Friday, July 17, 2015

Tulisan KH. Muhammad Hasan Abdul Muiz Untuk NU Garis Lurus

“NU GARIS LURUS” SUDAH LURUSKAH?
Baru-baru ini muncul sebuah istilah anyar dikalangan NU. Istilah tersebut adalah, NU GARIS LURUS. Istilah NU Garis Lurus ini muncul, kalau kita cermati konten “kampanye” dan kalangan yang menyuarakannya, karena kekecewaan dan keresahan mereka terhadap sebagian oknum petinggi NU yang mereka anggap melenceng dari NU yang sebenarnya, dan menyimpang dari NU-nya Mbah Hasyim.
Siapapun yang bergelut dalam dunia NU pasti mengakui adanya Syiahisasi dan Liberalisasi dewasa ini ditubuh NU. Pelaku Syiahisasi dan Liberalisasi sendiripun -menurut hemat saya- pasti juga mengakui bahwa memang ada usaha kesana. Perbedaannya mungkin terletak pada persepsinya. Kalau bagi pelaku Syiahisasi dan Liberalisasi ditubuh NU, usaha mereka itu mungkin mereka anggap sebagai bentuk aplikasi tawassuth nya NU. Sementara bagi yang kontra, Syiahisasi dan Liberalisasi ditubuh NU dianggap sebagai usaha untuk “menajisi” NU.



Dari yang menentang Syiahisasi dan Liberalisasi dalam tubuh NU itulah kemudian lahir istilah NU Garis Lurus.


Dan yang perlu untuk digaris bawahi disini, bahwa sebetulnya yang mengalami keresahan itu bukan hanya yang gencar menyuarakan NU Garis Lurus semisal, KH. Luthfi Bashori, KH. Najih Maimun, KH. Idrus Romli, dkk. Tetapi dibelakang mereka sebenarnya ada ribuan Kiyai NU yang telah merasakan keresahan tersebut. Kalau kita mau turba ke pesantren-pesantren terutama sekali yang ada di Jawa-Madura pasti kita akan merasakan dan mendengar keluhan-keluhan dan kekhawatiran itu.
Berulang kali al Faqir utarakan, dusta besar jika dikatakan bahwa sebetulnya yang khawatir akan merebaknya Syiah dan Liberalisme dalam tubuh NU hanya segelintir orang NU saja, dan bukan suara kebanyakan ulama NU. Bila ada yang tetap memaksakan mengatakan bahwa yang resah hanya segelintir dari warga NU, berarti dia tidak pernah turba ke pesantren-pesantren atau dia mungkin penganut “‘anzatun wa in thôrot“.
Jadi, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan umat NU dewasa ini khawatir akan menyeruaknya Syiahisasi dan Liberalisasi ditubuh NU. Hanya bedanya kalau beliau-beliau yang kami tulis namanya diatas gencar menyuarakan keresahannya lewat tulisan melalui berbagi macam media, adapun ribuan Kiyai yang lain lebih memilih untuk “mencurhatkannya” kepada Allah saja.

Namun pertanyaannya, benarkah istilah NU Garis Lurus itu? benarkah NU bengkok sehingga perlu diluruskan?



