Yang Berseberangan Dengan Kita Dan Memperkeruh Ukhuwah Islamiyah.


وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” [QS.Fushilat: 34-35]
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى* فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut’. [Thâha: 43-44]

 Sikap Lemah Lembut Dalam Berdakwah

Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Allah Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, Dia mencintai sikap lemah lembut. Allah memberikan pada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak Dia berikan pada sikap yang keras dan juga akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan pada sikap lainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6024 dan Muslim no. 2165)
Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau telah bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak berada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, tidaklah sifat itu dicabut dari sesuatu, melainkan dia akan membuatnya menjadi buruk.” (HR. Muslim no. 2594)
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Seorang ‘Arab badui berdiri dan kencing di masjid. Maka para sahabat ingin mengusirnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada mereka, “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air -atau dengan setimba besar air-. Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesusahan.” (HR. Al-Bukhari no. 323)

Penjelasan:
Ar-Rifq adalah sifat lemah lembut di dalam berkata dan bertindak serta memilih untuk melakukan cara yang paling mudah. (Fathul Bari syarh Shahih Al Bukhari)
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berhias dengan sifat yang sangat mulia tersebut, karena ia merupakan bagian dari sifat-sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dengannya pula merupakan sebab seseorang dapat meraih berbagai kunci kebaikan dan keutamaan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat lemah lembut, maka ia tidak akan bisa meraih berbagai kebaikan dan keutamaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal ini kepada ‘Aisyah-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Lembut yang mencintai kelembutan dalam seluruh perkara.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits:
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Orang yang dijauhkan dari sifat lemah lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan.” (HR.Muslim)

Keutamaan sifat Ar-Rifq
Sebagaimana telah diterangkan diatas bahwa sifat Ar-Rifq (lemah lembut) merupakan sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan juga dengannya akan bisa meraih segala kebaikan dan keutamaan. Dengannya pula akan melahirkan sikap hikmah, yang juga merupakan sikap yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam berkata dan bertindak.
Dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk bersama para shahabat radhiyallahu ‘anhum di dalam masjid. Tiba-tiba muncul seorang ‘Arab badui (kampung) masuk ke dalam masjid, kemudian kencing di dalamnya. Maka, dengan serta merta, bangkitlah para shahabat yang ada di dalam masjid, menghampirinya seraya menghardiknya dengan ucapan yang keras. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk menghardiknya dan memerintahkan untuk membiarkannya sampai orang tersebut menyelesaikan hajatnya. Kemudian setelah selesai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan setimba air untuk dituangkan pada air kencing tersebut. (HR. Al Bukhari)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Arab badui tersebut dalam keadaan tidak marah ataupun mencela. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasehatinya dengan lemah lembut:
“Sesungguhnya masjid ini tidak pantas untuk membuang benda najis (seperti kencing, pen) atau kotor. Hanya saja masjid itu dibangun sebagai tempat untuk dzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur’an.” (HR. Muslim)
Melihat sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian lembut dan halusnya dalam menasehati, timbullah rasa cinta dan simpati ‘Arab badui tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia pun berdoa: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorangpun bersama kami berdua.” Mendengar doa tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan berkata kepadanya:
“Kamu telah mempersempit sesuatu yang luas (rahmat Allah).” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)
(Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa doa Arab badui tersebut diucapkan sebelum ia buang air kecil. Wallahu a’lam)

Perhatikanlah wahai para pembaca yang kami hormati!
Betapa hati manusia itu, pada asalnya, adalah cenderung kepada sikap yang lembut dan tidak kasar. Betapa indah dan lembutnya cara pengajaran dari tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang yang belum mengerti. Dengan sikap hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya melahirkan rasa simpati dan membuka mata hati Arab badui tersebut dalam menerima nasehat. Berbeda halnya tatkala perbuatannya tersebut disikapi dengan kemarahan, yang akhirnya melahirkan sikap ketidaksukaan. Hal ini bisa dilihat dari perkataannya: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorangpun bersama kami berdua.”
Selalu memberikan kemudahan kepada orang lain dan tidak mau mempersulit urusan merupakan ciri khas akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِيْنَ
“Hanya saja kalian diperintah untuk memudahkan dan bukan untuk mempersulit.” (HR.Al Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi mencintai kelembutan. Dia memberikan pada sifat kelembutan yang tidak diberikan kepada sifat kekerasan, dan tidak pula diberikan kepada sifat-sifat yang lainnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini mengandung makna keutamaan sifat lemah lembut, anjuran untuk berakhlak dengannya, serta tercelanya sifat kasar dan keras. Sesungguhnya sifat lemah lembut merupakan sebab untuk meraih segala kebaikan.
Makna lafazh hadits, “Dia (Allah subhanahu wa ta’ala, pen) memberikan sesuatu pada sifat lemah lembut yang tidak diberikan kepada sifat kekerasan“, yakni bahwa dengan sifat lemah lembut tersebut, seseorang dapat melakukan perkara-perkara yang tidak akan bisa dilakukan dengan sifat yang menjadi lawannya yaitu sifat keras dan kasar. Ada yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan pahala pada sifat lemah lembut, yang tidak diberikan pada sifat yang lainnya.

Dengan sifat lemah lembut yang ada pada diri seseorang, dapat menyelamatkannya dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang diharamkan dari neraka atau neraka diharamkan atasnya? Yaitu atas setiap orang yang dekat (dengan manusia), lemah lembut, lagi memudahkan.” (HR. Tirmidzi)
Ar-Rifq merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terkhusus seorang da’i

Termasuk diantara akhlak-akhlak yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala adalah bersikap lapang dada, menampakkan wajah yang ceria dan bersikap lemah lembut kepada saudaranya sesama muslim.
Sifat tersebut akan mendorong untuk lebih mudah diterimanya dakwah seseorang tatkala ia menyeru ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan terhadap orang kafir tertentu, terkadang perlu untuk bersikap lemah lembut dalam rangka melembutkan hati mereka untuk tertarik masuk ke dalam Islam. Telah diketahui bahwasanya Islam adalah sebuah agama yang ringan dan mudah bagi pemeluknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Setiap orang yang berusaha mempersulitnya pasti akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah kepada kesempurnaan, dan berilah kabar gembira, serta ambillah sebuah kesempatan pada pagi hari, petang serta sebagian dari malam.” (HR. Al Bukhari)
Islam juga memerintahkan kepada pemeluknya untuk bermuamalah dengan sifat lemah lembut kepada sesama manusia, dan bahkan terhadap binatang ternak sekalipun. Sebagaimana dalam hadits:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan untuk berbuat baik atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya (ketika hendak menyembelih), dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim)
Ketika seorang mukmin telah berhias dengan kelemahlembutan, maka akan membuahkan pada dirinya sikap kasih sayang kepada orang lain, dan akan melahirkan pada diri orang lain sikap kecintaan dan keridhaan, serta menumbuhkan sikap segan dari pihak lawan kepada dirinya. Sebaliknya, dengan sikap keras, kaku dan kasar akan membuat lari dan menjauhnya manusia, dan semakin mengobarkan api kebencian dari orang-orang yang menanam benih kebencian kepada dirinya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya sifat lemah lembut tidaklah berada pada sesuatu kecuali akan membuat indah sesuatu tersebut dan tidaklah sifat lemah lembut dicabut dari sesuatu kecuali akan membuat sesuatu tersebut menjadi buruk.” (HR. Muslim)

Kesimpulannya adalah sepantasnya bagi seorang da’i untuk menghiasi dirinya dengan sifat Ar-Rifq didalam memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari yang mungkar.

