Wednesday, August 26, 2015

Tong Sampah

Permisalan tentang para penyeru persatuan kaum muslimin secara umum tanpa memperhatikan kelurusan akidah dan manhaj mereka.
Berkata asy-Syaikh al-Allamah Muhammad Aman al-Jaami rahimahullah: “Permisalan mereka seperti seorang yang masuk ke dalam suatu pasar yang penuh berjubel manusia padanya, lelaki maupun wanita, dengan tujuan mengajak mereka untuk shalat. Diapun mulai menyeru: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah membangun untuk kalian satu masjid yang sangat luas, cukup untuk menampung kalian semua. Maka marilah bersama-sama kita melaksanakan shalat padanya, jangan sampai ada yang tertinggal. Silahkan kalian datang dalam kondisi kalian masing-masing. Bagi yang masih punya wudhu’ silahkan dengan wudhu’nya, bagi yang berhadats silahkan datang dengan hadatsnya, bagi yang junub silahkan dengan janabahnya, bahkan wanita haidh dan nifas pun silahkan datang ke masjid, karena kami tidak akan menolak seorangpun. Seruan kami ini berlaku bagi kalian semua secara umum. Dan seluruh kita adalah saudara, sesama muslim. Tidak perlu sikap kaku, (harus begini harus begitu sebelum shalat). Sikap kaku seperti itu hanya akan memecah belah barisan shaf kaum muslimin! 
Disaat dia berteriak-teriak dengan igauannya yang tidak karuan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh keberadaan seorang penyeru (lainnya) sekaligus seorang pemberi nasehat dari kalangan orang-orang yang diberi pemahaman dalam agama.
Sang Pemberi nasehat ini berkata kepada orang-orang (yang berada di pasar tersebut) : “Saudara-saudaraku kaum muslimin, telah tiba waktu shalat. Bangkitlah kalian. Ambillah air wudhu’, kemudian shalatlah dengan shalat yang kalian diseru padanya”.
Sang Penyeru pertama mendengarkan (seruan sang Penasehat ini) dengan tercengang. Dia pun mulai memikirkan cara bagaimana menghadapi sang Penyeru (kedua) ini. Dia merenung sambil memikirkan. Kemudian dia berteriak dengan kesetanan, sembari mengucapkan: “Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin, janganlah kalian dengarkan ucapan orang ini. Buatlah kegaduhan agar kalian mengalahkan suaranya, suara orang yang ekstrim ini, serta membungkamnya! “..dan seterusnya dari teriakan keputusasaannya.
Wahai para pembaca sekalian, saya sumpah kalian atas nama Allah, siapakah diantara dua penyeru di pasar tersebut yang berada dalam kebenaran?
Salah satu dari penyeru tersebut mengajak manusia agar menjalankan shalat dengan berwudhu’ dan dengan bersuci secara sempurna, menjelaskan kepada manusia bahwa bersuci (baik dari hadats besar maupun kecil) merupakan syarat sahnya shalat. Dan sungguh, dia telah memberikan nasehat.
Adapun penyeru yang lain, dia berusaha memberikan gambaran kepada manusia bahwa yang paling pokok adalah bagaimana bisa mengumpulkan manusia dalam satu wadah yang luas dibawah satu predikat yaitu sama-sama sebagai kaum muslimin, menjalankan shalat sesuai kondisi masing-masing, sembari berargumentasi: “Kita dilarang dari memberat-beratkan diri. Agama ini mudah. Allah tidak menjadikan bagi kita dalam agama kita ini kesulitan. Mudahkanlah, jangan dipersulit. Berikan kabar-kabar gembira, jangan bikin lari “..dan seterusnya
Aku serahkan jawabannya kepada para pembaca”.
Selesai ucapan beliau.

