Sunday, March 3, 2019

Barangsiapa Yang Tidak Mengkafirkan Orang Yang Telah Dikafirkan Allah Dan Rasul-Nya ﷺ, Maka Ia Kafir Karena Mendustakan Allah Dan Rasul-Nya ﷺ.



Datar Artikel :
Tidak Mengkafirkan Orang Kafir
Penjelasan Kaidah: Barangsiapa Tidak Mengkafirkan Orang Kafir, Dia Menjadi Kafir
Tidak Mengkafirkan Orang Kafir Adalah Kekufuran
Penghapusan Kata Kafir dan Potensi Kaburnya Wala’ dan Bara’
Bolehkah Kita Mencintai Orang Kafir ?
Tidak Boleh Memulai Salam Kepada Orang Kafir
Apakah Orang Kafir akan Dihisab di Akhirat?
Takut Dikuasai Kaum Kafir?

Tidak Mengkafirkan Orang Kafir

Diposting oleh Abu Al-Jauzaa
Dalam kitab Nawaaqidlul-Islaam karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah, ini merupakan pembatal keislaman ketiga yang secara tekstual berbunyi:
من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم كفر
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan madzhab mereka, maka kafir”.
Yang dimaksud dengan kesyirikan dan kekafiran ini adalah kesyirikan dan kekafiran yang sangat jelas lagi diketahui kemunkarannya. Barangsiapa yang mengetahui kekufuran atau kesyirikan seseorang yang telah tetap/shahih kekufurannya berdasarkan nash, serta tidak ada perselisihan tentang perbuatan atau perkataannya tersebut merupakan kekufuran; kemudian ia tidak mengkafirkannya atau abstain atau ragu akan kekufurannya, maka ia kafir. Siapa saja yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang kekafirannya, maka wajib bagi kita untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan Allah dan Rasul-Nya , maka ia kafir karena mendustakan Allah dan Rasul-Nya . Adapun orang yang (malah) membenarkan madzhab (agama) mereka, maka ini bentuk pendustaan yang lebih parah daripada yang sebelumnya karena pembenaran merupakan ‘penambahan’ dari bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala dan sabda Nabi , serta penghalalan (istihlaal) terhadap apa yang diharamkan Allah.
Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” [QS. Al-An’aam : 121].
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan” [QS. Al-A’raaf : 40].
Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
ولهذا نكفِّر كل من دان بغير ملة المسلمين من الملل ، أو وقف فيهم، أو شك ، أو صحَّح مذهبهم ، وإن أظهر مع ذلك الإسلام ، واعتقده ، واعتقد إبطال كل مذهب سواه ، فهو كافر بإظهاره ما أظهر من خلاف ذلك
“Oleh karena itu, kita mengkafirkan semua orang yang beragama selain agama Islam, atau abstain terhadap (kekafiran) mereka, atau ragu-ragu (akan kekafiran mereka), atau membenarkan madzhab mereka; meskipun yang bersangkutan menampakkan keislamannya, meyakininya (Islam), dan meyakininya batilnya setiap madzhab selain agama Islam. Ia tetap kafir dikarenakan ia menampakkan sesuatu yang menyelisihinya (yang ia yakini)” [Asy-Syifaa bi-Ta’riifi Huquuqil-Musthafaa, 2/1071].

Al-Bahuutiy rahimahullah berkata saat menjelaskan sebab-sebab kekafiran:
( أَوْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ ) أَيْ تَدَيَّنَ ( بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى ) وَالْيَهُودِ ( أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ ) فَهُوَ كَافِرٌ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنْ الْخَاسِرِينَ } .
“(Atau tidak mengkafirkan orang yang beragama), yaitu memeluk agama (selain Islam, seperti Nashaaraa) dan Yahudi (atau ragu-ragu tentang kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka), maka ia kafir karena mendustakan firman-Nya ta’ala : ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi’ (QS. Aali ‘Imraan : 85)” [Kasysyaaful-Qinaa’, 5/146].

Untuk menghukumi kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, perlu perincian terkait status orang kafirnya:

1.      Orang kafir asli.
Orang kafir asli yang tidak pernah masuk agama Islam dari kalangan Yahudi[1], Nashrani[2], orang-orang musyrik[3], dan yang semisalnya yang kekufurannya ditegaskan Allah dan Rasul-Nya berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa ada perselisihan; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka, ragu akan kekafiran mereka, abstain dalam kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan agama mereka, maka ia kafir berdasarkan ijmaa’.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن لم يقر بأن بعد مبعث محمد لن يكون مسلم إلا من آمن به واتبعه باطنا وظاهرا فليس بمسلم ومن لم يحرم التدين بعد مبعثه بدين اليهود والنصارى بل من لم يكفرهم ويبغضهم فليس بمسلم بإتفاق المسلمين
“Dan barangsiapa yang tidak mengakui bahwa setelah diutusnya Muhammad seseorang tidak dianggap muslim kecuali orang yang beriman kepadanya dan mengikutinya secara lahir dan batin; maka ia bukan muslim. Barangsiapa yang tidak mengharamkan beragama Yahudi dan Nashara setelah diutusnya Nabi , bahkan barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka dan membenci (agama) mereka, maka ia bukan muslim berdasarkan kesepakatan kaum muslimin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 27/464].
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Abu Buthain rahimahullah berkata:
أجمع المسلمون على كفر من لم يكفر اليهود والنصارى، أو شك في كفرهم
“Kaum muslimin sepakat atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan orang Yahudi dan Nashara, atau ragu akan kekafiran mereka” [Ad-Durarus-Saniyyah, 2/207 & 8/160].
Hal sama dengan individu-individu yang telah ditegaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah akan kekafirannya tanpa ada perselisihan seperti Fir’aun[4], Haamaan, Qaaruun[5], Abu Lahab[6], dan yang semisalnya; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka dihukumi sama dengan sebelumnya.

