Saturday, March 10, 2018

Membongkar Kesesatan Sufi, Tarekat, Dan Tasawuf

Hasil gambar untuk sufi sesat

Sejarah Dan Fitnah Tasawuf

Orang-orang  sufi  pada  periode-periode  pertama  menetapkan untuk  merujuk (kembali) kepada Al-Quran  dan  As-Sunnah,  namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.

Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya  Talbis Iblis menyebutkan contoh,  Al-Junaid  (tokoh  sufi) berkata, “Madzhab  kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Dia  (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak  mengambil  Tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal  yang dianggap baik. Sebab Tasawuf itu berasal dari kesucian  mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”

Komentar  Ibnul  Jauzi, jika seperti ini  yang  dikatakan  para syeikh  mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain  muncul banyak kesalahan  dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan  diri  dari ilmu.

Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka  mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis  muka  dalam menegakkan  kebenaran.  Jika tidak benar, maka kita  tetap  harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan  suatu  kasus, Imam Ahmad  bin  Hanbal  (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang  syeikh yang  dikenal  karena suka menjamu makanan.”  Kemudian  ada  yang mengabarinya  bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah  menciptakan huruf-huruf,  maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika  itu pula  Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul  Jauzi,  Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).

Kapan awal munculnya Tasawuf
Tentang  kapan awal munculnya Tasawuf, Ibnul Jauzi  mengemuka­kan,  yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H.  Ketika pertama  kali  muncul, banyak orang yang  membicarakannya  dengan berbagai ungkapan. Alhasil, Tasawuf dalam pandangan mereka  meru­pakan  latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur  adukkan  yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis  memperdayai  orang-orang setelah itu daripada pengikut  mereka. Setiapkali  lewat  satu  kurun waktu, maka  ketamakan  Iblis  untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.

Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah  mengha­langi  mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada  mereka  bahwa maksud  ilmu  adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada  di  dekat mereka  dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam  kegelapan.

Di  antara  mereka ada yang diperdaya Iblis,  bahwa  maksud  yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka  pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan  harta dengan kalajengking, mereka  berlebih-lebihan dalam  membebani  diri,  bahkan di antara mereka  ada  yang  sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.

Sebenarnya  tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka  meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.

Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak

Kemudian  datang  suatu golongan yang lebih  banyak  berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan  hal-hal yang  melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan  hal-hal itu,  seperti  yang dilakukan  Al-Harits  Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan Tasawuf, menyendiri  dengan  ciri-ciri tertentu,  seperti  mengenakan  pakaian tambal-tambalan,  suka mendengarkan syair-syair, memukul  rebana, tepuk  tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah  thaharahdan  kebersihan. Masalah ini semakin lama  semakin  menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu,  berkata menurut  pandangannya  dan  sepakat untuk  menjauhkan  diri dari ulama.  Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi  mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at  seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat  khayalan-khayalan yang musykil, mereka  menganggap  rasa lapar  itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka  memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur  mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.

Kemudian  muncul beberapa golongan lain yang  mempunyai  jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka  ada  yang  berpendapat tentang  adanya  inkarnasi/hulul (penitisan)  yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk  dan  ada yang  menyatakan  Allah menyatu dengan  makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).

Perintis Tasawuf tak diketahui pasti

Abdur  Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus  Shufi  fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara  tepat siapa  yang  pertama kali menjadi sufi di kalangan  ummat  Islam. Imam  Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami  ting­galkan  kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran  yang  tidak percaya kepada Tuhan,  berasal  dari  Persia; orang  yang  menyelundup ke dalam Islam,  berpura-pura  –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu  yang  baru yang mereka namakan assama’  (nyanyian).

Kaum  zindiq  yang dimaksud Imam Syafi’i  adalah  orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian  yang mereka  dendangkan. Sebagaimana  dimaklumi, Imam  Syafi’i  masuk Mesir tahun 199H.

Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal  sebelum  itu. Alasannya, Imam Syafi’i  sering  berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:

“Seandainya  seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka  siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”

Dia  (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni Tasawuf selama 40 hari, lalu  akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis  Iblis, hal 371).

Semua  ini,  menurut Abdur Rahman Abdul  Khaliq,  menunjukkan bahwa  sebelum berakhirnya  abad kedua  Hijriyah  terdapat  satu kelompok  yang  di kalangan ulama Islam  dikenal  dengan  sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwi­fah (kaum sufi).

Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i  (767-820M),  dan pada mulanya berguru kepada Imam  Syafi’i.  Perkataan Imam  Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu  yang berada dalam lingkaran Tasawuf, banyak dikutip orang. Di  antara­nya  ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa  ten­tang  perkataan  Al-Harits  Al-Muhasibi  (tokoh  sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Aku  nasihatkan  kepadamu,  janganlah  duduk  bersama  mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.

Imam  Ahmad  memberi nasihat seperti itu karena  beliau  telah melihat  majlis  Al-Harits  Al-Muhasibi. Dalam  majlis  itu  para peserta  duduk dan menangis –menurut mereka–  untuk  mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita  cermati,  kini ada kalangan-kalangan muda  yang mengadakan daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun  nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang  mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah  perbuatan mereka itu  ada  dalam   sunnah Rasulullah ? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).

Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi

Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun  sebelum abad  ketiga  berakhir, Tasawuf telah muncul dalam  hakikat  yang sebenarnya,  kemudian tersebar luas di tengah-tengah  umat,  dan kaum sufi telah berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya  mereka sembunyikan.

Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal  perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa  seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan  keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat  agama Majusi,  kemusyrikan yang menyembah api, kemudian  menjadi  pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.

Sesungguhnya Tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah  dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain  bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan pengua­sa,  yakni  dia menyatakan bahwa Allah menyatu  dengan  dirinya, sehingga  para ulama yang semasa dengannya menyatakan  bahwa  dia telah kafir dan harus dibunuh.

Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap  Husain bin  Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian,  sufisme tetap  menyebar  di negeri Parsi, bahkan kemudian  berkembang  di Irak.

Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat

Tersebarnya  sufisme  didukung oleh Abu Sa`id  Al-Muhani.  Ia mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara  khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara  penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal  bakal thariqat/  tarekat sufiyah, kemudian secara  cepat tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko).

Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh Tasawuf,  mas­ing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah , kemud­ian  mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan  pengikutnya  yang tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i  (Rifa’iyah); di  Mesir  muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa  ibunya, siapa bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali

(Syadzaliyah/  Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari  thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.

Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi

Pada  abad  keenam,  ketujuh, dan  kedelapan  Hijriyah  fitnah sufisme  mencapai puncaknya.  Kaum  Sufi  mendirikan   kelompok-kelompok khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathi­miyah  (kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan  ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu  muncul, seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan  maulid  Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah  dan  khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi.

Propaganda  yang  dilakukan oleh  Daulah  Fathimiyah  tersebut berawal  dari Maghrib  (Maroko),  mereka  menggatikan kekuasaan Abbasiyah  yang  Sunni. Daulah Fathimiyah  berhasil  menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebat­inan tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam.

Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah muncul  berpuluh-puluh  thariqat  sufiyah,  kemudian  aqidah  dan syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.

Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi

Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) meme­rangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang diperangi adalah aqidah kaum Sufi.

Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.

Meskipun  mendapat serangan, Tasawuf, dan aqidah-aqidah  batil terus mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada  abad kedua belas hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan  sebab upaya beliau, Allah merealisasikan kemunculan  ke­bangkitan Islam baru.

Da`wah  Muhammad  bin Abdul-Wahhab disambut  oleh  orang-orang mukhlis  di seluruh penjuru dunia Islam. Namun,  daulah  sufisme tetap  memiliki  kekuatan di berbagai wilayah  dunia  Islam,  dan simbol-simbol Tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol Tasawuf yang dimaksudkan adalah kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau  guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah yang rusak dan batil  (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal 13-17).
dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
----------------------------------------------------------------------------

Sorotan Terhadap Tasawuf

Beberapa komentar tentang Tasawuf akan menjelaskan bahwa sebenarnya Tasawuf itu berasal dari luar Islam. Berikut ini komentar para ulama dan ilmuwan yang menyoroti Tasawuf.

Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah menulis:
“Ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi  dan para sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha.” (Ihsan Ilahi Dhahir, At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashadir hal 27, seperti dikutip Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Haqiqatut Tashawwuf / diterjemahkan menjadi Hakikat Tasawuf, Pustaka As-Salaf, Cet I, 1998/ 1419H, hal 19).
Komentar ilmuwan lainnya hampir sama.

“Jelas bahwa Tasawuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid.” (Dr Shobir Tho’imah, Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Masla­kan, Riyadh, Cet I, 1985M/ 1405H, hal 25, ibid hal 19).

Lebih jelas lagi, komentar berikut ini: “Sesungguhnya Tasawuf itu adalah tipuan/ makar paling hina dan tercela. Syetan telah membuatnya untuk menipu para hamba Allah dan memerangi Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Tasawuf adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai orang yang Rabbani (taat pada Tuhan), bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di dalamnya (ajaran kaum sufi, ed) ada Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nasranisme, dan Paganisme/ Berhalaisme.” (Syaikh Abdur Rahim Al-Wakil rahimahullah, Mashra’ut Tashawwuf, hal 19, ibid hal 19).

Syaikh Al-Fauzan menyimpulkan:
“Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran (dari) luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing (aneh) di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain.” (Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, terjemah Hakikat Tasawuf, hal 20).

Ucapan-ucapan Orang Shufi Sangat Tidak Layak

Ibnul Jauzi (w 597H) dalam Kitabnya, Talbis Iblis mencontohkan betapa ekstrimnya bualan orang sufi, hingga melewati batas dan menentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Karena orang-orang sufi jauh dari ilmu, ungkap Ibnul Jauzi, maka perhatian mereka tertuju kepada amal, lalu mereka sepakat menunjukkan kelemahlembutan yang menyerupai karamah, lalu mereka mengeluarkan berbagai macam bualan.

Diriwayatkan, Abu Yazid Al-Busthamy (tokoh sufi) berkata, “Aku ingin andaikata saja hari Kiamat sudah tiba, sehingga aku bisa memancangkan kemah di Neraka Jahannam.”

“Mengapa begitu wahai Abu Yazid?” tanya seseorang.

Dia menjawab, “Sebab aku tahu bahwa jika Jahannam melihatku, maka apinya akan padam, sehingga aku bisa menolong orang lain.”

Abu Musa As-Syibli berkata, saya mendengar Abu Yazid berkata: “Apabila telah ada hari Kiamat dan Dia memasukkan ahli surga ke surga dan ahli neraka ke neraka, maka mintakanlah padaNya untuk memasukkanku ke neraka. Lalu ditanyakan padanya (Abu Yazid), kenapa? Dia berkata: “Sehingga para makhluk tahu bahwa kebaikan­-Nya dan kelemahlembutanNya di dalam neraka menyertai para wali­-Nya.”

Komentar Ibnul Jauzi: “Benar-benar perkataan yang sangat menji­jikkan, karena dia telah menghinakan apa yang diagungkan Allah, yaitu perintah-Nya kepada Neraka. Padahal Allah juga telah pan­jang lebar menjelaskan masalah Neraka ini, seperti firman-Nya:

”Maka peliharalah diri kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (Al-Baqarah: 24).

“Apabila Neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS Al-Furqan/25:12).

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata,
“Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya neraka kalian ini, yang dinyalakan dengan Bani Adam, merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panas Jahannam.”

Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu benar-benar sudah cukup wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,
“Jahannam itu dilebihkan enam puluh tujuh bagian, yang semuanya seperti itu panasnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi , beliau bersabda:
Yu’taa bijahannama yaumaidzin lahaa sab’uuna alfa zimaamin ma’a kulli zimaamin sab’uuna alfa malakin yajurruunahaa.”
“Jahannam didatangkan pada hari itu ia memiliki tujuh puluh ribu belenggu, serta setiap belenggu dijaga 70.000 malaikat yang menyeretnya.” (HR Muslim). (Talbis Iblis, hal 341-342).

Dari Al-Junaid bin Muhammad, dia berkata, “Kemarin ada seseorang yang ingin bertemu denganku, yang berasal dari Bustham. Dia bercerita tentang Abu Yazid Al-Busthami yang pernah berkata, “Ya Allah, seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu bahwa Engkau akan mengadzab seseorang dari hamba-Mu dengan api neraka, maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku.”

Komentar Ibnul Jauzi, “Dari semua pernyataannya ini bisa dilihat secara jelas bagaimana keburukan perangainya. Terutama bualannya yang terakhir, sangat nyata kesalahannya, yang bisa dilihat dari tiga segi:

1. Tentang perkataannya, “Seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu”, kita sudah tahu bahwa Allah pasti akan mengadzab makhluk dengan api neraka, dan Allah telah menyebutkan sebagian nama-nama makhluk itu, seperti Fir’aun dan Abu Lahab. Maka bagaimana mungkin dikatakan “Seandainya”, jika sudah ada kepastian dan keputusan?

2. Tentang perkataannya, “Maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku”, berarti dia juga berbelas kasihan terhadap orang-orang kafir. Masih mendingan jika dia berkata, “Agar aku dapat membela orang-orang Mukmin.” Yang pasti, bualannya itu merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah.

3. Dia tidak tahu ketetapan Allah terhadap api neraka atau terlalu merasa yakin terhadap kesabaran dirinya. Padahal kedua-duanya tidak ada dalam dirinya. (Talbis Iblis, hal 246, terjema­hannya –Perangkap Syetan– Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cet I, hal 288).

Ibnul Jauzi mencontohkan bualan sufi lain lagi sebagai beri­kut:

Ibnu Aqil pernah menuturkan dari Asy-Syibli (tokoh sufi), bahwa dia berkata, sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan kelak Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Ad-Dhuha:

5). Demi Allah, Muhammad  tidak ridha karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya.”
Kemudian dia (Asy-Syibli) berkata, “Sesungguhnya Muhammad memintakan syafa’at bagi ummatnya, lalu aku memintakan syafa’at setelah beliau, bagi orang-orang yang ada di dalam neraka, se­hingga di sana tidak menyisa seorangpun.”

Ibnu Aqil berkata, “Anggapan Asy-Syibli yang pertama tentang Rasulullah  (tidak ridha karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya) adalah dusta, karena beliau ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang yang jahat. Dalam hubungannya dengan khamr (minuman keras) saja beliau sudah melaknat sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahwa beliau tidak ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang dzalim? Tentu saja ini anggapan yang salah dan menunjukkan kebodohan (tokoh sufi tersebut) terhadap syari’at.

Bualannya (Asy-Syibli-tokoh sufi) bahwa dia bisa memintakan syafa’at bagi semua orang, yang berarti melampaui Rasulullah , jelas merupakan kekafiran. Sebab selagi orang memastikan dirinya termasuk penghuni surga, maka dia justru menjadi penghuni neraka.

Lalu bagaimana mungkin dia membual dan memberikan kesaksian atas dirinya, bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada kedududukan Nabi dan bahkan melebihi kapasitas seorang Nabi yang memintakan syafa’at?

Ibnu Aqil berkata, yang mungkin aku punyai untuk melibas para ahli bid’ah adalah mulutku dan hatiku. Seandainya kemampuanku meluas ke dalam pedang pastilah aku aliri bumi dengan darah orang. (Talbis Iblis, hal 248, terjemahannya hal 290).

Diriwayatkan dari Abul Abbas bin Atha’, dia berkata, “Aku membaca Al-Quran, namun tidak kutemukan keterangan di dalamnya bahwa Allah menyebutkan seorang hamba, memujinya dan menimpakan cobaan kepadanya. Maka aku memohon kepada Allah agar Dia menimpakan cobaan kepadaku. Tak seberapa lama setelah itu, aku kehilangan duapuluh orang anggota keluarga, semuanya meninggal dunia.”

Bahkan, menurut kisahnya, hartanya juga ludes, tak seorangpun keluarganya yang masih hidup dan dia menjadi gila. Ketika dia sudah sembuh, yang pertama kali dia ucapkan adalah: “Benar apa yang kukatakan. Rupanya Engkau (Allah) telah menimpakan cobaan kepadaku secara semena-mena. Aku harus menanggung kehendakMu. Namun sangat mencengangkan, karena aku masih bisa bersabar.”
Ibnul Jauzi berkomentar, “Karena kebodohanlah yang mendorong Abul Abbas (orang sufi) memohon cobaan atas dirinya. Berarti dia merasa hebat dan kuat. Yang seperti ini merupakan tindakan yang amat buruk. Apa yang dia katakan terhadap Allah sama sekali tidak layak.”

Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Hushri (orang sufi) berkata: “Sejak lama aku tidak berlindung dari syetan jika aku hendak membaca Al-Quran. Karena siapakah syetan yang berani mendekati firman Allah?”

Komentar Ibnul Jauzi, “Tentu saja perkataannya ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan:

“Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindun­gan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” (An-Nahl: ayat 98).” (Talbis Iblis, hal 249, terjemahannya, hal 290).

Demikianlah sebagian dari bualan orang sufi yang diriwayatkan dan dikomentarai oleh Ibnul Jauzi, yang pada teks aslinya diri­wayatkan dengan nama-nama periwayatnya sebagaimana yang biasa diterapkan dalam periwayatan hadits yang disebut sanad.
--------------------------------------------------------------------------

Perbedaan Pokok Antara Islam Dan Tasawuf

Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan manhaj Tasawuf, dan perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber-sumber pengambilan agama dalam aqidah dan syari’ah. Demikian penegasan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam buknya Fadhoihus Shufiyyah (Cemar-cemarnya Sufisme), Maktabah Ibnu Taymiyyah, Kuwait, 1404H/ 1984M, halaman 43.

Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan aqidah terbatas pada wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul saja, yang hal itu yang kita miliki adalah Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits Nabi) saja. Adapun agama sufisme (Ad-Dienus Shuufii) –istilah Abdur Rahman Abdul Khaliq– yang mereka jadikan sumbernya adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para wali, dan kasyf (terbukanya tabir hingga mereka tahu yang ghaib) yang mereka dakwakan, dan tempat-tempat tidur (mimpi-mimpi), perjum­paan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salaam, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (ruhaniyyin).

Adapun sumber pengambilan syari’at bagi ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (Al-Hadits), Ijam’ (kesepakatan para ulama terdahulu generasi awal Islam), dan qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau Al-Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiaskan dengan gandum yang sudah ada nash hadit­snya).

Sedangkan bagi orang-orang Tasawuf, pembuatan syari’at mereka didirikan di atas mimpi-mimpi (tidur), Khidhir, jin, orang-orang mati, syeikh-syeikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syari’at. Oleh karena itu jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syari’at Tasawuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan: Jalan-jalan menuju Allah itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syeikh memiliki tarekat dan manhaj/ jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus, lambang-lambang khusus, dan ungkapan-ungkapan khusus. Maka Tasawuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan syari’at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu di bawah apa yang dinamakan Tasawuf.

Dan inilah perbedaan asasi (pokok/ dasar) antara Al-Islam dan Tasawuf. Islam itu agama yang muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan) aqidahnya, ibadahnya, dan syari’atnya. Sedangkan Tasawuf itu agama yang tidak ada batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah ataupun syari­’at-syari’atnya. Inilah perbedaan yang paling besar antara Al-Islam dan Tasawuf. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 43-44).

Garis-garis Besar Aqidah Sufisme

1. Aqidah sufisme mengenai Allah:

Orang-orang Tasawuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai “kebenaran” dengan ucapan “anal Haq” = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: “Akulah Tuhan.” )

Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam Tasawuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya.

Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggianNya dan Allah pun cinta pada zatNya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada, bentuk (copy) diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan namaNya, dan

bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memulia­kannya di syurga dan sebagai khalif di bumiNya. (Drs Shodiq SE, Kamus Istilah Agama, CV Sienttarama Jakarta, cetakan kedua, 1988, hal 122-123).

Kemudian akibat pendapatnya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran) 244H/ 858M ini dihukum bunuh pada tanggal 24 Zulqa’dah tahun 309H/ 26 Maret 922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi ‘l-lah (Ja’far Abu ‘l-Fadhl, yang berkuasa pada tahun 295-320H/ 908-932M. Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham yang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi’ah Qaramitah, suatu kelom­pok Syi’ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11. (lihat Ensiklopedi Islam, Kafrawi Ridwan dkk ed, PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet V, 1999, huruf H, hal 74-75).

Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Mansur Al-Hallaj (244-309H) dilahirkan di Persia, seorang cucu dari penganut Zoroaster, dibesarkan di Irak. Tokoh inilah yang terkenal dengan “Hululiyin” (para penganut faham panteisme) dan “Ittihadiyyin” (para penganut faham manunggaling kawula gusti). Ia ditu­duh kafir, dibunuh dan disalib karena 4 perkara yang dituduhkan kepadanya:

1. Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi’ah ekstrim).
2. Karena ucapannya: “Aku adalah Tuhan Yang Haq.”
3. Karena pengikutnya meyakini akan ketuhanan dirinya.
4. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Tentang kepribadiannya, banyak hal-hal yang tidak jelas. Pertama sikapnya yang sangat keras kepala, membangkang, dan ekstrim. Ia mengarang buku “Al-Thawwasin”, yang diteliti dan diterbitkan kembali oleh Louis Massignon (seorang orientalis).

(Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, Al-Mausu’ah al-Muyassarah fil Adyan wal Madzaahib al Mu’ashirah, diterjemahkan A Najiyulloh menjadi Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya, Al-Ishlahi Press, Cet I, 1995, jilid II, hal. 259).

Ulama yang hidup pada masa itu di antaranya At-Thabari ahli tarikh/ sejarah (w 923M/ tidak menemui disalibnya Al-Hallaj 932M). Al-Asy’ari (260-324H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham Mu’tazilah selama sekitar 40 tahun, kemudian berubah ke faham yang kini disebut Asy’ariyyah atau Asya’irah, dan kemudian rujuk ke Manhaj (jalan) Salaf (sahabat, tabi’ien dan tabi’it tabi’in) dengan menyusun Kitab Al-Ibanah, kitab Tauhid yang Manhajnya Salaf, namun para pengikut kini merujuknya bukan ke yang Salaf itu tapi ke yang Asy’ariyah yang berdekatan dengan faham Maturi­diyah. Beliau wafat tahun 935M, berarti masih hidup selama 3 tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 932M. Sedang Junaid Al-Baghda­di, mufassir shufi pertama, meninggal tahun 910M, saat itu Al-Hallaj baru berumur 2 atau 3 tahun, yang kemudian ketika umur 25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran fahamnya yang dinilai sangat membahayakan Islam.

Dan di antara aqidah sufi yaitu Wihdatul Wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya hamba dengan Tuhan, lihat pada Bab Nur Muhammad, Hakekat Muhammad, dan Wihdatul Wujud) di mana tidak ada pemisahan antara Khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap tokoh Tasawuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in, At-Tilmasani, Abdul Karim Al-Jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 44, Al-Fikrus Shufi cet 4, hal 58, As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 21, terjemahannya, hal 23-24).

Ada pula aqidah shufi yang namanya ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (Tasawuf) sedemikian rupa dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana’) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baka’ (tetap/ bersatu dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala).

Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh shufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam, Iran, 261H/ 874M).

Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat subuh Yazid al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya: Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa’budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).” Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.

Menurut pandangan para shufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham Tasawuf.

Dalam keadaan ittihad, seorang shufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami di atas (Sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku). Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata: Subhani subhani, ma a’dhama sya’ni (Maha Suci aku, Maha Suci aku, alangkah Maha Agungnya aku).

Al-Bustami juga berkata: Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah).

Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan –aneh-aneh– yang keluar dari mulut seorang shufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan shufi, kata-kata itu bukan keluar dari seorang shufi tetapi kata-kata Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui lisan seorang shufi tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbicara, tetapi aspek Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang ada pada diri shufi itulah yang sedang berbicara. (lihat Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 286-287).

Betapa jauhnya kepercayaan shufi itu dari Islam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala disamakan dengan jin atau syetan yang masuk ke diri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan (ke-jin-an/majnun), dan bicaranya ngaco (merancu tak keruan), hanya saja dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah sampai pada tingkatan (maqom) tertinggi –yang mereka tuduhkan– yakni ittihad, menyatu dengan Tuhan. Na’udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu.
Hanya saja, aqidah sesat ini ditampilkan dengan nada miring berupa pembelaan samar di buku yang disebut Ensiklopedi Islam di Indonesia ini, yang ditangani dan ditulis oleh orang-orang IAIN (Institut Agama Islam) Jakarta dan lainnya, yang memang editornya ada seorang profesor yang dikenal sebagai pengajar Tasawuf, sekaligus pembela Tasawuf. Pak profesor itu pernah mengajar Tasawuf kepada saya dan teman-teman 40-an orang di Jakarta 1997, yang rata-rata mempunyai jama’ah dan keluaran perguruan tinggi Islam dan insya Allah mampu membaca kitab. Saya katakan pada Pak Profesor Tasawuf itu dalam perkuliahan, bahwa Tasawuf itu bukan dari Islam, mengotori Islam. Apa itu kasyf (tersingkapnya hijab, hingga seorang shufi bisa mengetahui hal ghaib) yang dibeberkan Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111M/ 505H)? Itu bukan ajaran Islam,

karena teori itu Jayabaya yang sama sekali bukan orang Islam pun kemungkinan bisa, dengan istilah yang dikenal dengan “ramalan Joyoboyo”. Di samping itu, Al-Ghazali tidak memperhatikan Islam secara penuh. Dia masih hidup selama 25 tahunan ketika Perang Salib berlangsung (Tentara Salib menduduki Yerussalem tahun 1076M, sedang Al-Ghazali hidup 1058-1111M) , yaitu perang besar dan berkepanjangan antara Muslimin dengan Kristen. Namun sebagai ilmuwan, Al-Ghazali tidak terdengar adanya perhatian dia tentang perang jihad yang sangat besar itu, baik itu tulisan ataupun pidato, padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa, Sunan Mangkunegoro IV yang diangkat-angkat sebagai orang yang termasuk tokoh shufi (dijadikan tesis untuk doktor di IAIN Jakarta oleh Profesor tersebut dengan tema keshufian) ternyata dia (Mangkune­goro IV) itu sendiri jelas-jelas menulis syair yang menyatakan bahwa dirinya tidak shalat. Jadi Tasawuf itu jelas bukan ajaran Islam, bahkan mengotori Islam, tutur saya (penulis).

Bagaimana reaksi Pak Profesor yang bukan sekadar mengenalkan apa itu shufi, namun memang pembawa ajaran Tasawuf itu. Dengan muka yang cukup tegang (padahal beliau orang Solo Jawa Tengah dan sudah agak tua, yang tampaknya lembut tapi saat itu memerah wajahnya), beliau menunjuk-nunjuk saya sambil berkata: “Anda belajar di mana?! Keluaran mana?! Lalu belajar apa?!” dengan suara keras dan mengagetkan teman-teman yang berjumlah 40-an orang dalam ruang kuliah itu.

Setelah saya jawab, beliau hanya berseru: “Anda harus banyak belajar lagi!”

Ucapan-ucapan beliau itu, di luar perkuliahan dihafalkan oleh seorang teman, yang kalau bertemu saya lalu dia praktekkan, dengan menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata Pak Professor, kemudian ditutup dengan: “Ini marahnya seo­rang shufi, kamu harus tahu!” ucapnya sambil tertawa-tawa. Saya­pun tertawa saja ketika dicandai begitu.

