Tanya Jawab: Menyikapi Orang Yang Tidak Shalat
- Syaikh Utsman Al Khumais
Penjelasan
Hukum Merayakan Maulid Nabi Menurut
Ustaz Abdul Somad
Pada 12 Rabiul Awal 1440 Hijriyah, umat
Islam di seluruh dunia memperingati Maulid Nabi atau hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW.
Terdapat berbagai macam tradisi atau
perayaan untuk memeriahkan hari spesial umat muslim tersebut.
Namun, hukum merayakan Maulid Nabi
Muhammad SAW masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat.
Dilansir dari channel YouTube Para
Pejalan, Sabtu(17/11/2018), Ustaz Abdul Somad menjelaskan soal hukum
peringatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Terdapat dua pendapat tentang
hukum Maulid Nabi, antara lain bid'ah dan bukan bid'ah.
Diketahui, bid'ah adalah
perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk
menambah atau mengurangi ketetapan.
Menurut Ustaz Abdul Somad, peringatan
Maulid Nabi bukanlah bid'ah dilandasi oleh tiga dalil atau hukum.
Dalil pertama, dia menceritakan tentang Imam Al Hafiz, ulama yang hafal 300.000 hadis pernah
mengatakan bahwa pada tanggal 10 Muharam Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa,
hingga Bani Israil melaksanakan puasa untuk merayakan hal tersebut.
Semenjak itulah, pada setiap tanggal 10
Muharam, umat Bani Israil hingga umat muslim melakukan ibadah puasa sebagai
ucapan syukur kepada Allah SWT.
Menurut Imam Al Hafiz, jika tradisi untuk Nabi
Musa saja dibolehkan, apalagi perayaan Maulid Nabi.
Ustaz Abdul Somad juga sependapat dengan
Imam Hafiz.
Kendati demikian, dia tidak memaksa jemaah
untuk sependapat dengannya.
"Terserah ibu bapak saja, saya tidak
memaksa ikut pendapat saya, Imam Hafiz hafal 3000 hadis, ambo ikut Imam
Hafiz," ungkap Ustaz Abdul Somad di depan para jemaat.
Dalil kedua, Ustaz Abdul Somad menceritakan Imam Al Baihaqi menyebut satu di antara hadis, bahwa
orang harus ingat nikmat Allah SWT.
"Ingatkanlah mereka tentang nikmat Allah
SWT, hingga nikmat yang lebih besar dari nikmat sawit, nikmat gas, nikmat
minyak bumi, yakni nikmat datangnya Sayyidina Muhammad SAW,"
"Ingatkan mereka tentang nikmat Allah SWT,
ingatkan mereka tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW," papar Ustaz
Abdul Somad.
Dalil ketiga, Ustaz Abdul Somad mengkisahkan
Aminah, melahirkan seorang anak bernama Muhammad SAW.
Mendengar kejadian tersebut paman Nabi Muhammad
SAW, Abu Lahab sangat bahagia.
Adik laki-lakinya yang meninggal atau ayah Nabi
Muhammad SAW, Abdullah tergantikan dengan kelahiran keponakannya.
Saking bahagianya, lantas Abu Lahab membebaskan
budak bernama Suwaibah, sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut.
Hari itu merupakan sedekah terbesar Abu Lahab sehingga dosanya diringankan tiap hari
Senin.
Kisah Abu Lahab tersebut termaktub pada Kitab
Navadim Zajip Antusoha yang ditulis oleh Sayid Muhammad
Bin Alwi Bin Abbas Al Hasani Al Maliqi, ulama besar Mekkah Al Mukaromah.
"Buka kitabnya, sudah diterjemahkan ke
bahasa Indonesia," kata Ustaz Abdul Somad.
Dia pun mengatakan jika ada orang yang tidak
pernah salat namun merayakan Maulid Nabi, maka akan diringankan dosanya pada
hari Senin. (beliau kiaskan dengan abu lahab). lihat Video diatas.
Sehingga ia menyimpulkan
bahwa Maulid Nabi adalah satu di antara amal sholeh asal tidak ada
niat macam-macam dan hanya mengaggungkan Nabi Muhammad SAW.
Ia menambahkan, pemimpin ulama besar
dunia, Syeh Yusuf Al Qorbowi menceritakan bahwa
sahabat nabi tidak merayakan Maulid Nabi lantaran mereka hidup
bersama Nabi, makan bersama Nabi, salat dengan Nabi, dan menengok Nabi.
Namun setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
pada masa Tabiin tidak ada orang yang mengenang hari lahir Nabi, hingga suatu
saat ada satu di antara sahabat Nabi membawa anak mereka di atas bukit Uhud.
Di sana sahabat Nabi tersebut mengenalkan
Nabi Muhammad.
Maka Ustaz Abdul Somad berkata tujuan
peringatan Maulid Nabiyakni mengenalkan Nabi, anak Nabi, hingga cucu Nabi.
"Jika anak-anak kita tidak
mengenalkan Sayidinna Husen, maka anak-anak akan lebih kenal Upin-Ipin,"
celoteh Ustaz.
Berikut ceramah Ustaz Abdul Somad (Published on Nov 17, 2018):
Kenapa Zaman Sahabat Tidak Ada Maulid ? Ustadz
Abdul Somad, Lc. MA
Sanggahannya :
Apakah Perayaan Maulid Nabi Sebuah
Ketaatan (Taqarrub) Kepada Allah ?
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai
Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk
Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah (lihat daftar isinya dibawah).
Apa
Hukum Peringatan Maulid Ustadz?
Ustadz Abdul Somad
Saya merasa tak pantas menjawab
pertanyaan ini, saya nukilkan beberapa pendapat ulama:
PENDAPAT
AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-‘ASQALANI:
وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر
عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح
من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها
المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت
وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود
يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن
نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء
نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع
العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا
النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم_ الكتاب : الحاوي للفتاوي للسيوطي
Syaikhul Islam Hafizh al-‘Ashr Abu al-Fadhl
Ibnu Hajar ditanya tentang maulid nabi. Beliau menjawab:
Asal perbuatan malid adalah bid’ah. Tidak ada
riwayat dari seorang pun dari kalangan Salafushaleh dari tiga abad pertama
tentang itu. Akan tetapi maulid mengandung banyak kebaikan dan lawannya. Siapa
yang mencari kebaikan dan menghindari lawannya, maka itu adalah bid’ah hasanah.
Jika tidak, maka tidak dapat dianggap bid’ah hasanah. Terlihat jelas bagi saya
mengeluarkan hukumnya dari dasar yang kuat, yaitu hadits yang disebutkan dalam
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Saw ketika tiba di
Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Ia bertanya
kepada mereka, mereka menjawab, bahwa itu adalah hari Allah menenggelamkan
Fir’aun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa bersyukur kepada Allah”.
Maka dapat diambil pelajaran dari itu bahwa bersyukur kepada Allah pada hari
tertentu disebabkan mendapat nikmat atau ditolaknya bala, itu dapat dijadikan
perbandingan. Pada hari itu setiap tahun. Syukur kepada Allah dapat diungkapkan
dengan berbagai jenis ibadah seperti sujud, berpuasa, sedekah dan membaca
al-Qur’an. Adakah nikmat yang lebih besar daripada nikmat dimunculkannya nabi
ini, nabi rahmat pada hari itu?!
PENDAPAT
AL-HAFIZH SYAMSUDDIN BIN AL-JAZARI:
إمام القراء الحافظ شمس الدين بن الجزري قال في
كتابه المسمى عرف التعريف بالمولد الشريف ما نصه قد رؤى أبو لهب بعد موته في النوم
فقيل له ما حالك فقال في النار إلا أنه يخفف عني كل ليلة اثنين وأمص من بين أصبعي
ماء بقدر هذا- وأشار لرأس أصبعه- وأن ذلك بإعتاقي لثويبة عندما بشرتني بولادة
النبي صلى الله عليه وسلم وبإرضاعها له. فإذا كان أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن
بذمه جوزي في النار بفرحه ليلة مولد النبي صلى اله عليه وسلم به فما حال المسلم
الموحد من أمة النبي صلى اله عليه وسلم يسر بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في
محبته صلى الله عليه وسلم لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله
جنات النعيم._ الكتاب : الحاوي للفتاوي للسيوطي
Imam para ahli Qira’at, al-Hafizh Syamsuddin
bin al-Jazari, ia berkata dalam kitab ‘Urf at-Ta’rif bi al-Maulid asy-Syarif,
teksnya:
“Abu Lahab diperlihatkan di dalam mimpi setelah
ia mati, ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”. Ia menjawab, “Di dalam
neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin. Aku menghisap air
diantara jari jemariku sekadar ini – ia menunjuk induk jarinya-. Itu aku
dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar gembira
kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad”.
Jika Abu Lahab yang kafir, kecamannya
disebutkan dalam al-Qur’an, ia diberi balasan di dalam neraka karena kelahiran
nabi Muhammad dan apa yang telah ia berikan karena sayangnya kepada nabi
Muhammad. Maka demi usiaku, balasan bagi orang yang bahagia dengan kelahiran
nabi Muhammad Saw adalah memasukkannya ke dalam surga.
PENDAPAT
AL-HAFIZH SYAMSUDDIN BIN NASHIRUDDIN AD-DIMASYQI:
وقال الحافظ شمس الدين بن ناصر الدين الدمشقي في
كتابه المسمى مورد الصادي في مولد الهادي قد صح أن أبا لهب يخفف عنه عذاب النار في
مثل يوم الاثنين لإعتاقه ثويبة سرورا بميلاد النبي صلى الله عليه وسلم ثم أنشد:
إذا كان هذا كافرا جاء ذمه * وتبت يداه في الجحيم
مخلدا
أتى أنه في يوم الاثنين دائما * يخفف عنه للسرور
بأحمدا
فما الظن بالعبد الذي طول عمره * بأحمد مسرورا
ومات موحدا
الكتاب : الحاوي للفتاوي للسيوطي
Al-Hafizh Syamsuddin bin Nashiruddin
ad-Dimasyqi berkata dalam kitabnya berjudul: Mawrid ash-Shadi fi Maulid
al-Hadi:
“Shahih bahwa Abu Lahab diringankan azabnya
pada hari Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah karena gembira atas kelahiran
Rasulullah Saw”. Kemudian beliau bersyair:
Jika seorang kafir yang telah dikecam * Kekal
di dalam neraka Jahim
Diriwayatkan bahwa setiap hari Senin *
Diringankan azabnya karena senang atas kelahirannya
Bagaimanakah prasangka terhadap hamba yang
seumur hidupnya *
Bahagia dengan kedatangan Ahmad dan mati dalam
keadaan bertauhid?!
PENDAPAT
SYEKH DR.YUSUF AL-QARADHAWI.
حكم الاحتفال بالمولد النبوي
موقع القرضاوي/19-3-2008
Hukum memperingati maulid nabi.
Web Syekh Yusuf al-Qaradhari/ 19 Maret
2008
تلقى فضيلة العلامة الدكتور يوسف القرضاوي - رئيس
الإتحاد العالمي لعلماء المسلمين - استفساراً من أحد القراء يقول فيه: شيخي الجليل
يعلم الله أني أحبك في الله، وبمناسبة قرب مولد الحبيب صلى الله عليه وسلم ما حكم
الاحتفال بهذه المناسبة؟ وما واجبنا تجاه الحبيب صلى الله عليه وسلم؟
Al-‘Allamah DR.Yusuf al-Qaradhawi –ketua
persatuan ulama dunia- menerima permohonan agar diberikan penjelasan dari salah
seorang pembaca, ia nyatakan: “Wahai Syekh saya yang mulia, Allah Maha
Mengetahui bahwa saya menyayangi Anda karena Allah. Bertepatan dengan
mendekatnya hari kelahiran nabi Muhammad Saw. Apakah hukum merayakan maulid
nabi? Apa kewajiban kita terhadap Rasulullah?
وقد أجاب فضيلته على السائل بقوله: بسم الله،
والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:
فهناك لون من الاحتفال يمكن أن نقره ونعتبره
نافعاً للمسلمين، ونحن نعلم أن الصحابة رضوان الله عليهم لم يكونوا يحتفلون بمولد
الرسول صلى الله عليه وسلم ولا بالهجرة النبوية ولا بغزوة بدر، لماذا؟
Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menjawab:
Bismillah, walhamdu lillah, shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, wa ba’du:
لأن هذه الأشياء عاشوها بالفعل، وكانوا يحيون مع
الرسول صلى الله عليه وسلم، كان الرسول صلى الله عليه وسلم حياً في ضمائرهم، لم
يغب عن وعيهم، كان سعد بن أبي وقاص يقول: كنا نروي أبناءنا مغازي رسول الله صلى
الله عليه وسلم كما نحفِّظهم السورة من القرآن، بأن يحكوا للأولاد ماذا حدث في
غزوة بدر وفي غزوة أحد، وفي غزوة الخندق وفي غزوة خيبر، فكانوا يحكون لهم ماذا حدث
في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، فلم يكونوا إذن في حاجة إلى تذكّر هذه الأشياء.
Karena berbagai peristiwa itu benar-benar
mereka alami, mereka hidup bersama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw hidup dalam
hati mereka, tidak pernah hilang dari kesadaran mereka. Sa’ad bin Abi Waqqash
berkata: “Kami meriwayatkan kepada anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah
Saw sebagaimana kami menghafalkan surat dari al-Qur’an kepada mereka”. Mereka
menceritakan kepada anak-anak mereka tentang peristiwa yang terjadi pada perang
Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, mereka menceritakan apa yang terjadi pada
kehidupan Rasulullah Saw. Oleh sebab itu mereka tidak perlu mengingat-ingat
berbagai peristiwa tersebut.
ثم جاء عصر نسي الناس هذه الأحداث وأصبحت غائبة
عن وعيهم، وغائبة عن عقولهم وضمائرهم، فاحتاج الناس إلى إحياء هذه المعاني التي
ماتت والتذكير بهذه المآثر التي نُسيت، صحيح اتُخِذت بعض البدع في هذه الأشياء
ولكنني أقول إننا نحتفل بأن نذكر الناس بحقائق السيرة النبوية وحقائق الرسالة
المحمدية، فعندما أحتفل بمولد الرسول فأنا أحتفل بمولد الرسالة، فأنا أذكِّر الناس
برسالة رسول الله وبسيرة رسول الله.
