Friday, July 3, 2015

Sunnah/Hadits Itu Dibuat Setelah Rasulullah Wafat?? Ini Adalah Anggapan Yang Keliru Dan Konyol, Hadits Shahih Dari Rasul Adalah Wahyu Dari Allah

Kedudukan-As-sunnah-dalam-Syariat-Islam-D
Sunnah, Juga Merupakan Wahyu
Oleh :Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Sesungguhnya agama Islam telah sempurna, nyata, terang lagi jelas, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa. Dan Islam, adalah agama yang berlandaskan wahyu Allah Ta’ala, bukan berlandaskan akal fikiran maupun perasaan manusia. Barang siapa mengikuti wahyu, maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka berpegang teguhlah kepada yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus”. [az-Zukhruf/43:43].

Wahyu Allah merupakan kebenaran mutlak, tidak ada kedustaan dan kesalahan di dalamnya. Hal ini berbeda dengan akal dan fikiran manusia yang tidak ada jaminan kebenaran mutlak, bahkan fikiran seseorang itu sering berubah-ubah. Demikian juga fikiran manusia yang satu dengan lainnya, juga sering berbeda. Oleh karena itulah manusia itu sering berselisih.
Allah Azza wa Jalla berfirman tentang kebenaran mutlak pada wahyu-Nya:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Kebatilan tidak datang kepadanya (Al-Qur`ân) baik dari depan maupun dari belakangnya. (Al-Qur`ân) diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. [Fushshilat/41:42].
Dengan tegas Allah menyatakan, bahwa di dalam Kitab-Nya tidak terkandung kebatilan, baik saat diturunkan maupun sesudahnya. Kebatilan dalam arti kedustaan ataupun kesia-siaan.
MAKNA AS-SUNNAH[1]
As-Sunnah, secara bahasa artinya ialah jalan atau ajaran, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah, as-Sunnah memiliki beberapa makna sebagai berikut.
1. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ushûl Fiqh.
Al-Aamidi rahimahullah berkata: “Dalil-dalil syari’at yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang tidak dibaca, bukan merupakan mu’jizat, dan tidak termasuk mu’jizat [2]. Dan Sunnah ini mencakup perkataan-perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan-perbuatan, dan taqrîr-taqrîr (ketetapan-ketetapan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[3]
Istilah as-Sunnah di sini, contohnya perkataan, “sumber aqidah dan hukum Islam ialah Al-Kitab dan as-Sunnah”, “kita wajib berpegang kepada Al-Kitab dan as-Sunnah, dan semacamnya.
2. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ahli Hadits.
Yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrîr (ketetapan)beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sifat jasmani, atau sifat akhlak, perjalanan setelah bi’tsah (diangkat sebagai Nabi), dan terkadang masuk juga sebagian sebelum bi`tsah. Sehingga arti as-Sunnah di sini semakna dengan al-Hadits.
3. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ahli Fiqih.
Yaitu perkara yang pelakunya terpuji dan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya tidak tercela dan tidak mendapatkan dosa. Istilah Sunnah menurut ahli fiqih ini semakna dengan mustahab, mandûb, tathawwu’, nafilah, muragh-ghab fîhi, dan semacamnya.
Istilah as-Sunnah di sini, contohnya perkataan, “hukum shalat rawaatib adalah Sunnah, bukan wajib”, “pendapat yang râjih (kuat), hukum shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki adalah wajib ‘ain, bukan sunnah”, dan semacamnya.
4. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Aqidah Atau Ulama Salaf.
Yaitu bermakna 
jalan dan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diikuti oleh para sahabatnya. Sunnah di sini kebalikan dari bid’ah. Oleh karena itu, banyak ulama pada zaman dahulu menulis kitab-kitab aqidah, dan mereka menamakannya dengan as-Sunnah. Misalnya, “as-Sunnah” karya ‘Abdullah bin Imam Ahmad, “as-Sunnah” karya al-Khallâl, dan lain-lain.
Adapun makna as-Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, yaitu as-Sunnah menurut istilah ahli ushûl fiqh.