2.      Orang yang murtad dari Islam.
Orang yang murtad dari Islam terbagi menjadi dua:
a.    Orang yang mengumumkan dengan jelas kekafiran dan kemurtadan dirinya dari agama Islam kepada agama selainnya, maka statusnya seperti golongan nomor 1 di atas dari kalangan Yahudi, Nashrani, Majusi, Hindu, Budha, dan yang semisalnya. Orang yang tidak mengkafirkan mereka, ragu akan kekafiran mereka, abstain dalam kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan agama mereka; maka ia kafir.
b.    Orang yang melakukan kekafiran namun dirinya menyangka di atas Islam dan/atau ia tidak menganggap kafir atas perbuatannya, maka dalam hal ini dibagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama. Orang yang melakukan kekafiran yang jelas dan disepakati tentang kekafirannya; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka dihukumi kafir setelah datang penjelasan dan/atau hujjah tegak atasnya, karena mungkin dalam dirinya (orang yang tidak mengkafirkan) terdapat syubhat atau kejahilan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menegaskan perkataan orang-orang Huluuliyyah dan yang berpemahaman wihdatul-wujuud lebih jelek dan lebih kufur dibandingkan orang Nashara, beliau berkata:
ولهذا يلبسون على من لم يفهمه فهذا كله كفر باطنا وظاهرا بإجماع كل مسلم ومن شك فى كفر هؤلاء بعد معرفة قولهم ومعرفة دين الإسلام فهو كافر كمن يشك فى كفر اليهود والنصارى والمشركين
“Karenanya, mereka mengelabuhi orang yang tidak memahaminya. Maka semua ini adalah kufur secara bathin dan dhaahir berdasarkan ijmaa’ semua orang muslim. Barangsiapa yang ragu akan kekufuran mereka setelah mengetahui (hakekat) perkataan mereka dan mengetahui (hakekat) agama Islam, maka ia kafir seperti kafirnya orang yang ragu akan kekufuran Yahudi, Nashrani, dan orang-orang musyrik” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 2/368].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata :
وكل من حكم الشرع بتكفيره فإنه يجب تكفيره ومن لم يكفر من كفره الله ورسوله فهو كافر مكذب لله ورسوله وذلك إذا ثبت عنده كفره بدليل شرعي
“Setiap orang yang dihukumi syari’at tentang kekafirannya, wajib bagi kita untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya , maka ia kafir karena mendustakan Allah dan Rasul-Nya . Pengkafiran tersebut dilakukan apabila telah tetap baginya akan kekafirannya[7] berdasarkan dalil syar’iy” [Al-Fataawaa As-Sa’diyyah, 1/215].
Ulama Lajnah Daaimah pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, mereka rahimahumullah menjawab:
من ثبت كفره وجب اعتقاد كفره والحكم عليه به وإقامة ولي الأمر حد الردة عليه إن لم يتب، ومن لم يكفر من ثبت كفره فهو كافر، إلا أن تكون له شبهة في ذلك، فلا بد من كشفها
“Barangsiapa yang telah tetap kekufurannya, wajib untuk meyakininya kekufurannya, mengukumi kafir terhadapnya, dan ulil-amri menegakkan hukum orang murtad[8] kepada yang bersangkutan apabila tidak bertaubat. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah tetap kekafirannya, maka ia kafir. Kecuali apabila ia memiliki syubhat tentang hal tersebut, maka (syubhat tersebut) harus dihilangkan[9]” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/93].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat dan melakukan amalan kesyirikan, beliau berkata (dengan peringkasan) :
حكم من ترك الصلاة من المكلفين الكفر الأكبر في أصح قولي العلماء وإن لم يعتقد ذلك هو؛ لأن الاعتبار في الأحكام بالأدلة الشرعية لا بعقيدة المحكوم عليه.
وهكذا من تعاطى مكفرا من المكفرات كالاستهزاء بالدين، والذبح لغير الله، والنذر لغير الله، والاستغاثة بالأموات وطلبهم النصر على الأعداء أو شفاء المرض ونحو ذلك لقول الله عز وجل: قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ[1]، وقوله سبحانه: قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، وقوله سبحانه: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
"Hukum orang mukallaf (yang telah dibebani syariat) yang meninggalkan shalat adalah kufur akbar menurut pendapat paling shahih diantara dua pendapat yang beredar di kalangan ulama apabila ia tidak berkeyakinan bolehnya meninggalkan shalat. Hal itu dikarenakan yang dianggap dalam hukum adalah dalil-dalil syar'iy, bukan keyakinan orang yang dihukumi terhadapnya.
Begitu pula orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kufur seperti istihzaa' (mengolok-olok) agama, menyembelih untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, beristighatsah kepada orang mati, memohon kepada mereka pertolongan dari musuh-musuh atau kesembuhan dari penyakit, dan yang lainnya berdasarkan firman Allah 'azza wa jalla : "Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?'. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman" (QS. At-Taubah : 65-66). Juga berdasarkan firman-Nya subhaanahu wa ta'ala : "Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (QS. Al-An'aam : 162-163). Juga firman-Nya : "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan menyembelihlah" (QS. Al-Kautsar : 1-2).
........
ومن لم يكفر الكافر فهو مثله إذا أقيمت عليه الحجة وأبين له الدليل فأصر على عدم التكفير، كمن لا يكفر اليهود أو النصارى أو الشيوعيين أو نحوهم ممن كفره لا يلتبس على من له أدنى بصيرة وعلم.
"Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia semisal dengannya (kafir) apabila telah ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan padanya dalil, lalu ia bersikeras untuk tidak mengkafirkannya; seperti status (kafirnya) orang yang tidak mengkafirkan orang Yahudi, Nashara, komunis, dan semisalnya dari kalangan yang tidak samar lagi kekufurannya bagi orang yang memiliki pemahaman dan ilmu minimal......" [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/226].
Dalam fatwa lain beliau rahimahullah berkata:
أما من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون كافراً.
ومن شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
وهذه أمور عظيمة يجب على طالب العلم التثبت فيها، وعدم العجلة فيها حتى يكون على بينة وعلى بصيرة، وهكذا العامة يجب عليهم في ذلك أن يتثبتوا، وألاَّ يقدموا على شيء حتى يسألوا أهل العلم، وحتى يتبصروا؛ لأن هذه مسائل عظيمة، مسائل تكفير وليست مسائل خفيفة.
“….. Adapun orang yang mengingkari kewajibannya (shalat), lantas ia berkata : 'Shalat itu tidak wajib', maka orang ini kafir berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya, maka ia kafir - na'uudzu billah - . Begitu pula orang yang mengatakan zakat tidak wajib - yaitu mengingkari kewajibannya - , atau mengingkari kewajiban puasa di bulan Ramadlaan; maka orang ini dikafirkan dengan sebab itu. Hal itu dikarenakan ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya, serta mendustakan ijmaa kaum muslimin sehingga ia menjadi kafir.
Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya, maka ia kafir setelah dijelaskan kepadanya dalil dan diterangkan kepadanya hakekat perkaranya. Ia kafir dikarenakan ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya, serta mendustakan ijmaa' kaum muslimin.
Ini adalah perkara-perkara besar yang wajib bagi penuntut ilmu untuk melakukan tatsabbut padanya dan tidak tergesa-gesa, hingga dirinya berada di atas bukti dan pengetahuan. Begitu juga masyarakat umum (orang-orang awam), wajib bagi mereka untuk tatsabbut dan tidak mendahului dalam sesuatupun hingga mereka bertanya terlebih dahulu kepada ulama dan mereka memiliki pemahaman yang benar. Karena permasalahan ini adalah sangat besar. Permasalahan takfiir bukan permasalahan yang ringan” [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy rahimahullah pernah ditanya tentang dlaabith pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik seperti Ibnu Sinaa, seperti misal ada orang yang berkata : ‘Aku tidak mengkafirkan Ibnu Sinaa, menurutku ia seorang muslim’. Apakah orang ini dikafirkan ?. Beliau hafidhahullah menjawab:
إذا كان عنده لبس , ولا يعرف حاله , لا يكفر حتى يتبين له أمره , لكن من عرف أنه كافر وأنه ملحد , ولم يكفره فهذا داخل في هذا الناقض , لكن قد لا يتبين هذا لبعض الناس , فالذي لا يتبين له يبين له حاله.
“Apabila ia memiliki kesamaran dan tidak mengetahui keadaan dirinya (Ibnu Sinaa), maka tidak dikafirkan hingga dijelaskan kepadanya keadaannya (Ibnu Sinaa). Akan tetapi bagi orang yang mengenal bahwa Ibnu Sinaa kafir dan mulhid, namun ia tidak mengkafirkannya, maka ini masuk dalam pembatal keislaman tersebut. Akan tetapi kadang hal ini tidak jelas bagi sebagian orang, sehingga bagi orang yang tidak jelas, perlu dijelaskan keadaannya (Ibnu Sinaa) kepadanya” [Syarh Nawaaqidlil-Islaam].
Sebagaimana kaedah umum dalam pengkafiran, maka di sini butuh penjelasan dan penegakkan hujjah terhadap orang (yang tidak mengkafirkan) tersebut jika ia bodoh atau memiliki syubhat. Akan tetapi dalam prakteknya secara individu, maka tidak sama. Tergantung detail/jenis permasalahannya, keadaan individunya, serta situasi dan kondisinya. Kadang 'udzur diberikan kepada si Fulaan, namun tidak si 'Alaan.
Golongan kedua. Orang yang melakukan perbuatan yang kekafirannya diperselisihkan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebagian ulama mengatakan kafir yang mengeluarkannya dari agama, sebagian yang lain tidak sampai mengeluarkannya dari agama. Seperti misal orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat selain syahadat dengan tetap mengakui kewajibannya. Maka orang yang tidak mengkafirkan golongan ini tidak dikafirkan.
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah pernah berkata ketika menjelaskan permasalahan kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat:
......................
وقال آخرون من أهل العلم: إنه لا يكفر بذلك؛ لأنه لم يجحد وجوبها، بل يكون عاصياً وكافراً كفراً دون كفر وشركاً دون شرك، لكن لا يكون كافراً كفراً أكبر. قاله جمع من أهل العلم. ومن شك في كفر هذا لا يكون كافراً؛ لأنه محل اجتهاد بين أهل العلم، فمن رأى بالأدلة الشرعية أنه كافر وجب عليه تكفيره، ومن شك في ذلك، ولم تظهر له الأدلة ورأى أنه لا يكفر كفراً أكبر بل كفر أصغر فهذا معذور في اجتهاده، ولا يكون كافراً بذلك.
أما من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون كافراً.
ومن شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
“Ulama lain berpendapat bahwasannya orang yang meninggalkan shalat (karena malas) tidak kafir, karena ia tidak mengingkari kewajibanya. Namun ia termasuk orang yang bermaksiat dengan kekafiran di bawah kekafiran (kufur ashghar), kesyirikan di bawah kesyirikan (syirik ashghar). Pendapat itu dikatakan oleh sekelompok ulama. Barangsiapa yang ragu akan kekufurannya, maka tidak kafir karena permasalahan tersebut merupakan ranah ijtihad di kalangan ulama. Barangsiapa yang melihat dalil-dalil syar'iy bahwa ia (orang yang meninggalkan shalat) adalah kafir, maka wajib baginya untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan tidak nampak baginya dalil-dalil (yang mengkonsekuensikan pengkafirannya) dan kemudian berpandangan orang tersebut tidak dikafirkan dengan kufur akbar, namun sebatas kufur ashghar saja, maka ini diberikan udzur dalam ijtihadnya. Ia tidak kafir dengan sebab itu” [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Permasalahan lain misalnya kafir tidaknya orang yang meminta kepada penghuni kubur agar ia (si mayyit) berdoa kepada Allah untuknya. Ini juga diperselisihkan ulama. Sebagian mengatakan syirik akbar, sedangkan jumhur ulama mengatakan syirik ashghar yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar.[10]
Begitu pula dengan permasalahan pengkafiran orang muslim yang terjatuh dalam kesyirikan, apakah dipersyaratkan penegakkan hujjah ataukah tidak.
Ulama Lajnah Daaimah yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahumullah menjelaskan :
وبذا يعلم أنه لا يجوز لطائفة الموحدين الذين يعتقدون كفر عباد القبور أن يكفروا إخوانهم الموحدين الذين توقفوا في كفرهم حتى تقام عليهم الحجة؛ لأن توقفهم عن تكفيرهم له شبهة وهي اعتقادهم أنه لا بد من إقامة الحجة على أولئك القبوريين قبل تكفيرهم بخلاف من لا شبهة في كفره كاليهود والنصارى والشيوعيين وأشباههم، فهؤلاء لا شبهة في كفرهم ولا في كفر من لم يكفرهم، والله ولي التوفيق، ونسأله سبحانه أن يصلح أحوال المسلمين، وأن يمنحهم الفقه في الدين، وأن يعيذنا وإياهم من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، ومن القول على الله سبحانه وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم بغير علم، إنه ولي ذلك والقادر عليه.
"Dengan demikian diketahui bahwa tidak boleh bagi golongan muwahhidiin (orang yang mentauhidkan Allah) yang meyakininya kekafiran para penyembah kubur untuk mengkafirkan saudaranya muwahhidiin lain yang tawaqquf dalam kekafiran mereka (penyembah kubur) hingga ditegakkan hujjah kepada mereka. Sikap tawaqquf mereka terhadap pengkafiran para penyembah kubur karena memiliki syubhat, yaitu keyakinan mereka bahwa harus ada penegakan hujjah terhadap para penyembah kubur tersebut sebelum pengkafirannya[11]. Berbeda halnya dengan golongan yang tidak ada syubhat dalam pengkafirannya seperti orang Yahudi, Nashrani, komunis, dan yang semisalnya. Golongan ini tidak ada syubhat dalam pengkafirannya dan tidak pula (ada syubhat) dalam pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan golongan ini. Dan Allah lah Yang memberi taufik. Kami memohon kepada Allah subhaanahu wa ta'ala untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin, menganugerahkan pemahaman agama kepada mereka, serta melindungi kita dan mereka dari kejelekan diri kita dan amal perbuatan kita. Serta melindungi kita dari berbicara tentang Allah subhaanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya tanpa ilmu. Sesungguhnya Ia Maha Kuasa atas hal itu" [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/99].
Sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah di atas, permasalahan takfiir adalah permasalahan besar, bukan permasalahan yang ringan. Kadang seseorang memiliki bukti yang jelas akan kekafiran seseorang, namun yang lain tidak memilikinya atau mempunyai takwil.
Contoh misalnya : Ada seseorang pernah melihat Fulaan muslim dengan mata kepalanya sendiri menyembah patung Budha, mendengar perkataannya ia meminta sesuatu kepadanya, dan memberikan sesajen kepadanya di dalam rumahnya sehingga ia yakin akan kekafiran (murtad) Fulaan tersebut. Namun apa yang ia lihat ternyata tidak dilihat oleh orang lain karena Fulaan menampakkan keislamannya seperti mengerjakan shalat dan puasa. Orang yang tidak melihat tentu berbeda sikap dan penghukumannya dengan orang yang melihat, sehingga ia tidak mengkafirkan sebagaimana pengkafiran orang pertama.
Contoh lain : Ada seseorang yang mendengar ‘Alaan mengatakan Allah tidak pernah berbicara dan berfirman dalam bentuk apapun. Ini adalah perkataan kufur dan merupakan bentuk penghinaan terhadap Allah ta’ala. Ia pun mengkafirkannya. Kemudian ada orang lain mendengar perkataan ‘Alaan tidak menganggapnya sebagai kekufuran dan tidak mengkafirkan ‘Alaan karena dianggapnya ucapan itu merupakan bagian dari perbedaan pendapat biasa di kalangan ulama[12]. Seandainya diasumsikan si ‘Alaan kafir karena telah ditegakkan hujjah oleh orang pertama yang mendengarnya, maka tidak mengkonsekuensikan ia harus otomatis mengkafirkan orang kedua yang mempunyai syubhat di kepalanya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
فمن عيوب أهل البدع تكفير بعضهم بعضا ومن ممادح أهل العلم أنهم يخطئون ولا يكفرون وسبب ذلك أن أحدهم قد يظن ما ليس بكفر كفرا وقد يكون كفرا لأنه تبين له أنه تكذيب للرسول وسب للخالق والآخر لم يتبين له ذلك فلا يلزم إذا كان هذا العالم بحاله يكفر إذا قاله أن يكفر من لم يعلم بحاله
“Maka termasuk diantara aib-aib ahlul-bida’ adalah pengkafiran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan termasuk diantara yang menunjukkan terpujinya para ulama adalah mereka sekedar menyalahkan tanpa mengkafirkan. Penyebabnya, salah seorang diantara mereka kadang menyangka sesuatu yang bukan merupakan kekufuran sebagai kekufuran, dan yang lain (menghukumi) sebagai kekufuran karena nampak jelas baginya perbuatan itu merupakan pendustaan terhadap Rasul dan penghinaan terhadap Al-Khaaliq. Adapun yang lain tidak nampak hal itu padanya (sehingga tidak mengkafirkannya). Maka tidaklah mengkonsekuensikan orang yang mengetahui keadaannya sehingga ia mengkafirkan apabila ada yang mengatakannya; untuk mengkafirkan orang yang tidak mengetahui keadaannya” [Minhaajus-Sunnah, 5/251].
Ahlus-Sunnah tidak mengenal takfir MLM, takfir berantai disebabkan karena tidak menyepakati pendapat mereka. Prinsip ini berasal dari ahli bid’ah.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata saat menjelaskan ragam pendapat di kalangan kelompok Murji’ah:
واختلفت المرجئة في إكفار المتأولين على ثلاثة أقاويل:
فقالت الفرقة الأولى منهم: لا نكفر أحداً من المتأولين إلا من أجمعت الأمة على إكفاره.
وقالت الفرقة الثانية منهم أصحاب أبي شمر أنهم يكفرون من رد قولهم في القدر والتوحيد ويكفرون الشاك في الشاك.
وقالت الفرقة الثالثة منهم: الكفر هو الجهل بالله فقط ولا يكفر بالله إلا الجاهل به، وهذا قول جهم بن صفوان.
“Kelompok Murji’ah berselisih pendapat dalam pengkafiran muta’awwiliin (orang-orang yang salah ta’wiil[13]) dalam tiga pendapat:
Kelompok pertama mengatakan : Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muta’awwiliin kecuali orang yang telah disepakati umat[14] akan kekafirannya.
Kelompok kedua dari kalangan pengikut Abu Syimr mengkafirkan orang yang menolak pendapat mereka dalam permasalahan qadar dan tauhiid[15], dan mereka mengkafirkan orang yang ragu-ragu dalam mengkafirkan orang yang ragu-ragu (terhadap kekafiran orang yang menolak pendapat mereka).
Kelompok ketiga mengatakan bahwa kekufuran itu hanyalah bodoh terhadap Allah saja. Tidak ada orang yang kufur terhadap Allah kecuali orang yang jahil terhadapnya. Ini perkataan Jahm bin Shafwaan” [Maqaalatul-Islaamiyyiin].
Kita harus senantiasa ingat akan sabda Nabi :
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia memang kafir); namun apabila tidak, maka tuduhannya itu akan kembali kepadanya (yang mengatakan)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Semoga apa yang dituliskan ini ada manfaanya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[bahan bacaan : Syarh Nawaaqidlul-Islaam oleh Naashir bin Ahmad Al-‘Adniy, Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak, Al-Ilmaam bi-Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Rays, dan beberapa artikel di internet].
[1]      Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[2]      Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
[3]      Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [QS. Al-Bayyinah : 6].
[4]      Allah ta’ala berfirman:
كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَكُلٌّ كَانُوا ظَالِمِينَ
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Anfaal : 54].
[5]      Allah ta’ala berfirman:
وَقَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الأرْضِ وَمَا كَانُوا سَابِقِينَ
“Dan (juga) Qaaruun, Fir’aun, dan Haamaan. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu)” [QS. Al-Ankabuut : 39].
[6]      Allah ta’ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut” [QS. Al-Lahab : 1-5].
[7]      Yaitu ia mengetahui perbuatan tersebut termasuk kekufuran.
[8]      Yaitu hukum bunuh.
[9]      Dengan penjelasan dan penegakan hujjah.
[10]     Silakan baca : Hukum Meminta kepada Mayit agar Berdoa kepada Allah untuknya.
[11]     Permasalahan apakah dipersyaratkan penegakan hujjah terhadap orang yang terjatuh pada sebagian perkara kesyirikan diperselisihkan para ulama kita. Sebagian ulama Najd tidak mensyaratkannya, namun jumhur ulama mensyaratkannya. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat yang dipegang oleh Ibnul-‘Arabiy, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy, Al-Albaaniy, Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahumullah, dan banyak yang lain.
Permasalahan ini telah banyak dibahas dalam Blog ini.
[12]     Saya pernah mendengar dan melihat di rekaman video Youtube seorang dai mengatakan bahwa kekufuran Jahmiyyah tersebut adalah sekedar perbedaan pendapat saja.
[13]     Menurut versi pemahaman mereka.
[14]     Umat di sini adalah termasuk dari kalangan ahli bid’ah, sehingga cakupan kekafiran sangatlah sedikit.
[15]     Maksud dari ‘tauhiid’ versi mereka adalah penafikkan terhadap Allah dari sifat-sifat-Nya yang azaliyyah.

