Saturday, November 28, 2015

Impian Mempersatukan Sunni-Syiah, Tanggapan Atas Tulisan Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin M.A. Jangan (Mau) Diperdaya Ayatullah Iran. Juga Inkonsistensi Metode Kritik Hadisnya ?



Tanggapan atas tulisan Prof. Dr. Kamaruddin Amin
Setelah melihat tulisan Prof. Dr. Kamaruddin Amin yang membahas masalah taqrib (pendekatan) antara Sunni dan Syiah, penulis langsung mengambil HP dan mengirimkan informasi ini (dengan isi pesan, “Guru Besar Ilmu hadis UIN Alauddin, Kamaruddin Amin: Sunni-Syiah sebagai produk sejarah, ketika Sunni dan Syiah mengakui Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Alquran yang sama, Kiblat yang sama, Syahadat yang sama, Mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan, lihat Fajar hari ini, Selasa 28 Feb 2012, hal 4”) ke beberapa tokoh, di antara yang menjawabnya adalah salah satu ketua MUI Kota Makassar dengan isi pesan, “Repot memahami orang yang gak paham sejarah dan hakikat perbedaan sunni-syiah”.
Inti dari tulisan prof. Dr Kamaruddin Amin kemarin adalah ingin mendekatkan atau ingin melakukan usaha taqrib antara Sunni dan Syiah, beliau menulis, “begitu parahkah perbedaan antar keduanya sehingga tak ada secercah harapan mendekatkan kedua kekuatan dahsyat Islam ini”, dan di akhir tulisan, “Mungkin dengan cara itu, Sunni dan Syiah dapat bersinergi membangun peradaban Islam di masa yang akan datang. amin”, semua kaum muslimin mendambakan kejayaan Islam dengan cara membangun peradaban Islami, dan beliau menyetujui itu, ini adalah usaha yang mulia. Namun jika usaha itu dimulai dengan menyatukan atau mendekatkan Sunni-Syiah, menurut kami itu perlu melalui pertimbangan dan penelitian yang matang. Salah satu indikasinya adalah penyimpangan Syiah dari ajaran Islam yang murni sudah terlalu parah, buktinya, di antara 10 kriteria aliran sesat versi MUI, Syiah masuk ke dalam tujuh poin, padahal kalau satu poin saja sudah bisa divonis menyimpang bahkan sesat.(http://lppimakassar.blogspot.com/2012/02/10-kriteria-aliran-sesat-versi-mui.html)
Tidak hanya itu, Depag sejak dahulu telah mengeluarkan surat edaran nomorD/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983, dengan tegas menyatakan Semua itu (paham Syiah) tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Ditambah Fatwa MUI yang merekomendasikan untuk mewaspadai paham Syiah.

Kadang bahkan selalu fatwa ini dipahami bahwa ini bukan fatwa yang memvonis sesat paham Syiah. Namun bagi kami, ungkapan meningkatkan kewaspadaan jelas bermakna WARNING (peringatan). Ajaran Syiah dianggap berbahaya, maka umat islam diingatkan agar waspada oleh MUI. Kalau ajaran Syiah lurus dan sah sesuai syariat Islam, tidak mungkin umat akan diberi peringatan agar waspada.
Perbedaan Sunni-Syiah
Menurut beliau Al Quran kita dengan Al Quran-nya Syiah sama saja, buktinya setelah melihat langsung Al Quran di Iran bahkan di percetakannya tidak ada yang beda sama sekali. Adapun informasi tahrif (pengubahan) dari kitab al Kafi menurut seorang ayatullah yang diajak diskusi oleh beliau bahwa orang Syiah tidak menganggap al Kafi sebagai kitab suci yang tidak mungkin salah, di situ banyak kesalahan yang dikritisi langsung oleh mereka.