Pada kesempatan berikutnya, rupanya pertanyaan saya kepada Bapak Profesor itu diambil hati (diperhatikan betul). Kemungkinan beliau lantas membuka-buka referensi atau rujukan kitab-kitab, untuk membantah ucapan muridnya ini. Lalu dalam perkuliahan selanjutnya, beliau menjawab tentang kasus Al-Ghazali tokoh shufi kasyf, dan Mangkunegara IV raja kerajaan (kasunanan) Mangkunega­ran Surakarta (Solo) Jawa Tengah, yang dipersoalkan tersebut. Kata Pak Profesor yang jadi salah satu editor Ensiklopedi Islam yang sedang dikritik ini, Al-Ghazali bukannya tak ada perhatian terhadap kegiatan Islam. Buktinya, Al-Ghazali juga pernah berkunjung ke Andalus, guna memberikan gelar kepada salah seorang anggota kekhalifahan di Andalus. Adapun Mangkunegara IV, toh di dalam Kitab Nailul Authar disebutkan bahwa shalat itu bisa dijama’. Nah, Mangkunagara IV itu sebelumnya dia “nyantri” di pesan­tren, lalu dipanggil untuk menjadi pegawai di kerajaan, jadi sibuk. Memang dalam dua baris syairnya, Mangkunegara IV menyebutkan dirinya tidak shalat.

Tak tahulah. Saya dan teman-teman tidak bisa “menjangkau” jawaban Pak Profesor itu. Apa hubungannya antara shalat boleh dijama’ dengan tidak shalatnya Mangkunagara IV, dan apa hubun­gannnya antara perhatian yang dituntut oleh Islam dengan bertan­dangnya Al-Ghazali untuk memberi gelar seorang anggota kekhalifa­han di Andalus? Yang bisa dijangkau hanyalah gumam yang kewetu (terlanjur keluar) dari lisan Pak Profesor, bahwa beliau ketika diuji tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunagara IV kaitannya dengan Tasawuf) di IAIN Jakarta tidak sampai seperti pertanyaan yang dicecarkan si murid ini.

Pada lain kesempatan, saya ceritakan hal tersebut kepada seorang teman. Lalu teman saya itu bercerita pula tentang model jawaban “marah” dari “syeikh” shufi yang pernah dia saksikan ketika mendapatkan kesempatan untuk penataran da’i internasional di Al-Azhar Mesir selama 3 bulan. Dalam suatu perkuliahan, ada peserta (da’i) dari Bangladesh yang mengkritik Tasawuf. Lantas guru yang “syeikh” shufi tidak menjawab kritikan itu dengan jawaban yang berkaitan dengan kritikan, namun hanyalah marah-marah disertai kata-kata, “Di negerimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak usah kamu mengkritik-kritik Tasawuf. Urusan di negerimu saja banyak sekali. Itu yang harus kamu urusi.”
Entah kenapa, kok ada kemiripan antara sesama guru besar Tasawuf baik yang ada di Jakarta maupun Kairo, kalau dikritik Tasawufnya lalu marah-marah, dan jawabannya ngaco (tidak relevan). Di samping itu ada kemiripan kenyataan pula, yang sekolah jauh-jauh ke Al-Azhar Mesir atau ke Pasca Sarjana IAIN Jakarta tahu-tahu di masyarakat menyebarkan Tasawuf. Tidak semuanya, tetapi bisa dibilang jarang sekali yang kritis terhadap sufisme. Sebagai bukti, profesor di IAIN Jakarta tersebut bukannya meng­kritik Mangkunegara IV yang tidak shalat, tetapi malahan mencari-carikan jawaban dengan mengemukakan bolehnya shalat jama’ (diga­bung antara dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya’). Padahal antara keduanya (tentang tidak shalat dan tentang bolehnya shalat jama’) itu tidak ada kaitannya.

Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini karena sering mendapat­kan kesempatan untuk menyaksikan ujian doktor di IAIN Jakarta, termasuk ujian beliau (yang jadi editor Ensiklopedi Islam itu), beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan tersebut. Ujian itu seperti biasanya, selalu dihadiri oleh Prof Dr Harun Nasution,

dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sebagai salah satu penguji. Berkali-kali saya bertugas meliput ujian doktor semacam itu, karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN Jakarta untuk meliputnya.

Apa yang kewetu dari lisan Pak Profesor bahwa ketika ujian justru tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti itu, memang betul. Karena Harun Nasution sebagai dekan memang sudah dikenal arah pemikirannya secara umum adalah mengarah kepada Mu’tazilah, filsafat, dan sufisme. (Untuk mengarahkan agar kenal dengan faham Mu’tazilah, misalnya Harun Nasution menanya kepada calon doktor yang diuji: “Apa makna Yahdillaahu man yasya’?” Lalu si calon doktor menjawab: “Allah memberi petunjuk kepada orang yang Allah kehendaki.” Kemudian disahut oleh Harun Nasution: “Itu makna menurut Ahlus Sunnah. Kalau menurut Mu’tazilah?” Bila calon doktor tak bisa menjawab, maka dituntun oleh Harun Nasution: “Allah memberi petunjuk kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki. Jadi yasya’ itu dhomirnya/ kata gantinya kembali kepada “man” yaitu orang itu sendiri”. Lantas calon doktor itu (maaf) tampaknya seperti kerbau yang dicocok hidungnya).

Meskipun sebenarnya dalam ujian yang saya saksikan itu ada penguji yang jeli dan mempertanyakan pula tentang shalat atau tidaknya Mangkunegara IV, namun wibawa dekan yakni Harun Nasution yang sudah bisa dimengerti bahwa sufisme ini jelas-jelas dia dukung, ataupun kondisi waktu bisa diatur oleh sang ketua ujian,

maka pertanyaan pun tidak sampai menukik benar. Bahkan, saya saksikan, pembangkitan kembali peninggalan Mangkunagara IV yang pembahasannya dikaitkan dengan sufisme (kedua-duanya ini sebenar­nya sudah terkubur, tapi digali kembali oleh tangan-tangan yang ‘kemungkinan mengotori Islam’) itu, mendapat sambutan yang baik dalam ujian tersebut. Dari sini bisa difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya adalah sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme (tidak boleh mengakui bahwa Islam sajalah yang benar) dicampur sufisme memang mendorong dimunculkannya ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis yang diujikan dan mendapat sambutan baik tersebut. Dan salah satu sarana yang disisipi misinya untuk disebarkan adalah Ensiklopedi Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang yang diberi proyek untuk menulis itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk membia­yai kuliahnya hingga mencapai doktor.

Pantaslah kalau penggalian kembali tulisan Mangkunegara IV tersebut dihargai, karena misinya sama dengan misi orientalis seperti Louis Massignon dan lain-lainnya yang menggali kembali peninggalan-peninggalan Tasawuf yang telah terkubur lalu ditam­pilkan lagi dan dicetak. Untuk apa? Untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat dengan penjajahan terhadap ummat Islam sedu­nia dan mengotori Islam, melemahkan serta merancukan. Dan missi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan pemerintahan Orde Baru dengan menteri-menteri agama Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmid­zi Taher, dan di zaman reformasi setelah jatuhnya Presiden Soe­harto adalah Menteri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan pengiriman dosen-dosen IAIN ke negeri-negeri Barat untuk belajar “Islam” warisan orientalis. Adapun menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tak begitu terdengar apakah ia menggencarkan atau tidak, walau masanya setelah Mukti Ali. Sedang Quraish Shihab yang jadi menteri agama selama 70 hari saja, karena Soe­harto keburu jatuh akibat didemo mahasiswa 21 Mei 1998, walau alumni Al-Azhar Mesir namun tidak tampak mencoba untuk membendung arus Harun Nasution yang pro orientalis. Bahkan sebelumnya, ketika Quraish jadi rektor IAIN pun tidak ada gaungnya alias tidak terdengar membendung Harunisme. Ketika buku ini ditulis, yang duduk sebagai dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta adalah Prof Dr Said Aqil Al-Munawar, seorang yang hafal Al-Quran dan berguru Hadits ke Syeikh Yasin Al-Padangi di Makkah.

Ustadz Aqil ini dari kalangan NU, beliau hafalannya kuat. Ketika saya sempat diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan, beliau sering sekali menyebut nama Abdul Fattah Abu Ghuddah (tokoh Ikhwanul Muslimin Syuriah, ada yang menggolongkannya shufi juga). Apakah Pak Aqil mendukung orientalis juga dan mendukung shufi, belum bisa saya berkomentar.

Yang jelas, terhadap shufi tentu tidak seperti tulisan saya ini. Sedang menteri agama angkatan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) September 1999 adalah Thalhah Hasan konon orang NU. Belum terdengar adanya penyetopan terhadap pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam alias sufisme yang diprogramkan orientalis dan Yahudi. Apalagi Presiden Gus Dur justru dikenal sebagai orang yang dari awalnya pro Yahudi Israel dan bersuara miring terhadap gerakan Islam murni. Jadi, paling kurang, program yang berbau orientalis dan Yahudi kemungkinan akan dilindungi oleh Gus Dur. Di samping itu, sekalipun Harun Nasution sudah meninggal dunia, namun kader-kadernya telah banyak, dan program­nya masih berjalan. Meskipun demikian, kebatilan yang mereka usung secara sistematis dan dibiayai oleh duit Muslimin lewat negara, insya Allah akan hancur juga, karena gelombang anti kolonialis, anti filsafat, anti Tasawuf, anti bid’ah, anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka tipuan Yahudi; sema­kin merebak. Di antara bukti nyata, gagasan reaktualisasinya.

Munawir Sjadzali, menteri agama yang lama, yang ingin merubah hukum waris Islam, dari 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan menjadi 1:1; karena Munawir menganggap hukum Islam tentang waris (yang menegaskan 2 bagian untuk laki-laki dan 1 bagian untuk perempuan) itu tidak adil, ternyata gagasannya itu luntur dengan habisnya masa jabatan kementrian Munawir 1993.

Mengenai pembelaan samar terhadap Tasawuf dalam buku Ensi itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut:

“Paham-paham ittihad, hulul ataupun wahdah al-wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama syari’at. Oleh sebab itu, para penulis tentang shufi atau Tasawuf pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah (masa subur dan berkembangnya paham Tasawuf), seperti Abu Bakar Al-Kalabadi (w 380H) dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (w 465H), enggan menulis masalah-masalah tersebut.
Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan kaum Orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya itu.” (Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 287).

Bagaimana buku itu menggambarkan seakan Tasawuf itu suatu yang berharga sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam baris-baris kutipan terakhir tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak dibuat sedemikian rupa, hingga para ulama pun disebut “ulama-ulama syari’at”, seakan Islam itu tidak komplit kalau tidak pakai Tasawuf. Sedang para ulama yang ahli hadits, fiqh, tafsir dsb yang tentu saja faham benar tentang sesatnya Tasawuf, disebutnya ulama-ulama syari’at.

Telah disebutkan di atas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal menasihati murid-muridnya agar tidak mendekati orang sufi. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat terkenal, yaitu Imam Hanafi (lahir di Kufah 80H- w. di Baghdad 150H/ 700-772M), Imam Maliki (Madinah 93- 179H/ 712-798M), Imam Syafi’i (Ghazza 150H/ 767M – w. di Fusthat Mesir 204H/820M), dan Imam Hanbali (Baghdad 164H/780M, w. di Baghdad 241H/855M). Dalam pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka itu disebut ulama syari’at (untuk maksud bahwa ada ulama Tasawuf) seperti penyebutan dalam Ensiklopedi itu, tetapi adalah Imam (madzhab) yang empat, artinya mereka itu ulama, yang tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad (mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum syara’ yang tidak ada dalam nash/teks ayat ataupun hadits) tanpa bersandar pada orang lain. Sehingga, ulama-ulama belakangan yang meneruskan ilmu para mujtahid atau imam madzhab tersebut, sebenarnya tidak perlu disebut ulama syari’at. Cukup disebut ulama. Namun orang shufi menyebutnya ulama syari’at karena dianggap tidak mengetahui yang batin atau yang ghaib. Padahal Nabi Muhammad  sendiri tidak mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi tidak tahu apa yang diperbuat Allah untuk Nabi sendiri esok (lihat dalam bab aqidah). Allah berfirman:

“Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah.” (An-Naml: 65).

Ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi , mereka mengang­gap bahwa Nabi termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka menyembunyikan sesuatu di dalam (genggaman) tangan mereka untuk beliau. Dan mereka berkata pada beliau: “Khabarkan pada kami, apa dia (yang ada dalam genggaman kami ini)? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan berteriak:
“Innii lastu bikaahinin, wa innal kaahina wal kahaanatu walkuhhaana fin naar.”

(Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu di dalam neraka.”) (HR Abu Dawud, 286).

Kembali kepada buku tersebut, untuk menegaskan satu sikap dari suatu buku, ataupun untuk mengemukakan bahwa shufi itu juga perlu dianggap bahwa di sana ada ulamanya, maka maksud-maksud itu bisa dibaca pula. Sebagaimana Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam bukunya yang menyoroti shufi itu menyebut shufi sebagai ad-dien as-shufi (agama sufi), bukan sekadar aliran shufi, karena memang shufi ataupun Tasawuf dinilai sebagai di luar agama Islam. Hanya saja bedanya, pihak yang satu (pembela shufi) ingin mendorong agar shufi atau Tasawuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang lain (penolak shufi) menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil bahwa shufi atau Tasawuf itu di luar Islam. Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti perin­tah Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS An-Nisaa’/ 4:59).

Coba kita kembalikan kepada Al-Quran atau Sunnah Rasul, apakah memang aqidah shufi itu cocok. Aqidah shufi terutama ittihad, hulul, dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan keghaiban yang tertinggi, yaitu dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal, Nabi  telah menegaskan:

Wallahi innii larosuulullaah, laa adrii maa yaf’alu bii ghodan.
Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti utusan Allah, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah kerjakan padaku esok.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari 3/ 358, 6/223 dan 224, 8/ 266 dalam Fathul Bari; dan riwayat Imam Ahmad 6/ 436 dari Ummul ‘Ala’ Al-Andhariyah dengan semacamnya).

Selanjutnya, untuk menuntaskan masalah ini, akan dibahas –insya Allah—dalam bab Lemahnya Alasan Shufi dan Pendukungnya.

2. Aqidah Shufi Mengenai Rasulullah 

Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah juga ada bermacam-macam aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa Rasul  tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang shufi). Dan Nabi  (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh Tasawuf seperti perkataan Busthami: “Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya.”

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila at-Tashawwuf ya ‘Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar: Kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada di kutub-kutub dunia) shufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding Nabi-nabi tentang Allah dan lebih mengerti tentang syari’atNya yang mengandung kecintaan dan kemarahan. Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah? komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. (Ila at-Tashawwuf ya ‘Ibadallaah, Jam’iyyah Ihyait Turats Al-Islami, halaman 40).

Di antara mereka (orang-orang shufi) ada yang mempercayai bahwa Rasul Muhammad itu adalah kubah alam, dan dia itulah Allah yang bersemayam di atas Arsy, sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (nur Muham­mad), dan dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam di atas Arasy Allah. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya/ pengikutna. (fadhoihus Shufiyyah, hal 44-45, Al-fikrus Shufi, hal 58-59, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal 22, terjemahnya halaman 24-25).

3. Aqidah Shufi Mengenai Wali-wali.

Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan keper­cayaan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang melebihkan wali di atas nabi. Pada umumnya orang shufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia (wali) itu mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam.

Orang shufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu di dunia ini, dan ada 4 Wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat di dunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan di satu benua dari 7 benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba’, yang mereka itu memiliki kekuasaan di kota-kota setiap wilayah di kota. Di kota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira’, setiap malam mereka melihat taqdir. Cekak aosnya (pendek kata), dunia perwalian (shufi) itu adalah dunia khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total.

Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegak­kan di atas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan (pertolongan) Allah. Sebenarnya wali itu tidak bisa menguasai urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan madharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.” (QS Al-Jinn/ 72:21). (Fadhoihus Shufiyyah, hal 45, Al-Fikrus Shufi, hal 59, As-Shufiyyah ‘Aqidah wa Ahdaf hal 22-23).

Sebagian cerita yang dikisahkan orang-orang shufi memang terjadi, namun bercampur dengan sihir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’is syaithan (perbedaan antara wali-wali Tuhan dan wali-wali syetan). Buku itu muncul waktu orang-orang mencampuradukkan antara sihir dan karamah. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik dari Bangsa Arab, India, Turki, Yunani, maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan dalam bidang ilmu, kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan tidak beriman kepada para Rasul, tidak membe­narkan berita-berita yang Rasul bawa, dan tidak mentaati perin­tahnya. Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman, dan bukan pula wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi dan dihampiri oleh syetan-syetan. Mereka dapat mengungkapkan beberapa perkara ghaib, mereka memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir. Mereka itu tukang sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah Ta’ala berfir­man:

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (As-Syu’ara: 221-223).

Mereka bersandar kepada Mukasyafat (penyingkapan perkara- perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid’ah dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah Ta’ala berfirman:

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf/ 43:36).

Pengajaran Allah (Dzikrur Rahman) adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya , yakni al-Quran.

Barangsiapa tidak beriman kepada Al-Quran, tidak membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling dari Al-Quran, kemudian syetan datang menjadi teman setia baginya.
Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Quran, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Syetanlah yang membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang. (Ibnu Taimiyyah, Al-Furqan baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’is syaithan, 1396H, hal 11 seperti dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan, Riyadh, cetakan I, 1410H, halaman 24-25, dan terjemahan Indonesia Mewaspadai Tasawuf, Wala Press, Bekasi, I, 1416H/ 1995, hal 28-30).

Wali Allah menurut Al-Quran

Wali Allah menurut Al-Quran tidak seperti yang digambarkan oleh orang Tasawuf. Tetapi wali Allah yaitu orang-orang yang beriman dan bertaqwa, seperti yang ditegaskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firmanNya:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha­watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akherat.” (QS Yunus/ 10: 62, 63, 64).

Dimaksudkan dengan wali-wali Allah dalam ayat ini ialah orang-orang mukmin dan mereka selalu bertaqwa, sebagai sebutan bagi orang-orang yang membela agama Allah, dan orang-orang yang menegakkan hukum-hukumNya di tengah-tengah masyarakat, dan seba­gai lawan kata dari orang-orang yang memusuhi agamaNya, seperti orang-orang musyrikin dan orang kafir.

Dikatakan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, karena mereka yakin bahwa janji Allah pasti akan datang, dan pertolonganNya tentu akan tiba, serta petunjukNya tentu membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka, mereka tetap bersabar menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakkal kepada Allah.

Dan tidak pula gundah hati, karena mereka telah meyakini dan rela bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan alam dan seluruh isinya tunduk dan patuh di bawah hukum-hukum Allah dan berada dalam genggamanNya. Mereka tidak gundah hati lantaran berpisah dengan dunia, karena kenikmatan yang akan diterima di akherat adalah kenikmatan yang lebih besar. Dan mereka takut akan menerima adzab Allah di hari pembalasan, karena mereka dan selu­ruh hatinya telah dibaktikan kepada agama menurut petunjukNya. Mereka tidak merasa kehilangan sesuatu apapun, karena telah mendapatkan petunjuk yang tak ternilai besarnya.

Kemudian daripada itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan siapa yang dimak­sud dengan wali-wali Allah yang berbahagia itu, dan apakah sebab­nya mereka itu demikian. Penjelasan yang didapat di dalam ayat ini; wali itu ialah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa. Dimaksud beriman di sini ialah orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-rasul-Nya, dan kepada hari qiyamat, dan segala kepastian yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, serta melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Sedang yang dimaksud dengan bertaqwa ialah memelihara diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, baik hukum-hukum Allah yang mengatur tata alam semesta, ataupun hukum syara’ yang mengatur tata hidup manusia di dunia.

Sesudah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa mereka mendapat khabar gembira, yang mereka dapati di dalam kehidupan mereka di dunia dan kehidupan mereka di akherat. Khabar gembira yang mereka dapati ini, ialah khabar gembira yang telah dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya. Khabar gembira yang mereka dapatkan di dunia seperti kemenangan yang mereka peroleh di dalam menegakkan kali­mat Allah, kesuksesan hidup lantaran menempuh jalan yang benar, harapan yang diperoleh sebagai khalifah di dunia, selama mereka tetap berpegang kepada hukum Allah dan membela kebenaran agama Allah akan mendapat husnul khatimah. Adapun khabar gembira yang akan mereka dapati di akherat yaitu selamat dari kubur, dari sentuhan api neraka dan kekalnya mereka di surga ‘Adn. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986, juz 11, halaman 418-419).

Ada orang yang mengatakan, bahwa wali Allah itu orang keramat, dapat mengerjakan perkara-perkara yang ajaib dan aneh, seperti berjalan di atas air, dapat menerka yang dalam hati orang dan sebagainya. Maka yang demikian itu, bukanlah menurut istilah Al-Quran, melainkan menurut istilah orang tasauf. Bahkan ada juga yang disebut wali Allah, orang yang kurang akalnya, dan ganjil perbuatannya. (Prof Dr H Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, PT Hidakarya Agung Jakarta, cetakan ke-27, 1988M/ 1409H, halaman 300).

Jelaslah bedanya, antara wali Allah menurut Al-Quran, dan wali Allah menurut orang Tasawuf atau shufi. Orang yang kurang akal­nya dan ganjil perbuatannya pun disebut wali, itu jelas di luar ajaran Al-Quran.

Mafhum mukhalafahnya (pengertian tersiratnya), ketika orang-orang justru mengangkat-angkat orang model terakhir itu sebagai wali dan dihormati, bahkan dijadikan pemimpin yang menentukan urusan orang banyak, boleh diduga keras bahwa orang-orang itu memang telah lari dari Al-Quran. Dan itulah sebenarnya bencana bagi ummat Islam. Namun anehnya, di khutbah-khutbah Jum’at atau di pengajian pun diserukan oleh para khatib –yang model itu– untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas telah dipilihnya orang yang mereka anggap wali –padahal sebenarnya sama sekali bukan– itu.

Ya Allah, tunjukilah hamba-hambaMu yang lemah ini, agar tidak terseret oleh ocehan mereka yang sangat jauh dari ajaranMu itu.

4. Aqidah Shufi Mengenai Surga dan Neraka:

Mayoritas orang shufi (menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut surga merupakan suatu aib besar. Seorang wali tidak boleh menuntutnya (mencari surga) dan barangsiapa menuntutnya, dia telah berbuat aib.

Menurut mereka, yang patut dituntut adalah al-fana’ (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala) yang mereka klaim (dakwakan) terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam… Inilah surga orang shufi yang mereka klaim.

Adapun mengenai neraka, orang-orang shufi berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang shufi yang sempur­na. Karena takut terhadap neraka itu watak budak dan bukan orang-orang merdeka. Di antara mereka ada yang berbangga diri bahwa seandainya ia meludah ke neraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid al-Busthami (Parsi, w. 261H/ 874M). Dan orang
shufi yang berkeyakina dengan Wahdatul Wujud (menyatu dengan Tuhan), di antara mereka ada yang mempercayai bahwa orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan keni’matannya, tidak kurang dari keni’matan surga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 46). Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi, Fushushul Hukm.

Orang jahil di masa kita sekarang kadang menyangka bahwa aqidah mengenai surga (model shufi) ini adalah aqidah yang ting­gi, yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan lagi (jelas) menyelisihi aqidah kita yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa:

Mereka berdo’a kepada Kami dengan harap (roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’.” (QS Al-Anbiyaa’: 90).

Ar-roghob yaitu mengharapkan surga Allah dan keutamaanNya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksaNya, padahal para nabi itu mereka adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya, keimanannya, dan keadaannya.

Dan (landasan) dari As-Sunnah: Perkataan seorang Arab Badui kepada Nabi :

“Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dandanik –suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu’adz. Namun hanya aku katakan, “Ya Allah, aku mohon surga kepadaMu, dan berlindung kepadaMu dari neraka.” Lalu Rasulullah  berkata: “Sekitar itu juga bacaan lirih kami.” (Hadits Riway­at Ibnu Majah).

Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang shufi untuk diwujud­kan yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan (surga) dan tanpa merasa takut (neraka), maka menyeret mereka kepada bencana. Mereka berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana’ (meleburkan diri) dengan Tuhan, dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab (merasa melekat dengan Tuhan), kemud­ian menyeret mereka pula kepada al-hulul (inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan hamba/manunggaling kawula Gusti). (As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 26-27).

5. Aqidah Shufi Mengenai Iblis dan Fir’aun

Mengenai iblis, kebanyakan orang shufi, khususnya para penga­nut kepercayaan wihdatul wujud, berkeyakinan bahwa iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama tauhid­nya. Karena menurut anggapan mereka, iblis tidak mau sujud kecua­li kepada Allah. Dan mereka mengklaim bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan memasukkannya ke surga. Demikian pula anggapan mereka, Fir’aun adalah seutama-utamanya orang yang mentauhidkan (mengesakan) Allah (muwahhidien). Karena Fir’aun berkata: “Saya adalah Tuhanmu yang tertinggi” maka ia mengetahui hakekat, karena setiap yang wujud itu adalah Allah, kemudian dia (Fir’aun) menurut klaim mereka, telah beriman dan masuk surga. (lihat Syarh Fushushul Hukm, halaman 418, Fadhoihus Shufiyyah,

hal 47, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal 27-28, Al-Fikrus shufi, hal 60).
dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
--------------------------------------------------

Definisi Tarikat Sufi – Arti Tarekat Shufi – Makna Thariqot Sufi – Pengertian Tareqat – Tareqot Sufi – Toriqot Sufi

Tarikat atau tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan; Ilmu batin, Tasawuf.

Perkataan Tarikat (“jalan” berTasawuf yang bersifat praktis) lebih dikenal ketimbang Tasawuf, khususnya dalam kalangan para pengikut awam yang merupakan bagian terbesar.

Tarikat tidak membicarakan filsafat Tasawuf, tetapi merupakan amalan (Tasawuf) atau prakarsanya. Pengalaman tarikat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersi­fat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-prak­tek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah. Para kyai menganggap dirinya sebagai ahli tarikat. (Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa Jakarta 1988, II, hal 707).

Selanjutnya, tentang tarikat ini kami kutip dari buku tersebut (leksikon Islam), karena sudah dirangkum dengan kondisi Indonesia sehingga mudah dicerna. Setelah itu baru kami ambilkan komentar tentang tarikat dari berbagai sumber lain. Sehingga pembeberan tarikat yang kami kutip berikut ini merupakan bahan yang akan dikomentari sesudahnya.

Dalam tradisi pesantren terdapat dua bentuk tarikat: (1) yang dipratekkan menurut cara-cara yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tarikat, (2) yang dipratekkan menurut cara di luar ketentuan organisasi-organisasi tarikat.

Tidak semua organisasi tarikat menganut sistem kepercayaan dan praktek keagamaan yang sama. Terdapat dua kelompok (a) yang sepenuhnya sejalan dengan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan hadis; (b) yang tidak memiliki kaitan yang cukup kuat dengan Al-Qur`an dan hadis.

Berikut ini ada beberapa tarikat-tarikat yang menerangkan nama pendirinya, wafat pendirinya, tempat tarikatnya, pengaruhnya, asal-usulnya dan keterangan-keterangan yang perlu.

Tarikat  Haddadiah
Tarikat yang didirikan oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang wafat 1095M di Yaman. Banyak orang yang takut ikut tarikat­nya berhubung ratibnya yang terkenal, Ratib Al-Haddad, dipercayai sebagai doa selamat yang bermantera. Pengaruhnya tak hanya di Aceh, tapi hampir di seluruh negara Indonesia.

Tarikat  Khalwatiah
Tarikat yang diprogandakan dalam abad-18 oleh Syaikh Mustafa Al-Bakri di Mesir dan Suriah. Salah seorang tokoh tarikat ini ialah Ahmad At-Tijani yang berasal dari Aljazair.

Tarikat  Maulawiah


Tarikat yang didirikan oleh Maulwi Jalaluddin Ar-Rumi, meninggal dunia di Anatoila, Turki. Zikirnya disertai tarian mistik dengan cara keadaan tak sadar, agar dapat bersatu dengan Tuhan. Penga­nut-penganutnya bersifat pengasih dan tidak mengharapkan kepen­tingan diri sendiri, serta hidup sederahana menjadi teladan bagi orang lain.


