Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quran Al-Majid “An-Nur”(II/123), Syaikh
‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri As-Sinkili, Tafsir Turjuman Al-Mustafid, qadhi
Kerajaan Aceh pengganti Al-Qadhi Nuruddin Muhammad Ar-Raniri. Syaikh ‘Abdurrauf
Al-Fanshuri yang merupakan ulama no wahid sebumi Aceh menjelaskan dengan
gambling bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy dengan semayam yang
bersesuaian dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Maksudnya ialah bersemayamnya
Allah di atas ‘Arsy itu tidak menyerupai sedikit pun dengan bersemayamnya
makhluk di atas singgasananya. Karena memang, “Tiada seperti-Nya suatu dan
yaitu yang amat mendengar segala yang dikata lagi amat melihat akan
segala yang diperbuat oleh sekalian makhluk,” jelas beliau pada (II/193). Sebetulnya
ulama-ulama masa silam Aceh yang sefaham dengan ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah
Salafiyyah tidak sedikit jumlahnya. Bahkan sebagiannya adalah pejuang
kemerdekaan Indonesia penulis kisah Perang Sabi yang mampu membangkitkan dan
membakar semangat jihad kaum muslimin Aceh melawan penjajah Belanda yang kafir.
Namun sebagaimana kata orang, “Orang yang cerdas sudah cukup hanya dengan
singgungan saja. Sementara orang yang dungu tidak akan pernah faham meskipun
dengan seribu bahasa sekalipun.”
Nasihat untuk Ahlus Sunnah Aceh dan Seluruh
Negeri (Disertai Jawaban Ilmiah Atas Fatwa Sesat dari MPU Aceh)
Kadis Syariat Islam Aceh: Siapa Salafi Wahabi?
Tunjukkan!
Apakah Para Ulama Atjeh Yang Mengumandangkan
Perang Sabil Melawan Penjajah Belanda Adalah PARA ULAMA WAHABI??
Fatwa MPU Aceh No. 9 Tahun 2014 Terkait Manhaj
Salaf Tampak Janggal Dan Terkesan Tidak Ilmiyyah, Bertentangan Dengan Dalil
Alquran Dan Sunnah. Berseberangan Dengan Fatwa Yang Pernah Dikeluarkan Oleh MUI
Jakarta Utara Tentang Salafi. Tidak Jujur Menyalin/Memahami Manhaj Salaf Dari
Tokoh-Tokoh Salafi Aceh, Dilakukan Tanpa Proses Peradilan Di Mahkamah Syar’iyah
Dan Terkesan Ada Vested Interested.
Tambahan Artikel (Dibawah)
● Tuhan
itu Bertempat Tinggal (aqidah Muhammadiyah dalam fatwa Tarjih)
● Dimana
Allah Tinggal Sebelum Bersemayam di Atas Arasy?
● Dimana
Allah??? (Bantahan terhadap pemahaman yg mengatakan Allah dimana-mana atau
Allah Ada Namun Tak Bertempat & Tak Berarah)
Lebih lanjut Ash-Shiddieqy menjelaskan
dalam Tafsir Al-Quran Al-Majid “An-Nur”(II/123), “Kemudian Allah
bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, menurut keadaan yang Allah sendiri lebih
mengetahui, serta keadaan itu suci dari menyerupai keadaan makhluk.
Pernah ditanya kepada Malik tentang makna istiwa’=bersemayam,
berketetapan. Maka beliau menjawab, ‘Menurut bahasa istiwa itu terang. Bagaimana Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy, kita
tidak dapat mengetahuinya. Menanyakan tentang bagaimana Tuhan bersemayam di
atas ‘Arsy adalah bid’ah.’ Demikian pendapat sahabat dan ulama salaf (klasik).
Ulama salaf menerima hal tersebut dengan
tidak menjelaskan begini dan begitu, dan tidak menyerupakan keadaan itu dengan
keagaan makhluk. Mereka menyerahkan hal itu kepada Allah sendiri.
Adapun
Asy’ariyah menakwil (baca: mentahrif/mengobah) makna itu dengan menyatakan
bahwa sesudah menciptkan langit dan bumi, Allah mengatur segala urusan yang
berkaitan dengan itu dan menentukan sistemnya menurut takdir dan hikmah yang
telah ditentukan.”
Berkaitan dengan penjelasan ayat-ayat
istiwa di atas, selain Ash-Shiddieqy sebagai pemberi penjelasan yang sesuai
dengan pemahaman Salaf Shalih yang mewakili ulama-ulama Nusantara, ternyata ada
pula ulama yang jauh hidup dari zamannya yang juga telah terlebih dahulu
menjelaskan kepada masyarakat bahwa Allah berada di atas langit, bukan di
mana-mana. Beliaulah adalah
Syaikh ‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri
As-Sinkili, qadhi Kerajaan Aceh pengganti Al-Qadhi Nuruddin Muhammad Ar-Raniri.
Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya
persilakan Anda mendengarkan penjelasan beliau dalam Tafsir Turjuman
Al-Mustafid.
Pertama, pada (I/209) beliau mengatakan,
“Bahwasanya Tuhan kamu, Allah, yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi
pada sekira-kira enam hari daripada segala dunia. Kemudian, maka tetap Ia atas
‘Arsy dengan tetap yang patut dengan Dia.”
Kedua, pada (I/250) beliau megatakan,
“Allah Ta’ala jua yang mengangkatkan tujuh petala langit dengan tiada tiang
yang kamu lihat akan dia. Kemudian dari itu, maka disahjanya atas ‘Arsy dengan
sahaja yang patut dengan dia dan dimudahkan-Nya matahari, dan bulan adalah
tiap-tiap suatu dari keduanya pada peredarannya datang kepada hari
kiamat.”
Ketiga, pada (II/21) beliau menulis,
“Yang menjadikan bumi dan tujuh petala langit yang tinggi itu, yaitu Tuhan yang
bernama Rahman atas ‘Arsy tetap Ia dan yaitu dengan tetap yang berpatutan
dengan Dia.”
Keempat, pada (II/74) beliau menuturkan,
“Ia jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara keduanya pada
sekira-kira enam hari dunia. Kemudian maka yaitu Tuhan yang bernama Rahman itu
atas ‘Arsy dengan nyata yang laik (baca: layak) dengan Dia.”
Kelima, pada (II/124) beliau menjelaskan,
“Allah Ta’ala jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara
keduanya di dalam enam hari. Pertama menjadikan itu hari Ahad dan akhirnya hari
Jum’at. Kemudian dari itu, maka tetaplah Ia dan nyata atas ‘Arsy dengan nyata
yang berpatutan dengan Dia.”
Keenam, pada (II/247) beliau menulis, “Ia
jua Tuhan yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada enam hari daripada
segala hari dunia . Awal harinya Ahad dan akhirnya Jum’at. Kemudian dari itu,
maka Ia mengrasa Ia dan nyata Ia atas Kursi dengan yang berpatutan dengan Dia.”
Ketujuh, pada (I/158) beliau pun menulis,
“Bahwasanya Tuhan Kamu itu Allah yang telah menjadikan tujuh petala langit dan bumi
di dalam enam hari daripada segala hari dunia. Kemudian maka diqashad-Nya atas
‘Arsy-Nya.”
Ringkasnya,
Syaikh ‘Abdurrauf Al-Fanshuri yang merupakan ulama no wahid sebumi Aceh
menjelaskan dengan gambling bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy dengan
semayam yang bersesuaian dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Maksudnya ialah
bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu tidak menyerupai sedikit pun dengan
bersemayamnya makhluk di atas singgasananya. Karena memang, “Tiada seperti-Nya
suatu dan yaitu yang amat mendengar segala yang dikata lagi amat melihat
akan segala yang diperbuat oleh sekalian makhluk,” jelas beliau pada
(II/193).
Apa yang
dipaparkan di atas ini sekaligus sebagai bantahan tajam terhadap kaum bid’ah
yang bersembunyi di balik nama mulia Ahlussunnah wal Jama’ah yang pada
hakekatnya berfaham sekte Asy’ariyyah atau Asya’irah. Padahal Abul Hasan
Al-Asy’ari sendiri berlepas diri dari mereka yang menisbatkan diri kepada
beliau. Sebab pernyataan beliau dalam Al-Ibadah (II/105-113).
Sedangkan para ahli bid’ah Asy’ariyyah dan sekte-sekte yang sepaham dengan
mereka dari kalangan Muktazilah dan lainnya berpendapat bahwa Allah Ta’ala
tidaklah berada di atas ‘Arsy! Artinya Allah tidak berada di atas. Lalu di
manakah? Di antara mereka ada yang menegaskan bahwa Allah berada di mana-mana.
Sehingga menurut mereka Allah berada di tempat-tempat yang baik dan juga di
tempat-tempat yang kotor sekalipun yang lisan saja enggan mengucapkannya!
Padahal mereka sendiri sedikit pun tidak mau bertempat di tempat-tempat yang
kotor. Mereka pastilah lebih memilih di tempat-tempat yang bersih dan baik.