Bukan hanya al Kulaini yang mengakui adanya perubahan pada Al Quran, di sana ada kitabFashlul Khithab fi Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab (kata pemisah untuk menegaskan terjadinya perubahan pada Kitab Tuhannya para Tuhan) di dalam kitab itu terdapat banyak contoh perubahan ayat-ayat Al Quran. (lihat daftarnya di buku “Mengapa Kita Menolak Syiah” terbitan LPPI Jakarta), bahkan dalam muqaddimah kitab itu penulisnya mencantumkan tidak kurang dari 30 nama ulama Syiah yang mendukung pendapatnya!
Ulama Syiah yang lain, Al Kirmani mengatakan, “Terjadi perubahan dan pengurangan pada Al Quran!, Al Quran yang terjaga itu tidak ada melainkan ada pada Al Qa’im (Imam mahdi), dan Syiah itu terpaksa membaca Al Quran ini (Al Quran sekarang) sebagai bentuk taqiyyah dari perintah keluarga Muhammad alaihis salam” (Al Kirmani, Ar Radd ‘ala Hasyim Asy-Syami, hal 13, cet Iran)
Bahkan Ulama Syiah yang lain, Ni’matullah Al Jaza’iri mengatakan, “diriwayatkan dari berita-berita bahwa mereka (para Imam Syiah) alaihimus salam memerintahkan pengikut mereka membaca Al Quran yang ada sekarang ini di dalam shalat dan selainnya, juga mengamalkan hukum-hukumnya sampai muncul Maulana Shahibuz Zaman (Imam Mahdi) kemudian ia akan mengangkat Al Quran ini dari tangan manusia ke langit dan mengeluarkan Al Quran yang disusun oleh Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib ra) kemudian dibaca dan hukum-hukumnya dilaksanakan” (Ni’matullah Al Jaza’iri, Al Anwar An Nu’maniyyah, Jilid 2, hal 363-364) bukankah Apa yang dilakukan oleh Iran dengan mencetak Al Quran yang sama dengan Al Quran kita adalah taqiyyah (menyembunyikan apa yang diyakini)?
Tentang sahabat, pendapat para ayatullah bahwa mereka menghormati Abu Bakar, Umar dan Utsman perlu diklarifikasi lebih jauh. Sebagai contoh, kuburan pembunuh Umar sangat diagung-agungkan, bangunan kuburannya seperti istana, bahkan ia dijuluki Pahlawan Pembela Agama, bukankah ini bukti konkret akan bencinya mereka terhadap Umar bin Khattab?
Al Majlisi berkata, “Perkataan alaihis salam ‘huma/ mereka berdua’ adalah Abu Bakar dan Umar, dan yang dimaksud dengan ‘Fulan’ adalah Umar, artinya Jin yang disebutkan di dalam ayat adalah Umar, dia dinamakan demikian karena dia merupakan setan, baik ia menyerupai setan karena ia anak zina atau karena makar dan tipu dayanya seperi setan, dan yang terakhir mengandung kebalikannya, yaitu yang dimaksud dengan ‘Fulan’ adalah Abu Bakar!!!” (Mir’aatul ‘Uquul, jilid 26, kitab Ar Raudhah, hal 488) bukankah ini bukti bahwa orang Syiah sangat membenci Abu Bakar dan Umar bin Khattab RA?
Ni’matullah Al Jaza’iri berkata, “Di Zaman Nabi Shallallahu alaihi wa aalihi, Utsman termasuk orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kemunafikan! ” (Al Anwar An Nu’maniyyah, jilid 1, hal 81)
Lebih dari itu, dalam acara-acara asyura mereka yang diadakan di Makassar juga di tempat lainnya mereka sangat mendiskreditkan sahabat (baca, Fajar, Selasa, 29 Des 2009)
Tentang Nikah Mut’ah MUI sudah memfatwakan keharamannya (silahkan lihat alasan dan dalil lengkapnya di Himpunan Fatwa MUI, tahun 2010, hal 350-355). Nabi Muhammad saw bersabda, “Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat” (HR. Muslim) sehingga bukan Umar yang mengharamkan Nikah Mut’ah, namun beliau hanyalah mempertegas larangan Nabi Muhammad saw.