Kemudian tibalah masa manusia melupakan
berbagai peristiwa tersebut. Berbagai peristiwa itu terlupakan dari ingatan
mereka, hilang dari akal dan hati mereka. Manusia perlu menghidupkan
makna-makna yang telah mati, mengingatkan peninggalan-peninggalan yang
terlupakan. Benar bahwa beberapa bentuk bid’ah telah terjadi dalam masalah ini,
akan tetapi saya katakana bahwa kita memperingati maulid nabi dengan
mengingatkan manusia tentang hakikat kebenaran sejarah nabi, hakikat risalah
nabi Muhammad Saw. Ketika saya merayakan maulid nabi, maka saya sedang
merayakan lahirnya risalah Islam, saya mengingatkan manusia tentang risalah
Rasulullah Saw dan sejarah Rasulullah Saw.
وفي هذه المناسبة أذكِّر الناس بهذا الحدث العظيم
وبما يُستفاد به من دروس، لأربط الناس بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم (لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا) [الأحزاب 21] لنضحي كما ضحى
الصحابة، كما ضحى علِيّ حينما وضع نفسه موضع النبي صلى الله عليه وسلم، كما ضحت
أسماء وهي تصعد إلى جبل ثور، هذا الجبل الشاق كل يوم، لنخطط كما خطط النبي للهجرة،
لنتوكل على الله كما توكل على الله حينما قال له أبو بكر: والله يا رسول الله لو
نظر أحدهم تحت قدميه لرآنا، فقال: "يا أبا بكر ما ظنك في اثنين الله ثالثهما،
لا تحزن إن الله معنا".
Pada momen peringatan maulid nabi ini
saya mengingatkan manusia tentang peristiwa besar dan pelajaran-pelajaran yang
dapat dipetik, agar saya dapat mempererat hubungan antara manusia dengan
sejarah nabi Muhammad Saw, “Sesungguhnya bagi kamu dalam diri Rasulullah Saw
itu terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan Allah dan
hari akhirat dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya”. (Qs. al-Ahzab: 21). Agar
kita dapat berkorban seperti para shahabat berkorban, sebagaimana Ali
mengorbankan dirinya ketika ia meletakkan dirinya di tempat Rasulullah Saw.
Sebagaimana Asma’ berkorban ketika ia naik ke jabal Tsaur, bukit yang terjal.
Agar kita membuat strategi sebagaimana Rasulullah Saw membuat strategi hijrah.
Agar kita bertawakkal sebagaimana Rasulullah Saw bertawakkal kepada Allah
ketika Abu Bakar berkata kepadanya, “Demi Allah wahai Rasulullah, andai salah
seorang dari mereka melihat di bawah kakinya, pastilah mereka melihat kita”.
maka Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Bakar, jika menurutmu ada dua, maka
Allah yang ketiga. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”.
نحن في حاجة إلى هذه الدروس فهذا النوع من
الاحتفال تذكير الناس بهذه المعاني، أعتقد أن وراءه ثمرة إيجابية هي ربط المسلمين
بالإسلام وربطهم بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم ليأخذوا منه الأسوة والقدوة، أما
الأشياء التي تخرج عن هذا فليست من الاحتفال؛ ولا نقر أحدًا عليها.
Kita sangat membutuhkan
pelajaran-pelajaran ini. peringatan seperti ini mengingatkan manusia kepada
makna-makna ini. saya yakin bahwa di balik peringatan maulid nabi ada hasil
yang positif, yaitu mengikatkan kembali kaum muslimin dengan Islam, mengikatkan
mereka dengan sejarah Rasulullah Saw, agar mereka menjadikannya sebagai suri
tauladan dan contoh. Adapun hal-hal yang keluar daripada ini, maka bukan bagian
dari peringatan maulid nabi dan kami tidak mengakui seorang pun untuk
melakukannya.
Menjawab Syubhat Dan Argumen Perayaan Maulid
Nabi Yang Disampaikan Ustadz Abdul Somad
Syubhat
dan Argumen Orang-Orang yang Membolehkan Perayaan Maulid Beserta Bantahannya
Al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah
Orang-orang yang membolehkan perayaan maulid
ini memiliki banyak dalil (baca:syubhat), dan di sini kami akan menyebutkan 22
dalil sebagai wakil dari dalil-dalil mereka yang tidak tersebutkan di sini.
Itupun semua dalil mereka hanya berkisar pada 4 keadaan:
1. Ayat atau hadits yang shahih akan
tetapi salah pendalilan.
2. Hadits lemah, bahkan palsu yang tidak
bisa dipakai berhujjah.
3. Perkataan sebagian ulama, yang mereka
ini bukan merupakan hujjah bila menyelisihi dalil.
4. Alasan yang dibuat-buat untuk mencapai
maksud mereka yang rusak.
Berikut uraiannya:
1. Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam surah Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ
فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada sesuatu yang mereka kumpulkan”.
Mereka berkata, “Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya. Sedang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah rahmat-Nya yang paling besar.
Oleh karena itulah, kita bergembira dan merayakan maulid (hari lahir) beliau”.
Di antara yang berdalilkan dengan ayat
ini adalah seorang yang bernama Habib Ali Al-Ja’fary Ash-Shufy dalam sebuah
kasetnya yang berjudul Maqoshidul Mu`minah wa Qudwatuha fil Hayah.
Bantahan:
Berdalilkan dengan ayat ini untuk
membolehkan maulid adalah suatu bentuk penafsiran firman Allah Ta’ala dengan
penafsiran yang tidak pernah ditafsirkan oleh para ulama salaf dan mengajak
kepada suatu amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Ini
adalah perkara yang tidak diperbolehkan sebagaimana telah berlalu penegasannya
pada bab Pertama.
Ibnu ‘Abdil Hady Rahimahullahu berkata
dalam Ash-Shorimil Munky fir Roddi ‘alas Subky, hal. 427, “… dan tidak boleh
memunculkan penafsiran terhadap suatu ayat atau sunnah dengan penafsiran yang
tidak pernah ada di zaman para ulama salaf, yang mereka tidak diketahui dan
tidak pernah pula mereka jelaskan kepada ummat. Karena perbuatan ini mengandung
(tudingan) bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran, lalai darinya. Sedang yang
mendapat hidayah kepada kebenaran itu adalah sang pengkritik yang datang
belakangan, maka bagaimana lagi jika penafsiran tersebut menyelisihi dan
bertentangan dengan penafsiran mereka ?!”.
Para pembesar ulama tafsir telah
menafsirkan ayat yang mulia ini dan tidak ada sedikitpun dalam penafsiran
mereka bahwa yang diinginkan dengan rahmat di sini adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang ada hanyalah bahwa rahmat yang
diinginkan di sini adalah Al-Qur`an dan Al-Islam sebagaimana yang diinginkan
dalam ayat sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
(yang berada) dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya …”. (QS. Yunus : 57-58)
Inilah penafsiran yang disebutkan oleh
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobary Rahimahullahu dalam Tafsir
beliau (15/105).
Imam Al-Qurthuby Rahimahullahu berkata
ketika menafsirkan ayat di atas, “Abu Sa’id Al-Khudry dan Ibnu ‘Abbas
Radhiallahu‘anhuma berkata, “Karunia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya
adalah Al-Islam”. Juga dari keduanya (berkata), “Karunia Allah adalah Al-Qur`an
dan rahmat-Nya adalah dia menjadikan kalian ahli Qur`an”. Dari Al-Hasan,
Adh-Dhohak, Mujahid, dan Qotadah, mereka menafsirkan, “Karunia Allah adalah
iman dan rahmat-Nya adalah Al-Qur`an”. [Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an
(8/353)]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullahu berkata
dalam Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah ‘ala Ghozwul Mu’aththilah wal Jahmiyah hal.
6, “Perkataan para ulama salaf berputar di atas penafsiran bahwa karunia Allah
dan rahmat-Nya adalah Al-Islam dan As-Sunnah”.
Sesungguhnya yang menjadi rahmat bagi
manusia bukanlah kelahiran beliau, akan etapi rahmat terhasilkan hanyalah
ketika beliau diutus kepada mereka. Makna inilah yang ditunjukkan oleh
nash-nash syari’at:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya`: 107)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam telah bersabda:
إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا
بُعِثْتُ رَحْمَةً
“Sesungguhnya saya tidaklah diutus sebagi
orang yang suka melaknat, akan tetapi saya diutus hanya sebagai rahmat”. (HR.
Muslim no. 2599 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid
Rahimahullahu berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id Al-Kaukabury [Dia
adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di negeri Maushil sebagaimana
yang telah berlalu penjelasannya], “Dia mengadakan perayaan tersebut pada malam
kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadits bahwa
beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada malam itu
(kesembilan) dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan
para ulama” [Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan hal.
49].
Maka betapa mengherankannya para pelaku
maulid ini, mereka bergembira dan bersenang-senang pada tanggal diwafatkannya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (12 Rabi’ul Awwal), sementara
hari kelahiran beliau adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal menurut pendapat yang paling
kuat, maka apakah ada kerusakan dan kerancuan akal yang lebih parah dari ini?!
Ibnul Hajj Rahimahullahu berkata dalam
Al-Madkhal (2/15), “Kemudian yang sangat mengherankan, bisa-bisanya mereka
merayakan maulid disertai dengan nyanyian, kegembiraan, dan keceriaan karena
kelahiran beliau ‘Alaihis sholatu wassalam -sebagaimana yang telah berlalu-
pada bulan yang mulia ini. Padahal pada bulan ini juga beliau ‘Alaihis sholatu
wassalam berpindah menuju kemuliaan Tuhannya ’Azza wa Jalla (yakni wafat-pen.) yang
mengagetkan ummat (para sahabat-pen.). Mereka (para sahabat) ditimpa oleh
musibah besar yang tidak ada satu musibahpun yang mampu menandinginya
selama-lamanya. Oleh karena itu, keharusan atas setiap muslim adalah menangis,
banyak-banyak bersedih, dan merenungi dirinya masing-masing terhadap musibah
ini …”.
Kemudian kita katakan kepada mereka,
“Bukankah ayat ini turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
?! Lantas kenapa beliau tidak pernah merayakan maulid sebagai bentuk pengamalan
bagi ayat?! Kenapa juga beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat dan
keluarga beliau untuk melakukannya?! Padahal beliau adalah orang yang paling
bersemangat mengajari manusia dengan perkara yang bermanfaat bagi mereka dan
yang mendekatkan mereka kepada Penciptanya”.
(Rujukan:
Al-Bida’ Al-Hauliyah hl. 173-177 dan Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal
bil Maulid syubhat pertama)
2. Firman Allah -‘Azza wa
Jalla- dalam surah Al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian
untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Mereka mengatakan bahwa perayaan maulid
bisa memotifasi sekaligus sarana untuk bersholawat kepada Rasul Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Bantahan:
Sama dengan bantahan pertama pada syubhat
pertama.
Syaikh Hamud At-Tuwaijiri Rahimahullahu
berkata dalam Ar-Roddul Qowy, hal. 70-71, “Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam telah memotifasi untuk memperbanyak bersholawat kepada
beliau di waktu-waktu tertentu, seperti pada hari Jum’at, setelah adzan, ketika
nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut, dan waktu-waktu
lainnya. Sekalipun demikian, beliau tidak pernah memerintahkan atau memotifasi
untuk bersholawat kepada beliau pada malam maulid beliau. Jadi, seyogyanya
diamalkan sesuatu yang diperintahkan oleh Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam dan ditolak segala sesuatu yang beliau tidak perintahkan”.
-Selesai dengan sedikit perubahan-
Syaikh Al-Muqthiry dalam Al-Mawrid hal.
18 menyatakan, “Bersholawat kepada Nabi adalah perkara yang dituntut
terus-menerus, bukan hanya di awal tahun atau dalam dua hari sepekan.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian
untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al-Ahzab: 56)
Beliau ‘alaihish sholatu wassalam
bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barangsiapa yang bersholawat atasku satu
kali, maka Allah akan bersholawat atasnya sepuluh kali” (HR. Muslim no. 384,
408 dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma).
Beliau telah memerintahkan untuk
bersholawat kepadanya setelah adzan, dalam sholat dan demikian pula ketika nama
beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut.
Beliau bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ
يُصَلِّ علَيَّ
“Kecelakaan bagi seseorang yang mendengar
namaku disebut di sisinya, lantas dia tidak bershalawat kepadaku” (Telah
berlalu takhrijnya).
الْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ
يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang kikir adalah orang yang
namaku disebutkan di sisinya, lalu dia tidak bersholawat atasku” (HR.
At-Tirmidzi (3546) dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra (8100, 9883) dari Al-Husain bin
‘Ali Radhiallahu‘anhuma dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.
2878).
(Rujukan:
Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat kedua dan
Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid hal. 18)
3.
As-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (1/196-197),
“…lalu saya melihat Imamul Qurro`, Al-Hafizh
Syamsuddin Ibnul Jauzy berkata dalam kitab beliau yang berjudul ‘Urfut Ta’rif
bil Maulid Asy-Syarif dengan nash sebagai berikut, [“Telah diperlihatkan Abu
Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepadanya, “Bagaimana
keadaanmu?”, dia menjawab, “Di dalam Neraka, hanya saja diringankan bagiku
(siksaan) setiap malam Senin dan dituangkan di antara dua jariku air sebesar
ini -dia berisyarat dengan ujung jarinya- karena saya emerdekakan Tsuwaibah
ketika dia memberitahu kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan karena dia telah menyusuinya”].
Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang Al-Qur`an telah turun mencelanya,
diringankan (siksaannya) di Neraka dengan sebab kegembiraan dia dengan malam
kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka bagaimana lagi
keadaan seorang muslim yang bertauhid dari kalangan ummat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang gembira dengan kelahiran beliau dan
mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam?!, saya bersumpah bahwa tidak ada balasannya dari Allah
Yang Maha Pemurah, kecuali Dia akan memasukkannya berkat keutamaan dari-Nya ke
dalam surga-surga yang penuh kenikmatan”.