Namun ketika mereka berbicara tentang Allah, mereka katakana, “Allah ada di
mana-mana!”
Subhanallah, Mahasuci Allah dari segala
yang mereka katakana tentang Allah. Kita hanya mengatakan pada mereka:
تِلۡكَ إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ
“Kalau begitu, pembagian semacam itu
tidak adil alias curang!” [QS An-Najm: 22]
Ini sama seperti sikap orang-orang musyrikin
yang malu memiliki anak perempuan sehingga mereka tega mengubur mereka
hidup-hidup. Namun ketika mereka bicara tentang Allah, mereka katakana bahwa
Allah memiliki anak-anak perempuan, yaitu para mailakat! “Kalau begitu,
pembagian semacam ini curang!”
Sebagian ahli bid’ah pula ada yang
mengatakan tanpa rasa malu dan dosa, sebagaimana kawan sejawat mereka
sebelumnya yang mengatakan Allah ada di mana-mana, bahwa Allah tidak layak
dikatakan apakah di atas, di bawah, atau di arah tertentu yang diketahui
manusia. Bahkan mereka katakan, tidak layak dikatakan Allah berada di dalam
atau di luar alam semesta!
Salah
seorang imam mereka, yaitu Ibnu Faurak, pernah terjebak debat terkait masalah
ini dengan seorang ulama Ahlussunnah yang sekaligus panglima perang terkenal
bernama Mahmud bin Subuktikin. Di antara yang dikatakan Ibnu Faurak ialah,
“Saya tidak mengatakan bahwa Allah ada di atas, tidak pula di bawah, tidak pula
di kanan, dan tidak pula di sebelah kiri.” Mendengar itu, Mahmud bin Subuktikin
menimpali, “Sesungguhnya Tuhanmu tidak ada!” [Majmu’ Al-Fatawa (III/37)]
Sebagaian
ulama ada yang menyatakan bahwa Ibnu Faurak inilah sosok di balik semakin
runyamnya akidah Asy’ariyyah. Sebab sekte Asy’ariyyah generasi awal masih meyakini
Allah berada di atas ‘Arsy, bukan di mana-mana apalagi seperti keyakinan Ibnu
Faurak di atas. Namun setelah Ibnu Faurak memodifikasi ‘aqidah Asy’ariyyah,
pengikut sekte ini di kemudian hari justru lebih mengikutinya daripada
mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri selaku ‘pendiri’ sekte Asy’ariyyah ini.
Kemudian kenyataan di atas bahwa dua
ulama senior Aceh yang bahkan salah satunya qadhi atau mufti Kerajaan Aceh yang
masyhur itu sebagai tamparan keras untuk mereka-mereka kalangan Ahlul Bida’ wal
Ahwa’ yang akhir-akhir ini mulai menampakkan kedunguan serta kebodohan mereka
dengan cara membubarkan dan memporak-porandakan setiap kajian yang jauh-jauh
hari didakwahkan oleh pembesar ulama Aceh di atas. Sehingga amat sangat
disayangkan sekali manakala orang-orang yang hanya berbekal semangat tanpa
sedikit pun mengerti apa sebetulnya corak Islam yang mewarnai bumi rencong itu.
Kebodohan tersebut jelas-jelas terlahir lantaran malasnya belajar dan membaca
peninggalan-peninggalan intelektual ulama mereka sendiri. Ahlul Bida’ wal Ahwa’
tersebut justru lebih suka mengadopsi faham-faham asing yang diseludupkan ke
dalam ajaran agama Islam. Sehingga wajarlah apabila mereka justru mendurhakai
‘orangtua kandung’ mereka sendiri, dan malah lebih berbakti mentaati ‘orangtua
angkat’ yang datang tiba-tiba!
Sebetulnya ulama-ulama masa silam Aceh
yang sefaham dengan ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Salafiyyah tidak sedikit
jumlahnya. Bahkan sebagiannya adalah pejuang kemerdekaan Indonesia penulis
kisah Perang Sabi yang mampu membangkitkan dan membakar semangat jihad kaum
muslimin Aceh melawan penjajah Belanda yang kafir. Namun sebagaimana kata
orang, “Orang yang cerdas sudah cukup hanya dengan singgungan saja. Sementara
orang yang dungu tidak akan pernah faham meskipun dengan seribu bahasa
sekalipun.”
Syaikh
Daud bin ‘Abdullah Al-Jawi Al-Fathani menulis dalam Sullam Al-Mubtadi
fi Ma’rifah Thariqah Al-Muhtadi hlm. 3 menurut cet. Dar Ihya’ Al-Kutub
Mesir yang dicoppy oleh Maktabah Bin Hullabi Pattani Thailand atau hlm. 7
menurut cet. Al-Hidayah Selangor:
“Maka
adalah Ia sekarang seperti adaNya dahulu jua sebelum lagi diadakan kaun (baca:
alam semesta) ini dan tiada adaNya itu dilalu atasNya zaman dan tiada meliputi
pada makan (tempat), bersemayam di atas ‘Arsy bersamaan yang berpatutan
dengan kebesaran-Nya seperti barang yang dikehendaki-Nya. Dan tiada mengambil
akan Dia oleh mengantuk dan tidur.
Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala
daripada barang yang dikata oleh orang yang zalimun. Adalah Ia Tuhan yang amat
ketinggian-Nya dana mat kebesaran-Nya.”
Syaikh Muhammad Sa’id bin ‘Umar Kedah mengemukakan
dalam tafsirnya yang bertajuk Nur Al-Ihsan pada ayat dalam Surat
Thaha, “Ialah Tuhan ar-Rahman itu atas ‘Arsy bersamaan yang layak dengan-Nya.
Maka ‘Arsy pada logat itu tempat duduk raja. Ini jalan Salaf. Maka jalan khalaf
makna istiwa itu memerintah.”
Sedangkan pada tafsir ayat dalam Surat
Al-Furqan beliau mengatakan pula, “Kemudian bersamaan atas ‘Arsy oleh Tuhan
Ar-Rahman akan sebagai bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka makna ‘Arsy pada
logat kursi raja. Dan dikehendaki di sini jisim yang besar yang meliputi dengan
alam atas tujuh lapis langit.”
Syaikh
‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muttalib Al-Indonesi Al-Mandili, ulama Masjidil Haram
asal Mandailing Indonesia, mengemukakan dalam Syarah Al-‘Aqidah
Ath-Thahawiyyah yang berjudul Perisai Bagian Sekalian Mukallaf, “Dan
bagi-Nya[1] tangan
tiada seperti tangan hamba-Nya, dan baginya muka sabagai muka yang patut
padanya dengan dia, dan bershifat ia dengan istiwa’ tetapi tiada seperti
istiwa’ yang baharu.
Bertanya seorang laki-laki akan Imam
Malik daripada ayat:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Artinya, “Bermula Tuhan yang sangat
pemurah tetap ia di atas ‘Arsy.”
Maka menundukkan Imam Malik kepalanya
pada masa yang panjang kemudian berkata ia, “bermula ‘tetap’ itu diketahui akan
dia, dan kelakuannya tiada dapat dengan akal, dan beriman dengan dia wajib, dan
bertanya daripadanya bid’ah. Dan tiada aku sangka akan dikau melainkan sesat.”
Maka menyuruh oleh Imam Malik dengan
menghalau laki-laki yang bertanya itu,maka dihalau akan dia.
Pendeknya, shifat Allah Ta’ala
bersalah-salahan dengan shifat makhluk, seperti dzat Allah Ta’ala
bersalah-salahan dengan dzat baharu. Dan tiada mengetahui oleh makhluk
akan hakikat shifat Allah ta’ala sekalipun rasul dan malaikat. Seperti tiada
mengetahui oleh yang baharu akan hakikat dzat-Nya yang Maha Mulia. Dan kita
serahkan akan hakikatnya kepada Allah Ta’ala serta kita i’tiqadkan bahwasannya
segala shifat itu semuanya shifat kesempurnaan yang laik dan patut padan dengan
kebesaran-Nya, seperti firman-Nya:
Artinya, “Tiada seumpama-Nya sesuatu dan
Ia jua yang sangat mendengar lagi sangat melihat.”[2]
Dan firman Allah Ta’ala:
Artinya, “Bersabda olehmu, hai
Rasulullah, bermula Tuhan aku yang kamu bertanya daripada-Nya Allah Ta’ala,
Tuhan yang Maha Esa. Dan Allah Ta’ala itu Tuhan yang diqasad pada segala hajat
selama-lamanya, tiada ia beranak dan tiada diperanakkan, dan tiada ada seorang
yang menyamai dan sama tara dengan dia.”[3] Wallahua’lam.”
Selesai kutipan dari Al-Mandili.
Prof.
Dr. ‘Abdul Malik [bin] ‘Abdul Karim Amrullah yang akrab disapa Buya
HAMKAturut pula menjelaskan dalam Pelajaran Agama Islam hlm. 49,
“Tuhan telah menunjukkan sifat-sifat di dalam sabda yang disampaikan-Nya kepada
Nabi-Nya. Sepintas lalu seakan-akan serupa sifat itu dengan sifat makhluk-Nya.