Beberapa mahasiswi di Makassar sudah melakukan Nikah Mut’ah, bahkan salah satu di antara mereka mengatakan bahwa yang meninggalkan Nikah Mut’ah bisa termasuk golongan kafir! (lihat Skripsi Mahasiswa Fakultas Psikologi UNM tahun 2011 “Perempuan Dalam Nikah Mut’ah” hal 59)
Penulis pernah mendapatkan tarif Nikah Mut’ah di internet (http://www.eramuslim.com/berita/dunia/tarif-nikah-mut-ah-di-iran.htm) apakah ini mengindikasikan bahwa Nikah Mut’ah mudah dilakukan di Iran atau tidak. Wallahu a’lam
Terakhir, Jika ingin dijabarkan lebih jauh kita akan menemukan perbedaan-perbedaan Sunni dengan Syiah yang begitu banyak, perbedaan-perbedaan itu diungkap untuk menjaga aqidah umat Islam supaya tidak disusupi dengan aqidah yang rusak, karena jika aqidah rusak seluruh amalan tertolak. Hal ini dilakukan untuk memperjelas mana yang haq/ benar dan mana yang bathil/ salah, dan agar keduanya tak bercampur menjadi satu, bukan justru dikaburkan. Sunni dan Syiah akan bisa bersinergi untuk membangun peradaban Islam jika Syiah benar-benar berhenti menyakiti perasaan keagamaan kita. Apa  yang terjadi sekarang ini di Suriah menunjukkan bahwa jika mereka kuat tidak akan bertoleransi dengan kita.Wallahu a’lam

Oleh: Muhammad Istiqamah, Mahasiswa Semester 6 Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh, STIBA Makassar
(Muis/LPPIMakassar.blogspot.com)



Oleh. K.H. M. SAID ABD. SHAMAD, Lc
Bolehkan kita berkata, “Ketika Republik Indonesia (RI) dan Republik Maluku Selatan (RMS) mengakui tanah air yang sama, bahasa yang sama, negara yang sama, dan bangsa yang sama, mengapa perbedaan dibesar-besarkan?” Tentunya tidak boleh! Ini tanggapan penulis terhadap ungkapan Prof. Dr. Kamaruddin Amin yang berbunyi,  “Ketika Sunni dan Syiah mengakui Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Al Quran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan?” (Fajar, Selasa, 28/2/2012).
Prof. Kamaruddin adalah penulis kedua kesan-kesan perjalanan ke Iran oleh pegurus MUI Pusat dan Daerah baru-baru ini, setelah Prof. Dr. Hamdan Juhannis, menulis kesan-kesannya tiga kali berturut-turut di Fajar, 15,16, dan 17 Feb 2012 yang lalu. Menurut Prof. Hamdan, ini adalah kerjasama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Mushtafa International University (MIU), dan beberapa Guru Besar serta Doktor UIN Alauddin Makassart mewakili MUI Sulsel dalam rombongan ini dimana Prof. Dr. H. Umar Shihab adalah inisiator kegiatan akdemik di Iran.
Disini penulis meragukan, betulkah kegiatan ini kerjasama resmi  MUI dengan MIU Iran, karena MUI telah jelas sikapnya terhadap syiah: 1. Bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syiah secara umum dan ajarannya tentang nikah mutah secara khusus (Himpunan Fatwa MUI, hal. 351). 2. Faham Syiah mempunyai perbedaan pokok dengan mazhab Sunni yang dianut oleh umat Islam Indonesia. 3. Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, dan Usman-radhiyallahu anhum- sedang Ahlussunnah wal Jamaah mengakui keempat khulafaur rasyidin tersebut. 4. Mengingat perbedaan pokok antara syiah dan Ahlussunnah wal Jamaah, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (Pemerintahan), Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran Syiah. (H. fatwa MUI. Hal. 48-49).

