Saturday, October 17, 2015

Bedanya Kita dengan Muslimah di Palestina

Bedanya Kita dengan Muslimah di Palestina [1]
Jum'at, 16 Oktober 2015 - 11:00 WIB
Mereka adalah para murabithun (orang yang selalu berjaga-jaga) dalam perang. Bahkan duduk-duduk saja di negeri Ribath pasti sudah dijamin oleh Allah
Coba kita renungkan, jika kondisi Muslimah di Indonesia dihadapkan dengan situasi perang di Palestina. Dapatkah kita menerka, apa yang akan terjadi?
MENDENGAR nama Gaza atau Palestina, dalam pikiran semua orang akan terbesit perang, kekerasan dan kematian.
Bagi masyarakat yang hidup di negara yang aman, nyaman, tentram, dan bebas melakukan apapun tanpa ketakutan yang berlebih (seperti kita di di sini), tentu mendengar negeri Palestina sekian lamanya, akan merasakan sesuatu yang tidak terbahasakan.
Sebagian mencibir, bahwa perang tidak akan habis bila tak ada yang kalah dan mengalah.
Sebagaian bahkan mencela dengan mengatakan,“Lihatlah Timur Tengah, di sana tak berhenti konflik, di sini, Indonesia contoh Islam damai!”
Seolah-olah jika kita damai, negeri ini terbaik. Benarkah kita ini negeri terbaik wabil khusus sebagai negeri yang paling di ridhoi Allah Subhanahu Wata’ala?
Apa yang membedakan kita dengan Palestina? Yang membedakan kita dengan Palestina adalah mereka sudah diberi jaminan dan dijanjikan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai tempat yang diberkahi dan dimuliakan.
Pertama; Hanya tiga masjid yang boleh diziarahi oleh Nabi. Salah satuanya al-Aqsha
Masjid Al-Aqsha disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam hadits :
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَ
Artinya : “Tidak dikerahkan melakukan suatu perjalanan kecuali menuju tiga Masjid, yaitu Masjid Al-Haram (di Makkah), dan Masjidku (Masjid An-Nabawi di Madinah), dan Masjid Al-Aqsha (di Palestina)”. (HR: Bukhari dan Muslim)
Kedua, Dajjal tak mampu menyentuh Baitul Baqdis
Dalam banyak riwayat hadits disebutkan, Si mata satu Dajjal tidak mampu memasuki Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha);
وإنه سيظهر على الأرض كلها إلا الحرم وبيت المقدس ) رواه أحمد ، وصححه ابن خزيمة 2 / 327 وابن حبان 7 / 102 ) .
“…Bahwasanya (Dajjal) akan muncul di muka bumi semuanya kecuali di Masjidil Haram dan Baitul Maqdis”. (HR. Ahmad, dishahikan Ibnu Khuzaimah: 2/327 dan Ibnu Hibban: 7/102)
Dajjal terbunuh didekat Baitul Maqdis, oleh Nabi Isa bin Maryam –alaihis salam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits: “Ibnu Maryam akan membunuh Dajjal di pintu “Ludd”. (HR. Muslim 2937 dari hadits an Nuwas bin Sam’an)
Ketiga, Palestina (dan Negeri Syam) diberkahi
Baitul Maqdis sudah dinyatakan dalam al Qur’an sebagai tempat yang diberkahi
سبحان الذي أسرى بعبده ليلاً من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله (سورة الإسراء: 1)
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya”. (QS. Al Isra’: 1)
Masjidil Aqsa yang merupakan bangunan suci umat Islam, tempat Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam melakukan Isra Mi’raj, masjid yang menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Allah memerintahkan pemindahan kiblat ke Baitullah.
Bagi masyarakat umum yang normal seperti kita akan bertanya? Apa enaknya hidup di negeri perang?
Mengapa tidak sekalian pindah saja?
Itu bukan karena mereka tidak mau hidup damai. Tetapi karena hidup di sana (di Palestina) dengan di sini, memiliki kadar jaminan yang berbeda di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Apa yang dilakukan para Muslimah Palestina melempar batu, membawa bom molotov melawan para penjajah Zionis, dalam rangka menjaga kemuliaan agama Islam dan wibawa umat Islam sedunia. Hatta, harta dan nyawa taruhannya.
Mereka adalah para murabithun (orang yang selalu berjaga-jaga) dalam perang. Bahkan duduk-duduk saja di negeri Ribath pasti sudah dijamin oleh Allah, itu berbeda dengan di tempat ini.