Penjelasan Kaidah: Barangsiapa Tidak Mengkafirkan Orang Kafir, Dia Menjadi Kafir


Kamis, 19 Maret 2015 
Persoalan takfir (menghukumi kafir) tentunya bukan sebuah perkara yang remeh. Ibarat pisau bermata dua, jika dilakukan tanpa kaedah yang berlaku, akan berbalik kepada diri sendiri. Di sisi lain jika tidak diberlakukan, juga akan merusak tauhid yang ada pada dirinya. Maka, hal ini sudah seharusnya dilakukan sesuai dalil yang masyru’ dan kaidah yang berlaku.

Diantara dalil yang sering dijadikan acuan dalam masalah takfir adalah kaidah dari para ulama ahli tauhid, yaitu: man lam yukaffir al-kafir fahuwa kafir (Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir). Kaidah ini pada dasarnya merujuk kepada ayat atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang larangan menolak atau mengingkari sesuatu yang telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam hal ini, Allah telah menjelaskan secara gamblang tentang kekufuran keyakinan yang dianut oleh orang Yahudi dan Nasrani atau penjelasan tentang jenis tindakan kekufuran lainnya.

“Dan tiadalah yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir.” (Al-Ankabut : 47)

Oleh karena itu, ketika seseorang tidak menyakini kekafiran terhadap orang-orang yang telah disebut kafir oleh Allah, maka secara tidak langsung dia sedang menolak kebenaran ayat Al-Qur’an. Sudah jelas, bahwa menolak keterangan dari Al-Qur’an tentu hukumnya adalah kafir.

background_footer - Copy (9) - Copy

Namun naifnya, kaidah ini sering kali dijadikan dalil oleh sebagian aktivis Islam untuk menvonis setiap person yang terindikasi melakukan kekufuran atau kesyirikan tanpa proses yang benar. Tidak hanya itu, bahkan mereka tidak segan-segan menvonis kafir setiap orang yang tidak mengkafirkan pelaku kekufuran atau kesyirikan secara ta’yin. Nah, apakah kesimpulan tersebut sesuai dengan pemahamana ulama? Kalau memang tidak, bagaimana para ulama menjelaskan kaidah tersebut?

Bagi yang sering membuka Kitab Tauhid, kaidah tersebut sudah tidaklah asing bagi mereka. Kaidah “Barangsiapa Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir Maka Dia Telah Kafir” ini sangat masyhur dan merupakan pembatal ketiga di antara pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dalam kitab tauhidnya, beliau berkata :

من لم يكفر المشركين أو يشك في كفرهم أو صحح مذهبهم كفر

“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan oran-orang musyrik atau ragu dengan kekufuran mereka atau membenarkan mazhab mereka maka dia kafir.” (Majmu’ah Rasaa’il Fii At Tauiid Wa Al Iman, hal. 385)

Walaupun kaidah ini lebih masyhur dikenal dari Syaikh Muhammad bin Adul Wahhab, namun sebenarnya jauh beberapa abad sebelum beliau, kaidah tersebut telah dimunculkan oleh beberapa ulama salaf terdahulu. Misalnya Sufyan bin Uyainah dalam kitab As-Sunnah karangan Abdullah bin Ahmad, disebutkan bahwa beliau berkata:

القرآن كلام الله عز وجل من قال مخلوق فهو كافر ، ومن شك في كفره فهو كافر

“Al-Qur’an adalah kalamullah ‘azza wa jalla, barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk maka dia kafir, dan barangsiapa ragu atas kekufuran mereka maka dia juga kafir.” (Abdullah Bin Ahmad, As-sunnah, no. 25)

Ibnu Al-Muqri dalam kitabnya Ar-Raudhoh, beliau menukil perkataan Ibnu Hajar Al-Haitsami, “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan kelompok Ibnu ‘Arabi maka ia sama seperti tidak mengkafirkan orang Yahudi dan Nasrani.” (Ibnu Hajar Al-Haitsami, Al’ilam Biqawati’il islam, hal. 379)

Imam An-Nawawi berkata, “Orang yang tidak mau mengkafirkan para pemeluk agama selain Islam seperti Nasrani atau dia ragu dengan kekufuran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir meskipun pada saat itu dia mengaku Islam dan yakin dengan hal itu.” (An-Nawawi, Raudhatu Thalibin, 10/70)

background_footer - Copy (10) - Copy

Demikian juga perkataan ulama-ulama lain seperti, Abi Zur’ah Ar-Razi dalam kitab Syarh Ushul Itiqod Al-Lalikai, perkataan Salamah bin Syubaib An-Naisaburi dalam kitab Tahzib Ibnu Hajar, perkataan Muhammad bin Sahnun Al-Maliki, perkataan Ibnu Taimiyah dan lain-lain sebagainya.

Kesimpulannya, kaidah tersebut sebenarnya telah ada pada masa para tabi’in masih hidup. Jadi, salah jika ada yang menyatakan bahwa kaidah ini dimunculkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah kemudian dipopulerkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama Nejd. (Lihat: Al-Maqdisi: Risalah Atsalatsiniyah, hal. 231)

Penjelasan Kaedah “Man lam yukaffir al-kafir fahuwa kafir”

Perlu dipahami, kaidah ini tidak bisa diterapkan secara mutlak begitu saja. Namun harus disertai dengan penjelasan yang lebih rinci. Karena disamping kajiannya yang rumit, kaidah tersebut memiliki rambu-rambu yang harus diperhatikan. Ketika rambu-rambu tersebut diabaikan, maka sangat gampang terjerumus dalam pemahaman Khawarij, yaitu mudah mengkafirkan orang lain.

Kaidah ini juga tidak bisa diberlakukan secara mutlak. Dalam arti lain ketika ada orang yang tidak mengkafirkan orang yang melakukan kekufuran (seperti pelaku syirik, orang yang mengingkari kewajiban shalat atau perbuatan-perbuatan kufur lainnya), tidak langsung serta merta divonis kafir. Karena bisa jadi dia tidak mengkafirkan mereka karena belum terpenuhinya syarat atau ada penghalang-penghalang lainnya, seperti pelaku kekufuran tersebut jahil atau belum mengerti hakikat perbuatan yang dia lakukan. Sehingga sangat keliru jika melihat orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku kesyirikan secara ta’yin (person) langsung dianggap kafir.