Kisah ini juga dipakai berdalil oleh Muhammad
bin ‘Alwi Al-Maliki dalam risalahnya Haulal Ihtifal bil Maulid, hal. 8 tatkala
dia berkata, “Telah datang dalam Shahih Al-Bukhari bahwa diringankan siksaan
Abu lahab setiap hari Senin dengan sebab dia memerdekakan Tsuwaibah ….”.
Bantahan:
Penyandaran kisah di atas kepada Imam
Al-Bukhari adalah suatu kedustaan yang nyata sebagaimana yang dikatakan oleh
Syaikh At-Tuwaijiri dalam Ar-Roddul Qowy hal. 56. Karena tidak ada dalam
riwayat Al-Bukhari sesuatupun yang disebutkan dalam kisah di atas.
Berikut konteks hadits ini dalam riwayat
Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 4711 secara mursal [Hadits Mursal adalah
perkataan seorang tabi’in, “Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam bersabda ….”, atau ia (tabi’in) menyandarkan sesuatu kepada Nabi
Shallallahu alaihi wasallam. Hadits mursal termasuk dalam bagian hadits lemah
menurut pendapat paling kuat di kalangan para ulama] dari ‘Urwah bin Zubair
Rahimahullahu:
“‘Tsuwaibah, dulunya adalah budak wanita
Abu Lahab. Abu Lahab membebaskannya, lalu dia menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam. Tatkala Abu Lahab mati, dia diperlihatkan kepada
sebagian keluarganya (dalam mimpi) tentang jeleknya keadaan dia. Dia
(keluarganya ini) berkata kepadanya, “Apa yang engkau dapatkan?”, Abu Lahab
menjawab, “Saya tidak mendapati setelah kalian kecuali saya diberi minum
sebanyak ini [Yakni jumlah yang sangat sedikit] karena saya memerdekakan
Tsuwaibah”.
Syubhat ini dibantah dari
beberapa sisi:
Hadits tentang diringankannya siksa Abu
Lahab ini telah dikaji oleh para ulama dari zaman ke zaman. Akan tetapi tidak
ada seorangpun di antara mereka yang menjadikannya sebagai dalil
disyari’atkannya perayaan maulid.
Ini adalah hadits mursal sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (9/49) karena ‘Urwah tidak menyebutkan
dari siapa dia mendengar kisah ini. Sedangkan hadits mursal adalah termasuk
golongan hadits-hadits dho’if (lemah) yang tidak bisa dipakai berdalil.
Anggaplah hadits ini shahih maushul
(bersambung), maka yang tersebut dalam kisah ini hanyalah mimpi. Sedangkan
mimpi -selain mimpinya para Nabi- bukanlah wahyu yang bisa diterima sebagai
hujjah. Bahkan disebutkan oleh sebagian ahlil ilmi bahwa yang bermimpi di sini
adalah Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththolib dan mimpi ini terjadi sebelum beliau
masuk Islam.
Apa yang dinukil oleh As-Suyuthi dari
Ibnul Jauzy di atas bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena memberitakan
kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan karena dia
menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah menyelisihi apa
yang telah tetap di kalangan para ulama sirah (sejarah). Karena dalam buku-buku
sirah ditegaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah jauh setelah Tsuwaibah
menyusui Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullahu
berkata dalam Al-Isti’ab (1/12) ketika beliau membawakan biografi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Setelah menyebutkan kisah
menyusuinya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kepada Tsuwaibah,
beliau menyatakan, “… dan Abu Lahab memerdekakannya setelah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berhijrah ke Madinah”.
Lihat juga Ath-Thobaqot karya Muhammad
bin Sa’ad bin Mani` Az-Zuhry Rahimahullahu (1/108-109), Al-Fath (9/48), dan
Al-Ishobah (4/250).
Kandungan kisah ini menyelisihi zhahir
Al-Qur`an yang menegaskan bahwa orang-orang kafir tidak akan mendapatkan
manfaat dari amalan baiknya sama sekali di akhirat, akan tetapi hanya dibalas
di dunia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS.
Al-Furqon : 23) [Lihat Fathul Bari (9/49). Kecuali Abu Thalib yang diringankan
siksanya karena membela Nabi, sebagaimana dalam riwayat Muslim]
Kegembiraan yang dirasakan oleh Abu Lahab
hanyalah kegembiraan yang sifatnya tabi’at manusia biasa karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah keponakannya. Sedangkan
kegembiraan manusia tidaklah diberikan pahala kecuali bila kegembiraan tersebut
muncul karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Buktinya, setelah Abu Lahab mengetahui
kenabian keponakannya, diapun memusuhinya dan melakukan tindakan-tindakan yang
kasar padanya. Ini bukti yang kuat menunjukkan bahwa Abu Lahab bukan gembira
karena Allah, tapi gembira karena lahirnya seorang keponakan. Gembira seperti
ini ada pada setiap orang.
(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
165-170, Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat keenam
dan Al-Hiwar ma’al Maliki Syubhat pertama)
4. Mereka (para pendukung
maulid) berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan sebagian tempat
yang memiliki hubungan dengan para Nabi, misalnya maqom (tempat berdiri)
Ibrahim ‘alaihis salam."
Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Dan jadikanlah sebahagian maqam (tempat
berdiri) Ibrahim sebagai tempat shalat”. (QS. Al-Baqarah : 125)
Di dalam ayat ini terdapat motifasi untuk
memperhatikan semua perkara yang berhubungan dengan para Nabi. Maka di antara
bentuk pengamalan ayat ini adalah dengan memperhatikan hari kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Bantahan:
Sama dengan jawaban pertama untuk syubhat
pertama.
Sesungguhnya seluruh ibadah landasannya
adalah tauqifiyah (terbatas pada dalil yang ada) dan ittiba’, bukan
berlandaskan pendapat dan perbuatan bid’ah. Jadi, perkara apapun yang
dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
berupa waktu ataupun tempat, maka hanya itu saja yang berhak untuk dimuliakan.
Dan perkara apapun yang tidak dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka perkara
tersebut tak boleh dimuliakan. Betul Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk menjadikan maqom Ibrahim [Maqom artinya
tempat seseorang berdiri. Dikatakan sebagai maqom Ibrahim karena di tempat
inilah Nabi Ibrahim berdiri ketika membangun Ka’bah. Karenanya, jangan sampai
ada yang salah faham dan menyangkan maqom Ibrahim adalah kuburan beliau.
Lagipula, para ulama telah bersepakat bahwa semua kuburan para nabi ‘alaihimush
sholatu was salam tidak ada yang tsabit (kuat) berdasarkan nash maupun berita
yang autentik. Syaikhul Islam menukil dari Imam Malik bin Anas Rahimahullahu
beliau berkata, “Tidak ada seorang nabi pun di dunia ini yang diketahui
kuburnya kecuali kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam”.( Lihat Majmu’
Al-Fatawa 27/444 )] sebagai tempat sholat, akan tetapi Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak pernah memerintahkan mereka untuk menjadikan hari kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari raya yang mereka
berbuat bid’ah di dalamnya.
[Rujukan: Ar-Roddul Qowy karya Syaikh
At-Tuwaijiri hal. 83 dan Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid,
syubhat ketiga)
5. Mereka juga berdalil dengan
hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma tentang puasa ‘Asyura`:
أَنََّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ
اليَهُوْدَ صِيَمًا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُوْمُوْنَهُ؟َ
فَقَالُوْا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، أَنْجَى اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَقَوْمَهُ
وغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوْسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ.
فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَنَحْنُ أَحَقُّ
وَأَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau
mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura`. Lalu beliau pun
bertanya, “Apa ini?”, mereka (orang-orang Yahudi) menjawab, “Ini adalah hari
yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka, maka
Musa berpuasa padanya”. Beliau bersabda, “Kalau begitu saya lebih berhak
terhadap Musa daripada kalian”. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan
(manusia) untuk berpuasa”. (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1130)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu sebagaimana
yang dinukil oleh As-Suyuthi dalam Al-Hawy lil Fatawa (1/196) berkata setelah
beliau menyebutkan bahwa perayaan maulid tidak pernah dikerjakan oleh tiga
generasi pertama ummat ini. Beliau menyatakan, “Telah nampak bagiku untuk
menetapkannya -yakni perayaan maulid- di atas landasan yang shahih yaitu …”
[lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas di atas].
Kemudian beliau berkata lagi, “Jadi, dari
hadits ini diambil faidah tentang perbuatan kesyukuran kepada Allah atas nikmat
yang Dia berikan pada suatu hari tertentu berupa terhasilkannya suatu
kenikmatan atau tertolaknya suatu bahaya. Sedang kesyukuran kepada Allah adalah
dengan mengamalkan berbagai jenis ibadah, seperti sujud, berpuasa, sedekah, dan
membaca Al-Qur`an. Maka, nikmat apakah yang lebih besar daripada nikmat
munculnya Nabiyyurrohmah ini Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pada
hari itu. Oleh karena itu, sepantasnya untuk memperhatikan hari itu (yakni hari
maulid) agar bersesuaian dengan kisah Musa -‘alaihis salam- pada hari
‘Asyuro`”. Selesai berdasarkan maknanya.
Hadits ini juga dijadikan dalil oleh Muhammad
bin ‘Alwy Al-Maliki untuk membolehkan perayaan maulid dalam kitabnya Haulal
Ihtifal bil Maulid hal. 11-12.
Jawaban:
Lihat jawaban pertama atas
syubhat pertama.
Sesungguhnya Al-Hafizh Rahimahullahu
telah menegaskan di awal ucapannya bahwa asal perayaan maulid adalah bid’ah,
tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Perkataan beliau tentang hal ini
akan kami sebutkan pada bab ketiga belas.
Pemahaman Al-Hafizh tentang dibolehkannya
maulid yang beliau petik dari hadits di atas merupakan pemahaman yang salah dan
tertolak. Karena tidak ada seorangpun dari kalangan para ulama salaf yang
memahami dari hadits tersebut dibolehkannya perayaan maulid. Lihat kembali
pembahasan pada bab pertama dan juga kitab Al-Muwafaqat (3/41-44) karya
Asy-Syathibi Rahimahullahu.
Mengqiaskan (menganologikan) bid’ah
maulid dengan puasa ‘Asyuro` adalah suatu bentuk takalluf (pemaksaan) yang
nyata dan tertolak karena ibadah landasannya adalah syari’at, bukan berdasarkan
pendapat ataupun anggapan baik.
Sesungguhnya puasa ‘Asyura` adalah
perkara yang telah diamalkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, bahkan beliau memberi motifasi untuk mengamalkannya. Berbeda halnya
dengan perayaan maulid dan menjadikannya sebagai hari raya, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak pernah mengerjakannya dan juga
tidak pernah memotifasi untuk mengerjakannya.
[Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
159-161 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat
kelima]
6. Setelah menyebutkan
perkataan Al-Hafizh di atas, As-Suyuthi kemudian membawakan dalil yang lain
yaitu hadits Anas bin Malik Radhiallahu‘anhu, beliau berkata:
“Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam melakukan aqiqah untuk diri beliau sendiri
setelah beliau diangkat menjadi Nabi”. (HR. Al-Baihaqy (9/300))
Lalu dia (As-Suyuthi) berkata, “… padahal
telah datang (riwayat) bahwa kakek beliau ‘Abdul Muththolib telah melaksanakan
aqiqah untuk beliau pada hari ketujuh kelahiran beliau, sedangkan aqiqah
tidaklah diulangi dua kali. Maka perbuatan tersebut (yakni aqiqah setelah
menjadi Nabi) dibawa kepada (pemahaman) bahwa yang beliau lakukan itu adalah
dalam rangka menampakkan kesyukuran atas penciptaan Allah terhadap diri beliau
sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sekaligus (perbuatan beliau tersebut)
sebagai syari’at bagi ummatnya sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam telah bersholawat untuk diri beliau sendiri. Oleh karena itulah,
disunnahkan juga bagi kita untuk menampakkan kesyukuran dengan kelahiran beliau
…”.
Jawaban:
Hadits di atas yang menunjukkan bahwa
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengaqiqahi diri beliau setelah diangkat
menjadi nabi adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah, karena
di dalamnya terdapat seorang rowi lemah ang bernama ‘Abdullah bin Muharrar
Al-Jazary.
Al-Baihaqi setelah meriwayatkan hadits di
atas, beliau berkata, “’Abdurrazzaq berkata, [“Tidaklah mereka meninggalkan
‘Abdullah bin Muharrar kecuali karena keadaan hadits ini, dan juga (hadits ini)
diriwayatkan dari jalan lain dari Anas dan tidak teranggap sama sekali”]”.
‘Abdullah bin Muharrar ini telah
dilemahkan oleh sekian banyak ulama dengan pelemahan yang sangat keras, di
antaranya adalah: Imam Ahmad, Ad-Daraquthny, Ibnu Hibban, Ibnu Ma’in, Imam
Al-Bukhari, dan juga Al-Hafizh Adz-Dzahabi Rahimahumullahu jami’an.
Lihat At-Talkhis Al-Habir (4/147) dan
Mizanul I’tidal pada biografi ‘Abdullah bin Muharrar ini.
Syaikh Abu Bakr Al-Jaza`iry Hafizhahullah
berkata dalam Al-Inshof fima Qila fil Maulid (61-62), “Apakah tsabit (shahih)
bahwa aqiqah itu dulunya disyari’atkan bagi ahli jahiliyah (musyrik Quraisy)
dan (apakah) mereka mengamalkannya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa ‘Abdul
Muththolib telah mengaqiqahi anak lelaki dari putranya?! Apakah amalan-amalan
ahli jahiliyah diperhitungkan dalam Islam sehingga kita bisa menyatakan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengaqiqahi diri beliau hanya
sekedar sebagai kesyukuran dan bukan dalam rangka menegakkan sunnah aqiqah,
jika dia (kakek beliau) telah mengaqiqahi beliau?!. Maha Suci Allah, betapa
aneh dan asingnya pendalilan ini.
Apakah jika shahih (benar) bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menyembelih satu ekor kambing
sebagai bentuk kesyukuran akan nikmat penciptaan diri beliau, apakah hal ini
mengharuskan (bolehnya) menjadikan hari lahir beliau sebagai hari raya bagi
manusia?!”.
[Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
161-164 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat
kedelapan]
7. Muhammad ‘Alwy Al-Maliki dalam
kitabnya Haulal Ihtifal bil Maulid hal. 10 berdalil tentang disyari’atkannya
perayaan maulid dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1162 dari
hadits Abu Qotadah Al-Anshory Radhiallahu‘anhu,
وَسُئِلَ عَنْ
صَوْمِ يَوْمِ اَلِاثْنَيْنِ, قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ, وَبُعِثْتُ
فِيهِ, أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam ditanya tentang puasa pada hari Senin, maka beliau menjawab, "Ia
adalah hari kelahiranku, hari aku diutus, dan hari diturunkan al-Qur’an
padaku."
Sisi pendalilan dari hadits ini -menurutnya-
adalah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memuliakan dan
mengagungkan hari lahir beliau dengan cara berpuasa pada hari itu. Ini
(berpuasa) hampir semakna dengan perayaan walaupun bentuknya berbeda. Yang
jelas makna pemuliaan itu ada, apakah dengan berpuasa atau dengan memberi makan
atau dengan berkumpul-kumpul untuk mengingat dan bersholawat kepada beliau dan
lain-lainnya.
Bantahan:
Lihat bantahan pertama untuk syubhat
pertama.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam tidak berpuasa pada hari kelahiran beliau, yaitu tanggal 12 Rabi’ul
Awwal [Itupun telah kita tegaskan bahwa yang benarnya beliau dilahirkan pada
tanggal 8 Rabi’ul Awwal], akan tetapi beliau berpuasa pada hari Senin yang
setiap bulan berulang sebanyak empat kali. Beliau juga tidak pernah mengkhususkan
untuk mengerjakan amalan-amalan tertentu pada tanggal kelahiran beliau. Maka
semua ini adalah bukti yang menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam tidaklah menganggap tanggal kelahiran beliau lebih afdhol
daripada yang lainnya. Lihat Ar-Roddul Qowy hal. 61-62
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam tidak mengkhususkan berpuasa hanya pada hari Senin saja akan tetapi
beliau juga berpuasa pada hari Kamis, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah
Radhiallahu‘anhu secara marfu‘:
“Amalan-amalan disodorkan setiap hari
Senin dan kamis, maka saya senang jika amalan saya disodorkan sedang saya dalam
keadaan berpuasa”. (HR. At-Tirmidzi no. 747 dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Al-Irwa` no. 949)
Jadi, berdalilkan dengan puasa hari Senin
untuk membolehkan perayaan Maulid adalah puncak takalluf (pemaksaan) dan
pendapat yang sangat jauh dari kebenaran.
Jika yang diinginkan dari perayaan maulid
adalah sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala atas nikmat kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka suatu perkara yang masuk akal
-dan memang inilah yang ditetapkan oleh syari’at- kalau pelaksanaan kesyukuran
tersebut sesuai dengan pelaksanaan kesyukuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam atasnya, yakni dengan berpuasa. Oleh karena itu, hendaknya kita
berpuasa sebagaimana beliau berpuasa [Maksudnya berpuasa pada hari Senin
sebagaimana Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam berpuasa hari Senin. Adapun
berpuasa tepat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal -kalaupun ini kita anggap pendapat
yang paling benar tentang hari lahir beliau-, maka tidak disyari’atkan karena
tak ada dalil yang mengkhususkannya dengan puasa, yang ada hanyalah berpuasa
pada hari Senin. [ed]], bukan malah dengan menghambur-hamburkan uang untuk
makanan dan yang semisalnya. Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid hal. 64-66
karya Abu Bakr Al-Jaza`iry.
(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
171-172 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat
keempat)
8. Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentang keutamaan hari Jum’at:
“Sebaik-baik hari yang matahari terbit
padanya adalah hari Jum’at, padanya diciptakan Adam, padanya dia diwafatkan,
padanya dia dimasukkan ke Surga dan padanya dia dikeluarkan darinya, serta
tidak akan tegak Hari Kiamat kecuali pada hari Jum’at”. (HR. Muslim no. 854
dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
Dalam kitab Haulal Ihtifal hal. 14,
Muhammad ‘Alwy Al-Maliki menyatakan bahwa jika hari Jum’at memiliki keutamaan
karena pada hari itu Nabi Adam tercipta, maka tentunya hari ketika pimpinan
para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tercipta itu lebih pantas
untuk mendapatkan keutamaan dan pemuliaan.
Bantahan:
Sama dengan bantahan pertama atas syubhat
pertama.
Syaikh At-Tuwaijiri Rahimahullahu berkata
dalam Ar-Roddul Qowy hal. 82, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam tidak pernah mengkhususkan hari Jum’at untuk melaksanakan
sesuatupun berupa amalan-amalan sunnah, dan beliau telah melarang untuk
mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa atau mengkhususkan malam Jum’at untuk
sholat lail. Di dalam Shahih Muslim [No. hadits 1144] dari Abu Hurairah
Radhiallahu‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwa
beliau bersabda:
“Jangan kalian mengkhususkan malam Jum’at
di antara malam-malam lainnya dengan mengerjakan shalat malam dan jangan kalian
khususkan hari Jum’at di antara hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali bila
(hari Jum’at) bertepatan dengan hari kebiasaan salah seorang di antara kalian berpuasa”.
Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam tidak mengkhususkan hari Jum’at dengan sesuatu apapun berupa
amalan-amalan sunnah -padahal Adam ’alaihis salam diciptakan pada hari itu-,
maka apa hubungannya dengan Ibnul ‘Alwy dan selainnya, yang menyebutkan
pendalilan tersebut tentang dibolehkannya perayaan maulid?!”. Selesai dengan
perubahan
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhati man
Ajazal Ihtifal bil Maulid, syubhat ketujuh]
9. Hadits Anas bin Malik
Radhiallahu‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
bercerita ketika beliau melakukan Isro` dan Mi’roj:
“Lalu dia (Jibril) berkata, “Turun dan
shalatlah!”, maka sayapun turun lalu mengerjakan shalat. Lalu dia bertanya,
“Tahukah engkau di mana engkau shalat? Engkau sholat di Betlehem, tempat ‘Isa
‘alaihis salam dilahirkan””. (HR. An-Nasa`i (1/221-222/450))
Hadits ini dijadikan dalil oleh Muhammad
‘Alwy Al-Maliki dalam Haulal Ihtifal hal. 14-15 untuk membolehkan perayaan
maulid. Sisi pendalilannya adalah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam diperintahkan untuk memuliakan tempat kelahiran Nabi ‘Isa dengan
cara sholat di atasnya. Maka hari dan tempat kelahiran Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam lebih pantas lagi untuk dimuliakan
dengan mengadakan perayaan maulid.
Bantahan:
Kisah tentang sholatnya beliau di
Betlehem ini juga datang dari hadits Syaddad bin ‘Aus Radhiallahu‘anhu riwayat
Al-Bazzar dalam Al-Musnad no. 3484 dan Ath-Thobarony (7/282-283/7142) dan juga
dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu riwayat Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin
(1/187-188) dalam biografi Bakr bin Ziyad Al-Bahily.
Ketiganya adalah hadits yang lemah dan
mungkar. Berikut kesimpulan bantahan Al-‘Allamah Al-Anshary Rahimahullahu dalam
Al-Qaulul Fashl, hal. 138-145 terhadap kisah di atas:
1. Hadits Anas bin Malik
Radhiallahu‘anhu.
Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata setelah
menyebutkan hadits ini dalam rangkaian hadits-hadits tentang Isro` dan Mi’roj
ketika menafsirkan ayat pertama dari surah Al-Isro‘, “Di dalam kisah ini ada
ghorobah [Kata ghorib atau ghorobah jika digunakan oleh At-Tirmidzi dalam
Sunannya, Ibnu Katsir dalam Tafsirnya dan Az-Zayla’iy dalam Nashbur Royah maka
kebanyakannya bermakna dho’if (lemah)] (keanehan) dan sangat mungkar”.
Beliau juga berkata dalam Al-Fushul fii
Ikhtishori Sirotur Rosul, “Ghorib (aneh), sangat mungkar, dan sanadnya muqarib.
Dalam hadits-hadits yang shahih, ada perkara yang menunjukkan tentang
kemungkarannya, wallahu A’lam”.
Yakni kisah tentang sholatnya beliau
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam di Betlehem ini, tidak ada
disebutkan dalam kisah Isro` dan Mi’roj dalam hadits-hadits lain yang shohih.
2. Hadits Syadad bin Aus
Radhiallahu‘anhu.
Di dalam sanadnya ada rowi yang bernama
Ishaq bin Ibrahim ibnul ‘Ala` Adh-Dhahhak Az-Zubaidy Ibnu Zibriq Al-Himshy.
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath,
“(Orangnya) Jujur, tapi banyak bersalah (dalam periwayatan). Muhammad bin ‘Auf
mengungkapkan bahwa dia berdusta”.
Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan,
“An-Nasa`i berkata : “(Orangnya) tidak tsiqoh”.
Abu Daud berkata, “Tidak ada apa-apanya
(baca: tidak ada nilainya) dan dia dianggap pendusta oleh Muhammad bin ‘Auf
Ath-Tho`i, seorang ahli hadits negeri Himsh””.
Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata dalam
Tafsirnya setelah menyebutkan jalan-jalan periwayatan hadits Syaddad ini,
“Tidak ada keraguan, hadits ini -yang saya maksudkan adalah yang diriwayatkan
dari Syaddad bin Aus- mengandung beberapa perkara, di antaranya ada yang shohih
-sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baihaqi-, dan di antaranya ada yang
mungkar, seperti (kisah) sholat (Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam-) di
Betlehem dan (kisah) pertanyaan (Abu Bakar) Ash-Shiddiq tentang sifat Baitul
Maqdis dan selainnya, wallahu A’lam”.
3. Hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu.
Di dalam sanadnya terdapat Bakr bin Ziyad
Al-Bahily. Ibnu Hibban berkata, “Syaikh pendusta, membuat hadits palsu dari
para tsiqot (rowi-rowi terpercaya), tidak halal menyebut namanya dalam
kitab-kitab kecuali untuk dicela”.
Beliau juga berkata mengomentari hadits
Abu Hurairah di atas, “Ini adalah sesuatu yang orang awamnya ahli hadits tidak
akan ragu lagi bahwa ini adalah palsu, terlebih lagi pakar dalam bidang ini”.
[Perkataan beliau ini dinukil oleh Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhu’at (1/113-114),
Adz-Dzahaby dalam Al-Mizan (1/345) dan Asy-Syaukany dalam Al-Fawa`id
Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah hal. 441]
Ibnu Katsir berkata berkata dalam
Al-Fushul fii Ikhtishori Sirotur Rosul, hal. 22 dalam mengomentari hadits Abu
Hurairah ini, “Juga tidak shohih karena keadaan Bakr bin Ziyad yang telah
berlalu”. Yakni beliau menghukuminya sebagai rowi yang matruk (ditinggalkan
haditsnya).
Sebagai kesimpulan, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam tafsir surah Al-Ikhlash hal. 169, “Apa
yang diriwayatkan oleh sebagian mereka tentang hadits Isro` bahwa dikatakan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, [“Ini adalah baik,
turun dan sholatlah”, maka beliau turun lalu sholat, “Ini adalah tempat
bapakmu, turun dan sholatlah”],merupakan (riwayat) dusta dan palsu. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak pernah sholat pada malam itu
kecuali di Masjid Al-Aqsha sebagaimana dalam Ash-Shahih dan beliau tidak pernah
turun kecuali padanya”.
Ibnul Qoyyim Rahimahullahu dalam Zadul
Ma’ad berkata, “Konon kabarnya, beliau turun di Betlehem dan sholat padanya.
Hal itu tidak benar dari beliau selama-lamanya”. -Selesai dari Al-Qaulul Fashl-
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kesembilan]
10. Sesungguhnya para
penya’ir dari kalangan sahabat, seperti Ka’ab bin Zuhair, Hassan bin Tsabit,
dan yang lainnya Radhiallahu‘anhum, mereka membacakan sya’ir-sya’ir pujian
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan beliau ridho
dengan perbuatan mereka serta membalas mereka dengan membacakan sholawat dan
mendo’akan kebaikan kepada mereka.
Ini dijadikan dalil oleh Hasyim
Ar-Rifa’iy sebagaimana dalam Ar-Roddul Qowy hal. 78.
Bantahan:
Al-‘Allamah At-Tuwaijiri Rahimahullahu
berkata dalam Ar-Roddul Qowy, hal. 79, “Tidak pernah disebutkan dari seorangpun
dari para penya’ir sahabat radhiyallahu ‘anhum- bahwa mereka mengungkapkan
kecintaan mereka kepada Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam dengan melantunkan
qoshidah-qoshidah (sya’ir-sya’ir) pada malam kelahiran beliau, akan tetapi
kebanyakannya mereka melantunkannya ketika terjadinya penaklukan suatu negeri
dan ketika mengalahkan musuh-musuh. Di bangun di atas dasar ini, berarti
pelantunan (sya’ir) di depan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
bukanlah sesuatu yang pernah dilakukan oleh Ka’ab bin Zuhair, Hassan bin
Tsabit, dan selain keduanya dari kalangan para penya’ir sahabat, (bukanlah)
merupakan perkara yang bisa dipegang oleh Ar-Rifa’iy dan selainnya dalam
menguatkan bid’ah maulid”. -Selesai dengan sedikit meringkas-.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kesepuluh]
11. Sesungguhnya perayaan
maulid adalah perkumpulan dzikir, sedekah, dan pengagungan terhadap sisi
kenabian. Dan semua perkara ini tentunya merupakan perkara yang dituntut dan
dipuji dalam syari’at Islam.