Karena itu, seorang ulama Palestina, Syeikh Hamid Al Bitawi pernah mengeluarkan fatwa sebelum beliau ditangkap oleh Israel , yang menegaskan tentang haramnya hijrah dari Palestina.
“Tidak diperbolehkan kepada pemuda Palestina, meninggalakan negeri ini dalam rangka mencari penghidupan, di masa-masa seperti ini. Karena meninggalkan negeri dalam kedaan ini dilarang secara syar’i”. Fatwa larangan tersebut merujuk kapada firman Allah Ta’ala pada surat Al Anfal:15 yang bermakna, ”Hai orang-orang yang beriman, apa bila kamu sekalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka.”
Bahkan dalam hadits disebutkan;
Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Berjaga-jaga sehari di medan perang di jalan Allah adalah lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.”(HR. Bukhari no. 2892)
SEDIANYA umat Muslim di seluruh dunia patut malu. Sebab rakyat Palestina telah berjasa demi kehormatan umat Islam sedunia. Mereka rela menumpahkan darah dan meregang nyawa demi menjaga Masjid al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam.
Padahal, semestinya umat Muslim di seluruh jagat raya (termasuk kita para Muslimah di Indonesia), berkewajiban sama dengan mereka, menjaga Masjidi al-Aqsha tercinta.
Sekian lamanya perang berkecamuk, sekian banyaknya darah yang tumpah, nyawa yang syahid, namun tidak habis juga perlawanan dari rakyat Palestina.
Sepertinya pasokan tenaga, jiwa, dan senjata, terus menerus ada. Bantuan Allah tentu tidak ada habisnya. Subhaanallah.
Tumbuhkan Anak-anak kita
Pertanyaannya, mengapa dijajah puluhan tahun, selalu tumbuh dari mereka pribadi-pribadi tangguh? Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang kuat, pemberani?
Pertama, tumbuh dengan Al-Quran
Sebagaimana diketahui, di Palestina (khususnya di Gaza), semua orang berusaha menghafalkan Al-Quran. Ada tradisi di Gaza di mana malu jika ada keluarganya tidak hafal Al-Quran. Gaza banyak melahirkan ribuanhafidz Qur’an.
Faktor lingkungan memberikan dukungan besar bagi anak untuk bisa sempurna dalam menghafal al-Qur’an.
Namun, peran ibu sangat besar kedudukannya dalam hal mengasuh dan mendidikan untuk menanamkan nilai moral dan spiritual pada anak-anaknya.
Janganlah sebut keadaan konflik di negara mereka sebagai alasan. Sebab ribuan hafidz dan hafidzah lahir di Palestina bahkan di usia yang sangat muda, 1,5 tahun!
Apa yang dilakukan oleh banyak anak di negara-negara aman seperti kita? Sempatkah menghafal Al-Quran? Atau sempatkah membaca saja? Mampukah anak-anak kita menghafalkan hadits-hadits dan do’a?
Para wanita Gaza dan Palestina, mereka berlomba-lomba mendidik anaknya untuk menghafal al-Quran sedari dini sebab mereka percaya bahwa keimanan dan hafalan Al-Qur’an sajalah yang dapat menolong mereka.
Al-Quran dapat menjadi syafaat bagi mereka beserta keluarga. Mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan itu dapat membantu mereka menjadi pemenang.
Ya, hari ini memang mereka belum dimenangkan Allah. Itu adalah bagian dari takdir yang diinginkan Allah subhanahu Wata’ala. Tapi mereka telah tumbuh menjadi pribadi yang tidak pernah takut. Bahkan dengan senjata seadanya, hanya melemparkan batu.
Lihatlah kejadian-kejadian paling mutakhir, dalam sepuluh hari terakhir ini. Sungguh tidak masuk akal dari segi alat, wanita dan anak -anak Palestina hanya berbekal batu, melawan tank-tank Zionis-Israel dengan senjata yang hebat, bantuan Amerika Serikat.
Keberanian anak-anak Palestina itu sebagian besar mereka dapatkan dari al-Quran. Dan itulah yang ditakuti oleh penjajah Zionis.
Kedua, gila belajar
Palestina sudah dijajah oleh Zionis Yahudi sejak puluhan tahun lamanya. Apakah sekolah-sekolah lantas bubar? Apakah perguruan tinggi ditutup? Jawaban tidak!