Contoh praktisnya adalah hukum meninggalkan shalat. Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menghukumi orang yang meninggalkan shalat karena malas, apakah dia kafir atau tidak?

Jumhur ulama Hanafiah, Malikiah, dan Syafi’ah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena enggan atau malas. Sementara menurut Imam Ahmad hukumnya kafir. Maka barangsiapa yang menjadikan kaidah ini “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir” dalam seluruh bentuk kekufuran, sementara di sisi lain dia condong dengan Madzhab Imam Ahmad, maka tentu akan menimbulkan konsekuensi untuk mengkafirkan mazhab jumhur fuqaha yang lain, karena mereka tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat disebabkan malas.

Kemudian efek lebih lanjut adalah, jika dia berpendapat bahwa jumhur ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah telah kafir (disebabkan tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas), maka konsekuensinya adalah dia akan menerapkan kaidah tersebut kepada orang yang tidak mengkafirkan para jumhur ulama tersebut. Artinya, mereka juga akan mengkafirkan orang yang tidak mau mengkafirkan jumhur ulama tersebut. Nah, betul jika pada akhirnya ada yang menyimpulkan bahwa efek dari hal itu, mereka dapat mengkafirkan seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali.

background_footer - Copy (11) - Copy

Tentunya pemahaman seperti ini sangat keliru dan terlalu ghuluw (ekstrem) dalam menerapkan konsep takfir. Padahal sikap ghuluw sendiri sangat dilarang oleh agama dalam segala hal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mewanti-wanti umatnya agar menghindari diri dari sikap ghuluw. Beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian semua sikap ghuluw, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian celaka lantaran ghuluw dalam urusan dien (agama).” (HR. Ahmad)

Para ulama telah sepakat bahwa ‘illah (sebab) dikafirkannya seseorang dalam kaidah tersebut adalah karena pengingkarannya kepada dalil yang menjalaskan kekafiran seseorang. Jadi pada dasarnya, kaidah ini diberlakukan hanya kepada orang yang tidak mau mengkafirkan mereka yang telah ditetapkan oleh nash—baik Al-Qur’an maupun hadits—sebagai kafir. Misalnya seseorang yang telah disebutkan Allah tentang kekafirannya secara ta’yin (person) dalam Al-Qur’an, seperti Fir’aun, Hamman, Qarun dan Abu Lahab. Ataupun kelompok yang disebutkan Allah tentang kekafirannya, semisal kafirnya Yahudi dan Nasrani, atau selain itu. Secara  global, Allah juga menyebutkan bahwa hakim yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka dia kafir.

Nah, Ketika seseorang menolak untuk mengkafirkan mereka yang disebutkan kafir oleh nash yang qath’i tersebut, maka dia adalah kafir karena menolak atau tidak meyakini hujjah syar’iyah (dalil syar’i) yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits. Perlu ditekankan juga bahwa syarat hujjah (khabar) yang digunakan dalam menvonis kafir seseorang haruslah khabar yang shahih dan disepakati oleh para ulama.

Qadhi Iyadh, salah seorang ulama tabi’in menyebutkan tentang orang yang memberi udzur kepada sebagian orang Nasrani, beliau berkata, “Semua yang berkata demikian adalah kafir karena para ulama telah bersepakat tentang kafirnya orang yang tidak mengkafirkan Nasrani dan Yahudi atau bahkan tawaqquf dan ragu atas kekafiran mereka.” (Qadhi ‘Iyadh, Asyifa’ Bita’rif Huquqi Al-Mustofa, hal. 846)

Dalam Syarh Matan Al-Iqna’, Imam Al-Bahuti menjelaskan tentang sebab dikafirkannya seseorang menurut kaidah tersebut. Beliau mengatakan, “Orang yang tidak mengkafirkan mereka yang menganut agama selain Islam seperti Nasrani dan Yahudi atau dia ragu atas kekufuran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir disebabkan mendustai firman Allah, ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.’”(Lihat: Kasyfu Al-Qana ‘An Matan Al-Iqna’, 6/171)

Para ulama menggunakan kaidah ini sebagai bentuk ketegasan mereka terhadap perbuatan kufur. Dengan adanya kaidah tersebut, kaum muslimin diharapkan bisa terhindar dari perbuatan kufur dan segala macam fitnah yang bisa menyesatkan mereka. Syaikh Al-Maqdisi berkata, “Setelah saya mengkaji dan meneliti perkataan ulama tentang kaidah ini, maka jelaslah bahwa mereka menggunakan kaidah ini sebagai tindakan tegas untuk melawan segala bentuk kekufuran yang merajalela tersebar pada zaman mereka. Kaidah ini dimunculkan untuk mewanti-wanti kaum muslimin dari fitnah tersebut dan agar mereka menghindari diri dari kekufuran berserta pelakunya.” (Lihat: Abu ‘Ashim Muhammad Al-Maqdisi: Risalah Atsalatsiniyah, hal. 231)

background_footer - Copy (12) - Copy - Copy

Jadi menurut Al-Maqdisi, makna kaidah ini yang benar adalah, “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, di mana kekafiran mereka telah dijelaskan secara qath’i dalam ayat Al-Qur’an dan hadits, dan syarat ketentuannya telah terpenuhi serta seluruh penghalang takfir pada diri pelaku tersebut hilang, kemudian seseorang tidak mengkafirkan orang yang disebutkan dalam nash tersebut, maka menurut ijmak ulama dia kafir karena mendustakan nash qath’i. (lihat: Abu ‘Ashim Muhammad Al-Maqdisi: Risalah Atsalatsiniyah, hal. 232)

Penerapan Kaedah “Man lam yukaffir al-kafir fahuwa kafir” Berdasarkan Rincian

Supaya lebih mudah dalam memahami kaidah tersebut, perlu adanya klarifikasi tentang jenis orang kafir itu sendiri. Sebab dengan seperti itu, akan lebih mudah memetakan siapa yang layak masuk dalam kaidah ini dan siapa yang tidak. Berikut ini pembagian orang kafir beserta penjelasan dan penerapan kaidah tersebut.

1. Kafir Asli

Maksud kafir asli adalah seperti Yahudi, Nasrani, Majusi dan sebagainya. Dalam hal ini barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka atau ragu akan kekafiran mereka atau menganggap pemahaman mereka itu benar, maka ia telah kafir berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama’). Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh banyak ulama. Kekafiran tersebut dikarenakan ia menolak nash-nash yang menerangkan bathilnya aqidah selain Islam dan kafir nya dien selain Islam.

2. Kafir karena Murtad (Keluar dari Islam)

Dalam hal ini orang murtad sendiri dibagi menjadi dua kategori :
Pertama, Siapa saja yang menyatakan secara terang-terangan bahwa dia telah berganti agama dari Islam kepada agama selainnya seperti Yahudi, Nasrani atau Atheis, maka hukum orang ini seperti hukum kafir asli. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Barangsiapa yang mengingkari tentang kekafiran orang Yahudi dan Nasrani di mana mereka tidak beriman kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendustainya, maka dia telah berdusta kepada Allah. Hukum mendustai Allah adalah kafir, dan barangsiapa yang ragu dengan kekafiran mereka maka dia juga kafir. (Ibnu al-Utsaimin, Fatawa Wa Ahkamuhu Al-Dakhilin Fi Al-Islam, hal. 42)

Kedua, Siapa saja yang melakukan tindakan yang termasuk pembatal keislaman, akan tetapi ia menyangka bahwa perbuatan itu bukanlah pembatal keislaman dan ia masih merasa sebagai seorang muslim. Maka dalam hal ini terbagi dalam dua kategori:

a. Barangsiapa yang melakukan perbuatan pembatal keislaman yang sharih (jelas dan nyata) seperti menghujat dan menghina Allah ta’ala, maka orang ini telah kafir menurut ijmak, dan barangsiapa yang tawaqquf atas kekafirannya, maka ia termasuk salah satu dari dua kelompok berikut:

Barangsiapa yang mengakui dan meyakini bahwa menghujat Allah adalah kekafiran dan perbuatan itu menjatuhkan pelakunya pada kekafiran, tetapi dia bertawaqquf dari menvonis kafir secara mu’ayyan (individu atau person) disebabkan ketidaktahuan atau karena syubhat (keraguan) yang dia lihat, maka orang yang bertawaqquf ini telah melakukan kesalahan dan ucapannya tergolong bathil. Akan tetapi, ia tidak dikafirkan karena ia tidak menolak khabar tersebut (bahwa menghujat dan menghina Allah adalah kekufuran) atau mendustakannya, bahkan dia meyakini dan menerima khabar (hadits dan ayat Al-Qur’an) dan ijmak bahwa menghina Allah adalah kekufuran.
Barangsiapa yang pada dasarnya memang mengingkari dan menolak bahwa menghina Allah hukumnya kafir, maka ia telah kafir setelah adanya penjelasan (hujjah-hujjah syar’iyyah). Orang tersebut dikafirkan karena ia menolak khabar dan ijmak. Hal ini sebagaimana orang yang mengaku muslim tetapi menyembah kuburan dan  menolak untuk menyatakan bahwa perbuatan itu adalah kekufuran, maka orang ini telah kafir dikarenakan ia menolak nash-nash dan ijmak. Sedangkan orang yang mengakui bahwa perbuatan tersebut termasuk kekufuran,  tetapi ia tawaqquf dari mengkafirkan pelakunya secara mu’ayyan karena ia melihat masih adanya syubhat, maka orang ini tidak boleh dikafirkan.

background_footer - Copy (12) - Copy

b. Barangsiapa yang melakukan pembatal keislaman yang masih diperselisihkan hukumnya, seperti meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur syar’i umpamanya. Maka penetapan kekafirannya adalah masalah khilafiyyah (masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama). Orang yang berbeda pendapat dalam hal ini tidak boleh dikafirkan, tidak boleh juga disebut ahli bid’ah atau orang fasik walaupun dalam hal ini ia telah melakukan kesalahan.

Demikianlah penjelasan dan penerapan kaidah man lam yukaffir al-kafir fahuwa kafir. Kesimpulannya adalah kaidah ini bisa diterapkan ketika orang kafir yang dimaksud sudah jelas kekafirannya berdasarkan nash syar’i yang qath’i, bukan sesuatu yang masih mukhtalaf atau  masih diperselisihkan. Selain itu, ketika kaidah ini diterapkan dalam hal takfir ta’yin (mengkafirkan person), maka dia harus melalui proses syar’i yaitu memahami kondisi atau keadaan obyek yang ingin dihukumi (melihat syarat dan penghalang-pengahalang takfir),  melakukan kajian tahqiqul manath (mengaitkan seluruh kondisi obyek dengan dasar teori hukum syar’i) dan bentuk kekufuran yang dilakukannya adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama.