Jawaban:
Tidak diragukan bahwa semua yang
disebutkan di atas berupa dzikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam merupakan ibadah, bahkan termasuk di antara
ibadah yang memiliki kedudukan yang besar dalam Islam. Akan tetapi perlu
diketahui bahwa ibadah nantilah diterima setelah terpenuhi dua syarat, ikhlas
dan sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
[Lihat kembali bab Syarat Diterimanya Amalan]. Kemudian, di antara kaidah yang
masyhur di tengah para ulama dan para penuntut ilmu bahwa suatu ibadah bila
perintah pelaksanaannya datang dalam bentuk umum -yakni tidak terikat dengan
suatu waktu maupun tempat-, maka ibadah tersebut juga harus dilaksanakan secara
mutlak tanpa mengkhususkan waktu dan tempat tertentu, kapan dikhususkan tanpa
adanya dalil maka perbuatan tersebut dhukumi sebagai bid’ah [Kaidah ini
disebutkan oleh Syaikh Nashirudin Al-Albany dalam Ahkamul Jana`iz hal. 306].
Oleh karena itulah, termasuk bid’ah tatkala mengkhususkan pelaksanaan ibadah
dzikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
hanya pada tanggal kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat ke sebelas]
12. Sesungguhnya perayaan
maulid adalah perkara yang dianggap baik oleh banyak ulama dan telah diterima,
bahkan dilangsungkan secara turun temurun oleh kebanyakan kaum muslimin di
kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin.
Maka tentunya hal itu adalah kebaikan
karena kaidah yang diambil dari hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu menyatakan
bahwa, [“Apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu juga baik di
sisi Allah”].
Ini adalah termasuk dalil
yang disebutkan oleh Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliki dalam Haulal Ihtiffal hal.
15.
Bantahan:
Telah berlalu jawaban atas
hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu pada bab ketiga.
Siapa yang dimaksudkan sebagai ulama oleh
Al-Maliki di sini??! Kalau yang dia maksudkan adalah para sahabat serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka ini adalah kedustaan atas
nama mereka. Kalau yang dia maksudkan adalah selain mereka dari kalangan
Al-Qoromithoh, Al-Bathiniyah, dan Shufiah, maka Al-Maliki benar karena memang
perayaan maulid ini tidaklah muncul kecuali atas prakarsa mereka, sebagian
mereka -yakni Al-Bathiniyyah- telah dikafirkan oleh para ulama. Lihat bab
kesembilan dari buku ini.
Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafizhahullah
berkata dalam risalah beliau Hukmul Ihtifal bi Dzikril Maulid An-Nabawy, “Yang
menjadi hujjah adalah sesuatu yang tsabit (shahih) dari Rasul Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Sedang yang tsabit dari Rasul Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah larangan berbuat bid’ah secara umum, dan
ini -yakni perayaan maulid- di antara bentuknya.
Amalan manusia, jika menyelisihi dalil
maka bukanlah hujjah walaupun jumlah mereka banyak.
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah”. (QS. Al-An’am : 116)
Itupun akan terus menerus ada -berkat nikmat
Allah- pada setiap zaman orang-orang yang mengingkari bid’ah ini dan
menjelaskan kebatilannya. Jadi, tidak ada hujjah pada amalan orang yang terus
menghidupkan (bid’ah ini) setelah jelas baginya kebenaran”.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kedua belas]
13. Sebagian mereka berdalih
bahwa sebagian ulama sunnah ada yang memperbolehkan perayaan maulid, seperti
Imam As-Suyuthi Rahimahullahu dan yang lainnya.
Maka kami hanya mengikuti mereka karena mereka
adalah orang yang berilmu.
Bantahan:
Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah
ucapan yang penuh dengan fanatisme, taqlid, dan kesombongan yang telah
diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang telah berlalu
penjelasannya pada bab kelima dari buku ini.
Kemudian, perselisihan para ulama dalam
masalah ini -yakni bid’ahnya maulid- adalah perselisihan yang sifatnya tadhodh
(saling berlawanan dan menafikan), yang salah satunya adalah kebenaran dan yang
lainnya adalah kebatilan, bukan perselisihan tanawwu’ (cabang) yang sifatnya
masih menerima toleransi dan kompromi.
Sebagai seorang muslim, hendaknya
mengembalikan semua perselisihan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana
yang telah kami tegaskan pada bab pertama.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat ketiga belas]
14. Pengakuan dari
seseorang yang bernama Muhammad ‘Utsman Al-Mirghony dalam muqaddimah kitabnya
yang berjudul Al-Asror Ar-Robbaniyah, hal. 7.
Dia nyatakan bahwa dia menerima syari’at
perayaan maulid ini langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam dalam mimpinya.
Bantahan:
Al-‘Allamah Isma’il Al-Anshory
Rahimahullahu berkata dalam Al-Qaulul Fashl, “Sesungguhnya bersandar di atas
pengakuan bahwa seseorang menerima perintah-perintah Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam dalam mimpi untuk merayakan maulid Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
tidaklah teranggap, karena mimpi dalam tidur tidak bisa menetapkan sunnah yang
tidak ada dan tidak bisa membatalkan sunnah yang sudah ada sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama”.
Imam Abu Zakaria An-Nawawy Rahimahullahu
berkata dalam menjelaskan perkataan Imam Muslim Rahimahullahu tentang
“Menyingkap aib-aib para perawi hadits” dalam Shahihnya (1/115), “Tidak boleh
menetapkan hukum syar’i dengannya -yaitu dengan mimpi-, karena keadaan tidur
bukanlah keadaan menghafal dan yakin terhadap apa yang didengar oleh yang
bermimpi tersebut. Mereka telah bersepakat bahwa termasuk syarat orang yang
diterima riwayat dan persaksiannya adalah orang yang terjaga, bukan orang yang
lalai, bukan orang yang jelek hafalannya, dan tidak banyak salah (dalam
hafalan), …”.
Inilah hukum semua mimpi selain mimpinya
para Nabi yakni tidak bisa menetapkan syari’at yang tidak pernah dituntunkan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan sebaliknya mimpi tidak
bisa menghapuskan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam dalam hidup beliau, walaupun yang dia lihat di dalam
mimpinya adalah betul Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam [Akan
tetapi hal ini tentunya tidak mungkin. Yang dia lihat di dalam mimpnya pasti
adalah syaithan yang mengaku sebagai Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam, karena
tidak mungkin beliau memerintahkan sesuatu yang telah beliau larang ketika
beliau masih hidup].
Imam Asy-Syathibi Rahimahullahu berkata
dalam Al-I’tishom (1/209), “Mimpi selain para Nabi tidak bisa menghukumi
syari’at, bagaimanapun keadaannya kecuali harus diperhadapkan kepada sesuatu
yang ada di depan kita berupa hukum-hukum syari’at (Al-Kitab dan As-Sunnah).
Jika hukum-hukum syari’at ini membolehkannya, maka kita amalkan berdasarkan
hukum-hukum itu. Jika tidak, maka wajib untuk ditinggalkan dan berpaling
darinya. Faidahnya tidak lain sekedar sebagai kabar gembira (bila mimpinya
baik) atau peringatan (jika mimpinya buruk). Adapun mengambil petikan-petikan
hukum darinya, maka tidak!”.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat keempat belas]
15. As-Sakhowi [Beliau
adalah salah seorang murid senior dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu]
Rahimahullahu berkata,
“Jika penganut salib (Nashoro) menjadikan
malam kelahiran Nabi mereka sebagai hari raya besar, maka penganut Islam lebih
pantas dan lebih harus untuk memuliakan (Nabi mereka)”.
Ini disebutkan oleh Hasyim Ar-Rifa’iy dan
dia berdalil dengannya dalam membolehkan maulid sebagaimana dalam Ar-Roddul
Qowy, hal. 25 karya Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri Rahimahullahu.
Jawaban:
Tidak ada keraguan bahwa merayakan maulid
dan menjadikannya sebagai hari raya adalah di bangun atas tasyabbuh
(penyerupaan) kepada Nashara, sedangkan tasyabbuh kepada orang-orang kafir
adalah perkara yang diharamkan dan terlarang berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu ‘Umar
Radhiallahu‘anhuma dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676)
dan Al-Irwa` no. 2384)
Lihat kembali pada bab keenam dari buku
ini.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kelima belas]
16. Sesungguhnya perayaan maulid
adalah amalan yang bisa menghidupkan semangat kita untuk mengingat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ini adalah perkara yang
disyari’atkan.
Ini dijadikan dalil oleh Muhammad
bin ‘Alwy Al-Maliki dalam Haulal Ihtifal hal. 20.
Bantahan:
Cara mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam bukanlah dengan berbuat bid’ah yang telah beliau larang,
akan tetapi dengan cara meninggalkan semua jenis bid’ah -termasuk di dalamnya
perayaan maulid- dan semua perkara yang beliau larang. [Lihat bab Hakikat
Kecintaan Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam]
Mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam, -kalau sekedar itu yang diinginkan-, maka tidak perlu
dengan merayakan maulid. Karena mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam bisa dilakukan dengan bersholawat kepada beliau, berdo’a setelah
mendengar adzan, bersholawat kepada beliau ketika mendengar nama beliau
disebut, berdo’a setelah berwudhu, dan amalan-amalan ibadah lainnya. Semua
amalan ini adalah amalan yang sifatnya dilaksanakan secara kontinyu
(terus-menerus) siang dan malam, bukan hanya sekali setahun. [Di antara sarana
yang mengingatkan kita kepada Nabi -Shallallahu‘alaihi wasallam adalah dengan
membaca dan mengkaji hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam agar
bisa diamalkan. Sehingga orang yang mempelajari hadits-hadits beliau akan tahu
dan paham tentang aqidah, syari’at, ibadah, akhlak, dan perjuangan beliau dalam
menegakkan Islam. Semua ini akan mendorong dirinya dan orang lain untuk
mengamalkan sunnah dan mengingat Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam.
Bahkan seorang yang mengamalkan sunnah
akan mengingatkan kita tentang sosok Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam,
seakan-akan beliau ada di depan kita. Adapun orang yang meramaikan bid’ah
maulid, maka mereka tidaklah mengingatkan kita tentang sosok beliau
Shallallahu‘alaihi wasallam, akan tetapi justru mengingatkan kita tentang
natal, mengingatkan kita tentang orang-orang bathiniyyah dan shufiyyah karena
merekalah yang pertama kali melakukan maulid menurut para ahli tarikh. [ed]]
[Rujukan: Hukmul Ihtifal bil Maulidin
Nabawy war Roddu ‘ala man Ajazahu hal. 29-30 karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Alu Asy-Syaikh]
17. Mereka mengatakan,
“Perayaan maulid ini hanyalah sekedar adat istiadat yang tidak ada kaitannya
dengan agama sehingga tidak bisa dianggap bid’ah”.
Bantahan:
Perkataan ini adalah tempat pelarian
terakhir bagi orang-orang yang membolehkan perayaan maulid setelah seluruh
dalil-dalil mereka dirontokkan. Itupun alasan yang mereka katakan ini adalah
alasan yang tidak bisa diterima karena para pendahulu mereka yang membolehkan
maulid baik dari kalangan ulama maupun yang bukan ulama telah menetapkan bahwa
perayaan maulid adalah ibadah di sisi mereka, dan seseorang akan mendapatkan
pahala dengannya. [Lihat bab Orang-Orang yang Merayakan Maulid Menganggapnya
Bagian dari Agama]
18. Mereka juga berkata,
“Perayaan maulid ini memang adalah bid’ah, tapi dia adalah bid’ah hasanah (yang
baik)”.
Bantahan:
Bantahan atas syubhat ini telah kami
paparkan panjang lebar pada bab ketiga dari buku ini.
19. Perayaan maulid ini,
walaupun dia adalah bid’ah akan tetapi telah diterima dan diamalkan oleh ummat
Islam sejak ratusan tahun yang lalu.
Ini dijadikan dalil oleh
Muhammad Mushthofa Asy-Syinqithi.
Bantahan:
Berikut kami bawakan secara ringkas
bantahan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh Rahimahullahu terhadap
syubhat ini dari risalah beliau Hukmul Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man
Ajazahu. Beliau berkata, “Ada beberapa perkara yang menunjukkan bodohnya orang
ini:
Pertama: Bahwasanya ummat ini ma’shumah
(terpelihara) untuk bersepakat di atas kesesatan sedangkan bid’ah dalam agama
adalah kesesatan berdasarkan nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam. Jadi perkataan dia ini, mengharuskan bahwa ummat ini telah bersepakat
(untuk membenarkan) perayaan maulid yang dia sendiri telah mengakuinya sebagai
bid’ah.
Kedua: Sesungguhnya berhujjah dengan
pengakuan seperti ini untuk menganggap baik suatu bid’ah, bukanlah warisan para
ulama yang hidup di ketiga zaman keutamaan dan tidak pula orang-orang yang
mencontoh mereka, sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Imam Asy-Syathibi
Rahimahullahu dalam kitab beliau Al-I’tishom.
Beliau (Asy-Syathibi) berkata, [“Tatkala
berbagai bid’ah dan penyimpangan telah disepakati oleh manusia atasnya (baca :
membenarkannya), maka jadilah orang yang jahil berkata, “Seandainya ini adalah
kemungkaran maka tentu tidak akan dikerjakan oleh manusia””]”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata
dalam Al-Iqtidho`, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa kebanyakan adat-adat
yang menyelisihi sunnah ini adalah perkara yang disepakati (akan kebolehannya)
dengan berlandaskan bahwa ummat ini telah menyetujuinya dan mereka tidak
mengingkarinya, maka dia telah salah dalam keyakinannya itu. Sesungguhnya akan
terus-menerus ada orang-orang yang melarang dari seluruh adat-adat yang
dimunculkan, yang menyelisihi sunnah”.
Ketiga: Sesuatu (berupa keterangan) yang
akan kami sebutkan dari para ulama kaum muslimin berupa dipenuhinya perayaan
maulid tersebut dengan perkara-perkara yang diharamkan, serta penjelasan bahwa
perayaan maulid yang tidak mengandung perkara-perkara yang diharamkan maka dia
tetap merupakan bid’ah” [Lihat bab Kemungkaran-Kemungkaran dalam Perayaan
Maulid].
20. Mereka juga berdalil dengan
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang -katanya- beliau membolehkan
perayaan maulid.
Beliau berkata, “Demikian pula apa yang
dimunculkan oleh sebagian manusia, -apakah dalam rangka menandingi Nashara
dalam perayaan maulid ‘Isa -‘alaihis salam- atau karena kecintaan kepada Nabi
Shallallahu‘alaihi wasallam dan mengagungkan beliau-. Allah kadang memberikan
pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijithad ini, bukan atas bid’ah-bid’ah
berupa menjadikan Maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam sebagai ‘ied …”.
