Sunday, April 19, 2015

Cuplikan Aqidah Busuk Syiah : Pantas Syiah Menghina Para Sahabat, Allah Saja Dihina

Menurut ustadz Abu Usamah, syiah adalah aliran yang sesat dan berbahaya. Selain karena aqidahnya yang busuk dan banyak menyimpang, syi’ah pun berani menghina Allah ta’ala.
“Sangat busuk sekali Aqidah Syi’ah itu. Mereka meyakini bahwa Allah memiliki Aqidah bada’ yang berarti dan megimani bahwa Allah tidak mengetahui sedikitpun tentang sesuatu yang akan terjadi kecuali bila sudah terjadi” tegas Qari’ bersuara merdu itu.
Sedangkan Aqidah Ahlussunnah sangat bertentangan dengan Aqidah sesat itu. Ahlussunnah sangatlah yakin bahwa Allah memiliki ilmu tentang sesuatu yang belum terjadi dan apa ayng akan terjadi selanjutnya.
Aqidah Ahlussunnah sangat mengagungkan Allah, sedang syi’ah sangat keji. Pantas saja mereka tidak menghargai para sahabat bahkan melaknat orang yang menemai perjuangan Rasulullah semasa hidupnya. Allah saja tidak dihormati apalagi para sahabat!”. Tuturnya.
Beliau mengisahkan tentang seorang tentara yang melihat langsung kekacauan syariat yang dibawa oleh syiah. “ saya pernah didatangi oleh seorang tentara yang pernah ditugaskan menjadi pasukan perdamaian di Libanon. Beliau mengisahkan bahwa mereka baru tahu kesesatan syiah dan melihat sendiri kesesatannya. Beliau menuturkan bahwa dia melihat orang syiah yang sholat berjamaah. Suatu ketika datanglah pedagang yang menjajakan dagangannya, seketika jamaah yang belum selesai sholatnya menuju pedagang dan kembali ke jamaahnya setelah berbelanja.” Tuturnya kembali.
Ustadz Abu Usamah juga menjelaskan bahwa target syiah selanjutnya adalah mensyiahkan negara Indonesia. Dalam sela sela kajiannya ustadz Abu Usamah menantang dedengkot Syiah dalam hafalan Quran .
“Gak ada dedengkot Syiah yang hafal Al-Quran. Saya tantang, apakah mereka ada yang hafal AlQuran? Saya yakin bocah-bocah Ahlussunnah lebih banyak yang hafal Quran dibanding mereka” tutupnya.

Membantah Syi’ah: Masalah Pengingkaran terhadap Qadar
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
Di antaranya ucapan mereka,
“Sesungguhnya Allah tidak mentakdirkan apapun juga di masa azali dan bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan menginginkan kejelekan.”[176]
Padahal, Imam Muslim meriwayatkan bahwa firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”(Qomar: 49) turun ketika orang-orang musyrik mendebat dalam masalah itu.[177]
Sebagian tokoh ulama mengatakan bahwa telah diriwayatkan banyak hadits yang diriwayatkan melalui lebih dari seratus orang sahabat dalam masalah penetapan takdir dan yang berkaitan dengannya.[178]  Telah datang pula dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap umat mempunyai golongan majusi, dan majusinya umat ini adalah orang-orang yang mengatakan bahwa tidak ada takdir.”[179]
Jika kamu telah mengetahui hal tersebut, maka ketahuilah bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu sebelum keberadaannya baik secara global maupun terperinci, menyeluruh maupun parsial. Dia mengetahui segala yang terkait dengannya, menetapkan takdir bagi segala sesuatu di zaman azali, sehingga semuanya tidak akan bertambah maupun berkurang, tidak pula maju ataupun mundur dan bahwasanya tidak akan didapati sesuatu melainkan dengan kehendak dan keinginan Allah. Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. Apa yang Allah takdirkan maka akan ada, apa yang dikehendaki maka akan terjadi dan apa yang maka tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Hal seperti itu tetap dengan sepintas pikiran maupun dalil yang mutawatir dan diketahui secara yakin, sehingga siapa saja yang mengingkari sesuatu yang langsung ditunjukkan oleh akal dan mengingkari nash yang mutawatir ini, jika ia tidak menjadi kafir maka tidak kurang untuk menjadi orang yang fasik.