Semoga dengan memahami dan memperhatikan rambu-rambu yang ada dalam kaidah tersebut, kita akan semakin bisa mendudukkan sesuatu dengan ilmu dan tidak mudah terjerumus dalam sikap ghuluw dalam memahami konsep takfir. Wallahu a’lam bishawab

Penulis: Fahrudin
Referensi:
Ibnu Hajar Al-Haitsami, Al’ilam Biqawati’il islam
Muhammad bin Abdul Wahab, Majmu’ah Rasaa’il Fii At Tauiid Wa Al Iman
Abdullah Bin Ahmad, As-sunnah
An-Nawawi, Raudhatu Thalibin
Qodhi ‘iyadh, Asyifa’ Bita’rif Huquqi Al-Mustofa
Manshur bin yunus Al-Bahuti, Kasyfu Al-Qona ‘An Matan Al-Iqna’
Abu ‘Ashim Muhammad Al-Maqdisi: Risalah Atsalatsiniyah
Ibnu al-Utsaimin, Fatawa Wa Ahkamuhu Al-Dakhilin Fi Al-Islam
Maktabah syamilah, versi maktab da’wah ar-raudhoh

Tidak Mengkafirkan Orang Kafir Adalah Kekufuran

Mohon dimaklumi sebelumnya, mungkin ada pembaca yang “merasa tidak nyaman” dengan pembahasan “kafir” dan “mengkafirkan”, akan tetapi ternyata pembahasan ini dibahas lengkap dan detail oleh ulama kita dalam pembahasan aqidah tauhid, di mana seorang muslim wajib mengetahuinya karena merupakan aqidah dasar kita.
Bisa jadi merasa tidak nyaman atau bahkan ada yang “alergi” dengan pembahasan ini, karena selama ini pembahasn “kafir” dan “mengkafirkan” adalah adalah pembahasan yang seolah-olah seram, menakutkan serta merusak persaudaraan dan toleransi. Anggapan ini TIDAK BENAR, pembahasan mengenai hal ini apabila dipelajari secara benar dan berdasarkan dalil (bukan berdasarkan perasaan dan sangkaan semata), maka dalam pembahasan ini didapatkan:

1. Ketegasan dalam agama Islam, tidak ada yang “abu-abu”, apabila ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka disebut kafir sesuai nash dan dalil

2. Indah dan lembutnya ajaran Islam, pembahasan “mengkafirkan” tidak diterapkan serampangan dan langsung memvonis saja, tetapi ada prosesnya dan rinciannya. Tidak dibenarkan seseorang langsung memvonis saudara se-Islam dengan “kafir” tanpa kaidah yang benar, terlebih lagi ada pembahasan “takfir mutlak” dan “takfir mu’ayyan”.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah, belakangan ini ada wacana yang dihembuskan cukup masif bahwa:

“Non-muslim tidak boleh dipanggil kafir”

Mereka beralasan bawa kata-kata “kafir” adalah kata-kata yang kasar dan menunjukkan intoleransi. Tentu pendapat ini TIDAK BENAR dan PERLU DILURUSKAN.

Sebagai orang indonesia kita perlu kembali pada pengertian “kafir” pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia):

“Kafir: Orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”

Jadi, sangat tepat apabila kita katakan dan kita sebut non-muslim dengan sebutan “kafir”

Sebuah ungkapan yang bijak:
.
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَال

“Setiap tempat ada ucapan yang layak”

Tentu kita TIDAK memanggil orang yang tidak beriman atau non-muslim dengan panggilan seperti ini:

“Hai kafir, mau ke mana?”
“Perkenalkan ini tetanggaku yg kafir”

Tentu kata-kata “kafir” kita posisikan sesuai dengan tempatnya, BUKAN DIHAPUS ATAU TIDAK DIGUNAKAN SAMA SEKALI dengan alasan perasaan semata atau alasan yang dibuat-buat.

Menghapus atau tidak menggunakan kata-kata kafir bertentangan dengan aqidah dasar Islam. Agama Islam adalah agama yang tegas dan tidak abu-abu. Salah satu aqidah Islam adalah mengkafirkan orang kafir dan menyebut mereka dengan “kafir”, sebagaimana Allah Ta’ala menyebut mereka langsung dalam Al-Quran,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya TELAH KAFIRLAH orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Rabbku dan juga Rabbmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS. Al-Maaidah: 72)

Al-Qadhi ‘Iyadh menjelaskan,

ولهذا نكفِّر كل من دان بغير ملة المسلمين من الملل ، أو وقف فيهم، أو شك ، أو صحَّح مذهبهم

“Oleh karena itu, kita mengkafirkan semua orang yang beragama selain agama kaum muslimin atau orang yang sejalan dengan mereka atau ragu-ragu (dengan agama) atau membenarkan agama mereka.” [Asy-Syifa Bita’rif huquqil Musthafa 2/1071]

Salah satu aqidah kita adalah apabila tidak mengkafirkan orang kafir, maka ini adalah bentuk kekufuran. Sebagaimana salah satu pembatal keIslaman, yaitu

الثالث : من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم : كفَرَ إجْماعاً

“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu-ragu bahwa mereka kafir atau membenarkan mazhab (ajaran) mereka maka ini adalah kekufuran secara ijma’.” [Nawaqidul Islam poin ke-3]

Sangat banyak dalil dan nash yang menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah orang yang disebut dengan sebutan “kafir”

Salah satu dalil yang paling nyata dan hampir mayoritas muslim tahu adalah surat Al-Kafirun, sangat jelas mereka yanh tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dipanggil dengan sebutan “kafir”

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا  عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6

Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” [QS. Al-Kafirun: 1-6]

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang KAFIR yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6)

Dalil-dalil di atas sudah sangat jelas dan sangat nyata bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pantas disebut “kafir”, hanya saja penyebutan ini tentu sesuai keadaannya yang layak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Adapun beralasan dengan “intoleransi”, maka ini alasan yang dibuat-buat saja. Agama Islam adalah agama yang indah, toleransi dan memerintahkan berlaku adil kepada orang kafir sekalipun.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tiada melarang kamu untuk BERBUAT BAIK dan berlaku ADIL terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan,

لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأة بالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة

“Allah tidak melarang kalian untuk BERBUAT BAIK, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan ,berbuat ADIL kepada orang-orang MUSYRIK baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [Taisir Karimir Rahmah hal. 819, Dar Ibnu Hazm]
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Raehanul Bahraen

Penghapusan Kata Kafir dan Potensi Kaburnya Wala’ dan Bara’