Tarikat  Mu`tabarah Nahdliyin
Para kyai pada tanggal 10 Oktober 1957 mendirikan suatu badan federasi bernama Pucuk Pimpinan Jam`iyah Ahli Tariqah Mu`tabarah, sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar N.U. (nahdlatul Ulama) 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar N.U. 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya pimpinan tert­inggi badan ini ialah para kyai ternama dari pesantren-pesantren besar.

Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa badan ini bertujuan:

(1) meningkatkan pengamalan syariat Islam di kalangan masyarakat;

(2) mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu Mazhab yang empat; dan

(3) menganjurkan para anggota agar meningkatkan amalan-amalan Ibadah dan Muamalah, sesuai dengan yang dicontohkan para ulama salihin.


Pasal 4 menyatakan bahwa badan ini akan tetap setia kepada paham Ahlussunnah wal-Jama`ah.

Alasan utama mendirikan badan federasi ini adalah:


(1) untuk membimbing organisasi-organisasi tarikat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan Al-Qur`an dan hadis;

(2) untuk mengawasi organisasi-organisasi tarikat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenar kan oleh ajaran-ajaran agama.


Tarikat  Naqsyabandiah


Tarikat ini mula-mula didirikan di Turkestan oleh Bahiruddin Naqsyabandi (sumber lain menyebutkan, Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari 1317-1389M, bukan Imam Al-Bukhari perawi Hadits, pen) dan di Indonesia termasuk tarikat yang paling ber­pengaruh. Pimpinannya, Sulaiman Effendi, mempunyai markas besar yang terletak di kaki gunung Abu Qubbais di pnggiran kota Makkah. Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda dulu, serta di bekas jajahan Inggris di daerah Melayu.

Pada umumnya tarikat ini paling banyak pengikutnya di Jawa sejak abad ke-19 sampai saat ini.



Tarikat ini adalah tarikat terbesar di dunia, juga di Indonesia, dan dianggap paling terawat baik. Ada seleksi untuk jadi pengi­kutnya. Markasnya di Jawa ada di Jombang, Semarang, Sukabumi, Labuhan Haji (Aceh) di pesantren Syaikh Waly, Khalidi.


Tarikat  Qadiriah
Asal mulanya di Bagdad, dan dipandang paling tua. Pendirinya ialah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077-1166M). Mula-mula ia seorang ahli bahasa dan ahli Fiqih dari mazhab Hambali. Tulisannya pada umumnya berdasarkan ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama`ah. Ada sejumlah bukunya yang ditulis oleh murid-muridnya yang menceritakan kesaktiannya.

Pelajaran Tarikat Qadiriah tidak jauh berbeda dari pelajaran Islam umum. Hanya saja tarikat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarikatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan.

Kaum Qadiriah terlalu menyamakan Tuhan dengan manusia. Paham Qadiriah pada hakikatnya adalah sebagian dari faham Mu`tazilah, karena imam-imamnya orang mu`tazilah. (Apa yang ditulis di Leksikon Islam ini, agaknya rancu dengan aliran Qada­riyah, yaitu aliran yang menganggap bahwa manusia ini bebas dan berkuasa penuh untuk menentukan dirinya, tidak ada campur tangan Tuhan, lawan dari aliran Jabbariyah yang menganggap manusia hanya bagai wayang yang seluruhnya dijalankan oleh dalang, semuanya digerakkan oleh Tuhan tanpa ada upaya manusia, pen. Selanjutnya, Leksikon Islam itu menulis:)

Ada anggapan membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatra. (Ini jelas bid’ah dan sesat, lihat Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nisfu Sya’ban, Manakib Syaikh AK Jailany oleh HSAAl-Hamdany, Pekalon­gan, 1971, dan Kitab Manakib Syekh AbdulQadir Jaelani Merusak Aqidah Islam oleh Drs Imron AM, Yayasan Al-Muslimun Bangil Jatim, cetakan keenam, 1411H/ 1990, pen).


Kadang kala tarikat ini digabung dengan Naqsyabandiah menjadi Tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Seperti halnya di Suryalaya (Tasikmalaya Jawa Barat, dipimpin Abah Anom, yang sering dikun­jungi Harun Nasution, pen) dan Jombang (Jawa Timur, daerah kelah­iran Presiden Gus Dur, pen).


Tarikat Qadiriah Naqsyabandiah
Gabungan ajaran dua tarikat, yaitu Tarikat Qadiriah dan Tarikat Naqsyabandiah. Pendirinya Syaikh Khatib Sambas. Tarikat ini merupakan sarana yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di Indonesia dan Malaya dari pusatnya di Makkah antara pertenga­han abad ke-19 sampai dengan perempat pertama abad ke-20.

Tarikat  Rifa’iah
Didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Ali-Abul Abbas (wafat 578H/1183M). Syaikh Ahmad, yang konon guru Syaikh Abdul Qadir Jilani, begitu asyik berzikir hingga tubuhnya terangkat ke atas, ke angkasa. Tangannya menepuk-nepuk dadanya. Kemudian Allah memerintahkan kepada bidadari untuk memberinya rebana di dadanya, daripada menepuk-nepuk dada.

Tapi Syaikh Ahmad tidak ingat apa-apa; begitu khusuknya, sehingga ia tak mendengar suara rebananya yang nyaring itu. Padahal selu­ruh dunia mendengar suara rebana itu.

Tarikat ini agak fanatik dan anggotanya dapat melakukan hal-hal yang ajaib, misalnya makan pecahan kaca, berjalan di atas api, dan sebagainya. Rifa`iah, yang memang merinci tarikatnya dengan rebana, di Aceh dulu pernah berkembang besar dan disebut Rapa’i sudah sulit mencarinya yang asli, yang masih berpegang teguh pada ajaran.


Tarikat Samaniah
Tarikat yang dikenal di Jawa Barat dan Aceh, didirikan oleh Syaikh Muhammad Saman Dari Madinah, Arab Saudi, yang wafat tahun 1702 M. Manaqib (riwayat hidup) Syaikh Saman banyak dibaca orang yang mengharap berkah. Manaqib itu ditulis oleh Syaikh Siddiq Al-Madani, murid beliau.

Di situ tertulis: “barang siapa berziarah ke makam Rasullah tanpa meminta izin kepada Syaikh Saman ziarahnya sia-sia.” (Ini contoh kebatilan yang nyata, pen).

Juga disebutkan: “Siapa yang menyeru nama Syaikh tiga kali, hilang kesedihannya. Siapa yang makan-makanannya masuk surga. Siapa yang berziarah ke makamnya serta membaca doa-doa untuknya, diampuni dosanya.” (ini benar-benar mengada-ada atas nama agama, na’udzubillahi min dzaalik, pen). Tarikat Saman sekarang menjadi tari Seudati di Aceh. Zikir Saman mulanya hampir sama dengan zikir-zikir yang lain. Namun kemudian berkembang menjadi zikir yang ekstrim.


Tarikat Sanusiah
Tarikat yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Ali As-Sanusi, tahun 1837, di Aljazair, meninggal dunia tahun 1957. Pusat tari­kat ini di Libia.

Tarikat Siddiqiah
Asal-usul tarikat ini tidak begitu jelas, dan tidak terdapat di negara-negara lain. Muncul dan berkembang di Jombang, Jawa Timur, dimulai oleh kegiatan Kiyai Mukhtar Mukti yang mendirikan tarikat ini tahun 1953.

Tarikat Syattariah
Tarikat yang dibangun oleh Syaikh Abdullah Syattari di India. Tarikat ini di Jawa masih ada, misalnya di sekitar Madiun. Di Aceh dulu mengalami puncaknya di zaman Sultanah (Ratu) Safiatud­din. Tarikat ini dibawa oleh Syaikh Abdurra’uf Sinkil yang kemudian bergelar Syiah Kuala.

Tarikat Syaziliah
Tarikat yang didirikan oleh Ali As-Syazili, terdapat di Afrika Utara, dan Arab, juga Indonesia, walaupun tidak luas tersebarnya dan pengaruhnya relatif kecil.

Tarikat  Tijaniah
Tarikat yang didirikan oleh Ahmad At-Tijani. Tarikat ini dengan cepat meluas di Afrika Barat dan di negara-negara lain, antaranya Indonesia. Di Afrika tarikat ini telah banyak yang mengislamkan orang-orang Negro. (Ahmad At-Tijani ini mengaku dirinya adalah al-qothbul maktum yang menjadi perantara/ penengah antara semua anbiya’ (para nabi) dan auliya’ (para wali). Lihat Ilat Tashawwuf ya ‘Ibadallah oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Jam’iyyah Ihyait Turats al-Islami, hal 42, pen).

Tarikat  Wahidiah
Tarikat yang ini didirikan oleh Kyai Majid Ma`ruf di Kedonglo, Kediri (Jawa Timur), 1963. Teoritis tarikat ini terbuka sifatnya, karena orang tidak usah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota: siapa saja yang mengamalkan zikir salawat wahidiah sudah dianggap sebagai anggota.

Motivasi mendirikan tarikat ini adalah meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Pendirinya menganggap masyarakat Jawa dewasa ini mengalami kekosongan agama dan keji­waan. Itulah sebabnya ia mengajak masyarakat Islam agar mening­katkan ketakwaannya kepada Tuhan dengan setiap kali mengucapkan zikir “fafirruu ilallaah”, artinya: “marilah kita kembali ke jalan Allah.”

Begitulah beberapa tarikat dari buku Leksikon Islam 2.

Bantahan terhadap Tarikat

Ulama dan ilmuwan Indonesia yang gigih meluruskan bahkan membantah keras tentang tarekat di antaranya HSA Al-Hamdani dari Pekalongan Jawa Tengah dengan bukunya Bantahan Singkat terhadap Kelantjangan Pembela Tashawuf dan Tarekat, 1972; Sorotan-sorotan terhadap Kitab-kitab Wirid -Dzikir- Hizb Doa dan Sholawat; juga Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Shufi dan Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nishfu Sya’ban, manakib Sjaich AK Djailany. Sang­gahan lain juga ditulis oleh Drs Yunasril Ali, dengan judul Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat. Sedang Abdul Qadir Jaelani da’i dari Bogor Jawa Barat menulis bantahan dengan judul Koreksi terhadap Tasawuf. Juga bantahan-batahan yang ditulis dalam tanya jawab, misalnya oleh Ustadz Umar Hubeis dalam kitabnya, Fatawa dll.

Berikut ini kami kutip sebagian bantahan Drs Yunasril Ali, kemudian HSA Al-Hamdany. Sedang bantahan dari kitab-kitab Arab banyak pula, namun karena masalah tarekat ini orang Indonesia juga ikut-ikut mendirikannya (menciptakannya) bahkan mengorgani­sasikannya, maka kami kemukakan bantahan dari ulama dan ilmuwan Indonesia.

Drs Yunasril Ali dalam bukunya Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat menjelaskan, masing-masing tarekat itu merumuskan amalan-amalannya sendiri-sendiri, sehingga antara satu dengan yang lain saling berbeda cara amaliahnya. Namun demikian amaliah yang berbeda-beda itu semuanya mereka nisbahkan kepada dua sahabat besar: Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shid­diq. Entah mana yang benar di antara tarekat-tarekat itu yang berasal dari Ali dan Abu Bakar, wallahu a’lam.

Dasar mereka mendirikan tarekat ialah:
1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar. ” (QS Al-Jinn/ 72:16).

2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia memperseku­tukan siapa pun dalam beribadah kepada Tuhan.” (QS Al-Kahfi/ 18:110).

3. Hadits:

Qoola ‘Aliyyubnu Abii Thoolib: Qultu: Yaa Rasuulallaah, ayyut thoriiqoti aqrobu ilallooh? Faqoola Rasuulullaahi : Dzikrul­loohi.

Artinya: Ali bin Abi Thalib berkata: saya bertanya: Ya Rasulal­lah, “Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan? Maka Rasulullah  menjawab, “dzikir kepada Allah.” (Dr Mustafazahri, Kunci Memahami Tasawuf, halaman 87, seperti dikutip Drs Yunasril Ali halaman 54).

Koreksi (dari Drs Yunasril Ali): Di dalam Al-Quran didapati kata “thariqah” dan musytaqnya (pecahan kata yang berasal darinya) di sembilan tempat yaitu:
1. firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Mereka berkata: hai kaum kami, sesungguhnya kami men­dengar kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS Al-Ahqaaf/ 46:30).

2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kedhaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa-dosa) mereka dan tidaklah akan menunjukkan jalan kepada mereka.” (QS An-Nisaa/ 4:168).

3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (sambungan ayat no.2):

Artinya: “Kecuali jalan ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS An-Nisaa’/ 4:169).

4. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka!” Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan sehari saja.” (QS Thaha/ 20:104).

5. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hambaKu (Bani Israel) di malam hari, maka bikinlah untuk mereka [1]jalan[1] yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).” (QS Thah/ 20:77).

6. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.” (QS Thaha/ 20:63).

7. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar.” (QS Al-Jinn/ 72:16).

8. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh langit); dan Kami tidaklah lengah terha­dap ciptaan (Kami)”. (QS Al-Mu’minuun/ 23:17).

9. Dan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Dan sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang shalih dan di antara Kami ada pula orang yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS Al-Jinn/ 72:11).

Demikianlah penulis kutip di sini 9 buah kata “thariqah” dan musytaqnya yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Tidak satupun yang menunjukkan kepada tarekat yang dipropagandakan oleh penga­nutnya, yang mereka berdzikir tanpa sadar diri dan tidak pula ingat kepada Tuhan lagi.
Untuk lebih jelas, penulis kemukakan arti thoriqoh dalam ayat-ayat di atas dengan mengutipnya dari tafsir-tafsir yang mu’tabar, sebagai berikut:
1. Kata “thariqin” dalam surat al-Ahqaf ayat 30 artinya ialah “Agama Islam” (Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XV hal. 94).

2. Kata “thariqon” dalam surat An-Nisaa’ ayat 168 artinya ialah “satu jalan dari jalan-jalan menuju jahannam”. (Al-Jalalain, Tafsir Al-Quranil Kariem, juz I, hal. 94).

3. Kata “thoriqo jahannam” dalam Surat An-Nisaa’ ayat 169 artinya ialah “jalan yang menyampaikan orang menuju jahannam”. (ibid).

4. Kata “thoriqoh” dalam Surat Thaha ayat 104 artinya ialah “jalan” (ibid, juz II, hal 26). Ada pula ahli tafsir yang mengatakan “jalan yang lurus” di sini ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalnya di antara orang-orang yang berdosa itu.

(Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, note hal. 488).
5. Kata “thoriqon” dalam S Thaha ayat 77 berarti “Allah menger­ingkan bumi sebagai jalan bagi Musa dan kaumnya.” (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 24).

6. Kata “thoriqoh” dalam S Thaha ayat 63 ada yang mengartikannya dengan “keyakinan (agama)” (Departemen Agama RI, Opcit, hal. 482). Dan ada pula yang menafsirkannya dengan “Bani Israel”. (Az-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kassyaf, Jilid II, hal. 543).

7. Kata “thoriqoh” dalam S Al-Jinn ayat 16 artinya “jalan kebena­ran dan keadilan”. (Al-Qasimi, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XVI, hal. 5950).

8. Kata “thoroiq” dalam surat al-Mu’minun ayat 17 artinya “lan­git”, thoroiq kata jama’ dari thoriqoh, karena dia adalah jalan-jalan malaikat.” (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 45).

9. Kata “thoroiq” dalam S Al-Jinn ayat 11 artinya “Golongan yang berbeda pendapat di kalangan muslimin dan kafir.” (ibid, hal. 240).
Inilah artinya kata “thoriqoh” dan musytaqnya yang ada dalam Al-Quran. Tidak satupun dari kata-kata itu yang menunjukkan metode ibadah dalam Tasawuf. Memang ada thoriqoh yang berarti golongan-golongan di kalangan kaum muslimin, tetapi maksudnya ialah golongan yang berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits. Bukan golongan yang membuat-buat tarekat tertentu yang dihasilkan oleh renungan guru.
Kalaulah benar bahwa yang dimaskud dengan tariqat di dalam ayat-ayat itu ialah penjelasan dari Al-Quran dan As-Sunnah yang secara langsung dituntunkan dan dipraktekkan oleh seorang guru kepada muridnya, seperti menuntun bagaimana cara berdiri betul dalam shalat, bagaimana cara takbir, ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, duduk tahiyyat, cara membaca bacaan-bacan shalat, dan lain-lain; sesuai dengan cara yang ditentukan oleh Rasul . kepada para shahabatnya, maka tarekat seperti ini dapat penulis terima, karena tarekat ini adalah sebahagian dari as-sunnah, yang disebut dengan sunnah fi’liyah. Jadi tarekat dalam pengertian seperti ini termasuk sunnah. Dan memang tarekat (sunnah fi’liyah) yang seperti inilah yang disuruh dalam mengajarkan agama. Rasu­lullah  pernah membimbing seorang Badwi dalam pelaksanaan shalat, karena orang Badwi tersebut belum tepat cara ia melaksa­nakan shalat. (Lihat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, al-Muharrar, hal. 42).

Adapun membuat-buat ibadah dengan cara baru, lantas dinamakan tarekat, ini bid’ah. Contohnya ialah seperti mengadakan dzikir lisan, dzikir qolbu dan dzikir sirr; semuanya itu tidak pernah ada diriwayatkan dari Rasul . atau dari para shahabat beliau. Jadi perbuatan ibadat seperti itu adalah bid’ah yang dibuat-buat oleh para penganut tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal agama Islam, baik aqidah maupun tatacara ibadatnya sudah sempurna, tidak usah ditambah-tambah. (Drs Yunasril Ali, Member­sihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, cet. III 1992, hal. 53-59).

Bantahan terhadap tarekat dalam polemik

Bantahan terhadap tarekat lainnya, bisa disimak polemik antara HSA Al-Hamdani dengan doktor (thabib) Rohani Sjech H Djalaluddin Ketua Umum seumur hidup Pengurus Besar PPTI di Medan.
HSA Al-Hamdani membantah orang yang menjadikan Surat Al-Fajr ayat 28 sebagai landasan tarekat sebagai berikut:

“…Anda (Thabib-Rohani Djamaluddin) antara lain menulis: Arti ma’na Tharekat pada istilah (adalah) perjalanan rohani (nurani, jiwa, hati robani) berjalan mencari Allah. Perjalanan yang bertingkat-tingkat dari satu tingkat demi satu tingkat, hingga ia bertemu Allah. Lihatlah QS al-Fajari ayat no. 28; maksudnya kira-kira: kembali (pergilah, berjalanlah, bertarekatlah kepada Tuhanmu (Allah). Kemudian Anda menulis: Mengingat ayat yang tersebut merupakan amar wajib, tentulah wajib bagi kita ber-Tharekat.”
Komentar HSA Al-Hamdani ulama Al-Irsyad Pekalongan terhadap lawan polemiknya, Thabib Djamaluddin, itu sebagai berikut:
Semoga Allah mengampuni dosa anda (Thabib-Rohani Djamaluddin), karena anda telah menafsirkan ayat Tuhan semau anda sendiri! Bacalah tafsir ayat itu menurut rangkaian ayat sebelum­nya, jangan terus mendabik dada dan berkata: Saya sudah hafal bertahun-tahun di dalam fikiran saya di waktu saya mempertahankan Tasawuf di masa silam… dan seterusnya. Jangan anda menafsirkan se-enaknya sendiri, dan jangan pula semau-maunya menta’wilkan arti ayat al-Quran menurut selera yang dikehendaki nafsu anda! Sebab bisa tak keruan dan bisa runyam!

Tahukah anda bahwa ayat itu (yang anda buat dalil perintah ber­tarekat) adalah kelanjutan daripada ayat yang sebelumnya yang berbunyi:

Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jan­natii.
Yang artinya: Hai jiwa yang tenang (suci). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (karena amal-amalmu yang baik semasa hidup) lagi diridhoinya (oleh Allah). Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku (yang sholeh) dan masuklah ke dalam sorgaKu. (QS Al-Fajri).
Jelas bahwa khitob (ajakan bicara) itu ditujukan kepada jiwa-jiwa manusia yang sempurna imannya yang muslimin mukminin dan muttaqin pada nanti hari kiamat kelak sebagai penghargaan Allah atas amalan mereka yang baik dan sholeh. Dan kalau ayat itu anda katakan sebagai amar wajib bertarekat, maka wajib bertarekatkah anda pada hari kiamat nanti untuk mencari Allah?
HSA Hamdani melanjutkan tulisannya: Memang orang-orang ahli tharekat atau ahli shufi suka lancang dalam menafsirkan ayat-ayat semaunya sendiri seperti yang anda katakan: “Di Pakistan Barat dikatakan sulukan naksyabandi, unsurnya QS An-Nahl no. 69, mak­sudnya kira-kira: Dan laluilah jalan (Tharekat) Allah dengan patuh. Sedang ayat yang dimaksud artinya sebagai berikut:
Ayat 68 S An-Nahl: Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: Buatlah rumah di atas bukit dan di atas pohon kayu dan pada apa-apa yang mereka jadikan atap.
Ayat 69: Kemudian makanlah berma­cam-macam buah-buahan dan laluilah jalan Tuhanmu, dengan mudah akan keluar dari dalam perutnya minuman (madu) yang berlain-lainan warnanya, untuk menyembuhkan penyakit manusia. Sesungguh­nya pada yang demikian itu menjadi keterangan (atas kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Jelas khitob ayat itu menyatakan bahwa Allah memerintahkan kepada lebah untuk mengikuti ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga lebah itu dapat menghasilkan madu. Maka oleh anda digunakan untuk dalil tarekat? (HSA Al-Hamdani, bantahan Singkat terhadap Kelantjangan pembela Tashawuf dan Tarekat,
Penerbit HSA Al-Hamdani, Pekalongan, cetakan pertama, 1972, halaman 14-15).
Pertanyaan selanjutnya, pembaca bisa mengajukan sendiri, misalnya: Kenapa tarekat-tarekat yang ternyata tidak ada landa­sannya dari Al-Quran maupun al-Hadits itu justru dihidup-hidup­kan? Dan kenapa justru ada organisasi yang memayungi dengan bentuk organisasi pula seperti tersebut di atas? Tugas para alim
ulama –yang istiqomah mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah– lah untuk melanjutkan dakwah terhadap mereka dengan hikmah dan mau­’idhah hasanah, dan kalau perlu dengan wajadilhum, yaitu mendebat mereka dengan hujjah yang lebih baik.
DEFINISI TARIKAT SUFI – ARTI TAREKAT SHUFI – MAKNA THARIQOT SUFI – PENGERTIAN TAREQAT – TAREQOT SUFI – TORIQOT SUFI
dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis

karya H Hartono Ahmad Jaiz -

------------------------------------------------------------------------------------