Pada selasa sore, 28/02/12  penulis kirim pertanyaan  kepada beberapa pengurus MUI Pusat, tentang perjalan ke Iran kali ini, maka Dr. KH. Cholil Nafis (Sekertaris Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat) menjawab, “Itu bukan keputusan dan bukan kerjasama resmi MUI.” Lebih tegas lagi Prof. Dr. Yunahar Ilyas (Ketua MUI Pusat) menyatakan , “Rapat MUI sudah memutuskan bahwa tidak ada kunjungan resmi atasnama MUI ke Iran, itu semua kunjungan atasnama pribadi walaupun pengurus MUI baik Pusat maupun Daerah.” Setahu penulis ini adalah untuk keduakalinya pengurus MUI Pusat Prof. Umar Syihab melakukan inisiatif pribadi dengan mengatasnamakan MUI Pusat, dengan mengirim para Guru Besar dan Doktor UIN Alauddin Makassar dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke Iran untuk menerima “pelajaran” dari para Ayatullah di sana, agar kembali ke Indonesia dan menyampaikan pesan dan kesan yang berbeda dengan sikap resmi MUI Pusat di atas.
Pada perjalan pertama, harian Fajar memuat tulisan dengan judul, MUI: Syiah Sah Sebagai Mazhab Islam. Di antara beritanya: di tengah upaya ormas-ormas Islam tertentu menyesatkan aliran Syiah di Indonesia, petinggi MUI Pusat justru menempuh sikap sebaliknya. Ketua MUI Pusat Prof. Dr. Umar Syihab menandatangani naskah kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan Sekjen Majma’ Taqrib Bainal Madzahib, Ayatullah Ali Taskiri. Poin penting dalam Mou tersebut adalah pengakuan bahwa Syiah adalah termasuk salah satu mazhab dalam Islam yang sah di Indonesia. Sekretaris MUI Sulsel Pro. Dr. Ghalib yang ikut dalam rombongan mengatakan, “Saya fikir perbedaan kita (Sunni) dan Syiah hanya soal Imamah, dan itu tidak menjadikan mereka sesat.” Ghalib pun mengakui bahwa memang ada kelompok  dari ormas yang mempermasalahkan keberadaan Syiah di  Sulsel, namun ia meyakinkan MUI akan berupaya menyelasaikan perbedaan pandang antar kelompok Islam ini secara damai. (Ahad, 1 Januari 2012).
Prof. Kamaruddin dalam tulisannya tersebut mengatakan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Usman adalah Sahabat yang mereka hormati. Di bagian lain beliau menulis, “Perbedaan yang paling mendasar yang diakui oleh mereka adalah tentang Khilafah, mereka mengakui bahwa yang berhak menjadi Khalifah setelah Nabi adalah Ali, bukan Abu Bakar, Umar, dan Usman.” (Fajar, Selasa, 28 Feb 2012)
Di sini penulis menilai bahwa sebagian Guru Besar UIN Alauddin Makassar dengan mudah dikelabui oleh para Ayatullah Syiah di Iran sehingga dengan enteng mengatakan, “Mengapa perbedaan ini perlu dibesar-besarkan?” Padahal justru soal Khalifah sesudah Nabi yang disebut juga Imamah inilah yang menjadi alasan utama MUI Pusat menyerukan agar mewaspadai masuknya ajaran yang berdasarkan paham Syiah. Imamah menurut Syiah adalah salahsatu rukun iman dan merupakan pangkat kepemimpinan berupa penunjukan ilahi kepada Imam Ali ra dan Imam-imam sesudahnya yang berjumlah duabelas. Siapa yang mengingkarinya adalah kafir. Berkata Al Mufid, “Sepakat Syiah Imamiah bahwa barangsiapa yang mengingkari salahseorang dari Imam-imam itu dan menolak kewajiban dari Allah untuk mentaatinya, maka ia kafir lagi sesat dan kekal dalam neraka.” (Biharul Anwar lil Majelisi, jilid XXIII, hlm. 390). Berkata Assaduq, “Keyakinan kami terhadap orang yang mengingkari Imamahnya amirul mukminin dan Imam-imam sesudahnya sama dengan orang yang mengingkari kenabian seluruh para nabi. Dan keyakinan kami terhadap orang yang mengakui kepemimpinan Amirul Mukminin (Ali) tapi mengingkari kepemimpinan salahseorang dari Imam-imam sesudahnya sama dengan orang yang mengakui seluruh nabi tapi mengingkari kenabian Muhammad saw.” (Risalatul I’tiqadaat, hlm. 103). Berkata Emilia Renita, Sekretaris IJABI dalam bukunya yang diedit oleh suaminya, Dr. Jalaluddin Rakhmat, “Yang tidak mengenal imam, mati jahiliah. Mati jahiliah berarti mati tidak dalam keadaan Islam.” (40 Masalah Syiah, hlm. 98). Dr. Jalaluddin Rakhmat yang menulis kata pengantar sebagai editor dalam buku tersebut mengatakan, “Secara khusus, sebagai Ketua Dewan Syuro Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia, kami memberikan buku ini kepada seluruh anggota IJABI sebagai pedoman dakwah mereka.” Dari keterangan penulis di atas apakah bijaksana dan tepat pernyataan kedua Guru Besar UIN Alauddin Makassar di atas, “Mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan dan saya fikir perbedaan kita (Sunni) dan Syiah hanya soal Imamah, dan itu tidak menjadikan mereka sesat.”  
