Thursday, July 31, 2014

Ibnu ‘Abbaas dan Nikah Mut’ah

Strike Straight to the point :
Telah masyhur di kalangan Ahlus-Sunnah bahwa Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat Nabi yang berpendapat ‘membolehkan’ nikah mut’ah. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah mengecamnya dengan keras atas pendapatnya itu, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ، عَنِ الْحَسَنِ، وَعَبْدِ اللَّهِ ابني محمد بن علي، عَنْ أَبِيهِمَا، أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قِيلَ لَهُ: إِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ " لَا يَرَى بِمُتْعَةِ النِّسَاءِ بَأْسًا، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, dari Al-Hasan dan ‘Abdullah – keduanya anak Muhammad bin ‘Aliy - , dari ayahnya : Bahwasannya ‘Aliyradliyallaahu ‘anhu pernah dikatakan kepadanya : ‘Sesungguhnya Ibnu ‘Abbaas berpandangan nikah mut’ah itu tidak apa-apa’. Maka ia (‘Aliy) berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai peliharaan/jinak pada hari Khaibar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6961].[1]
وحدثناه عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ، حدثنا جُوَيْرِيَةُ، عَنْ مَالِكٍ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ، وَقَالَ: سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، يَقُولُ لِفُلَانٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy : Telah menceritakan kepada kami Juwairiyah, dari Maalik dengan sanad ini[2], dan Muhammad bin ‘Aliy mendengar ‘Aliy bin Abi Thaalib berkata kepada Fulaan (yaitu Ibnu ‘Abbaas) : “Sesungguhnya kamu itu orang yang bingung. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami….dst.” semisal dengan hadits tersebut [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan pengharaman nikah mut’ah ini diberlakukan. Menurut riwayat di atas, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammengharamkannya pada waktu perang Khaibar. Namun ada riwayat lain yang menyatakan Fathul-Makkah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari Ar-Rabii’ bin Sabrah Al-Juhaniy, dari ayahnya, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah pada tahun Al-Fath” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 2242; shahih].
Saya tidak akan berpanjang lebar membahas ini[3], karena yang terpenting telah diketahui secara shahih dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pengharamannya sampai hari kiamat – sebagaimana riwayat :
حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حدثنا أَبِي، حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ: أَنَّ أَبَاهُ، حَدَّثَهُ: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا ".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Umar : Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sabrah Al-Juhaniy : Bahwasannya ayahnya telah menceritakannya : Bahwasannya ia pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ahi itu”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Lafadh pengharaman nikah mut’ah hingga hari kiamat dalam hadits di atas adalah shahih lagi mahfudh. Tahun Al-Fath dengan tahun Authaas (dimana beliaushallallaahu 'alaihi wa sallam pernah membolehkan mut'ah selama tiga hari) adalah sama, sehingga hadits di atas dapat dijamak dan tidak ada yang perlu dikontradiktifkan. Maka, tidak akan ada lagi penghalalan setelah tahun Al-Fath atauAuthas (8 H).
Kembali pada permasalahan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, dan kita akan fokus pada bahasan ini…..
Sebelumnya telah disebutkan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib mengecam Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu ‘anhum atas penghalalan nikah mut’ah. Begitu juga dengan riwayat berikut :
وحدثني حرملة بن يحيى. أخبرنا ابن وهب. أخبرني يونس. قال ابن شهاب: أخبرني عروة بن الزبير ؛ أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanyayaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406].
Ada sebagian orang Syi’ah yang biasa berlogika aneh mengambil kesimpulan atas dua hadits di atas bahwa Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tidak mau menerima hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pelarangan nikah mut’ah yang disampaikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Berikut katanya :
Bukankah ini sesuatu yang aneh. Sahabat sekelas Ibnu Abbas tidak menghiraukan larangan Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang disampaikan oleh Imam Ali. Setidaknya ada tiga kemungkinan jika kita mengkonfrontir hadis Imam Ali dan hadis tentang Ibnu Abbas di atas.
a)    Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
b)    Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah
c)    Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah
Begitu katanya……
Kita jawab :
a)    Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah benar, karena terbukti shahih. Adalah mengigau perkataan sebagian orang Syi’ah lain yang mengatakan hadits tersebut palsu saat ia merasa kebingungan dengan logika bingung yang disampaikan rekannya di atas :
Ketiga kemungkinan ini benar-benar membuat bingung.. Jadi jelas [Shahih Bukhari 7/12 no 5115 adalah  PALSU !!!. Silakan kepada para pembaca sekalian untuk memberikan masukannya dalam perkara ini.
b)    Ini sekaligus menjawab point c.