Namun, yang perlu diperhatikan bahwa sifat Ar-Rifq tidaklah menunjukkan kelemahan atau ketidaktegasan seseorang dalam berkata dan bertindak. Bahkan dalam sifat Ar-Rifq sendiri, sebenarnya telah mengandung sikap tegas dalam amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran). Dan tidaklah sikap tegas itu identik dengan sikap keras atau kasar. Dalam keadaan tertentu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tegas dan keras. Diantara contohnya:
–    Celaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan memanjangkan sholat tanpa memperhatikan keadaan orang-orang yang berma’mum. (HR. Al Bukhari)
–    Sikap keras beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang makan menggunakan tangan kiri ketika diperintah untuk makan menggunakan tangan kanan. (HR. Muslim)
–    Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celaka kamu” terhadap orang yang berlambat-lambat melaksanakan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaiki unta. (HR. Al Bukhari)
–    Kerasnya sikap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang (laki-laki) yang memakai cincin emas, setelah ia tahu bahwa perkara itu adalah perkara yang diharamkan. (HR. Muslim)

Sifat Ar-Rifq dalam menghadapi kerasnya problem kehidupan
Dan diantara pedoman dan kaidah syar’i yang harus dipegang teguh dalam menghadapi kerasnya problem (fitnah) dalam kehidupan adalah hendaknya kita menghadapinya dengan sifat Ar-Rifq (lemah lembut), At-Ta’anni (tidak tergesa-gesa), dan Al Hilm (santun).
Maka hendaknya kita bersikap lemah lembut dan tenang/tidak tergesa-gesa dalam segala urusan dan janganlah menjadi orang yang mudah marah. Janganlah kita menjadi orang yang tidak mempunyai sifat ar-rifq, karena dengan sifat ar-rifq selamanya tidaklah akan membuat seseorang itu menyesal, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Tidaklah sifat ar-rifq tersebut berada dalam suatu perkara kecuali akan memperindahnya.
Wallahu a’lam bishshowab.
Sumber:
1.  Risalah fi adda’wah ilallah, karya Asy Syaikh Al ‘Utsaimin.
2.  Al ‘Arbaun Haditsan fil Akhlaq ma’a syarhiha, karya Dr. Ahmad Mu’adz Haqqi.
3.  Adh Dhawabith Asy Syar’iyah limauqifil muslim fil fitan, karya Asy Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziz.
4.  Syarh Riyadhush Shalihin, jilid 2, hal 355-356, karya Asy Syaikh Al ‘Utsaimin.
5.  Fathul Bari kitab Adab bab Arrifq jilid 12, karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani.
6.  Lembah Lembut dalam Dakwah, karya Dr. Fadhl Ilahi.

Dakwah dengan Lemah Lembut

Bersikap Lemah lembut
Sesungguhnya kita wajib untuk -sedapat mungkin- bersikap ramah dalam berdakwah mengajak orang lain kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu santun dan menyukai kesantunan. Dia memberi dengan jalan kesantunan apa yang tidak diberikan dengan jalan kekasaran dan yang selainnya.” (HR. Muslim 2597) Allah Subhaanahu wa Taala mengingatkan Nabi-Nya shallallahu alaih wa sallam dengan nikmat sifat lemah lembut ini dalam firman-Nya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imraan 159)

Seandainya ada orang yang mengajak bicara dengan cara kasar, niscaya kita terdorong untuk membalasnya dengan tindakan yang sama, dan akan terdetik dalam benak kita bahwa orang tersebut tidak ingin menasihati, tapi ingin mengecam. Sebaliknya, jika orang itu bicara dengan lemah lembut, kemudian ketika menjelaskan suatu perkara yang diharamkan, ia memberi alternatif lain yang halal sehingga orang dapat dengan mudah melakukannya, niscaya dengan demikian akan tercapai kebaikan yang banyak.

Sikap seperti ini diajarkan oleh Allah Subhaaahu wa Taala dan Nabi-Nya shallallahu alaih wa sallam. Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”.” (QS. al-Baqarah: 104) Pada ayat ini, ketika Allah melarang sebuah ucapan, Dia mengarahkan untuk mengucapkan perkataan lain sebagai gantinya. Maka jika engkau menutup satu pintu yang memang diharamkan oleh Allah untuk dimasuki, bukakanlah pintu lain yang halal.

Ketika dibawakan kurma yang bagus, Nabi shallallahu alaih wa sallam bertanya, “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?” Sahabat menjawab, “Tidak. Kami mengambil satu sha’ kurma seperti ini dengan dua sha’ kurma jenis lain, dan dua sha’ kurma seperti ini dengan tiga sha’ kurma jenis lain .” Maka Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda, “Jangan lakukan yang demikian, jual semua kurma dengan dirham, kemudian belilah dengan dirham-dirham itu kurma-kurma yang bagus!” (HR. al-Bukhari 2201) Pada hadits ini, Nabi shallallahu alaih wa sallam membimbing mereka kepada jalan yang halal. Yaitu menjual kurma jelek dengan dirham, kemudian membeli kurma yang baik dengan dirham tersebut. Jadi, ketika beliau menutup pintu yang terlarang, beliau membukakan pintu yang dibolehkan.

Adapun bersikap lemah lembut, maka siapa yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaih wa sallam, niscaya akan mendapati bahwa beliau shallallahu alaih wa sallam adalah orang yang penuh kelembutan kepada umatnya. Contoh yang paling nyata ialah kisah seorang Arab pedalaman yang masuk masjid kemudian pergi ke sudut masjid dan kencing di sana. Ketika itu, orang-orang langsung bangun dan mencelanya, karena apa yang dilakukannya adalah kemungkaran yang sangat besar. Akan tetapi Nabi shallallahu alaih wa sallam melarang mereka dan mereka pun diam. Setelah orang Arab pedalaman itu selesai, Nabi shallallahu alaih wa sallam menyuruh orang untuk menyiramkan seember air pada bekas kencingnya, sehingga najisnya hilang. Beliau shallallahu alaih wa sallam memanggil orang Arab pedalaman itu dan berkata, “Sesungguhnya masjid tidak boleh ada padanya sedikit dari kotoran dan najis. Masjid hanyalah untuk shalat, dzikir, dan membaca Al-Quran.” Demikian riwayat yang ada dalam Shahih al-Bukhari. Dan dalam Musnad Imam Ahmad, orang Arab pedalaman itu berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Kau rahmati siapapun selain kami.” Mengapa sampai demikian? Karena Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam bersikap lemah lembut ketika memberinya pengajaran.

Inilah jalan yang seharusnya ditempuh oleh para dai dan para pengingkar kemungkaran, agar tercapai dengan kelembutan apa yang tidak bisa dicapai dengan kekasaran.

Lapang dada terhadap perselisihan para Ulama

Sungguh merupakan kewajiban atas para pemuda dan orang-orang yang berpegang kuat dengan agama ini untuk bersikap lapang dada terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan ulama dan selain mereka. Dan untuk menyikapi kondisi perselisihan tersebut dengan memberi udzur kepada ulama yang menempuh jalan yang keliru dalam keyakinan mereka. Ini adalah poin yang sangat penting. Sebab sebagian orang ada yang mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkan kedudukan dan reputasi mereka di tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan kesalahan yang sangat besar. Mengghibah orang biasa saja sudah merupakan dosa besar, apalagi mengghibah seorang alim. Tentu lebih besar lagi dosanya. Mengghibah seorang yang alim, kemudaratannya tidak berhenti pada orang alim itu saja, akan tetapi juga pada ilmu syariat yang dibawanya. Sementara itu, apabila masyarakat merasa tidak butuh kepada orang alim tersebut, atau kedudukannya jatuh di mata mereka, maka akan jatuh pula dakwah yang ia serukan. Tidak hanya itu, apabila ia menyerukan kebenaran dan membimbing orang banyak menuju syariat Allah, perbuatan mengghibahnya akan memunculkan penghalang antara orang banyak dengan ilmu syariat. Bahaya dari perbuatan ini sangat besar sekali.

Sesungguhnya para pemuda wajib memandang perselisihan yang terjadi di kalangan ulama atas dasar niat yang baik, ijtihad dan memberi udzur terhadap kekeliruan mereka. Ada baiknya apabila mereka berbicara kepada ulama-ulama itu berkenaan dengan pendapat mereka yang dianggap keliru. Agar kemudian para ulama itu menjelaskan, sehigga tampak apakah yang keliru adalah para ulama itu, ataukah justru yang menganggap ulama itu keliru. Karena terkadang seseorang menganggap pendapat ulama itu keliru, namun ketika terjadi diskusi, nampaklah baginya kebenaran pendapat tersebut. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda, “Setiap manusia/anak Adam sering berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang sering melakukan kesalahan adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad 3/198)

Berapa banyak orang yang kembali kepada kebenaran setelah adanya diskusi, dan tidak sedikit pula orang yang ternyata pendapatnya benar setelah diadakan diskusi, padahal sebelumnya kita menyangka bahwa dia keliru. “Maka seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.” (HR. al-Bukhari 6026) Nabi shallallahu alaih wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, hendaknya ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya ia memperlakukan orang lain dengan cara yang ia senangi dari orang lain dalam memperlakukan dirinya.” (HR. Muslim 1844)

Adapun merasa gembira dengan ketergelinciran dan kekeliruan seorang ulama, kemudian menyebarkan kekeliruan tersebut sehingga terjadi perpecahan, maka ini bukanlah jalan para salaf. Demikian pula kesalahan yang terjadi dari para penguasa, tidak boleh kita jadikan sarana untuk mencela mereka pada setiap perkara, seraya menutup mata dari kebaikan mereka. Karena Allah berfirman dalam Al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. al-Maaidah : 8) Maknanya, janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Karena keadilan adalah wajib. Maka tidak boleh seseorang menjadikan ketergelinciran penguasa atau ulama, atau selain mereka, sebagai alat untuk menjatuhkan kedudukan mereka, lalu melupakan kebaikan yang mereka lakukan. Sebab sikap yang demikian ini tidaklah adil.