________________________________
176 Al-Kafi (1/155-160) (1/209) cet. Darul Adhwa’.
177 HR. Muslim no. 2656 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Datang kaum musyrikin Quraisy mendebat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam tentang takdir, maka turunlah ayat,“(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka), ‘Rasakanlah sentuhan api neraka’ Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran’(Al-Qomar: 48-49)
178 Guru kami, Muqbil rahimahullah, mempunyai kitab yang sangat berharga, yaitu Al-Jami’ Ash-Shahih fil Qodar di mana padanya beliau membantah orang-orang Rafidhah dan selainnya dari kalangan ahli bid’ah dan hawa nafsu yang mengingkari takdir.
179 HR. Abu Dawud no. 4692 dari Hudzaifah, Ahmad no. 5584 dari Ibnu Umar, dan Al-Baihaqi jilid 1 hal. 203 dari Hudzaifah. Tetapi, dalam sanadnya terdapat Umar bin Abdillah maula Gufrah dan diadhaif sebagaimana dalam At-Taqrib. Di dalamnya juga terdapat rawi yang tidak dikenal, dan hadits tersebut disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Ilal Al-Mutanahiyah no. 227 dan beliau mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.
Juga datang dalam riwayat Abu Dawud no. 4691, Al-Hakim no. 286, dan Al-Baihaqi (10/203) dari jalan Abu Hazim dari Ibnu Umar dengan lafazh: Orang-orang Qodariyyah adalah majusi umat ini. Tetapi, sanadnya terputus, di mana Abu Hazim Salamah bin Dinar tidak mendengar dari Ibnu Umar sebagaimana dalam Tuhfatul Asyrafhadits no. 7088 pada biografi rawi ini dan sebagaimana dalamTahdzibut Tahdzib.
[Dari: Risalatun fir Raddi ‘alal Rafidhah; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab; Ta’liq & Tahqiq: Abu Bakr Abdur Razzaq bin Shalih bin Ali An-Nahmi; Judul Indonesia: Bantahan & Peringatan atas Agama Syiah Rafidhah; Penerjemah: Abu Hudzaifah Yahya; Penerbit: Penerbit Al-Ilmu]

MENIMBANG SYI’AH (Bagian ke-11)
BY SIGABAH BENCANA AQIDAH · 20 APRIL 2015
Syiah dan Rukun Iman: Qadha’ dan Qadar
Keyakinan Syiah tentang 5 rukun iman telah selesai dibahas pada beberapa dua edisi sebelumnya. Pada edisi ini hendak ditampilkan keyakinan Syiah tentang rukun iman terakhir (Qadha’ dan Qadar). Tentang Qadha’ dan Qadar, Syiah—seperti pada rukun Iman yang lain—juga punya pandangan yang jauh berbeda dengan umat Islam.
Jika kita kembali menelaah literatur-literatur salaf yang mengupas tentang aliran-aliran teologi dalam Islam berikut pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa jajaran ulama Syiah periode awal sepakat menetapkan eksistensi Qadar. Pendapat bahwa perbuatan makhluk tidak terkait dengan takdir Allah SWT. Muncul pada saat pemikiran teologis Syiah mulai bergesekan dengan pemikiran Mu’tazilah, tepatnya pada abad keempat hijriah.
Agaknya, periode itulah yang dijadikan patokan oleh para ahli untuk menentukan awal pengingkaran Syiah terhadap Qadar.[1]  Buku-buku teologi Islam mencatat, bahwa maraknya pengingkaran QadarAllah SWT. Di kalangan Syiah ini diperkirakan terjadi sejak munculnya Muhammad bin an-Nu’man al-Mufid bersama para pengikutnya.