Ibnu ‘Abbaas tidak menerima perkataan yang disampaikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum itu bukanlah karena semata-mata tidak menerima hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu – bersama sebagian kecil shahabat lainnya – juga mempunyai hadits marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan ‘Aliy bin Abi Thaalib, sehingga itu masih samar baginya. Dan itu jelas sekali terlihat dalam alasan Ibnu ‘Abbaas dalam perdebatannya dengan Ibnu Zubair radliyallaahu ‘anhum : sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku nikah mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam].
Jadi penolakan Ibnu ‘Abbaas dikarenakan syubhat. Apalagi sebagian shahabat lain ada yang berpendapat sama dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum karena ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas nikah mut’ah hingga hari kiamat.
Perkara seperti ini biasa kita temukan dalam riwayat, baik para shahabat, tabi’iy, atau para ulama setelah mereka dalam perselisihan fiqhiyyah. Misalnya saja bagaimana perselisihan sebagian shahabat tentang masalah batal tidaknya shalat seseorang karena dilewati tiga hal. Perselisihan sebagian shahabat tentang sifat buang air kecilnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (apakah boleh sambil berdiri). Masalah ru’yatullah saat Mi’raj. Dan yang lainnya masih banyak. Jadi, perselisihan ini dikarenakan perbedaan hadits yang sampai kepada mereka dan/atau pemahaman terhadap hadits tersebut. Inilah kekayaan fiqh Ahlus-Sunnah yang tidak dimiliki Syi’ah. Silakan dieksplore dalam kitab-kitab fiqh yang ada. Dan silakan rekan-rekan baca bagaimana penyikapan khilaf di antara shahabat, karena shahabat itu bukanlah pribadi sempurnah yang menguasai semua riwayat lagi ma’shum. Tidak terkecuali Ibnu ‘Abbaas dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.
Namun jika mereka telah mengetahui secara clear akan keshahihan dan kandungan maknanya, akan rujuk. Tidak terkecuali dalam hal ini Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu ‘anhumaa :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Yuunus bin Yaziid bin Misykaan, seorang yang tsiqah dan disebut paling mengerti/’aalim akan hadits Az-Zuhriy. Ibnu Syihaab adalah seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, amiirul-mukminiin yang disebut sebagai para ulama khalifah paling utama setelah era Al-Khulafaaur-Raasyidiin.
Ar-Rabii’ bin Sabrah adalah seorang yang tsiqah, seorang tabi’iy pertengahan. Riwayatnya dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dihukumi muttashil karena ia sejaman. Telah disebutkan pada riwayat di atas bahwa Ar-Rabii’ meriwayatkan hadits dari ayahnya (Sabrah bin Ma’bad, seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang disebutkan wafat pada era kekhilafahan Mu’aawiyyahradliyallaahu ‘anhu. Mu’aawiyyah wafat tahun 60 H. Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa sendiri wafat pada tahun 68 H.
Kesimpulannya : Riwayat ini shahih.
Ada beberapa riwayat lain selain di atas tentang rujuknya Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu ‘anhumaa. Namun satu yang di sebutkan di sini sudahlah cukup memberikan keterangan tentang posisi Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu dalam permasalahan nikah mut’ah; yaitu : Ia memang pernah memfatwakan kebolehannya sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memperbolehkannya. Kemudian setelah mendapat kecaman dan penjelasan dari para shahabat lain, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu pun akhirnya menerima dan ruju’ karena telah nyata baginya kebenaran pengharaman nikah mut’ah, walau itu memerlukan waktu (tidak seketika).