SUNNAH, JUGA MERUPAKAN WAHYU
Allah azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti wahyu yang telah Dia turunkan kepada mereka melalui perantaraan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salalm. Allah Azza wa Jalla berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”. [al-A’râf/7:3].
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dari-Nya secara khusus, dan Dia memberitahukan bahwa barangsiapa mengikuti selainnya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”.[4]
Allah juga telah menjelaskan, apa yang Dia turunkan bukan hanya al-Kitab (Al-Qur`ân). Bahkan yang Allah turunkan ialah berupa al-Kitab (Al-Qur`ân) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. [al-Baqarah/2:231].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: “Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu”, yaitu Dia mengutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk dan penjelasan-penjelasan, “dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah”, yaitu As-Sunnah, “Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu”, yaitu Allah memerintah kamu, melarang kamu, dan mengancam kamu dari melakukan perkara-perkara yang haram. [5]
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan Allah telah menurunkan al-Kitab dan al-Hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. [an-Nisâ`/4:113].
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata: “Allah menyebutkan al-Kitab, yaitu Al-Qur`ân, dan menyebutkan al-Hikmah. Aku telah mendengar orang yang aku ridhai, yaitu seseorang yang ahli ilmu Al-Qur`ân berkata,’Al-Hikmah ialah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[8]
Bukti nyata bahwa maksud dari al-Hikmah yang diturunkan Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah as-Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah-rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sementara Allah Ta’âla berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kamu (para istri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (Sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui”. [al-Ahzâb/33:34].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: “Yaitu amalkanlah (wahai istri-istri Nabi) apa yang diturunkan Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah-rumah kalian, yang berupa Al-Kitab dan as-Sunnah”.[7]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau diberi al-Kitab dan yang semisalnya, yaitu as-Sunnah. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, sama-sama wajib diikuti. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ وَلَا لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
“Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (Al-Qur`ân) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu as-Sunnah) bersamanya. Ingatlah, hampir ada seorang laki-laki yang kenyang berada di atas tempat tidurnya yang dihiasi, dia akan berkata:
‘Kamu wajib berpegang dengan Al-Qur`ân ini. Apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang halal, maka halalkanlah ia!
Dan apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang haram, maka haramkanlah ia!’.
Ingatlah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan (tidak halal) seluruh yang bertaring dari binatang buas, dan (tidak halal) barang temuan milik orang kafir mu’ahid, kecuali jika pemiliknya tidak membutuhkannya. Barang siapa bertamu kepada suatu kaum, maka mereka wajib menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka dia berhak mengambil dari mereka dengan semisal jamuannya”[9].
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلاَ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihiasi, disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata:
‘Di antara kami dan kamu ada kitab Allah Azza wa Jalla . Apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya’.
Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah  seperti apa yang diharamkan oleh Allah”. [HRIbnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni].
Penulis kitab ‘Aunul-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dâwud mengatakan: “(Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ‘aku diberi al-Kitab’, yaitu Al-Qur`ân, ‘dan (diberi) yang semisalnya’, yaitu wahyu batin yang tidak dibaca, atau penjelasan wahyu zhahir, dengan menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambah, mengurangi, atau hukum-hukum, nasihat-nasihat, atau perumpamaan-perumpamaan, yang menyerupai Al-Qur`ân dalam masalah kewajiban yang diamalkan, atau dalam hal kedudukannya”.
Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini memungkinkan dua makna.
Pertama, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu batin yang tidak dibaca, seperti diberi wahyu zhahir yang dibaca.