Kasyf, Khurafat dari Shufi

Tingkatan atau derajat tinggi yang diklaim oleh orang shufi ada pula yang mereka namakan kasyf (tersingkapnya tabir).
Kasyf, menurut kaum shufi adalah melihat hal yang ghaib dan menyaksikannya dengan tegas. Dengan demikian mereka mengaku atau meyakini, kalau sampai pada derajat kasyf itu maka mereka dapat mengetahui hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan memecahkan segala soal-soal yang pelik. (lihat HSA Al-Hamda­ni, Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Sufi, PT Al-Ma’arif
Bandung, cet. kedua, 1972, hal. 16).
Di antaranya ialah kepandaian membedakan hadits yang shahih dari yang dha’if (lemah). Maksud tujuannya ialah memperkuat madzhab dan kepercayaannya dengan hadits-hadits yang dibikin-bikin dan hadits-hadits yang dha’if, lalu dianggap sebagai hadits shahih dengan perantaraan kasyf itu. (ibid, hal 16).
Orang-orang yang meyakini kasyf membantah ulama yang tidak mau menjadikan lintasan-lintasan hati kaum shufi dan ilham-ilham mereka sebagai hujjah dalam hukum Islam. Karena kaum shufi meyak­ini bahwa ilham-ilham, lintasan-lintasan hati shufi, dan kasyfnya itu tidak mungkin akan salah. Hingga seorang pengarang kitab Fawatihur rahamaut syarah musallamits tsubut di dalam ushul fiqh, dan dia termasuk salah seorang yang memiliki kecenderungan shufi yang dhahir, menyanggah Al-Allamah Ibnul Hammam Al-Hanafi, yang menafikan atau menolak ilham sama sekali sebagai hujjah. Penga­rang kitab Fawatih (yang shufi itu) mengatakan:
“Sesungguhnya ilham tidak akan terjadi kecuali disertai penciptaan ilmu dharuri (ilmu yang ada dengan sendirinya) yang datang dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atau dari ruh Muhammady (ruh Nabi Muhammad). Maka pada saat itu tidak akan ada keraguan yang timbul akibat adanya kesalahan padanya (ilham). Ilmu seperti ini dera­jatnya lebih tinggi dibanding ilmu yang dihasilkan dengan dalil-dalil yang tidak qoth’i (tidak pasti). Maka aneh sekali, seorang syeikh seperti Al-Allamah Ibnul Hammam Al Hanafy menolak salah satu bejana ilmu. Barangkali beliau beranggapan bahwasanya ilham itu adalah sesuatu yang terjadi di dalam hati yang berasal dari
lintasan-lintasan hati, padahal bukan demikian. Apakah kamu belum mendengar atau mengetahui apa yang telah ditulis oleh Syaikh Quthbu Waqtihi (wali quthub pada zamannya) yaitu Abu Yazid Al-Bustamy -semoga Allah mensucikan kerahasiaannya yang mulia- terhadap sebagian ahli hadits: ‘Kamu mengambil ilmu dari yang telah menjadi mayit, kemudian kalian kaitkan kepada Rasulullah , sedangkan kami mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan Tidak
Pernah Akan Mati (Allah)!’ (kitab Fawatihur Rahamaut, dicetak menjadi satu dengan kitab Al Mustashfa karya Imam Ghazaly: 2/372, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawy dalam Mawaqiful Islam minal Ilham wal Kasyf….. diterjemahkan menjadi Sifat Islam terhadap Ilham, Kasyf, Mimpi, Jimat, Perdukunan, dan Jampi, Bina Tsaqafah Jakarta, cet I, 1417H/ 1997, hal 79-80).
Kemudian Dr Yusuf Al-Qardhawi menukil bantahan dari Ibnu Taimiyah terhadap klaim ilham dan kasyf yang dianggap ma’shum (terjaga dari kesalahan) itu sebagai berikut:
“Umat ini tidak membutuhkan kepada muhaddatsun dan mulhamun disebabkan telah sempurnanya risalah nabi umat ini dan telah sempurnanya syari’at beliau . Oleh karena itu bentuk lafadz (shighoh) hadits tersebut:
“Fain yakun fii ummatii ahadun fa ‘umar”
“Jika ada di antara umatku seseorang (seperti mereka) maka Umar-lah orangnya.”
Sedangkan apa yang disebutkan oleh pengarang kitab Al Fawatih merupakan pendapat subyektif dan tidak ilmiah, dan semata-mata merupakan klaim-klaim yang menyimpang tanpa ada buktinya. Dia telah mencampur adukkan di dalam nama-nama yang telah dia kumpul­kan itu, antara orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang cer­das, antara ahlus sunnah dan ahli bid’ah, antara orang yang bertauhid dan orang yang berfaham hululi (kepercayaan bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk) serta ittihady (kepercayaan bahwa dunia dan seisinya adalah Tuhan). Dan yang lebih mengherankan mengapa hal seperti ini ditulis dalam ilmu ushul (fiqh), padahal ilmu ushul merupakan timbangan akal dan logika manqul (penalaran yang masuk akal dan berdasarkan dalil-dalil naqli)!
Apa yang dikatakan oleh pengarang kitab Al-Fawatih ini dan orang-orang yang seperti dia, mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum syi’ah tentang imam-imam mereka, padahal perkataan seperti ini amat sangat diingkari oleh ahlus sunnah.
Pendapat kaum syi’ah itsna ‘asyariyah telah sampai kepada puncaknya dengan menyatakan kema’shuman ilham para imam mereka yang dua belas. Maka, apa saja yang diilhamkan kepada mereka (para imam yang 12) tidak mungkin akan berlaku padanya kemungki­nan salah, karena apa yang diilhamkan kepada mereka bukan tumbuh dari hasil ijtihad, seperti hasil ijtihadnya para imam madzhab fiqh, yang kemungkinan benar dan kemungkinan salah, sehingga yang benar diberikan pahala dengan dua pahala, dan yang salah diberi satu pahala. Sesungguhnya ilham mereka adalah ilham yang datang dari Allah untuk seorang imam, dimana Allah akan menyingkapkan baginya dengan ilham tersebut perkara yang gaib bagi orang lain, dan ilham tersebut pasti benar, baik berupa kabar ataupun hukum. Jika berupa kabar maka pasti benar dan jika berupa hukum maka pasti adil dan tidak perlu dibantah lagi!
Dengan keyakinan seperti ini mereka pada hakekatnya telah menetapkan sifat ‘Isham (suci dari kesalahan) kepada selain Rasulullah  dan juga berarti telah mewajibkan ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya, yang mana keyakinan demikian tentu bertolak belakang dengan apa yang telah diputuskan oleh hukum-hukum yang sudah jelas (muhkamat) di dalam al-Quranul Karim, dan penjelasan-penjelasan hadits yang mulia.
Kemudian Ibnu Taimiyah seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi menegaskan bahwa tidak ada yang suci dari kesalahan (Ishmah) selain Al-Quran dan As-Sunnah. Penjelasannya sebagai berikut:
Di antara kewajiban yang mesti kami putuskan di sini dengan sejelas-jelasnya dan seyakin-yakinnya, yang tidak tercampuri oleh keraguan adalah: Bahwasanya tidak ada yang suci dari kesalahan (‘ishmah) selain sesuatu yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Dan setiap orang setelah itu perkataannya (pendapatnya) bisa diambil (diterima) dan bisa ditolak. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita untuk merujuk kepada kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari’at-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS 7:3).
Dan Allah berfirman: “Katakanlah” ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…” (QS 24:54).
Dan Allah berfirman: “Dan jika kamu taat kepadanya (Rasul), niscaya kamu pasti akan mendapat petunjuk…” (QS 24:54).
Dan Allah berfirman: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS 59:7).
Dan Allah berfrman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS 24:63).
Dan Allah berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah­nya).” (QS 4:59).
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah seperti dikutip Al-Qardhawi mene­gaskan: Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak memerintahkan kepada kita untuk merujuk (kembali) kepada hati-hati kita, atau perasaan batin kita (dzauq), atau kepada lintasan-lintasan hati kita, serta perkara gaib yang tersingkap bagi kita. Karena sesuatu yang berasal dari hal demikian itu tidak ada jaminan suci dari kesalahan baginya, karena suatu saat bisa benar dan pada saat yang lain bisa salah.
Syaikh Abul Hasan Asy Syadzily mengatakan:
“Sungguh telah ada bagi kita jaminan ‘ishmah (suci dari kesala­han) dalam hal yang datang dari Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Snnah, dan tidak ada bagi kita jaminan ‘ishmah (suci dari kesalahan) dalam hal kasyf dan ilham.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil dari Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili di dalam fatwa-fatwanya (Al-Hikam), Majmu’ul Fatawa: 2/91, dikutip oleh Dr Yusuf Al-Qardhawy, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf… hal 82-84).
Tentang keyakinan shufi mengenai kasyf itu di antaranya dije­laskan oleh Ibnu ‘Arabi dalam kitab Futuhatnya dan Al-Jili dalam Insanul Kamil-nya. Sedangkan al-Ghazali sendiri telah mengakui bahwa ia tidak memperoleh keyakinan sesudah dihinggapi syak dan kesangsian kecuali dengan perantaraan kasyf. Yaitu setelah ia beri’tikaf beberapa tahun di menara Masjid Damaskus dan di Masjid Baitul Maqdis. (Lihat kitab Al-Ghazali, Al-Munqidzu minaddholaal, dan Al-lamus Syamikh hal. 370, dan Akhlaq, hal. 42, seperti dikutip HSA Al-Hamdani dalam Sanggahan terhadap tashawuf… hal 16).
Kasyf Syaithani dan Kasyf Haqiqi
Sorotan yang tajam terhadap batilnya kasyf ini juga ditulis oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar. Dr Yusuf Al-Qardhawi mengutipnya sebagai berikut:
Bahwa ilham atau kasyf semata-mata merupakan salah satu contoh dari pengetahuan jiwa yang berbicara, tidak tetap (baku) dan tidak teratur. Dan bukan merupakan pengetahuan yang berlandaskan kepada akal dan tidak pula bersandarkan kepada dalil syar’i, akan tetapi cuma merupakan pengetahuan yang kurang, yang terkadang salah terkadang benar, dan sebab-sebabnya yang alamiah pun mudah untuk diketahui. Sebagian ada yang bersifat bawaan (fithry), sebagian ada yang diperoleh dengan usaha (kasby) dan sebagian lagi hasil ciptaan (shina’i), seperti hipnotis yang dikenal di abad ini, dan apa yang mereka namakan dengan membaca fikiran, komunikasi fikiran, dan yang mereka serupakan dengan transfer berita lewat kawat listrik maupun transfer berita tanpa kawat listrik.
Pengetahuan seperti ini tentu bisa dikuasai oleh orang mu’min maupun orang kafir, orang yang baik maupun orang yang jahat, sebagaimana diakui oleh para shufi muslim bahwa pengetahuan semacam ini dikuasai pula oleh shufi beragama hindu. Para shufi muslim mengakui bahwa pengetahuan yang dikuasai oleh mereka bercampur aduk dengan pengelabuan syetan, dan sedikit sekali orang yang mempunyai kemampuan untuk membedakan antara kasyf syaithani (kasyf yang berasal dari syetan) dan kasyf haqiqi (sesungguhnya), dan tidaklah boleh dinamakan kasyf haqiqi kecuali jika bersesuaian dengan nash yang qoth’i (nash/ teks ayat atau hadits yang pasti).
Di antara berbagai bukti kesalahan dan kepalsuan serta khaya­lan yang ada pada kasyf mereka, yang biasa mereka namakan dengan An-Nurany (yang berkilauan), dan apa yang mereka sebutkan di dalam kasyf mereka berupa pengetahuan mereka yang bermacam-macam, berdasarkan keberagaman pengetahuan mereka tentang seni, kekhura­fatan dan syari’ah adalah terjadinya pertentangan para ahlinya dan saling salah menyalahkan satu sama lain dalam hal ini. Oleh karena itu, anda akan mengetahui sebagian dari mereka menyebutkan di dalam kasyfnya Jabal Qof (gunung qof) yang mengelilingi bumi!
Dan Al hayyah (ular) yang mengelilinginya! Sebagaimana dapat anda ketahui dalam biografi Asy Sya’rani oleh Syaikh Abu Madyan, yang isinya merupakan kekhurafatan-kekhurafatan yang tidak ada hake­katnya.
Di antara mereka ada pula yang menyebutkan di dalam kasyfnya bintang-bintang dan tempat peredarannya dengan cara Yunani yang batil. Dan kebanyakan mereka menyebutkan di dalam ksyf mereka hadits-hadits yang maudhu’ (palsu), walaupun mereka dan orang-orang yang terfitnah dengan kasyf mereka ditentang oleh ulama
hadits. Mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya sebuah hadits terkadang dianggap shahih dalam kasyf kami, walaupun hadits tersebut tidak shahih menurut riwayat-riwayat kalian (ahli hadits), dan kasyf kamilah yang lebih benar, karena kasyf kami berasal dari ilmul yaqin sedangkan ilmu kalian berasal dari dugaan (dhon)!’
Kesimpulannya adalah, bahwa kasyf ini adalah urusannya sendiri dan urusan para ahlinya, jika sah bagi kita untuk membenarkannya tentu ketika tidak terjadi pertentangan dengan syari’at, aqidah-aqidahnya serta hukum-hukumnya. Maka tidak dibenarkan bagi orang yang beriman kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya membenarkan sebagian dari kasyf yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Quran
dan Sunnah. Dan tidak dibenarkan pula menetapkan kasyf dengan didasari perintah dari alam gaib selama tidak ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. lagi pula kita tidak membutuhkan semua ini (kasyf seperti ini). (Tafsir Al-Manar oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha, Jilid 11/447, cetakan keempat, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf… hal. 86-87).
Penjelasan-penjelasan tersebut sangat gamblang bahwa kasyf shufi itu batil. Orang mu’min maupun kafir bisa memperolehnya, orang jahat maupun shalih dapat juga, sebagaimana hasil kasyf itu ada yang dari syaitan, dan ada yang mengandung kebenaran, tidak ada patokannya. Maka ketika ungkapan semacam ini saya ajukan

kepada guru besar Tasawuf dengan ungkapan bahwa Joyoboyo yang bukan Islam pun bisa mendapatkan kasyf itu; ternyata Pak Guru Besar Tasawuf itu marah, dan tidak ada jawaban pasti, seperti sudah kami kemukakan di atas. Masihkah mereka mau mengklaim kebenaran kasyf dengan cara lain lagi selain marah-marah dan bicara ngaco (tidak teratur)?

Dan dari sinilah bisa kita fahami, kenapa orang-orang Syi’ah, sekuler, dan pengacau Islam kini justru ramai-ramai menjajakan Tasawuf. Ternyata, dalam hal kepercayaan/ aqidah maupun sikap mereka terhadap hadits adalah sama-sama, yaitu mengacaukan. Hingga ketatnya aqidah dalam Islam ini jelas-jelas mereka tabrak, sedang ketatnya pembatasan tentang keshahihan hadits pun terang-terang mereka tabrak pula. Bila aqidah, suatu fondasi tempat berdirinya Islam, telah mereka kacaukan, dan hadits sebagai landasan utama yang kedua setelah Al-Quran telah mereka halalkan untuk dipalsukan dengan cara mengklaim ke-kasyf-an untuk mensha­hihkan kepalsuan, maka hancurlah Islam ini. Masih pula ditambahi dengan tabiat shufi yang tunduk patuh bahkan sering mendukung kepada penguasa dhalim –walaupun menghancurkan Islam– maka sempurnalah konspirasi dan konvigurasi mereka (shufi, syi’ah, sekluer, munafiqin, kafirin, musyrikin, pengacau agama, dukun, paranormal, ahli bid’ah, politikus licik anti Islam, dan penguasa dhalim) dalam menghancurkan Islam dengan wajah yang pura-pura teduh karena berkedok main batin. Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku Ummat Islam, jangan sampai tertipu oleh permainan mereka yang sudah dibabat oleh para ulama pada awal abad keempat Hijriyah dengan dibunuh dan disalibnya dedengkot shufi bernama Al-Hallaj, namun kemudian digali dan dihidup-hidupkan lagi oleh para orientalis Barat antek penjajah anti Islam, kemudian dikem­bangkan lagi oleh antek-antek orientalis di mana-mana sampai kini lewat aneka sarana. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan kepada para pengamal Islam dan penyerunya yang setia dan istiqomah hingga mampu menghancurkan kebatilan mereka yang mengancam Islam itu.

Amien.

dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis

karya H Hartono Ahmad Jaiz -

-------------------------------------------------------------------------------

Pengertian Bid’ah dan Jenis-jenisnya

Pengertian Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.(1) Ini bisa dilihat dalam firman Allah:
“Allah-lah Pencipta langit dan bumi”.(QS Al Baqarah 117).

Maksudnya, Allah yang menciptakan langit dan bumi, tanpa didahului suatu contoh apapun.

Bid’ah menurut syara’, sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah Rahimahullah: Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi atau menyimpang dari Al-Qur’an atau As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah, baik i’tiqadat (sesuatu yang harus diyakini) maupun ibadah (sesuatu yang harus diamalkan).(2)
Imam Syatibi dalam kitab “Al-I’tisham” menjelaskan bahwa bid’ah adalah mengadakan cara agama yang dibikin-bikin, yang diadakan (oleh manusia), yang menyerupai syariah. Dan yang dimaksud dengan perilaku tersebut adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.(3)
Bid’ah itu ada dua: menyangkut keduniaan dan menyangkut agama. Bid’ah (penciptaan) yang mengenai keduniaan itu boleh, selama tidak bertentangan dengan Islam. Misalnya mengadakan pembangunan, menciptakan teknologi baru dsb.
Adapun bid’ah yang menyangkut agama itu haram, tidak dibolehkan. Karena, agama itu harus berdasarkan wahyu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Manusia tidak berhak membuat syari’at (peraturan agama). Itu hanya hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka membuat bid’ah dalam agama itu melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hingga Nabi Muhammad  menegaskan:
“Wa iyyaakum wa muhdatsaatil umuuri fainna kulla muhdatsatin bid’atun wa kulla bid’atin dholaalah.”
“Dan jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan) yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan shahih).
Rasulullah  bersabda:
Artinya: “Barangsiapa mengada-adakan pada perkara kami ini, sesuatu yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak”.(HR Bukhari dan Muslim).

Dan pada riwayat lain:

Artinya: “Barangsiapa melakukan amalan, bukan atas perintah kami, maka amalan itu tertolak”.(HR Muslim).(4)

Macam-macam Bid’ah
Bid’ah dalam agama ada dua macam, yaitu: Pertama, Bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah (Bid’ah ucapan atau perkataan yang bersifat keyakinan), seperti perkataan-perkataan Jahmiyah dan Mu’tazilah dan Rafidhah dan seluruh kelompok yang sesat aqidahnya.(5) Dan kedua, Bid’ah pada ibada-ibadah seperti beribadah karena Allah dengan cara-cara yang tidak disyariatkan.(5)
Dan macam-macam bid’ah pada ibadah yang bersifat amalan, ada beberapa macam, yaitu:
Pertama, Bid’ah berupa ibadah yang tidak pernah ada asalnya dalam Islam, yaitu membuat-buat atau mengada-adakan amalan ibadah yang tidak ada dasarnya pada syara’. Seperti mengada-adakan shalat bikinan yang memang tidak disyariatkan, atau puasa bikinan yang memang tidak ada tuntunannya, atau hari raya (A’yad) yang memang tidak dituntunkan /tidak disyariatkan. Misalnya, mengadakan perayaan maulid dan yang semacamnya.
Kedua, Bid’ah berupa menambahkan sesuatu atas ibadah yang sudah ada asalnya dalam syari’at Islam. Misalnya, menambah raka’at jadi lima pada shalat Dhuhur atau pada shalat Ashar.
Ketiga, Bid’ah berupa mengerjakan ibadah yang telah disyari’atkan tetapi dengan cara yang tidak ada dasarnya dari syari’at Islam. Misalnya melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan tetapi dengan dibikin cara: bersama-sama dan disertai rebana, dan dibikin cara: dengan suara yang keras. Dan misalnya pula, memaksakan diri dalam beribadah , sampai keluar dari batas sunnah Rasulullah .
Keempat, Bid’ah berupa mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mengerjakan ibadah yang disyari’atkan, padahal tidak ada pengkhususan dari syari’at Islam. Misalnya mengkhususkan hari dan malam nshfu Sya’ban dengan puasa dan shalat malam. Padahal shiyam dan qiyam disyariatkan tetapi mengkhususkan pada waktu-waktu tertentu, diperlukan dalil.(5)
Bid’ah hakikiyah dan idhafiyah
Imam Syatibi membagi bid’ah menjadi dua, ditinjau dari segi adanya dalil yang dijadikan sandaran dalam beramal atau tidak adanya dalil. Pertama, bid’ah hakikiyah, dan kedua bid’ah idhafiyyah.(6)
Pertama, bid’ah hakikiyah adalah suatu bid’ah yang sama sekali tidak didasarkan pada suatu pengertian dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan lebih bersifat melawan atau menyelisihi ketentuan dalil yang ada. Tegasnya, dalil yang dijadikan dasar atau sandaran dalam melakukan amalan bid’ah tersebut tidak ada.
Contoh bid’ah hakikiyah diantaranya :
a. Mengerjakan hal-hal yang menyiksa diri, tanpa ada dalil yang memerintahkannya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abas, ia berkata: Ketika Nabi Muhammad  sedang berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang berdiri, maka Rasulullah bertanya tentang dia, lalu mereka (para pendengar khutbah) menjawab: “Abu Israil, dia telah bernadhar untuk tetap berdiri, tidak duduk ,dan tidak berteduh; tidak berbicara, dan berpuasa.” Maka Rasulullah bersabda: “Kamu sekalian perintahkan kepadanya, hendaklah dia berbicara, berteduh dan duduk, dan supaya menyempurnakan puasanya”.(7)
b. Adanya pemotongan kepala kerbau yang kemudian ditanam pada lubang galian tanah, sebagai tumbal.
c. Melakukan pecah telur bagi penganten yang sedang dipertemukan, karena adanya kepercayaan tertentu, sebagaimana yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat.
d. Melakukan terobosan di bawah keranda (mayat) bagi ahli waris, sewaktu mayat sudah siap akan diberangkatkan ke pemakaman.
e. Mengadakan peringatan kematian, misalnya tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, haul/ temu tahun, seribu hari dan seterusnya, yang itu semua tidak ada dalilnya, bahkan bertentangan dengan dalil, dan menirukan adat orang musyrik.
f. Minta do’a pada isi kubur. Ini bertentangan dengan dalil yang tidak pernah membolehkan mayat dijadikan sarana untuk berdo’a.
Disamping itu masaih ada berbagai acara lain yang termasuk bid’ah, karena sama sekali tidak ada dalam Islam.
Kedua, Bid’ah Idhafiyyah adalah suatu bid’ah yang pada hakekatnya didasarkan pada dalil Al Qur’an atau As Sunnah, tetapi cara melakukan amalan yang diamalkan dengan dalil yang dimaksud, tidak didapatkan di dalam ajaran Islam. Contoh bid’ah idhafiyyah adalah :
a. Sebagai pernyataan taubat atas segala dosa, disebutlah kalimat “La ilaha illa Allah” dengan cara geleng-geleng kepala seperti melakukan tarian. Dalam hal taubat itu, gendang dan perlengkapannya dibunyikan. Bentuk semacam ini dilakukan oleh seseorang dengan seriusnya untuk beberapa lama sampai orang tersebut jatuh pingsan. Di saat itu taubat baru dihentikan, karena dianggap orang tersebut telah diterima taubatnya.
b. Di beberapa masjid atau surau, setelah selesai seorang muadzin adzan, diadakanlah apa yang disebut “puji-pujian”. Dalam pujian-pujian tersebut banyak dibacakan shalawat Nabi, di samping berbagai bacaan lain, baik yang diambil dari Al Qur’an maupun syair-syair. Hal tersebut dilagukan dengan suara keras, selain sebagai pengertian ibadah juga untuk menanti kedatangan imam. Yang demikian itu banyak dijumpai, sementara tuntunan dari Rasulullah yang demikian tidak ada.
c. Contoh adanya penentuan dan penertiban beberapa bacaan yang dilakukan dalam selamatan atas kematian seseorang atau lainnya pada pengertian yang bisa disebut dengan “tahlilan”. Penentuan yang dimaksud dalam hal ini, selain dari penentuan waktu, seperti pada hari ke 7, ke 40, ke 100, ke 1000 dst, juga penentuan bacaan. Baik jumlah bilangannya, juga penentuan penertibannya. Namun keterangan Al Qur’an dan As Sunnah bahwa hal itu untuk amalan sebagaimana dilakukan itu tidak didapatkan.
Begitulah yang dimaksud dengan bid’ah idhafiyyah beserta beberapa contohnya.
Hukum Bid’ah pada agama dengan segala macamnya (8)
Semua bid’ah pada agama, hukumnya haram dan sesat. karena sabda Rasulullah :
“Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya tiap-tiap yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.(HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Dan sabda Nabi :
Artinya: “Barangsiapa yang mengada-adakan pada perkara kami ini, sesuatu yang bukan perkara dari kami, maka itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mengamalkan amalan bukan atas perkara kami, maka yang demikian itu tertolak”.
Hadits itu menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu yang diada-adakan pada agama, maka itu adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tertolak. Dan makna yang demikian, sesungguhnya bid’ah pada ibadah dan i’tiqad , yang itu semua sudah jelas diharamkannya. Akan tetapi pengharamannya bertingkat-tingkat, sesuai dengan macam bid’ahnya.
Dianataranya ada yang hukumnya kufur dengan jelas, seperti: thowaf (keliling) pada kubur dalam bertaqarrub (mendekatkan diri pada Allah), atau mempersembahkan sembelihan dan nadhar untuk kubur. Dan di antaranya termasuk sarana wasail syirik. Seperti membangun bangunan di atas kubur, serta shalat dan berdoa di kuburan.
Dan di antaranya ada yang fisqu i’tiqadi (keluar dari ketaatan secara keyakinan), seperti bid’ah khawarij (aliran ekstrim dalam memahami agama, sehingga dosa besar dianggap kafir dsb), qadariyah (menolak qadha dan qadar Allah dalam setiap usaha manusia) dan murji’ah (aliran yang mengkemudiankan, yaitu mengkemudiankan amal daripada iman, yang dipentingkan adalah iman, sedang yang lainnya adalah soal kedua. Amal menurut mereka bukan bagian esensi dari iman, walau tetap diperlukan) pada perkataan-perkataan mereka pada i’tiqadinya yang menyimpang terhadap dalil-dalil syar’i. Dan di antara bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah siyam (puasa) dalam keadaan berdiri pada panas matahari, dan kebiri dengan maksud memutus syahwat jima’ (bersetubuh).(9)
Demikianlah pengertian bid’ah, jenis-jenis dan hukumnya. Semua itu wajib dihindari, agar kita terbebas dari kesesatan. (10).
Catatan:
1. Tanbih Ulil Abshar Ila kamaliddin wa maa fil bida’ minal Akhthor, Dr Shalih bin Sa’id As-Suhaimi, hal 84.

2. Majmu’ Al-fatawa li Ibn Taimiyyah (18/346).

4. Al-Bid’ah, ta’rifuha, ahwa`uha, ahkamuha, Syaikh Shalih bin fauzan, hal 5.

5. Tanbih Ulil Abshar ila kamaliddin wamaa fil bida` minal akhthar, Dr Shalih bin Sa`d As Suhaimi, hal 100.

6. Ibid hal 93
7. Shahih al-Bukhari ma’al Fath (11/586), Musnad Al-Imam Ahmad (4/168).
8. Al-Bid’ah, ta`rifuha, ahwa`uha, Syaikh Shalih bin Fauzan, hal 7.
9. Lihat Al-I`tisham, As-Syatibi (2/37).
10. Tulisan ini dimodifikasi dari tulisan tangan seorang da’i yang tak menyebutkan namanya, namun isinya bisa dipertanggung jawabkan dan insya Allah bermanfaat.

dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis

karya H Hartono Ahmad Jaiz -

------------------------------------------------------------------------------------

Mengoreksi Ajaran Tasawuf

Pada hakekatnya ajaran Tasawuf yang dianut umat Islam bercorak panteistis, hasil dari konsepsi filsafat yang disebut monisme. Yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. Bahkan jika diurut-urut lebih jauh, konsepsi monisme dengan panteismenya ternyata bersumber dari ajaran Hindu.
Drs H Abdul Qadir Djaelani seorang da’i yang pernah mendekam di penjara di masa Soeharto akibat menentang asa tunggal Pancasila dsb, produktif menulis buku (kini sekitar 14 buku diantaranya menanggapi pendapat-pendapat pembaharu/ neomodernis) ini merasa gemas melihat merebaknya Tasawuf dan tarekat di kalangan umat Islam. Dia menulis kritik tajam terhadap Tasawuf dalam buku yang berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf diterbitkan GIP Jakarta, cet I 1996, 240 halaman. Dia menohok tokoh-tokoh Tasawuf yang ia nilai melenceng dari Islam seperti Al-Hallaj yang dibunuh oleh para ulama dan Ibnu Arabi yang dikafirkan oleh para ulama.
Berbagai metode ajaran Tasawuf dibelejeti dalam buku ini, yang menurut Abdul Qadir (AQ) menyimpang dari Islam seperti zuhud, bai’at dan ketaatan mutlak, wasilah dan rabithah, serta uzlah dan khalwat. Ia juga menghujat praktik ekstase (junun) yang dilakukan para sufi (orang Tasawuf).

Secara tegas, AQ mengawali bukunya dengan ungkapan yang menyentak, bahwa teori-teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran Tasawuf, baik teori wihdatil wujud, wihdatus syuhud, al-ittihad, al-ittishal, al-hulul, atau al-liqa’, semuanya bersifat panteistis. Itu ujung-ujungnya adalah ajaran Hindu yang berpengaruh terhadap Yunani kuno dan kemudian diambil ke Tasawuf Islam lewat penerjemahan-penerjemahan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Kristen zaman kekhalifahan abad kedua Hijriah.

Istilah Sufi
Jika istilah “sufi” ini diduga berasal dari kata shophia (bahasa Yunani), maka hal ini lebih dapat diterima. Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah Al-Quran dan al-Hadits berasal dari negeri-negeri seperti Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani menjadi induk pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran neoplatonisme (Plotinus, wafat 269M), filosof Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan panteisme –yang sangat berpengaruh di dunia Kristen– juga berasal dari pikiran Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry. (hal 13).
Sementara itu, dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar “sufi” adalah Abu Hasyim Al-Kufi (wafat 150 H/ 761M) dari Kufah, bukan dari Makkah atau Madinah, dan ia dari generasi tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak

beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.

Jika istilah “sufi” itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf. (hal 14).
Selanjutnya AQ mengemukakan definisi Tasawuf dengan mengutip beberapa orang di antaranya pendapat Bandar bin al-Husein, Sahal bin Abdullah at-Turturi, dan Al-Junaid (wafat 910M, tokoh Tasawuf yang resmi dianut oleh orang tradisionalis di Indonesia, pen). Al-Junaid berkata: “Tasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali di dalam-Nya.” (hal 15). Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata: “Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya sendiri dalam aku.” (hal 15).

Lalu AQ menyimpulkan, pengertian Tasawuf menurut istilah, tidak lain yaitu suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur (kontemplasi), melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya.

Tasawuf dari Hindu
AQ berkeyakinan bahwa Tasawuf itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti: tujuan akhir dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau substansi) dengan brahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang berasal dari ajaran Hindu. (hal 9).
Menurut M Horten (yang didukung R Hartman), Tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap Tasawuf al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa Tasawuf abad ketiga Hijriah-lah yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras mengokohkan teorinya ini dengan salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa Tasawuf berasal dari sumber India. Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai terminologi para sufi Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa Tasawuf berasal dari aliran Vedanta di India. (hal 18).

Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber Tasawuf dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

1. Kebanyakan angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim bin Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya ibn Ma’az ar Radzi.

2. Kemunculan dan penyebaran Tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi).

3. Pada masa sebelum Islam, Turkestan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.

4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.

5. Aksetisisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India. (hal 19).
Berasal dari Yunani dan asing
Kemudian cukup banyak para orientalis yang berpendapat bahwa Tasawuf berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian terhadap Tasawuf yang mulai muncul pada abad ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri, wafat 245H. (hal 19).

Muhammad Al-Bahiy (intelektual Islam Mesir, pen) menyatakan tentang adanya intervensi (penyusupan) alam pikiran asing, seperti paganisme Mesir, agama Budha, agama Hindu, agama Zaratrusta, ajaran Manu, Kristen, Yahudi, dan filsafat Yunani.

