Tuesday, April 14, 2015

Inilah Kondisi Kaum Sunni di Iran

Buka juga ( menyeramkan ) :
Derita Muslim Ahwaz dari penjajahan Syi'ah Iran [ Ya Allah Ya Rabb, Binasakanlah Syiah Majusi (Iran) Laknatullah Seperti “Kaum-kaum Terdahulu” Yang Telah Engkau Binasakan ]

SUDAH sejak lama Kaum Syiah begitu memusuhi kaum Sunni. Dan pastinya, di negara ‘kiblat’ Syi’ah sendiri yakni Iran, kaum Sunni benar-benar mengalami diskriminasi yang amat berat. Beberapa kondisi yang dialami kaum Sunni dewasa ini di Iran dapat dituturkan sebagai berikut:
1. Kaum Sunni dilarang membangun masjid di kota-kota besar, sekalipun di wilayah yang mayoritas Sunni. Untuk membangun masjid, kaum Sunni begitu dipersulit sedemikian rupa, bahkan untuk mendapat izin pembangunan.
2. Setelah revolusi Iran, Khomeini yang merupakan pemimpin spiritual Iran mengizinkan kaum Sunni membangun sebuah masjid di Teheran yang dipersiapkan dananya dan tanahnya. Namun, rezim Syiah Iran ternyata mengulur-ulur waktu hingga akhirnya Syiah melarang berdirinya masjid Sunni di Teheran.
3. UUD Iran menerapkan adanya kewajiban memelajari ajaran Sunni bagi anak-anak Sunni yang tinggal di provinsi-provinsi dengan mayoritas Sunni. Sayangnya, hal ini hanya tertulis di atas kertas. Karena pada kenyataannya, guru-guru agama semuanya dari Syi’ah dan melarang tenaga pengajar dari golongan  Sunni.
4. UUD Iran juga menetapkan bahwa di provinsi-provinsi dengan mayoritas Sunnidilaksanakan pendidikan menurut mazhab Sunni. Ternyata semua ini bohong. Dan ketika perwakilan kaum Sunni mendatangi Pengadilan Tinggi Iran (Musawy Ardebily) untuk menanyakan masalah tersebut, pengadilan menjawab dengan enteng “Kami golongan Syi’ah dahulu masih lemah sehingga kami menggunakan siasat taqiyyah.”
5. Golongan Sunni dilarang menjadi pegawai pemerintah, sekalipun telah meraih gelar doktor. Sebelum revolusi memang masih sedikit tersisa kaum Sunni yang mengemban tugas penting. Dan pasca revolusi, terjadilah pembersihan luas terhadap pegawai Sunni.

6. Melarang penerbitan buku-buku Ahlu-Sunnah dalam bahasa persia, terutama yang berkaitan dengan akidah.
7. Sekolah-sekolah agama Sunni yang telah berdiri sejak sebelum masa revolusi begitu banyak. Namun, pemerintah Syiah samasekali tidak mau mengakuinya. Anak-anak yang tengah dalam masa studinya dipaksa ikut wajib militer, padahal anak-anak di sekolah Syiah tidak wajib ikut wajib militer.
8. Ulama-ulama Sunni yang berani menjelaskan kemurnian akidah Islam dan penyimpangan akidah Syiah diperketat ancamannya, diperberat hukumannya bahkan diusir.
9. Para pelajar dari kalangan Sunni amat dipersulit untuk memasuki universitas-universitas yang ada di Iran. Sedikit sekali mereka yang bisa masuk dengan berbagai hambatan dan kesulitan begitu besar, padahal jumlah kaum pelajar di Sunni di Iran berjumlah 10 persen dari seluruh penduduk Iran.
10. Di bidang ekonomi dan pembangunan terjadi diskriminasi yang mencolok di wilayah-wilayah yang berpenduduk Sunni dan Syiah. Dana pembangunan dilimpahkan secara tak terbatas ke wilayah-wilayah Syiah. Sebaliknya, wilayah-wilayah Sunni justru dihancurkan, warga negaranya banyak yang dibunuh dan dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang keji.
Selain itu, dalam urusan politik dan diplomatik Iran dengan negara-negara Islam lainnya yang cenderung ‘pilih-pilih.’ Jika negara-negara tersebut dekat hubungannya dengan kaum Sunni, Iran segera menjauhkan diri. Bukti kuatnya adalah hubungan Iran dan Arab Saudi, Pakistan dan beberapa negara teluk lainnya. Hubungan tingkat diplomatik Iran dan Saudi sebatas pada taraf kuasa usaha (konsul), sehingga kedua negara tersebut tidak ada duta besar masing-masing negara.
Demikian pula dengan Pakistan, Iran memiliki hubungan yang tidak baik dengan negara ini. Iran menyebut Pakistan adalah pengikut AS. Karena dianggap dekat dengan AS itulah Iran menjauhkan diri dari Pakistan maupun negara teluk lainnya.
Selesai
[sumber: Syiah,menguak tabir kesesatan dan penghinaannya terhadap Islam/karya Drs. Muhammad Thalib/penerbit: el-qassam]
https://www.islampos.com/inilah-kondisi-kaum-sunni-di-iran-1-174975/
https://www.islampos.com/inilah-kondisi-kaum-sunni-di-iran-2-176834/
Artikel terkait :
http://www.gensyiah.com/bukti-ke-9-iran-melarang-pendirian-masjid-sunni-di-teheran.html