Seandainya atsar rujuknya Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa di atas tidak pernah ada, atau dianggap palsu, tetap saja yang kita pakai adalah larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan nikah mut’ah, karena telah jelas dari lisan beliau sendiri akan larangannya hingga hari kiamat. Ditambah lagi posisi mayoritas shahabat, tabi’iin, dan ulama setelahnya yang menyepakati hal itu.
Jika orang Syi’ah telah memberikan tiga opsi (walau tidak valid), maka ijinkanlah saya juga melemparkan opsi yang tak sama yang tidak harus dipilih oleh orang Syi’ah :
1.    Jika orang Syi’ah yang gemar memakai hadits Ahlus-Sunnah membela mati-matian pensyari’atan nikah mut’ah dengan dalih pendapat Ibnu ‘Abbaas (dan sebagian shahabat lainnya), itu artinya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuharus diakui sebagai pribadi tidak ma’shum karena telah keliru dalam membawakan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pengharaman nikah mut’ah.
Konsekuensinya, maka nyata bagi kita bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu kalah ‘alim dibandingkan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam memahami salah satu cabang syari'at dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.    Atau jika ingin tetap berpegang dengan teori kema’shuman ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu, maka mulai sekarang belajarlah bicara bahwa nikah mut’ah itu diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada nukilan shahih – sependek pengetahuan saya – yang mengatakan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib membolehkan atau bahkan menganjurkan nikah mut’ah sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam referensi kitab Ahlus-Sunnah. Kecuali jika mereka (orang Syi’ah) ingin berhujjah dengan kitab hadits Syi’ah. Kalau memang demikian, saya angkat tangan.
3.    Atau taruhlah riwayat ‘Aliy yang shahih ini dianggap lemah, palsu, atau bahkan tidak ada sama sekali…. Kira-kira apa sikap yang seharusnya ada pada diri ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam nikah mut’ah ?. Menyelisihi atau menyepakati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.
4.    Atau …… riwayat pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam nikah mut’ah hingga hari kiamat di atas juga akan dihukumi tidak shahih ?. Kalau memang begitu, berakhirlah artikel ini dengan kesimpulan : Riwayat yang bertentangan dengan kebolehan nikah mut’ah atau riwayat yang dirasa tidak menguntungkan bagi eksisnya nikah mut’ah patut untuk dilemahkan.
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya….
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.[4]
[abul-jauzaa’ – 2011].



[1]     Riwayat ini ‘mirip’ dengan riwayat bersanad shahih versi kitab Syi’ah berikut :
محمد بن يحيى عن أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن آبائه عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Muhammad bin Yahyaa, dari Abu Ja’far, dari Abul-Jauzaa’, dari Al-Husain bin ‘Ulwaan, dari ‘Amru bin Khaalid, dari Zaid bin ‘Aliy, dari ayah-ayahnya, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
[2]     Yaitu sanad yang dibawakan Muslim sebelumnya : ‘Dari Ibnu Syihaab, dari ‘Abdullah dan Al-Hasan – keduanya anak dari Muhammad bin ‘Aliy - , dari ayahnya’.
[3]      Sebagaimana telah dijelaskan para ulama. Misalnya saja Al-Imam Muslim yang membuat bab dalam kitab Shahih-nya : Bab Nikah Mut‘ah dan Penjelasan bahwa Hal Itu Mulanya Dibolehkan kemudian Dihapus kemudian Dibolehkan kemudian Dihapus lagi dan Ditetapkan Keharamannya sampai Hari Kiamat ; dimana beliau menjamak beberapa hadits shahih dalam istinbath-nya.
COMMENTS
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada orang Syi'ah yang menanggapi artikel di atas. Namun saya hanya akan fokus ke riwayat (karena judul artikel di atas mengenai hal itu) :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Dikatakan bahwa katanya saya salah dalam menterjemahkan yang bergaris tebal. Dan katanya, yang benar adalah :
Dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz.