Dalam kaitan ini secara khusus filsafat Yunani telah:

1. Menimbulkan aliran-aliran filsafat di antaranya:

a. filsafat metafisika yang diwakili oleh Ibnu Sina di Timur dan Ibnu Rusyd di Barat; b. filsafat alam (fisika) yang diwakili oleh Abu Bakar ar-Razi. c. filsafat emanasi yang diwakili oleh Suhrawardi.

2. Membantu kelahiran:

a. Tasawuf zuhud yang diwakili oleh Abdul Haris al-Muhasibi;
b. Tasawuf filsafat yang diwakili oleh al-Ghazali; c. Tasawuf India, Kristen, dan neoplatonisme yang diwakili oleh Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, dan al-Hallaj. (hal 23).

Selanjutnya, AQ membuktikan bahwa esensi ajaran Tasawuf dan praktik-praktik amaliahnya berasal dari asing, yakni Kristen, Yunani, dan Hindu, maka secara prinsipil bertentangan dengan Islam.
Kalau Abdul Qadir Djaelani membuktikannya dengan buku setebal 240 halaman, maka secara mudah ulama tua KH Ghofar Isma’il (almarhum, ayah penyair dr Taufik Isma’il) dalam ceramah-ceramah pengajian tafsirnya cukup menjelaskan pada umat, kalau ada guru yang memberikan amalan-amalan (lafal-lafal dzikir) untuk dibaca sekian kali, itu harus dilandasi hadits yang shohih. Bila tidak, maka perlu diragukan kebenarannya.
dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis

karya H Hartono Ahmad Jaiz -

------------------------------------------------------------------------------------

Manhaj Shahih dan Penyelewengan Aqidah

Tidak diragukan, Islam adalah agama yang haq dari Allah, dan sumbernya jelas berupa wahyu yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang benar, maka perlu diketahui kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber Islam dan cara menggunakan atau mencari dalil yang benar.
Berikut ini penjelasan singkat tentang kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah Islam dan pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul Karim Al-Aql.
1. Sumber aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur’anul Karim), Sunnah Rasul-Nya  yang shahih, dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang baik).
2. Setiap Sunnah Rasul  yang shahih wajib diterima, walaupun sifatnya hadits ahad (setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun 3 orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap jenjang diriwayatkan oleh banyak orang).
3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash penjelas (teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan maksud-maksud ayat atau hadits). Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus shalih, dan pemahaman imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.
4. Dasar-dasar agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi , maka tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa itu termasuk dalam agama.
5. Pasrah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya  (dalam hal penetapan Islam ini) secara lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan satu hal pun dari Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang shahih (baik mempertentangkannya itu) dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim tersingkapnya hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh, pendapat imam dan sebagainya.
6. Akal yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits) yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah naql (ayat ataupun hadits).
7. Wajib memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah (bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global) yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna (lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka ditolak.
8. Al-’Ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) itu tetap bagi Rasul , sedang ummat ini terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang perorangnya maka tidak ada ‘ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun dari ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para imam dan lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah; kemudian mujtahid ummat yang bersalah agar meminta ampun.
9. Di kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah (kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira) –dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.
10. Bertengkar dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah (disyari’atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala) maka menyerahkan hal itu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
11. Wajib memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith (kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu tidak boleh.
12. Setiap bikinan baru dalam agama itu bid’ah, dan setiap bid’ah tu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.[1]
Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah

Aqidah itu wajib dijaga kemurniannya, tidak boleh ada penyimpangan atau penyelewengan. Karena, kalau aqidahnya menyimpang berarti keimanannya rusak, akibatnya semua amal tidak diterima. Sebab syarat diterimanya amal itu adalah iman, dalam arti iman yang benar, yang tidak menyimpang.

Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut.
1. Akal yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga kebodohan terhadap aqidah shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah adalah akal Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
قال ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين.
“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).
Di samping itu, kebodohan terhadap aqidah yang benar mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya karena tidak mau mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di kalangan Muslimin belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan, karena kurang perhatian, dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh aqidah-aqidah yang bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua hendaknya memperhatikan ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah yang benar, supaya tidak tersesat.
2. Mengikuti hawa nafsu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
ولا تطع من ……………………………………… أمره فرطا.
“Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28).
Nabi Muhammad  bersabda:
إياكم والغلو في الدين فإنما هلك من كان قبلكم بالغلو.
“Iyyaakum walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bilghuluwwi.”
Artinya:
“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya rusaknya orang dulu sebelum kamu itu hanyalah karena ghuluw.[2]
3. Karena menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk agama-agama terdahulu. Nabi bersabda:
لتركبن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو أن أحدهم دخل جحر ضب لدخلتم وحتى لو أن أحدهم جامع امرأته بالطريق لفعلتموه.
“Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wadziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum jaama’am-ro’atahuu bit-thoriiqi lafa’altumuuhu.”
Artinya:
“Pasti kamu sekalian benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu sekalian melakukannya (pula).[3] Mengikuti kelakuan orang-orang dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam kasus yang dikemukakan Nabi itu tentang keburukan. Sedang mengenai hal-hal yang disyari’atkan untuk umat-umat terdahulu pun tidak boleh dilakukan, kecuali kalau dibolehkan oleh Nabi . Karena Nabi  bersabda:
“…والله لو كان موسى حيا لما وسعه إلا أن يتبعني.”
“…Walloohi lau kaana Muusaa hayyan lamaa wasa’ahu illaa an yattabi’anii.”
Artinya:
“…Demi Allah, seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” [4]
4. Adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, ta’asshub (fanatik suku, golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa tahu dalilnya).
وإذا قيل لهم اتبعوا …………………………………….. ولا يهتدون.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat peunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).
Setelah kita bicarakan sumber-sumber pokok pengambilan dan manhaj Islam, demikian pula kita waspadai sumber-sumber penyelewengan aqidah Islam, mudah-mudahan kita terbebas dari segala penyelewengan. Sehingga iman dan Islam kita benar-benar lurus sesuai tuntunan Rasulullah . Mudah-mudahan. Amien.
Sumber:
..Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H
· Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah Jakarta, Ramadhan 1420H/ Desember 1999.
· Dr Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Darul Haq Jakarta, cetakan I, Rajab 420H.
——————————————————————————–
[1] (Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H, hal 7-9).
[2] (HR Ahmad, An-Nasaa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, berderajat Shahih).
[3] (HR Al-Hakim dari Ibnu Abbas, berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jami’ as-Shaghir).
[4] (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi dengan lebih sempurna, berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harawi dan lainnya).
dikutip dari buku Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan.

karya H Hartono Ahmad Jaiz -

---------------------------------------------------------------------------------

Mendeteksi Sumber Penyimpangan:



Yahudinisasi Lewat Tasawuf
1. Orang yang dikuasai Syetan
“Barangsiapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syaitan, maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan kebenaran dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS Az-Zuhruf/43: 36-37).
Ayat ini menerangkan bahwa barangsiapa yang tidak mau membiasakan diri mengingat Allah, dan (juga) berpaling dari ajaran Al-Quran yang telah disampaikan kepada Muhammad , serta berusaha untuk tidak memperhatikannya, dan telah terpengaruh oleh kesenangan hidup di dunia, maka Allah akan menjadikan syaitan sebagai teman eratnya, baik berupa jin maupun manusia.
Syaitan itulah yang selalu mendampingi dan mempengaruhinya, sehingga tertanamlah dalam pikirannya anggapan yang tidak baik, yaitu memandang perbuatan buruk sebagai perbuatan baik. Karena itu, hatinya makin lama makin tertutup, tidak mau menerima kebenaran. Semakin lama tutupan itu semakin kuat dan rapat, sehingga tidak ada suatu celah pun yang mungkin dimasuki cahaya Ilahi. Ayat yang lain yang sama artinya dengan ayat ini, ialah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti mereka tidak beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaan nya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang sangat.” (QS Al-An’aam [6]:110).
Makin lama syaitan mendampingi seseorang, makin lama pula ia bergelimang dalam kesesatan dan semakin kuat pula tutupan yang menutup hatinya. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 25, hal 117).
Di dalam hadits dijelaskan sebagai berikut:
Qoola Rasuulullahi : “Innal mu’mina idzaa adznaba dzanban kaanat nuqthotun saudaau fii qolbihii, fain taaba wa naza’a wasta’taba tsaqula qolbuhuu, wa in zaada zaadat hattaa ta’luwa qolbuhuu.”
Artinya:

Nabi  bersabda: “Sesungguhnya orang yang beriman, apabila ia mengerjakan perbuatan dosa maka terjadilah satu titik hitam di dalam hatinya. Lalu apabila ia bertobat, mencabut perbuatannya, dan menyesal, maka cemerlanglah hatinya. Dan jika ia tambah (berdosa) maka bertambahlah titik hitam itu sehingga tertutuplah hatinya.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Jarir – At-Thabari dari Abu Hurairah, Tafsir Depag RI, Juz 25, halaman 118).

Menurut Az-Zajzaj, arti ayat ini (QS Az-Zukhruf: 36) ialah: “Barangsiapa yang berpaling dari Al-Quran dan tidak mengikuti petunjuknya, pasti ia mendapatkan siksaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala; akan didekatkan kepadanya syaitan yang terus menerus menggodanya agar ia menempuh jalan yang sesat.”
Riwayat lain menyebutkan, ayat itu turun berkenaan dengan tingkah orang-orang kafir Quraisy:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Utsman Al-Makhzumi bahwa orang-orang Quraisy berkata, “Dampingkanlah kepada setiap sahabat Muhammad seorang dari kita untuk mempengaruhinya.”
Maka mereka mendampingkan Thalhah bin Ubaidillah (orang kafir Quraisy) kepada Abu Bakar. Maka datanglah Thalhah kepada Abu Bakar, waktu itu ia sedang berada di tengah-tengah kaum Quraisy, lalu Abu Bakar bertanya:
“Apa yang kamu serukan kepadaku?”

Thalhah menjawab: “Aku menyeru engkau untuk menyembah Al-Laata dan Al-’Uzza.”

Abu Bakar bertanya:”Apa Al-Laata itu?”

Thalhah menjawab: “Anak-anak laki-laki Allah.”

Abu Bakar bertanya: “Apa Al-’Uzza itu?”
Thalhah menjawab: “Anak-anak perempuan Allah.”
Abu Bakar bertanya lagi: “Siapa ibu mereka?”
Thalhah terdiam dan tidak dapat menjawabnya.
Lalu Thalhah berkata kepada teman-temannya: “Jawablah pertanyaan orang ini.”
Teman-temannya itu terdiam pula. Maka Thalhah berkata: “Berdirilah hai Abu Bakar, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.” Maka turunlah ayat ini (yaitu QS Az-Zukhruf: 36). (ibid, hal 118-119).

Dalam ayat 37 QS Az-Zukhruf dijelaskan, akibat bagi seseorang yang selalu didampingi syaitan, yaitu syaitan itu selalu berusaha menghambat mereka (agar tidak bisa) menempuh jalan lurus, jalan yang diridhai Allah, serta berusaha menimbulkan keyakinan dan anggapan pada pikiran orang itu bahwa jalan sesat yang dtempuhnya itu adalah jalan yang benar, dan setiap kebenaran yang disampaikan kepadanya dianggap sebagai jalan yang sesat. (ibid, hal 119).
2. Mengaku Muslim sambil memusuhi Islam
Meskipun dalam riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) itu mengenai orang kafir Quraisy, namun bukan berarti yang bisa dikuasai syaitan itu hanya orang-orang kafir. Bahkan orang Islam yang kurang taat pun dikuasai syaitan. seperti ditegaskan oleh Nabi :
“Maa min tsalaatsatin fii qoryatin walaa badwin laa tuqoomu fiihim sholaatul jamaa’ati illas tahwadza ‘alaihimus syaithoonu. Fa’alaikum bil jamaa’ati, fainnamaa ya’kuludz dzi’bu minal ghonamil qooshiyah.”
“Tidaklah dari tiga orang di suatu kampung atau pedusunan yang di dalam mereka itu tidak ditegakkan shalat jama’ah, kecuali mereka pasti akan dikuasai oleh syetan. Maka wajib atas kamu shalat jama’ah. Karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang jauh dari kawannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, dan Al-Hakim, berderajat shahih).
Betapa banyaknya kampung-kampung yang mungkin sekali dihuni oleh orang-orang Muslim namun di sana sepi dari shalat berjama ‘ah. Maka pantas sekali kalau hati mereka telah dikuasai oleh syaitan, hingga kebringasan, kejahatan, penipuan, penghalangan terhadap Islam terjadi di mana-mana. Padahal mereka mengaku Islam, namun tidak jarang mereka pula yang mati-matian mengganjal dan mempecundangi Islam, bahkan sekuat-kuatnya untuk memberantas orang-orang mu’min yang bercita-cita menegakkan Islam.
Bahkan ada dedengkot-dedengkot perusak Islam yang terang-terangan membela non Muslim dalam berbagai hal, padahal dirinya tidak mau kalau disebut antek Yahudi, Zionis, antek Nasrani, atau antek Konghu chu. Padahal mereka jelas-jelas ikut memeriahkan bahkan menghadiri perayaan hari-hari raya orang-orang kafir atau musyrik musuh Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu, dan memperjuangkan aspirasi musyrikin dan kafirin itu.
Mereka tidak malu-malu mengaku dirinya sebagai tokoh Islam, bahkan mulutnya bisa berdalih dengan dalih nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya yang telah mereka jadikan berhala, sehingga syaitan telah menguasai mereka, dan mereka menganggap bahwa diri mereka itu mendapat petunjuk, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut. Sehingga, sifat syaitan sebagai musuh Allah yang nyata dan musuh mukminin telah hinggap dan bersarang di dada-dada mereka, di antaranya mereka lego lilo/ tulus ikhlas bila yang dibantai itu ummat Islam.
Padahal, kalau mereka mau meneladani sikap Rasulullah  yang beliau itu dijamin oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) tentu mereka faham bahwa Rasulullah  tidak pernah mengucapi selamat Natal kepada para pendeta maupun rahib. Padahal Rasulullah  juga sebagai pemimpin bangsa, negara, bahkan Ummat Islam sedunia. Mengucapi selamat Natal pun tidak, apalagi menghadiri upacara Natalan, dan lebih tidak lagi berpidato pada upacara orang-orang kafirin musyrikin itu.
Tetapi kenapa Presiden Gus Dur hadir pada upacara Natalan, bahkan berpidato menyambutnya? Padahal, dia dijuluki kiai, bahkan ada yang menyebutnya wali, meski dia sendiri menganggap orang yang menyebutnya wali itu orang yang tak bertanggung jawab. Kenapa pula Amien Rais (ketua MPR, bekas ketua organisasi Islam Muhammadiyah), Akbar Tanjung (ketua DPR, bekas ketua umum organisasi mahasiswa HMI), dan Megawati anaknya Soekarno (wakil presiden, dan sudah pernah berhaji) hadir pada upacara kemusyrikan itu.
Kalau memang mereka benar-benar percaya kepada Nabi Muhammad , apakah pernah Nabi mencontohi hadir, berpidato, atau mengucapi selamat Natal seperti yang mereka lakukan itu? Dan kenapa pula Prof Dr HM Quraish Shihab yang disebut ahli tafsir lulusan Mesir itu ngotot menulis fatwanya tentang bolehnya mengucapi selamat Natal kepada orang Nasrani? Adakah contoh dari Nabi Muhammad  yang seperti itu? Mau dibawa ke mana Ummat Islam Indonesia ini oleh para tokoh yang mengaku dirinya Muslim bahkan sebagai ketua-ketua atau mantan ketua lembaga atau organisasi Islam, namun memberi contoh yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah itu?
Yang dicontohkan oleh Nabi  justru tantangan untuk mubahalah, atas perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS Ali ‘Imran: 61).
Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berpendapat, mendo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani, dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad.(Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, hal 85).
Contoh dari Nabi  dan merupakan perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah seperti tersebut di atas. Namun sebaliknya, sebagian tokoh Islam Indonesia sekarang justru sangat jauh dari keteladanan Nabi  tersebut. Keberpihakannya malahan nampak berbalik kepada pihak kafirin walmusyrikin. Hingga ketika ada gereja yang dirusak orang, tidak diselidiki dulu penyebab-penyebabnya, dan tidak dicari dulu hukum keabsahan berdirinya menurut Islam, langsung orang-orang yang masih tak malu mengaku Islam itu berani bilang “tembak di tempat” bagi perusak gereja. Padahal, puluhan masjid yang dibakar, dan juga ratusan (mungkin ribuan?) masjid dan musholla yang digusur oleh orang-orang anti Islam, mereka tidak mau tahu, dan pura-pura tidak tahu. Karena memang mereka sendiri, di markas besarnya pun kemungkinan sekali tidak ada masjidnya.
Ada organisasi besar yang mengaku dirinya Muslim, bahkan ulama, namun di markasnya tidak ada masjidnya, dan hanya ada musholla sempit sekali, kotor, dan “dihiasi” dengan sangkar-sangkar burung. Pantas saja kalau mereka ada yang lebih krasan (lebih merasa ni’mat) berkarib-karib dengan orang gereja ataupun memperjuangkan gereja, klenteng dsb. Akibatnya, sangat parah. Yang muda-muda atau pun mahasiswa kelompok mereka tidak malu-malu mencari proyek-proyek dengan bantuan gereja. Bila ditegur temannya sesama Muslim, jawab mereka enteng, “Ah… saya kan tinggal ngikuti saja pemimpin-pemimpin yang di atas.
Orang pimpinan-pimpinan saya (maksudnya para pemimpinnya) juga suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke gereja, apa salahnya saya sebagai muqollidnya “berittiba’” (pengikut buta-nya mengikut) kepada mereka?” jawabnya cengengesan (sikap tak bertanggung jawab). Na’udzubillaahi min dzaalik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu). Benarlah syaitan telah memperdaya hati mereka, sehingga mereka pandang baik apa-apa yang buruk, dan amat buruk. Memang syaitan sangat berusaha keras untuk menjerumuskan mereka, yaitu siapa saja yang menjadi teman syaitan.
3. Merubah agama Allah
Firman Allah Ta’ala tentang ucapan Syetan;

“… dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” (An-Nisaa’: 119).

Dalam tafsir Ibnu katsir, merubah ciptaan Allah itu menurut Ibnu Abbas dan lain-lain, berarti merubah diinullaah, agama Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, halaman 686).
Para ahli bid’ah telah memporak porandakan Islam, diinullah. Dan mereka secara terang-terangan berani menyatakan permusuhannya terhadap mukminin yang menegakkan Islam dengan benar. Musuh besar mereka adalah orang Islam yang konsekuen dan konsisten (istiqomah) dengan Islamnya. Sehingga kalau ahli bid’ah atau orang yang merubah agama Allah itu berkuasa, maka diangkatlah orang-orang yang lihai dalam memusuhi Islam. Dan dibabatlah siapa-siapa yang kira-kira jelas menegakkan Islam.
Karena orang-orang yang merubah diinullah itu di antaranya adalah orang Yahudi dan Nasrani –menurut Al-Quran– maka kaum Ahli Bid’ah pun bergabung dengan Yahudi dan Nasrani serta musyri kin dan kafirin dalam memusuhi Muslimin. Di situ peran munafiqin sangat strategis, berupaya menghancurkan Islam dengan bersekongkol bersama Yahudi cs itu. Akibatnya, orang-orang Islam yang tak kuat imannya akan ikut-ikut pula menjadi munafiq. Dan semakin banyak munafiqnya semakin subur pula pembunuhan terhadap orang Islam ataupun aturan Islam itu sendiri.
Selama ini munafiqin, kafirin, musyrikin, ahli bid’ah dan syaitan-syaitannya telah berhasil membunuh hukum-hukum Islam, hingga tinggal hukum keluarga, yakni nikah, talak, rujuk, waris, hibah, shodaqoh, dan waqaf. Munafiqin, Yahudi, Nasrani, kuffar, musyrikin dan syaitan-syaitannya kini sudah siap dan beraksi lebih lagi. Hukum perkawinan pun mulai diugrag-ugrag (dikutik-kutik) lagi. Kata mereka, hukum perkawinan yang berlaku ini diskriminatif.
Orang-orang yang tidak rela adanya hukum Islam yang masih “tersisa” sedikit itu justru biasanya tidak rela pula kalau pelacuran dihapus. Jadi benar-benar pikiran syaitanlah yang telah menguasai jiwa mereka; menggempur hukum Islam tentang perkawinan, sambil “memperjuangkan” berlangsung tumbuh suburnya pelacuran. Itulah misi mereka, misi syaitan. Benar-benar mereka itu musuh orang Muslim, yaitu syaitan yang berujud manusia, artinya manusia yang telah menjadi syaitan.
Meskipun demikian, orang Muslim yang sejati tidak usah berkecil hati. Ada penjelasan sebagai berikut.
4. Orang yang menegakkan kebenaran Islam:
“Maka bersabarlah kamu untuk melaksanakan ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS Al-Insaan/76: 24).
Nabi  bersabda: “Laa tazaalu thooifatun min ummatii dhoohiriina ‘alal haqqi laa yadhurruhum man khodzalahum hattaa ya’tiya amrulloohi wahum kadzaalika.”
“Senantiasa masih ada sekelompok dari ummatku yang selalu menang/unggul dalam menegakkan kebenaran. Mereka tak peduli dengan orang-orang yang menghinakan mereka sehingga datang perintah Allah (hari kiamat)dan mereka tetap demikian.” (HR Al-Bukhari 3641, dan Muslim 1920,) dari Hadits Mu’awiyah ra. Selain Mu’awiyah ada beberapa orang shahabat lainnya meriwayatkan hadits Thaifah Manshuroh ini. Syaikh Al-Albani menjelaskan takhrij hadits ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits As-Shahihah, juz 1 nomor 270.
Sabda Nabi :
“Innal Islaama bada’a ghariiban wa saya’uudu ghoriiban kamaa bada’a, fathuubaa lilghurobaa’i.”

“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing: yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Al-Albani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih, lihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqoh an-Najiyah wat Thoifah al-Manshuroh, diterjemahkan menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cet I, 1419H, halaman 7-8).

Sabda Nabi :

“Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing, yaitu orang-orang sholeh yang hidup di tengah orang banyak yang buruk perangainya, di mana orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada orang yang mentatatinya.” (HR Ahmad, shahih).

Nabi  bersabda: “Orang yang paling pedih musibahnya di dunia ini ialah para nabi, kemudian orang-orang sholeh.” (HR Ibnu Majah).

Nabi  bersabda:

“Tidak boleh taat kepada pemimpin dalam hal ma’siat kepada Allah, karena kewajiban taat hanya dalam urusan yang baik.” (HR Al-Bukhari).

5. Siapakah yang menegakkan kebenaran Islam itu?
Orang-orang yang dikuasai syetan (yaitu yang berpaling dari Al-Quran, tidak shalat berjama’ah, dan merubah agama Allah) berhadapan dengan orang-orang yang menegakkan kebenaran Islam.
Yang menegakkan kebenaran Islam itu siapa?

Apakah yang memahami Islam dengan filsafat, dengan sosiologi, antropologi, metodologi Barat, demokrasi, nasionalisme, kebudayaan, adat dsb? Bukan.

Hanya dengan Al-Quran? Bukan Hanya dengan Al-Hadits? Bukan. Dengan Al-Quran dan Hadits namun menurut pendapat masing-masing? Bukan. Tetapi dengan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan penjelasan Rasulullah  yang diwarisi oleh generasi terbaik, yaitu salaful ummah, ummat terdahulu, yaitu tiga generasi pertama, alias sahabat Nabi , Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’en.

Apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah  dan diwarisis serta dilaksanakan oleh para sahabat itu apabila ditentang, dan bahkan mengambil jalan lain maka diancam oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa: 115).
Untuk mempertahankan diri agar tetap menjadi orang mukmin yang menegakkan Islam secara benar, maka perlu mengetahui di mana sumber-sumber penyimpangan Islam terjadi. Berikut ini penjelasannya.
6. Sumber-sumber penyimpangan
6.1. Akal yang tidak tunduk kepada wahyu
Kata Iblis: “Ana Khairun minhu, kholaqtanii min naarin wa kholaqtahuu min thiin”.
Kata Iblis: “Saya lebih baik daripada Adam, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raaf:12).