Misalnya melihat, mendengar, berkata, hidup, dan lain-lain. Tetapi bila
dijalankan fikiran selangkah lagi, akan kenyataanlah bahwasanya sifat itu mesti
berbeda keadaannya. Persamaan adalah mustahil. Bagaimanalah akan sama sifat
yang dipunyai oleh zat Yang Maha Besar, dengan sifat yang dipunyai oleh zat
yang terjadi hanyalah karena izin dari Yang Maha Besar itu. Kadang-kadang kita
hendak tahu benar bagaimana perbedaan sifat itu. Padahal terlalu banyak hijab
atau dinding yang membatasi kita di dalam jalan hendak menyelidiki dan
memngupas hakikat itu. Jangankah mengetahui perbedaan sifat Dia dengan
sifat alam, sedangkan alam itu sendiri belum lengkap kita ketahui, dan yang
kita dapat hanya sejumput kecil saja. Jangan hakikat alam itu yang kita
ketahui, sedang hakikat diri kira sendiri pun adalah satu perkara besar.
“Maka kalau dikatakan Tuhan Allah
bersifat mendengar, bukanlah artinya pendengaranNya itu sama dengan pendengaran
kita yang memakai telinga macam ini. Kalau Dia melihat bukanlah artinya alat
penglihataNya adalah mata sebagai mata kita yang diberikanNya ini. Kalau Dia
berkata tidaklah Dia berlidah dan bermulut sebagai kita. Dia membina langit,
Dia menghamparkan bumi, Dia duduk di Arsy, dan lain-lain sebagainya.
Semuanya itu tidaklah serupa dengan yang kita pikirkan atau terdapat dalam
kebiasaan kita. Kalau Dia berkata bahwa Dia bertangan yang terletak di atas
tangan kita, bukanlah Dia beranggota tubuh sebagai anggota tubuh kita ini.
Alhasil, sifat alam yang dijadikan oleh Tuhan tidaklah serupa dengan sifat
Tuhan, sebab Tuhan bukan alam dana lam bukan Tuhan. Bertengkar-tengkar dan
kadang-kadang mengambil tempo berlama-lama, sampai berpisah kepada beberapa
firkah dan mazhab diantara ahli-ahli fikir islam membicarakan sifat-sifat Tuhan
itu, tentang Dia memandang dengan mataNya, Dia bertangan, Dia duduk di
atas Arsy, Dia turun ke langit pertama di pertiga malam dan lain-lain.”
Buya
HAMKA juga mengemukakan dalam Tafsir Al-Azhar (VIII/366) dalam
kutipannya dari Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’i yang merupakan guru daripada Imam
Al-Bukhari, yang tengah membahas tafsir ayat ke-54 dari Surat Al-A’raf “Dalam
sifat Allah tentang diri-Nya, atau diterangkan oleh Rasul-Nya, tidaklah
terdapat perserupaan dengan makhluk. Maka barangsiapa yang mengakui apa yang
tersebut dalam Nash yang demikian jelasnya di dalam Al-Quran dan demikian pula
dari kabar-kabar (Hadits) yang shahih, menurut keadaan yang layak bagi
Kemuliaan Allah, serta menafikan daripada Allah segala kekurangan, maka orang
itulah yang telah berjalan di atas garis petunjuk yang benar.”
Berkata
Al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam Tafsir-nya, ‘Pembicaraan orang tentang soal ini
memang banyak. Tetapi Mazhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah mazhab
Salaf yang shahih, yaitu Imam Malik, dan Al-Auza’i, dan Al-Tsauri, dan Al-Laits
bin Sa’d. dan Asy-Syafi’i, dan Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih, dan ulama-ulama
ikutan kaum muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian. Yaitu
membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa, dan
tidak pula menyerupakan-Nya, dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat. Dan
segala yang cepat terkenang di dalam otak orang yang hendak menyerupakan Allah
dengan yang lain, sekali-kali tidaklah sesuai dengan keadaan Allah, sebab tidak
ada makhluk yang menyerupai Allah. Tidak sesuatu yang menyerupai-Nya, dan Dia
adalah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.”
Selesai kutipan dari Buya HAMKA.
Drs. Bakri Syahid, rektor IAIN Jogjakarta,
dalam Tafsir Al-Quran Al-Karim “Al-Huda”ketika menafsirkan ayat ke-5 dari
Surat Thaha berkata, “Panjenenga-Ne Pangeran kang Maha Murah, kang
pinarak siniwaka ana ing sadhuwure ‘Arsy.”
Selanjutnya beliau menerangkan lagi, “Kodos
pundi tehnis pinarakipun Gusti Allah ing sanginggiling ‘Arsy punika
kawontenan ghaib, boten saged kekantha-kantha. Bab punika kuwajiban kita iman
serta yakin bilih Kaagunganipun Allah serta Kesucianipun trep kalayan
anggenipun Maha Kawasa Murbeng – Jagad pinarak siniwaka ing ‘Arsy ingkang
Agung.”
Pada tafsir ayat ke-54 dari Surat Al-A’raf,
beliau juga berkata, “Sanyata Pengeranira iku Allah kang wus anitahake Langin
lan Bumi sajeroning mangsa nem dina, tumuli PanjenengaNe lenggah ana ing
‘Arsy.”
Bey
Arifin, ulama penulis Surabaya asal Sumatera Barat, ketika akan menjawab
pertanyaan tentang “dimanakah Tuhan atau Allah itu ?”, Beliau menjelaskan
terlebih dahulu sebuah “kaidah umum” dalam memahami nash-nash yang berkaitan
dengan nama dan sifat Allah sebagai berikut,
“Sebelum
menjawab pertanyaan ini, agar jangan timbul kekeliruan perlu kita ingatkan
kembali akan apa yang kita tetapkan tentang (sifat-sifat, atribut-atribut, dan
ketentuan-ketentuan) Allah menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yaitu berdasarkan
ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang shahih.”
“Bahwa
kita tetapkan dan yakinkan (imani) bahwa Allah itu ada, tidak membutuhkan
tempat, Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, Maha Kekal tak berawal dan tak
berakhir, berbeda dengan segala makhluk, tak ada persamaan dan bandingannya,
Maha Kuasa menciptakan segala dan memberi bentuk, mengendalikan dan mengatur
seluruh alam, Maha Mendengar, Melihat dan Mengetahui, tak satu pun di langit
dan di bumi, yang bagaimana halusnya yang tersembunyi dari penglihatan,
pendengaran, dan pengetahuan-Nya.”
“Allah mempunyai sifat-sifat yang
sempurna, suci dari segala kekurangan dan kesalahan, mempunyai Nama-Nama Yang
Baik. Bagi-Nya ketinggian, pujian, dan sanjungan, berkedudukan di Arasy yang
tak dapat dibayangkan dengan khayal, tidak terbatas dengan batas apapun, tak
dapat dicapai dengan ilmu (akal atau faham), kecuali sekedar apa yang
diajarkan-Nya dengan perantaraan Kitab-Kitab Suci-Nya dan para Rasul-Nya.”
“Allah, tidak ada Tuhan yang wajib
disembah selain Ia. Yang hidup, Yang Berdiri mengendalikan segala yang ada,
Maha Suci, Maha Besar, Maha Halus (teliti), Maha Pengasih, Penyayang,
Berkata-kata, Berkehendak, Menciptakan apa saja yang Ia kehendaki, Mengambil
dan Memberi, Suka dan Benci, Cinta dan Marah, Gembira dan Ketawa, Menyuruh dan
Melarang, Mempunyai Wajah yang mulia, Telinga yang mendengar, Mata yang
melihat, Dua Tangan dan dua genggaman, Kekuatan, dan Kekuasaan. Senantiasa
demikian buat selama-lamanya, berkedudukan di Arasy-Nya, Mengatur segala
perkara atau urusan dari langit, tidak dapat dilihat oleh mata dari dunia ini,
tetapi dapat dilihat oleh mata dari Surga-nya, Maha Agung Ia dengan segenap
Sifat dan Perbuatan-Nya itu.”
Ustadz Bey Arifin kemudian menegaskan
kembali aqidah tersebut di atas dengan kalimat yang lebih “keras” dengan
mengatakan sebagai berikut, “Tuhan yang demikian itulah yang kita imani,
terhadap Ia saja kita menyembah dan minta pertolongan, beribadat, rukuk dan
sujud. Barang siapa yang menyembah kepada Tuhan yang lain sifatnya dari
sifat-sifat yang tersebut di atas, berarti dia menyembah selain Allah, Maka
inilah yang dinamakan syirk atau kafir, satu kekufuran dan kesyirkan yang tak
dapat diampuni.”
Pada bagian yang lain, Ustadz Bey Arifin
menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut, “Begitu juga dengan kata-kata lain
yang dihubungkan dengan Allah di dalam ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an dan
Hadis-Hadis. Misalnya kata-kata : tangan, mata, wajah, dll. Allah bermata,
bertangan, dan berwajah, yaitu mata, tangan, dan wajah yang sesuai dengan
segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Mata, tangan, wajah yang tak sama dengan
tangan, mata, wajah manusia atau lain-lain makhluk.”