Lihat Al-Iqtidho` hal. 294
Di antara orang yang berdalilkan dengannya
adalah Muhammad Musthofa Al-’Alwy. Dia berkata, “Maka perkataan Syaikhul Islam
ini jelas menunjukkan bolehnya amalan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam
yang bersih dari kemungkaran-kemungkaran yang bercampur dengannya”.
Bantahan:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Asy-Syaikh menyatakan [Lihat Mulhaq dari risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Alu Asy-Syaikh yang berjudul Hukmul Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man
Ajazahu], “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam kitabnya
Al-Istighotsah, [“Suatu kesalahan, jika timbul dari jeleknya pemahaman orang
yang mendengar, bukan karena kelalaian pembicara, maka tidak ada apa-apa (baca
: dosa) atas pembicara. Tidak dipersyaratkan pada seorang alim jika dia
berbicara harus menjaga jangan sampai ada pendengar yang salah faham”].
Lagi pula beliau sendiri telah menegaskan
dalam lanjutan ucapan beliau -yang akan kami nukilkan pada bab ketiga belas-
bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah
bid’ah yang mungkar.
Adapun mu’alliq (komentator)
Al-Iqthidho`, dia berkata, “Bagaimana mungkin mereka memiliki pahala atas hal
ini padahal mereka telah menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu‘alaihi
wasallam dan petunjuk para sahabat beliau”.
21. Mereka berkata,
“Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi dia merupakan
syi’ar agama Islam, bukan merupakan bid’ah”.
Bantahan:
Ini menunjukkan kebodohan orang yang
mengucapkannya terhadap syari’at Islam, maka apakah orang yang seperti ini
pantas untuk berkomentar dalam agama Allah?! Orang ini telah membedakan antara
agama dan syi’ar agama padahal Allah -‘Azza wa Jalla- telah berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ
فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati. “. (QS. Al-Hajj: 32)
Dalam ayat ini, Allah -‘Azza wa Jalla-
menjadikan syi’ar agama sebagai lambang dari kataqwaan hati yang merupakan
kewajiban. Maka apakah setelah ini, masih ada orang yang mengaku paham agama
yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan
syi’ar agama -menurut sangkaan mereka- yang satu ini (maulid)?!
Karena ucapan ini mengharuskan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan sebuah ketaatan yang
merupakan kewajiban [Dan meninggalkan ketaatan yang merupakan kewajiban dengan
sengaja adalah dosa besar], padahal para ulama telah bersepakat bahwa para Nabi
terjaga (ma’shum) dari dosa besar. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu berkata
dalam Fathul Bari (8/69), “Para nabi ma’shum dari dosa-dosa besar berdasarkan
ijma’ ” (Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (4/319) dan juga Minhajus Sunnah (1/472)
karya Ibnu Taimiyah).
22. Di antara dalil mereka adalah
bahwa tidak ada satupun dalil yang tegas dan jelas melarang mengadakan perayaan
maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bantahan:
Sebenarnya dalil semacam ini tidak pantas
kami sebutkan, karena dalil ini hakikatnya sudah lebih dahulu patah sebelum
dipatahkan. Akan tetapi yang sangat disayangkan, dalil ini masih juga diucapkan
oleh sebagian orang yang mengaku berilmu yang dengannya dia menyesatkan manusia
dari jalan Allah.
Kami tidak akan menjawab dalil ini sampai
mereka menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas
dan jelas yang melarang dari narkoba dengan semua jenisnya!.
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas
dan jelas yang mengharamkan praktik-praktik perjudian kontemporer, semacam
undian berhadiah melalui telepon, SMS, dan selainnya!
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas
dan jelas yang menunjukkan haramnya kaum muslimin menghadiri natal dan perayaan
kekafiran lainnya!
Mereka tidak akan mendapatkan satu pun
dalil tentangnya -walaupun mereka bersatu untuk mencarinya- kecuali dalil-dalil
umum yang melarang dari semua amalan di atas dan yang semacamnya. Dan ketiga
perkara di atas, hanya orang yang bodoh tentang agama yang menyatakan halal dan
bolehnya.
Maka demikian halnya perayaan maulid.
Betul, tidak ada dalil yang tegas dan jelas yang melarangnya, akan tetapi dia
tetap merupakan bid’ah dan keharaman berdasarkan dalil-dalil umum yang sangat
banyak berkenaan larangan berbuat bid’ah dalam agama, berkenaan dengan larangan
menyerupai dan mengikuti orang-orang kafir, berkenaan dengan …, berkenaan
dengan …, dan seterusnya dari perkara-perkara haram yang terjadi sepanjang
pelaksanaan maulid. Wallahul Musta’an.
[Dinukil dari Buku Studi Kritis Perayaan
Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah,
cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007]
https://sunniy.wordpress.com/2010/02/23/syubhat-dan-argumen-orang-orang-yang-membolehkan-perayaan-maulid-beserta-bantahannya/
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah (lihat daftar isinya).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/04/kajian-lengkap-pro-kontra-hakikat_7.html?m=0
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah (lihat daftar isinya).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/04/kajian-lengkap-pro-kontra-hakikat_7.html?m=0
Penetapan
Orang-Orang yang Merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam
Al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah
Penetapan bahwa Orang-Orang yang
Merayakan Maulid Menganggap Perayaan itu Bagian dari Agama [Dan bahwasanya
orang-orang yang berperan serta di dalamnya akan mendapatkan pahala]
Pada bab ini kami akan menukil sebahagian
perkataan orang-orang yang membolehkan perayaan maulid, yang dari perkataan
mereka akan nampak jelas bahwa mereka menganggap perayaan ini termasuk bagian
dari agama dan bahwa yang menghadiri perayaan tersebut diberikan pahala
atasnya.
1. As-Suyuthy berkata dalam Husnul Maqshad fii
‘Amalil Maulid yang tergabung dalam kitab Al-Hawy Lil Fatawa (1/189), “Asal
amalan maulid -berupa berkumpulnya manusia, membaca sesuatu yang mudah dari
Al-Qur`an, meriwayatkan hadits-hadits yang warid (datang) tentang awal perkara
(baca: kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan sesuatu
yang terjadi pada saat kelahiran beliau berupa tanda-tanda yang hebat, kemudian
di hidangkan kepada mereka makanan yang mereka makan, lalu mereka semua pulang
tanpa ada tambahan dari hal-hal di atas-, ini adalah bid’ah hasanah, pelakunya
diberikan ganjaran pahala atasnya karena di dalamnya terdapat pengagungan
terhadap kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, menampakkan
kesenangan dan kegembiraan dengan hari kelahiran beliau yang mulia”.
2. Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliky berkata dalam
Haulal Ihtifal bil Maulid An-Nabawy (hal. 15-16), “Sesungguhnya perayaan maulid
berupa kumpulnya manusia, dzikir, sedekah dan pujian serta pengagungan terhadap
diri Nabi, ini adalah sunnah dan merupakan perkara-perkara yang dituntut dan
terpuji dalam syari`at dan telah datang hadits-hadits yang shahih tentangnya
dan motifasi atasnya”.
Dia juga berkata pada hal. 20 tentang perayaan
maulid, “Maka setiap kebaikan yang dicakup oleh dalil-dalil syar`i, tidak
dimaksudkan dengannya menyelisihi syari’at dan tidak ada kemungkaran di
dalamnya -yang dia maksudkan adalah perayaan maulid- maka dia adalah bagian
dari agama”.
3. ‘Isa Al-Himyary berkata dalam Bulughul
Ma`mul fii Hukmil Ihtifa` wal Ihtifal bi Maulidir Rasul (hal. 30) setelah
menyebutkan bahwa Al-Qur`an memaparkan kepada kita kisah-kisah kebanyakan para
nabi, “Inilah yang dijadikan dalil tentang benarnya penyunnahan (hukumnya
sunnah) merayakan maulid beliau -Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-”.
4. Muhammad bin Ahmad Al-Khazrajy berkata
dalam Al-Qaulul Badi’ fir Roddi ‘alal Qo`ilina bit Tabdi’ (hal. 29), “Para
ulama memiliki beberapa karangan tentang maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam, dan nanti akan kami jelaskan sunnahnya membaca kisah maulid
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya`: 107)
{Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhati man
Ajazal Ihtifal bil Maulid, bab kedua, yang ditulis oleh Abu Mu’adz As-Salafy}
[Dinukil
dari Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya
al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007]
Menjawab
Syubhat-Syubhat Perayaan Maulid Nabi dan Benarkah Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
Mendukung Maulid Nabi?
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin
Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa ahlul
bid’ah senantiasa ‘berjuang’ dengan penuh kegigihan membela dan mengibarkan
bendera bid’ah, sehingga bid’ah menyebar di mana-mana. Jangan heran bila mereka
begitu berani memaksakan dalil demi hawa nafsunya atau menasabkan hadits yang
tidak ada asalnya.
Bagaimana sikap kita dalam menghadapi
syubhat mereka?!
Pertama: Bertanya Tentang
Dalilnya
Syaikh Abdurrohman bin Yahya al-Mu’allimi
berkata: “Tidak ada perselisihan pendapat bahwa agama yang benar (Islam) adalah
yang datang dari Allah dan disampaikan oleh Rasulullah. Maka kita tanyakan
kepada ahli bid’ah: Apakah amalan ini termasuk agama yang disampaikan oleh
Muhammad dari Robbnya ataukah tidak? Kalau dia menjawab: Ini bukan termasuk
agama, maka selesai sudah masalahnya. Namun kalau menjawab: Ini termasuk
masalah agama, maka kita katakan padanya: Datangkanlah dalilnya!! [1]
Kedua: Bertanya Tentang
Pemahamannya
Kalau dia tidak mampu mendatangkan dalilnya
maka selesailah sudah masalahnya, tetapi kalau dia mendatangkan dalilnya, maka
tanyakan lagi padanya: Adakah para sahabat dan ulama salaf yang memahami dari
ayat atau hadits ini seperti pemahamanmu?! Karena sebagaimana kata Imam
asy-Syathibi rahimahullah: “Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan
penyesat umat mengemukakan dalil dari al-Qur’an dan hadits dengan memaksakannya
agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengannya.
Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka diatas kebenaran.”
Lanjut beliau: “Oleh karenanya, maka
semestinya bagi setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i agar memahaminya
seperti pemahaman para pendahulu (sahabat) dan Praktik amaliah mereka, karena
itulah jalan yang benar dan lurus.” [2]
Camkanlah baik-baik dua kaidah ini agar engkau
mampu menghadang syubhat ahli bid’ah di sepanjang zaman. Demikian pulang
tentang masalah perayaan maulid nabi ini, para pejuang dan pengibar bendera
pelaku ini memiliki syubhat-syubhat yang banyak sekali, kami akan menyebutkan
beberapa syubhat yang sangat masyhur saja berikut jawabannya. Semoga menjadi
pelita dan tameng bagi kita semua.
Syubhat Pertama
Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam memuliakan hari kelahirannya sebagaimana dalam hadits tentang
puasa hari Senin, sabda beliau:
“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus
atau diwahyukan kepadaku.” [3]
Hadits ini menujukkan kemulian hari kelahiran
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berarti disyariatkan bagi kita untuk
membuat perayaan sebagai ungkapan kegembiraan atas hari kelahirannya.
Jawaban:
Berdalil dengan hadits ini tidaklah
tepat, ditinjau dari beberapa segi:
1. Apabila maksud dari maulid disini
adalah mensyukuri atas nikmat kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka
secara dalil dan akal hendaknya syukur tersebut diwujudkan sebagaimana
syukurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dengan berpuasa yang
berarti bahwa hendaknya kita berpuasa sebagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berpuasa. Sehingga apabila kita ditanya maka kita menjawab
bahwa hari Senin adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kami
berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah azza wa jalla dan mengikuti sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang disyariatkan.
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak mengkhususkan pada hari kelahirannya yaitu tanggal 12
Rabi’ul Awal -sebagaimana pendapat yang masyhur- dengan puasa atau amalan
lainnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berpuasa pada hari Senin
yang datang setiap pekan. Sedangkan Allah azza wa jalla berfirman:
“Sesunggunya Telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
[QS.al-Ahzab/33 :21]
3. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa pada hari kelahirannya, apakah beliau menambahinya dengan
perayaan maulid seperti yang dilakukan oleh orang-orang? Jawabnya, tentu tidak,
cukup hanya dengan berpuasa. Jadi, mengapa umatnya tidak merasa cukup dengan
petunjuk nabinya?!! Ingatlah bahwa ibadah itu harus dibangun di atas dalil
bukan perasaan dan hawa nafsu!! [4]
4. Rasulullah tidak merayakan hari
kelahiran beliau sewaktu beliau hidup, demikian juga para sahabat tidak
merayakannya. Seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka mendahului kita,
karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi daripada kita. Mungkinkah mereka
meninggalkan amalan kebajikan dan meremehkannya?!! Sekali-kali tidak.
5. Puasa hari Senin bukan hanya karena
hari itu hari kelahiran Nabi, tetapi Nabi jugamenyebutkan alasan-alasan lainnya
yaitu turunnya wahyu dan diangkatnya amalan kepada Allah. Lantas, kenapa hanya
diambil satu alasan saja untuk sebuah syariat yang tidak diajarkan Allah dan
Rasul-Nya?! [5]
Syubhat Kedua
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Madinah, dan beliau menjumpai
Yahudi berpuasa pada hari Asyuro, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata: Hari apakah ini? Mereka menjawab: Ini adalah hari agung, hari Allah
menyelamatkan Musa dan pengikutnya dan menenggelamkan Fir’aun dan bala
tentaranya, lalu Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kita lebih berhak dengan Musa daripada
kalian, akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan
untu berpuasa pada hari itu.” [6]
Mereka mengatakan bahwa kalau Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam saja bergembira dengan diselamatkannya Nabi Musa shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka kita juga bergembira dengan kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bahkan lebih utama.