Maka sebagai Guru Besar UIN Alauddin seharusnya hati-hati dalam menerima informasi (tabayyun) yang sepihak agar pernyataannya dapat obyektif. Kenapa harus jauh-jauh pergi mendengar tentang Syiah, sedang LPPI sudah sekian lama mau menghadap UIN Alauddin untuk menjelaskan tentang hal itu namun ditolak secara langsung atau tidak langsung.
(Ketua LPPI Makassar, Anggota Komisi Dakwah MUI Makassar)
(Muis/LPPIMakassar.blogspot.com)

Oleh: Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A.*

Inkonsistensi Metode Kritik Hadis? BANTAHAN terhadap Prof. DR. Kamaruddin Amin

PENDAHULUAN
Sikap kritis terhadap produk intelektual ilmuwan terdahulu merupakan suatu keniscayaan. Sikap taken for granted suatu produk pemikiran akan menyebabkan perkembangkan ilmu pengetahuan menjadi stagnan. Adanya diskursus yang menghadirkan tesis, antitesis dan sintesis melahirkan iklim keilmuan yang menggairahkan.
Namun demikian, produk pemikiran yang “belum matang” alias prematur dan dipublikasikan secara luas dapat berekses negatif di dalam masyarakat. Dalam konteks pemikiran yang menggugat kemapanan konsep ulama hadis bisa berimplikasi tashkik(upaya meragukan) terhadap kitab-kiaab induk hadis, dan hasil penelitian semacam itu bisa ber-“efek domino” dan menjadi “amunisi” yang digunakan oleh aktivis inkar al-sunnah  untuk merobohkan kedudukan hadis sebagai salah satu dari marja’iyyah al-‘ulya fi al-Islam.
Tulisan ini membahas salah satu pemikiran Prof. Dr. Phil. HKamaruddin Amin, M.A tentang konsep kritik hadis menurut ulamahadis.Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.Aperaih gelar doktor dengan predikat Summa Cumlaude dalam bidang studi Islam di Rheinischen Friedrich Wilhelms Universitaet Bonn, Jerman. Beliau pernah menjadi dosen dan pembantu rektor bidang kerjasama dan Pengembangan Kelembagaan UIN Alauddin Makasar. Saat ini beliau menjabat sebagai Direktur Jendral Pendidikan Islam Kemenag RI.