Beliau rahimahullah kemudian melanjutkan
sebagai berikut, “Orang-orang yang dibukakan Allah hatinya akan dapat mengenal
Tuhannya dengan ayat-ayat Kitab Suci-Nya yang disampaikan oleh Rasul-Nya,
dengan menjauhkan diri dari ta’wil, ta’thil, takyif, dan tamtsil, menghindarkan
diri dari mengubah-ubah arti kata dari Kalamullah, membayangkan suatu cara atau
bentuk bagi Allah, atau membayangkan suatu cara atau bentuk tertentu bagi Allah
seperti bentuk makhluk.”
[1] Ungkapan,
“Baginya Tangan…,” bermula tangan itu terjemah bagi lafal al-yad dengan bahasa
Melayu. Maka adakah harus diterjemah akan segala shifat Allah Ta’ala yang
mutasyabih seperti al-yad dan al-wajh denghan bahasa Melayu dan lain
daripadanya atau tiada harus?
Jawab: berkata Al-Imam Abu Saiful Haq
wad-Din Abul Mu’in An-Nasafi $ di dalam kitabnya, Bahrul Kalam:
و يجوز أن يقال بأن لله تعالى يدا بالعربية، لا
يجوز بالفارسية. انتهى.
Artinya, “Dan harus bahwa dikatakan
dengan bahwasanya ada bagi Allah Ta’ala yad dengan bahasa ‘Arab, tiada harus ia
dengan bahasa Persi.
Dan berkata Al-Imam Abu Hanifah $ di
dalam kitab Al-Fiqh Al-Akbar:
و كل ما ذكره العلماء بالفارسية من صفات الله
تعالى عزت أسماؤه و تعالت صفاته فجاز القول به سوى اليد بالفارسية، و يجوز أن يقال
بروى خدا (أي وجه الله)بلا تشبيه و لاكيفية.
Artinya, “Dan tiap-tiap barang yang
menyebut akan dia oleh ulama dengan bahasa Persia daripada segala shifat Allah
Ta’ala Mahamulia nama-Nya dan Mahatinggi segala shifat-Nya, maka harus berkata
dengan dia, kecuali al-yad dengan bahasa Persia. Dan harus bahwa dikatakan بروي
خدا (artinya: muka Allah) dengan ketiadaan menyerupakan dan
ketiadaan kaifiyat.
Difaham daripada perkataan dua imam ini
akan bahwasannya tiada harus diterjemah akan al-yad dan harus diterjemah ajan
yang lain daripada yang lain daripadanya seperti al-wajhu. Tetapi berkata oleh
Al-Imam Nashirus Sunnah Mulla ‘Ali bin Sukthan Muhammad Al-Qari di dalam Syarah-nya
atas Al-Fiqh Al-Akbar pada halaman 93:
و إذا كان القول مقرونا بالتنزيه و نفي التشبيه
فالفرق بين اليد و الوجه تدقيق يحتاج إلى تحقيق. انتهى.
Artinya, “Dan apabila adalah perkataan
itu disertakan dengan menyucikan dan meniadakan menyerupakan, maka farq antara
al-yad dan al-wajh tadqiq yang berhajat ia kepada tahqiq.”
Berkata aku, “Maka barangkali karenma ini
menerjemah oleh ulama Melayu kita akan shifat mutasyabihah di dalam kitab-kitab
mereka itu seperti Firidah Al-Faraid, dan kitab Ad-Durr Ats-Tsamin,
dan kitab ‘Aqidah An-Najin. Wallahua’lam.
[2] Qs
Asy-Syura: 11.
[3] Qs
Al-Ikhlas: 1, 2, 3, 4.
Tuhan itu Bertempat Tinggal (aqidah Muhammadiyah
dalam fatwa Tarjih)
dalam fatwa Tarjih)
Salah satu aqidah Muhammadiyah dalam
fatwa Tarjih disebut, bahwa Allah itu “Semayam di Arasy”, ada suatu tempat
yang berada diatas langit, sebagaimana tercantum dalam firman Allah: “Allah-lah
Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing
beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu)
dengan Tuhanmu.
Keyakinan “Muhammadiyah” berdasarkan ayat
ayat Allah yang banyak menempatkan kata Arasy, sebagai tempat tertinggi setelah
Allah. Tidak ada yang lebih tinggi dari tempat itu kecuali Allah itu sendiri.
Pembicaraan ini dalam ilmu kalam telah menimbulkan perdebatan yang cukup tajam
dan hangat hingga sekarang. Berbagai kalangan saling berpendapat “Allah di
mana”. Cukup menegangkan kalau baca karya karya Ulama, hingga pernah terjadi
saling menumpahkan darah di Jaman Imam Ahmad.
Tetapi bagaimana sebenarnya memahami Ayat
Allah diatas Arasy, itu yang perlu telaah mendalam, tidak sebatas cukup
meyakini saja, untuk lebih mendapatkan kebenaran ayat , apa sebenarnya yang di
maksud.
“Allah diatas Arasy” atau bersemayam
diatas arasy, adalah tidak terletak pada kebiasaan dan konsekwensi manusia.
Jelas berbeda, ketika kita menyebut “Atas atau Bawah” dengan sebutan Allah yang
menyebut sama perkataan “atas bawah”. Karena Allah yang Maha segalanya jelas
berbeda dengan ciptaan-Nya, tidak berhubungan sama sekali dengan keberadaan
Allah yang menciptakan mereka. Artinya tidak ada kaitan dari berbagai
sifat yang di milikinya meskipun sama dalam sebutan. Itulah sebabnya, meskipun
Allah dikatakan bersemayam diatas Arasy itu menurut pengucapan Allah dan
berlaku hanya kepada Allah. Taruklah kata “Allah duduk” sekalipun, tetap saja
berbeda dengan makhluqnya.
Karena Quran merupakan Firmannya, sudah
tentu menjadi info syariat Islam, yang menetapkan dirinya memiliki sifat sifat
sesuai kemaunya yang disebutkan dalam Quran, tanpa ada keinginan kita untuk
merombak kata “semayam atau Tinggal” dalam bentuk pengertian kita.
Salahnya kita ketika menyebut Allah
bersemayam diatas langit atau Arasynya, adalah dengan menggambarkan Allah sama
sifatnya dengan kita, hal inilah yang keliru, tetapi kalau Allah dikatakan
memiliki sifat sifat “semayamatau Istiwa”, mendengar, melihat dengan mata
penglihatannya, ya tentu berbedalah dengan sifat sifat-Nya dengan sifat
ciptaannya. Menyeret pengertian pada upaya penyelamatan faham dengan memberikan
ta’wil pada sifat sifatnya dengan makna lain atau sengaja atau tidak sengaja
menyamakan dengan manusia itu yang salah. Tetapi meskipun sebutannya sama dalam
soal nama , duduk, mendengan, melihat, berjalan atau lari, ketawa, marah. Akan
menjadi berbeda ketika diarahkan kepada Allah yang berkekalan.
Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:
الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ،
وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.
“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah),
dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah
Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan
Al-Albani)
Kata “kursi” dalam hadits ini jelas bukan
kursi dalam pengertian kita, kalau kemudian dita’wil sesuai dengan keinginan
kita juga salah, karena kursi yang dimaksud adalah berdasarkan keinginan
Firman, hingga kata kata kursi bukan bermakna “tempat duduk yang layak menjadi
tempat duduk manusia”, Apa yang dapat ditarik dari kata “kursi” hanya bisa
dikembalikan kepada “Allah” itu sendiri. Meskipun “kursi” itu adalah benda,
tentu bukanlah benda yang sering dibuat tukang kayu atu pabrik kursi. Kursi
dalam makna Allah atau Islam, adalah kursi tempat “ Allah kaki Allah bertahta
diatas arasy-Nya – Singgasa-Nya.
Dalam pikiran yang “increase”
terbayanglah sebagaimana Mu’tazilah, syiah atau kelompok asy’ariyah, bahwa
Allah tidak pantas duduk, tidak layak bagi Allah memiliki sifat duduk, karena
sifat duduk berlaku kepada makhluqnya saja. Juga tuduhan sebagai kesimpulan
yang salah. Karena dalam menarik kesimpulan “duduk” beberapa kelompok Islam
itu, membayangkan duduknya Allah sama dengan manusia.
Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin
Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ
مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya
tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad,
Al-Ghazali). Jadi tidak ada larangan mengatakan “Allah duduk, semayam” selama
memang ada ayatnya atau haditsnya. Karena apapun yang dikatakan manusia itu
hanya sebatas pencernaan bahasa, bukan hakikatnya pengertian yang di pas buat
Allah. Apalagi berkaitan dengan soal “Kaifiyat “ , jelas umat Islam tidak
memiliki hak bertanya tentang tata caranya.