Iran adalah Mayoritas Syiah, Bagaimanakah Islam Sunni di Iran?

Penduduk Iran terdiri dari banyak etnis dan golongan mulai dari Kristen, Yahudi, Zoroastrian, Baha’is, Sunni, dan Syiah sebagai golongan penguasa. Namun, di antara golongan-golongan tersebut, kaum Sunni lah yang paling banyak ditindas oleh pemerintah Iran, dikarenakan perbedaan masalah aqidah antara Syiah dan Sunni.
Penghinaan Iran Terhadap Kaum Sunni
Dalam kekuasaan Iran, tak pernah ada ceritanya, orang Sunni duduk dalam kursi pemerintahan. Baik itu untuk menterinya ataupun sekadar calon presiden belaka. Ini terjadi sejak Revolusi Iran yang mengintegrasikan golongan Sunni ke dalam kaum minoritas. Dalam konstitusi Iran, sudah disepakai, presiden Iran haruslah seorang penganut Syiah. Syiah, tak pelak, telah membuat kaum Sunni menjadi sangat inferior.
Penghinaan kaum Syiah terhadap jamaah Sunni bisa dilihat jelas pada ritual Syiah setiap pekannya, misalnya saja dalam acara doa bersama yang memang kerap dilaksanakan berbarengan. Di Iran, kaum Sunni mencapai 20% dari populasi penduduk Iran yang berjumlah 70 juta orang.
Sunni Iran mengalami penekanan yang sistematik selama bertahun-tahun. Pemimpin mereka, seperti Ahmed Mufti Zadeh dan Syeikh Ali Dahwary, dipenjarakan kemudian dibunuh. Pemerintah Iran juga menghancurkan masjid-masjid kaum Sunni, dan melarang adanya pendirian masjid Sunni lainnya sekarang ini. Bandingkan dengan Sinagog Yahudi yang banyak bertebaran di seantero Iran. Bahkan, azdan oleh kaum Sunni pun dilarang oleh pemerintah Iran.
Pengaruh Kaum Sunni Dalam Pemilu
Ada dua faktor yang mendasari analisis terhadap kaum Sunni Iran dalam pemilu. Pertama, kesatuan para pemilih Sunni dibawah pemimpin dan ulama Sunni. Kedua, tekanan internasional yang terus dialamatkan kepada Iran.
Sudah diketahui secara umum, jika bertahun-tahun sudah, kaum Sunni di Iran memilih menjadi golongan putih alias abstain setiap kali pemilu Iran dilaksanakan. Namun tahun 1997, para pemilih Sunni tiba-tiba saja muncul ke permukaan mendukung Khatami, dan menjadi fenomena tersendiri ketika itu.
Di zaman Khatami, yang beraliran liberal cukup dominan, kaum Sunni mulai dapat bersikap lega. Mereka membentuk kekuatan sendiri, dan baru zaman Khatami ini mereka mempunyai radio dan surat kabar sendiri. Kaum Sunni juga mulai bisa menyekolahkan anak-anaknya di universitas-universitas Iran.
Namun, seperti yang sudah terjadi, siapapun presidennya , yang ditampilkan  seorang presiden Syiah yang digambarkan sangat sederhana, namun ternyata sangat menekan kaum Sunni. Dan siapapun pemimpin Iran, selalu  sering kali mendapat sambutan luar biasa dari dunia internasional karena keberaniannya dalam menentang AS dan Israel, namun anehnya, sampai saat ini, Iran-yang tak lebih besar daripada Iraq yang sudah digempur habis-habisan oleh AS dan sekutu, masih baik-baik saja. Dalam artian, AS tidak pernah melakukan suatu tindakan yang nyata terhadap Iran.
Perkembangan Kaum Sunni
Kaum Sunni Iran hidup di pinggiran dan perbatasan. Sementara kaum Syiah, Kristen dan Yahudi menghuni kawasan kota-kota besar di Iran. Karroubi-sebelum pemilu-berjanji akan merevisi semua konstitusi Iran yang telah bertahun-tahun dilaksanakan, di antaranya adalah dengan melindungi kaum Sunni. Menurut Karoubi, kaum Sunni di Iran tak lebih berharga daripada orang asing di negara itu sendiri. Mousavi-jika terpilih-akan kembali membangun masjid pertama untuk kaum Sunni. Asal tahu saja, kaum Sunni Iran sekarang ini, jika melakukan shalat Jumat, harus di kedutaan besar asing!
Kemarahan kaum Sunni Iran terhadap pemerintahnya tak lepas dari kebijakan Iran sendiri selama ini. Selain itu juga karena perbedaan aqidah yang sangat besar, yaitu kaum Syiah tak mengakui keberadaan sahabat Rasul (kecuali Ali). Kaum Syiah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama daripada seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Sesuatu yang oleh Ali bin Abu Thalib sendiri pernah disanggahnya semasa beliau hidup.
Pencetus pertama paham Syi’ah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa,).” (Majmu’ Fatawa, 4/435).
Tak pelak, ajaran Syiah sudah dianggap sebagai ajaran sesat dalam Islam dan ulama-ulama besar internasional pun sudah mengharamkannya. Dan hingga dibawah kekuasaahingga sekarang ini, tampaknya nasib kaum Sunni di Iran akan tetap terus tertindas dan tertekan.