Kedua, maknanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitab yang merupakan wahyu yang dibaca, dan diberi penjelasan semisalnya. Yaitu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diizinkan menjelaskan yang ada di dalam al-Kitab, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambahkan, sehingga beliau mensyari’atkan sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Kitab. Maka jadilah hal itu, di dalam kewajiban berhukum dan keharusan mengamalkannya seperti wahyu yang zhahir yang dibaca”.[10]
Dengan demikian, Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berasal dari Allah Ta’ala sebagaimanan Al-Qur`ân. Hassân bin ‘Athiyah rahimahullah berkata:
كاَنَ جِبْرِيْلُ يَنْزِلُ عَلَى النَّبِيِّ بِالسُّنَّةِ كَمَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ بِالْقُرْآنِ
“Dahulu, Malaikat Jibrîl turun kepada Nabi dengan membawa as-Sunnah, sebagaimana ia turun membawa Al-Qur`ân”.[11]
KEDUDUKAN AS-SUNNAH SAMA DENGAN AL-QUR`ÂN DALAM HUJJAH
Setelah mengetahui bahwasanya wahyu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua, selain Al-Qur`ân atau al-Kitab, yang merupakan wahyu zhahir yang dibaca, juga as-Sunnah yang merupakan wahyu batin yang dibaca, sehingga kedudukan keduanya ini satu derajat dalam hal hujjah dan sumber aqidah dan hukum, karena keduanya sama sebagai wahyu Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, termasuk perkara yang pantas untuk diperingatkan, yakni pendapat sebagian ahli ushuul fiqih yang menyatakan bahwa kedudukan as-Sunnah berada di bawah Al-Qur`ân dalam pengambilan sumber hukum.
Sehingga pendapat ini memunculkan prinsip yang tidak benar pada sebagian umat Islam; misalnya hadits yang shahîh, jika bertentangan dengan Al-Qur`ân maka hadits itu berarti hadits lemah dan ditolak. Kemudian mereka menggunakan akal fikirannya sendiri, atau bahkan kebodohannya untuk menghukumi sesuatu hadits bertentangan dengan ayat Al-Qur`ân. Dari sinilah, kemudian timbul berbagai penyimpangan.
Oleh karena itu, kami ingatkan bahwasanya as-Sunnah juga merupakan wahyu Allah,sehingga tidak akan bertentangan dengan Al-Qur`ân. Jika ada hadits yang telah memenuhi syarat shahîh, tetapi menurut akal, seolah-olah hadits itu bertentangan dengan Al-Qur`ân, maka hendaklah kita mendahulukan naql (wahyu) daripada akal. Demikian ini merupakan prinsip Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah.
Imam Abul-Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwasanya madzhab (jalan) Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (menyetakan), akal tidaklah mewajibkan sesuatu kepada seorangpun, tidak menghilangkan sesuatu darinya, tidak ada peran bai akal dalam menghalalkan dan mengharamkan, menganggap baik dan menganggap buruk. Seandainya tidak ada penjelasan dari agama, maka tidak ada sesuatu pun yang wajib atas diri seseorang, dan mereka tidak terkena pahala atau siksa”.
Imam Abul-Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah juga berkata: “Ahlus Sunnah mengatakan, prinsip dalam beragama adalah ittiba` (mengikuti dalil wahyu), sedangkan akal mengikutinya. Seandainya prinsip agama itu berlandaskan akal, maka sesungguhnya manusia tidak membutuhkan wahyu dan nabi-nabi. Demikian juga makna larangan dan perintah (dari Allah lewat perantaraan para nabi) menjadi sia-sia. Dan setiap orang akan berbicara sesuai yang ia kehendaki”. [13]
Syaikh ‘Abdul-Ghani ‘Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: “As-Sunnah dengan al-Kitab berada pada satu derajat. Dari kedua sumber ini diambillah sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) dalam menentuankan hukum-hukum syari’at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: ‘Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa al-Kitab (Al-Qur`ân) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah; dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu’jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan As-Sunnah, dilihat pada sisi ini, keutamaannya berada di bawah Al-Qur`ân.
Syaikh ‘Abdul-Ghani ‘Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: “As-Sunnah dengan Al-Kitab berada pada satu derajat dari sisi keduanya digunakan sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) terhadap hukum-hukum syari’at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa Al-Kitab (Al-Qur’an) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah, dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu’jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan As-Sunnah di bawah Al-Qur’an di dalam keutamaan pada sisi-sisi ini.