Dari sisi bahasa kata “Istiwa” memiliki
makna sebagai berikut :
‘ala (tinggi)
Irtafa’a (terangkat)
Sho’uda (naik)
Istaqarra (menetap)
Semua pengertian itu benar, tinggal soal
keimanan kita kepada Allah, meyakini sifat sifatnya sesuai dengan Ayat ayatnya
yang tertera dalam Quran dan hadits. Kesimpulannya Allah punya tempat
tinggal yang hanya bisa dita’wilkan menurut Allah itu sendiri.
Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam
di Atas Arasy?
Alhamdulillah wa syukru lillahi, laa
haula wa laa quwwata illa billah. Was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah
Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihil kiram ajma’in. Amma ba’du.
Salah satu sumber penulisan dalam blog
ini ialah pertanyaan-pertanyaan pembaca dalam forum diskusi. Kadang suatu
pertanyaan tidak cukup dijawab di forum diskusi, sehingga perlu diberikan
jawaban yang lebih luas dalam wujud artikel tersendiri. Walhamdulillah.
Pertanyaan sebagian pembaca tentang
tuduhan adanya kesamaan antara konsep Tauhid dengan teologi Trinitas Kristiani,
alhamdulillah sudah ditulis (tetapi belum dipublikasikan). Dan kini ada lagi
pertanyaan dari pembaca tentang “tempat tinggal” Allah Ta’ala.
Isi lengkap pertanyaan dari saudara @
Awam (setelah di-edit seperlunya) adalah sebagai berikut:
“Saya mau tanya kepada Mas Abisyakir dan
@ Ahmad (salah seorang pembaca yang berkomentar dalam artikel “Allah Ta’ala Ada
di Langit”). Kalau memang Allah ada (bersemayam) di langit atau di atas Arasy,
lalu dimanakah Allah tinggal sebelum Arasy dan langit diciptakan oleh
Allah? Apa mungkin Allah berpindah tempat? Sedangkan yang saya tahu, itu sangat
mustahil! Tolong beri penjelasan yang masuk akal!”
Si penanya merasa ragu (atau tidak
yakin), bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit, seperti yang disebutkan dalam
ayat-ayat Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai alasan dari keraguan itu, dia
melontarkan pertanyaan seputar “dimana Allah tinggal” sebelum Dia menciptakan langit
dan Arasy.
Dengan memohon karunia Allah, ilmu, dan
petunjuk-Nya, mari kita kaji persoalan ini lebih jauh.
“Keruwetan
Akal Membawa Keruwetan Jiwa”.
PERTAMA, dalil yang menyatakan bahwa
Allah itu ada di atas Arasy setidaknya ada 7 ayat dalam Al Qur’an yang secara
qath-i menjelaskan hal itu. Ia adalah: Surat Al A’raaf ayat 54, Yunus ayat 3,
Ar Ra’du ayat 2, Thaha ayat 5, Al Furqan ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al
Hadid ayat 4. Bahkan dalam Surat Al Baqarah ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa
ilas sama’i fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju ke langit,
lalu Dia ciptakan 7 tingkat langit). Sebagai orang Muslim, sebelum kita
berpikir masuk akal atau tidak, semestinya harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau
tidak demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita.
Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah
demikian, sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.
KEDUA, dalam ajaran Islam banyak perkara
yang bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu (misalnya peristiwa-peristiwa di
masa lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa karena ruang (misalnya letaknya
sangat jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan normal).
Ghaib juga bisa karena wujudnya (misalnya ada makhluk halus yang tak tampak,
padahal mereka ada dan eksis, seperti jin, Malaikat, ruh, dll.).
Di antara perkara ghaib itu ada yang
Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan. Contoh, hanya sebagian saja
dari ribuan Nabi dan Rasul yang disebutkan kisahnya dalam Kitabullah dan
Sunnah. Terhadap berita-berita yang Allah ceritakan, ya kita imani; adapun yang
tidak Dia ceritakan, kita menahan diri untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar
tidak menjadi sesat karenanya. Na’udzubillah min dzalik.
Informasi atau ilmu tentang dimana posisi
Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan langit dan Arasy, adalah termasuk
hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalau terhadap
kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan dalam Al Qur’an, kita mau
menahan diri untuk tidak mengorek-ngorek kisah seperti itu; lalu bagaimana
mungkin kita akan mempertanyakan posisi Allah sebelum Dia menciptakan langit
dan Arasy? Apa perlunya? Kalau misalnya kita sudah tahu, apakah itu bisa
meningkatkan keimanan, atau membuat akal justru semakin liberal dengan
fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya?
KETIGA, dalam Al Qur’an atau Sunnah
dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas Arasy. Arasy itu ada di atas
langit yang ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam di atas Arasy, hal itu
merupakan perkara ghaib. Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana “duduk”,
“berdiri”, “menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang semua itu tak
dijelaskan oleh-Nya dan oleh Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi Wasallam.
Termasuk pertanyaan, apakah Arasy itu berupa ruang, udara kosong, dimensi
nihil, atau apapun? Semua itu tidak usah dipikirkan dan ditanyakan. Dengan
sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas Arasy tak usah ditanyakan, maka
bagaimana keadaan Allah sebelum menciptakan Arasy, lebih tak perlu ditanyakan
lagi.
KEEMPAT, munculnya pertanyaan, dimana
Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy, hal ini lahir karena kesalahan
berpikir sangat fatal, yaitu sejak awal sudah mempersepsikan Allah seperti
makhluk. Misalnya, suatu saat kita melihat seekor burung hinggap di pohon depan
rumah. Maka pikiran logis kita akan segera bergerak: “Dari mana nih burung? Kok
pagi-pagi sudah nongol di depan rumah?” Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir
seperti itu, karena makhluk terikat oleh hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku
atasnya. Dalam masalah makhluk kita selalu berpikir “darimana ini”, “akan kemana”,
“nanti menjadi apa”, “prosesnya bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia
terbebas dari semua ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya.
Kalau manusia memanjat, dia akan menjadi
tinggi; kalau terjun ke bawah, akan menjadi rendah; kalau berlari akan menjadi
cepat; kalau diam diri, dia tak bergerak; kalau kehujanan akan merasa dingin;
kalau tertimpa terik sinar matahari, akan kepanasan. Manusia atau makhluk
terikat hukum-hukum demikian. Tetapi Allah Ta’ala tidak terikat semua itu. Dia
bisa berbuat apapun yang Dia inginkan, sehingga ada ayat Al Qur’an yang
berbunyi: “Idza arada syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (kalau Dia
menginginkan sesuatu, tinggal mengatakan “kun” maka jadilah apa yang Dia
inginkan itu).
Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah
bagian dari kehendak-Nya. Dia ingin apapun dan bagaimanapun, itu hak Dia
sebagai Pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai manusia tak punya hak
mencampuri urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya, sebelum menciptakan langit dan
Arasy, Allah berkehendak demikian dan demikian, maka semua itu hak-Nya belaka.
Kita tak bisa menolak atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh
dimensi-dimensi, maka Allah tak terikat apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus
Shamad” (Allah, bergantung kepada-Nya semua makhluk).
KELIMA, dalam sebuah riwayat disebutkan,
bahwa ada kalanya dalam diri manusia timbul pikiran-pikiran aneh karena bisikan
syaitan. Misalnya dia berpikir, bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah.
Lalu siapa yang menciptakan Allah? Nabi menasehatkan, kalau ada bisikan-bisikan
seperti itu, seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi Rusulihi”
(aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.
Dzat Allah sangat berbeda dengan
makhluk-Nya. Allah menciptakan, tetapi tidak membutuhkan diciptakan. Allah
adalah Awal, tetapi tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan. Dia adalah Akhir,
tetapi tanpa diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan siang dan malam, gelap dan
terang, panas dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita tidak perlu bertanya,
“Siapa yang menciptakan Allah?” Sebab logika demikian hanya berlaku bagi
makhluk-Nya. Allah Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa tanpa diberi kekuasaan,
Dia mencipta tanpa pernah terciptakan. Dia bisa membolak-balikkan
dimensi-dimensi tanpa berkurang sedikit pun Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia
Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi dari-Nya, Dia bisa turun tanpa menjadi lebih
rendah. Allah tidak terikat sifat-sifat makhluk-Nya.
Kalau manusia mencari hal-hal di luar
semua itu, ingin menerobos hakikat-hakikat seputar Sifat Rubibiyyah Allah; demi
memuaskan hawa nafsu akalnya, jelas dia akan binasa. Na’udzubillah min dzalik.
Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh hukum-hukum yang berlaku di alam semesta
(universe). Sedangkan Allah bebas dari semua hukum-hukum itu. Sekali-kali,
jangan memahami Allah dengan ukuran-ukuran makhluk-Nya.
KEENAM, ada logika yang diyakini
sebagian orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana Dia sebelum Arasy itu
diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu “tempat”, kemudian pindah ke
atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah berpindah-pindah? Sungguh mustahil.” Logika
demikian kan sangat kelihatan kalau si penanya berpikir dalam dimensi makhluk.