Pandangan Syiah terhadap Qadha’ dan Qadar ini antara lain diuraikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam Maqalat al-Islamiyin,[2] beliau menegaskan bahwa dalam menyikapi Af’al al-Ibad (pekerjaan-pekerjaan hamba), pandangan Syiah Rafidhahterbagi menjadi tiga kategori:
Meyakini bahwa semua perbuatan makhluk diciptakan oleh Allah SWT.
Tidak mempercayai bahwa perbuatan makhluk adalah ciptaan Allah SWT.
Bersikap netral. Kelompok ini mengatakan tidak ada pemaksaan pada setiap perbuatan makhluk—pendapat ini sama dengan pendapat sekte Jahmiyah. Namun seorang hamba juga tidak boleh menyerah pada nasib—yang ini lebih dekat pada pendapat sekte Mu’tazilah (Qadariyah).
Tentu saja klasifikasi terhadap kerangka pemikiran Syiah yang dibuat oleh al-Asy’ari ini berlandasan pada data-data otentik dari Syi’ah, berikut data empiris berdasarkan penelitian dan pengalaman beliau. Hal itu terbukti, bahwa ketika menjelaskan akidahnya mengenai qadar, Ibnu Babawaih al-Qummi agaknya menunjuk pada salah satu klasifikasi yang dibuat al-Asy’ari tadi. Dengan tanpa ketegasan teoritis, Ibnu Babawaih dalam Aqaid ash-Shaduqmenyatakan sebagai berikut:
إِعْتِقَادُنَا فِي أَفْعَالِ العِبَادِ أَنَّهَا مَخْلُوْقَةٌ خَلْقَ تَقْدِيْرٍ لَا خَلْقَ تَكْوِيْنٍ, وَ مَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ لَمْ يَزَلِ اللهُ عَالِماً بِمَقَادِرِهَا.
“Keyakinan kami mengenai perbuatan makhluk ialah: bahwa perbuatan itu diciptakan dengan penciptaan takdir, bukan penciptaan pembentukan. Artinya adalah bahwa Allah SWT. Senantiasa mengetahui takdirnya makhluq.”[3]
Namun, ketidak-lugasan penyampaian Ibnu Babawaih tersebut memberikan indikasi bahwa Allah SWT. hanya mengetahui segala perbuatan makhluk saja, tidak memberi arti Allah SWT. bisa berkehendak apa saja pada setiap makhluknya, sesuai dengan artiqadar yang sesungguhnya.
Kemudian, ulama Syiah yang lain memberikan penjelasan akan keyakinan Syiah Itsna Asyariyah yang sesungguhnya terhadapqadar Allah SWT., seperti yang dikemukakan al-Mufid dalam penegasannya berikut:
الصَحِيْحُ عَنْ آلِ مُحَمَّدٍ صلّى الله عليه و سلّم أَنَّ أَفْعَالَ العِبَادِ غَيْرُ مَخْلُوْقَةٍ لله,َ وَ الَّذِيْ ذَكَرَهُ أَبُوْ جَعْفَرٍ قَدْ جَاءَ بِهِ حَدِيْثٌ غَيْرُ مَعْمُوْلٍ بِهِ, وَ لَا مَرْضِيِّ الْإِسْنَادِ, وَ الأَخْبَارُ الصَّحِيْحَةُ بِخِلَافِهِ.
“Yang benar dari keluarga Muhammad SAW. Ialah: bahwa sesungguhnya perbuatan makhluk itu tidak diciptakan oleh Allah SWT. Sementara apa yang disampaikan Abu Ja’far adalah hadits-hadits yang tidak bisa dipakai. Selain sanadnya tidak baik, hadits-hadits yangshahih juga bertentangan dengannya.”[4]
Senada dengan penegasan diatas, adalah jawaban dari pertanyaan yang pernah diajukan kepada Abu al-Hasan ar-Ridha AS (diklaim pihak Syiah sebagai Imam ke-8). bahwa ketika beliau ditanyakan oleh seseorang mengenai keyakinannya tentang qadar Allah SWT; apakah qadar itu diciptakan Allah SWT. Atau tidak? Lalu beliau menjawab:
لَوْ كَانَ خَالِقًا لَهَا لَمَا تَبَرَّأَ مِنْهَا وَ قَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى أَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَ رَسُوْلُهُ, وَ لَمْ يُرِدْ البَرَاءَةَ مِنْ خَلْقِ ذَوَاتِهِمْ وَ إِنَّمَا تَبَرَّأَ مِنْ شِرْكِهِمْ وَ قَبَائِحِهِمْ.