Sabtu, 2 Maret 2019
Munas NU yang merekomendasikan kata kafir diubah menjadi non muslim, memantik respon berbagai pihak. Mulai dari komentar tokoh, ulama, ustadz hingga meme menghiasi ketidaksetujuan terhadap rekomendasi tersebut.
Alternatif yang diberikan pun tak luput menuai kontroversi. Kata muwatin (Rakyat sebuah negara) dianggap bukanlah padanan yang pas untuk menggantikan kata kafir, karena ini berpeluang mengaburkan batasan-batasan dalam Islam yang dibangun atas dasar keimanan.
Kafir adalah Istilah Syar’i
Kata kafir adalah istilah syar’i untuk menyebut orang-orang yang yang tidak beriman. Dalam kata kafir, tidak ada maksud diskriminatif terhadap non muslim. Karena kafir itu hanya sifat bagi siapa saja yang belum mengakui prinsip-prinsip keimanan. Setelah ia mengakui prinsip-prinsip keimanan dan bersyahadat, maka ia tidak lagi disebut kafir.
Hal ini bisa ditinjau dari makna kafir itu sendiri, baik secara etimologis maupun terminologis. Secara etimologis, kata kafir berasal dari kata al-satru (الستر) dan at-taghtiyah (التغطية) yaitu menutupi. (Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, al-Madkhal li Dirasat al-Aqidah, hlm. 181).
Secara terminologis, kata kafir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah :
 الكفر عدم الايمان بالله ورسله سواء كان معه تكذيب أو لم يكن معه تكذيب بل شك وريب أو إعراض عن هذا كله حسدا أو كبرا أو اتباعا لبعض الأهواء الصارفة عن اتباع الرسالة
“Kekufuran artinya tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik karena mendustakannya atau tidak. Termasuk ragu atau berpaling darinya, baik karena iri, sombong, mengikuti nafsu yang mengajak untuk menyimpang dari risalah Islam.” (Majmu’ Fatawa, 12/335)
Penggunaan kata kafir tidak muncul setelah Islam berkuasa, namun sejak awal turunnya wahyu. Dalam Al-Qur’an, Allah telah mengkafirkan semua orang di luar Islam, termasuk ahli kitab dan orang-orang musyrik. Allah berfirman :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”.” (QS. Al Maidah: 72)
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu salah satu dari yang tiga”.” (QS. Al Maidah: 72)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah telah mengkafirkan orang-orang ahli kitab yang menuhankan Isa ‘Alaihissalam putra Maryam dan memiliki tiga tuhan. Pengkafiran dalam ayat tersebut tidak didasarkan karena kebaikan mereka atau status kewarganegaraan mereka, akan tetapi karena keyakinan mereka yang menyimpang. Ath-Thabari mengatakan :
وإن لم ينته هؤلاء الإسرائيليون عما يقولون في الله من عظيم القول، ليمسنَّ الذين يقولون منهم:”إن المسيح هو الله”، والذين يقولون:”إن الله ثالث ثلاثة”، وكل كافر سلك سبيلهم= عذابٌ أليم، بكفرهم بالله
“Jika orang-orang Israil tidak meninggalkan apa yang mereka yakini tentang Allah, yaitu keyakinan inti mereka, yang berkeyakinan bahwa “sesungguhnya Isa al-Masih adalah Allah”, dan yang berkeyakinan “sesungguhnya Allah adalah satu dari yang tiga”, semua kafir yang mengikuti ajaran mereka = mendapat adzab yang pedih karena kekafiran mereka kepada Allah.” (Tafsir ath-Thabari, 10/483)
Ayat lain dengan redaksi yang lebih lengkap, Allah mengkafirkan siapa saja di luar Islam, baik dari golongan ahli kitab maupun orang-orang musyrik. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah : 6)
Sebab mereka masuk neraka dan di dunia menjadi seburuk-buruk makhluk adalah kekafiran mereka. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam tafsir :
إن الذين كفروا -من اليهود والنصارى ومن المشركين- يدخلون يوم القيامة في جهنم ماكثين فيها أبدًا، أولئك هم شرّ الخليقة؛ لكفرهم بالله، وتكذيبهم رسوله
“Sesungguhnya orang-orang kafir -dari Yahudi, Nashara dan musyrik- pada hari kiamat akan masuk neraka Jahannam kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk karena kekafiran mereka kepada Allah dan pengingkaran mereka terhadap Rasul-Nya.” (Al-Mukhtashar fi Tarsir, hlm.559)
Maka jelaslah bahwa kafir adalah istilah syar’i dalam Islam untuk menyebut orang-orang di luar Islam, baik dari ahli kitab maupun orang-orang musyrik. Allah telah mengkafirkan mereka, begitu juga Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajib bagi umat Islam untuk mengkafirkan orang-orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wajib Bara’ kepada Orang Kafir
Selain wajib mengkafirkan orang-orang di luar Islam, kita juga diwajibkan untuk bara’ (berlepas diri) dari orang-orang kafir. Karena al-wala’ wal bara’ juga merupakan bagian prinsip dalam Islam. Seorang muslim dilarang untuk mengangkat orang kafir menjadi pemimpin, dilarang pula menjadikan mereka sebagai teman dekat atau mencintai mereka. Sedangkan mengganti kata kafir berpotensi mengaburkan prinsip wala’ dan bara’. Padahal Islam dibangun di atas prinsip wala’ dan baro yang ini tergambar dalam kalimat tauhid. La Ilaha, yang bermakna berlepas diri dari kekufuran dan Illallah yang artinya hanya loyal kepada Allah dan orang-orang yang diizinkan-Nya.
Allah berfirman :
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (Qs. Ali Imran : 28)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. al-Maidah: 51)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan :
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى الذين هم أعداء الإسلام وأهله ، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال  ومن يتولهم منكم فإنه منهم إن الله لا يهدي القوم الظالمين
“Allah ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman untuk setia kepada Yahudi dan Nashrani yang mereka adalah musuh-musuh agama Islam dan kaum muslimin. Allah memerangi mereka, kemudian mengabarkan bahwa sebagian mereka menolong sebagian yang lain. Kemudian mengancam mereka yang melanggar ; (siapa yang setia kepada mereka (kafir) maka sesungguhnya ia termasuk bagian dari mereka, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/132)
Dari prinsip al-wala’ wal bara’ ini, muncul hukum-hukum yang berkaitan tentang hubungan antara muslim dan kafir. Seperti larangan menikahi mereka, putusnya hak warisan, larangan mendoakannya, larangan mengucapkan salam, larangan menyerupai mereka, berjihad memerangi mereka dan sebagainya. Karena dasar hubungan antara muslim dan kafir adalah permusuhan, sebagaimana Allah berfirman :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Anfal : 39)
Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk terus memerangi mereka, karena tabi’at mereka tidak akan pernah senang kepada orang-orang Islam. Sehingga mengkafirkan orang kafir adalah unsur yang wajib diyakini orang Islam tanpa ragu. Bukan maksud untuk mendiskriminasi mereka, namun ini adalah istilah syar’i yang memiliki konsekuensi dalam keyakinan dan hukum. Wallahu ‘alam bish showab.
Penulis: Zamroni; Editor: Arju
Bolehkah Kita Mencintai 
Orang Kafir ?
Diposting oleh Abu Al-Jauzaa
Tanya : Apakah ayat  ”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu” [QS. Al-Mumtahanah : 8]; bisa dijadikan alasan atau dalil bahwa kita diperbolehkan mencintai orang kafir ?
Jawab : Allah ta’ala berfirman :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Ayat di atas tidak mengandung pengertian kecintaan sama sekali kepada salah seorang kafir sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ayat tersebut hanyalah merupakan rukhshash (keringanan) dari Allah dalam hal hubungan dan muamalah dengan orang-orang kafir secara baik dan penuh kebajikan, sebagai balasan atas kebaikan yang telah mereka lakukan kepada kita.
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
هذه الآية رخصة من الله تعالى في صلة الذين لم يعادوا المؤمنين ولم يقاتلوهم. قال ابن زيد: كان هذا في أول الإسلام عند الموادعة وترك الأمر بالقتال ثم نسخ. قال قتادة: نسختها {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} وقيل: كان هذا الحكم لعلة وهو الصلح، فلما زال الصلح بفتح مكة نسخ الحكم وبقي الرسم يتلى
”Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah ta’ala dalam hal menjalin hubungan dengan orang-orang (kafir) yang tidak memusuhi dan memerangi orang-orang mukmin. Ibnu Zaid berkata : ’Sikap semacam ini terjadi di permulaan Islam saat perdamaian dan gencatan senjata, lalu dihapus’. Qatadah berkata : ’Ayat tersebut dihapus (mansukh) oleh ayat : ’Maka bunuhlah orang musyrik itu dimana saja kamu menjumpainya’ (QS. At-Taubah : 5)’. Dan dikatakan : ’Hukum (dalam ayat) ini berlaku karena ada sebab, yaitu perdamaian. Ketika hilang hukum perdamaian dengan adanya Fathu Makkah, maka terhapuslah hukumnya, dan tersisa bacaannya” [Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 18/59].
Dan yang benar bahwa hukum yang terkandung dalam ayat ini tetap berlaku (tidak terhapus secara mutlak)[1].
Berbuat baik kepada orang kafir dalam hal muamalah keduniaan tidaklah mengharuskan untuk menanamkan kecintaan kepada mereka dalam hati. Hal itu dikarenakan kecintaan mempunyai konsekuensi pembolehan untuk menjadikan mereka teman dekat, pemimpin, penolong, mempercayakan amanah kepada mereka, dan yang lainnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Perbuatan tersebut terlarang secara asal dalam Islam, berdasarkan firman Allah ta’ala :
لاّ يَتّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاّ أَن تَتّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. [QS. Aali ’Imraan : 28]
الّذِينَ يَتّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزّةَ فَإِنّ العِزّةَ للّهِ جَمِيعاً
”(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. [QS. An-Nisaa’ : 139]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ثُمَّ اَلْبِرُّ وَالصِّلَة وَالْإِحْسَان لَا يَسْتَلْزِمُ التَّحَابُبَ وَالتَّوَادُدَ اَلْمَنْهِيَّ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى : (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْم اَلْآخِر يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اَللَّه وَرَسُولَهُ) . اَلْآيَة فَإِنَّهَا عَامَّةٌ فِي حَقِّ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاَللَّه أَعْلَمُ.
”Kemudian, kebajikan, hubungan, dan kebaikan (yang kita lakukan kepada orang kafir) tidaklah mengharuskan adanya kecintaan dan kasih sayang yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala : ‘Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Mujaadilah : 22).  Ayat ini bersifat umum, berlaku bagi setiap orang kafir yang memerangi maupun tidak memerangi. Wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 5/233].
Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
معنى الآية المذكورة عند أهل العلم: الرخصة في الإحسان إلى الكفار , والصدقة عليهم إذا كانوا مسالمين لنا, بموجب عهد أو أمان أو ذمة, وقد صح في السنة ما يدل على ذلك, كما ثبت في الصحيح أن أم أسماء بنت أبي بكر قدمت عليها في المدينة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وهي مشركة تريد الدنيا, فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أسماء أن تصل أمها, وذلك في مدة الهدنة التي وقعت بين النبي صلى الله عليه وسلم وبين أهل مكة , وصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أعطى عمر جبة من حرير, فأهداها إلى أخ له بمكة مشرك, فهذا وأشباهه من الإحسان الذي قد يكون سببا في الدخول في الإسلام, والرغبة فيه, وإيثاره على ما سواه, وفي ذلك صلة للرحم, وجود على المحتاجين, وذلك ينفع المسلمين ولا يضرهم, وليس من موالاة الكفار في شيء كما لا يخفى على ذوي الألباب والأبصار.
”Makna ayat tersebut[2] menurut para ulama adalah : keringanan dalam hal berbuat baik kepada orang-orang kafir dan memberi sedekah kepada mereka jika mereka menyerah kepada kita dengan menggunakan perjanjian atau jaminan atau dzimmah (suaka politik), dan ada shahih dalam sunnah yang menunjukkan hal tersebut. Sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab Ash-Shahiih bahwa ibu Asmaa’ bintu Abi Bakr pernah mendatangi Asmaa’ di Madinah pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, padahal ibunya itu seorang musyrik yang menginginkan dunia. Maka Nabi memerintahkan Asmaa’ untuk menjalin hubungan dengannya[3], dan itu berlangsung selama masa perdamaian yang terjadi antara Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dengan penduduk Makkah. Dan telah shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau pernah memberi jubah sutera kepada ’Umar, lalu ’Umar menghadiahkannya kepada saudaranya di Makkah yang masih musyrik.[4] Hal itu dan juga contoh-contoh kebaikan lain yang serupa merupakan salah satu bentuk yang tidak jarang menjadi sebab masuknya orang ke dalam agama Islam atau mencitrakan baik pada Islam serta pengutamaan Islam atas yang lainnya. Dan hubungan seperti itu hanya sekedar hubungan nasab yang memberikan manfaat kepada kaum muslimin dan tidak memberikan mudlarat kepada mereka. Dan bukan pula termasuk sama sekali dalam pengertian wala’ (loyalitas) terhadap orang-orang kafir, sebagaimana hal itu sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang berakal” [Majmuu Fataawaa wa Maqaalaat Ibni Baaz, 1/302-303].
Itulah keluasan dan keadilan Islam. Keluasan dalam arti bahwa Islam tidak melarang kaum muslimin untuk bermuamalah dengan kaum kuffar yang tidak memerangi kaum muslimin; baik dalam hubungan silaturahim dengan anggota keluarga, jual-beli, dan yang lainnya. Keadilan dalam arti bahwa Islam melarang kaum muslimin untuk berbuat segala macam kedhaliman kepada mereka yang tidak berbuat dhalim kepada kita, dan membalas segala kebaikan yang telah mereka lakukan pada kita (dalam batas-batas syari’at). Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda :
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
”Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua tangan Allah adalah kanan. Yaitu, orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1827].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 16071434/26052013 – 01:39].
[1]      Yaitu bolehnya bermuamalah dan berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum muslimin atau terikat perjanjian dengan kaum muslimin.
[2]      Yaitu firman Allah ta’ala :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
[3]      Hadits yang dimaksud adalah :
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: " قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ "
Dari Asmaa’ bintu Abi Bakr radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Ibuku pernah datang menemuiku yang waktu itu ia masih dalam keadaan musyrik (kafir) di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata : “Ibuku (datang menemuiku) dalam keadaan berharap kebaikanku (kepadanya). Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2620].
[4]      Hadits yang dimaksud adalah :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا حُلَلٌ فَأَعْطَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْهَا حُلَّةً، فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتَنِيهَا وَقَدْ قُلْتَ فِي حُلَّةِ عُطَارِدٍ مَا قُلْتَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا فَكَسَاهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخًا لَهُ بِمَكَّةَ مُشْرِكًا "
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya ‘Umar bin All-Khaththab melihat sebuah pakaian bergaris (yang dijual) di dekat pintu masjid. Ia berkata : “Wahai Rasululah, jika engkau membeli baju ini lalu engkau pakai di hari Jum’at dan untuk menerima utusan jika mereka datang menemuimu”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat”. Kemudian (setelah beberapa saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diberi pakaian yang sama dan memberikannya kepada ‘Umar bin Al-Khaththab. Lalu ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruhku untuk memakainya, padahal engkau telah mengatakan dengan apa yang dulu pernah engkau katakan kepadaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku memberimu bukanlah dengan tujuan agar engkau memakainya”. Maka ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu (menerimanya dan) memberikannya kepada salah seorang saudaranya yang masih musyrik di Mekkah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 886].
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/05/bolehkah-kita-mencintai-orang-kafir.html?m=0 



Diposting oleh Abu Al-Jauzaa'
Apakah ada orang kafir yang baik hati ? Ada, tidak sedikit. Tentu kita tidak lupa tentang Abu Thaalib, paman Nabi . Dirinya telah mengorbankan segala yang ia miliki untuk membela Nabi  dari ancaman orang-orang kafir Quraisy. Akan tetapi di akhir hayatnya ia tetap tidak mau masuk Islam. Lantas bagaimana nasibnya di akhirat ? Bahagia atau celaka ? Jawab : celaka.
عن الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ لِلنَّبِيِّ : مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ، قَالَ: هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
Dari Al-'Abbaas bin 'Abdil-Muthallib radliyallaahu 'anhu, ia berkata kepada Nabi  : “Apakah engkau bisa memberikan sesuatu kepada pamanmu (Abu Thaalib). Sesungguhnya ia dulu telah melindungimu dan marah untuk (membela)-mu”. Beliau bersabda : “Ia berada di pinggir neraka yang dangkal. Seandainya saja bukan karena aku (syafa’atku), niscaya ia berada di dalam kerak neraka paling dalam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3883].