KRITIK KAMARUDDIN AMIN DAN BANTAHANNYA
Kamaruddin Amin dalam Pidato pengukuhan guru besarnya di Bidang Ilmu Hadis Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar tanggal 29 Desember 2010 berjudul “Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis: Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat”[1] dan juga dalam makalah  berjudul “Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif”menyebutkan bahwa ”Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap yang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ulumul hadis dengan keadaan objektif literatur hadis. Kalau teori ulumul hadis diaplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadis menurun secara sangat signifikan.”[2]
Pendapat professor di atas patut dinilai ”prematur” karena kurang didasari argumentasi yang cukup meyakinkan. Bahkan, pendapat tersebut merefleksikan ketidakmampuan peneliti mutaakhirin dalam memahami manhaj (metodologi) ulama hadis mutaqaddimin. Penilaian ”prematur” semacam ini juga pernah kami temui dalam penelitian skipsi yang menguji kembali penilaian DR. Muhibbin–saat ini menjadi guru besar Ilmu hadis di UIN Semarang dalam disertasi doktoralnya di (saat itu) IAIN Sunan Kalijaga—yang mengklaim banyaknya hadis-hadis dalam Kitab Sahih al-Bukhari yang tidak memenuhi syarat kesahihan hadis.
Jika ditelusuri, ternyata perspektif Sang guru besar tersebut berangkat dari metode kritik hadis yang bersifat global (mujmal). Padahal dalam tataran implemetasi praktis para ulama hadis mutaqaddimin, kaidah-kaidah umum yang diramu oleh ulama hadis tersebut memiliki perincian yang lebih kompleks.
Coba perhatikan argumentasi Prof. Kamaruddin Amin dalam makalah Pidato pengukuhan guru besarnya tersebut: ”Contoh sederhana, teori ulumul hadis mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqa.”
Pendapat di atas adalah bukti—maaf—terlalu globalnya pemahaman Profesor tentang konsep riwayat mudallisin. Seharusnya seorang mahasiswa ilmu hadis, apalagi seorang doktor dan professor mengetahui bahwa menilai riwayat mudallis tidak sesederhana itu. Pernyataan tersebut hanya pantas dikatakan oleh seseorang yang pemula di awal belajar ilmu hadis. Penilaian terhadap perawi mudallis tidak bisa ”dipukul rata” seperti itu. Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Kitab Ta’rif Ahl al-Taqdis bi Maratib al-Mawshufiin bi al-Tadlis—bersumber dari klasifikasi para perawi yang dikritik melakukan tadlis (mudallisin) menurut al-‘Ala’iy dalam Jami’ al-Tahsil–menyebutkan bahwa para perawi mudallis itu terbagi dalam lima (5) tingkatan. Tingkatan 1 dan 2 adalah para mudallis yang diakui ittishal sanad-nya,` baik pada riwayat yang lafadz sama’-nya diungkapkan dengan jelas atau tidak seperti mengatakan ‘an dan sejenisnya. Adapun tingkatan 3, 4 dan 5 mensyaratkan apa yang disebutkan oleh professor. Perincian tentang ini ada dalam Kitab Manhaj al-Mutaqaddimiin fi al-Tadliis oleh Nasir bin Hamd al-Fahd 2 jilid
Jika Profesor berpegang kepada pendapat : “…riwayat seorang mudallis tidak bisa dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqa.”

Maka, banyak riwayat hadis dari para tokoh-tokoh perawi hadis yang hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Ashabus sunan seperti A’masy, Ayub Al-Sakhtiyani, Qatadah, Sufyan al-Tsaury dan Sufyan bin ’Uyainah, dll termasuk Imam Malik tidak bisa dijadikan hujjah. Dalam Shahih al-Bukhari saja, Jumlah perawi yang dikritik sebagai perawi mudallis dalam Sahih al-Bukhari sebanyak 68 perawi yang 57, 3% diantaranya adalah mudallis level 1 dan 2. Lihat Disertasi DR. Awwad al-Khalaf. Riwayat al-Mudallisin fi Sahih al-Bukhari: Jam’uha-Takhrijuha-al-Kalam ‘alaiha.