Saya katakan : Terjemahan dhahir adalah sebagaimana yang ada dalam artikel di atas. Tidak ada yang salah sebenarnya. Adapun yang diterjemahkan orang Syi'ah itu hanyalah penafsiran saja. Seharusnya ia memakai tanda kurung atas kata yang bercetak tebal di atas, karena itu tidak ada dalam dhahir lafadh.
Perkataannya :
Jadi hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya bukan hadis Rabi’ bin Sabrah dari Ibnu Abbas karena tidak dikenal Rabi’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Ini hanyalah fallacy saja. Jelas sekali Ibnu Syihaab mengatakan : "Sami'tu Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu 'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz wa ana jaalis, annahu qaala : maa maata Ibn 'Abbaas....dst."
Jadi yang menjadi fokus riwayat ini adalah Ar-Rabii' menceritakan sesuatu kepada 'Umar bin 'Abdil-'Aziiz yang berisi keterangan tentang nikah mut'ah. Yang menjadi petunjuk adalah perkataan Ar-Rabii' : "Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)".
Kemudian dalam pembicaraan itu Ar-Rabii' bin Sabrah menceritakan pengetahuannya tentang Ibnu 'Abbaas, bahwasannya ia mati dalam keadaan rujuk dari fatwanya yang terdahulu.
Apa yang menjadi kemusykilan ?.
Ketika orang Syi'ah itu tidak menemukan jalan untuk melemahkan, ia pun berkata :
Jelas seperti yang dikatakan Ibnu Hajar kalau perkataan soal ruju’nya Ibnu Abbas adalah perkataan Ibnu Syihab Az Zuhri bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah. Riwayat Abu Awanah ini adalah satu kesatuan dengan riwayat perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair dalam Shahih Muslim sebelumnya dengan sanad dari Yunus dari Ibnu Syihab, kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri juga membawakan hadis Rabi’ bin Sabrah dan ia [Az Zuhri] memberikan komentar akhir kalau Ibnu Abbas telah menarik fatwanya. Jadi pernyataan ruju’nya Ibnu Abbas adalah pendapat Az Zuhri semata yang tidak shahih sanadnya kepada Ibnu Abbas.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ini adalah pendalilan yang tidak nyambung lagi bingung jika digunakan untuk untuk menolak riwayat Abu 'Awaanah. Tidak dipungkiri bahwa ada riwayat dari Az-Zuhriy yang mengatakan Ibnu 'Abbaas rujuk dari fatwanya.
Kalau Ibnu Hajar menisbatkan itu Mustakhraj nya Abu 'Awaanah, ya mari kita buka bersama, apa isi riwayatnya. Jelas sekali di situ Az-Zuhriy mengatakan :
"Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)”.
Apakah mungkin perkataan Az-Zuhriy : annahu qaala : maa maata.... adalah perkataan Az-Zuhriy sendiri ? Bentuk kalimat ini adalah bentuk kalimat orang ketiga. Saya gak tahu apakah orang Syi'ah mengerti tentang riwayat itu apa tidak.
Perkataan orang Syi'ah itu :
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Abbas menghalalkan mut’ah, menegaskan tentang Ayat Al Qur’an yang menghalalkan mut’ah kemudian mengkritik Umar dimana Ibnu Abbas yang menyatakan seandainya mut’ah tidak dilarang Umar maka tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka. Ditambah lagi dengan fakta bahwa beberapa sahabat dan murid Ibnu Abbas seperti Atha’ dan Sa’id bin Jubair juga menghalalkan mut’ah. Jadi kabar ruju’nya Ibnu Abbas dari fatwanya itu kabar yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Ini adalah perkataan basi.
Tidak ada yang mengingkari bahwa Ibnu 'Abbaas pernah menghalalkan nikah mut'ah. Namun perkataan Ar-Rabii' bin Sabrah menjadi satu kesaksian bahwa Ibnu 'Abbaas meninggal dalam keadaan rujuk dari fatwanya terdahulu. Adapun sebagian murid Ibnu 'Abbaas yang juga menghalalkan nikah mut'ah, maka itu tidak bisa menjadi dalil untuk menolak riwayat Ar-Rabii' bin Sabrah di atas. Apakah ada riwayat yang semisal yang menyatakan Ibnu 'Abbaas meninggal dalam keadaan masih berpegang pada fatwa penghalalan ?. Jika tidak ada, maka khabar Ar-Rabii' ini diterima sebagai satu bentuk pengamalan kaedah : Yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Kaedah ini sangat masyhur dan banyak diterapkan dalam banyak permasalahan fiqh ketika terjadi ikhtilaaf dalam riwayat.