Dinukil dari kutaib: “al-Hukmu ‘alasy Syai’ Far’un ‘an Tashawwurihi”. Hal 72-73, cetakan Darul Minhaj

Mengambil pelajaran dari permisalan yang beliau sampaikan.
Membuat permisalan dalam rangka mendekatkan pemahaman merupakan metode pengajaran yang sangat baik. Hal ini dicontohkan oleh Allah didalam al-Quran dan juga Rasulullah didalam sunnah  beliau.
Setiap pembaca dari permisalan yang dibuat oleh asy-Syaikh al-Jaami tersebut pasti sepakat bahwa penyeru kedua-lah yang berada dalam kebenaran.
Beliau menyontohkan dalam permisalan ini sisi ibadah, yakni shalat. Hal ini berlaku pula pada sisi ibadah yang lain, seperti puasa, zakat, haji dan yang lainnya. Karena pada prinsipnya pesan yang hendak beliau sampaikan bukan pada sisi jenis ibadahnya, akan tetapi penggambaran dari suatu permasalahan. Dengan penggambaran tersebut setiap orang akan mudah memahami perkara lain yang serupa, dimana tanpa adanya penggambaran ini akan sulit untuk memahaminya (baca: menentukan mana yang benar mana yang salah)
Perkara-perkara lain yang serupa,  contohnya:

Ada seorang penyeru mengatakan: “Wahai seluruh kaum muslimin.., marilah kita bersatu.., jangan bercerai berai. Bukankah Tuhan kita satu.., kitab kita satu.., nabi kita satu.., dan agama kita satu. Marilah bergabung bersama kami.., sunninya, syiahnya, shufinya, jihadinya, mu’tazilahnya, qadariyahnya, jabriyahnya…dan seterusnya”.

Penyeru lain mengatakan: “Wahai kaum muslimin, marilah kita bersatu dalam agama Allah ini, jangan kita berpecah belah. Persatuan diatas islam yang lurus”.
Kemudian sang penyeru kedua ini menjelaskan kepada umat, seperti apa islam yang lurus tersebut. Wajibnya berpegang dengan alQuran dan Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Memperingatkan dari berbagai penyimpangan agama. Memberitakan bahwa kaum muslimin akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat. Dan mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah…dan seterusnya. Menjelaskan prinsip-prinsip ahlus sunnah dengan metode al-ardh wa ar-radd, dimulai dengan yang terpenting dan yang terpenting berikutnya. Menjelaskan tauhid serta para pelakunya (al-‘ardh) dan bahaya syirik serta para pelakunya (ar-radd). Menjelaskan Sunnah dan para pelakunya (al-‘ardh) dan bahaya bid’ah dan para pelakunya (ar-radd). Menjelaskan ketaatan dan para pelakunya (al-‘ardh) dan bahaya kemaksiyatan dan para pelakunya (ar-radd).
Sang penyeru pertama mendengarkannya dengan penuh kerisauan. Orang ini akan membawa kepada perpecahan. Diapun merenung sambil memikirkan, langkah apa yang mesti dilakukan untuk menghalangi manusia dari ajakan penyeru kedua. Sontak dia berkata dengan lantangnya: “Wahai kaum muslimin, jangan kalian dengarkan ucapannya. Buatlah kegaduhan agar kalian mengalahkan suaranya, suara orang yang ekstrim ini. Dia tidak menghendaki kepada kalian kecuali perpecahan”…dan seterusnya.
Masuk dalam kelompok penyeru pertama adalah:

~ Orang yang meneriakkan: “Marilah kita saling tolong menolong pada apa yang kita sepakati dan saling memberi udzur pada apa yang kita berselisih”. Masuk didalamnya perselisihan masalah akidah dan manhaj.