Jawaban:
1. Sesunggunya seluruh umat islam
mengetahui sunnahnya puasa Asyuro, sebagai wujud realisasi dari perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan ungkapan syukur atau dimenangkannya kebenaran
dan dihancurkannya kebathilan. Namun, bukan berarti hadits ini sebagai kaidah
yang membenarkan perayaan maulid nabi atau perayaan-perayaan lainnya. Jadi
anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa Asyuro bukan berarti
anjuran untuk menjadikannya sebagai perayaan maulid, tetapi anjuran untuk
bersyukur kepada Allah azza wa jalla dengan berpuasa pada hari tersebut seperti
yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [7]
2. Kita semua senang dan gembira dengan
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diutusnya beliau sebagai nabi,
hijrahnya beliau dan semua perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berupa jihad dan ilmu. Kita senang dan bergembira serta mengambil pelajaran
darinya. Namun semua itu bukan hanya dalam sehair saja dalam setahun, akan
tetapi disyariatkan pada setiap waktu dan setiap tempat.[8]
Syubhat Ketiga
“Berkata Urwah: Tsuwaibah adalah budak Abu
Lahab, Abu Lahab memerdekakannya dan menyusui Nabi. Tatkala Abu Lahab meninggal
dunia, sebagian keluarganya melihat dalam mimpi bahwa Abu Lahab dalam keadaan
yang jelek. Dia bertanya: Apa yang kau dapatkan? Abu Lahab menjawab: Saya tidak
mendapatkan kebaikan setelah kalian, hanya saja saya diberi minum sedikit ini
karena sebab memerdekakan Tsuwaibah.”
Jawaban:
1. Hadits ini diriwayatkan oleh
al-Bukhari: 4711 tetapi mursal[9], karena Urwah tidak menyebutkan siapa rowi
setelahnya, [10] sedangkan hadits mursal termasuk kategori hadits lemah menurut
mayoritas ahli hadits.
2. Ini adalah mimpi dan mimpi tidak bisa
dijadikan hujjah dalam syariat [11], sekalipun dia ahli ibadah dan berilmu,
kecuali mimpi para nabi karena mimpi mereka adalah haq.
3. Hadits ini memberikan pahala kepada
orang kafir, padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang kafir tidak diberi
pahala dan amal perbuatannya sia-sia.
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”
[QS.al-Furqon/25: 23]
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur
terhadap ayat-ayat Robb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka
hapuslan amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi
(amalan) mereka pada hari kiamat.” [QS.al-Kahfi/18: 105][12]
4. Kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah kegembiraan tabiat saja, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keponakannya, sedangkan kegembiraan
tidaklah diberi pahala melainkan apabila untuk Allah azza wa jalla.
5. Abu Lahab tidak mengetahui kenabian
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu, buktinya setelah dia
mengetahuinya maka dia memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan
hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukan.[13]
Syubhat Keempat
Mereka berkata bahwa perayaan maulid telah
dianggap baik oleh ulama dan kaum muslimin di berbagai negeri, maka perayaan
ini sangat baik berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Sesuatu yang menurut kaum muslimin baik, maka
hal itu baik di sisi Allah. Dan sesuatu yang di nilai buruk oleh kaum muslimin,
maka buruk pula di sisi Allah.
Jawaban:
Sungguh termasuk keajaiban dunia, tatkala
hadit ini dijadikan dalil oleh sebagian kalangan tentang adanya bid’ah hasanah
dalam agama dengan alasan banyaknya orang yang melakukan. Namun perlu dicermati
hal-hal berikut:
1. Hadits ini mauquf, sebagaimana dalam
HR.Ahmad: 3600, ath-Thoyyalisi hal.23 dan Ibnul A’robi dalam Mu’jamnya: 2/84
dengan sanad hasan, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk menentang
dalil-dalil yang jelas menegaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat sebagaimana
telah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Anggaplah hadit tersebut shohih, namun
tetep tidak bisa diterapkan karena menentang dalil-dalil yang shohih, karena:
Pertama, Maksud Ibnu Mas’ud rahiyallahu ‘anhu dengan ‘kaum muslimin’ adalah
kesepakatan para sahabat. Hal ini diperkuat bahwa beliau berdalil
dengannya dalam masalah kesepakatan sahabat untuk memilih Abu Bakar sebagai
kholifah. Kedua, maksud ‘Muslimun’ dalam ucapan beliau bukan setiap muslim
walaupun dia tidak memiliki ilmu sama sekali, tetapi maksudnya adalah
orang-orang yang memiliki ilmu di antara mereka dan tidak takliq buta dalam
agama.
Kesimpulannya, hadits ini tidak bisa
dijadikan pegangan oleh ahli bid’ah, apalagi kalau kita ingat bahwa sahabat
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang dikenal keras
memerangi bid’ah, di antara ucapan beliau: “Ikutilah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan janganlah kalian berbuat bid’ah, karena kalian telah diberi
kecukupan.”
Maka wajib bagi kalian wahai kaum
muslimin untuk berpegang teguh dengan sunnah nabi kalian, niscaya kalian akan
bahagia. [14]
Kemudian kami katakan: “Siapa di antara
ulama dan muslim yang menganggap baik maulid ini? Apakah mereka sahabat
Rasulullah? Tentu tidak! Apakah mereka para tabi’in? Tentu tidak! Apakah mereka
para tabi’ut tabi’in? Tentu tidak! Apakah mereka ulama generasi utama? Juga
tidak! Apakah mereka tokoh-tokoh Fathimiyyah Rofidhoh? Benar! Apakah mereka
ahlul bid’ah? Ya, benar…
Kemudian siapakah ‘kaum muslimin’ yang
dimaksud dalam atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut untuk menimbang
kebaikan dan kejelekan? Apakah mereka orang Rofidhoh dan thoriqot-thoriqot
yang rusak akalnya sehingga baik dianggap jelek dan yang jelek di anggap baik?
Maka datangkanlah kepada kami perkataan-perkataan dan perbuatan dari pada
salaf, tabi’in, tabi’ut tabi’in, ahlu hadits ahlu fiqh dan lainnya yang
mendukung perayaan maulid nabi ini..Sesungguhnya kami menunggu.” [15]
Kalau ada yang berkata: “Bukankah di
antara yang diantara yang menganggap baik perayaan maulid nabi adalah sebagian
ulama seperti as-Suyuthi, Ibnu Hajar, Abu Syamah dan lain sebagainya?!” Kami
katakan: “Benar, memang mereka menganggap baik hal itu, tetapi hal itu ukan
hujjah, semua ulama pasti ada ketergelincirannya, kita dituntut untuk mengikuti
dalil, bukan mengikuti kesalahan ulama.” Hal ini telah diperingatkan secara
keras oleh para ulama kita, di antaranya:
– Sulaiman at-Taimi rahimahullah
mengatakan: “Apabila engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah
berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
– Ibnu Abdil Barr rahimahullah
berkomentar: “Ini adalah ijma’, saya tidak mendapati perselisihan ulama tentangnya.”
[16]
– Al-Auza’i rahimahullah berkata:
“Barangsiapa memungut keganjilan-keganjilan ulama, maka dia akan keluar dari
Islam.” [17]
– Hasan al Bashri rahimahullah berkata:
“Sejelek-jelek hamba Allah adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil
untuk menipu para hamba Allah.” [18]
– Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah
berkata: “Seorang tidaklah disebut alim bila dia menceritakan pendapat-pendapat
yang ganjil.” [19]
– Imam Ahmad rahimahullah menegaskan
bahwa orang yang mencari-cari pendapat ganjil adalah seorang yang fasiq.[20]
Bahkan Imam Ibnu Hazm rahimahullah
menceritakan ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan
mazhab tanpa bersandar pada dalil merupakan kefasikan dan tidak halal.[21]
Syubhat Kelima
Mereka mengatakan bahwa
perayaan maulid nabi termasuk konsekuensi cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
Jawaban:
1. Perkataan ini dusta, tidak berdasar
dalil sedikitpun. Sebab maulid nabi tidak termasuk konsekuensi cinta terhadap
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah dengan ketaatan, bukan dengan kemaksiatan dan kebid’ahan seperti halnya
maulid nabi. [22]
2. Sesungguhnya mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kaum muslimin adalah kewajiban setiap hari,
bahkan setiapwaktu, bukan mengingat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
ketia perayaan maulid saja yang hilang dengan setelah usai perayaan tersebut,
semua itu akan merusak lebih banyak daripada memperbaiki, sebab tidak ada suatu
bid’ah pun kecuali akan mematian sunnah. [23]
3. Para sahabat adalah orang yang lebih
cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita, lebih berilmu,
lebih mengagungkan Nabi, lebih bersemangat dalam kebaikan. Sekalipun
demikian, mereka tidak merayakan maulid. Seandainya merayakan maulid termasuk
konsekuensi cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu mereka adalah
orang yang paling bersemangat melakukannya. [24]
Syubhat Keenam
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya perayaan
maulid merupakan dakwah, amar nahi munkar dan syiar Islam. Tidak ragu lagi
semua itu sangatlah dianjurkan, dan dalam perayaan ini terdapat amalan-amalan
utama seperti pembacaan al-Qur’an, sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mendengar siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lain sebagainya.
Jawaban:
1. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah berdakwah kepada Islam dengan perkataan, perbuatan dan jihad di
jalan Allah azza wa jalla. Beliau orang yang paling mengerti tentang metode
dakwah dan syiar Islam. Tetapi tidak ada petunjuk beliau dalam berdakwah dan
syiar Islam dengan perayaan maulid dan Isro’ Mi’roj. Demikian pula para
sahabat, mereka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah,
tetapi mereka tidak merayakan maulid atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau peringatan lainnya. Perayaan tersebut juga tidak dikenal bersumber dari
imam-imam kaum muslimin yang muktabar, Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya
perayaan tersebut hanya dikenal dari ahli bid’ah seperti Rofidhoh, Syiah,
dan kelompok-kelompok menyimpang yang sehaluan dengan mereka, yang sedikit
ilmunya tentang agama. Kesimpulannya, perayaan diatas adalah bid’ah munkaroh,
menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khulafa’-ur-Rosyidin
dan imam-imam salafush shalih pada tiga generasi terbaik umat ini…”[25]
2. Amalan-amalan tersebut seperti membaca
al-Qur’an, sholawat dan sebagainya tidak ragu termasuk amalan sholih apabila
dikerjakan sesuai tuntunan, bukan karena niat maulid. Jadi, yang diingkari
adalah mengkhususkan perkumpulan dengan cara dan waktu tertentu yang tidak ada
dalilnya. [26]
Perhatikanlah atsar berikut: Dari Sa’id
bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar
lebih dari dua roka’at, ia memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Akhirnya Sa’id bin
Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah
akan menyiksaku dengan sebab shalat?” Beliau menjawab: “TIdak, tetapi Allah
akan menyiksamu karena menyelisihi as-Sunnah.” [27]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah mengomentari atsar ini: “Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib
yang sangat indah. dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah
yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat,
kemudian membantai ahlus sunnah dan menuduh bahwa mereka (ahlus sunnah)
mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah
penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam dzikir, shalat dan lain-lain.” [28]
Syubhat Ketujuh
Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah:
“Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai
perayaan, bisa jadi dilakukan oleh sebagian manusia dan dia mendapatkan
pahala yang besar karena niatnya yang baik dan pengagungannya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Mereka mengatakan dengan nada mengejek: “Inilah
Syaikhul Islamnya kaum Wahabi, dia sendiri membolehkan perayaan maulid dan
mengatakan bahwa perayaan tersebut berpahala!!” Seperti dilakukan oleh
pengelola blog sesat “Salafytobat” dalam artikel mereka Ibnu Taimiyyah
Membungkam Wahhabi.
Jawaban:
1. Hendaknya diketahui oleh semua bahwa
sikap Salafiyyun, Ahlus Sunnah terhadap Ibnu Taimiyyah rahimahullah sama halnya
seperti sikap mereka terhadap para ulama lainnya, “Mereka tidak taklid terhadap
seorang pun dalam beragama seperti halnya perbuatan ahli bid’ah, mereka tidak
mendahulukan pendapat seorang ulama pun -sekalipun ilmunya tinggi- apabila
memang telah jelas bagi mereka kebeneran, mereka melihat kepada ucapan bukan
orang yang mengucapkan, kepada dalil bukan taklid, mereka selalu mengingat
ucapan Imam Malik bin Anas rahimahullah: “Setiap orang dapat diterima dan
ditolak pendapatnya kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad).” [30]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri
berkata: “Adapun masalah keyakinan, maka tidaklah di ambil dariku atau orang
yang lebih besar dariku, tetapi diambil dari Allah azza wa jalla, Rosul-Nya dan
kesepatakan salaf umat ini, keyakinan dari al-Qur’an harus diyakini, demikian
juga dari hadits-hadits yang shohih.” [31]
2. Memahami ucapan Ibnu Taimiyyah
rahimahullah di atas harus lengkap dari awal hingga akhir pembahasan, jangan
hanya diambil sepenggal saja sehingga menjadikan kita salah faham.
“Betapa banyak pencela ucapan yang benar
Sisi cacatnya adalah pemahaman yang
dangkal.” [32]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Kesalahan itu apabila karena jeleknya pemahaman pendengar bukan karena
kecerobohan pengucap bukanlah termasuk dosa bagi pembicara, para ulama tidak
mensyaratkan apabila mereka berbicara agat tidak ada seorangpun yang salah
faham terhadap ucapan mereka, bahkan manusia senantiasa memahami salah ucapan
orang lain tidak sesuai dengan keinginan mereka.” [33]
3. Bagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mendukung dan membolehkan perayaan maulid, sedangkan beliau
sendiri yang mengatakan:
“Adapun menjadikan suatu perayaan selain
perayaan-perayaan yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awal
yang disebut malam kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebagian
malam Rojab atau tanggal delapan Dzulhijjah atau awal Jum’at bulan Rojab atau
delapan Syawwal yang disebut oleh orang-orang jahil sebagai ‘Id al Abror, semua
itu termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan oleh salafush shalih dan tidak mereka
lakukan.” [34]
4. Maksud Ibnu Taimiyyah rahimahullah
dalam ucapannya di atabukan berarti membolehkan perayaan maulid, tetapi hanya
mengatakan bahwa bisa jadi orang yang merayakan maulid itu diberi pahala karena
niatnya yang bagus yaitu mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baiklah
agar kita memahami ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan bagus, kami akan
nukilkan teksnya (afwan, teks bisa dilihat di Majalah al Furqon Edisi 7 Tahun
Kesembilan. Shofar 1431, Jan-Feb 2010 Hal.48 atau antum bisa kunjungi link
berikut –> Ibnu Taimiyyah dan Maulid Nabi – Menyingkap Kedustaan
Salafytobat) berikut terjemahannya:
“Demikian pula apa yang diada-adakan oleh
sebagian manusia, bisa jadi untuk menyerupai orang-orang nashoro dalam
kelahiran Isa ‘alaihissalam dan bisa jadi karena cinta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan pengagungan kepada beliau. Dan Allah bisa jadi
memberikan pahala kepada mereka karena sebab kecintaan dan semangat, bukan
karena bid’ah menjadikan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
perayaan padahal ulama telah berselisih tentang (tanggal) kelahirannya.