Akan tetapi, hal itu tidak menyebabkan keduanya berbeda keutamaannya dalam masalah penggunaan sebagai hujjah. Yaitu menganggap kedudukan as-Sunnah di bawah Al-Qur`ân dalam penggunaan sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen); sehingga seandainya terjadi pertentangan, maka As-Sunnah disia-siakan, dan hanya Al-Qur`ân yang diamalkan.
Sesungguhnya kedudukan Sunnah itu sederajat dengan al-Kitab (Al-Qur`ân) dalam pengambilannya sebagai hujjah. Dijadikannya al-Kitab sebagai hujjah, karena ia merupakan wahyu dari Allah…, dan dalam masalah ini, as-Sunnah sama dengan Al-Qur`ân, karena as-Sunnah juga merupakan wahyu seperti halnya Al-Qur`ân. Sehingga wajib menyatakan, dalam hal i’tibar, as-Sunnah tidak di berada belakang Al-Qur`ân”[14]
Oleh karena itu, Al-Qur`ân dan as-Sunnah merupakan dua perkara yang saling menyatu,tidak terpisah, dua yang saling mencocoki, tidak bertentangan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya” [15].
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa 
as-Sunnah merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur`ân. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.
Al-hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
MARÂJI':
1. Al-Qur’ân Terjemah Departemen Agama.
2. At-Ta’zhim wal-Minnah fil-Intisharis-Sunnah, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
3. Dharûrat Ihtimâm bis-Sunnah Nabawiyyah, karya Syaikh ‘Abdus-Salâm bin Barjas bin Nâshir Âlu ‘Abdul-Karîm .
4. I’lamul-Muwaqqi’in, karya Imam Ibnul-Qayyim, Penerbit Darul-Hadits, Kairo, Tahun 1422H/2002H.
5. Manhaj Imam Syafi’i t fî Its-bâtil ‘Aqîdah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb al-‘Aqîl, Penerbit Adh-waus-Salaf.
6. Tadwîn as-Sunnah an-Nabawiyyah, karya Dr. Muhammad bin Mathar Az-Zahrâni, Penerbit Dârul- Khudhairi, Cetakan Kedua, Tahun 1419 H / 1998 M.
7. Tafsîr Al-Qur`ânil-‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr.
8. Kitab-Kitab Hadits, dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Dharûrat Ihtimâm bis-Sunnah Nabawiyyah, hlm. 29-34.
[2]. Yaitu bukan Al-Qur`ân, karena Al-Qur`ân dibaca pada waktu shalat dan merupakan mu’jizat, di mana Allah menantang orang yang meragukannya untuk membuat satu surat semisal Al-Qur’ân. Namun ini tidak berarti di dalam As-Sunnah tidak ada perkara luar biasa yang membuktikan kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah, Pen.
[3]. Taqrîr, artinya pengakuan. Maksudnya perbuatan atau perkataan sahabat yang tidak diingkari oleh Nabi n .
[4]. I’lâmul-Muwaqqi’in, 2/46.
Tafsîr Al-Qur`ânul ‘Azhîm, surat al-Baqarah/2 ayat 231.
[5]. Tafsîr Al-Qur`ânil ‘Azhîm, surat al-Ahzaab/33 ayat 34.
[6]. Ar-Risâlah, hlm. 32-33.
[7]. Tafsîr Al-Qur`ânil ‘Azhîm, surat al-Ahzaab/33 ayat 34.
[8]. Orang kafir yang ada perjanjian keamanan dengan kaum muslimin.
[9]. HR Abu Dawud, no. 4604. Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni.
[10]. ‘Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Lihat penjelasan hadits no.4604.
[110] Riwayat ad-Dârimi, no. 549. Al-Khathîb dalam al-Kifâyah, hlm. 48, dan lain-lain. Dinukil dari Tadwîn as-Sunnah an-Nabawiyyah, hlm. 22-23.
[12]. Yang dimaksudkan ialah baik dan buruk, yang karenanya mendapatkan pahala atau siksa, Pen.
[13]. Al-Hujjah fî Bayânil-Mahajjah, Juz. 1, hlm. 315. Dinukil dari Manhaj Imam Syafi’t t fî Its-bâtil- ‘Aqîdah, Juz. 1, hlm. 57-58.