Testimoni Imam Masjid Istiqlal tentang Syiah dan Iran

Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub menulis testimoni kepada saya:
Pada bulan Agustus 2005, kami berada di Iran. Selama satu pekan di sana, kami mengunjungi Kota Teheran dan Kota Qum. Suatu malam, ketika kami diundang untuk makan malam oleh Duta Besar Republik Indonesia di Teheran, kami berbincang-bincang dengan beliau tentang Iran. Kami katakan kepada beliau bahwa warga Iran pada masa dahulu adalah penganut Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bermazhab Syafi’i.
Kitab-kitab karya para ulama Iran bahkan sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para ulama di Indonesia. Sebut saja misalnya, Kitab al-Muhadzdzab tentang Fikih Syafi’i karya Imam al-Syirazi (w 476 H) dari Syiraz, Iran, yang disyarahi (diperluas) oleh Imam al-Nawawi (w 676 H) dalam Kitab al-Majmu’, kitab Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’ , sebuah kitab Hadis karya Imam Abu Nu’aim al-Ishfahani (w 430 H) seorang ulama dari Ishfahan, dan juga Kitab Ihya’Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali yang lahir di Kota Thus pada tahun 450 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 505 H. Kota Thus berada di kawasan Khurasan, wilayah timur laut Iran, yang sekarang disebut Masyhad.
Ketika dinasti Shafawiyah, nisbah kepada pendirinya, Ismail al-Shafawi (1587-1629 M), yang berhaluan Syi’ah meraih kekuasaan politik di Iran, eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah di Iran redup. Dan setelah revolusi Syi’ah di Iran pada tahun 1979 M, eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah di Iran padam.
Kepada Duta Besar Republik Indonesia di Teheran waktu itu, kami mengatakan bahwa apa yang terjadi di Iran dapat pula terjadi di Indonesia. Ketika itu, pada tahun 2005, jumlah mahasiswa Indonesia di Iran ada 150 orang. Mereka belajar Syiah di Kota Teheran dan Kota Qum. Sementara saat ini, konon mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran sebanyak 7000 orang. Seorang Diplomat Irak pernah mengatakan kepada kami bahwa persentase muslim Sunni di Iran mencapai 35 %. Namun, mereka sudah kehilangan hak politiknya, tidak ada satu pun muslim Sunni yang menjadi anggota parlemen. Di Iran juga tidak ada satu pun masjid milik kaum Sunni. Sementara di negeri Komunis seperti Rusia terdapat ratusan masjid milik muslim Sunni.
Awal Desember 2013 M, ketika diadakan Konferensi Imam Masjid se-dunia di Pekanbaru, Riau, kami bertemu dengan delegasi dari Irak. Ia seorang imam dan anggota Majelis Ulama Irak. Beliau mengatakan kepada kami bahwa ketika Dinasti Shafawiyah meraih kekuasaan politik di Iran, mereka mengatakan, “Hari ini di Iran, besok di Irak, lusa di Suriah, esoknya lagi di Bahrain dan seterusnya di negara-negara muslim yang lain.” Beliau juga mengatakan bahwa saat ini aset-aset wakaf milik Ahlus Sunnah wal Jamaah di Irak telah dirampas oleh Syi’ah.
Apa yang dikatakan oleh orang-orang dari Dinasti Shafawiyah di Iran saat itu, mungkin merupakan sebuah obsesi, bahkan mungkin disebut isapan jempol. Namun kenyataan membuktikan bahwa Irak telah dikuasai oleh Syi’ah, sementara Suriah sedang dalam pergulatan dan perang saudara.
Ketika Irak masih dikuasai oleh rezim partai sosialis Arab, Ba’ats, yang berhaluan komunis dan dikomandoi oleh Presiden Saddam Husein, warga Ahlus Sunnah wal Jamaah dapat hidup berdampingan dengan kelompok lain secara damai dan tenteram. Namun setelah rezim Partai Ba’ats yang komunis itu ditumbangkan, konflik berdarah antar kelompok selalu terjadi di Irak.
Ada orang berkata bahwa perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dari Syi’ah adalah perbedaan dalam penafsiran saja. Menurutnya, perbedaan penafsiran seperti itu juga terdapat di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri. Pendapat ini tampaknya ingin memberikan lampu hijau dan legalitas kepada Syi’ah. Masalahnya apakah semua penafsiran itu dibenarkan menurut ajaran Islam? Apabila hal itu dibenarkan, maka tidak ada satu pun pendapat di dunia yang salah menurut ajaran Islam. Seperti kita ketahui, kelompok Ahmadiyah (Qadianiyah) menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata Khatam an-Nabiyyin dalam Surat Al-Ahzab ayat 40 adalah nabi yang terbaik. Penafsiran Ahmadiyah ini untuk menjustifikasi bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, padahal Hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi pamungkas dan tidak ada nabi setelah beliau. Konsensus (ijma’) ulama juga menetapkan demikian.
Ustadz Fahmi Salim, Lc. MA.