Mungkin saja ada sedikit celah untuk melemahkannya sebagaimana perkataannya bahwa Ar-Rabii' tidak dikenal periwayatannya dari Ibnu 'Abbaas. Jadi, katanya, riwayat tersebut berasal dari ayahnya dari Ibnu 'Abbaas.
Saya katakan : Hal itu tidak masalah, karena tidak disebutkannya Ibnu 'Abbaas dalam jajaran guru Ar-Rabii' bukanlah hujjah bahwa riwayat itu munqathi'. Riwayat itu setara dengan riwayat mu'an'an. Seandainya dipenuhi persyaratan shahih, maka shahih lah dia. Dan telah saya sebutkan persyaratan keshahihan dalam artikel di atas.
Ar-Rabii' menceritakan ihwal kehidupan Ibnu 'Abbaas.
Apa yang menjadi penghalang baginya untuk tidak mengetahui kehidupan Ibnu 'Abbaas dan kematiannya ? Ia hidup sejaman dan Ibnu 'Abbaas. Dan ia pun hidup senegeri dengan Ibnu 'Abbaas di kota Madinah.
[yang menjadi penghalang sebenarnya adalah pemahaman dari orang Syi'ah itu sendiri yang mengharuskan Ibnu 'Abbaas meninggal dalam keadaan tetap berpegang pada fatwanya]
Walhasil, riwayat Abu 'Awaanah tentang rujuknya Ibnu 'Abbaas adalah shahih.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Komentar di atas mendapat lagi sanggahan lagi dari revisi artikel sebelumnya. Sebenarnya sudah jelas saya tuliskan di atas. Tapi tidak mengapa saya ulang. Ini riwayat Abu 'Awaanah :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Yang saya cetak tebal, menurut orang Syi'ah itu merupakan perkataan Ibnu Syihaab. Sehingga yang mengatakan annahu qaala itu adalah Yuunus yang taqdirnya kembali ke Ibnu Syihaab.
Ia melandaskan alasannya itu dari riwayat Muslim :
وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال ابن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبدالعزيز وأنا جالس
JUga riwayat Al-Baihaqiy :
وأخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Mana yang menjelaskan bahwa lafadh annahu qaala : maa maata....dst itu adalah perkataan Ibnu Syihaab ?

Justru dalam riwayat Abu 'Awaanah, Yunus meriwayatkan perkataan Ibnu Syihaab sebagaimana riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy di atas. Kemudian di situ ditambahkan lafadh, annahu qaala : maa maata Ibn 'Abbaas hattaa raja'a 'an hadzihil-futyaa.
Atau selengkapnya Abu 'Awaanah berkata :
Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab : Wa sami'tu Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu (dzaalika) 'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz, wa ana jaalis, annahu qaala :......
Jadi annahu qaala itu bukan terputus, tapi satu rangkaian dengan kalimat sebelumnya (yaitu dengan kalimat wa ana jaalis).

Seandainya annahu qaala itu merupakan perkataan Yuunus, maka susunan kalimatnya janggal. Sebab Abu 'Awaanah dalam kitabnya tersebut membuka dengan qaala Yuunus (karena riwayat Ibnu Syihaab itu berasal dari Yuunus). Jika kita gabungkan kalimatnya :
Qaala Yuunus : qaala Ibnu Syihaab annahu qaal
atau
Qaala Yuunus, annahu qaala ?
Dua kalimat di atas tidak benar.
Namun jika kita susun sebagaimana telah saya tulis di atas :
Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab : Wa sami'tu Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu 'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz, wa ana jaalis, annahu qaala......
Maka kalimat semacam ini dhahirnya mudah dipahami bahwa annahu qaala itu dikatakan oleh Ibnu Syihaab (bukan Yuunus) sehingga pemilik perkataan : Maa maata Ibn 'Abbaas adalah Ar-Rabii' bin Sabrah.