~ Orang yang berkata: “Semuanya baik.. walaupun shufi .. itu masih shufi kita, syi’ah..itu masih syi’ah kita,  khawarij.. itu masih khawarij kita..” dan seterusnya. Semuanya dirangkul dalam satu wadah.. tong sampah.
~ Orang yang berbicara: “Dalam perkara tandhim (organisasi) kita bisa belajar kepada ikhwanul muslimin. Dalam perkara hikmah dakwah kita bisa belajar kepada jamaah tabligh. Dalam akidah kita bisa belajar kepada salafy..”.
~ Orang yang berucap: “Ya.., kalo mau menyebutkan kesalahan seseorang, supaya adil.., harus juga menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Siapa orang yang tidak punya salah..”. Masuk didalamnya kebaikan ahlul bid’ah. Itulah manhaj muwazanah, entah diistilahkan dengan harus adil, inshof atau yang semisalnya.
~ Orang yang berkata: “Ayo.., ngaji kesini saja.., disini tidak ada tahdzir-tahdziran.. adem..ayem..tentrem..mak nyes. Kalo disana.., panas.. gerah.. orang-orangnya ekstrim. Sedikit-sedikit tahdzir..”. Meskipun yang ditahdzir adalah ikhwanul muslimin, hizbut tahrir, sururiyyun, haddadiyyun, hajuriyyun dan segala macam hizbiyyun.
~ Orang yang mengatakan: “Dakwah kita adalah dakwah silmiyyah .. damai.. kita diatas nikmah wahai saudaraku.. jangan ada perang, pedang, senjata. Orang yang menyeru kepada jihad dengan senjata, tidaklah menghendaki kepada kita kecuali kehancuran”. Meskipun yang menyeru itu adalah para ulama kibar dan yang diperangi adalah orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin di negri mereka.

Jiwa itu ibarat tentara tentara yang dikerahkan. Maka siapa yang saling mengenal akan akur, dan siapa yang tidak saling kenal akan liar. Maka jangan heran apabila sebentar lagi antum lihat mereka berjejer rapi dalam satu barisan, karena sesungguhnya burung itu akan senantiasa hinggap pada yang sejenisnya.
Maka dari itu.., wahai saudaraku.., jangan engkau merasa ragu.. tetapilah selalu.. bimbingan ulama kibar-mu.
Camkanlah selalu ucapan Fudhail bin Iyadh:
عليك بطرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك والطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين
“Wajib atasmu untuk selalu berpegang dengan jalan-jalan hidayah, tidak akan memadharatimu sedikitnya orang yang menempuh. Dan hati-hatilah kamu dari jalan-jalan kesesatan, jangan engkau terpedaya dengan banyaknya orang yang  binasa”.
Juga ucapan al-Auza’i:
عليك بآثار من سلف وان رفضك الناس وإياك وآراء الرجال وان زخرفوه لك بالقول
“Wajib atasmu untuk berpegang dengan atsar salaf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kamu dari pendapat-pendapat orang, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah”.
Wallahu a’lam
**Faidah dari al Ustadz Syafi’i Al-Idrus hafizhahullah

Apakah Persatuan Dalam Islam Itu Adalah Menyatukan Semua Kelompok Dengan Akidah Warna-Warni?.. Bukan,. Itu Persatuan Ala Yahudi..

PERSATUAN YANG DIPERTUHANKAN
Adalah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri jika umat islam pada zaman ini telah berpecah belah dan terkotak-kotak,setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.

Padahal Allah ‘Azza wa Jalla dan Rosul-Nya memerintahkan kita untuk membuang perpecahan, dan bersatu padu diatas tali-Nya