Bayangkanlah apabila hal itu terjadi pada diri Anda. Seandainya ada orang yang mengetahui hal ihwal diri Anda, kemudian menyebarkan kejelekan Anda, dan menyembunyikan kebaikan Anda, niscaya Anda akan menganggapnya sebagai seorang yang berkhianat. Jika demikian, maka pandanglah orang lain dengan cara yang sama.
(ash-Shahwah al-Islamiyyah, Dhawabith wa Taujihaat, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)
Silahkan Download File Pdf: Download

Lemah lembutlah dalam berbicara

Segala puji bagi Allah, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. Semakin maju zaman, semakin manusia menjauh
dari akhlaq yang mulia. Perangai jahiliyah dan kekasaran masih meliputi sebagian kaum muslimin. Padahal Islam mencontohkan agar umatnya berakhlaq mulia, di antaranya adalah dengan bertutur kata yang baik. Akhlaq ini semakin membuat orang tertarik pada Islam dan dapat dengan mudah menerima ajakan. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita perangai yang mulia ini.

Perintah Allah untuk Berlaku Lemah Lembut Allah Ta'ala berfirman,

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. ” (QS. Al Hijr: 88)

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “'Berendah dirilah' yang dimaksud dalam ayat ini hanya untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu' (rendah diri).”1 Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk setiap perkataan dan perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah lembut. Ayat ini sama maknanya dengan firman Allah Ta'ala,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159). Yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah bertutur kata kasar.2 Dengan sikap seperti ini malah membuat orang lain lari dari kita.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”3

Keutamaan Bertutur Kata yang Baik

Pertama: Sebab Mendapatkan Ampunan dan Sebab Masuk Surga

Dari Abu Syuraih, ia berkata pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمِلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ

“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.” Beliau bersabda,

إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ

“Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.”4

Kedua: Mendapatkan Kamar yang Istimewa di Surga Kelak

Dari 'Ali, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,

لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.”5

Ketiga: Bisa menggantikan Sedekah

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

“Tutur kata yang baik adalah sedekah.”6

Dari 'Adi bin Hatim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Selamatkanlah diri kalian dari siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka cukup dengan bertutur kata yang baik.”7

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tutur kata yang baik sebagai pengganti dari sedekah bagi yang tidak mampu untuk bersedekah.”8

Ibnu Baththol mengatakan, “Tutur kata yang baik adalah sesuatu yang dianjurkan dan termasuk amalan kebaikan yang utama. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits ini) menjadikannya sebagaimana sedekah dengan harta. Antara tutur kata yang baik dan sedekah dengan harta memiliki keserupaan. Sedekah dengan harta dapat menyenangkan orang yang diberi sedekah. Sedangkan tutur kata yang baik juga akan menyenangkan mukmin lainnya dan menyenangkan hatinya. Dari sisi ini, keduanya memiliki kesamaan (yaitu sama-sama menyenangkan orang lain).”9

Keempat: Menyelematkan Seseorang dari Siksa Neraka

Dalilnya adalah hadits Adi bin Hatim di atas. Ibnu Baththol mengatakan, “Jika tutur kata yang baik dapat menyelamatkan dari siksa neraka, berarti sebaliknya, tutur kata yang kotor (jelek) dapat diancam dengan siksa neraka.”10

Kelima: Dapat Menghilangkan Permusuhan

Ibnu Baththol mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta'ala,

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.”11

Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- mengatakan, "Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini."

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."12

Berlaku Lemah Lembut Bukan Berarti Menjilat

Perlu dibedakan antara berlaku lemah lembut dengan tujuan membuat orang tertarik dan berlaku lembah lembut dengan maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela sebagaimana yang Allah firmankan,

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam: 9)

Ibnu Jarir Ath Thobari menafsirkan ayat di atas, “Wahai Muhammad, orang-orang musyrik tersebut ingin kalian berlaku lembut pada mereka (dengan mengorbankan agama kalian) dengan memenuhi seruan untuk beribadah kepada sesembahan mereka. Jika kalian demikian, maka mereka akan berlaku lembut pada kalian dalam ibadah yang kalian lakukan pada sesembahan kalian.”13

Oleh karenanya, orang yang bersikap mudaroh akan berlemah lembut dalam pergaulan tanpa meninggalkan sedikitpun prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian dari prinsip agamanya.

Hendaknya kita bisa memperhatikan perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati.

Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Metode Dakwah yang Tepat di Zaman Ini



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan itu, tidaklah terdapat pada sesuatu kecuali akan membaguskannya, dan tidaklah dihilangkan dari sesuatu kecuali akan menjelekkannya.” [HR. Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]

Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,

وينصح الإخوان ولكن بالرفق، بالكلام الطيب، لا بالتعدي على الناس، ولا بضربهم ولا بشتمهم ولعنهم، ولكن بالكلام الطيب والأسلوب الحسن، قال الله جل وعلا: {ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} وقال تعالى: {فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ} وقال الله لموسى وهارون لما بعثهما إلى فرعون: {فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى} وقال النبي صلى الله عليه وسلم: «إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه»، ولا سيما في هذا العصر، هذا العصر عصر الرفق والصبر والحكمة، وليس عصر الشدة. الناس أكثرهم في جهل، في غفلة إيثار للدنيا، فلا بد من الصبر، ولا بد من الرفق حتى تصل الدعوة، وحتى يبلغ الناس وحتى يعلموا. ونسأل الله للجميع الهداية.

“Hendaklah menasihati Ikhwan akan tetapi dengan kelembutan, dengan ucapan yang baik, tidak dengan cara yang melampaui batas terhadap manusia, tidak dengan memukul, mencerca dan melaknat mereka, namun dengan ucapan yang baik dan metode yang bagus.

Allah jalla wa ‘ala berfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Allah ta’ala juga berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar lagi berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imron: 159)

Allah ta’ala juga berfirman kepada Musa dan Harun ketika Dia mengutus keduanya untuk mendakwahi Fir’aun,

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaaha: 44)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan itu, tidaklah terdapat pada sesuatu kecuali akan membaguskannya, dan tidaklah dihilangkan dari sesuatu kecuali akan menjelekkannya.” (HR. Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha)

Terutama di zaman ini. Zaman ini adalah zaman kelembutan, sabar dan hikmah, bukan zaman kekerasan. Kebanyakan manusia dalam kebodohan terhadap agama dan lalai serta lebih mementingkan dunia, maka berdakwah harus dengan kesabaran dan kelembutan agar sampai kepada manusia dan mereka dapat memahami ilmu agama. Dan kita memohon hidayah kepada Allah untuk semuanya.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/376]

Beberapa_Pelajaran:

1) Perintah menghiasi diri dengan akhlak kelembutan dalam segala urusan, seperti dalam bergaul dengan orang lain maupun dalam memperlakukan hewan, kendaraan dan yang lainnya, terutama dalam berdakwah dan mengajarkan agama.

2) Larangan bersifat kasar lagi keras.

3) Kelembutan adalah sebab meraih segala kebaikan dan sifat keras lagi kasar adalah sebab munculnya berbagai macam kejelekan.