Semua ini tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf radhiyallahu ‘anhum
(Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in), karena seandainya hal itu baik tentu
para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih
cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka lebihh bersemangat
dalam melaksanakan kebaikan. Sesungguhnya cinta Rosul shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah dengan mengikuti beliau, menjalankan perintahnya, menghidupkan
sunnahnya secara zhohir dan batin, menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu
semua, baik dengan hati, tangan ataupun lisan. Karena inilah jalan para
generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan kebaikan.” [35]
Ini adalah penjelasan gamblang dari Ibnu
Taimiyyah rahimahullah bahwa pahala orang yang merayakan maulid karena niatnya
yang baik yaitu cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan berarti
bahwa maulid itu disyariatkan, sebab seandainya itu disyariatkan tentu akan
dilakukan oleh para salaf yang lebih cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam daripada kita. Beliau mengatakan: “Kebanyakan mereka yang bersemangat
melakukan bid’ah-bid’ah seperti ini sekalipun niat dan tujuan mereka baik yang
diharapkan dengan niatnya tersebut mereka diberi pahala, enagkau dapati mereka
malas dalam menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka
seperti seorang yang menghiasi mushaf tetapi tidak membacanya, atau membaca
tapi tiak mengikuti isi kandungannya, atau tak ubahnya seperti orang yang
menghiasa masjid tetapi tidak sholat didalamnya ata shalat tapi jarang. [36]
Dengan demikian, jelaslah bagi orang yang
memiliki pandangan kesalahan orang yang menjadikan ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah diatas untuk mendukung perayaan maulid nabi. [37]
Note:
[1] Risalah fi Tahqiqil Bid’ah hal.5-6
[2] Al-Muwafaqot Fi Ushul Syariah: 3/52
[3] HR.Muslim 1162
[4] Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid:
44-45 oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazairi
[5] Minhatul Allam 5/78-79 oleh Syaikh
Abdullah al-Fauzan
[6] HR.al-Bukhari: 3648 dan Muslim: 1911
[7] Lihat Hiwar Ma’al Maliki hal.55-56,
Abdullah al-Mani’
[8] Idem hal.85
[9] Definisi mursal yang populer di
kalangan mayoritas ahli hadits adalah suatu hadits yang diriwayatkan dari
tabi’in langsung kepada Rasulullah (lihat Jami’ Tahshil fi Ahkamil Marosil
al-Ala’i hal.31)
[10] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar: 9/145
[11] Lihat masalah ini secara panjang
lebar dan keterangan para ulama tentangnya dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat
as-Salafiyyat fi Tafsir Ru’aa wal Manamat hal.247-283 oleh Syaikh Masyhur bin
Hasan dan Umar bin Ibrahim
[12] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar: 9/145
[13] Al-Maurid fi Hukmil Ihtifal
bil Maulid hal.21-23, Aqil bin Muhammad al-Yamani. Lihat pula al-Qoulul Fashl
Ismail al-Anshori hal.486-489
[14] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 533
[15] Lihat Hiwar ma’a Maliki hal.90-91
oleh Syaikh Abdulloh bin Sulaiman al-Mani’
[16] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi:
2/91-92
[17] Sunan Kubro al-Baihaqi: 10/211
[18] Adab Syar’iyyah: 2/77
[19] Hilyatul Auliya Abu Nu’aim: 9/4
[20] Al-Inshof, al-Mardhawi: 29/350
[21] Marotibul Ijma’ hal.175 dan dinukil
asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot: 4/134
[22] Shiyanatul Insan ‘an Waswasati
Syaikh Dahlan hal.228 oleh Syaikh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi. Lihat pula
asy-Syifa bi Ta’rif Huquqil Musthofa 2/16 oleh al-Qodhi Iyadh
[23] Syarh Mumti’, Ibnu Utsaimin:
5/112-113
[24] Fatawa Muhammad bin Ibrahim: 3/51,
ar-Roddul Qowi, at-Tuwaijiri hal.171
[25] Fatawa Lajnah Da’imah: 3/14-15
[26] at-Tabarruk, Dr.Nashir al-Judai’
hal.372
[27] Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Sunan
Kubro: 2/46 dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 2/236
[28] Irwa’ul Gholil: 2/236
[29] Iqtidho’ Shirathil Mustaqim 2/126
[30] Ahkamul Jana’iz hal.222 oleh
al-Albani
[31] Majmu’ Fatawa: 3/157
[32] Diwan al-Mutanabbi hal.232
[33] Al-Istighosah fir Roddi ‘ala
al-Bakri: 2/705
[34] Al-Fatawa Al-Kubro: 4/414
[35] Iqtidho’ Shirotil Mustaqim:
2/123-124
[36] Idem: 2/124
[37] Lihat Hukmul Ihtifal bil Maulid
Nabawi war Ruddi ‘ala Man Ajazahu, Muhammad bin Ibrahim hal.46-50 dan
al-Qolulul Fashl, Ismail al-Anshori hal.513-517
sumber: diketik ulang dari Majalah
al-Furqon Edisi 7, Tahun Kesembilan, Shofar 1431, Jan-Feb 2010 Hal.43-49
Semoga bermanfaat bagi kami dan juga kaum
muslimin. Barakallahu fiikum.
Tidak
didapatkan landasan hukum syar’i yang membolehkan perayaan maulid
al-Imam asy-Syaukani rahimahullah,
“Tentang Maulid, aku tidak mendapati
sampai sekarang ada satu dalil pun yang menunjukkan kepastiannya, baik dari
al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’, maupun Qiyas, tidak pula pendalilan. Bahkan kaum
muslimin sepakat bahwa maulid TIDAK ADA pada masa generasi terbaik (generasi
shahabat), tidak pula pada masa generasi setelahnya, tidak pula pada generasi
setelahnya lagi.”
al-Fath ar-Rabbani 2/1088
قال الإمَامُ الشَّوكَانِي – رَحِمهُ اللَّه – :
المَولِد لَم أجِدُّ إلى الآن دَلِيلاً يَدُلُ
عَلَى ثُبوتِهِ
مِنَ كِتَابٍ ، ولا سُنَّةٍ ، ولا إجمَاعٍ ، ولا
قِيَّاسٍ ، ولا إستِدلَالٍ ، بَل أجمَعَ المُسلِمُون أنَّهُ لَم يُوجَد فِي عَصرِ
خَير القُرونِ ، ولا الَّذِينَ يَلونَهُم ، ولا الَّذِينَ يَلونَهُم .
الفَتحُ الرَبَّانِي : (٢ / ١٠٨٨)
Hakekat di balik perayaan maulid nabi
Lihatlah, siapa yang membuat tradisi
Peringatan Maulid Nabi pertama kali…. Apakah orang-orang shalihin.. Apakah
generasi Salaf yang diridhai??
Asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Junaid
berkata,
قال التزمنتي الشافعي عن المولد: هذا الفعل لم
يقع في الصدر الأول من السلف الصالح مع تعظيمهم وحبهم له إعظاما ومحبة لا يبلغ
جمعنا الواحد منهم.
At-Tazmanti asy-Syafi’i rahimahullah
berkata tentang Maulid, “Perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh generasi
pertama as-Salafush Shalih. Padahal pengagungan dan kecintaan mereka terhadap
beliau (Rasulullah) merupakan pengagungan dan kecintaan yang sangat besar, kita
semua tidak bisa mencapai seperti pengagungan dan kecintaan salah seorang di
antara mereka (terhadap Rasulullah).”
قال المؤرخون : أول من أحدث الاحتفال بالمولد
الدولة العبيدية. وقد قال عنهم المؤرخ الذهبي: قلبوا الإسلام،وأعلنوا
الرفض،وأبطنوا مذهب الإسماعيلية
Para ‘ulama ahli sejarah mengatakan,
“Yang pertama kali mengadakan perkara baru perayaan Maulid adalah Daulah
Ubaidiyyah.” Seorang ‘ulama ahli sejarah, al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah
telah menegaskan tentang mereka, “Mereka (Daulah Ubaidiyyah) membalik Islam,
menampakkan (manhaj) Rafidhah, dan menyembunyikan madzhab Isma’iliyyah (salah
satu sekte ekstrim dalam Syi’ah, pen).”
قال المؤرخون:أول من أحدث الاحتفال بالمولد
الدولة العبيدية وقال عنهم القاضي عياض: أجمع العلماء بالقيروان أن حال بني عبيد
حال المرتدين والزنادقة
Para ‘ulama ahli sejarah mengatakan,
“Yang pertama kali mengadakan perkara baru perayaan Maulid adalah Daulah
Ubaidiyyah.” Al-Qadhi ‘Iyadh berkata tentang mereka, “Para ‘ulama di negeri
Qairawan telah sepakat bahwa kondisi Bani ‘Ubaid (penguasa di Daulah Ubaidiyyah)
adalah kondisi ORANG-ORANG MURTAD DAN PARA ZINDIQ.”
Daftar Isi Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi...........
1.Merayakan Maulid Nabi SAW
2.Tanya-Jawab Ilmiah Sekitar Perayaan Maulid
Nabi
3.Beberapa diantara Ulama yang membolehkan dan
menganggap baik perayaan maulidun Nabiy Muhammad sholallahu ‘alayh
wasallam
4.Inilah Sejarah yang Benar tentang Awal
Perayaan Maulid Nabi
5.Sejarah Singkat Maulid dan Sanggahan Bagi
Kalangan Anti Maulid
6.Jawaban Atas Sebuah Alasan : “Kenapa Sahabat
Nabi Tak Merayakan Maulid ?”
7,Diskusi Ringan Seputar Maulid Nabi
(Figur-Figur Generasi Terbaik Umat Yang Tidak
Merayakan Maulid Nabi Shalallahu ‘Alaihi Was Sallam, Apakah Mereka Akan Dicap
“Wahabi”?)
8.Perayaan Maulid Nabi Dalam Pandangan Beberapa
Ulama Syafi’iyah, Siapakah Yang Pertama Kali Merayakannya?
9.Perayaan Maulid Menurut Ulama Madzhab
10.Teka-Teki Maulid Nabi,.. siapa bisa
jawab pertanyaanya?
11.Alasan Sebagian Orang dalam
Membela Maulid
12.Ini Lho Dalil Keutamaan Maulid Nabi,.
Ternyata hadits palsu semua
13.Hadits palsu: “barangsiapa mengagungkan hari
kelahiranku…”
14.Kumpulan Penjelasan Mengenai Perayaan Maulid
Nabi
15.Engkau Harus Mencintai Nabimu
15.Sejarah Kelam Maulid Nabi
16.Meskipun Kelam, Maulid Nabi Tetap Ada
Pembelaan
17.Hukum peringatan maulid Nabi saw
18.Yang Mengharamkan Peringatan Maulid Nabi
Bukan Hanya Wahabi
19.Mengkritisi Sejarah Perayaan Maulid Nabi
20.Benarkah Sholahuddin al-Ayyubi Pencetus
Perayaan Maulid Nabi?
21.Yang Pertama Kali Mengadakan MAULID Adalah
Orang Syiah
22.Benarkah yang merayakan ‘maulid nabi’
pertama kali adalah raja al-muzhaffar, penguasa kota irbil?!
23.Menjawab
Syubhat-Syubhat Perayaan Maulid Nabi dan Benarkah Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
Mendukung Maulid Nabi ?
24.Syubhat dan Argumen
Orang-Orang yang Membolehkan Perayaan Maulid Beserta Bantahannya
25.Hadits-hadits tidak jelas, andalan penggemar
maulid Nabi
26.Peringatan Maulid Nabi Dalam Timbangan Islam
Komplementer terkait Maulid
:
(Maulid) Pendapat Ustadz Adi Hidayat Dibantah
oleh Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sanusi (lihat 1,370 Comments).
Jangan Ada Dusta Diantara Kita #Meluruskan_Syubhat_Maulid
Ustadz Abdul Somad.(lihat 1,493 Comments).
MasyaAllah Penjelasan Detail Ust Dzulqarnain
Ini Meluruskan Asatidz Fulan yg Membolehkan MAulid Nabi
Menolak Maulid = Kafir ?? -Ustadz Dzulqarnain
M. Sunusi
Syubhat 1: Merayakan Maulid Berarti Bergembira
atas Keutamaan & Rahmat - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 2: Maulid adalah Anjuran agar Banyak
Bershalawat kepada Nabi - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 3: Maulid Boleh Sebagaimana Puasa Senin
- Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 4: Maulid Boleh Sebagaimana Puasa
Asyura - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 5: Abu Lahab Siksaannya Diringankan
karena Bergembira akan Kelahiran Nabi
Syubhat 6: Maulid adalah untuk Memuji Nabi -
Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 7: Ucapan As-Sakhawiy "Kita Lebih
Pantas Merayakan Maulid Nabi" - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 8: Ibnu Taimiyah Membolehkan Maulid -
Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 9: Menolak Maulid Berarti Keluar dari
Islam - Salah Paham Tentang Maulid
[ADI-WIB© أصحاب
الكهف] Semua Bid'ah itu Sesat. Tinggalkan!! | Ustadz Dzulqarnain
Muhammad Sunusi
4 Sebab Bid'ah lebih Dahsyat dari Dosa Besar -
Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi, hafidzahullah
Manakah Yang Lebih Berbaya Bid'ah Atau Maksiat
- Ustadz Dzulqarnain M Sunusi