Sebagai catatan saja bahwa saya dalam hal ini tidak sedang dalam pengingkaran bahwa majelis Ibnu Syihaab, Ar-Rabii', dan 'Umar bin 'Abdil-'Aziiz sedang membawakan hadits yang disebut sebelumnya (hadits yang diriwayatkan Ar-Rabii' dari bapaknya).
Oleh karena itu, tidak masalah jika penerjemahannya menjadi (sebagaimana riwayat Muslim) : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii' menceritakan hal itu (hadits Ar-Rabii' dari bapaknya) kepada 'Umar bin 'Abdil-'Aziiz dan saat itu aku sedang Diterima dalam pemahaman bahasa Arab. Karena wa annahu qaala itu satu rangkaian dengan perkataan Ibnu Syihaab sebelumnya. Penjamakannya, perkataan : maa maata...dst. itu merupakan tambahan keterangan dari Ar-Rabii' sebagaimana telah saya katakan sebelumnya.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau kita paksa bahwa annahu qaala setelah wa anaa jaalis itu milik Yuunus yang ditujukan kepada Ibnu Syihaab, maaf beribu maaf, saya sampai saat ini belum bisa memahaminya.
Makanya itu, ketika orang Syi'ah menterjemahkannnya jadi banyak tanda kurungnya (kata gantinya jadi banyak untuk dua kata saja - yaitu annahu qaala) :: قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis [yaitu riwayat dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk. [Yunus berkata] Ia [Ibnu Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”.
Cermati kalimat yang saya tebali, kemudian bandingkan dengan yang versi bahasa Arabnya 
....wa ana jaalis, annahu qaala :....
Kira-kira nyambung nggak ?
Anonim mengatakan...

Pertama saya kasih contoh gampang untuk perkataanya kalau Abu Awanah dalam kitabnya membuka dengan perkataan qala Yunus. maka saya katakan kepada salafy lucu itu konsekuensinya zahir sanad hadis itu adalah “Abu Awanah berkata Yunus berkata Ibnu Syihab berkata” maka saya tanya sanad seperti itu shahih tidak?. Apakah Abu Awanah meriwayatkan dari Yunus bin Yazid?. Silakan salafy itu jawab
Dan kalau ia mau menjawab antara Abu Awanah dan Yunus itu terdapat sanad lain, sanad mana? mau pakai sanad dari hadis perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair sebelumnya. lho kok bisa? ngapain salafy itu pakai keterangan dari sanad sebelumnya. Secara zahir Abu Awanah dalam kitabnya membuka dengan perkataan qala Yunus artinya sanad tersebut mu’allaq. Antara Abu Awanah dan Yunus bin Yazid itu terputus. Nah bisa terima tidak logika yang seperti ini. Kalau ndak bisa, ya jangan kebanyakan membantah, pikir dulu baik-baik.
Kalau ia mau menanyakan mana yang benar dengan lafaz Qaala Yuunus : qaala Ibnu Syihaab annahu qaal atau Qaala Yuunus, annahu qaala ?. Maka yang benar adalah yang terakhir. lafaz ‘annahu qala adalah perkataan Yunus dan “hu” disana adalah Az Zuhri. Buktinya dapat dilihat pada riwayat Muslim dan Baihaqi, disana hadis yang dimaksud tidak dimulai dengan lafaz “qala Yunus” tetapi “qala Ibnu Syihab” dan pada kedua riwayat itu hadisnya berhenti pada kata wa ana jalis. sedangkan pada riwayat Abu Awanah, lafaz hadisnya dimulai dengan “qala Yunus” dan setelah lafaz “wa ana jalis” terdapat tambahan “annahu qala”. Maka bisa dipahami kalau lafaz annahu qala adalah milik Yunus.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Katanya, konsekuensinya adalah Abu 'Awaanah berkata : Yuunus berkata : Ibnu Syihaab berkata......