ﻭَﺍﻋْﺘَﺼِﻤُﻮْﺍ ﺑِﺤَﺒﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮْﺍ
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai “. (QS Ali Imran : 103).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
” Allah memerintahkan untuk bersatu dan melarang berpecah belah. Banyak hadits yang melarang berpecah belah dan menyuruh bersatu sebagaimana dalam sahih Muslim, Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Sesungguhnya Allah rela untuk kalian tiga perkara …..(diantaranya disebutkan) : dan agar kalian berpegang dengan tali Allah dan tidak berpecah belah “. (Tafsir Ibnu Katsir 1/397).
Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa perpecahan adalah sifat orang yang tidak mendapat rahmatNya. Firman Allah ta’ala :
ﻭَﻻَ ﻳَﺰَﺍﻟُﻮﻥَ ﻣُﺨْﺘَﻠِﻔِﻴْﻦَ ﺇِﻻَّ ﻣَﻦْ ﺭَﺣِﻢَ ﺭَﺑُّﻚَ
“ Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang Allah rahmati…”. (Hud : 118-119).
Abu Muhammad bin Hazm berkata :
” Allah mengecualikan orang yang dirahmati dari himpunan orang-orang yang berselisih “. (Al Ihkam 5/66).
Imam Malik berkata :
” orang-orang yang dirahmati tidak akan berpecah belah “. (idem).
Syeikhul islam Ibnu Taimiyah berkata :
” Allah mengabarkan bahwa orang yang diberikan rahmat tidak akan berpecah belah, mereka adalah pengikut para nabi baik perkataan maupun perbuatan, mereka adalah ahli Al Qur’an dan hadits dari umat ini, barang siapa yang menyalahi mereka akan hilang rahmat tersebut darinya sesuai dengan kadar penyimpangannya “. (Majmu’ fatawa 4/25).
Firman Allah Ta’ala :
ﻭَﻻَ ﺗَﻜُﻮْﻧُﻮْﺍ ﻛَﺎﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮْﺍ ﻭَﺍﺧْﺘَﻠَﻔُﻮْﺍ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ ﺟَﺎﺀَﻫُﻢُ ﺍﻟْﺒَﻴِّﻨَﺎﺕُ ﻭَﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﻋَﻈِﻴْﻢٌ
“ Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan. Dan bagi mereka adzab yang pedih “. (Ali Imran : 105).
Al Muzany rahimahullah berkata :
” Allah mencela perpecahan, dan memerintahkan untuk kembali kepada al qur’an dan sunnah, kalaulah perpecahan itu termasuk dari agamaNya tentu Dia tak akan mencelanya, kalaulah perselisihan itu termasuk dari hukumNya, tentu Allah tidak menyuruh untuk kembali kepada Al Qur’an dan sunnah “. (Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadllihi 2/910).
Dalil – dalil tersebut diatas sudah cukup menunjukkan bahwa islam mencela dan membenci perpecahan serta menganjurkan persatuan.

Hadits tentang perpecahan umat.

Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya :” Bukankah Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa umat islam ini akan berpecah belah ?”
Jawabannya adalah ; tidak ada bedanya antara perpecahan dengan maksiat, maksudnya bahwaAllah menghendaki adanya maksiat tapi bukan untuk dilaksanakan tapi untuk dijauhi,Nabi juga mengabarkan bahwa nanti akan datang suatu zaman dimana arak akan dinamai dengan bukan nama sebenarnya, hal tersebut tidak menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut, demikian pula perpecahan. Nabi mengabarkan bahwa umat ini akan berpecah belah, akan tetapi hal tersebut tidak menunjukkan boleh dilakukan.
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata :
” Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa perpecahan bukan dari sisiNya, maknanya bahwa Allah tidak meridloinya, tapi Allah menghendaki keberadaanya hanya sebatas iradah kauniyyah saja, sama seperti Allah menghendaki adanya kekufuran dan seluruh maksiat “. (Al Ihkam 5/64).

Makna persatuan.