Dia ingin memahami Allah dengan persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau
mengambil “posisi” dimanapun, itu hak Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki
diri-Nya di atas Arasy, tidak ada masalah bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang
Allah, di atas Keghaiban-Nya, Dia ingin memudahkan manusia memahami keghaiban
itu, maka Dia berkehendak istiwa’ di atas Arasy. Dengan demikian, manusia
mendapati satu kemudahan ketika ditanya “aina Allah” (dimana Allah). Maka kita
bisa menjawab secara pasti: Fis sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas
Arasy).
Mungkinkah Allah berpindah-pindah dari
satu posisi ke posisi lain? Mula-mula, Anda harus bebaskan Dzat Allah dari
ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk dibatasi oleh
dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu. Kemudian, ingat selalu
bahwa Allah memiliki Sifat Iradah (Maha Berkehendak). Kalau Allah
berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada satu pun yang mampu menghalangi-Nya.
Seperti sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Allahumma
laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’thiya li maa mana’ta” (ya Allah, tidak
ada yang sanggup menolak apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa
menerima apa yang Engkau tolak).
Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan
yang lemah, otak-otak yang bodoh, dan hawa nafsu yang meluap-luap ini, hendak
menolak Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak terhadap sesuatu. Itulah
bahayanya, cara-cara Takwil itu nantinya kerap kali menjadi jalan untuk
mengingkari Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau
Zindiqah (atheis). Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik.
KETUJUH, para ulama sering mengatakan “tafakkaruu
fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi dzatillah” (silakan berpikir tentang ciptaan
Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat-Nya). Ungkapan seperti ini tidak
mengada-ada. Bukannya manusia tak boleh berpikir tentang Allah, tetapi otaknya
tak akan bisa memahami Dzat Allah dengan segala Sifat-Nya. Dalam Surat Al
A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah meminta ingin melihat Dzat Allah.
Kemudian Allah berkata kepada Musa, “Lan taraniy” (engkau tak akan sanggup
melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan diri-Nya kepada gunung, seketika itu
gunung tersebut hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah. Melihat
gunung hancur, Musa langsung pingsan. Hal ini merupakan batas demarkasi sifat
kebebasan manusia dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia
tak boleh melebihi ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak
menjadi binasa. Nas’alullah al ‘afiyah.
Singkat kata, dimana kedudukan Allah
sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama
ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak
dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak
akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita
bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat,
harus masuk syurga dulu).
Dalam pertanyaan seperti ini tak ada
penjelasan yang bisa memuaskan akal secara sempurna, kecuali akal orang-orang
beriman yang rela mengimani Kitabullah dan As Sunnah; serta tidak menjadikan
otak-nya sebagai hukum dan agama, dalam kehidupan ini.
Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat
barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Wallahu a’lam bisshawab.[Abahnya Syakir].
Dimana Allah??? (Bantahan terhadap pemahaman
yg mengatakan Allah dimana-mana atau Allah ADA NAMUN TAK BERTEMPAT & TAK
BERARAH)
Pada kesempatan kali ini, kami angkat
sebuah topik permasalahan yang klasik dan kontemporer, yaitu mengenal “Dimana
Allah?”, Karena di sana banyak kita dapati di antara masyarakat yang menyimpang
dalam aqidah (keyakinan) yang agung,
prinsip Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan para shahabat
-Ridhwanullah ‘alaihim ‘ajmain-, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik.
Kita mendapati di antara kaum muslimin di zaman ini, bermacam-macam
keyakinannya atas pertanyaan “Dimana Allah?”. Di antaranya ada yang
berkeyakinan bahwa:
1. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di hati,
2. bahwa Allah itu berada dimana-mana,
3. bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher,
4. bahwa Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bersatu dengan hamba-Nya,
5. Lebih parah lagi, ada juga yang berkeyakinan bahwa, Allah itu tidak di
kanan, tidak di kiri, tidak diatas, tidak di bawah, tidak di depan, dan tidak
pula di belakang.
Sungguh ini adalah pernyataan yang sangat lucu. Lantas dimana Allah?! Padahal
kalau kita mau mengikuti fitrah kita yang suci, sebagaimana fitrahnya anak yang
masih kecil, pemikiran mereka yang masih polos, seperti putihnya kertas yang
belum ternodai dengan tinta. Kita akan dapati jawaban dari lisan-lisan kecil
mereka, jikalau mereka ditanya, “Dimana Allah?” Mereka akan menjawab, “Allah
-Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit.”
Allåh Berada diatas langit dan Bersemayam diatas ‘Arsy:
Hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Salami menceritakan
ketika beliau hendak membebaskan (Jariah) hamba perempuannya, maka beliau
bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. kemudian beliau (Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyuruh agar hamba tersebut dipanggil lalu beliau
bersabda:
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ
مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا
مُؤْمِنَةٌ
Di manakah Allah? dia menjawab: Di Langit beliau bertanya lagi : Siapa aku?
Jawab Jariah: Kamu Rasulullah. Lalu beliau berkata: merdekakan dia karena dia
adalah Mukminah.
Takhrij hadits
- Muslim bin Hajjaj dalam Sahih Muslim, no: 537.
- Malik bin Anas dalam al-Muwattha’, no: 1468.
- Abu Daud al-Tayalisi dalam al-Musnad, no: 1105.
- Muhammad bin Idris as-Syafi’i dalam al-Umm, no: 242.
- ‘Abd al-Razzaq dalam al-Musannaf, no: 16851.
- Ibn Abi Syaibah dalam al-Musannaf, no 30333.
- Ahmad bin Hanbal dalam al-Musannaf, no: 7906, 23762, 23765 & 23767.
- Abu Daud al-Sajastani dalam Sunan Abu Daud, no: 930 & 3282.
- Ibn Qutaibah dalam Ta’wil Mukhtalaf al-hadits, no: 272.
- ‘Utsman bin Sa’id al-Darimi dalam al-Rad ‘ala al-Jahmiyyah, no: 62.
- al-Harith bin Abi Usamah dalam al-Musnad, no: 015.
-’Amr bin Abi ‘Ashim al-Shaibani dalam al-Sunnah Li Ibn Abi ‘Ashim, no: 489.
- an-Nasai dalam Sunan al-Nasai, no: 1142, 7708, 8535 & 11401.
- Ibn Jarud dalam al-Muntaqa, no: 212.
- Ibn Khuzaimah dalam Kitab al-Tauhid wa Itsbat Sifat al-Rabb ‘Azza wa Jalla,
no: 178, 179, 180, 181 & 182.
- Abi ‘Uwanah dalam al-Musnad, no: 1727 & 1728.
- Abu al-Husain ‘Abd al-Baqi’ dalam al-Mu’jam al-Sahabah, 735.
- Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, no: 165 & 2247.
- al-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, no: 937 & 938.
- Muhammad bin Ishaq bin Manduh dalam al-Iman, no: 091.
- al-Lalaka’I dalam Syarah Usul I’tiqad Ahl al-Sunnah, no: 652.
- Abu Nu’aim al-Asbahani dalam al-Musnad al-Mustakhraj ‘ala Sahih Imam Muslim,
no: 1183.
- Ibn Hazm dalam al-Muhalla, no: 1664.
- al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, no: 15266, 15268, 19984 & 19985.
- ‘Abd Allah bin Muhammad bin ‘Ali al-Harawi dalam al-’Arba’in fi Dalail
al-Tauhid, no: 011.
Derajat Hadits
Hadits di atas adalah SAHIH. Imam Muslim telah memasukkan hadits ini kedalam
kitab Sahihnya pada kitab ( المساجد
والمواضع الصلاة ) dalam bab (تحريم
الكلام في الصلاة ونسخ ما كَان مِن إباحتِه ).
Bahkan sangat masyhur karena banyaknya yang meriwayatkan hadits ini, seperti
yang kita lihat pada takhrij di atas. Ada sebahagian golongan yang sangat anti
kepada dakwah ahlus-sunnah as-salafiyyah, yang bahkan mengatas namakan diri
mereka ahlus sunnah, dan memang ‘kelihatannya’ berhujah berlandaskan al-Quran
dan Sunnah, tapi jika kita hadapkan dengan kasus ini, terbuktilah apa-apa yang
mereka bawa (dalil-dalil) itu hanyalah untuk mereka sesuaikan menurut akal dan
hawa nafsu mereka semata, karena mereka ingkar aqidah para salaf bahwa Allah di
atas ‘Arasy.
Orang-orang yang mempertahankan aqidah “Allåh wujud bi la makan” (yang artinya
“Allåh ada, tidak bertempat”; tidak di atas, tidak dibawah, tidak di depan,
tidak di belakang, tidak di dalam dan tidak di luar”), telah ingkar dengan
hadits di atas, bahkan sampai menjatuhkan derajatnya kepada dha’if semata-mata
ingin membenarkan hujjah mereka. Kemudian mereka mencerca ulama hadits yang
tidak bersalah dengan tuduhan yang tidak berasas.