Amal kebaikan orang kafir di dunia tidak akan bermanfaat untuk menyelamatkannya dari siksa neraka. Tokoh wanita kafir peraih Nobel perdamaian, yang suka menolong orang-orang miskin dan lemah, namun memurtadkan banyak orang serta memindahkan satu bentuk kekafiran (penyembah sapi) kepada kekafiran yang lain (penyembah 'Isa'alaihis-salaam dan ibunya[1]); bagaimana nasibnya kelak di akhirat ?. Jawab : neraka. Ini jawaban dalam perspektif ‘aqidah Islam[2].
Banyak contoh lain yang semisal. Diantara yang terdapat dalam riwayat adalah sosok Mulaikah, ibu Salamah bin Yaziid Al-Ju'fiy radliyallaahu 'anhu.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ الْجُعْفِيِّ، قَالَ: انْطَلَقْتُ أَنَا وَأَخِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمَّنَا مُلَيْكَةَ كَانَتْ تَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ، هَلَكَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَهَلْ ذَلِكَ نَافِعُهَا شَيْئًا؟ قَالَ: لَا
Dari Salamah bin Yaziid Al-Ju'fiy, ia berkata : Aku bersama saudaraku pernah pergi menemui Rasulullah . Kami berkata (kepada beliau ) : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu kami, Mulaikah, dulu orang yang gemar menyambung silaturahim, memuliakan tamu, dan berbuat banyak kebaikan. Ia telah meninggal semasa Jahiliyyah. Apakah kebaikannya tersebut bermanfaat baginya?". Beliau  menjawab : "Tidak" [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/478; shahih].
Dalam riwayat lain dari jalan Ibnu Mas'uud :
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: جَاءَ ابْنَا مُلَيْكَةَ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَا: إِنَّ أُمَّنَا كَانَتْ تُكْرِمُ الزَّوْجَ، وَتَعْطِفُ عَلَى الْوَلَدِ، قَالَ: وَذَكَرَ الضَّيْفَ غَيْرَ أَنَّهَا كَانَتْ وَأَدَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، قَالَ: " أُمُّكُمَا فِي النَّارِ "، فَأَدْبَرَا، وَالشَّرُّ يُرَى فِي وُجُوهِهِمَا، فَأَمَرَ بِهِمَا، فَرُدَّا، فَرَجَعَا وَالسُّرُورُ يُرَى فِي وُجُوهِهِمَا، رَجِيَا أَنْ يَكُونَ قَدْ حَدَثَ شَيْءٌ، فَقَالَ: أُمِّي مَعَ أُمِّكُمَا
Dari Ibnu Mas'uud, ia berkata : Dua orang anak Mulaikah mendatangi Nabi . Mereka berkata : “Sesungguhnya ibu kami semasa hidupnya dulu memuliakan suami dan berlemah-lembut kepada anak". Kemudian mereka menyebutkan siakp ibunya terhadap tamu. Namun ibunya tersebut melakukannya pada masa Jahiliyyah (dan kini telah meninggal). Nabi  bersabda : "Ibu kalian di neraka". Maka mereka pergi dan kekecewaan terlihat di wajah keduanya. Keduanya lalu diperintahkan untuk kembali dan nampak kegembiran di wajah keduanya. Mereka berharap telah terjadi sesuatu. Namun Nabi  bersabda : “Ibuku[3] bersama ibu kalian berdua (di neraka)" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/398, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 1534, dan yang lainnya].
Begitu pula dengan kisah Ibnu Jud'aan yang meninggal dalam keadaan kafir semasa Jahiliyyah.
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنُ جُدْعَانَ، كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟ قَالَ: لَا يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
Dari 'Aaisyah, ia berkata : "Wahai Rasulullah, Ibnu Jud'aan dulu di masa Jahiliyyah selalu menyambung silaturahim dan memberi makan orang-orang miskin. Apakah itu berguna baginya di akhirat?". Beliau  menjawab : "Tidak akan berguna baginya, karena ia tidak pernah mengucapkan : 'Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 214].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
مَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : أَنَّ مَا كَانَ يَفْعَلهُ مِنْ الصِّلَة وَالْإِطْعَام وَوُجُوه الْمَكَارِم لَا يَنْفَعهُ فِي الْآخِرَة ؛ لِكَوْنِهِ كَافِرًا ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْله : ( لَمْ يَقُلْ رَبّ اِغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْم الدِّين ) أَيْ لَمْ يَكُنْ مُصَدِّقًا بِالْبَعْثِ ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّق بِهِ كَافِر وَلَا يَنْفَعهُ عَمَل
“Makna hadits ini : apa saja yang ia perbuat dahulu berupa menyambung silaturahim, memberi makan (orang-orang miskin), dan perbuatan mulia tidak bermanfaat baginya di akhirat dikarenakan dirinya berstatus kafir. Itulah makna sabda beliau  : ‘Ia tidak pernah mengucapkan : Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti’; yaitu ia tidak membenarkan hari kebangkitan. Dan barangsiapa yang tidak membenarkan hari kebangkitan, maka ia kafir dan tidak bermanfaat baginya amal kebaikan (kelak di akhirat)” [Syarh Shahiih Muslim, 3/87].
Allah  telah berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun" [QS. Al-Maaidah : 72].
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" [QS. Aali 'Imraan : 85].
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan" [QS. Al-Furqaan : 23].
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَلِقَاءِ الآخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan" [QS. Al-A'raf : 147].
Al-Qaadliy 'Iyaadl rahimahulah berkata:
وَقَدْ اِنْعَقَدَ الْإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْكُفَّار لَا تَنْفَعهُمْ أَعْمَالهمْ ، وَلَا يُثَابُونَ عَلَيْهَا بِنَعِيمٍ وَلَا تَخْفِيف عَذَاب ، لَكِنَّ بَعْضهمْ أَشَدّ عَذَابًا مِنْ بَعْض بِحَسَبِ جَرَائِمهمْ
"Dan telah terjadi ijmaa' bahwasannya amal kebaikan orang-orang kafir tidak akan memberikan manfaat bagi mereka, tidak akan diberikan pahala atasnya berupa kenikmatan dan keringanan adzab. Akan tetapi sebagian mereka diberikan adzab yang lebih keras dibandingkan yang lain sesuai dengan kadar kejahatan/dosa mereka" [Syarh Shahiih Muslim, 3/87].
Allah  tidak akan pernah berbuat dhalim terhadap hamba-Nya. Amal kebaikan mereka (orang-orang kafir) akan Allah  balas di dunia dengan lunas, sedangkan di akhirat mereka tak lagi mempunyai kebaikan untuk dibalas sehingga neraka adalah tempat kembalinya.
Allah  berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?" [QS. Huud : 15-16].
Nabi  bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا، وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا
"Sesungguhnya Allah  tidak mendhalimi satu kebaikan pun dari seorang mukmin, diberi dengannya di dunia dan dibalas dengannya di akhirat. Adapun orang kafir, ia diberi makan dengan kebaikan yang dilakukannya karena Allah di dunia; hingga apabila tiba di akhirat, dirinya tidak memiliki kebaikan untuk dibalas" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2808].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 09032019]
NB : Di bawah adalah cuplikan pemahaman agama Islam Nusantara yang baru direkayasa seseorang untuk mengakomodasi penganut agama lain dalam ‘aqidah Islam.
[1]    Nasrani sering mengatakan mereka tidak Maryam (Maria) dan/atau patungnya, akan tetapi hanya sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah  dengan sedekat-dekatnya saja. Maryam/Maria dikultuskan kaum Nasrani (Katolik) dalam peribadahan mereka. Dalam ‘aqidah Islam, ini adalah kesyirikan sebagaimana kesyirikan orang-orang musyrik Arab yang difirmankan Allah :
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” [QS. Az-Zumar : 3].
[2]    Allah  berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya telah KAFIRLAH orang-orang yang berkata : 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya KAFIRLAH orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga[2]", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih" [QS. Al-Maaidah : 73].
[3]    Disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: " اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “(pada suatu waktu) Nabi  berziarah ke kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang di sekitar beliau pun ikut menangis. Beliau bersabda : “Sesungguhnya aku telah memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun untuknya, namun Ia tidak mengizinkanku. Dan aku meminta izin-Nya untuk menziarahi kuburnya, dan Ia mengizinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [No. 976].
An-Nawawiy rahimahullah berkata tentang hadits di atas:
فِيهِ جَوَاز زِيَارَة الْمُشْرِكِينَ فِي الْحَيَاة ، وَقُبُورهمْ بَعْد الْوَفَاة ؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَازَتْ زِيَارَتهمْ بَعْد الْوَفَاة فَفِي الْحَيَاة أَوْلَى ، وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا } وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الِاسْتِغْفَار لِلْكُفَّارِ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : سَبَب زِيَارَته صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرهَا أَنَّهُ قَصَدَ قُوَّة الْمَوْعِظَة وَالذِّكْرَى بِمُشَاهَدَةِ قَبْرهَا ، وَيُؤَيِّدهُ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِر الْحَدِيث : ( فَزُورُوا الْقُبُور فَإِنَّهَا تُذَكِّركُمْ الْمَوْت ) .
“Dalam hadits tersebut terdapat penjelasan tentang kebolehan untuk menziarahi orang-orang musyrik saat masih hidup, dan menziarahi kubur mereka setelah meninggal. Hal itu dikarenakan apabila diperbolehkan untuk menziarahi mereka setelah meninggal, maka ketika hidup lebih layak untuk kebolehannya. Allah  telah berfirman: ‘Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’ (QS. Luqmaan : 15).
Dalam hadits tersebut juga terdapat penjelasan tentang larangan untuk memintakan ampun kepada orang-orang kafir. Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata : ‘Faktor penyebab ziarahnya Nabi  ke kubur ibunya yaitu karena beliau  ingin menguatkan nasihat dan peringatan dengan mengunjungi kuburnya’. Hal tersebut dikuatkan dengan sabda beliau yang ada di akhir hadits : ‘Berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Syarh Shahih Muslim, 7/45].
Tidak Boleh Memulai Salam Kepada Orang Kafir