“Andaikan Allah SWT. Yang menciptakan perbuatan makhluk, tentu Dia tidak akan melepaskan diri darinya, sementara Dia telah berfirman: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya terbebas diri dari orang-orang musyrik.” Allah SWT. Tidak bermaksud melepaskan diri dari menciptakan mereka, namun melepaskan diri dari kesyirikan dan kejelekan mereka.”[5]
Lebih tegas lagi, al-Hurr al-Amili (w. 1104 H), salah seorang ulama Syiah terkemuka, mengupas kajian seputar qadar dalam bab spesifik dengan judul “Sesungguhnya Allah SWT. menciptakan segala sesuatu selain perbuatan makhluk.” Dalam kitabnya al-Fushul al-Muhimmah fi Ushul al-Aimmah, dia mengatakan bahwa Syiah Imamiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa semua perbuatan makhluk timbul dari dirinya sendiri, merekalah yang menciptakan perbuatan-perbuatan itu.[6]
Ulama Syiah yang lain, Muhammad Shadiq ath-Thabathaba’I, juga memberikan ketegasan yang sama: “Syiah Imamiyah dan Mu’tazilah berkeyakinan bahwa semua perbuatan dan gerak-gerik makhluk itu terjadi dengan kekuatan dan keinginan mereka sendiri. Merekalah yang menjadikan pekerjaan-pekerjaan itu. Sedangkan ayat-ayat yang menerangkan bahwa Allah SWT. yang menciptakan segala sesuatu, itu adakalanya sudah di takhsis (dikhususkan maksud dan tujuannya) dengan selain perbuatan makhluk, atau ditakwil bahwa Allah SWT. Yang menciptakan segala sesuatu dengan tanpa perantara, atau dengan perantara makhluk-Nya.”[7]
Dari beberapa penegasan ulama-ulama Syiah ini, jelaslah kiranya, bagaimana sebenarnya kepercayaan mereka berkenaan denganqadar Allah SWT. bahwa akidah mereka dalam hal ini sebetulnya tidak ada bedanya dengan sekte Mu’tazilah – yang menyimpang.
Namun, sebagaimana disinggung di atas, tampaknya keyakinanqadar ala Mu’tazilah ini dianut oleh orang-orang Syiah pasca abad ketiga hijriah, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Taimiyah. Sedangkan Syiah yang hidup pada abad-abad sebelumnya malah memiliki keyakinan yang berseberangan. Hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang disampaikan langsung oleh A’immah Ahlul Bait, al-Kulaini antara lain meriwayatkan hadits sebagai berikut:
قَالَ أَبُو جَعْفَر وَأَبُو عَبْدِ اللهِ: إِنَّ اللهَ أَرَحْمُ بِخَلْقِهِ مِنْ أَنْ يُجْبِرَ خَلْقَهُ عَلَى الذُّنُوبِ ثُمَّ يُعَذِّبَهُمْ عَلَيْهَا وَاللهُ أَعزُّ مِنْ أَنْ يُرِيْدَ أَمْرًا فَلَا يَكُوْنُ، قَالَ: فَسُئِلَا عَلَيْهِمَا السَّلَامُ هَلْ بَيْنَ الْجَبْرِ وَالْقَدَرِ مَنْزِلَةٌ ثَالِثَةٌ؟ قَالَا: نَعَمْ أَوْسَعُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْاَرْضِ.