Sekolah dan perguruan tinggi memang harus diliburkan jika kondisi sedang darurat. Anak-anak masih belajar, hatta, melewati pos-pos militer yang digaja ketat oleh tentara Zionis.
Perang tidak memutuskan semangat belajar mereka. Di manapun, kapanpun. Senjata-senjata musuh tak membuat anak-anak Palestina berhati ciut.
Sepertinya 24 jam mereka sibuk belajar. Tak ada waktu untuk bermain, berjalan-jalan, nongkrong, menggosip, memperhatikan fashion artis. Bahkan fashion diri mereka saja tidak mereka perhatikan. Bedakan dengan di tempat kita. Di mana-mana sibuk selfie.
Lihatlah kondisi remaja wanita kita. Coba kita renungkan, jika kondisi Muslimah di Indonesia dihadapkan dengan situasi perang di Palestina. Dapatkah kita menerka, apa yang akan terjadi?
Lantas masih perlukah kita bertanya, apa yang membuat mereka seperti itu? Masih perlukah kita bertanya seperti apa para ibu yang mendidik mereka? Wallaahu a’lam.*/Rizky N. Dyah, seorang guru, tinggal di Melak Kutai Barat
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Syekh Raid Shalah: “Hanya Dua Pilihan, Hidup Mulia Atau Mati Syahid!”

Intifada al-Quds
Kamis, 15 Oktober 2015 - 08:00 WIB
Perlawanan ini wajib dilakukan sebagai pertanggung jawaban di hadapan rakyat Palestina, bangsa Arab dan umat Islam sedunia
Kaum Muslimin di Baitul Maqdis (al-Quds)dan Tepi Barat bangkit melawan penjajah. Mereka bergerak sporadis tanpa komando dari organisasi Fatah, HAMAS, atau oOrganisasi keislaman lainnnya di Palestina.
“Intifada ini tidak direncakan oleh pihak tertentu. Rekyat Baitul Maqdis bangkit dengan sendirinya,” terang Ketua Gerakan Islam di wilayah 48, Syekh Raid Shalah kepada Al-Jazeera, Rabu (14/10/2015).
Menurutnya, sebab perlawanan rakyat Baitul Maqdis dengan segala macam bentuknya itu adalah penjajahan Zionis sendiri.
Berbagai kezoliman yang dilakukan Zionis terhadap rakyat Baitul Maqdis di Masjid Al-Qsha, di Rumah, di Jalan Raya, dan semua tempat. Siang dan malam. Juga dilakukan terhadap semua orang, desawa dan anak-anak, lelaki bahkan wanita, ujarnya.
“Dengan seluruh kejahatan itu, Zionis dengan bodoh nya hendak memaksa rakyat Baitul Maqdis meninggalkan negeri mereka. Oleh karenanya rakyat Baitul Maqdis sadar, mereka hanya punya dua pilihan sulit; Hidup mulia di negeri mereka yang diberkahi. Atau bangkit melawan dan mati sebagai syuhada!” katanya lagi.
Pria yang dijuluki “Syeikhul Aqsha” ini mengatakan akan terus melawan hinggal Masjidil Aqsha terbebas dari para penjajah. Tak peduli dirinya dipenjara atau mati dalam keadaan mulia
“Jikapun besok saya diseret ke penjara Zionis Israel. Saya katakan tanpa ragu, penjara hanya bayaran termurah yang dapat kami berikan untuk Kemerdekaan Al Quds dan Masjid Al-Aqsha yang diberkahi,” katanya melalui Video Call kepada Al Jazeera, Rabu (14/10/2015). [Baca: Syeikh Raid Shalah: “Dengan Nyawa dan Darah, Kami Merdekakan Al-Aqsha”]
Menurutnya, hal ini wajib dilakukan sebagai pertanggung jawaban di hadapan rakyat Palestina, bangsa Arab, dan umat Islam seluruhnya.
“Intifada ketiga ini mempunyai ciri khas dari Intifada sebelumnya. Pada Intifada kali ini, rakyat Baitul Maqdis sadar betul bahwa mereka berada pada arena pertempuran yang panjang. Gelora ini tidak akan padam. Makin keras perlawanan Zionis. Makin keras pula perlawanan rakyat Baitul Maqdis. Karena Zinois lah yang memulai semau ini sejak hari pertama mereka Menjajah Palestina!” Pungkasnya.*/M Rizqy U