4) Harus dipahami juga, terkadang sikap kasar lagi keras diperlukan dan dianjurkan dalam keadaan tertentu, seperti ketika memerangi orang-orang kafir atau ketika maslahat untuk bersikap keras lebih besar daripada berlemah lembut, akan tetapi asal dalam berdakwah adalah kelembutan, terlebih di zaman ini, zaman merebaknya kebodohan dan kesesatan serta dominasi orang-orang yang sesat dan sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

5) Keindahan dan keluhuran akhlak Islam.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Strategi Sukses Dakwah Salafi Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Dakwah merupakan cerminan para Nabi dan Rasul serta orang yang mengikuti mereka dengan baik, sehingga dakwah merupakan amalan yang besar dan tinggi dalam agama. Dengan dasar inilah seorang dai harus memiliki ilmu bagaimana tata cara dakwah yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga ia berdakwah sebagaimana para rasul berdakwah yaitu di atas ilmu dan kebenaran.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah adalah seorang ulama besar pada abad kita ini, beliau berdakwah untuk Islam dan muslimin. Tidak diragukan lagi keberhasilan beliau dalam berdakwah kepada kebaikan dan sunnah. Sehingga banyak manusia mengenal agama dengan perantara beliau. hal tersebut dikarenakan ketika beliau berdakwah senantiasa memerhatikan tata cara yang benar dalam berdakwah. Dalam kitab beliau yang diterjemahkan dengan judul Strategi Sukses Dakwah Salafi Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ini, beliau mencoba membimbing kita semua tentang bagaimana tata cara berdakwah yang benar sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sukses Dakwah Salafi Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ini memberikan ilmu bagi kita semua terkhusus berkaitan dengan dakwah sesuai Al-Kitab dan As-Sunnah, karena kita semua memiliki kewajiban untuk menyebarkan kebenaran dan ilmu, dikarenakan semua itu merupakan dakwah kepada Allah


Bagaimana Cara Berinteraksi dengan ‘Awwaamul-Hizbiyyiin ?

Pertanyaan :
“Dalam kondisi tersebarnya hizb-hizb di negeri kami dan begitu juga pada umumnya negeri-negeri kaum muslimin – kecuali yang dirahmati oleh Allah, dan betapa sedikit jumlah mereka ini - , bagaimana kaedah/aturan berinteraksi dengan orang-orang awam dari kalangan hizbiyyiin - semoga Allah menolong Anda dalam ketaatan kepada-Nya - ?”.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imaam hafidhahullah menjawab :
“Jumhur kaum muslimin mesti dipergauli dengan kelembutan, kesabaran, dan nasihat. Kita hendaknya senantiasa menasihati mereka dari waktu ke waktu. Mereka tidak boleh di-hajr (diboikot), karena mereka adalah medan dakwah bagi kita, medan dakwah kepada Allah. Apabila orang-orang ini di-hajr, lantas siapa orang yang akan kita dakwahi ?.
Oleh karena itu, kita mesti berbuat baik kepada mereka, sabar terhadap mereka, dan berlemah lembut dengan mereka. Kita berikan mereka nasihat. Dan alhamdulillah, kami telah melihat banyak kebaikan ketika kami aktif (berdakwah) dan berhadapan dengan jumhur kaum muslimin. Kami dapati dampak positif, sambutan, dan penerimaan yang baik dari mereka. Betapa banyak perbuatan-perbuatan syirik, penyelisihan terhadap syari’at, bid’ah-bid’ah, dan berbagai maksiat ditinggalkan ketika dakwah Ahlus-Sunnah masuk ke dalam masyarakat. Kebaikan tersebut didapati oleh masyarakat yang terpengaruhi oleh tashawwuf (shufi), tasyayyu’ (Syi’ah), dan tahazzub (hizbiy).
Tidak diragukan lagi bahwa dampak dakwah tersebut akan berbeda-beda sesuai kondisi dan waktunya. Di beberapa tempat, da’i-da’i dari kalangan ahlul-bid’ah banyak jumlahnya dan diterima oleh masyarakat, dakwah Ahlus-Sunnah tidak diterima dan memberikan dampak (kepada masyarakat), kecuali hanya sedikit saja. Mereka ini butuh waktu, cara-cara yang hikmah/bijaksana, dan kesabaran yang lebih banyak. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu kejelekan”

Di Antara Rahasia Keberhasilan Dakwah

Para pembaca yang budiman, perlu untuk kita ketahui bersama bahwa pada dasarnya jiwa manusia itu menyukai hal-hal yang buruk, yaitu hal-hal yang menyelisihi perintah Allah. Allah Ta’ala berfirman …
By Ibnu Ali Sutopo      
Lemah Lembut Dalam Berdakwah Berlemah Lembut Dalam Berdakwah Dakwah Dengan Lembut Menyampaikan Dakwah Dengan Dengan Lembut Lemah Lembut Dawah

Para pembaca yang budiman, perlu untuk kita ketahui bersama bahwa pada dasarnya jiwa manusia itu menyukai hal-hal yang buruk, yaitu hal-hal yang menyelisihi perintah Allah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan.” (QS. Yusuf: 53). Jika demikian keadaannya, tentunya kebenaran adalah sesuatu yang teramat berat bagi jiwa manusia.

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi-Nya dengan membawa agama yang penuh dengan kemudahan. Dan ini merupakan bentuk kasih saying Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107). Keberhasilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam menyampaikan kebenaran kepada manusia pastilah mempunyai rahasia yang agung dan patut kita pelajari.

Dakwah Butuh Kelembutan
Kebenaran yang pada asalnya susah untuk diterima oleh jiwa, ketika disampaikan dengan cara yang buruk, cara yang kasar, tentunya justru akan membuat orang semakin lari dari kebenaran. Oleh karena itulah, dakwah pada dasarnya harus disampaikan dengan cara lemah lembut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya. Dan tidaklah kelemah-lembutan itu tercabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya menjadi jelek.” (HR. Muslim)

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan mauidzoh hasanah (pelajaran yang baik) dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Faidah Berlemah Lembut di Dalam Dakwah
Para pembaca yang budiman, lemah lembut di dalam berdakwah mempunyai banyak sekali faidah. Salah satu di antaranya adalah dapat menyadarkan orang-orang yang telah terjerumus dalam perbuatan dosa dan maksiat. Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Al-Fushshilat: 34)

Contoh Sikap Lemah Lembut Rasulullah di Dalam Berdakwah
Para pembaca yang budiman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan bagi kita dalam hal akhlaq dan perilaku. Alangkah indahnya kisah beliau ketika menasihati seseorang yang hendak berbuat kemaksiatan. Kisah ini dituturkan oleh sahabat beliau, Abu Umamah. Beliau bercerita, “Sesungguhnya ada seorang pemuda datang kepada Rasulullah lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk berbuat zina’. Lalu ada sekelompok orang yang mendatangi dan menegurnya, ‘Diam… Diam…!!’ Lalu beliau bersabda (kepada para sahabat beliau), ‘Dekatkan ia kepadaku.’ Lalu ia pun mendekati beliau. Setelah ia duduk, beliau bertanya, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai ibumu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai ibunya’. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai putrimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai putrinya’. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai saudarimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai saudarinya…’ Lalu beliau meletakkan tangannya kepada pemuda tadi sambil berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya’. Setelah peristiwa itu, pemuda tadi tidak berfikir untuk berbuat zina lagi’. (HR. Ahmad, Shohih)

Catatan Penting
Para pembaca yang budiman, yang patut kita perhatikan adalah hendaklah bagi orang yang berdakwah meluruskan niat untuk ikhlas karena Allah Ta’ala semata. Yaitu dengan mengharap pahala dari Allah dan bermaksud untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain, serta agar mereka taat kepada Allah Ta’ala. Tidaklah dakwah kita itu bertujuan agar orang lain masuk ke organisasi kita dan tidak ke organisasi yang lain, masuk ke partai tertentu dan tidak ke partai yan lain ataupun tujuan duniawi lainnya. Apabila kita sudah berusaha di dalam berdakwah, ikhlas kepada Allah semata namun orang yang kita dakwahi belum atau tidak menerima dakwah kita, janganlah terburu-buru untuk memvonis bahwa orang yang kita dakwahi tersebut telah menolak kebenaran. Namun hendaknya kita selalu instrospeksi diri. Mungkin cara kita salah atau mungkin kita tidak sanggup untuk menjelaskannya dengan gamblang atau mungkin faktor-faktor yang lain. Akhirnya, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua dan kita juga berdoa kepada Allah agar berkenan untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin serta membukakan hati-hati mereka untuk memerima kebenaran. Amin.
***
Penulis: Ibnu Ali Sutopo Yuwono


Hikmah dalam berdakwah

Oleh

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
DAKWAH ISLAM PADA ASALANYA HARUS DISAMPAIKAN DENGAN LEMAH LEMBUT.