Bismillah.
Terdapat hadis dari sahabat Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لا تبدأوا اليهود والنصارى بالسلام، وإذا لقيتم أحدهم في طريق فاضطروه إلى أضيقه
“Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan juga orang Nasrani. Justru, sekiranya kamu berjumpa dengan mereka di jalan, jangan Anda berikan kepada mereka jalan yang longgar (sementara anda berada pada posisi sempit)” (HR. Ahmad).
Hadits di atas secara tegas menjelaskan larangan memulai salam kepada orang kafir.
Meski hadits di atas hanya menyinggung kaum Yahudi dan Nasrani, namun ini bukan berarti pembatasan. Orang-orang kafir lainnya; selain Yahudi dan Nasrani, berlaku hukum yang sama dalam hal ini, yaitu dilarang memulai salam kepada mereka.
Dalam Fatawa Islam no. 3681 diterangkan,
ولا فرق بين أهل الكتاب وغيرهم من الملل من حيث إنهم كفار ضالون جميعاً، من مات منهم وهو على ما هو عليه من الكفر فهو خالد في النار أبداً .
“Tidak ada bedanya antara Ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani) dengan penganut agama-agama lain, dari tinjauan bahwa mereka adalah kafir. Seluruhnya berada pada jalan yang salah. Siapa di antara mereka yang meninggal dunia, sementara ia masih berpegang pada keyakinan kufur, dia berada di neraka selamanya.
Bila Mereka yang Memulai Salam?
Ada tiga rincian dan cara menjawabnya,
Pertama, yakin bahwa ucapan ‘salam’ mereka isinya doa buruk kepada kita secara jelas. Maka kita jawab wa ‘alaikum (dan demikian juga bagimu).
Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
ان اليهود اذا سلموا وقالوا : السام عليكم, فقولوا : وعليكم
“Orang Yahudi apabila mengucapkan salam dan mengucapkan as-saamu ‘alaikum (semoga kematian menimpamu), maka jawablah Wa’alaikum’ (dan demikian juga bagimu)” (HR. Muslim).
As-Saam artinya kematian. Kalimat ini hampir seirama dengan as-salaam, namun maknanya berbeda jauh. Karena as-salaam maknanya keselamatan.
Sebenarnya kalau kita jawab dengan wa ‘alaikumussaam.(semoga kematian menimpamu) itu akan lebih adil. Namun, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, beliau hanya mengajarkan cukup dijawab wa ‘alaikum saja. Di samping itu, seorang muslim adalah manusia bermartabat dan luhur kedudukannya. Maka ucapan-ucapan buruk, bukanlah kelas mereka untuk mengucapkannya. Terlebih, jawaban wa ‘alaikum dilihat dari maknanya, itu sudah cukup untuk menjawab.
Kedua, ragu apakah salam mereka berupa doa baik atau buruk, maka kita jawab dengan jawaban yang sama seperti jenis pertama, yaitu wa ‘alaikum (dan demikian juga bagimu).
Ketiga, yakin dan jelas, bahwa mereka mengucap salam dengan salam yang kita kenal, yakni assalamu ‘alaikum… dst. Maka kita jawab dengan jawaban setimpal, yakni wa’alaikumussalam…
Karena Allah memerintahkan dalam Al-Quran,
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)” (QS. An-Nisa`: 86).
Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
يعني على الأقل ردهاو لكن هل يرد بمثله, يعني غير المسلم أو أكثر أو أقل؟ أما الأقل فلا يجوز, وأما مثله فجائز, وأما الزيادة فلأظهر عدم جوازها, لأنه اذا كان لا يجوز أن يبدأه بالسلام فان الزيادة بمنزلة الابتداء, لأن فيه زيادة اكرام و تعظيم و احترام, اذا يرد عليه بالمثل
“Minimal kita jawab, tapi apakah salam orang kafir itu kita jawab dengan yang semisal, atau lebih atau kurang?”
Adapun menjawabnya dengan salam yang kurang (maksdunya tidak setimpal tapi kurang), maka tidak boleh.
Adapun setimpal, hukumnya boleh.
Adapun menjawabnya dengan jawaban yang lebih baik, maka tampaknya tidak boleh. Karena bila memulai salam kepada mereka tidak boleh, maka menjawab salam mereka dengan jawaban yang lebih baik, juga hukumnya sama. Karena dalam hal tersebut terdapat tambahan pemuliaan, pengagungan dan penghormatan.
Oleh karenanya yang tepat, kita jawab dengan jawaban yang semisal.
(Lihat: Fathu dzi al-jalal wa al-ikram, hal. 239).
Penjelasan terkait tiga rincian di atas, bisa dipelajari di buku Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin jilid ke 3, halaman 36.
Sekian…
Wallahua’lam bis shawab.
Ditulis di: PP. Hamalatulqur’an Yogyakarta, 16 Muharram 1439 / 06-09-2017
Penulis: Ahmad Anshori
Apakah Orang Kafir akan Dihisab di Akhirat?

Pada hari kiamat, Allah Ta’ala akan menampakkan amal baik dan amal buruk seorang hamba untuk memberikan balasan yang adil (hisab). Para ulama berbeda pendapat, apakah hisab pada hari kiamat ini berlaku untuk semua manusia, baik muslim ataupun kafir, atau hanya khusus berlaku untuk orang-orang beriman saja? Para ulama berbeda menjadi dua pendapat.
Pertama, orang kafir akan dihisab pada hari kiamat.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى رَبِّهِمْ قَالَ أَلَيْسَ هَذَا بِالْحَقِّ قَالُوا بَلَى وَرَبِّنَا قَالَ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Dan seandainya kamu melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentulah kamu melihat peristiwa yang mengharukan). Allah berfirman, “Bukankah (kebangkitan) ini benar?” Mereka menjawab, “Sungguh benar, demi Tuhan kami.” Allah berfirman, “Karena itu rasakanlah adzab ini, disebabkan kamu mengingkari(nya)” (QS. Al-An’am [6]: 30).
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ (25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ (26)
“Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka” (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 25-26).
Mereka juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا اتَّبِعُوا سَبِيلَنَا وَلْنَحْمِلْ خَطَايَاكُمْ وَمَا هُمْ بِحَامِلِينَ مِنْ خَطَايَاهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (12) وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ (13)
“Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman, “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu.” Dan mereka (sendiri) sedikit pun tidak (sanggup) memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta. Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban- beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri. Dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan” (QS. Al-‘Ankabuut [29]: 12-13).
Pendapat Kedua, mereka tidak akan dihisab pada hari kiamat.
Para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka” (QS. Al-Muthaffifin [83]: 15).
Maksudnya, orang-orang kafir tidak akan melihat wajah Allah Ta’ala di akhirat. [1]
Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka” (QS. Al-Qashash [28]: 78).
Mereka juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat. Dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih” (QS. Ali ‘Imran [3]: 77).
Mereka berargumentasi bahwa hari kiamat itu seperti sebuah ujian. Ujian terkadang terdapat pertanyaan dan pembicaraan secara lisan. Namun, terkadang tidak. Sehingga ayat-ayat di atas tidaklah bertentangan.
Pendapat yang Terpilih dari Dua Pendapat Di Atas
Bahwa orang-orang kafir akan dihisab di akhirat untuk menunjukkan atau menampakkan amal perbuatan mereka dan membalasnya, sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam surat Al-An’am ayat 30 di atas. Sebagaimana juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ
“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 13)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
لا يسألون سؤال شفقة ورحمة وإنما يسألون سؤال تقريع وتوبيخ
“Mereka tidaklah ditanya dalam rangka belas kasihan atau memberikan rahmat Mereka itu hanyalah ditanya dalam rangka mencela dan merendahkan mereka, mengapa kalian berbuat seperti ini dan seperti itu?” [2]
Al-Hasan rahimahullah berkata,
لا يسألون سؤال استعلام وإنما يسألون سؤال تقريع وتوبيخ
“Mereka tidaklah ditanya dalam rangka meminta pengakuan (atau persetujuan). Akan tetapi, mereka hanyalah ditanya dalam rangka mencela dan merendahkan mereka” [3]
Mereka tidaklah dihisab dalam ranka menampakkan dan meminta pengakuan atas amal baik dan amal buruk, karena orang-orang kafir tidaklah memiliki amal kebaikan sedikit pun. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23).
Dan di antara faidah dari hisab mereka pada hari kiamat adalah dilipatgandakannya adzab dan hukuman bagi yang semakin bertambah kekafirannya, karena neraka itu berlapis-lapis. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُونَ
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan (siksaan yang berlipat ganda, pen.) disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan” (QS. An-Nahl [16]: 88).
Wallahu a’lam. [4]
Diselesaikan menjelang maghrib, Rotterdam NL 24 Sya’ban 1438/20 Mei 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Catatan kaki:
[1] Lihat Tafsir Jalalain, 1/797.
[2] Tafsir Al-Baghawi, 4/338.
[3] Tafsir Al-Baghawi, 3/545.
[4] Pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut, hal. 189-192.
https://muslim.or.id/31196-apakah-orang-kafir-akan-dihisab-di-akhirat.html

Takut Dikuasai Kaum Kafir?


Ketakutan dan kekhawatiran itu wajar. Namun tentunya jangan sampai membuat kita bersikap arogan dan ekstrem. Semuanya harus dihadapi dengan ilmu dan ketaqwaan. Cobalah rengungi ayat ini:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung“. (Ali Imron: 173)
Imam Abu Ja’far Ath Thobari rahimahullah berkata:

فزادهم ذلك من تخويف من خوَّفهم أمرَ أبي سفيان وأصحابه من المشركين، يقينًا إلى يقينهم، وتصديقًا لله ولوعده ووعد رسوله إلى تصديقهم، ولم يثنهم ذلك عن وجههم الذي أمرهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بالسير فيه، ولكن ساروا حتى بلغوا رضوان الله منه،

“Ketika mereka ditakut takuti oleh seseorang bahwa pasukan Abu Sufyan dan pasukan kaum musyrikin (akan menyerang), bertambahlah keyakinan mereka, dan semakin membenarkan janji Allah dan rosulNya, DAN TIDAK MEMBUAT MEREKA BERPALING DARI MELAKSANAKAN PERINTAH ROSUL untuk berjalan menuju tempat yang telah diperintahkan oleh beliau, namun mereka tetap berjalan sampai mendapatkan keridloan Allah” (Tafsir Ath Thobari).
Subhanallah…!!
Demikianlah ahli ilmu dan iman. ketakutan dan kekhawatiran tidak membuat mereka terprovokasi. Tidak juga membuat berpaling dari perintah Rasul.
Saudaraku..

Kekhawatiran yang ditebar saat ini hadapilah dengan tawakkal dan kembali kepada Allah. Jangan sampai memalingkan kita dari berilmu dan beramal. Teruslah istiqomah di atas jalan salafusholeh.

Yakinlah, sehebat apapun makar kaum kuffar untuk menghancurkan islam pasti akan rapuh di hadapan sabar dan ketaqwaan. Sebagaimana firman Allah:

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ الله بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Dan jika kamu terus bersabar dan bertaqwa, tidak akan membahayakanmu tipu daya mereka sedikitpun” (Ali Imron:121).
Tipu daya kaum kafir akan berhasil di saat kesabaran dan ketaqwaan kita rapuh.
Penulis: Ust. Badrusalam, Lc.

“Kamu Tidak Akan Mendapati Suatu Kaum Yang Beriman Kepada Allah Dan Hari Akhir, Saling Berkasih-Sayang Dengan Orang-Orang Yang Menentang Allah Dan Rasul-Nya Sekalipun Orang-Orang Itu Adalah Bapak-Bapak Atau Anak-Anak Atau Saudara-Saudara Atau Keluarga Mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].
https://lamurkha.blogspot.com/2019/03/kamu-tidak-akan-mendapati-suatu-kaum.html