Penilaian global semacam itu tidak objektif. Karena banyak perawi mudallis yang tidak me-tadlis kecuali dari perawi yang tsiqoh seperti Ibrahim bin Yazid al-Nakha’I, Isma’il bin Abi Khalid, Basyir bin al-Muhajir, al-Hasan al-Basri (perawi ini juga dikritik Prof), Sufyan al-Tsaury dan Sufyan bin ‘Uyainah, dll. Atau perawi mudallis dengan periwayatan mu’an’an tetapi dari guru mulazamah dalam waktu lama, seperti Husyaim bin Basyir ’an Husain bin Abdul Rahman. Atau karena perawi mudallis tersebut sedikit kasus tadlisnya, atau riwayat tadlisnya diperinci yaitu ditolak jika meriwayatkan dari gurunya yg tertentu dan diterima dari guru tertentu, dll. Para perawi mudallis semacam ini tidak bisa diklaim tertolak periwayatannya begitu saja dengan kaidah global seperti pendapat Profesor di atas.
Ditambah lagi dengan fakta bahwa lafaz ungkapan (sighot) mu’an’an tidak selamanya orisinil dari ungkapan para perawi di level atas (guru) tetapi diubah untuk peringkasan sanad oleh murid. Hal inilah yang harus ditelusuri sebelum menggunakan kaidah global di atas. Lihat penjelasan DR. Khalid al-Daris “Mauqif al-Imamain al-Bukhari wa Muslim min Istirath al-Liqa wa al-Sima’.
Selanjutnya kita lakukan uji verifikasi atas dalil atau argumen Profesor…

Profesor berkata: ”Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur hadis dengan mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis. Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis, kutub al-sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah lansung dari informannya atau tidak. Dalam kutub al-sitta, Abu al-Zubayr meriwayatkan 360 hadis dari Sahabat Jabir b. Abdullah saja, belum termasuk hadis yang diriwayatkan Abu al-Zubayr dari Sahabat lain. Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abu al-Zubayr dalam kitab kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut, Muslim merekam 194, Abu Dawud 83, Tirmizi 52, Nasai 141 dan Ibn Maja 78 hadis. Sebenarnya, jalur Abu Zubayr – Jabir dalam kutub al-sitta sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadis hadis yang berulang. Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam Sahih Muslim, 125 diantaranya Abu Zubayr menggunakan kata-kata ‘an dan sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata haddathana dan sejenisnya. Menurut teori ulumul hadis, riwayat seperti ini tidak bisa di jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis termasuk dalam sahih Buhari dan Muslim.”
Pendapat di atas dapat dikritisi sebagai berikut:
Untuk diketahui, Abu Zubayr yang dimaksud oleh Profesor di atas adalah Muhammad bin Muslim bin Tadrus al-Qurashy al-Asady atau lebih dikenal dengan Abu al-Zubayr al-Makky. Seorang tabi’in yang wafat tahun 126 H. Beliau seorang perawi yang tsiqoh, namun dinilai melakukan tadlis.

Menurut Profesor: ” Abu Zubayr, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis. Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya”. Pendapat tersebut perlu diberi catatan dalam konteks Kitab Sahih Muslim:
(1) Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam Sahih Muslim—menurut perhitungan profesor—tetapi menurut penelusuran kami jumlahnya lebih dari 200 hadis (melalui Maktabah Syamilah tanpa verifikasi sebanyak 214 hadis)—terdapat 66 hadis dengan ungkapan murid perawi Abu al-Zubair tentang Abu al-Zubair “Annahu Sami’a Jabir”. Dan 2 hadis dengan ungkapan Abu al-Zubair sendiri “Haddatsana Jabir”. Serta satu hadis dengan lafaz “Haddatsahu annahu ra’a Jabir”. Dengan demikian, status validitas (kesahihan) hadis tersebut tidak terpengaruh dengan klaim status tadlis Abu al-Zubair.

(2) Imam Al-Dzahaby sendiri dalam Kitab “al-Muqidzah” menetapkan riwayat Abu al-Zubair ‘an Jabir dari jalur al-Laits dan Zuhair termasuk dalam maratib (peringkat) jalur sanad tersahih. Demikian pula penelitian DR. Hamzah al-Malibary dalam Kitab “Al-Muwazanah fi Tashih al-Ahadits wa Ta’liliha” menegaskan mu’an’an jalur tersebut bernilai ittishol (sanadnya bersambung). Di dalam Sahih Muslim terdapat 59 hadis Abu al-Zubair dengan jalur sanad tersebut.