Ini merupakan asas dalam berdakwah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [An-Nahl/16:125]
Ibnu Katsîr berkata dalam tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad n agar menyeru manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla dengan cara hikmah.”
Firman Allah Azza wa Jalla , “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” yakni, apabila perlu dilakukan dialog dan tukar pikiran, hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut dan dengan tutur kata yang baik. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam ayat yang lain:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” [al-Ankabût/29:46]
Ini merupakan landasan penting yang wajib dipegang oleh setiap juru dakwah pada zaman sekarang ini dalam mengajak manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla . Sebab, lemah lembut dalam berdakwah disertai pengajaran yang baik, jauh dari sikap congkak dan tidak mengklaim secara serampangan orang yang berseberangan dengan vonis fasik atau kafir.
Al-Khalâl telah meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang masalah dakwah ini. Beliau menjawab: “Sahabat-sahabat Abdullâh berkata : “berdakwahlah dengan berlemah lembut, semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kamu, berlemah lembutlah!” [1]
ANTARA DAKWAH DAN JURU DAKWAH

Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf/12:108]
Dakwah adalah tugas yang berat dan pekerjaan yang serius yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang mulia. Juru dakwah yang mengajak kepada agama Allah Azza wa Jalla pasti menghadapi gangguan dalam dakwah sebagaimana yang dihadapi oleh siapa saja yang mengemban tugas dakwah ini, dari dahulu sampai sekarang. Itu sudah menjadi sunnatullâh pada orang-orang terdahulu dan sekarang. Para nabi juga telah menghadapi gangguan serupa berupa penentangan, penolakan, keengganan dan kesombongan dari berbagai pihak dan tingkatan manusia.
Maka dalam mengemban tugas dakwah yang berat dan penuh resiko ini seorang juru dakwah harus menghiasi dirinya dengan sikap santun dan sabar, bijaksana dan arif.
HIKMAH SEORANG JURU DAKWAH

Allah Azza wa Jalla berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. [al-Baqarah/2:269]
Hikmah adalah sebuah ungkapan tentang bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan ilmu yang benar. Hikmah identik dengan fiqh dan pemahaman. Hikmah digunakan juga untuk berbagai makna, seperti as-Sunnah, akal, kebijaksanaan dan lain-lainnya. Hikmah juga bisa berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada momentum yang tepat. Hikmah juga berarti menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain atau masalah yang lebih besar lagi merupakan bukti ketiadaan hikmah.
Di antara perkara yang memperkeruh dakwah kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dakwah yang dilakukan dengan keras, kasar dan arogan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus, dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ
“Barangsiapa yang diharamkan baginya, maka ia diharamkan dari kebaikan”.[HR. Muslim]
Hendaklah seorang da’i (juru dakwah) meniru akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwahnya, di antara akhlak yang paling agung itu adalah kelembutan.
Syaikh Bin Bâz berkata, “Kewajiban kita adalah berdakwah kepada agama Allah Azza wa Jalla . Memberi nasihat dan pengarahan kepada perkara yang baik tanpa kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan membuka pintu keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan mempersulit dakwah.” [2]
Syaikh al-Albâni berkata, “Tidak ragu lagi, ini merupakan perkara pertama yang dituntut dari seorang da’i, yaitu bersikap lemah lembut dan santun. Ia tidak boleh bersikap kasar terhadap orang-orang yang berseberangan. Apalagi bila orang itu masih berada dalam satu ushûl dakwah dengannya, yaitu dakwah kepada al-Qur’an dan Sunnah.” [3]
Sikap lemah lembut dan hikmah ini tidaklah meniadakan ketegasan dalam memegang prinsip dan menyatakan sikap yang syar’i, misalnya ketika melihat kehormatan Islam dilecehkan. Ada momen-momen tertentu yang mana kita harus memperlihatkan ketegasan dalam bersikap. Maka dari itu kita harus membedakan antara mudârât dan mudâhanah.
APA ITU MUDARAT DAN MUDHAHAH?

Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara mudârât dan mudâhanah. Mudârât adalah salah satu sikap bijaksana dalam mu’amalah yang menyampaikan kepada tujuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan martabat. Adapun mudâhanah adalah perilaku tercela yang dibungkus dengan kebohongan dan memungkiri janji.
Ibnu Baththâl berkata: “Mudârât adalah akhlak mukmin, yaitu merendahkan diri kepada orang lain, melunakkan perkataan dan meninggalkan sifat kasar. Mudârât adalah sebab paling kuat terciptanya persatuan. Sebagian orang mengira bahwa mudârât sama dengan mudâhanah. Itu sangat keliru! Karena mudârât adalah sifat yang dianjurkan sementara mudâhanah adalah sifat yang diharamkan. Bedanya, mudâhahah diambil dari kata ad-dahân, yaitu menampakkan sesuatu secara lahiriyah tapi menyembunyikan batinnya. Para ulama mengidentikkannya dengan pergaulan dengan orang fasiq, menunjukkan persetujuan terhadap kefasikannya tanpa mengingkarinya sedikitpun.
Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, beliau berkata: “Bab: Mudârât dalam bermu’amalah dengan orang lain. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa seorang lelaki meminta izin bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau berkata: “Berilah izin kepadanya, seburuk-buruk putera kabilah atau saudara kabilah.” Ketika ia masuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan lunak kepadanya. ‘Aisyah bertanya-tanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau tadi mengatakan begini dan begitu, kemudian engkau berbicara lemah lembut kepadanya?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hai ‘Aisyah, seburuk-buruk manusia di sisi Allah Azza wa Jalla adalah yang ditinggalkan atau dijauhi orang lain karena menghindari kekejiannya.” [Muttafaqun ‘alaihi].
Mudârât adalah berlaku lembut terhadap orang jahil dalam memberikan pengajaran dan terhadap orang fasik ketika melarang perbuatan fasiknya, tidak bersikap kasar terhadapnya. Yang mana ia tidak menunjukkan kemarahannya. Mengingkarinya dengan perkataan dan memperlakukannya dengan lembut. [4]
DI ANTARA CONTOH HIKMAH DALAM DAKWAH

Berikut ini beberapa contoh hikmah dalam dakwah yang apabila diabaikan bisa memicu timbulnya konflik di tengah masyarakat.
1. Memperhatikan Kondisi Orang Yang Didakwahi.

Seorang da’i harus memperhatikan kondisi orang yang didakwahinya. Jangan main pukul rata saja. Ia harus memperhatikan cara yang paling bermanfaat dalam mendakwahi mereka. Cara yang bermanfaat untuk masyarakat umum belum tentu cocok untuk mendakwahi raja atau penguasa atau orang yang terpandang, seperti tokoh masyarakat misalnya. Allah Azza wa Jalla telah berkata kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka kepada Fir’aun:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. [Thaha/20:44]
Cara dakwah yang bermanfaat bagi kaum pedagang keliling, belum tentu bermanfaat jika digunakan untuk mendakwahi kaum intelektual dan terpelajar. Salah satu bentuk hikmah adalah memperhatikan cara yang paling bermanfaat yang dapat memperbaiki bermacam-macam jenis manusia yang berasal dari berbagai tingkatan dan golongan.
2. Memperhatikan Waktu Dan Kondisi Dalam Berdakwah.

Tidak arif bila mendatangi seorang yang sedang tidur, lalu membangunkannya untuk didakwahi. Dan tidak bijaksana bila mendatangi seseorang yang sedang emosi untuk berceramah di hadapannya. Andaikata dalam kondisi normal tentulah orang itu akan mau mendengar kata-kata kita. Pilihlah waktu dan kondisi yang tepat untuk berdakwah. Ketika suasana atau kondisi sedang tegang atau keruh hindarilah perdebatan maupun dialog hingga ketegangan mereda. Sebab bila dipaksakan bisa menimbulkan hasil yang kontra produktif (tidak menguntungkan). Dan kalau seandainya kebenaran itu baru bisa diterima melalui lisan orang lain mengapa harus memaksakannya melalui lisan kita?
3. Meletakkan Skala Prioritas Yang Tepat.

Seorang da’i harus bisa menempatkan skala prioritas yang benar dalam dakwah. Hendaklah ia mendahulukan perkara yang paling penting, tidak sepantasnya ia mendahulukan perkara-perkara yang kecil lalu ia meninggalkan perkara yang lebih besar dan lebih berbahaya. Salah dalam meletakkan skala prioritas bisa mengakibatkan penyimpangan dalam dakwah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita contoh dari skala prioritas tersebut. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz Radhiyallahu anhu ke negeri Yaman, beliau berkata kepadanya:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ
“ Engkau bakal mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikanlah awal dakwahmu kepada mereka adalah peribadatan kepada Allah semata. Jika mereka telah mengenali Allah, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka melakukannya maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada fakir miskin diantara mereka. Jika mereka mentaatinya maka ambillah harta-harta itu dari mereka, dan hindarilah harta-harta kesayangan mereka.” [5]
4. Tidak Memandang Rendah Orang Yang Didakwahi.