Sebagian kaum muslimin memandang persatuan sebagai sesuatu yang harus dikedepankan dari mengingkari bid’ah yang mereka anggap parsial, sehingga akibatnya bid’ah didiamkan dan semakin merajalela, sedangkan sunnah menjadi semakin redup,maka perlu kiranya kita sedikit mengupas seputar persatuan.
Persatuan dalam pandangan islam tidaklah sama dengan persatuan ala demokrasi yang lebih mementingkan persatuan badan dan tidak memperhatikan keyakinan, demokrasi memandang bahwa jumlah mayoritaslah yang harus dijadikan pegangan, walaupun ternyata pendapat mayoritas tersebut berseberangan dengan al qur’an dan sunnah, pemahaman inilah yang banyak menghinggapi pemikiran kaum muslimin, sehingga orang yang tidak mau mengikuti mayoritas dianggap telah memecah belah umat.
Untuk memahami makna persatuan, perlu kita melihat beberapa pertanyaan berikut :
Diatas apa kita bersatu ?
Untuk tujuan apa kita bersatu ?
Dan apa tolak ukur persatuan ?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, cobalah kita renungkan ayat berikut ini :
ﻭَ ﺃَﻥَّ ﻫَﺬَﺍ ﺻِﺮَﺍﻃِﻲْ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴْﻤًﺎ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌُﻮْﻩُ ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮْﺍ ﺍﻟﺴُّﺒُﻞَ ﻓَﺘَﻔَﺮَّﻕَ ﺑِﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴْﻠِﻪِ
“ Dan inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah dan jangan kamu ikuti jalan-jalan lainnya,niscaya (jalan-jalan lain tersebut) memecah belah kalian dari jalannya…”. (Al An’am : 153).
Dalam sebuah hadits sahih Rosulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam membuat garis lurus dan bersabda :
” ini adalah jalan yang lurus “.
Kemudian beliau membuat garis-garis disamping kiri dan kanannya dan bersabda :
” ini adalah jalan-jalan lainnya, disetiap jalan itu ada setan yang menyeru kepadanya “.
Kemudian beliau membaca ayat tadi diatas. (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Ibnu Mas’ud).
Imam Mujahid seorang ahli tafsir di zaman Tabi’in menerangkan bahwa yang dimaksud dengan jalan-jalan lainnya adalah bid’ah dan Syubhat (tafsir Ibnu Katsir).
Ayat ini sangat jelas menyatakan bahwa persatuan haruslah diatas satu jalan, yaitu jalan yang lurus. Dan jalan yang lurus itu adalah jalan Rosulullah dan para sahabatnya,sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits hasan ketika Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan yang lainnya masuk neraka, beliau menjelaskan tentang satu golongan yang selamat tersebut yaitu :” apa-apa yang dipegang olehku dan para sahabatku pada hari ini “.
Jadi persatuan dalam islam maknanya bersatu diatas jalan Rosulullah dan para sahabatnya dan perpecahan maknanya berpecah dari jalan tersebut. Maka siapa saja yang berjalan diatas jalan yang lurus yaitu jalannya Rosulullah dan para sahabatnya maka ia telah bersatu padu walaupun jumlahnya sedikit, dan siapa saja yang menyimpang dari jalan tersebut dan mengikuti jalan-jalan lainnya maka ia telah berpecah belah walaupun jumlahnya banyak.
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :
” Al Jama’ah adalah al haq (kebenaran) walaupun engkau satu orang “.
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman :
ﻭَﺍﻋْﺘَﺼِﻤُﻮْﺍ ﺑِﺤَﺒﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮْﺍ
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai “. (QS Ali Imran : 103).
Dalam ayat ini, Allah menyuruh kita untuk bersatu memegang talinya sedangkan Tali Allah adalah agamaNya, dan agama Allah adalah yang Allah turunkan kepada RosulNya di dalam Al Qur’an dan Sunnah, kemudian Allah melarang kita bercerai berai, hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mau mengikuti agamaNya sesuai dengan yang diturunkan kepada rosulNya berarti ia telah bercerai berai.