Untuk menjawab pertanyaan ini tentu terlebih dahulu harus kita bahas secara detil apa maksud istilah “NU Garis Lurus” itu. Sebab kata ulama ushul ” al hukmu ala as Syai-i far’un ‘an tashowwurihi“.
Menurut kami, jika yang dimaksud NU Garis Lurus adalah mau meluruskan ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lain yang merupakan pendiri NU karena ada dari ajaran mereka yang perlu diluruskan, maka saya kira istilah tersebut kurang benar. Dan kalau masih saja ada yang memaksakan kehendak untuk menggunakan istilah NU Garis Lurus dengan maksud seperti ini, maka -menurut saya- berarti orang tersebut bukan orang NU, dan lebih baik cari istilah lain yang tidak memakai kata NU.
Tetapi, kalau kami amati dari diskusi kami dengan kalangan yang menyuarakan istilah NU Garis Lurus, tampaknya bukan maksud seperti diatas tadi itu yang mereka inginkan.
Kalau yang dimaksud NU Garis Lurus adalah untuk menjernihkan dan meluruskan NU sehingga tetap pada rel yang sudah dibuat oleh Mbah Hasyim yang dewasa ini sudah mulai ada yang berupaya membelokkannya ke arah yang lain, maka saya kira hal itu sah-sah saja. Yang seperti ini hampir sama dengan penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang kalau kita amati sejarahnya, dimunculkan sebagai pembeda dan penyelamat Umat Islam, ditengah-tengah ramainya usaha untuk meng “Qodariyah” kan dan men “Jabriyah” kan Islam dan Umat Islam.
Sejauh yang kami tangkap dari berbagai diskusi kami dengan para pegiat NU Garis Lurus, tujuan dan maksud seperti inilah yang diinginkan mereka. Sehingga, sah-sah saja mereka menggunakan istilah tersebut.
Yang aneh, banyak kalangan yang menentang istilah NU Garis Lurus ini justru dari kalangan-kalangan pegiat Liberalisasi yang setiap harinya menyuarakan kebebasan berpendapat. Jika ketika mereka mengkritik istilah NU Garis Lurus disertai penjelasan “masing-masing boleh berpendapat” kemudian setelah itu silahkan mengkonter, saya kira jika mereka melakukan yang demikian berarti mereka sportif. Namun sejauh yang saya cermati ada ketidak fair-an dari mereka para pegiat Liberalisme ketika mengkonter istilah NU Garis Lurus ini. Dimana kalau kita baca ditulisan-tulisan mereka, sama sekali tidak ada kesan menghargai kebebasan berpendapat. Bila kita membaca tulisan-tulisan mereka yang mengkritisi istilah NU Garis Lurus satu kesimpulan yang akan kita dapatkan, “pokoknya siapa yang menggunakan istilah NU Garis Lurus dan pengiatnya berarti bukan NU”. Disinilah kami menangkap ada ketidak sportifan.
Memang (ini hanya sebagai istithroth dalam tulisan ini) wabilkhusus di Indonesia banyak dari kalangan yang seringkali menyuarakan kebebasan berpendapat, tetapi ketika tidak sependapat dengan sebuah pendapat dan akan mengkritisi pendapat orang lain yang tidak dia sepakati itu, kadang-kadang mereka terjebak kepada tidak menghargai pendapat orang lain.
Sebuah contoh, permasalahan yang baru-baru saja hangat diperbincangkan, yaitu masalah membaca al Quran dengan langgam jawa. Adalah Musthofa Bisri atau yang akrab dipanggil Gus Mus, sebagai sosok yang setiap harinya getol menyuarakan kebebasan berpendapat yang kebetulan dia pro al Quran langgam jawa, namun alangkah naifnya ketika kami membaca komentarnya. “Islam Kagetan. Termasuk ciri-ciri orang memiliki ilmu yang nyegoro (luas laksana lautan) salah satunya adalah tidak kagetan. Bukan seperti ini: ada al Quran langgam jawa kaget…..”, begitu tulisnya.
Menurut saya, ini adalah contoh sikap yang tidak fair. Meskipun saya termasuk yang tidak mempermasalahkan langgam jawa asal tidak merubah tajwid dan makhrajnya, tetapi seharusnya Gus Mus tidak menuduh yang tidak pro al Quran langgam jawa dengan tuduhan dangkal pengetahuannya (sebagai mafhum mukholafah dari tidak nyegoro ilmunya), juga tidak menyematkan predikat yang berkonotasi negatif kepada mereka yang anti al Quran langgam jawa dengan predikat “Islam Kagetan”.
Sungguh yang seperti ini merupakan langkah yang tidak sportif dari seorang yang getol mengkampanyekan kebebasan berpendapat. Seharusnya Gus Mus sebagai sosok yang getol mengkoar-koarkan kebebasan berpendapat juga menghormati yang berbeda pendapat dengannya. Bukan kok dicap Islam Kagetan.