Sikap meremehkan ini dapat membuat orang yang didakwahi tidak mau mendengar dakwah kita. Janganlah sekali-kali mengesankan dirimu lebih baik daripadanya. Atau memandang dirimu lebih istimewa darinya. Atau membuatnya marah pada kesan pertama. Mu’tamir bin Sulaiman meriwayatkan bahwa ia mendengar ayahnya berkata, “Jangan harap orang yang telah engkau buat marah mau mendengarkan kata-katamu.” [6] Namun beri kesan bahwa engkau adalah saudara baginya. Hindarilah cepat-cepat menjatuhkan vonis secara membabi buta dan serampangan karena cara itu sama sekali tidak hikmah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana sikap seorang muslim kepada orang yang lebih tua dan yang lebih muda darinya. Yaitu menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Sikap menghargai orang lain terutama dalam konteks dakwah dapat mempermudah diterimanya dakwah kita.
5. Meninggalkan Perkara Mustahab (Sunat) Untuk Kekhawatiran Akan Menimbulkan Kemudharatan Yang Lebih Besar.

Al-Bukhâri telah membuat sebuah bab yang berjudul: “Meninggalkan perkara mustahab karena khawatir orang-orang salah memahami sehingga jatuh kepada kerusakan yang lebih parah lagi”. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ.
“Wahai ‘Aisyah, jika bukan karena menimbang kaummu yang baru – Ibnu Az-Zubair berkata, “Yakni baru meninggalkan kekufuran,”- niscaya aku sudah merombak Ka’bah, aku akan buat dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar.”
Ibnu Hajar menyebutkan beberapa faedah dari hadits tersebut, di antaranya: Dibolehkan meninggalkan sebuah maslahat demi mengindari mudharat dan tidak mengingkari kemungkaran jika khawatir akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah.
6. Berbicara Kepada Manusia Sesuai Dengan Daya Nalar Mereka Dalam Memahaminya.

Ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari kesalahpahaman yang berpotensi memicu konflik. Demikian pula dalam menyampaikan ilmu agama kepada manusia, harus diperhatikan tingkat pemahaman mereka dalam mencerna apa yang akan disampaikan, jangan sampai kata-kata kita menimbulkan fitnah bagi masyarakat awam. Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, bab mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum yang tidak disampaikan kepada kaum yang lain karena khawatir mereka tidak dapat memahaminya. Kemudian beliau membawakan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , “Berbicaralah kepada orang banyak dengan apa yang dapat mereka fahami, sukakah kalian bila mereka nanti mendustai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri mengatakan, “Hadits ini menunjukkan, sesuatu perkara yang masih samar tidak layak disebarkan ke tengah masyarakat awam. Perkataan Ali ini mirip seperti perkataan Ibnu Mas’ûd, “Tidaklah kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh akal suatu kaum, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebahagian mereka.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim. Diantara pembicaraan yang menurut imam Ahmad makruh disampaikan kepada suatu kaum tetapi boleh disampaikan kepada kaum yang lain adalah pembicaraan tentang hadits yang makna tekstualnya membolehkan pemberontakan terhadap penguasa. Menurut Imam Mâlik, hadits-hadits yang bercerita tentang sifat Allah Azza wa Jalla . Menurut Abu Yusuf, hadits-hadits gharîb. Sebelumnya Abu Hurairah juga berpendapat demikian, seperti yang disebutkan sebelumnya tentang dua kantung hadits, satu kantung tidak disampaikan oleh beliau karena khawatir akan membahayakan keselamatan beliau. Demikian juga dari Hudzaifah dan dari al-Hasan bahwa mereka berdua mengingkari tindakan Anas yang menceritakan kisah ‘Uraniyîn kepada semua jama’ah haji, karena hal akan dijadikan dalih untuk berlebihan dalam menumpahkan darah seseorang. Secara tekstual hadits tersebut terlihat seperti menguatkan kebid’ahan, padahal maksud hadits tersebut tidak sebagaimana yang difahami secara tekstual. Oleh sebab itu, jangan menyampaikan hal-hal seperti ini kepada orang-orang awam yang hanya bisa memahaminya secara tekstual saja. Wallâhu a’lam.”
Pedoman ini sangat penting diperhatikan oleh setiap juru dakwah, khususnya di Indonesia, agar bisa menekan potensi timbulnya fitnah di tengah masyarakat yang mayoritas belum memahami agama dengan benar.
7. Menyebarkan Sunnah Tanpa Menimbulkan Konflik.

Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi telah membuat sebuah bab dalam kitabnya, al-Adab asy-Syar’iyyah, “Pasal, menyebarkan sunnah dengan perkataan dan perbuatan, tanpa menimbulkan pertengkaran dan tanpa kekerasan”. Dalam pasal ini beliau membawakan beberapa riwayat dari para ulama di antaranya, “Seorang lelaki pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ia berkata, “Aku berada dalam sebuah forum yang disinggung perkara sunnah di dalamnya, tak ada yang tahu mengenai sunnah itu selain diriku, bolehkah aku membicarakannya?” Beliau menjawab, “Sampaikanlah sunnah dan jangan bertengkar karenanya.”
Demikian pula Imam Mâlik, beliau menganjurkan agar menyampaikan sunnah, namun bila tidak diterima lebih baik diam. [7]
Kesimpulan:

1. Pada asalnya dakwah harus disampaikan dengan hikmah dan lemah lembut.
2. Lemah lembut ini tidaklah menafikan sikap tegas dalam memegang prinsip, maka dari itu harus dibedakan antara mudaaraah dan mudaahanah.
3. Gangguan dan penentangan dari orang-orang jahil bisa saja muncul karena itu sudah menjadi sunnatullah.
4. Seorang da’i harus sabar dan berlapang dada menerima cobaan yang diterimanya dalam mengemban tugas dakwah.
5. Hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya, menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru dan berbicara sesuai situasi dan kondisi.
6. Konflik dan kontroversi bisa ditekan dan dihindari bila setiap juru dakwah memperhatikan hikmah dalam berdakwah.
7. Sabar dan santun adalah bekal yang paling berharga dalam mengemban tugas dakwah. Kesabaran akan melahirkan ketenangan dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu. Ketenangan itu berasal dari Allah Azza wa Jalla dan ketergesa-gesaan berasal dari setan. Dakwah yang dibangun atas sikap sembrono dan tergesa-gesa tidak akan membuahkan hasil yang positif. Bahkan sebaliknya, menimbulkan bencana demi bencana.
8. Hindari melontarkan komentar-komentar yang provokatif yang bisa memicu pertengkaran dan kerusuhan. Dan apabila muncul kesalahpahaman masyarakat tentang suatu isu yang menyangkut dakwah hendaklah segera dilakukan klarifikasi supaya fitnah tidak terlanjur menyebar dan membesar sehingga sulit terkendali.
Referensi:

1-Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim tulisan Ibnu Katsir.
2- Shahih al-Bukhaari.
3- Fathul Baari tulisan Ibnu Hajar al-Asqalaani.
4- Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih.
5- Haditsun Nafsi wa Jaulaatul Khaathir tulisan Abdul Ilaah bin Sulaiman Ath-Thayyar.
6- At-Ta’liqaat As-Saniyah Syarh Ushulu Ad-Da’wah As-Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun’im.
7-al-Adab al-Islamiyyah tulisan Abdul Aziz Sayyid Nadaa.
8- Majalah al-Buhuut al-Islaamiyyah Edisi 40.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/Rabiul Tsani 1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At-Ta’lîqâtus Saniyah Syarh Ushûlud Da’watis Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun’im.
[2]. Majalah al-Buhûtsul Islâmiyyah Edisi 40.
[3]. Dinukil dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr nomor 620.
[4]. Lihat buku Hadîtsun Nafsi wa Jaulâtul Khâthir tulisan Abdul Ilâh bin Sulaiman Ath-Thayyâr.
[5]. Hadits riwayat al-Bukhâri (1458) dan Muslim (19) dari Ibnu Abbâs.
[6]. Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).
[7]. Al-Adabusy Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).