Adapun para Salafush Sholeh, mereka tidak pernah pun mentakwil ataupun menukar
(tahrif) makna hadits ini. hadits ini juga menunjukkan, bahwa tidak salah jika
kita berkata “Allah itu di atas langit” karena memang Allah itu di atas langit,
karena Allåh berada diatas ‘Arasy dan ‘Arasy itu sendiri berada di atas langit.
Aqidah ini telah dijelaskan dalam Kitabullah, As-Sunnah, ijma’, dan komentar
para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam kitab-kitab mereka. Mereka sudah
patenkan (tetapkan) bahwa barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia adalah ahli
bid’ah, dan menyimpang.
Dalil-dalil lain dari Al-qur’an dan As-sunnah ash-shåhihah
Dalil-dalil masalah ini sangatlah banyak dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Berikut
ini kami akan sebutkan -insya’ Allah- beberapa di antaranya saja, dan
sebenarnya tidak terbatas.
>Dalil-dalil dari al-qur’an
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Tuhan yang Maha Pemurah beristiwa di atas ‘Arasy. [QS. Taha: 5]
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Al A’raf: 54)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan.”
(QS. Yunus: 3)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَوَاتِ بِغَيْرِ
عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Ar Ra’d: 2)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا
بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy.” (QS. Al-Furqon: 59)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy.” (QS. As-Sajadah: 4)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ
الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا
طَائِعِينَ
Kemudian Dia beristiwa ke arah langit dan langit itu masih merupakan asap. [QS.
Fushsilat: 11]
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِ
Allah, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas ‘Arasy. [QS al-Sajdah:
4]
Berkata Ibn Kathir Rahimahullah:
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما
يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد،
والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما
وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. …
“Dan adapun FirmanNya Ta’ala: (ثم استوى على
العرش) maka bagi manusia pada masalah ini pendapat yang banyak dan
bukanlah di sini tempat membahasnya dan sesungguhnya hendaklah diikuti dalam
masalah ini madzhab As-Salaf Ash-Shålih: Malik, Auza’i, As-Tsaury, Al-Laith bin
Saad, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, dan selainnya daripada
imam-imam muslimin dahulu dan sekarang yaitu menjalankan dan memahaminya
sebagaimana datangnya tanpa takyif (memberi rupa), dan tidak pula tsaybih
(penyerupaan), dan tidak pula ta’thil (membatalkan sifat)….” –Tafsir
al-’Adzhim.
>Dalil-dalil dari Hadits
Ibn ‘Abd al-Barr menjelaskan tentang hadits ini:
وأما قوله في هذا الحديث للجارية: أين الله ؟
فعلى ذلك جماعة أهل السنة وهم أهل الحديث، ورواته المتفقهون فيه، وسائر نقلة، كلهم
يقول ما قال الله تعالى في كتابه: ((الرحمن على العرش الستوى)) وأن الله عز وجل في
السماء وعلمه في كل مكان.
“Dan adapun hadits jariah: Di manakah Allah? Maka menjadi pegangan atasnya oleh
jama’ah ahli sunnah dan mereka-mereka juga adalah ahli hadits dan seluruh
perawi yang memahaminya, mereka semua berkata sebagaimana firman Allah dalam
kitabnya: “al-Rahman Bersemayam di atas ‘Arsy.” Dan bahwa sesungguhnya Allah
‘Azza wa Jalla di langit dan Ilmu-Nya pada setiap tempat. [Al-Istizkar:
al-Jamii' li mazhab Fuqaha al-Ansor wa 'Ulama al-Aqtar]
Al-Hafizh Al-Baihaqy-rahimahullah- berkata dalam Al-I’tiqod (1/114), “Ayat-ayat
itu merupakan dalil yang membatalkan pendapat orang Jahmiyyah yang menyatakan
bahwa Dzat Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada dimana-mana.”
Dalil-dalil dalam permasalahan ini banyak sekali, jika kita ingin memeriksa
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar para salaf. Oleh karena itu, Ibnu Abil Izz
Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata dalam Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (288),
“Dalil-dalil yang semisal dengannya,kalau seandainnya dihitung satu-persatu,
maka akan mencapai ribuan dalil”
Dalil-dalil lain dari as-sunnah
Sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لمَاَّ خَلَقَ اَللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ
كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
“Ketika Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menciptakan makhluk-Nya, Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- menuliskan di dalam kitab-NYa (Lauh Mahfudz) yang ada di sisi-Nya
diatas Arsy (singgasana) ‘Sesungguhnya rahmat Allah mendahului kemurkaan-Nya.”
[HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3022, 6969, dan 6986), dan Muslim dalam
Shohih-nya (2751)]
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَلاَ تَأْمَنُوْنَنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ
فِيْ السَّمَاءِ يَأْتِيْنِيْ خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian percaya kepadaku? Sementara aku dalam keadaan beriman kepada
Yang dilangit. Datang kepadaku berita dari langit di waktu pagi hari dan
petang….” [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (4094), Muslim dalam Shohih-nya
(1064)]
Al-Qurthuby -rahimahullah- dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (7/219) berkata,
“Tidak ada seorang salaf pun yang mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas
Arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan karena ia merupakan makhluk Allah yang
terbesar. Para salaf tidak (berusaha) mengetahui cara (kaifiyyah) Allah
bersemayam, karena sifat bersemayam itu tidak bisa diketahui hakekatnya. Imam
Malik -rahimahullah- berkata : [‘Sifat bersemayam itu diketahui maknanya secara
bahasa, tidak boleh ditanyakan cara Allah bersemayam, dan pertanyaan tentang
cara Allah bersemayam merupakan bid’ah dan ajaran baru.”
Jadi, madzhab Ahlis Sunnah menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy,
namun ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Adapun aqidah yang menyatakan bahwa
Allah berada dimana-mana, bukanlah merupakan aqidah Ahlis Sunnah, akan tetapi
merupakan aqidah ahli bid’ah yang batil berdasarkan ayat-ayat yang menyebutkan
bahwa Allah di atas Arsy beserta keterangan Ulama Ahlis Sunnah yang telah kami
sebutkan, dan berikut tambahan keterangan dalam masalah ini:
Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid
(7/129), “Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla
berada di atas Arsy, di atas langit ketujuh sebagaimana yang ditegaskan oleh
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Itu juga merupakan hujjah mereka terhadap orang-orang
Mu’tazilah yang berkata: “[Allah berada di mana-mana, bukan di atas
Arsy]”.Dalil yang mendukung kebenaran madzhab Ahlul Haq/Ahlis Sunnah dalam hal
ini adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Ar-Rahman bersemayam di atas Arsy” dan
firman-Nya Azza wa Jalla: “ Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy…”.
Imam Al-Qurthuby-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an
(4/162): “Jahmiyyah terbagi menjadi 12 kelompok … (di antaranya) Al-Multaziqoh,
mereka menganggap bahwa Allah berada di mana-mana …”.
Shodaqoh-rahimahullah- berkata, “Saya mendengar At-Taimy berkata, “Andaikan aku
ditanya: Dimana Allah Tabaraka wa Ta’ala?, niscaya aku akan jawab: Dia di
langit.” [Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/671)]
Pernyataan Imam yang Empat Mengenai Sifat-sifat Allåh
1. IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak patut bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu
tentang Dzat Allah kecuali kepada diriNya, dan tidak boleh seseorang mengatakan
sesuatu tentang Allah dengan pendapat (ra’yu)nya. Maha Suci serta Maha Tinggi
Allah Ta’ala, Rabb semesta Alam.” (Syarhul Aqidah at-Tahawiyah (2/472), tahqiq
Dr. At-Turky, Jalaulm’Ainain, hal. 368)
Ketika Imam Abu Hanifah ditanya tentang nuzulul Ilah (turunnya Allah), ia
menjawab: “Ia turun dengan tidak kita menanyakan bagaimana (kaifiatnya)
caranya.” (Aqidatus salaf Ashabil hadits, hal. 42, al-Asma’ Was Sifat oleh
al-Baihaqi, hal. 456)
Imam Abu Hanifah berkata lagi: Barangsiapa yang berkata: “Aku tidak tahu
Rabbku, di langit atau di bumi?” berarti ia kafir. Begitu juga seseorang
menjadi kafir apabila mengatakan bahwa Allah itu di atas ‘Arasy, tetapi aku
tidak tahu adakah ‘Arasy itu di langit atau di bumi. (al-Fiqhul Absath, hal.
46)
Imam Abu Hanifah berkata kepada seseorang wanita yang bertanya: “Dimanakah
Ilahmu yang engkau sembah itu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Allah itu ada di
langit bukan di bumi.”
Lalu datanglah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dengan ayat: وهو
معكم اين ما كنتم? “Dia bersama kamu dimana
kamu berada.” (QS. al-Hadid: 4).
Imam Abu Hanifah menjawab: “Dia seperti engkau menulis surat kepada seorang
lelaki dengan mengatakan, sesungguhnya aku selalu bersamamu, padahal engkau
tidak ada di sampingnya.” –al-Asma’ was Sifat, hal. 4292.