Kalau memang mau fair, seharus Gus Mus membawa perbedaan pendapat tersebut kepada ranah kebebasan berpendapat.



Kembali kepada pembahasan NU Garis Lurus. Lebih parahnya lagi, kadang-kadang ketika mengkonter istilah NU Garis Lurus mereka keliru didalam perhujjahan dan hanya asbun (asal bunyi) saja. Sebuah contoh, komentar dari Ulil Abshar ketika dia mengkritisi istilah NU Garis Lurus, kata dia, NU tidak perlu diluruskan. Kalau NU Lurus justru bukan NU namanya. Karena -masih kata Ulil- filosofi NU itu seperti tali yang dalam lambang NU. Dia lentur, tidak kaku.
Menurut saya, komentar dari Ulil Abshar ini keliru alamat dan asbun (asal bunyi) saja. Karena sebenarnya, lambang NU itu -menurut saya- justru lebih identik dan lebih memihak kepada NU Garis Lurus. Hujjahnya justru ada pada lambang NU, terutama tali yang melingkar pada lambang tersebut. Karena siapapun tahu (dan silahkan lihat pada Anggaran Dasar NU) bahwa sembilan bintang yang ada pada lambang NU merupakan perlambang Rasulullah dan al Khulafa’ul Arba’ah, sementara empat bintang sisanya merupakan perlambang al Madzahibul Arba’ah. Yang kesemuanya itu dilingkari dengan tali. Juga bintang sembilan tersebut merupakan perlambang wali sembilan. Maka, dari sinilah -menurut kami- justru lambang itu berpihak kepada NU Garis Lurus. Dari lambang NU dapat kita simpulkan bahwa NU adalah organisasi yang sangat menghargai al Khulafa’ul Arba’ah, itu artinya berarti NU sangat bersimpangan dan tidak bisa menerima Syiah sebagai madzhab yang tidak menerima Abu Bakar, Umar dan Utsman, bahkan mengkafirkannya. Juga, NU adalah berpedoman kepada al Madzahibul Arba’ah. Artinya, lagi-lagi NU tidak menerima Syiah. Kesemuanya itu diperkuat bahwa sembilan bintang dalam lambang NU diakhiri dengan dilingkari tali sembilan puluh sembilan simpul. Demi menegaskan bahwa NU tidak menerima selain yang dalam tali tersebut.
Sekalilagi, kalau kita mau berhujjah dengan lambang NU, justru itu memihak kepada NU Garis Lurus yang termasuk kampanyenya memurnikan NU dari terkontaminasi ajaran dan oknum Syiah. Dan tidak memihak kepada NU nya Ulil wa ashabih, yang notabene mengakomodir Syiah sekalipun.
Audan ilal waro’. Jadi, menurut saya jika yang dimaksud dengan istilah “NU Garis Lurus” adalah menjernihkan, mengawal dan meluruskan NU sehingga tetap pada rel yang sudah dibuat oleh Mbah Hasyim yang dewasa ini sudah mulai ada yang berupaya membelokkannya ke arah yang lain, maka saya kira hal itu sah-sah saja. Sekalilagi, Yang seperti ini hampir sama disaat salafunas sholih mencetuskan istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang kalau kita amati sejarahnya, dimunculkan sebagai pembeda dan penyelamat Islam yang betul-betul jernih, ditengah-tengah ramainya usaha untuk meng “Qodariyah” kan dan men “Jabriyah” kan Islam. Padahal sebenarnya Islam sebetul-sebetul Islam ya Islam. Dimunculkan istilah Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk menyelamatkan Umat Islam dari Qadariyahisasi dan Jabariyahisasi.
Rabbî fasluk binâ sabîla rijâlin
Salakû fit tuqô thorîqon sawiyyah

Jember 28 Ramadlan 1436 H.
Ditulis oleh, Muhammad Hasan Abdul Muiz, khodimu Ma’had as Sayyid Muhammad Alawi al Maliki, Bondowoso. Alumni Masyru’ Abuya as Sayyid Ahmad al Maliki, angkatan 2006-2013.

(NUGarisLurus.Com)