Ukhuwah islamiyah

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : ((لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ [مِنَ الْخَيْرِ])) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Hamzah, Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Al-Bukhâri (no. 13).
2. Muslim (no. 45).
3. Ahmad (III/176, 206, 251, 272, 289).
4. Abu ‘Awanah (I/33).
5. At-Tirmidzi (no. 2515).
6. Ibnu Majah (no. 66).
7. An-Nasa`i (VIII/115).
8. Darimi (II/307).
9. Abu Ya’la (no. 2880, 3171, 3069, 3245).
10. Ibnu Hibban (no. 234, 235).

Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahîh keduanya, dari hadits Qatadah, dari Anas; sedangkan lafazh milik Muslim berbunyi:

حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ ، أَوْ قَالَ : لِجَارِهِ.

“Hingga ia mencintai untuk saudaranya; atau beliau bersabda: Untuk tetangganya ”

Dan Ahmad, Ibnu Hibban, dan Abu Ya’la mengeluarkan pula hadits yang semakna dengan lafazh:

لاَ يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ.

“Seorang hamba tidak dapat mencapai hakikat iman, hingga ia mencintai kebaikan untuk manusia seperti yang ia cintai untuk dirinya.”

SYARAH HADITS
Syaikh al-Albâni rahimahulllah berkata, “Ketahuilah bahwa tambahan ini مِنَ الْخَيْرِ (berupa kebaikan), adalah tambahan yang sangat penting yang dapat menentukan makna yang dimaksud dalam hadits ini, karena kata “kebaikan” adalah satu kata yang mencakup berbagai amal ketaatan dan perbuatan mubah, baik dalam masalah dunia maupun akhirat -selain yang dilarang karena kata “kebaikan” tidak mencakupnya- sebagaimana sudah jelas. Salah satu kesempurnaan akhlak seorang muslim, ialah ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim, seperti yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Demikian pula ia membenci kejelekan untuk saudaranya, seperti kebenciannya untuk dirinya sendiri. Meskipun hal ini tidak disebutkan dalam hadits, namun ini termasuk dalam kandungannya karena mencintai sesuatu mengharuskan membenci sesuatu yang menjadi lawannya.”[1]

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan [2]: “Riwayat Imam Ahmad rahimahullah di atas menjelaskan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim, dan bahwa yang dimaksud dengan tidak beriman ialah tidak mencapai hakikat dan puncak iman karena iman seringkali dianggap tidak ada karena ketiadaan rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ يِزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمَنٌ.

“Pezina tidak berzina ketika ia berzina sedang ia dalam keadaan mukmin; pencuri tidak mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam keadaan mukmin; dan orang tidak minum minuman keras ketika ia meminumnya sedang ia dalam keadaan beriman” [3]

Juga seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُؤْمِنُ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ.

“Tidak beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya” [4]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,“Para ulama mengatakan bahwa maknanya ialah tidak beriman dengan iman yang sempurna, karena pokok iman itu ada pada orang yang tidak memiliki sifat ini”.[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani t berkata, “Yang dimaksud ialah dinafikannya kesempurnaan iman. Penafian nama sesuatu dengan makna menafikan kesempurnaannya telah masyhur dalam dialek bangsa Arab, seperti perkataan mereka, ‘Si fulan itu bukan manusia’.” [6] Maksudnya, dinafikan salah satu sifatnya.

Al-Hafizh ‘Amr bin Shalah rahimahullah mengatakan, “Maknanya, tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai untuk saudara semuslim seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri”.[7]

Para ulama berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar; apakah dia dinamakan mukmin yang kurang imannya atau tidak dikatakan mukmin? Sesungguhnya yang benar dikatakan: dia muslim dan bukan mukmin menurut salah satu dari dua pendapat, dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad, atau ia mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya.

Adapun orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil, iman tidak hilang dari dirinya secara total, namun ia orang mukmin yang kurang beriman dan imannya berkurang sesuai dengan kadar dosa kecil yang ia kerjakan.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar dinamakan seorang mukmin yang kurang imannya diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dan merupakan pendapat Ibnul-Mubarak, Ishaq, Ibnu ‘Ubaid, dan selain mereka.

Maksud hadits di atas ialah di antara sifat iman yang wajib, adalah seseorang mencintai untuk saudaranya yang mukmin apa yang ia cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, maka imannya berkurang.[8]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانُ.

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan (tidak memberi) karena Allah, maka sungguh, telah sempurna imannya”.[9]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ.

“Barang siapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah ia menunaikan dan berbuat (kebaikan) kepada orang lain apa yang ia senang bila orang lain (berbuat baik) kepadanya”.[10]

Dalam Shahîh Muslim juga disebutkan dari hadits Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

يَا أَبَا ذَرٍّ! إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِيْ، لاَ تَتَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ، وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيْمٍ.

“Wahai, Abu Dzarr! Sungguh, aku melihat engkau sebagai orang yang lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku. Janganlah engkau memimpin dua orang, dan jangan pula memegang harta anak yatim”.[11]

Dari an-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

“Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam”.[12]

Ini menunjukkan, bahwa orang mukmin terganggu dengan apa saja yang mengganggu saudaranya yang mukmin dan sedih oleh apa saja yang membuat saudaranya sedih.

Dan hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan, bahwa orang mukmin dibuat gembira oleh sesuatu yang membuat gembira saudaranya yang mukmin dan menginginkan kebaikan untuk saudaranya yang mukmin seperti yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Ini semua terjadi karena seorang mukmin hatinya harus bersih dari dengki, penipuan, dan hasad. Hasad membuat pelakunya tidak mau diungguli siapa pun dalam kebaikan atau diimbangi di dalamnya, karena orang yang hasad senang lebih unggul atas seluruh kelebihannya dan ia sendiri yang memilikinya tanpa siapa pun dari manusia.

Sedangkan iman menghendaki kebalikannya yaitu agar ia diikuti seluruh kaum mukminin dalam kebaikan yang diberikan Allah kepadanya tanpa mengurangi sedikit pun kebaikannya.[13]

Dalam Al-Qur`ân Allah Ta’ala memuji orang-orang yang tidak ingin sombong dan tidak membuat kerusakan di bumi. Allah Ta’ala berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak membuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa”.[al-Qashshash/28:83].

Mengenai ayat ini, ‘Ikrimah dan selainnya dari para ahli tafsir mengatakan: “Maksud dari kata al-‘uluwwu fil ardhi, ialah sombong, mencari kehormatan, dan kedudukan pada pemiliknya. Sedangkan maksud al-fasâd, ialah mengerjakan berbagai kemaksiatan”.[14]

Ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak ingin disaingi orang lain dalam ketampanan itu tidak berdosa.

Imam Ahmad dan al-Hakim dalam Shahîh-nya dari hadits Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu Malik bin Mirarah ar-Rahawi berada di tempat beliau. Aku dapati Malik bin Murarah ar-Rahawi berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku telah diberi ketampanan seperti yang telah engkau lihat; oleh karena itu, aku tidak ingin salah seorang manusia mengungguliku dengan tali sandal dan selebihnya, apakah itu termasuk kezhaliman?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak. Itu tidak termasuk kezhaliman, namun kezhaliman ialah orang yang sombong.’ Atau beliau bersabda, ‘Namun kezhaliman ialah orang yang menolak kebenaran dan menghina manusia”.[15]

Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits semakna dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di haditsnya disebutkan kata al-kibru (sombong) sebagai ganti dari kata al-baghyu (kezhaliman). Pada hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan ketidaksukaan Malik bin Murarah untuk disaingi siapa pun dalam ketampanan sebagai bentuk kezhaliman atau kesombongan. Beliau juga menafsirkan kesombongan dan kezhaliman dengan arti merendahkan kebenaran, yang tidak lain adalah sombong terhadapnya dan menolak menerima kebenaran karena sombong jika kebenaran tersebut bertentangan dengan hawa nafsunya.

Dari sinilah salah seorang ulama Salaf mengatakan: “Tawadhu`, ialah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya kendati yang membawanya adalah anak kecil. Barang siapa menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya: anak kecil, atau orang dewasa, orang yang dicintainya, atau orang yang dibencinya, maka ia orang yang tawadhu`. Dan barang siapa menolak menerima kebenaran karena sombong terhadapnya, maka ia orang yang sombong”.

Sedangkan menghina manusia dan merendahkan mereka bisa terjadi dengan cara seseorang melihat pribadinya sebagai orang yang sempurna dan melihat orang lain sebagai orang yang tidak sempurna.

Kesimpulannya, seorang mukmin harus mencintai untuk kaum mukminin apa yang ia cintai untuk dirinya dan tidak menyukai untuk mereka apa yang tidak ia sukai untuk dirinya. Jika ia melihat kekurangan dalam hal agama pada saudaranya, ia berusaha untuk memperbaikinya.