[14]. Sebuah pembahasan dalam kitab Hujjiyyatus-Sunnah, hlm. 485-494. Dinukil dari Dharuuraat Ihtimaam bis-Sunnah Nabawwiyah, hlm. 24.
[15]. Hadits Shahiih li ghairihi. HR Maalik, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam at-Ta’zhim wal-Minnah fil-Intisharis-Sunnah, hlm. 12-13.
sumber: http://almanhaj.or.id/content/2748/slash/0/sunnah-juga-merupakan-wahyu/


Ayat Alquran Akan Terjaga Dari Pemalsuan, Demikian Pula HADITS,. Karena Allah Yang Menjaganya..

HADITS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERJAGA

mikir dulu sebelum ngomong 
Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus, dan memerintahkan manusia untuk menaati dan mencontoh perilaku beliau. Allah berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. [al-Hasyr/59:7].
Untuk itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menunaikan semua tugasnya. Sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada ummatnya agar berpegang dengan peninggalan beliau, yaitu berupa Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dua hal ini sebagai petunjuk bagi manusia hingga hari Kiamat dalam mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ
“Aku tinggalkan untuk kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur`an) dan Sunnahku”. [HR al-Hakim, dan dishahïhkan Syaikh al-Albani dalam Shahïh al-Jami’ ash-Shaghïr, no. 2937]
Dari sini jelaslah, bahwasanya hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi salah satu sumber pengambilan hukum syari’at, baik dalam hal aqidah, hukum fikih, dan yang lainnya. Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi sumber pedoman seorang muslim dalam menggapai kebahagian dan keridha’an Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, dengan kedudukannya ini, maka hadits-hadits tersebut menjadi sumber dan asas syari’at yang kekal dan selalu terjaga keotentikannya.
Syaikh `Abdul-Muhsin al-‘Abbad [1] berkata,”Sesungguhnya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia bersama Al-Qur’an yang mulia merupakan asas agama Islam dan menjadi sumber hukumnya. Keduanya saling berhubungan sebagaimana kaitan syahadat La ilaha illa Allah dengan syahadat Muhammad Rasulullah. Barang siapa yang tidak beriman kepada Sunnah, berarti tidak beriman kepada Al-Qur’an” [2].
Keterkaitan antara keduanya sebagai sumber utama dalam mengenal aqidah dan hukum-hukum syari’at, sebab as-Sunnah sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an yang mujmal (global) dan membatasi kemutlakannya. Bahkan sebenarnya, as-Sunnah sabagai wujud dalam penerapan Al-Qur’an melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan dengan ketinggian akhlaknya dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. [al-Qalam/68:4].
Demikianlah, ketika Ummul-Mukminin ‘Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidak dapat mengungkapkannya kecuali dengan berkata:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. [HR Ahmad, no. 23460, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, no 4811]
ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENJAGA SUNNAH RASULNYA
Eratnya hubungan Al-Qur’an dan as-Sunnah ini tidak dapat dipisahkan dalam memahami Islam secara benar dan dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ironisnya, kedudukan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tinggi ini membuat musuh-musuh Islam berusaha merusaknya dengan membuat-buat perkataan yang disandarkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ada yang berusaha melontarkan syubhat-syubhat untuk mengingkari Sunnah sebagai sumber hukum. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin keontetikannya, dan akan memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara Al-Qur’an. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. [Hijr/15:9].
Ayat mulia ini yang merupakan nash tentang penjagaan Al-Qur’an, di dalamnya jugaterkandung maksud penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. [an-Nahl/16:44]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia, Sehingga, jika penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Al-Qur’an tidak terjaga dan terpelihara (mahfuzh), tentunya tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan Al-Qur’an, padahal Allah berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu, tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. [an-Najm/53:3-4] [3].