Tujuan persatuan dan tolok ukurnya

Setelah kita menjawab pertanyaan pertama, maka mudah untuk menjawab pertanyaan selanjutnya, yaitu untuk tujuan apa kita bersatu dan apa tolak ukurnya ?
Jawabannya yaitu untuk meninggikan agama Allah dengan cara berpegang kepadanya,bukan meninggikan madzhab anu, partai anu, kiyai atau ustadz fulan karena hal itu hanya akan mencerai beraikan kaum muslimin dan menjadi terkotak-kotak, dan inilah yang dimaksud ayat :
ﻭَﻻَ ﺗَﻜُﻮْﻧُﻮْﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻓَﺮَّﻗُﻮْﺍ ﺩِﻳْﻨَﻬُﻢْ ﻭَﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﺷِﻴَﻌًﺎ ﻛُﻞُّ ﺣِﺰْﺏٍ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﺪَﻳْﻬِﻢْ ﻓَﺮِﺣُﻮْﻥَ
“ Dan janganlah kalian seperti orang-orang musyrikin. (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sedangkan mereka berkelompok-kelompok setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka “. (Ar-Rum : 31-32).
Di dalam At Tafsiirul muyassar (hal 407) diterangkan makna ayat tersebut :” (maksudnya)janganlah kalian seperti kaum musyrikin, ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu yang merubah-rubah agama, mereka mengambil sebagian agama dan meninggalkan sebagian lainnya karena mengikuti hawa nafsu, sehingga merekapun berkelompok-kelompok (hizbiy) karena mengikuti dan membela tokoh dan pendapat kelompok mereka, sebagian mereka membantu sebagian lainnya didalam kebatilan…”.
Dari sinipun kita dapat mengetahui bahwa tolak ukur persatuan adalah al qur’an, sunnah dan pemahaman sahabat bukan pendapat mayoritas, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲْ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭْﻩُ ﺇِﻟﻰَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝِ
“ Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RosulNya…(An Nisa : 59).
Kalaulah pendapat terbanyak itu merupakan tolak ukur dalam perselisihan tentu Allah tidak akan menyuruh untuk kembali kepada al qur’an dan sunnah.
Adapun hadits yang sering didengungkan oleh sebagian orang
ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻮَﺍﺩِ ﺍﻷَﻋْﻈَﻢِ “ Hendaklah kamu berpegang kepada assawadul a’dzom “.

Ia adalah hadits yang lemah menurut para ahli hadits, semua jalannya tidak lepas dari kelemahan, kalaupun dikatakan shohih maka yang dimaksud assawadul a’dzom dalam hadits tersebut adalah al haq dan pelakunya sebagaimana yang dikatakan oleh imam Al Barbahari dalam kitab syarhussunnah yaitu para shohabat,tabi’in dan tabi’uttabi’in karena kebenaran pada zaman itu mayoritas jumlahnya.

Banyaknya pengikut bukan bukti kebenaran

Seringkali kita tertipu dengan jumlah banyak, sehingga banyak manusia menganggap bahwa banyaknya pengikut merupakan bukti kebenaran, padahal opini tersebut telah dibantah oleh Al Qur’an dalam ayat-ayat yang banyak, diantaranya firman Allah Ta’ala :
ﻭَ ِﺇْﻥ ﺗُﻄِﻊْ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﻳُﻀِﻠُّﻮْﻙَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ
“ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi Ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah “. (Al An’am : 116).
Ayat ini begitu jelas menyatakan bahwa banyaknya jumlah bukan standar dalam menilai sebuah kebenaran. Lebih jelas lagi disebutkan dalam sebuah hadits yang sahih Rasulullah saw Bersabda :
” diperlihatkan kepadaku umat-umat pada hari kiamat, maka aku melihat ada nabi yang diikuti suatu kaum, ada nabi yang diikuti seorang atau dua orang dan ada nabi yang tidak mempunyai pengikut sama sekali…(HR Bukhary dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas).
Dalam hadits tersebut diceritakan adanya nabi yang pengikutnya seorang atau dua orang saja bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali, tentu tidak boleh seorang muslimpun mengatakan bahwa nabi tersebut salah karena pengikutnya sedikit !!
Oleh karena itu Syeikh Muhammad At Tamimiy menyatakan bahwa menilai kebenaran dengan jumlah terbanyak adalah salah satu perkara jahiliyyah (masail jahiliyyah no 5).

Persatuan ala yahudi.

Dalam surat Al Hasyr : 14 disebutkan :
ﺗَﺤْﺴَﺒُﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻭَﻗُﻠُﻮْﺑُﻬُﻢْ ﺷَﺘَّﻰ
“ Kamu kira mereka (yahudi) itu bersatu padu padahal hati mereka bercerai berai “.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yahudi badannya bersatu padu tapi hatinya bercerai berai. Maka persatuan yang hanya mengutamakan kesatuan badan dan tidak peduli terhadap kesatuan aqidah adalah menyerupai persatuan yahudi, karena aqidah tempatnya adalah hati.
Maka persatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak menerangkan aqidah yang benar dari aqidah yang batil. Bahkan persatuan tersebut sama saja menghancurkan sebuah pondasi islam yang sangat penting yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.