Saya katakan kepada orang yang saya anggap agak pendek pikirannya :
Tentu saja tidak seperti itu, sebagaimana orang Syi'ah di perkataan awalnya katanya 'tidak mempermasalahkannya'. Soalnya sudah sama-sama diketahui bahwasannya Abu 'Awaanah dalam kitabnya itu membawakan dari sanad hingga ke Yuunus. Begitu juga dalam riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy. Membuka yang saya maksudkan adalah dalam hal riwayat yang sedang dibahas sesuai tartib dalam Mustakhraj, karena Abu 'Awaanah membawakan beberapa riwayat dari Yuunus. Kok ujug2 bisa mu'allaq. Jadi saran saya, tidak perlu membikin masalah yang bukan masalah, yang sama-sama dan diketahui....
Jadi yang jadi titik masalah adalah sanad Yuunus dari Ibnu Syihaab tentang kesaksiannya atas riwayat Ar-Rabii'. Sekali lagi ini fokusnya.
Orang Syii'ah memberikan bukti yang gak nyambung dan tidak diterima logika. Katanya, buktinya dalam riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy dimulai dengan Qaala Ibnu Syihaab, dan berhenti pada kata : Wa ana jaalis. Jadi, katanya, perkataan annahu qaala itu milik Yuunus, dan "hu" nya itu tertuju pada Ibnu Syihaab.
Coba saya ajak para Pembaca lain mencermati logika orang Syi'ah ini. Apa masalahnya kalau dalam riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy seperti itu ?
Abu 'Awaanah dalam Mustakhraj nya 'membuka' (coba deh dipahami, capeek deh kalau ini juga jadi masalah) pada beberapa riwayatnya adalah Qaala Yuunus. Lha kok bisa orang Syi'ah itu mau mengatakan annahu qaala itu juga dikatakan oleh Yuunus yang kata gantu "hu"-nya tertuju pada Ibnu Syihaab. Tolong deh, cermati sekali lagi.
Qaala Yuunus : annahu qaala ?
Justru dalam periwayatan Abu 'Awaanah itu, annahu qaala itu satu rangkaian dengan Qaala Yuunus. Sehingga lengkapnya Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab : Wa sami'tu Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu (dzaalika) 'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz, wa ana jaalis, annahu qaala :.......
Jadi ringkasnya, annahu qaala itu tambahan perkataan Ibnu Syiihab yang diriwayatkan oleh Abu 'Awaanah melalui sanadnya sampai pada Yuunus - dimana itu tidak ada dalam riwayat Al-Baihaqiy dan Muslim
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebagai tambahan tentang tartib Abu 'Awaanah dalam Mustakhraj-nya sebagai berikut (no. 4057) :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عَمِّي(ح) وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْجُعْفِيُّ، قَالا: أنبا ابْنُ وَهْبٍ(ح) وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا أَصْبَغُ بْنُ الفَرَجِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، قَامَ بِمَكَّةَ، فَقَالَ: إِنَّ نَاسًا أَعْمَى اللَّهُ قُلُوبَهُمْ كَمَا أَعْمَى أَبْصَارَهُمْ، يُفْتُونَ بِالْمُتْعَةِ، يُعَرِّضُ بِابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى: بِرَجُلٍ، وَقَالَ غَيْرُهُ: ابْنُ عَبَّاسٍ. فَنَادَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّكَ جِلْفٌ جَافٍ، فَلَعَمْرِي لَقَدْ كَانَتِ الْمُتْعَةُ تُعْمَلُ فِي عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ، يُرِيدُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -، فَقَالَ لَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ: فَجَرِّبْ بِنَفْسِكِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ فَعَلْتَهَا لأَرْجُمَنَّكَ بِأَحْجَارِكَ.