Dengan demikian, jelaslah bahwasanya janji Allah untuk memelihara adz-Dzikr tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an saja, tetapi juga menjaga syari’at dan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan penjagaan bersifat lebih umum dari sekedar Al-Qur’an atau as-Sunnah saja [4]
Ibnu Hazm dalam kitab al-Ihkaam (1/121) menyatakan, tidak ada perbedaan di kalngan para ulama ahli lughah (bahasa Arab) dan syari’at, bahwasanya semua wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah adz-Dzikrul-Munazzal. Semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pasti. Dan semua yang dijamin oleh Allah pemeliharaannya, maka ia terjaga, tidak akan hilang, dan tidak akan terubah sedikit pun, tanpa ada penjelasan tentang kebatilannya.
Kemudian beliau membantah yang menganggap pengertian adz-Dzikr dalam ayat di atas hanyalah Al-Qur’an saja.
Beliau berkata: “Anggapan ini adalah dusta yang tidak berdasarkan bukti, dan pengkhususan kata adz-Dzikr tanpa dalil. Kata adz-Dzikr adalah nama umum untuk semua yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa Al-Qur’an maupun as-Sunnah yang merupakan wahyu penjelas bagi Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. [an-Nahl/16:44]
Dengan demikian, maka sungguh merupakan kebenaran bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat perintah yang mujmal (global), seperti shalat, zakat, haji, dan selainnya yang kita tidak mengetahui yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan dengan lafadz Al-Qur’an itu kecuali dengan penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap yang global tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya dari yang bukan dari Sunnah, maka manusia tidak dapat mengambil manfaat dari nash Al-Qur’an, lalu hilanglah banyak syari’at yang diwajibkan kepada kita, dan kita tidak mengetahui kebenaran yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki”.[5]
Demikian juga pemeliharaan Al-Qur’an tidak sempurna, kecuali dengan menjaga dan memilihara Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu, karena makna kandungan Al-Qur’an terrefleksikan pada akhlak dan amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan membiarkan satu Sunnah yang shahih, atau menyimpangkan dan menakwilkan keluar dari maksudnya, serta memahaminya diluar ketentuan syari’at, adalah sama dengan meninggalkan dan tidak peduli dengan Al-Qur’an”.[6]
PENJAGAAN ALLAH TERHADAP SUNNAH
Jelaslah, seluruh yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama, semuanya ialah wahyu dan adz-Dzikr. Semua terjaga dan terpelihara dengan penjagaan dan dalam pemeliharaan Allah. Semua kandungan Al-Qur’an terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Demikian juga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas Al-Qur’an , pengkhusus lafazh-lafazh umumnya dan pembatas lafazh-lafazh mutlaknya, ia terjaga dan terpelihara.
Dapat disebutkan beberapa faktor yang menjadi sebab, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan as-Sunnah tetap terpelihara dan terjaga.
1. Tha’ifah Al-Manshurah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan sekelompok dari umat Islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari Kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran; orang-orang yang menghina mereka tidak merugikan mereka hingga datang keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian”. [HR Muslim no. 354]).
Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan memenangkannya, maka tentunya akan dapat memelihara keotentikan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya perhatian para salaful-ummah dan ulama muhadditsin pada setiap zaman dan tempat.
2. Perhatian Salafush-Shalih Terhadap Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiapkan pembela Sunnah. Yaitu dengan menciptakan generasi Salafush-Shalih dan setelah mereka, yang telah memberikan perhatian besar kepada Sunnah. Perhatian Salaf umat ini terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan sarana yang ada pada setiap zaman. Mereka telah mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan, serta beragam sarana dalam memperhatikan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam masalah ilmu maupun amal, menghafal dan menulisnya, mempelajari dan menyebarkannya kepada manusia.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat memberikan perhatian lebih dari sebelumnya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dengan menghafal dan tatsabut (melakukan klarifikasi), sehingga salah seorang dari kalangan mereka bepergian hanya untuk satu hadits sepanjang perjalanan sebulan. Yakni untuk mengecek ulang (tatsabut) tentang hafalannya. Demikian juga, mereka menulisnya dalam lembaran shahifah, kemudian menyebarkannya di antara manusia. Semua ini disesuaikan dengan metodologi amaliyah dan ilmiah.