Menjelaskan kesalahan adalah wajib.

Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa apabila kita menjelaskan kesalahan suatu kelompok atau seseorang sama saja memecah belah umat. Padahal kemashlahatan menyelamatkan umat dari bahaya pemikiran sesat lebih besar, karena jika kebatilan itu dibiarkan maka akan semakin samarlah kebenaran kepada manusia.
Ibnu Taimiyah berkata :
” para nabi terlindung dari diam untuk mengingkari kesalahan, berbeda dengan ulama. Oleh karena itu selayaknya bahkan wajib hukumnya menerangkan kebenaran yang wajib diikuti, walaupun konskwensinya harus menerangkan kesalahan ulama “. (Majmu’ fatawa 19/123).
Maka jika anda mendengar seseorang menjelaskan tentang kesesatan suatu jama’ah atau individu, tentunya dengan bukti-bukti akurat dan ilmiyyah, janganlah menggapnya sebagai pemecah belah umat, karena telah kita ketahui tadi bahwa justru kesesatanlah yang memecah belah umat dari jalan yang lurus.
Perselisihan yang terjadi akibat bantahan lebih ringan dari pada tersebarnya bid’ah dan kesalahan.
Imam Asy Syathiby ketika membantah sebagian ahli bid’ah berkata :
” orang-orang seperti mereka haruslah disebut dan diingkari, karena kerusakan (bid’ah) mereka terhadap kaum muslimin lebih besar dari kerusakan menyebut (nama) mereka…”. (Al I’tisham 2/229).
Kaidah fiqih pun menguatkan hal itu yaitu :” apabila bertemu dua kerusakan maka diambil yang paling ringan dari keduanya “.
Maksudnya perselisihan yang terjadi akibat bantahan lebih ringan kerusakannya dari tersebarnya kesesatan orang tersebut.

tapi kita harus tetap berpegang kepada adab islami dalam menjelaskan kesalahan orang seperti menjauhi kata-kata kasar dan sikap arogan.


Peringatan …!!!

Ada sebagian orang yang mempunyai pemahaman yang harus diluruskan, yaitu ketika kita menyebutkan kesesatan seseorang atau sebuah kelompok berarti kita telah memastikannya sebagai ahli neraka. Ini adalah dugaan yang sangat jauh dari ilmu, karena diantarakeyakinan ahlussunnah bahwa tidak boleh kita memastikan seorangpun dari ahli kiblat sebagai penduduk api neraka kecuali dengan dalil dari al qur’an dan hadits.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam majmu’ fatawa (4/484) :
” Nash-nash ancaman bersifat umum, maka tidak boleh kita memastikan seseorang sebagai penduduk api neraka, karena boleh jadi ada penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan yang dapat menghapus kesalahan, atau mushibah yang menimpanya, atau syafa’at yang diterima untuknya atau yang lainnya “.
Harus engkau bedakan antara memvonis orang sesat dengan vonis sebagai ahli neraka,karena yang pertama adalah vonis di dunia yang bersandarkan pada sesuatu yang tampak, sedangkan yang kedua adalah vonis di akhirat yang merupakan hak tunggal bagi Allah saja.