Di atas adalah sanad asalnya. Kemudian Abu 'Awaanah membawakan riwayat lain sebagai berikut (dengan meringkas sanad, sampai pada Yuunus) :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَأَخْبَرَنِي خَالِدُ بْنُ المُهَاجِرِ بْنِ سَيْفِ اللَّهِ أَنَّهُ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَاسْتَفْتَاهُ فِي الْمُتْعَةِ، فَأَمَرَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ بِهَا. فَقَالَ لَهُ ابْنُ أَبِي عَمْرَةَ الأَنْصَارِيُّ: مَهْلا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَمَّا هِيَ وَاللَّهِ لَقَدْ فُعِلَتْ فِي عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ. قَالَ ابْنُ أَبِي عَمْرَةَ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنَّهَا كَانَتْ رُخْصَةً فِي أَوَّلِ الإِسْلامِ لِمَنِ اضْطُرَّ إِلَيْهَا، كَالْمَيْتَةِ، وَالدَّمِ، وَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ، ثُمَّ أَحْكَمَ اللَّهُ الدِّينَ، وَنَهَى عَنْهَا.
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَأَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يُفْتِي بِهَا، وَيَغْمِصُ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَهْلُ الْعِلْمِ، فَأَبَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنْ ذَلِكَ، حَتَّى طَفِقَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ يَقُولُ:
يَا صَاحِ هَلْ لَكَ فِي فُتْيَا ابْنِ عَبَّاسٍ هَلْ لَكَ فِي نَاعِمٍ خُودٍ مُبْتَلَّةٍ
تَكُونُ مَثْوَاكَ حَتَّى يَصْدِرَ النَّاسُ
قَالَ: فَازْدَادَ أَهْلُ الْعِلْمِ لَهَا قَذَرًا، وَلَهَا بُغْضًا حِينَ قِيلَ فِيهَا الأَشْعَارُ.
Sanad di atas dimulai dari : Qaala Yuunus...dst.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dan berikut adalah sanad yang dibahas (masih pada nomor yang sama) :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: أَخْبَرَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ، أَنَّ أَبَاهُ، قَالَ: كُنْتُ اسْتَمْتَعْتُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي عَامِرٍ بِبُرْدَيْنِ أَحْمَرَيْنِ، ثُمَّ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الْمُتْعَةِ.
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا.
Semuanya mulai dari Qaala Yuunus. Oleh karena itu, kata annahu qaala itu bukan berdiri sendiri, sebagaimana riwayat yang lain, tapi masih kelanjutan dari Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab.
Atau, sebagaimana dikatakan pada komentar sebelumnya, bahwa lafadh : annahu qaalaa adalah lafadh yang dibawakan oleh Abu 'Awaanah dari perkataan Ibnu Syihaab, yang tidak dibawakan oleh Muslim dan Al-Baihaqiy. Annahu qaala itu adalah perkataan Ibnu Syihaab (dan memang konteks kalimatnya seperti itu) yang dlamir "hu" nya itu kembali ke Ar-Rabii'.
Dan perlu diingat bahwa terjemahan yang lebih tepat dari annahu qaala adalah : Bahwasannya ia berkata. Dari sini saja janggal kalau itu diucapkan oleh Yuunus, apalagi dengan melihat tartib penulisan Abu 'Awaanah dalam Al-Mustakhraj di atas.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dapat khabar dari komentar yang tidak saya publikasikan bahwa artikel dan komentar di atas telah dibantah secara lengkap oleh orang Syi'ah. Maaf, dia hanya mengulang statement saja. Malah akhirnya - di tengah kebingungan dirinya untuk membantah - berani mengatakan :

.....Hilangnya lafaz “dzalik” dalam riwayat Abu Awanah bisa karena kekeliruannya atau kekeliruan dari naskah kitab Abu Awanah.
Hingga akhirnya ia memodifikasi riwayat Abu 'Awaanah agar sesuai dengan sangkaannya menjadi :
قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا.
"....telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia ruju’ dari fatwanya ini".
Itulah hasil modifikasinya.
Saya berhujjah dengan riwayat Abu 'Awaanah, sedangkan dirinya berhujjah dengan dirinya sendiri berdasarkan riwayat modifikasinya itu.
Adapun 'bukti' scan kitab pdf - yang saya juga punya - tidaklah membuktikan apa-apa kecuali hanya sangka-menyangka saja.

Nikah Mut’ah dalam Islam…

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ahdengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi.
Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah
1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbasr.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikahmut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikahmut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikahmut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)