Demikian pula para Tabi’in, mereka memberikan perhatian terhadap Sunnah yang dapat diwujudkan dalam banyak bentuk, di antaranya:
– perhatian dalam menghafalnya.
– bertanya tentang sanad.
– mencari pengetahuan mengenI keadaan para perawi dan penukil hadits yang menghasilkan ilmu rijal; hingga kemudian ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat Islam.
– tadwin (kodifikasi) Sunnah Rasulullah n yang dimulai dari lembaran shahifah hingga menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi [7], dan demikian juga orang-orang setelah mereka.
3. Ulama-Ulama Muhaditsin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan taufik kepada sejumlah besar dari kalangan ulama-ulama muhadditsin pada setiap masa dan tempat untuk meriwayatkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebarkannya, menuliskannya, menggunakannya dalam menepis kebatilan dan melakukan hidmat yang sempurna, tiada bandingannya terhadap Sunnah dalam sejarah dunia.
Ulama muhadditsin telah mengeluarkan segala kemampuan dan kekuatannya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari penambahan dan pengurangan, sehingga bila ditambah satu huruf pada matan hadits, maka akan mereka jelaskan.
Ibnu Hiban dalam mensifati ulama muhadditsin, ia menyatakan, hingga jika salah seorang mereka ditanya tentang jumlah huruf dalam sunnah-sunnah untuk setiap sunnah, tentulah mereka akan sampaikan jumlahnya. Dan seandainya ditambahkan padanya huruf alif atau wawu, tentulah akan dikeluarkan secara paksa dan akan ditampakkan.[8]
Manshur bin ‘Ammar as-Sulami al-Khurasani dalam mensifati ahlu hadits menyatakan:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala menugaskan penjagaan atsar yang menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya sekelompok orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan mereka taufik untuk mencarinya dan menuliskannya, dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Juga memberikan kepada mereka kecintaan membaca dan mempelajarinya, dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian compang camping, perut lapar, mulut kering, wajah pucat karena kelelahan dan kelaparan, dan badan yang kurus”.
Mereka memiliki satu tekad kuat dan ridha kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya. Rasa lapar dan haus tidak memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin, tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shahih dari yang bermasalah, dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kuat, pandangan yang luas, dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, perbuatan bid’ah orang-orang mulhid, dan kedustaan para pendusta.
Seandainya engkau melihat mereka, pada malam hari telah menghidupkannya dengan menulis semua yang telah mereka dengar, mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan dalam keadaan menjauhi kasur empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantuk pun telah menguasai mereka sehingga menidurkannya dan lepaslah pena-pena dari telapak tangan mereka; namun seketika itu juga mereka tersadar dalam keadaan terkejut.
Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung mereka, dan keletihan berjaga waktu malam telah melelahkan akal pikiran mereka, sehingga mereka berusaha menghilangkannya. Untuk mengistirahatkan badan, mereka berusaha berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya, mereka memijat-mijat mata dengan tangan mereka, kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan antusias mereka kepada ilmu.
Hal ini, tentu membuat engkau mengerti, bahwa mereka adalah penjaga Islam dan penjaga gudang ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila mereka telah selesai menunaikan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginannya tersebut, maka mereka pulang menuju negerinya, lalu duduk menetap di masjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian tawadhu` (kerendahan hati), pasrah dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk, hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, maka mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya untuk mempertahankan syiar-syiar Islam.[9]
Demikianlah, mereka manjadi penjaga Sunnah Rasulullah n sepanjang masa.