Permisalan yang indah

Dalam sebuah hadits Nabi Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻓِﻲ ﺗَﻮَﺍﺩِّﻫِﻢْ ﻭَ ﺗَﻌَﺎﻃُﻔِﻬِﻢْ ﻛَﻤَﺜَﻞِ ﺍﻟﺠَﺴَﺪِ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺷْﺘَﻜﻰَ ﻣِﻨْﻪُ ﻋُﻀْﻮٌ ﺗًَﺪَﺍﻋَﻰ ﺳَﺎﺋِﺮُ ﺍﻟﺠَﺴَﺪِ .
“ Permisalan kaum mukminin dalam cinta dan kasih sayang mereka bagaikan satu jasad, apabila salah satu anggota merasa sakit, maka seluruh badan merasakannya “. (HR Muslim).
Bid’ah dan kesesatan adalah penyakit yang menimpa umat ini, kita harus merasa sakit bila ada orang melakukannya, tentu dengan mencari obatnya yang mujarab yaitu sunnah.
Nabi menyebutkan “ dalam cinta dan kasih sayang” seseorang dikatakan sayang kepada saudaranya adalah bila ia menginginkan untuknya kebaikan bagi dunia dan akhiratnya.
Maka bila kita melihat seseorang hendak jatuh kedalam jurang tentulah kita tidak boleh membiarkanya, tapi kita selamatkan dia. sebaliknya bila anda diam dan membiarkannya jatuh kedalam jurang berarti anda telah berbuat zalim dan kehilangan kasih sayang.
Kemaksiatan baik berupa syirik, bid’ah, khurofat dan lain-lain dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka, bila kita biarkan pelakunya tanpa diberi nasehat berarti kita telah kehilangan kasih sayang kepada saudara kita sesama muslim.

Bagai bangunan yang kokoh

Dalam hadits lain, nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan persatuan umat islam bak sebuah bangunan kokoh yang saling menguatkan satu sama lainnya (HR Bukhary & Muslim).
Sebuah bangunan tentu harus mempunyai pondasi yang kuat, dan pondasi itu adalah aqidah yang benar. Tiang bangunan tersebut adalah amar ma’ruf nahi mungkar, karena bila kemungkaran dibiarkan merajalela akan robohlah bangunan itu. Dan atapnya adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Akan tetapi ada seorang da’i yang memahami hadits itu dengan pemahaman yang aneh, katanya bangunan itu terdiri dari batu, semen, pasir maka bila direkatkan akan membentuk sebuah bangunan yang kokoh, batu itu ia ibaratkan kelompok keras, semen kelompok lembut dan pasir bagaikan kelompok tengah-tengah, kalau semua kelompok itu semuanya direkatkan tentu akan menjadi sebuah bangunan yang kokoh.
Kita katakan, sungguh benar apa yang bapak katakan, akan tetapi merekatkan kelompok-kelompok yang ada dalam tubuh umat islam dengan apa ??
Apakah dengan cara mendiamkan penyimpangan-penyimpangan yang ada ataukah dengan cara saling menasehati dan rujuk kepada kebenaran ?
Bila masing-masing kelompok mau kembali kepada Al qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah tentu bangunan itu akan sangat kuat merekat.Adapun kita biarkan kesyirikan, khurofat dan tahayyul merajalela, perdukunan, bid’ah dan maksiat berkuasa maka tidak akan dapat mengokohkan bangunan itu selama-lamanya bahkan akan membuatnya hancur berkeping-keping.

Dosa penyebab perpecahan.

Rasululah Sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
ﻣَﺎ ﺗَﻮَﺍﺩَّ ﺍﺛﻨَﺎﻥِ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ ﺛُﻢَّ ﻳُﻔَﺮَّﻕُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺇﻻَّ ﺑِﺬَﻧْﺐٍ ﻳُﺤْﺪِﺛُﻪُ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ .
“ Tidaklah dua orang yang tadinya saling mencintai karena Allah kemudian berpisah kecualidisebabkan oleh dosa yang dilakukan oleh salah satunya “. (HR Bukhary dalam kitab adabul mufrad dari hadits Anas, sahih).
Imam Qatadah berkata :
” Ahli rahmat Allah adalah ahli persatuan walaupun rumah dan badannya berjauhan, dan ahli maksiat adalah ahli perpecahan walaupun rumah dan badan mereka berkumpul “. (Jami’ al bayan 12/85 karya Ath Thabary).
Jadi untuk mewujudkan persatuan hendaknya kita jauhi sebab utama perpecahan yaitu dosa, yang paling besar adalah syirik, lalu bid’ah kemudian maksiat.

Artikel terkait :

Persatuan yang dipertuhankan , Apa Sih Definisi Persatuan Yang BENAR?
Apa Sih Penyebab Utama Perpecahan Umat Islam Ini??
Larangan Bercerai Berai Dan Bagaimana Langkah-Langkah Menuju Persatuan Umat?