6.2. Al-hawa’: hawa nafsu dan sikap ghuluw
Ada serombongan sahabat nabi datang menanyakan ibadah Nabi kepada isteri-isterinya, lalu mereka menganggap diri mereka masih sangat sedikit ibadahnya dibanding dengan Rasulullah . Lalu yang pertama, mau puasa terus sepanjang tahun tidak berbuka. Yang kedua akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Rasulullah  beliau menjelaskan kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan beliau bersabda:
“Innamaa ana a’lamukum billaahi wa akhsyaakum lahu, walaakinnii aquumu wa anaamu, wa ashuumu wa ufthiru, wa atazawwajun nisaa’a, faman roghiba ‘an sunnatii falaisa minnii.”
Saya adalah orang yang kenal Allah dan paling takut kepada-Nya, namun saya bangun dan tidur, puasa dan berbuka, dan saya beristerikan wanita-wanita. Oleh karena itu barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR Al-Bukhari).
“Iyyaakum wal-ghuluw fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bil ghuluwwi.”
“Jauhilah oleh kalian ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama. Karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kamu sekalian itu hanyalah karena ghuluw.” (HR Ahmad, An-nasaa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, shahih).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Walaa tuthi’ man aghfalnaa qolbahuu ‘an dzikrinaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuthoo.” Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Al-Kahfi:28).
6.3. Karena pengaruh agama-agama terdahulu
Nabi  bersabda: “Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wa dziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hatta lau anna ahadahum jaama’amroatahu bit thoriiqi lafa’altumuuhu.”
Pastilah benar-benar kamu sekalian akan melakukan kelakuan-kelakuan orang dulu sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kalian masuk (pula), sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi isterinya di jalan pasti kalian melakukan (pula). (HR Al-Hakim dari Ibnu abbas, shahih).
- Contoh, berpakaian, bergaya hidup, dan bahkan dalam memusuhi Islam atau meremehkan Islam, mereka telah meniru-niru Yahudi dan Nasrani.
6.4. Mengikuti adat istiadat yang bertentangan dengan Islam
Misalnya judi, selamatan orang mati dsb.
Qoola Jarir RA: “Kunnaa narol ijtimaa’a ilaa ahlil mayyiti wa shonii’atat tho’aami ba’da dafnihi lighoirihim minan niyaahah.”
Jarir RA berkata: “Kita berpendapat bahwa mengadakan kumpulan bersama-sama pergi ke keluarga orang mati dan membuat makanan untuk disajikan kepada para tamu setelah dikuburnya/ ditanamnya mayit, hukumnya termasuk meratapi mayit.” (Riwayat Ahmad).
Di Zaman sahabat Nabi  tingkah kumpul-kumpul, makan-makan setelah dikuburnya mayat itu dinilai sebagai niyahah/meratap. Sedang meratap adalah perbuatan jahiliyah yang diharamkan oleh Nabi . Namun, kini para ahli bid’ah dan pengikutnya sangat doyan menggede-gedekan acara tahlilan selamatan orang mati. Setelah kita tahu orang-orang yang dikuasai syetan dengan sifat-sifatnya, orang-orang yang menegakkan Islam yang benar dengan sifat-sifatnya, dan juga mengetahui sumber-sumber penyimpangan, maka ketahuilah bahwa Tasawuf itu ada dalam jalur yang diliputi sumber-sumber penyimpangan itu.
7. Yahudinisasi lewat Tasawuf
Ada penyimpangan lewat akal. Ada yang lewat hawa nafsu. Ada yang karena ghuluw atau berlebih-lebihan, ada yang karena meniru-niru Yahudi dan Nasrani, dan ada yang karena adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Dan itu semua kini didukung oleh Yahudi internasional, dengan cara membelajarkan dosen-dosen perguruan tinggi Islam (IAIN) ke Barat dengan istilah studi Islam, dengan hujjah belajar metodologi kritis. Padahal, studi Islam di Barat itu menurut hasil seminar pakar-pakar Islam di London, hanyalah menganggap Islam sebagai budaya Timur yang tidak sampai sebesar Hindu dan Budha. Sedang materi yang diajarkan Barat dalam studi Islam itu hanyalah sufisme (Tasawuf). Sedang tujuannya adalah tahwidiyyah / Yahudinisasi, menurut hasil seminar tersebut.
Mari kita simak kutipan berikut:
Bukti dari Al-Ghazwul Fikri (serangan pemikiran) yang dilangsungkan Barat terhadap dunia Islam pun diseminarkan di London Oktober 1993. Inti pembahasan tentang studi Islam di Barat, dalam seminar internasional Islam II itu, bahwa seluruh program studi Islam di perguruan tinggi Barat arahnya adalah Yahudinisasi ataupun Yudhaisme, yang memandang Islam itu perannya tak sebesar Yahudi, dan bahkan tak sampai setarap dengan agama-agama di Timur seperti Hindu dan Budha. Sedang para guru besar Studi Islam di Barat tidak faham tentang Islam, ajaran yang disebut studi Islam hanya melulu tentang sufisme (Tasawuf), dan guru besar yang mengerti bahasa Arab sebagai sumber utama untuk merujuk kitab-kitab Islam hanya 15% (Lihat buku Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994, hal 107-108).
Apa itu Yahudinisasi? Secara mudahnya adalah apa yang kini disebut pluralisme atau kadang dengan halus disebut agama Ibrahim (Ini sejalan pula dengan istilah inklusivisme dan pluralisme, baca pada bab yang membahas masalah itu di buku ini). Yaitu penyebaran keyakinan yang tidak membolehkan ummat Islam ini “mengklaim kebenaran”. Hingga para antek yang menyebarkan Yahudinisasi ini tidak membenarkan ummat Islam yang mengakui bahwa agama Islam sajalah yang benar. Mereka terang-terangan menyalahkan Muslimin yang meyakini bahwa Islam sajalah yang benar di sisi Allah.
Di antara yang menyalahkan Ummat Islam yang berkeyakinan bahwa Islam sajalah yang benar, contohnya adalah Dr Alwi Shihab. Ia menuduh ummat Islam tak sedikit yang gagal dalam menangkap makna dari kata Islam, dan dengan sendirinya (menurut tuduhan Alwi Shihab yang kini Menteri Luar Negeri RI itu) membenarkan sikap eklusivisme. Ini menyangkut Al-Quran dalam surah Ali Imran ayat 19 dan 85. Alwi Shihab menulis tuduhan terhadap Muslimin itu di Majalah Gatra No 9 Tahun V, 16 Januari 1999 dengan judul Muslim-Kristen.
Kepada Dr Alwi Shihab perlu dikomentari, dengan liciknya dia telah menyembunyikan keterangan tentang kafirnya orang non Muslim setelah diutusnya Nabi Muhammad . Alwi Shihab dengan mengecam Muslimin, ditambah dengan menyembunyikan keterangan yang haq tentang kafirnya pemeluk agama apapun selain Islam setelah diutusnya Nabi Muhammad , itulah cara Alwi Shihab dalam menjajakan sikap mengimani sebagian ayat-ayat Allah dan mengingkari sebagian lainnya. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim ditegaskan:
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi  annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah  bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa  ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita  bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Yang perlu ditegaskan pula adalah: lafal min ash-haabin naari (termasuk penghuni neraka), di situ orang-orang yang tidak mau masuk Islam itu statusnya bukan sekadar mampir ke neraka, namun justru penghuni neraka. Dalam uraian lain di buku ini dijelaskan, orang-orang yang kekal di neraka itu adalah orang-orang kafir, karena yang masih ada imannya maka akan dientas dari neraka dan dimasukkan ke surga. (lihat buku ini pada bab Kebohongan dan kesesatan Islam Jama’ah, Lemkari, LDII). Hadits shahih dan jelas maknanya semacam ini pun masih disembunyikan oleh orang-orang semacam Dr Alwi Shihab dan konco-konconya. (lihat tanggapan terhadap Dr Alwi Shihab itu dalam Buku ”Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru,” oleh Hartono Ahmad Jaiz, terbitan Darul Falah Jakarta, 1420H, hal 153).
Kembali ke masalah penikaman terhadap Islam, biasanya alumni Barat yang menyebarkan Yahudinisasi itu kini rajin sekali menjajakan Tasawuf. Dari sanalah di antaranya Islam itu ditikam, setelah upaya Yahudinisasi itu ramai-ramai dihujat oleh majalah Media Dakwah sejak 1992 selama 19 bulan bertutrut-turut. Hingga ada judul cover majalah itu: Ujung Pemikiran Nurcholish, dengan gambar ujungnya adalah Zionisme.
Sehabis itu mereka yang menjajakan Yahudinisasi itu menikam Islam lewat Tasawuf bersama orang Syi’ah dan lainnya. Maka tak mengherankan, sosok dedengkot Syi’ah di Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat sangat getol (bersemangat) menjajakan Tasawuf di mana-mana, bahkan bagai kemaruk. Contohnya, di Bulan Ramadhan 1421H, kadang Jalaluddin Rachmat itu menyebarkan Tasawuf lewat dua televisi dalam waktu bersamaan, yang satu siaran langsung, dan yang lain rekaman.
Padahal, apa-apa yang ditampilkan di televisi yang disebut acara Tasawuf misalnya di Anteve itu merupakan acara yang sangat menyesatkan dan merusak Islam. Contohnya, seorang dosen perempuan dari Bandung yang biasa membawakan acara Tasawuf di Anteve, ketika berbincang-bincang dengan nara sumber seorang doktor perempuan dosen di Bogor, lalu pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi yang kaitannya dengan feminisme. Pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi, katanya ada seorang syaikh yang masuk ke hutan, lalu binatang-binatang hutan semuanya tunduk, sampai-sampai ular pun bersedia jadi tongkatnya. Maka syaikh itu ditanya oleh muridnya, apa rahasianya? Ternyata rahasianya adalah: Syaikh ini senantiasa diam saja (sabar) ketika dia diomeli oleh isterinya.
Nah, cerita-cerita yang sangat tidak mutu model inilah yang menjadi landasan Tasawuf itu dari berbagai seginya. Yang hal itu di zaman Ali bin Abi Thalib saja tukang ceritanya sudah diusir dari masjid, dilarang masuk masjid. Memang timbulnya tukang nasihat dengan cerita-cerita itu sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan mereka pun dilarang masuk masjid untuk bercerita oleh Khalifah. Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memenjarakan tukang-tukang cerita dan para pendengarnya. Berikut ini penjelasannya:
Munculnya bid’ah dongeng
Munculnya bid’ah tukang-tukang cerita (pendongeng/ qosshosh) adalah pada masa Ali RA, lalu mereka itu ditolak oleh para sahabat dan tabi’in.
Muhammad bin Waddhoh meriwayatkan dari Musa bin Mu’awiyah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi dari Sufyan:
“Dari Ubaidillah bin Nafi’, ia berkata: Belum ada orang berkisah (mendongeng) pada masa Nabi , tidak pula di masa Abu Bakar, tidak di masa Umar, dan tidak di masa Utsman. Dan pertama kali adanya dongeng itu ketika adanya fitnah (pembunuhan terhadap Utsman 35H).
Pendongeng (qosshosh) adalah juru nasihat yang mengadakan majelis-majelis untuk nasihat meniru majelis ta’lim. Pendongeng itu menasihati orang-orang di majelis dengan cerita-cerita dan kisah-kisah Israiliyyat dan semacamnya, berupa cerita yang tidak mempunyai sumber asalnya, atau suatu tema/ judul, atau berupa cerita yang tidak bisa dijangkau akal umum.
Sungguh Ali bin Abi Thalib RA telah melarang mereka –lihat Tahdzirul Khowas oleh As-Suyuti 213, dan Al-Bida’ wan nahyu ‘anha 16– karena mereka mulai mendongengi orang-orang dengan yang aneh-aneh dan hal-hal yang samar (mutasyabihat) dan cerita yang tidak terjangkau oleh akal mereka dan yang tidak mereka kenal.
Ibnu Umar telah memerintahkan polisi untuk mengeluarkan (mengusir) tukang-tukang cerita dari masjid-masjid. Dan Umar bin Abdul Aziz telah memenjarakan tukang-tukang cerita dan orang-orang yang duduk bersama mereka.
Yang demikian itu bukan berarti terlarang menasihati. Dahulu Nabi  telah memberikan nasihat kepada para sahabat. Dan para sahabatnya pun demikian pula, serta generasi salafus shalih sesudahnya. Yang dilarang hanyalah menasihati dengan cerita-cerita yang tidak ada sumber asalnya (al-Quran atau al-Hadits atau riwayat yang shahih), dan bercerita dengan keanehan-keanehan dan perkara-perkara yang kacau, yang samar-samar, dan yang tidak terjangkau akal manusia pada umumnya, berupa masalah-masalah ghaib, tentang qadar, dan hal-hal yang membingungkan akal. Dan dilarang pula penasihat-penasihat yang bodoh yang membinasakan.Wallahu a’lam.
( Sumber:
1. Dr Nashir bin Abdul Karim Al-’Aql, Al-Ahwa’ wal Firaq wal Bida’ ‘Ibra Tarikh al-Islami Masirotu Rokbi as-Syaithan, Darul wathan, Riyadh, Cetakan I, 1415H.

2. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-Bid’atu; ta’rifuha, anwa’uha, ahkamuha, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan I, 1412H.

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithah bainal Haqqi wal Khalq, dimuraja’ah Muhammad Jamil Zainu, Percetakan Universitas Islam Madinah, cetakan pertama).

Adapun contoh lain penyesatan Tasawuf yang ditikamkan kepada Islam secara sistematis oleh intelektualnya di Indonesia di antaranya silakan baca tanggapan buku ini pada judul Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Isinya menanggapi tikaman Nurcholish Madjid yang menafsiri ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in menurut Tasawuf, yang sangat menyesatkan.
Memang Tasawuf itu sendiri bibit utamanya di antaranya dari filsafat Yunani, Nasrani, dan Hindu; maka pas lah untuk sarana menikam Islam dari dalam, karena orang yang tertipu selama ini menganggap bahwa Tasawuf itu bagian dari ajaran Islam.
Padahal justru penyimpangan, sebenarnya. Kalau toh mau mentolerir Tasawuf itu hanyalah bisa terhadap bagian yang sedikit, pada awal-awal ketika masih sekadar tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang belum tercemar oleh filsafat dan macam-macam bid’ah.
Kalau memang masih sekadar tazkiyatun nafs dan tidak ada unsur bid’ah dan lebih-lebih pula bid’ah aqidah yang dibawa oleh filsafat, maka masih bisa ditolerir. Tetapi, dari segi manhaj (pola, jalan, sistem) Tasawuf itu sendiri yang sedemikian longgar dalam mengambil sumber (di antaranya mimpi-mimpi syaikh, alamat-alamat dikait-kaitkan dengan keghaiban dan bahkan cerita-cerita aneh seperti tersebut di atas) maka sejatinya Tasawuf itu sudah jauh dari manhaj Islam yang shahih.
Dan justru di situlah pintu masuk yang dianggap paling strategis oleh musuh-musuh Islam terutama Yahudi. Mereka tidak menyia-nyiakan pintu bahaya itu, hingga dibikinlah program canggih secara sistematis dan tingkatnya internasional dengan mengkader putra-putra bangsa Muslimin sedunia yang cerdas untuk menjadi antek-antek Yahudi yang merusak Islam dari dalam, lewat Tasawuf, demi menghancurkan Islam, dengan kedok membangun Islam. (Lebih lengkapnya, baca buku penulis yang berjudul Mendudukkan Tasawuf, Gus Dur Wali? Darul Falah, Jakarta, Ramadhan 1420H).
Bahkan Tasawuf yang menikan Islam dan kini dijadikan sarana empuk untuk menikam Islam oleh Yahudi dan antek-anteknya itu kini digencarkan lewat televisi-televisi segala, di samping kurus-kursus yang mereka sebut paket-paket kajian Tasawuf.
Untuk lebih “memantapkan” program itu, tampaknya pemerintahan Indonesia sekarang masih merasa belum cukup hanya mengirim 300-an dosen-dosen IAIN ke Barat untuk “studi sufisme” yang bertujuan Yahudinisasi itu. Maka “dengan lapor dan minta restu” (?) kepada Boss Katolik, Paus Yohannes II, Presiden Gus Dur berkunjung ke Vatikan untuk mengemukakan bahwa (saat itu akan) diadakan dialog tiga agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam) di Jakarta, Senin 14 Februari 2000M.
Sebuah sumber mengatakan, ketika pihak sumber ini berkeinginan untuk ikut dalam “dialog” maka dijawab oleh panitia, seorang cewek dari Yayasan Paramadina di Jakarta, bahwa acara di Departemen Agama RI itu tertutup. Dan orang-orangnya sudah tertentu.
Siapa mereka? Dari Islam, menurut sumber itu, pembicaranya adalah orang-orang IAIN Jakarta, yaitu Dr Azzyumardi Azra (rektor IAIN Jakarta), Dr Bachtiar Effendi, dan Dr Kautsar Azhari Noer.
8. Mengikuti jejak Annie Besant
Program t kecil dan T besar yang dilontarkan Dr Nurcholish Madjid tahun 1985 untuk mengaburkan makna kalimah thoyyibah, Laailaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah) menjadi: Tiada tuhan selain Tuhan –t kecil dan T besar– ternyata tidak berhenti sampai di situ. Walaupun sudah terpeleset-peleset sampai untuk menghindari lafal Allah itu dengan kilah bawa Allah itu sebutan bagi Dewa Air, hingga diledek oleh Drs H Ridwan Saidi: Kalau Allah itu Dewa Air, lantas kutu airnya mana?; namun program Yahudinisasi atau pendangkalan Islam, atau tasykik alias peragu-raguan terhadap kebenaran Islam tetap digencarkan.
Drs H Ridwan Saidi pernah menyindir secara telak terhadap rekannya, Dr Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran-pemikiran Nur cholish itu tidak jauh beda dengan pemikiran Annie Besant.
Untuk lebih jelasnya, sindiran itu bisa dicari sumber lain, sebenarnya bagaimanakah pemikiran dan missi Annie Besant itu. Prof Dr Hamka dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang shobi’un, di sana tertera nama Annie Besant. Tulis Hamka: “…Di dalam al-Quran kita bertemu nama-nama Shabi’un ini sampai tiga kali. Yaitu pada ayat 62 dari Surat al-Baqarah, ayat 69 dari Surat Al-Maidah, dan ayat 17 dari surat Al-Hajj.
Diambil kepada pokok pangkal kata-nya, yaitu shabi’, berarti bahwa shabi’un ialah orang-orang yang keluar dari Nasrani, atau sebagai Muslim dia keluar dari agama Islam, lalu membuat agama sendiri. Inilah pula artinya seketika Rasulullah mencela agama nenek moyangnya kaum Quraisy, maka kaum Quraisy menuduh beliau shabi’ dari agama yang dipeluk oleh nenek moyangnya.
Di negeri Irak sampai sekarang ini masih terdapat satu golongan agama yang dipanggilkan orang shabi’in. Mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi oleh karena terlalu memperturutkan fikiran sendiri, mereka tidak lagi memeluk agama yang telah ada, lalu memeluk atau membuat agama sendiri. Kaum shabi’in di Irak itu dalam beberapa hal mempercayai ajaran Kristen, tetapi merekapun mempercayai kekuatan bintang-bintang (astrologi), bahwa perjalanan bintang-bintang ada pengaruhnya kepada manusia, sehingga kebanyakan mereka menjadi tukang tenung nasib orang.
Menilik kepada pokok ambilan bahasa ini, maka penulis tafsir ini (Prof Dr Hamka, pen) berpendapat bahwasanya gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di zaman modern ini, seumpama Theosofi yang digerakkan oleh Annie Besant dan Madame Balavatsky di India beberapa puluh tahun yang lalu boleh juga dimasukkan dalam shabi ‘in ini. Sebab maksud gerakan Theosofi ialah hendak mempersatukan atau mencari titik-titik pertemuan segala agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka tidak bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan hendak mempertemukan intisari segala agama, memperdalam rasa kerohanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah segala agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.
Pada pendapat saya (Hamka, pen) meskipun dalam tafsir-tafsir lama tidak bertemu pendapat seperti ini, Theosofi adalah semacam Shabi’in juga. Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar, Sultan Mongol Islam yang Agung di Hindustan yang terkenal itupun mencoba pula mencari titik-titik pertemuan agama, lalu membangun agama baru, dinamai Din Ilahi (agama Tuhan). Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, dan dipasangnya Api Suci Iran dalam istana di Agra dan beliau suruh menghormati sapi dan meninggalkan memakan dagingnya, dan beliau bertekun ibadat di dalam bulan puasa. Dan inipun semacam shabi ‘in. (Prof Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 6, hal 322-323).
Model Theosofi, dengan istilah-istilah yang sering mereka lontarkan yakni mencari titik temu antar agama-agama, memang sering diucapkan oleh kader-kader dari Barat yang belajar “Islam” dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tidak syak lagi, apa yang mereka sebut universalisme, pluralisme, atau agama Ibrahim, tidak lain adalah pencabutan dari agama Islam, agar keluar dari Islam. Di sinilahletak bahayanya.


Anehnya, kini bahkan merupakan proyek dan program besar yang didukung oleh penguasa dhalim yang tidak ada pembelaannya terhadap Islam, dan didukung aneka pihak dengan dipayungi oleh Yahudi internasional yang telah menggodok para intelektual dari negeri-negeri Islam lewat “studi Islam di Barat” dengan menggunakan kendaraan Tasawuf untuk menikam Islam.
Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku ummat Islam, termasuk pula para intelektual Muslim yang kini terperangkap ke arah sana. Tidak usah anda berbangga sebagaimana bangganya “londo ireng” (Belanda Hitam –pribumi yang jadi antek penjajah dan lebih galak ketimbang penjajahnya sendiri) di zaman penjajahan Belanda.
Akibatnya, mereka (antek-antek penjajah kafir itu) pun hancur, sedang nama busuk pun tertancap pada diri-diri mereka. Sadarilah bahwa tidak mungkin musuh Islam itu tulus ikhlas ingin memajukan Islam, atau mengembangkan Islam. Sebaliknya lah yang ada. Itu sudah hukum alam, menurut istilah saudara. Kalau istilah Islam, ya ayat itu tadi, tentang program-program syetan untuk menipu manusia dengan merubah ciptaan Allah, yaitu merubah diinullaah, agama Allah. Relakah anda disebut sebagai antek syetan?
dikutip dari buku Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan.
karya H Hartono Ahmad Jaiz -
ridwankariem.blogspot.co.id