Iran.. Ulama Sunni Tuntut Penghentian Diskriminasi Sektarian

Para Ulama Sunni di Iran menuntut pemerintahan Presiden Hassan Rouhani untuk mengakhiri "diskriminasi dan perlakuan tidak adil" dengan isu-isu etnis minoritas dan agama minoritas seperti dilansir Alarabiya, hari Selasa 02/09/14 . 
Mereka juga mengkritik, dalam laporan terpisah, pihak berwenang yang berurusan dengan siswa sekolah agama Islam Sunni, di provinsi Balochistan, Iran timur. 
Menurut situs, "Sunni online", yang mengekspos berita-berita mengenai Sunni di Iran, Syaikh Abdul Hamid Ismail Zahi, Imam Sunni di kota Zahedan, ibukota provinsi Balochistan, menuntut pemerintah untuk "mengakhiri diskriminasi dan untuk memenuhi janji-janjinya terhadap hak-hak kelompok minoritas." 
Kata Syaikh Abdul Hamid, ketika khotbah Jumat kemarin, mengatakan bahwa "keterlibatan kelompok minoritas dari etnis dan agama di dalam mengelola negara akan meningkatkan persatuan nasional, keamanan dan stabilitas di negara itu," seperti dikutip situs Sunni Online. 
Dalam konteks yang sama, Syaikh Mohammad Hussein Gargij, Imam Sunni di kota Azad Shahr menuntut pemerintah Iran  dengan mengatakan bahwa "orang-orang bodoh yang berlaku diskriminatif terhadap isu-isu minoritas agama harus dihukum." Dia menyebutkan bahwa kampanye penangkapan massal, yang dilakukan oleh pemerintah Iran, terhadap siswa dari pusat-pusat keagamaan Sunni, khususnya di provinsi Balochistan, yang mayoritas penduduknya Sunni. 
Penangkapan ditargetkan kepada seluruh siswa berpakaian seragam sekolah Sunni di perbatasan provinsi dan pos pemeriksaan di pintu masuk ke kota Zahedan. 
Tuntunan ini adalah yang kesekian kalinya terhadap perlakuan diskriminatif pemerintah Persia Iran terhadap Sunni yang mayoritasnya beretnis Arab.