4. Rihlah Fi Thalabi Al-Hadits
Di antara perhatian dan usaha para ulama dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan bepergian, melakukan perjalanan untuk mengumpulkan hadits (rihlah fï thalabi al-hadits). Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengumpulkan hadits dan sanad-sanadnya hingga bepergian yang menempuh jarak sangat jauh dengan tingkat kesulitan sedemikian besar. Rihlah ini sudah menjadi tradisi mereka dalam menuntut ilmu dan memiliki pangaruh sangat besar dalam penyebaran hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbanyak jalur periwayatannya. Demikian juga memiliki pengaruh baik dalam mengenal para perawi secara sangat detail dan mendalam, sebab seorang muhaddits yang pergi ke suatu negeri lalu mengenal ulama di negeri itu, ia akan berbicara dan bertanya kepadanya. Demikian juga, rihlah telah dapat membongkar pemalsu hadits dan menghilangkan banyak hadits palsu yang ada pada umat, sehingga umat terlepas dari musibah dan penyimpangan agama. Maka sangat pantas bila Ibrahimm bin A’dham menyatakan, Allah telah menghilangkan musibah dari umat ini dengan rihlahnya ash-habul-hadits.[10]
5. Kaidah Ilmu Jarh Wa Ta’dil Dan Mushthalah.
Usaha para ulama dari zaman sahabat hingga kini menghasilkan kaidah ilmu musthalah dan ilmu al-jarh wa ta’dil. Para ulama menulis dan menyusun ilmu-ilmu ini untuk memerangi bid’ah, dan untuk menjaga agama Islam ini dari para pendusta, serta dari penyimpangan dan penakwilan orang-orang jahil.
Imam al-Haakim di muqaddimah kitab Ma’rifat ‘Ulumul-Hadits, ia menyatakan: “Sungguh, aku melihat bid’ah pada zaman kita ini telah banyak; dan pengetahuan manusia terhadap ushul sunnan sangat sedikit dengan tenggelamnya mereka dalam penulisan Hadits dan banyak mengumpulkannya dengan lalai dan tidak perhatian. Hal ini mendorongku untuk menulis kitab ringan yang mencakup bagian dan jenis ilmu Hadits yang dibutuhkan para penuntut hadits yang terus menerus menulis hadits-hadits.”[11]
Demikian juga para sahabat telah meletakkan manhaj (metodologi) untuk mengetahui kejujuran perawi dari kedustaannya dan diikuti para tabi’in. Para ulama semakin memperluas metodologi ini, setiap kali menjauh dari zaman generasi terbaik umat ini. Belum habis abad ketiga hijriyah, ilmu ini telah tersebar dan dikenal. Ilmu ini dinamakan ilmu “al-Jarh wa Ta’dil”.[12]
Kaidah-kaidah ilmu hadits ini mempelajari seluruh sisi hadits secara sempurna dan dalam, sehingga dapat untuk memilah-milah di antara hadits-hadits yang shahih, yang lemah dan yang palsu. Ini semua merupakan wujud penjagaan Allah terhadap Sunnah.
Demikianlah sekelumit permasalahan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Sunnah Rasul-Nya. Mudah-mudahan bermanfaat.
Maraji:
1. As-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Musthafa as-Siba’i, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Keempat, Tahun 1405 H, halaman 156.
2. Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, Dr. al Murtadha az-Zein Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
3. Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, al-Hakim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah an-Naisaburi, Tahqïq: Dr. as-Sayyid Mu’azhzham Husain, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1397H.
4. Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, as-Suyuthi, Penerbit al-Jami’ah al-Islamiyah Madinah, Cetakan Kelima, Tahun 1415H.
5. Dirasat fi al-Jarh wa Ta’dil, Dr. Muhammad Dhiya`ur-Rahman al-A’zhami, Maktabah al-Ghuraba al-Atsariyah, Madinah, Cetakan Keempat, Tahun 1419H.
6. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, Dr. Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah, Cetakan Kedua, Tahun 1419H.
7. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Shalahuddin Maqbul Ahmad, Islamic Sceintific Research Academy, New Delhi, India, Cetakan Pertama, Tahun 1411 H, halaman 7-8.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Seorang ulama besar kota Madinah dan pengajar hadits di Masjid Nabawi hingga sekarang ini.
[2]. Lihat prakata beliau dalam kitab Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, hlm. 3.
[3]. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 7-8.
[4]. As-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 156.
[5]. Pernyataan Ibnu Hazm ini dinukil dari kitab as-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 156-158.
[6]. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 8.
[7]. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 38.
[8]. Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, hlm. 7
[9]. Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wï’i, hlm. 220-221. Dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin fi Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, hlm. 6-7.
[10]. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 44 dan 50.
[11]. Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, hlm. 1.