Abu Ja’far dan Abu Abdillah berkata: “sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan memaksa hamba-Nya untuk mengerjakan perbuatan dosa lalu menghukumnya, sebab betapa besar kasih sayang-Nya. Dan Allah SWT. Tidak mungkin menginginkan sesuatu lalu tidak terjadi, karena Dia sangat berkuasa. Rawi berkata: Lalu keduanya ditanyakan: “apakah antara pemaksaan dan takdir ada tempat ketiga? Beliau menjawab: “Ya, (tempat itu) lebih luas dari ruangan yang ada di antara langit dan bumi.[8]
Kedua Imam ini menegaskan bahwa pendapat mereka tentangqadar adalah tidak membenarkan al-Jabr dan at-Tafwidh (fatalisme). Mereka memegang maqam ketiga yang lebih netral, tidak mengikuti madzhab Mu’tazilah. Lebih tegas lagi, Abu Abdillah AS (Diklaim Syiah sebagai Imam ke-6). Mengatakan: “Kamu bertanya tentang perkataan orang-orang Qadariyah (kelompok yang meniadakanqadar pada Allah SWT.), (apa yang mereka katakan) bukanlah agamaku dan bukan pula agama leluhurku, tak kutemukan seorang pun dari keluargaku berpendapat seperti itu.”[9] Abu Abdillah AS. Melanjutkan: “Celakalah Qadariyah (free will), apakah mereka tidak membaca firman Allah ‘Kecuali istri Luth, kami tetapkan dia temasuk orang-orang yang dihukum.’ Celaka mereka, kalau bukan Allah yang menaqdirkannya, lalu siapa?”
Al-Qummi meriwayatkan dalam kitab tafsirnya: “. . .Orang-orang Qadariyah yang menafikan takdir, yang mengira bahwa mereka bisa berbuat baik atau sebaliknya, kapan pun mereka mau, adalah orang-orang Majusi dari umat Muhammad SAW. Padahal musuh-musuh Allah SWT. Itu mengingkari Masyi’ah dan Takdir.”[10]
Yang perlu menjadi catatan disini adalah, kendati Syiah generasi awal menetapkan eksistensi takdir Allah SWT., akan tetapi pendapat yang umum dipegang oleh mayoritas umat Syiah masa kini adalah pendapat generasi kemudian yang menafikan takdir, yang diadopsi dari teologi Mu’tazilah. Sementara status dari teologi Mu’tazilah (Syiah) yang menafikan takdir sama halnya dengan teologi Jabariyah yang hanya menetapkan takdir. Kedua teologi ini hanya menggunakan sebagian dalil dan meninggalkan dalil yang lain. Sementara yang mengambil jalan tengah adalah teologi yang menggunakan nash-nash dan argumentasi secara sempurna, yang sesuai dengan Kitabullah. Ayat-ayat al-Qur’an telah menegaskan bahwa makhluk memiliki kemauan, kemampuan dan perbuatan, namun semuanya bergantung pada kehendak Allah SWT.[11] Inilah akidah yang dipedomani oleh umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Allah SWT. Berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan [76]: 30).
Paparan data dan fakta tentang keyakinan Syiah terhadap 6 rukun iman—yang telah disampaikan pada beberapa edisi yang lalu dan sekarang—menunjukkan betapa Syiah telah menyimpang dari ajaran Islam, sehingga tidak mudah untuk dikatakan bahwa penganut Syiah sebagai orang Islam.

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1]Ibn Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, juz 2 hlm. 29.
[2]Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, juz 1 hlm. 114-115.
[3]Ibnu Babawaih al-Qummi, Aqaid ash-Shaduq, hlm. 78.
[4]Al-Mufid, Syarh Aqa’id ash-Shaduq, hlm. 12.
[5]Ibid, hlm. 13.
[6]Al-Hurr al-Amili, al-Fushul al-Muhimmah fi Ushul al-Aimmah, hlm. 80-81.
[7]Muhammad Shadiq ath-Thabathaba’I, Majalis al-Muwahhidin fi Bayani Ushul ad-Din, hlm. 21 dan al-Qazwini, Qala’id al-Kharaid, hlm. 60.
[8]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 159.
[9]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 5 hlm. 56.
[10]Al-Qummi, Tafsir Al-Qummi, juz 1 hlm. 226-227 dan al-Majlisi,Bihar al-Anwar, juz 5 hlm. 9.
[11]Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 774-785.