Borok-Borok Sufi

Oleh Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada para filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok Islam. Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.
MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.
Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan keyakinan-keyakinan mereka.
ILMU LADUNI
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:
“wa ‘allamnaahu min Ladunnaa ‘ilmaan”
“Artinya :…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi : 65].
Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[1]. Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua”. [Al-Baqarah : 282].
Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi’ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah. [2]
Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya :
1. Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar’i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, “Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya”.[3]
Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, “Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia”[.4]
2. Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha’if (lemah), munkar dan maudhu’ (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, “Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami : “Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku”. Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan : “Telah mengabarkan kepada kami Fulan”. Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?. Tentu akan dijawab : “Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal”. “(Kemudian) dari Fulan (lagi)”. Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : “Ia telah meninggal”.[5] Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, “Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali”[6]. Dikatakan oleh Asy-Sya’rani, “Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf”.[7].
3. Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut :”Sembunyikan auratmu”.[8] Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.
Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap diatas :
Pertama.
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Padahal Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.
Sesungguhnya para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari kiamat. Telah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].
“Artinya : Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka” [Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93]
Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan”. [Saba’ : 28]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua”. [Al-A’raf : 157]
Dan siapa saja yang ‘alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Seandainya Musa turun, lalu kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah kalian. Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari umat-umat yang ada”. [Riwayat Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, dan lihat pula dalam Irwa’al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588]
Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur’an secara nyata :
“Artinya : Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi”. [Al-Anbiya’ : 34]
“Artinya : Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup”. [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir]
Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits.[9]
Kedua.
Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)”. [Al-Baqarah : 282]
Hal itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari’atkan dan diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar”. [Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda’. Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]
Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.
Ketiga.
Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, “Iblis menginginkan untuk menutup jalan tersebut dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya. [10] Dan tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.
“Artinya : Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”. [Asy-Syu’ara : 221-223]
“Artinya : Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ? Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga”. [Maryam : 83-86]
Adapun pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman. [11] Jadi bila ada perkataan mereka semacam ini : “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku” tidak lain adalah perkataan khurafat.
Keempat.
Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi, “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat itu di tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku, ‘Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam’. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa’at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya”.
Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:
1. Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir’aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari’at. Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku”. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami’ dan ziyadahnya V/293]
Berdasarkan keterangan diatas, maka kita berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para pengikutnya adalah dajjal-dajjal Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka dusta dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.
SYARI’AT DAN HAKIKAT
Para pemimpin sufi mengatakan, bahwa setiap ayat mempunyai unsur lahir dan bathin. Atau, Islam itu terdiri dari syari’at dan hakikat. Syari’at, bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.
Cara agar mampu untuk mencapainya adalah dengan memiliki ilmu laduni, kasyaf Rabbani serta Faidh Ar-Rahmani. Dalihnya, hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dari Abu Hurairah :
“Artinya : Aku menghafalkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua kantung ilmu. Adapun salah satunya telah aku sebarkan. Sedangkan lainnya, bila ku sebarkan akan dipotong tenggorokan ini”. [Hadits Riwayat Bukhari dalam kitab Fitan]
Padahal ini sebagai isyarat dari beliau rahimahullah tentang akan tidak adanya kaitan antara ilmu batin dan ilmu zhahir. Kalau tidak begitu, pasti beliau akan mencantumkannya dalam Al-‘Ilm. Sesungguhnya, Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan masalah tersebut secara rinci dalam kitabnya, Fathu Al-Bari I/216.
Oleh karena itu, barangsiapa menyatakan Islam terdiri dari lahir dan batin, berarti dia telah menyangka Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menghianati tugas kerasulannya. Tapi, inilah kenyataannya. Mereka berkeyakinan, Rasulullah hanya menyampaikan yang zhahir saja. Sedang, yang batin beliau beritahukan kepada orang-orang tertentu.[12]
Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas dari yang mereka kaitkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah, malaikat Jibril serta orang-orang shalih dari kalangan yang beriman menyaksikan yang demikian itu. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini Aku sempurnakan untuk mu agamamu, dan Aku lengkapkan untukmu semua ni’mat-Ku serta Aku ridhai bagimu Islam sebagai agama”. [Al-Maidah : 3]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meminta persaksian dihadapan segenap manusia muslim yang berkumpul di bawah Jabal Ar-Rahmah pada hari haji akbar. Kata beliau, “Sesungguhnya, kalian akan ditanya tentang aku. Maka, apakah yang akan kalian katakan ?” Jawab mereka : “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu dan telah menunaikannya. Engkau telah menasehati umatmu dan menunaikan kewajibanmu”.
Lantas beliau bersabda seraya mengacungkan telunjuknya ke arah langit dan menggerak-gerakkannya kehadapan manusia : “Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah”. [Potongan dari hadits Jabir bin Abdullah tentang hajinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di-tahqiq ulang Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Hijjah An-Nabi, hal. 37-41].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menyatakan secara terang-terangan, dan hal ini sebagai hujjah nyata guna menampar setiap pendusta dan yang suka berbuat dosa. Kata beliau :
“Artinya : Sesungguhnya seorang nabi tidak mengenal main isyarat (dengan mata)”. [Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dari Anas. lihat Shahih Al-Jami’ II/303]
Maksudnya memberi isyarat dengan isyarat rahasia. Hal ini agar tidak ada seorangpun yang berburuk sangka yang menyebabkan tumbuhnya keyakinan, bahwa dalam agama Allah ada rahasia yang tidak banyak diketahui manusia.
Yang semakna dengan hadits ini adalah sabdanya :
“Artinya : Sesungguhnya tidak selayaknya bagi seorang nabi mempunyai mata yang khianat”. [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Hakim dari Sa’id. Lihat Shahih Al-Jami’ II/307]
AL-HULUL WA AL-ITTIHAD
Sebagaimana kelomppok sufi berkhayal, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah. Ketika itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Orang-orang yang berpikiran demikian, misalnya Al-Hallaj, ibnu Al-Faradh, Ibnu Sab’in dan lainnya dari kalangan sufi. Berikut ini kami paparkan sebagian perkataan mereka : Al-Hallaj berkata : [13]
Maha Suci yang menampakkan sifat kemanusiannya,
Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamban-Nya, Fulan. [14]
Dan Ibnu Al-Faradh berkata : [15]
Tidaklah aku shalat kepada selainku,
dan tidaklah shalatku kepada selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka’atku.
Dan cukuplah bagi orang-orang sufi merasakan kesedihan tatkala Ibnu Al-Faradh berpayah-payah dibalik fatamorgana. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, tatkala menceritakan keadaan Ibnu Al-Faradh : “Orang yang mengucapkan sya’ir tersebut ketika meninggalnya mengucapkan syair sebagai berikut :
Jika kedudukanku dalam cinta disisi-Mu,
tidak seperti yang pernah aku jumpai,
maka sesungguhnya aku telah membuang-buang umurku.
Angan-angan yang menancap dalam diriku beberapa lama,
dan pada hari ini aku mengiranya sebagai mimpi kosongku belaka.
At-Tusturi berkata : [16]
Akulah yang dicintai dan yang mencintai,
tidak ada selainnya.
Para syaikh tasawuf tersebut mencari-cari dalih dengan hadits yang berbicara masalah wali. Padahal, segala dalih dan alasan itu tak mendukung mereka. Misalnya sebuah hadits :
“Artinya : Tidak henti-hentinya seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan perbuatan-perbuatan yang disunnahkan hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, dan tangannya yang dia julurkan, dan kakinya yang dia langkahkan. Maka, jika ia meminta kepada-Ku, sungguh aku akan beri. Dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya”. [Hadits Riwayat Bukhari, akan tetapi kami ringkas sesuai dengan makna pembahasan].
Hadits ini menunjukan dengan sangat adanya pembedaan dan pemisahan. Dalam hal ini ada ‘Abid (yang beribadah) dan Ma’bud (yang diibadahi). Sa-il (yang meminta) dan Mas-ul (yang diminta), ‘A-idz (yang minta perlindungan) dan Mu’idz (yang melindungi). Sedang, orang-orang sufi tersebut mengaku bahwa Allah berdiam dalam dzat hambanya. Yaitu, jika Dia menjadi dia dan keduanya menjadi dua dzat yang menyatu.
Betapa anehnya ! Bagaimana akal orang-orang sufi tersebut menerimanya dengan cara membenarkan kebohongan ini ? Dan bagaimana pula hingga lisan mereka mengulang-ngulangnya ? Sungguh, Kursi-Nya seluas langit dan bumi, maka bagaimana mungkin jasad manusia dapat menampung-Nya ?.
Adapun hadits berikut :
“Artinya : Langit dan bumi-Ku sempit bagi-Ku, akan tapi hati hamba-Ku yang beriman lapang bagi-Ku”
Maka hadits ini adalah hadits palsu menurut kesepakatan para ulama ilmu hadits.
WIHDAH AL-WUJUD
Pemahaman hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan wihdah al-wujud. Istilah ini berdasar pola pikir orang-orang sufi bermakna, bahwa dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali Allah. Maka, tidaklah segala yang nampak ini kecuali penjelmaan dzat-Nya semata. Yaitu, Allah. Maha Suci Allah, Rabb kita, Rabb yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan.
Ibnu Arabi berkata : “Tidak ada yang tampak ini kecuali Allah, dan tidaklah Allah mengetahui kecuali Allah”.
Dan termasuk dalam keyakinan ini adalah orang-orang yang mengatakan :”Akulah Allah, Maha Suci Aku”. Seperti, Abu Yazid Al-Bustahmi.[17]
Katanya : “Rabb itu haq dan hamba itu haq. Maka, betapa malangku. Siapakah kalau demikian yang menjadi hamba ? Jika aku katakan hamba, maka yang demikian itu haq, atau aku katakan Rabb, sesungguhnya aku hamba”.
Dikatakan pula : [18] “Suatu saat hamba menjadi Rabb tanpa diragukan, dan suatu saat seorang hamba menjadi hamba tanpa kedustaan”.
Keberanian mereka kepada Allah sampai puncaknya ketika tukang sya’ir mereka, Muhammad Baha’uddin Al-Baithar mengatakan : [19] “Tidaklah anjing dan babi itu melainkan sesembahan kita, dan tidaklah Allah itu melainkan rahib-rahib yang ada dalam gereja-gereja”.
Pensyarah kitab Aqidah At-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, berkata :”Perkataan yang demikian itu mengantarkan manusia pada teori hulul wa al-ittihad. Hal ini lebih keji daripada kafirnya orang-orang Nashrani. Karena orang-orang Nashrani mengkhususkan menyatunya Alllah hanya dengan Al-Masih, sedangkan mereka memberlakukan secara umum terhadap seluruh mahluk. termasuk keyakinan mereka pula, bahwa Fir’aun dan kaumnya memiliki kesempurnaan iman, sangat mengenal Allah secara hakiki.
Termasuk dari cabangnya pula, bahwa para penyembah berhala berada diatas kebenaran, dan mereka sesungguhnya beribadah kepada Allah, tidak kepada lainnya. Keyakinan lainnya, tida ada perbedaan dalam penghalalan dan pengharaman antara ibu, saudara perempuan dan yang bukan mahram. Dan tidak ada perbedaan antara air dengan khamer, zina dengan nikah. Semuanya itu berasal dari sumber yang satu. Dan termasuk cabangnya pula, bahwa para nabi mempersempit manusia. Maha Tinnggi Allah dari apa yang mereka katakan”. [20]
Keyakinan semacam ini merupakan puncak tertinggi dari kekafiran, yang dengannya hancurlah seluruh agama, membatalkan seluruh syari’at, dihalalkan seluruh perkara yang diharamkan, dan disamakannya orang yang beriman dengan orang fasik, orang bertaqwa dengan orang binasa, muslim dengan mujrim, yang hidup dengan yang mati. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang yang suka berbuat dosa, bagaimana kalian dengan apa yang kalian putuskan. Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat dibaca ? [Al-Qalam : 35-37].
Benar, mereka mempunyai kitab selain Al-Qur’an. yaitu, Al-Fushush Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiyah. Dan telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih seperti orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Ataukah Kami hendak menjadikan orang-orang yang bertaqwa seperti orang-orang kafir”. [Shad : 28].
Dan apa yang kami paparkan di sini bukanlah hasil istimbath kami dan bukan pula ijtihad. Akan tetapi, semua itu adalah perkataan mereka yang diucapkan dengan lisannya. Yang syaikh paling senior diantara mereka selalu mengulang kekafirannya dan menyatakan kefasikannya.
Bila pembaca menghendaki hakikat yang kami paparkan dan dalil yang kami kukuhkan, maka lihatlah kitab Al-Fathu Ar-Rabbani dan Al-Faidh Ar-Rahmani, karangan Abdul Ghani An-Nablisi hal. 84,85,86,87.
Semoga Allah memaafkan kita.
CAHAYA (NUR) MUHAMMADI
Termasuk dalam madzhab wihdah al-wujud, ialah adanya keyakinan dikalangan orang-orang sufi tentang masalah Aqthab, Autad, Abdal, Aghwats, An-Najba (yakni beberapa istilah status, jabatan atau peringkat dikalangan sufi), bahwa ruh Allah berdiam pada diri mereka sehingga merekalah yang mengatur apa yang ada.
Mereka menduduki kedudukan Allah dalam mencipta dan mengatur. Yang demikianpun termasuk keyakinan Syi’ah terhadap para imamnya. Seperti dikatakan Khumeini dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyah hal.52 : “Sesungguhnya imam mempunyai kedudukan yang terpuji dan derajat yang tinggi, dan kekuasaan untuk mencipta serta tunduk di bawah kekuasaannya seluruh unsur dari semesta ini. Dan termasuk madzhab kami yang sangat penting pula, bahwa para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak dapat diraih oleh para malaikat terdekatpun, dan tidak pula oleh nabi yang didekatkan. Dan berdasarkan riwayat-riwayat yang ada pada kita, dengan hadits-haditsnya, bahwa Rasul teragung Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam, mereka semua, sebelum adanya alam semesta ini berupa cahaya yang dijadikan Allah mengelilingi Ars-Nya. [21]
Sesungguhnya orang-orang sufi, dimana beribu-ribu kaum muslimin dari segala penjuru dirangkul mereka, lalai ketika mengangkat orang-orang tersebut (para imamnya) ke derajat ketuhanan atau yang mendekati hal itu. Yaitu menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkedudukan diantara mereka dalam mengatur semesta, baik masalah penciptaan dan pengaturan, mendatangkan manfaat dan memberikan madharat, qadha dan qadar …. Maka, mulailah mereka mengada-ngadakan perkataan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teori Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah yang mengeluarkan Rasulullah dari alam manusia dan menjadikannya cahaya (nur). Dari cahaya Muhammad itulah seluruh mahluk diciptakan.
“Artinya : … Sungguh besar perkataan yang keluar dari mulut mereka. Tiadalah yang mereka katakan itu kecuali dusta”. [Al-Kahfi : 5]
Berikut ini sebagian dari perkataan mereka :
1. Muhammad Adalah Asal Semesta.
“Sesungguhnnya akal yang pertama adalah dinasabkan kepada Muhamad. Karenanya Allah menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta”.[22]
2. Muhammad Di Atas ‘Arsy.
“Mahluk yang pertama adalah debu, dan mahluk yang pertama yang berwujud secara hakiki adalah Muhammad yang disifatkan istiwa’ di atas ‘Arsy Ar-Rahmani, yaitu ‘Arsy ilahi. [23]
3. Cahaya Muhammad (Nur Muhammadi) Adalah Cahaya Allah.
4. Muhammad Adalah Penjaga Atas Semesta.
5. Semesta Diciptakan Karena Muhammad.
Ibnu Nabatah Al-Mishri berkata :
Kalau bukan karenanya,
tidak adalah bumi dan tidak pula ufuk.
Tidak pula waktu, tidak pula mahluk,
tidak pula gunung.
6. Muhammad Mengetahui Yang Ghaib.
Berikut ini dalil-dalil mereka yang mereka sembunyikan di balik punggung-punggunya :
Hadits pertama.
“Artinya : Pertama kali yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, wahai Jabir” [Hadits Palsu]
Hadits kedua.
“Artinya : Aku sudah menjadi nabi sedangkan Adam masih berwujud antara air dan tanah”. [Hadits Palsu. Lihat Syarah Jami’ash-Shagir III/91 dan Asna Al-Mathalib hal. 195]
Ini adalah perkataan yang sangat lemah dan matan-nya mungkar. Bukankah air adalah bagian dari tanah ? Adapun hadits shahih berlafadz : “Artinya : Aku sudah menjadi Nabi, sedangkan Adam adalah keadaan antara ruh dan jasad”, tetapi ini pada ilmu Allah yang azali.
Hadits ketiga.
“Artinya : Kalau tidak karena engkau, maka bintang-bintang itu tidak diciptakan”. [Shan’ani berkata bahwa hadits ini Palsu dan disepakati Imam Syaukani dalam kitab Fawaid Al-Majmu’ah hl. 116]
Padahal sesungguhnya Allah telah menutup berbagai jalan menuju perbuatan yang melebih-lebihkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Katakanlah, sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kamu semua. Hanyasanya diwahyukan kepadaku (wahyu). Sesungguhnya sesembahanmu adalah sesembahan yang Esa. Maka barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal dengan amalan yang shalih dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya”. [Al-kahfi : 110]
Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah, Maha Suci Rabbku. Bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul ?”. [Al-Isra : 93]
Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah, tidaklah aku mengatakan kepada kalian semua bahwa aku mempunyai perbendahaaran Allah, tidak pula aku mengetahui yang ghaib, tidak juga aku katakan bahwasanya aku ini malaikat. Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, apakah sama orang yang melihat dengan orang yang buta ? Apakah kalian semua tidak berpikir ?”. [Al-An’am : 50]
Telah bersabda pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Janganlah kalian semua melebih-lebihkan aku seperti orang-orang Nashrani melebih-lebihkan Isa anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan utusan-Nya”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan telah bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya aku ini adalah manusia yang dapat marah pula”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan riwayat lainnya yang sangat banyak. Inilah sifat-sifat kemanusiaan yang di sandang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak lahirnya hingga bertemu dengan Rabbnya. Beliaulah yang mengajak manusia untuk mencontohnya dan menempuh jejak-jejaknya.
Kalau bukan dari alam kita, tidaklah kita diperintahkan untuk mengikuti beliau dan menjalani sunah-sunahnya. Siapakah yang lebih benar perkataannya dari Allah, sedangkan Dia telah menyetujui hakikat ini melalui lafadz-lafadz Qur’ani yang pasti dan terinci :
“Artinya : Mereka berkata, kenapa tidak diturunkan kepada kita malaikat ? kalau diturunkan kepada mereka malaikat, maka pasti telah diselesaikan perkaranya (dengan dibinasakan mereka semua) kemudian mereka tidak diberi tangguh. Dan kalau seandainya Kami turunkan malaikat, pasti akan Kami jadikan dia seorang manusia, Kami-pun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana mereka kini ragu”. [Al-An’am : 8-9]
Dan ketahuilah, semoga Allah menambahkan ilmu kepadamu, semesta ini adalah mahluk yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Yaitu beribadah kepada Allah. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya.
“Artinya : Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. [Adz-Dzariyat : 56]
PENDIDIKAN SUFI
Supaya ajaran tasawuf mencapai tujuannya, mereka kenakan pada tokoh-tokohnya sifat bebas dari dosa (‘ishmah). Selain itu, menuntut kepada muridnya agar bersikap seperti mayit di tangan yang memandikannya. Maka janganlah engkau melampauinya dengan mengambil ilmu sufi dari guru lain, karena seorang murid yang menimba ilmu dari dua guru ibarat seorang wanita di tangan dua lelaki. [24]
Ibnu Arabi berkata : “Sesungguhnya termasuk syarat imam batin, hendaklah ia ma’shum (bebas dari dosa)” [25] Katanya lebih lanjut : “Dan engkau, wahai para murid yang tertipu dan tersesat, bantulah apa yang diinginkan terhadap engkau. Dan bersangka baiklah, jangan membantah. Bahkan yakinilah. Dan manusia dalam masalah ini mempunyai perkataan yang banyak. Tapi terserah dirilah, niscaya engkau akan selamat. Dan Allah lebih mengetahui perkataan para walinya. [26]
Kami tidak mengetahui kenapa banyak ulama kaum muslimin berdiam diri terhadap kekufuran dan keingkaran yang bersembunyi dalam pakaian Islam yang bertujuan menipu, menyesatkan serta mengajak kaum muslimin untuk meyakininya serta menegakan agama mereka di atas asasnya ? Sesungguhnya termasuk suatu kebaikan jihad di sisi Allah untuk menghapuskan fitnah ini dari kalangan muslimin, karena sesungguhnya fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Kenapa kaum muslimin tidak terang-terangan memerangi mereka secara keseluruhan demi tumbangnya kepalsuan-kepalsuan yang telah memburamkan keindahan Islam ?.
Bahkan kenyataannya banyak kaum muslimin yang tersembelih kesesatan dan kekufuran ini. Dan tidaklah menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian ini kecuali usaha para ulama Islam untuk menyingkap kebatilan-kebatilan tadi dengan berbagai bahasa dan dengan berbagai kedudukan. Maka wahai Rabbku, bangkitkanlah orang-orang yang memperbaharui agama-Mu ini, karena sesungguhnya kaum sufi telah kembali bangkit dengan wajah baru pula.
[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha’u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 17//Tahun IX/1416H/1996M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote.
[1]. Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.
[2]. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226
[3]. Quwat Al-Qulub, III/35
[4]. Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
[5]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
[6]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
[7]. Al-Mizan, I/28.
[8]. Tablis Iblis, hal. 370.
[9]. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
[10]. Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
[11]. Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27.
[12]. Ihya’Ulumuddin, AL-Ghazali, I/19
[13]. Ath-Thawasin. Al-Hallaj, cet. Masoniyah, hal. 139
[14]. Tablis Iblis, Ibnul Jauzi, hal.145.
[15]. Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, XI/247-248
[16]. Ma’arij At-Tashawuf Ila Laqaiq At-Tashawuf, Ahmad Bin ‘Ajibah, hal.139.
[17]. Al-Futuhat Al-Makiyah, I/354.
[18]. Fushush Al-Hikam, hal.90
[19]. Shufiyat, hal.27
[20]. Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.79
[21]. Al-Hukumat Al-Islamiyah, Khumeini, hal. 52
[22]. Al-Insan Al-Kamil lil Jalil, hal.4
[23]. Futuhat Al-Makkiyah, I/152
[24]. Ihya’ Ulumuddin, I/50-51 dan III/75-76
[25]. Futuhat Al-Makkiyah, III/183
[26]. Muqaddimah AL-Futuhat, I/5

Tarekat Yang Sesat Lagi Kufur

Oleh : DR. MOHD. ASRI ZAINUL ABIDIN (pensyarah Bahagian Pengajian Islam Universiti Sains Malaysia (USM))
Tiada jalan untuk mendapatkan petunjuk Allah melainkan menerusi Islam. Tiada jalan memahami Islam melainkan memahami al-Quran dan as-Sunnah dengan kaedah-kaedahnya yang sahih. Malangnya masih ada di kalangan yang mendakwa diri mereka muslim lebih suka kepada tafsiran-tafsiran Islam yang tidak berteraskan kefahaman yang betul terhadap al-Quran dan as-Sunnah. Di kalangan mereka ada pula yang begitu berminat jika memiliki aliran atau tafsiran agama yang tersendiri dan menyimpang dari petunjuk al-Quran dan as-Sunnah. Antaranya dengan menyertai atau menganut ajaran sebahagian tarekat atau aliran kerohanian yang membuat beberapa tafsiran agama yang sangat bahaya pada penilaian aqidah Islamiyyah.

Golongan seperti ini menganggap diri, guru dan aliran yang mereka ikuti adalah istimewa dan mulia. Mereka bangga dengan tafsiran-tafsiran pelik yang menyimpang jauh dari jalan petunjuk yang sebenar. Mereka mendakwa mereka telah menemui ilmu kerohanian dan makrifat. Justeru itu, mereka tidak lagi bergantung kepada hukum zahir atau kepada syariat yang dipegang golongan zahir atau awam. Mereka mendakwa kononnya mereka adalah golongan batin atau hakikat yang mempunyai ilmu ladunni(ilmu secara langsung dari Allah), kasyaf (singkapan hijab) yang tidak lagi memerlukan lagi nas-nas al-Quran dan as-Sunnah.
Sebenarnya, tarekat atau aliran kesufian yang seperti ini sangat merbahaya kerana menatijahkan kerosakan aqidah dan tulisan ini akan cuba membahaskannya dengan ringkas.

Kepentingan Aqidah

Telebih dahulu hendaklah seseorang sedar bahawa persoalan `aqidah adalah teras kepada ad-din. Tanpa aqidah yang sahih iaitu yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah maka seluruh amalan adalah sia-sia belaka, sekalipun nampak pada zahirnya hebat.

Firman Allah:

Maksudnya

“Sesiapa yang beramal dengan amalan yang solih samada lelaki atau perempuan dalam keadaan dia mukmin, mereka itu memasuki syurga dan mereka tidak dizalimi walaupun sedikit”
(Surah an-Nisa’ :124)

Dalam ayat di atas Allah dengan jelas mensyaratkan seseorang yang ingin melakukan amal solih itu hendaklah mukmin iaitu beriman kepada Allah dalam ertikata iman yang sebenar dan pastinya tidak melakukan perkara-perkara yang merosakkannya. Dengan itu sesiapa yang akidahnya rosak maka amalannya sama sekali tidak diterima walaupun kelihatan banyak dan hebat. Ini kerana setiap amalan dalam Islam dibina di atas asas aqidah.

Iktikad Yang Merosakkan

Iktikad yang ada pada sebahagian golongan tarekat yang menganggap bahawa sesiapa yang sudah sampai kepada peringkat tertentu dalam amalan atau tarekat yang mereka ikuti maka dia tidak lagi bergantung kepada syariat seperti tidak perlu lagi solat, puasa, jihad dan sebagainya. Mereka beranggapan kononnya yang perlu beramal ialah golongan awam sedangkan mereka adalah golongan khusus atau ahli hakikat atau makrifat.

Sebenarnya hendaklah diketahui bahawa fahaman ini termasuk dalam aliran kufur dan sesat yang telah lama dibahaskan dan ditentang oleh para ulama Ahl as-Sunnah wa al-Jama`ah. Mereka perlu jelas bahawa kesimpulan perbahasan berkenaan menyatakan kepercayaan atau pegangan tersebut boleh mengeluarkan mereka dari Iman dan Islam. Dalam kata lain ianya boleh membatalkan syahadah mereka dan menjadikan mereka kafir. Para ulama aqidah memasukkan kepercayaan seperti itu dalam senarai perkara kufur. Disebut dalam ‘Taisir dhi al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Nawaqid al-Iman’ seperti berikut: “Sesiapa yang beriktikad bahawa sebahagian manusia dibolehkan keluar dari syariat Muhammad s.a.w maka dia adalah kafir. Ini berdasarkan firman Allah:

(Maksudnya) “Sesiapa yang mencari selain Islam sebagai din (agama) maka sama sekali tidak diterima daripadanya dan dia di akhirat kelak termasuk daripada kalangan golongan yang rugi” (Surah Ali `Imran : 85)” (m.s. 97, Cetakan Dar Isybilia, Saudi)

Al-Imam Ibn Kathir dalam Tafsir al-Quran al-`Azim, menafsir ayat dalam Surah Ali `Imran di atas menyatakan: “Sesiapa yang melalui suatu cara yang lain dari apa yang disyariatkan Allah maka sama sekali ianya tidak diterima” ( jld. 2, m.s. 378, Cetakan Dar al-Ma’rifah, Beirut).

Guru-guru ajaran sesat yang seperti ini biasanya akan mengemukakan kepada para pengikutnya yang jahil dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah berbagai-bagi tafsiran palsu, bohong lagi menyesatkan. Para pengikut yang tidak begitu jelas kefahaman terhadap Islam akan menerima dan menganggap mereka memiliki hujah dan dalil yang kuat terhadap apa yang mereka percayai. Antara apa yang dihuraikan oleh golongan ini untuk menghalalkan tindakan mereka yang enggan mengikut syariat dan menganggap mereka telah sampai kepada suatu makam yang istimewa ialah:

Penyelewengan Huraian Maksud al-Yaqin

Mereka berhujjah dengan firman Allah dalam Surah al-Hijr ayat 99:

Maksudnya:

“Beribadatlah kepada tuhanmu sehingga datangnya kepadamu al-yaqin”.

Dengan membuat tafsiran salah mereka menyatakan bahawa ayat ini bermaksud “beribadatlah kepada tuhanmu sehingga engkau memperolehi ilmu dan makrifat, setelah engkau telah memperolehinya maka gugurlah kewajipan `ibadat”. Di sana ada lagi beberapa tafsiran lain yang mereka cipta bagi membolehkan mereka menganggap perkataan al-yaqin dalam ayat di atas adalah bermaksud makam sufi. Apabila mereka menganggap diri mereka telah memperolehinya maka tanggungjawab ibadat atau mengikut syariat sudah tidak diperlukan lagi kerana ayat tersebut menyatakan sehingga datangnya yakin maka apabila yakin yang ditafsirkan oleh mereka telah diperolehi maka syariat pun gugur.

Tafsiran Sebenar

Sebenarnya perkataan al-yaqin di dalam ayat di atas telah ditafsirkan oleh semua mufassirin yang muktabar sebagai al-maut iaitu kematian. Dengan ini ayat tersebut bermaksud: “Beribadatlah kepada tuhanmu sehingga datangnya kepadamu kematian”

Al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi di dalam kitabnya yang masyhur iaitu Ahkam al-Quran menjelaskan maksud ayat ini: “Perkataan al-yaqin bermaksud al-maut (kematian), Allah memerintahnya agar terus menerus dalam ibadat selama-lamanya, iaitu sepanjang hayat.” Seterusnya Al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi mengemukakan alasan mengapakah perkataan al-yaqin di dalam ayat di atas ditafsirkan sebagai al-maut. Iaitu berdasarkan kepada hadith yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, apabila Rasulullah menziarah jenazah Uthman bin Madh`un, baginda bersabda:

“Adapun dia telah datang kepadanya al-yaqin. Demi Allah aku mengharapkan untuk kebaikan…” ( jld. 3, m.s. 116, Cetakan Dar al-Fikr, Beirut).

Daripada hadith riwayat al-Imam al-Bukhari (hadith ke-1243) yang dikemukan oleh al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi dengan jelas menunjukkan Rasulullah s.a.w. mengucapkan kepada jenazah Uthman bin Madh`un yang telah meninggal, baginda menggunakan perkataan al-yaqin dengan dimaksudkan al-maut iaitu kematian. Dengan jelas sunnah atau hadith sendiri telah menafsirkan maksud ayat tersebut. Maka ini yang kukuh kerana tafsiran yang paling kuat terhadap sesuatu ayat al-Quran ialah samada di tafsirkan dengan ayat al-Quran yang lain atau dengan as-Sunnah. Setelah datangnya tafsiran yang ma’thur (daripada Rasullullah) maka tidak boleh wujud lagi sebarang tafsiran aqli yang menyanggah tafsiran Nabi s.a.w.

Daripada ucapan Nabi s.a.w. yang jelas itu maka ayat tersebut bermaksud setiap mukmin diwajibkan terus beribadat sehingga tibanya kematian. Justeru itu ternyata, ayat tersebut bukanlah hujah yang menyokong kesesatan golongan berkenaan sebalik ianya adalah dalil yang menentang pendapat mereka yang menyeleweng yang hanya menghadkan ibadat sehingga ke tahap tertentu sahaja.

Al-Imam Ibn Kathir dalam menafsir ayat daripada surah al-Hijr tersebut, menyebut alasan tambahan yang membuktikan kesesatan tafsiran golongan tarekat atau sufi tersebut, katanya: “Sesungguhnya ibadat seperti solat dan seumpamanya adalah wajib bagi bagi setiap insan selagi akalnya masih berfungsi, maka hendaklah dia mengerjakan solat mengikut keadaannya. Ini seperti yang sabit di dalam Sahih al-Bukhari daripada `Imran bin Husoin r.a. sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Solatlah dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu maka dalam keadaan duduk dan jika tidak mampu maka di atas lambung”. Berdalilkan ini menunjukkan kesalahan pendapat golongan mulhid yang berpendapat maksud al-yaqin ialah makrifat dan apabila telah seseorang di kalangan mereka telah memperoleh makrifat maka gugur daripadanya tuntutan agama. Ini adalah iktikad yang kufur, sesat dan jahil. Sesungguhnya para anbiya a.s. dan sahabah mereka adalah golongan yang paling mengetahui tentang Allah, paling mengenali tuntutan-tuntutanNya, sifat-sifatNya dan apa yang paling layak untuk mengagungkanNya, namun begitu mereka adalah golongan yang paling kuat dan banyak ibadat serta terus menerus melakukan amalan kebaikan sehingga menemui kematian. Dengan itu maksud al-yaqin di sini adalah al-Maut (kematian) (jld. 2, m.s. 581)

Cuba lihat dalam petikan di atas al-Imam Ibn Kathir dengan jelas menghukum golongan ini sebagai mulhid (tidak percayakan agama), kafir, sesat dan jahil. Ini menunjukkan betapa bahayanya kepercayaan seperti ini terhadap aqidah dan wajibnya golongan ini ditentang.

Menyelewengkan Tafsiran Kisah Musa dan Khidir

Selain itu golongan ini juga beralasan dengan peristiwa Nabi Musa a.s. dan Khidir a.s. yang disebut di dalam al-Quran, di dalam Surah al-Kahf. Jika kita merujuk kepada Surah al-Kahf (ayat 60-82) Allah menceritakan pengembaraan Nabi Musa mencari Khidir a.s. bagi menuntut ilmu daripadanya. Semasa perjalanan Nabi Musa a.s. menemani Khidir a.s., baginda telah melihat beberapa tindakan Khidir a.s. yang menyanggahi syariat yang diturunkan kepadanya (Musa) lalu baginda membantahnya. Setelah tiga kali pertanyaan serta bantahan dibuat oleh Musa a.s. terhadap tiga tindakan yang dilakukan oleh Khidir, akhirnya Khidir pun tidak lagi membenarkan Musa a.s. mengikuti dan menceritakan rahsia segala tindakan-tindakannya yang dianggap oleh Nabi Musa a.s. sebagai kesalahan.

Dengan mempergunakan kisah dalam Surah al-Kahf berkenaan maka golongan sufi atau tarekat yang sesat beralasan bahawa para wali dibolehkan tidak mengikut syariat para nabi dan boleh melakukan segala tindakan yang dianggap salah oleh golongan zahir tetapi haikatnya betul di sisi ilmu hakikat atau ilmu ladunni. Ini kononnya sama seperti tindakan Khidir yang tidak mengikut Nabi Musa a.s. kerana Khidir adalah wali Allah dia menilai dengan ilmu ladunni yang terus menerus daripada Allah sedangkan Musa a.s adalah seorang nabi yang menilai dengan ilmu syariat semata. Justeru itu golongan hakikat tidak sama dengan golongan syariat dan golongan hakikat tidak perlu mengikut syariat seperti Khidir tidak perlu mengikut Musa.

Inilah dakwaan mereka yang sangat jahil bagi menilai apa yang terkandung di dalam lafaz-lafaz atau bentuk-bentuk ayat (siyaq al-Ayat) yang membawa maksud bagi sesuatu tafsiran yang benar. Golongan sufi yang menyeleweng dan tarekat yang sesat mempergunakan ayat 65 dari Surah al-Kahf yang menyebut:

(Maksudnya)
“Lalu mereka berdua (Musa dan Yusya’ bin Nun) telah bertemu seorang hamba (Khidir) dari kalangan hamba-hamba Kami (Allah) yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami berikan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.

Oleh kerana ayat itu menyebut min ladunna ilma (ilmu dari sisi Kami) maka muncul istilah ilmu ladunni. Dengan istilah ini ada golongan sufi dan tarekat yang sesat mengambil kesempatan untuk mengatakan mereka juga mempunyai ilmu ladunni seperti Khidir oleh itu mereka tidak terikat atau bergantung dengan syariat zahir.

Sebab itu seorang tokoh mufassir semasa iaitu Solah `Abd al-Fatah al-Khalidi dalam mengulas ayat ini dalam buku Ma`a Qasas as-Sabiqin Fi al-Quran beliau menyebut: “Para penafsir golongan sufi telah berbicara dengan perkataan-perkataan yang pelik mengenai ilmu ladunni dan memisahkan antara hakikat dan syariat, yang zahir dan batin. Mereka telah mencampur aduk dan merosakkan dalam menafsirkan ayat-ayat ini dan juga selainnya.” (jld. 2 m.s. 186. Cetakan Dar al-Qalam, Syiria) .