Salah seorang yang shâlih dari ulama Salaf berkata: “Orang-orang yang mencintai Allah melihat dengan cahaya Allah, merasa kasihan dengan orang yang bermaksiat kepada Allah, membenci perbuatan-perbuatan mereka, merasa kasihan kepada mereka dengan cara menasihati mereka untuk melepaskan mereka dari perbuatannya, dan menyayangkan badan mereka sendiri jika sampai terkena neraka”.[17]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقْرَؤُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ.

“Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang: orang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang dan orang yang diberikan Al-Qur`ân oleh Allah kemudian ia membacanya di pertengahan malam dan pertengahan siang” [18]

Dan beliau bersabda mengenai orang yang melihat orang lain menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah, kemudian ia berkata:

لَوْ أَنَّ لِيْ مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ . فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ .

“Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan. Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama”.[19]

Adapun dalam hal kelebihan dunia, maka tidak boleh mengharapkan kelebihan seperti itu karena Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: “Mudah-mudahan kita memiliki harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: “Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar”. [al-Qashshash/28:79-80].

Tentang firman Allah Ta’ala.

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ

“(Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain….) -an-Nisâ`/4 ayat 32- yang dimaksud ayat di atas adalah hasad, yaitu seseorang menginginkan keluarga atau harta seperti yang diberikan kepada saudaranya, dan berharap semua itu berpindah tangan kepadanya. Ayat di atas juga ditafsirkan dengan keinginan yang dilarang syari’at dan melawan takdir, misalnya seorang wanita ingin menjadi laki-laki, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan agama seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki misalnya jihad, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan duniawi seperti yang dimiliki kaum laki-laki seperti warisan, akal, kesaksian, dan lain sebagainya. Ada juga yang menyatakan bahwa ayat di atas merangkum itu semua.

Kendati demikian, seorang mukmin harus bersedih karena tidak memiliki kelebihan-kelebihan agama. Oleh karena itu, dalam agama, seorang muslim diperintahkan melihat kepada orang yang berada di atasnya dan berlomba-lomba di dalamnya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, seperti difirmankan Allah Ta’ala:

وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“…Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”. [al-Muthaffifîn/83:26].

Seorang muslim tidak boleh benci diikuti orang lain dalam masalah agama. Justru, ia menyukai seluruh manusia terlibat dalam persaingan dalam kelebihan-kelebihan agama dan menganjurkannya. Dan ingat, semua ini harus dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala.

Beliau mengisyaratkan bahwa pemberian nasihat kepada manusia ialah hendaklah seorang mukmin suka kalau manusia berada di atas kedudukannya. Ini kedudukan dan derajat tertinggi dalam nasihat, namun tidak diwajibkan. Namun yang diperintahkan dalam syari’at ialah hendaklah seorang mukmin suka kalau manusia seperti dirinya dalam berbuat kebajikan. Kendati demikian, jika ada orang yang mengungguli dirinya dalam kelebihan agama, ia berusaha keras mengejarnya, sedih atas kelalaian dirinya, dan gundah atas ketertinggalannya dari menyusul orang-orang yang lebih dahulu dalam kebaikan.

Seorang mukmin harus terus melihat dirinya lalai dari kedudukan tinggi karena sikap seperti itu membuahkan dua hal yang berharga: (1) berusaha keras dalam mencari keutamaan-keutamaan dan meningkatkannya, dan (2) ia melihat dirinya sebagai orang yang kurang sempurna. [20]

Jika seseorang mengetahui bahwa Allah memberikan kelebihan khusus kepada dirinya dan kelebihan itu tidak diberikan Allah kepada orang lain kemudian ia menceritakannya kepada orang lain untuk kemaslahatan agama, ia menceritakannya dalam konteks menceritakan nikmat, dan melihat dirinya lalai dalam bersyukur, maka hal ini diperbolehkan.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku membaca salah satu ayat Al-Qur`ân kemudian aku ingin seluruh manusia mengetahuinya seperti yang aku ketahui.”[21]

FAWA`ID HADITS
1. Diperbolehkan menafikan sesuatu karena tidak adanya kesempurnaan padanya, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ.

“Tidak ada shalat ketika makanan telah disajikan”.[22]

Maksudnya, shalatnya tidak sempurna, karena hati orang yang shalat tersebut akan menjadi sibuk oleh makanan yang telah tersaji itu, dan contoh-contoh seperti ini sangat banyak.
2. Seseorang wajib mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Sebab, dinafikannya iman dari orang yang tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut, karena keimanan tidak boleh dinafikan kecuali karena hilangnya sesuatu yang wajib padanya atau adanya sesuatu yang menafikan keimanan tersebut.
3. Termasuk keimanan pula membenci untuk saudaranya apa yang dibenci untuk dirinya sendiri.
4. Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap sikap egois, membenci orang lain, hasad dan balas dendam, karena orang yang di dalam hatinya terdapat semua sifat ini berarti tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, bahkan ia berharap nikmat yang Allah berikan pada saudaranya yang beriman itu hilang darinya. Nas-alullâhas-salâmah wal-‘âfiyah.
5. Setipa mukmin dan mukminah wajib menjauhi sifat hasad (dengki, iri) dan sifat buruk lainnya karena dapat mengurangi imannya.
6. Hadits ini menunjukkan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang; bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan sebab melakukan maksiat.
7. Mengamalkan kandungan hadits ini menjadikan menyebarnya rasa cinta diantara pribadi-pribadi dalam satu masyarakat Islami dan akan saling tolong-menolong dan bahu-membahu sehingga bagaikan satu tubuh.
8. Mencintai kebaikan untuk seorang muslim merupakan salah satu cabang keimanan.
9. Berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan kesempurnaan iman.
10. Anjuran untuk mempersatukan hati manusia dan memperkuat hubungan antara kaum mukminin.
11. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang.
12. Umat Islam hendaknya menjadi laksana satu bangunan dan satu tubuh. Ini diambil dari bentuk keimanan yang sempurna yaitu mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri. Wallâhu a’lam.
Maraji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Kabîr.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. Jâmi’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
5. Kutubus-Sab’ah.
6. Musnad Abi ‘Awanah.
7. Musnad Abu Ya’la.
8. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
9. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
10. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
11. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
12. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi.
13. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari.
14. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/1/155-156).
[2]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/302).
[3]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2475), Muslim (no. Muslim no. 57), Ahmad (II/376), dan Ibnu Hibban (no. 186-At-Ta’lîqâtul-Hisân), dari Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Shahîh. HR. Al-Bukhâri (no. 6016), Muslim (no. 46), dan Ahmad (II/288) dari Sahabat Abu Hurairah.
[5]. Syarah Shahîh Muslim (II/16).
[6]. Fat-hul Bâri (I/57).
[7]. Syarah Shahîh Muslim (II/17).
[8]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikâm (I/303).
[9]. Hasan. HR Abu Dawud (no. 4681) dan al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 3469) dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu . Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash- Shahîhah (no. 380), dan hadits ini memiliki beberapa syawahid.
[10]. Shahîh. HR Muslim (no. 1844), Ahmad (II/161), Abu Dawud (no. 4248), an-Nasâ`i (VII/153), dan Ibnu Majah (no. 3956) dari Sahahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash c .
[11]. Shahîh. HR Muslim (no. 1826), Abu Dawud (no. 2868), an-Nasâ`i (VI/255), dan Ibnu Hibban (no. 5538-at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6011), Muslim (no. 2586) dan Ahmad (IV/270), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu , lafazh ini milik Muslim.
[13]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/306).
[14]. Lihat Tafsîr ath-Thabari (X/114-115).
[15]. Shahîh. HR Ahmad (I/385) dan al-Hakim (IV/182).
[16]. Sunan Abi Dawud (no. 4092) dengan sanad yang shahîh.
[17]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/308).
[18]. Shahîh. HR Ahmad (I/385, 432), al-Bukhâri (no. 73), Muslim (no. 816), Ibnu Majah (no. 4208), dan Ibnu Hibban (no. 90-at-Ta’lîqâtul-Hisân) dari Sahabat Ibnu Mas’ud.
[19]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul- Kabir (XXII/ 345-346, no. 868-870), dari Sahabat Abu Kabsyah al-Anmari Radhiyallahu ‘anhu.
[20]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/308-309).
[21]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/310).
[22]. Shahîh. HR Muslim (no. 560).