2.IMAM MALIK BIN ANAS
Abu Nu’aim mentakhrijkan dari Ja’far bin Abdillah berkata: “Ketika kami sedang
berada di samping Malik bin Anas, datanglah seorang pemuda lalu bertanya:
“Wahai Abu Abdillah, Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih) bersemayam di atas
‘Arasy bagaimana bersemayamNya?” Mendengar pertanyaan ini, Imam Malik menjadi
berang dan marah. Lalu ia menundukkan muka ke bumi seraya menyandarkannya ke
tongkat yang dipegangnya hingga tubuhnya bersimbah keringat. Setelah ia
mengangkat kepalanya, ia lantas berkata:
“Cara bersemayam-Nya tidak diketahui (tidak dapat digambarkan), sedang
istiwa-Nya (bersemayamnya) telah jelas dan diketahui (maknanya), beriman
kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentang (bagaimana)nya adalah bid’ah.
(Dan) Aku menyangka engkau adalah pelaku bid’ah.” Lalu beliau menyuruh orang
itu keluar.
(Hilyatul Aulia’ (VI/325-326), Ibn Abdil Barr dalam at-Tauhid (VI/151),
Al-Baihaqi dalam al-Asma’ Was Sifat, hal. 498, Ibn Hajar dalam Fathul Bari
(XIII/406-407), Az-Zahabi dalam al-Uluw, hal. 103)
3. IMAM MUHAMMAD BIN IDRIS AS-SYAFI’I
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Taala memiliki asma’
(nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya dan diberitakan
oleh NabiNya Shalallahu ‘alaihi wassalam. kepada umatnya, yang tidak boleh
diingkari oleh sesiapa pun dari makhluk Allah Subhanallahu wa Ta’ala. yang
telah sampai kepadanya dalil bahwa al-Quran turun membawa keterangan tentang
hal tersebut, juga sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. yang diriwayatkan
oleh perawi yang adil dan tsiqah telah jelas-jelas sahih yang menerangkan
masalah itu.
Maka barangsiapa mengingkari atau berbeda dengan semuanya itu padahal hujah
(dalil/ keterangan) tersebut telah jelas baginya, berarti ia telah kafir kepada
Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Adapun jika ia menentang karena belum mendapat
hujah/ keterangan tersebut, maka ia diampuni karena kebodohannya, karena
pengetahuan tentang semuanya itu (sifat-sifat Allah dan asma’Nya) tidak dapat
dijangkau oleh akal dan pemikiran.Yang termasuk ke dalam keterangan-keterangan
seperti itu adalah juga keterangan-keterangan Allah Subhanallahu wa Ta’ala:
(1) bahwa Dia Maha Mendengar dan bahwa Allah itu memiliki tangan sesuai dengan
firmanNya: “Bahkan Tangan Allah itu terbuka.” (QS. al-Maidah: 64). Dan bahwa
Allah memiliki tangan kanan, sebagaimana dinyatakan: “…Dan langit digulung
dengan tangan kananNya.” (QS. az-Zumar: 67)
(2) dan bahwa Allah itu memiliki Wajah, berdasarkan firmanNya yang menetapkan:
“Dan tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa, kecuali Wajah Allah…” (QS. Al-Qasas:
88), “Dan kekallah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemulian.” (QS.
Ar-Rahman: 27).
(3) Juga bahwa Allah mempunyai Telapak Kaki (Qådamur Råhman), sesuai dengan
pernyataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: Nabi bersabda, “Setiap kali
Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan,
“Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak
kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di
atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia
(Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no:
2848)
(4) dan Allah tertawa berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam,
tentang orang yang mati fi sabilillah: “Ia akan bertemu dengan Allah Azza wa
Jalla sedang Allah tertawa kepadanya….” (Riwayat Bukhari, no: 2826 dan Muslim,
no:1890).
(5) Dan bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap malam berdasarkan hadits
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
(6) Begitu juga keterangan bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala itu tidak buta
sebelah mataNya berdasarkan pernyataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. ketika
beliau menyebut dajjal, beliau bersabda: “Dajjal itu buta sebelah matanya, dan
sesungguhnya Rabbmu tidaklah buta (sebelah mataNya).” (Riwayat Bukhari, no:
7231 dan Muslim, no: 2933)
(7) Dan bahwa orang-orang mukmin pasti akan melihat Rabb mereka pada hari
kiamat dengan pandangan mata mereka seperti halnya mereka melihat bulan di
malam purnama.
(8) juga bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala. mempunyai jari-jemari seperti
ditetapkan oleh sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Tidaklah ada satu jari
pun melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman Azza wa
Jalla.” (Riwayat Ahmad IV/182, Ibnu Majah I/72, Hakim I/525 dan Ibn Mandah
hal.87. Imam Hakim mensahihkannya dipersetujui oleh az-Zahabi dalam at-Talkhis)
Semua sifat-sifat ini yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
sendiri bagi diriNya dan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam untukNya,
(dan) hakikatnya tidaklah dapat dijangkau oleh akal atau pikiran dan orang yang
mengingkarinya karena bodoh (tidak mengetahui keterangan-keterangan tentangnya)
tidaklah kafir kecuali jika ia mengetahuinya tetapi ia mengingkarinya, barulah
ia kafir.
Dan bilamana yang datang tersebut merupakan berita yang kedudukannya dalam
pemahaman seperti sesuatu yang disaksikan dalam apa yang didengar, maka wajib
baginya sebagai orang yang mendengar berita tersebut untuk mengimani dan tunduk
kepada hakikat hal tersebut dan mempersaksikan atasnya seperti halnya ia
melihat dan mendengar dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Namun kita tetapkan sifat-sifat ini dengan menafikan (meniadakan) tasybih
sebagaimana Allah telah menafikannya dari diriNya dalam firmanNya: “Tidak ada
sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. As-Syura: 11).
(Dinukil dari I’tiqadul Aimmatil Arba’ah oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman
al-Khumais)
4. IMAM AHMAD BIN HANBAL
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyebut kata-kata Imam Hanbal:
“Kita beriman kepada Allah itu di atas ‘Arasy sesuai dengan kehendaknya tanpa
dibatasi dan tanpa disifati dengan sifat yang kepadanya seseorang yang berusaha
mensifatinya telah sampai atau dengan batas yang kepadanya seseorang yang
membatasinya telah sampai. Sifat-sifat Allah itu (datang) dariNya dan milikNya.
Ia mempunyai sifat seperti yang Ia sifatkan untuk diriNya, yang tidak dapat
dijangkau oleh pandangan.” [Ta’arudh al-‘Aqli wa al-Naqli (II/30)]
Ibnul Jauzi dalam al-Manaqib menyebutkan tulisan (surat) Imam Ahmad bin Hanbal
kepada Musaddad yang di antara isinya ialah: “Sifatilah Allah dengan sifat yang
denganNya Ia telah mensifati diriNya dan nafikanlah dari Allah apa-apa yang Ia
nafikan dari diriNya. (Manaqib Imam Ahmad, hal. 221)
Di dalam kitab ar-Raddu ‘ala al-jahmiah tulisan Imam Ahmad, ia mengucapkan:
“Jahm bin Safwan telah menyangka bahwa orang yang mensifati Allah dengan sifat
yang dengannya Ia mensifati diriNya dalam kitabNya, atau dengan yang disebutkan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam haditsnya adalah seorang kafir
atau termasuk Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).”
[Ar-Raddu ‘ala al-Jahmiah, hal. 104]
Penutup
Demikian di atas kami nukilkan dalil-dalil dari al-qur’an dan as=sunnah sesuai
pemahaman para shåhabat, beserta pernyataan-pernyataan para Imam empat untuk
membuktikan bahwa aqidah mereka adalah sama, yakni sesuai dengan pemahaman
salafush shåleh, yang tidak melakukan penambahan maupun pengurangan. Tidak ada
takwil dengan makna tahrif, terlebih dengan menta’tilkan, yaitu menafikan
sifat. Maka, jelas aqidah yang benar dan selamat adalah mengatakan Allah
bersemayam di atas ‘Arasy sebagaimana hujah-hujah telah diberikan di atas tadi.
Inilah pandangan Salafush Shålih, inilah aqidah yang benar yang dijadikan
rujukan seluruh ulama ahlus-sunnah, terkecuali ulama-ulama muta-akhirin yang
telah mengubah atau mentakwil Istawa dengan ‘istaula’ yang bermakna ‘menguasai’
yang berasal dari golongan asya’irah dan maturidiyyah.
Adapun aqidahnya golongan asya’irah dan maturidiyyah yang sangat mati-matian
hendak menyelewengkan fakta yang ada, malah sebaliknya, dalil-dalil yang mereka
bawakan itulah yang menguburkan hujjah mereka karena ketidakjujuran mereka
dalam menukilkan tulisan ulama-ulama terdahulu.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufiq dan pemahaman yang lurus
serta agar kita termasuk dari golongan yang selamat yang berjalan diatas jalan
yang lurus dan dijauhkan dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang. aamiin....
Washolallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa
‘Ala Ahlihi wa Ashhaabihi Ajmain.