Beliau juga menukilkan beberapa ulasan para ulama mengenai ayat ini, antaranya ulasan al-Imam as-Syinqiti di dalam tafsirnya, Adwa al-Bayan iaitu: “Sesungguhnya rahmat dan ilmu ladunni yang kedua-duanya Allah kurniakan kepada kepada Khidir bermaksud kenabian dan wahyu. Ini kerana Khidir berkata kepada Musa:

(Maksudnya)“Aku tidak melakukannya dengan kehendakku”. (Surah al-Kahf: 82)

Perintah Allah tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Tiada jalan kepadanya melainkan wahyu. Allah telah menentukannya (pengetahuan mengenai perintahNya) hanya dengan jalan wahyu dengan firmannya dalam Surah al-Anbiya ayat 45:

(Maksudnya)”Katakanlah (Wahai Muhammad !) Aku hanya memberikan peringatan dengan wahyu”. (ibid. m.s. 190)

Setelah menghimpunkan ulasan dan tafsiran para ulama mengenai ilmu ladunni yang diisyaratkan oleh al-Quran, Solah al-Khalidi membuat kesimpulan seperti berikut, katanya: “Selepas melihat perkataan-perkataan daripada para ulama kita maka kita dapat membuat suatu keputusan yang putus iaitu: Ilmu ladunni yang diisyaratkan oleh ayat tersebut, yang telah Allah ajarkannya kepada Khidir a.s. sebenar ialah nubuwwah (kenabian) dan wahyu. Adapun pengakuan dan dakwaan golongan sufi mengenai ilmu ladunni menurut kefahaman mereka itu, adalah batil, sesat, menyanggahi syariat Islam dan petunjuk al-Quran. (m.s. 92)

Ini bererti seluruh tindakan Khidir adalah wahyu daripada Allah. Khidir adalah nabi. Nabi Musa diutuskan kepada Bani Israil tidak diutuskan kepada Khidir. Khidir juga sebenarnya adalah Nabi yang menerima arahan langsung daripada Allah melalui jalan wahyu. Beliau tidak bergantung kepada syariat yang dikhususkan kepada Bani Israil. Justeru itu, segala tindakan Khidir adalah perintah Allah yang pasti melalui jalan wahyu dan tidak bergantung kepada ajaran Nabi Musa a.s. yang diutuskan untuk Bani Israil. Adapun Nabi Muhammad adalah utusan untuk sekelian manusia tanpa kecuali dan tidak ada yang terlepas dari berada di bawah lembayung ajarannya.

Al-Imam al-Allamah Ibn Abi al-`Izz dalam kitab aqidah yang iaitu Syarh al-`Aqidah at-Tahawiyyah dengan jelas menyebut persoalan ini dengan katanya: “Adapun sesiapa yang berpegang dengan kisah Musa bersama Khidir a.s. bagi membolehkannya meninggalkan wahyu kerana bergantung dengan ilmu ladunni, seperti yang didakwa oleh yang tidak mendapat taufik, maka dia adalah mulhid (atheis) dan zindik (munafiq). Ini kerana Musa a.s. bukanlah Rasul yang diutuskan kepada Khidir. Khidir juga tidak diperintah untuk mengikutnya. Sebab itulah Khidir bertanya Musa:

“Apakah engkau Musa dari Bani Israil?” Jawab Musa: “Ya!”
(Riwayat al-Bukhari).

Adapun Muhammad adalah diutuskan untuk seluruh manusia dan jin. Sekiranya Musa dan `Isa masih hidup maka mereka mesti menjadi pengikutnya. Apabila `Isa turun ke bumi (pada akhir zaman) dia hanya akan berhukum dengan syariat Muhammad. Oleh itu sesiapa yang mendakwa bahawa kedudukan dia bersama Muhammad seperti Khidir bersama Musa atau membolehkan (mempercayai) ianya berlaku untuk sesiapa di kalangan umat maka hendaklah dia memperbaharui keislamannya, hendak dia kembali bersyahadah dengan syahadah yang benar kerana dia telah terkeluar dari Islam keseluruhannya. Sama sekali dia bukan dari kalangan wali-wali ar-Rahman sebaliknya dia adalah wali-wali syaitan”. (m.s. 511, cetakan al-Maktab al-Islami, Beirut).

Lihatlah betapa jelasnya pendirian para ulama akidah terhadap golongan sufi dan tarekat yang seperti ini. Nyata sekali, sesiapa yang mendakwa perkara seperti ini terhadap dirinya atau orang lain seperti guru tarekat atau syeikhnya maka dia sama sekali adalah terkeluar daripada Islam. Di samping itu, sesiapa yang mendakwa dirinya seperti Khidir bererti dia mendakwa dirinya diberikan wahyu seperti Khidir atau dalam kata lain dia mendakwa diri menjadi nabi setelah datangnya penutup sekelian nabi. Ini adalah kekufuran di atas kekefuran.

Al-Imam al-Qurtubi yang merupakan tokoh mufassir besar. Beliau juga tidak lupa membahaskan persoalan ini dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran. Beliau menukilkan ulasan gurunya al-Imam Abu al-`Abbas mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukum sebagai zindiq iaitu katanya: “Mereka itu berkata: “Hukum-hakam syarak yang umum adalah untuk para nabi dan orang awam adapun para wali dan golongan khusus tidak memerlukan nas-nas (agama) sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran mereka”. Golongan ini juga berkata: “Ini disebabkan kesucian hati mereka dari kekotoran dan keteguhannya maka terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan, mereka mengikuti rahsia-rahsia alam mereka mengetahui hukum-hakam yang detil maka mereka tidak memerlukan hukam-hakam yang bersifat umum seperti yang berlaku kepada Khidir. Mencukupi baginya (Khidir) ilmu-ilmu terserlah kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman Musa”. Golongan ini juga menyebut: “Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau telah diberikan fatwa oleh para penfatwa”. Seterus al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan katanya: “Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan zindiq dan kufur dibunuh sesiapa yang mengucapkannya dan tidak diminta daripadanya taubat, kerana dia telah engkar apa yang diketahui dari syariat. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalanNya dan melaksanakan hikmahNya bahawa hukum hakamnya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang menjadi para utusan antara Allah dan makhlukNya. Meraka adalah penyampai risalah dan perkataanNya serta penghurai syariat dan hukum-hakam. Allah memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan urusan ini hanya untuk mereka.” Dalam huraian tambahan al-Qurtubi menyebut lagi: “Telah menjadi ijma’ salaf dan khalaf bahawa tidak ada jalan mengetaui hukum-hakam Allah yang berhubung suruhan dan laranganNya walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Sesiapa yang berkata “Disana ada cara lain untuk mengetahui suruhan dan larangan Allah tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul maka dia adalah kafir, dihukum bunuh……” (jld. 11, m.s. 40-41, cetakan Dar al-Fikr, Beirut).

Demikian betapa tegasnya al-Imam al-Qurtubi dalam mengulas dakwaan sesat lagi kufur ini bagi membukti betapa bahayanya iktikad yang seperti ini. Bahkan kebanyakan para ulama Ahli as-Sunnah tidak lupa untuk memperingatkan perkara ini setiap kali mereka menyebut kisah Musa dan Khidir bagi memerangi golongan yang mempergunakan tafsiran yang salah lagi sesat ini untuk memperlihatkan keistimewaan diri dan akhir mereka tercerumus ke lembah kekufuran. Umpamanya, lihatlah ulasan yang begitu jelas oleh Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa dalam menentang kefahaman-kefahaman yang seperti ini. Demikianlah para ulama yang lain bagi setiap zaman. Maka golongan ilmuan yang wujud pada zaman ini juga perlu memerangi perkara yang seperti ini. Ini kerana aliran kepercayaan ini masih wujud dan mempengaruhi kalangan yang jahil dan mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari agama. Jika mereka tidak ditentang habis-habisan maka akan hancur binaan Islam dan yang tinggal hanyalah Islam tanpa syariat.
Advertisements

Thariqah Menurut Habib Luthfi Bin Yahya

Ma’rifat adalah “mengerti dan mengenal”. Mengerti belum tentu mengenal, tapi kalau mengenal sudah pasti mengerti. Jadi ma’rifat di sini adalah mengenal Allah Swt., seperti halnya kita mengetahui sifat-sifatNya, baik yang wajib, mustahil dan jaiz. Tapi pengenalan itu baru pondasi. Untuk mengenal lebih jauh kita harus sering-sering mendekati Allah Swt. agar Allah juga mendekat dengan kita.
Makhluk Allah banyak yang mengerti tapi tidak mengenal Allah. Dengan ilmu ma’rifat ini, kita belajar mengenal Allah dan Allah pun akan mengenali kita. Tapi tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan ritual-ritual khusus untuk bisa lebih dekat dengan Allah dan agar kita juga tidak lalai dengan Allah.
Bila dalam mengenal Allah kita sudah dapat saling mengenal, berarti kita sudah semakin dekat dengan Allah. Tapi pasti pengenalan seseorang dengan Allah berbeda-beda, tergantung dengan tahapan-tahapannya. Itulah pentingnya wirid untuk mencapai tingkatan kema’rifatan yang tinggi.
Sebenarnya dalam thariqah yang dikhususkan adalah cara membersihkan hati, tashfiyatulqulub atau tazkiyatunnufus. Sedangkan bacaan-bacaannya (wiridan) adalah sebagai nilai tambahan untuk pendekatan kepada Allah Swt.
Thariqah sebagian besar adalah mengamalkan kalimat “La ilaha illallah” atau kalimat “Allah” sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan oleh thariqah itu sendiri. Ada yang mewiridkan secara sirr (dalam hati atau pelan) dan ada pula yang mewiridkannya secara jahr (keras).
Wirid yang paling baik sebenarnya adalah membaca al-Quran, karena dalam hadits dijelaskan bahwa “Barangsiapa ingin berdialog dengan Allah, maka bacalah al-Quran”. Dialog dengan Tuhan adalah wirid yang paling indah. Kemudian membaca kalimat thayibah seperti lafadz “La ilaha illallah”, maka Allah akan menjamin surga bagi para pembaca kalimat tersebut. Kemudian lafadz-lafadz yang lainya seperti istighfar, shalawat, tahmid, tasbih, asmaul husna, karena itu semua juga adalah kalimat-kalimat yang sering dibaca oleh Rasulullah Saw. dan kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat yang biasa dibaca oleh para jamaah thariqah.
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa, thariqah juga amalan yang tidak gampang untuk dijalani. Karena apabila terjadi kelalaian dalam pengerjaannya kita akan berdosa, sebab amalan dalam thariqah adalah suatu keharusan (kewajiban) untuk dikerjakan. Tapi kalau dilihat dari segi positifnya memang thariqah tersebut adalah proses kita untuk lebih mengenali Allah.
Disamping itu, thariqah dapat melepaskan kedua penyakit hati yang ada pada diri kita; untuk mengatasi kealpaan dalam hati dan menghilangkan noktah atau kotoran yang ada. Sebab amalan dalam thariqah adalah kewajiban maka orang akan berhutang apabila tidak mengerjakan amalan tersebut, dan akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan apapun. Dan thariqah juga dapat menghapus hijab pembatas yang terdapat dalam dirinya yang mengakibatkan sifat lalai serta banyak lupa kepada Allah Swt.
Kalau seseorang ingin hatinya bersih dan membersihkan hati setidaknya orang tersebut mempunyai ketertarikan terhadap thariqah tersebut, karena kalau dilihat dari fungsi thariqah adalah menghapuskan kotoran dalam hati dengan selalu mengamalkan dzikirnya. Karena dari dzikir tersebut orang akan selalu tenang dan sabar dalam menghadapi setiap masalah yang ia hadapi, karena orang tersebut akan selalu merasa dekat dengan Allah.
Kaitan Thariqah dan Syariat
Kalau kita pahami lebih lanjut, thariqah dan syariat sebenarnya memang tidak dapat dipisahkan, karena tujuan keduanya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena ketika seseorang berthariqah tetapi ia meninggalkan syariat, maka itu juga salah karena ia telah meninggalkan kewajibannya.
Thariqah adalah buah dari syariat. Jadi kalau berthariqah tidak boleh lepas dari pintunya dahulu yaitu syariat. Karena syariatlah yang mengatur tentang kehidupan kita, dengan menggunakan hukum, dari mulai aqidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kitab Allah, para rasul, hari akhir, takdir yang baik dan buruk. Dan dengan syariat pula kita mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.
Setelah kita dapat menjalankan syariat dengan baik, dan kita sudah mengetahui hukum-hukum dalam syariat maka kita baru menuju pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu menuju thariqah dan belajar untuk mengenal Allah. Maksudnya bahwa thariqah adalah tingkatan bagi orang yang sudah cukup ilmunya, terutama yang sudah diwajibkan syariat. Karena tidak semua orang langsung dapat menuju pada tingkat thariqah.
Orang yang menuju thariqah haruslah mengetahui Allah, seperti mengetahui tentang sifat wajib dan mustahil Allah, dan juga mengetahui sifat mumkin (jaiz) Allah. Orang tersebut juga mengetahui tentang hukum-hukum dalam beribadah, seperti rukun wudhu, rukun iman, hal-hal yang membatalkan wudhu, rukun shalat serta hal-hal yang membatalkan dalam shalat. Dan juga orang tersebut dapat membedakan mana yang halal dan yang haram. Bilamana hal-hal tersebut sudah dapat terpenuhi maka tidak ada salahnya apabila orang tersebut masuk ke dalam thariqah.
Antisipasi dalam Berthariqah
Perlu diketahui juga bahwa sufisme itu sudah tidak asing lagi di kalangan kita, dan telah menjadi warna di kota-kota besar di beberapa negara. Jika kita tertarik pada thariqah atau perkumpulan dzikir tertentu, kita juga harus mengetahui tentang perkumpulan tersebut. Karena di jaman sekarang banyak organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan mereka dan menyelewengkan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, yang perlu kita lakukan adalah seperti apakah thariqah tersebut dan siapakah yang memimpin thariqah tersebut. Meskipun dalam dzikir yang dibaca itu memang dari Rasulullah Saw., namun terkadang ada kelompok yang menyelewengkannya atau menyimpang dari ajaran sehingga keluar dari jalan yang benar dan menyesatkan.
Pada thariqah yang kita perlu ketahui dahulu adalah alirannya, semissal thariqah Qadiriyah, Syadziliyah, Syatariyah dan lain sebagainya. Menurut data yang ada pada Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), jumlah thariqah yang diakui itu ada sekitar 70 thariqah. Penegasan muktabar atau tidaknya sebuah thariqah tentu harus melalui suatu penelitian. Pertama dari ajarannya, kemudian dari ketentuan wiridnya tergolong ma’tsur atau tidak, dan yang ketiga memiliki silsilah atau mata rantai dengan guru yang jelas hingga pada pendiri thariqah tersebut.
Guru thariqah yang merupakan guru ruhani itu haruslah orang yang mengerti tentang agama. Jika tidak mengerti maka bisa diragukan kapasitas keguruannya. Sebab bagaimana ia bisa memimpin suatu organisasi ritual dan keruhanian sementara ia tidak mengerti tentang agama? Sebab orang yang telah menapak jalur thariqah haruslah sudah sempurna syariatnya dan guru tersebut juga telah menjalankan semua kewajiban agama bahkan termasuk shalat sunnahnya. Hal ini juga terkait dengan akhlak sang guru. Seseorang dianggap mengerti tentang ilmu agama minimal bisa dilihat dari bacaan al-Qurannya. Sebab seorang ulama diukur pertama kalinya dari pemenuhan syarat menjadi imam shalat antara lain dari kefasihannya membaca ayat-ayat al-Quran.
Memang dalam kenyataannya, terkadang banyak orang yang bingung tentang thariqah, ada yang ingin masuk tetapi belum sampai pada tingkatan tersebut dan juga belum mengetahui tentang pentingnya berthariqah. Perlu kita ketahui, jika kita masuk pada thariqah maka keimanan kita akan terbimbing. Disitulah peran para guru mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, ma’rifat kita tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut.
Antara Berthariqah dan Tidak
Bagaimana dengan orang yang tidak berthariqah? Syarat berthariqah itu harus mengetahui syariatnya dahulu, artinya kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dapat dipahami. Diantaranya hak Allah Swt., lalu hak para rasulNya. Setelah kita mengenal Allah dan RasulNya kita perlu meyakini apa yang telah disampaikannya, seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu dan lain-lain.
Orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirinya, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah secara bersama-sama yaitu melalui seorang mursyid. Sebagai contoh kalau kita ingin ke Mekkah dan kita belum pernah ke Mekkah dan belum mengenal Mekkah, tentu berbeda dengan orang yang datang ke tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.
Orang yang tidak mengenal sama sekali tempat tersebut, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya maka itu sah-sah saja. Namun bagi orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun yamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lain-lain. Meski orang tersebut sudah sampai ke Ka’bah namun apabila tidak tahu rukun yamani, dia tidak akan mampu untuk thawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang yang ingin berthariqah haruslah melalui para guru atau mursyid, agar jalan yang ditempuh dapat berjalan dengan baik dan bisa mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.
Agama Islam adalah agama yang fleksibel, yaitu maksudnya bahwa agama Islam tidak memberatkan kepada umatnya tentang suatu ibadah. Dalam arti orang Islam melakukan suatu ibadah itu menurut kemampuannya masing-masing, karena kemampuan seseorang dengan orang yang lain tentu berbeda-beda. Itulah sebabnya mengapa tingkatan-tingkatan seseorang dalam beribadah kepada Allah pun berbeda-beda pula. Memang tujuannya sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tentu hasilnya akan berbeda menurut dengan usaha yang dilakukan.
Dalam beribadah tentu sekelompok orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencapai kesempurnaan untuk dapat mengerti Allah dan dekat dengan Allah Swt. Cara-cara tersebut sah-sah saja asal tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh syariat, dan tidak menyesatkan.
Kaitan Thariqah dan Tasawuf
Tasawuf adalah salah satu usaha peniadaan diri, yaitu menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Itulah cara yang kebanyakan ditempuh oleh seorang sufi, melalui ritual-ritual khusus dan amalan-amalan yang berbeda-beda pula. Amalan-amalan tersebut ditunjukan untuk menyanjung Allah dan mengakui kebesaran Allah Swt. Allah adalah Dzat yang Mahapengasih dan penyayang. Barangsiapa yang ingin berusaha dengan sungguh-sungguh pasti Allah akan mengabulkannya.
Thariqah itu min ahli la ilaha illallah, dimana ajarannya mencermikan setelah kita iman dan Islam lalu ihsan. Makna ihsan dalam hal ini adalah menyembahlah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah. Kalau tidak mampu, kita harus yakin bahwa kita sedang dilihat Allah Swt. Dengan merasa didengar dan dilihat oleh Yang Maha Kuasa, itu akan mengurangi perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Karena kita malu, takut kepada Yang Maha Kuasa.
Tasawuf itu sendiri berfungsi untuk menjernihkan hati dan membersihkan hawa nafsu dari berbagai sifat yang dimiliki manusia, utamanya sifat kesombongan yang disebabkan oleh banyak hal. Jika ajaran tasawuf itu diamalkan, tidak ada yang namanya saling dengki dan saling iri, justeru yang muncul adalah saling mengisi.
Tasawuf itu buah dari thariqah. Pakaian thariqah adalah tasawuf yang bersumberkan dari akhlak dan tatakrama (adab). Contohnya, orang masuk kamar mandi dengan kaki kiri terlebih dahulu, masuk masjd mendahulukan kaki kanan, dll. Itu semua ajaran tasawuf. Contoh lain, sebelum makan baca Basmalah dan setelah selesai baca Hamdalah. Apa yang diajarkan dalam tasawuf sebagai bentuk rasa terimakasih kepada yang memberi rejeki. Kita ambil satu butir nasi yang terjatuh, karena kita sadar bahwa kita tidak bisa membuat butir nasi, lalu kita bersyukur. Itu semua ajaran tasawuf.
Nah, kalau syariat itu terbatas. Maka jika syariat yang diberlakukan, orang mabuk tidak boleh berdekatan dengan orang Muslim. Kalau tasawuf tidak demikian, mereka harus diajak bicara, mengapa mereka mabuk. Kita tidak boleh tunduk dengan pejabat karena ada alasan tertentu, akan tetapi kita wajib menjaga wibawa pejabat di hadapan umum, sekalipun dengan pribadi kita ada ketidakcocokan. Akan tetapi jangan asal tabrak. Ini semua juga ajaran tasawuf.
Berthariqah dan Batasan Usia
Jika belajar dzikir kepada Allah Swt. menunggu sudah tua, iya kalau umurnya sampai tua. Bagaimana kalau masih muda meninggal? Yang terpenting adalah mereka mengerti tata urutan berthariqah, mengerti syarat dan rukunnya dulu seperti masalah wudhu dan shalat, mengerti sifat wajib, jaiz dan mustahil Allah, mengetahui halal dan haram.
Kalau menertibkan hati menunggu tua, nanti terlanjur hati berkarat tebal. Maka sejak usia muda seyogyanya mereka mulai mengamalkan ajaran thariqah, seperti MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqah An-Nahdliyyah).
Apakah boleh mengikuti baiat thariqah, padahal masih belajar ilmu syariat? Setiap Muslim tentu boleh, bahkan harus, berusaha menjaga serta meningkatkan kualitas iman dan Islam di hatinya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan berthariqah. Namun berthariqah sendiri bukan hal yang sangat mudah. Karena, sebelum memasukinya, seseorang harus terlebih dulu mengetahui ilmu syariat. Tapi juga bukan hal yang sangat sulit, seperti harus menguasai seluruh cabang ilmu syariat secara mumpuni.
Yang diprasyaratkan untuk masuk thariqah hanya pengetahuan tentang hal-hal yang paling mendasar dalam ilmu syariat. Dalam aqidah, misalnya, ia harus sudah mengenal sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah. Dalam fiqih, ia sudah mengetahui tata cara bersuci dan shalat, lengkap dengan syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya, serta hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh agama.
Jika dasar-dasar ilmu syariat sudah dimiliki, ia sudah boleh berthariqah. Tentu saja ia tetap mempunyai kewajiban melengkapi pengetahuan ilmu syariatnya yang bisa dikaji sambil jalan. Syariat lainnya adalah umur yang cukup (minimal 8 tahun), dan khusus bagi wanita yang berumah tangga harus mendapat izin dari suami. Jika semuanya sudah terpenuhi, saya mengimbau segeralah ikut thariqah.
Semua thariqah, asalkan mu’tabarah, ajarannya murni dan silsilahnya bersambung sampai Rasulullah Saw., sama baiknya. Karena semua mengajarkan penjagaan hati dengan memperbanyak dzikrullah, istighfar dan shalawat. Yang terpenting, masuklah thariqah dengan niat agar kita bisa menjalankan ihsan. Jangan masuk thariqah karena khasiatnya atau karena cerita kehebatan guru-guru mursyidnya.
(*Ibj, dikompilasi dari ceramah-ceramah Maulana Habib Luthfi bin Yahya).


“Al Akhfiya” (Orang-Orang Yang Tidak Suka Popularitas) Adalah Keanehan ! Banyak Digemari Monasiyun, Retorikayun, Spandukiyun, Youtubiyun !
Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi
Apa Jadinya Jika Saudi Arabia Dikuasai Oleh Sufi Dan Syiah, Serta Metode (Pemahaman) Nenek Moyang (Tradisi).
'Aqidah Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah Dalam Sifat Allah Ta'ala, Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Yang Sesungguhnya, Mengenal Manhaj Salaf, Antara Zuhud Sunni Dan Zuhud Sufi.
Al-Muflis ( Bangkrut )
Benarkah Kelompok Shufiyyah Termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
"Dhirar" Chechnya (Konferensi Sufi Sesat)
Hakikat Shufiyyah di Mata Syi’ah
Ibadah Nyeleneh Sufi Di Indonesia Dan Chechnya (Kebatilan Mazhab Sufi Berzikir Sambil Menari).
KH Afifuddin Muhajir: Pemikiran Said Aqil Merusak NU, Imam Al-Ghazali Dicap Batil
Kesesatan Syiah Menurut Dr. Said Aqil Siroj
K.H Said Aqil Siradj : Rajin Shalat Jamaah Dimasjid, Tahajjud, Dluha, Puasa Senin Kamis Dan Semisalnya, Menghormati Orang Tua, Menghormati Tamu/ Tetangga, Berprasangka baik, Menolong Orang, Dermawan Menginfaqkan Harta Sebesar 100 Juta, Belum Tentu Dirinya Seorang Sufi (Bukan Itu Ukuran Tasawuf ). Jadi Tasawwuf Itu Apa ? Secara Etimologi, Dicari Akar Katanya Sangat Sulit. Menghujat, Fitnah Orang ( Kelompok ), Menghalalkan Segala Cara ?
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan Islam?” Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An Dan Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
Kitab Al-Hikam Dalam Timbangan Islam
"Keteladanan Antara Wali Songo Vs Wali Dollar" [untuk ulama "su/penghujat wali jenggot !"]
Kewajiban Mencintai Nabi. Mana Buktimu Cinta Kepada Nabi? Tasawuf Dan Cinta Nabi ? Hakikat Tasawuf Dan Sufi
Klimaks Dari Muktamar Chechnya, Presiden Chechnya Meminta Maaf Atas Kejahatan Muktamar Sufi Aswaja Sedunia Yang Menghujat Salafiyyah !!
Hakikat Shufiyyah di Mata Syi’ah
Kitab-Kitab Ulama Syafi'iyyah Dalam Memperjuangkan Sunnah Dan Mengingkari Bid'ah
Membongkar Kedok Sufisme Di Hadramaut ( Penulis Dan Kata Pengantarnya Para Ahlul Bait)
Pesta Tarekat Sufi (Tasawuf) Hilang Kewarasan
Perbedaan Pokok Ajaran Islam Dan Tasawuf
Peran Dan Kontribusi Imam Al-Ghazali Dalam Menghadang Pemikiran Dan Kejahatan Syiah. Benarkah Tasawuf Ajaran Nabi, Perbedaan Pokoknya Dengan Ajaran Islam, Serta Taubatnya Dari Filsafat Dan Tasawuf.
Penyakit Riya Dan Gila Popularitas. Mengapa Kita Tak Perlu Terkenal ? Mereka Orang Yang Shalih, Tapi Tidak Mau Dikenal
Prof DR Nasaruddin Umar (Penganut Sufi Super Ilmiyyah) : Berguru Dengan Alam Ghaib Itu Dimungkinkan. Katanya, Imam Ghazali Tidak Perlu Mencantumkan Sebuah Hadits Dalam Kitabnya (Shahih Atau Tidak) Sebab Langsung Meminta Konfirmasi Ke Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Begitupun Ibnu Arabi Dengan Kitab Fushus Al Hikam.
Pengrusak Umat
Perjanjian Faisal Bin Husein (Putra Syarif Mekkah Husein Bin Ali, Penganut Sufisme, Keluarga Hasyimiyah) -Weizmann, Pintu Masuk Yahudi Eropa Miliki Tanah Di Palestina. 'Arab Revolt', Pemberontakan Keluarga Sufi Melawan Turki Utsmani
Syara' Menggalakkan Zuhud Bukan Tasawuf
Syi'ah Sufistis
Syeikh Abdul Qadir Jailani Dan Syiah
Siapa Wali Kutub Dan Wali Ghauts?
Siapakah Wali Allah Subhanahu wa Ta'ala
Siapakah Sufi ? Paham Sufi Dalam Timbangan Al-Qur’an Dan Assunnah
Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?
Tafsir Orang Sufi Terhadap Al-Qur’an Bukanlah Tafsir
Untuk "Ulama ?" Penghina " Wali Jenggot" Baca Artikel ini : Perbedaan antara wali-wali Allah dan wali-wali syaithon
Walisongo Sangat Gamblang Beberkan "KEKAFIRAN" dan Perilaku Kategori "KAFIR"
Zuhud