(3) Sebenarnya ada 11 argumen untuk membantah orang-orang yang mendho’ifkan hadis Abu al-Zubair dengan alasan “tadlis”-nya. Hal ini dapat dikaji dalam Kitab Dr. Al-Auny “al-Mursal al-Khofy wa ‘Alaqatuhu bi al-Tadlis” di Juz 1 dan Kitab karya DR. Khalid al-Daris “Mauqif al-Imamain al-Bukhari wa Muslim min Istirath al-Luqoya wa al-Sima’hal. 338-145 dan “Al-Idah wa al-Tabyin bi Anna Aba al-Zubair Laisa min al-Mudallisiin”. Pembahasan lain terkait status Abu al-Zubair ini dapat dikaji dalam tulisan DR. Salih bin Ahmad Rida dalam Kitabnya “Sahifah Abu Al-Zubair al-Makky ‘An Jabir bin Abdillah al-Anshary radiyallahu ‘anhuma” dan Abu al-Mundzir Muhammad Ibn ‘Abdul Latif al-Minyawy dalam Kitab “Syarh al-Muqizah li al-Dzahaby”. Bahkan Al-Minyawi membuktikan status ketsiqohan level mudallis-nya Abu al-Mudzir lebih unggul daripada beberapa perawi level 2 bahkan 1 dalam kategori al-Hafiz Ibnu Hajar.
(4) Hal yang seharusnya diklarifikasi dulu oleh Profesor sebelum menggunakan kadiah global di atas adalah apakah jika di dalam suatu jalur sanad disebutkan “Abu al-Zubayr ‘an Jabir” adalah benar-benar orisinil merupakan ungkapan yang bersumber dari Abu Jubair sendiri? Sehingga nisbat kepada gurunya diragukan karena status tadlisnya. Faktanya ternyata, tidak semua sighot tahammul wal ada “mu’an’an” itu bersumber dari perawi itu sendiri tetapi dari perawi di bawahnya sebagaimana hasil penelitian DR. Khalid al-Daris dalam “Mauqif al-Imamain al-Bukhari wa Muslim…”. Hal ini dapat dikonfirmasi dalam Sahih Muslim sendiri. Misalnya pada hadis nomor 93, 1063, 1552 dan 1554. Imam Muslim membandingkan data perubahan ungkapan tahammul itu pada jalur yang berbeda untuk hadis yang sama.
Dengan demikian, kesimpulan Profesor bahwa “Menurut teori ulumul hadis, riwayat seperti ini tidak bisa di jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis termasuk dalam sahih Buhari dan Muslim.” adalah kesimpulan yang PREMATUR…
Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A menyatakan argumentasi berikutnya: ”Kasus yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh mayoritas kritikus hadis, Hasan al-Basri dianggap sebagai mudallis. Meskipun ada juga yang memujinya sebagai faqih dan murua, tapi ia tetap diklaim telah melakukan tadlis. Terlepas dari apa yang disampaikan oleh para kritikus hadis tentang tokoh ini, kemunculannya sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab hadis menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan. Dalam kutub al-sitta saja Hasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadis. 43 hadis diantaranya terdapat dalam Sahih Bukari dan Muslim (the most highly appreciated hadith collections). 31 hadis terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 12 terdapat dalam Sahih Muslim. Dari 31 hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari, hanya delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya, yang oleh para kritikus hadis dianggap mendengarnya secara langsung dari informantnya. Dalam 17 hadis, Hasan al-Basri ber ’an’ana, yang oleh para kritikus hadis dianggap tidak menerimanya secara langsung. Selebihnya, hadis Hasan al-Basri dalam Sahih al-Bukhari adalah mursal. Dalam Sahih Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri mengatakan haddathana dari 12 hadis yang diriwayatkannya. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan menerapkan teori ulumul hadis pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis dalam al-Bukhari dan delapan hadis dalam Sahih Muslim harus ditolak, atau paling tidak kehujjahannya harus di ”gantung” sampai ada hadis lain yang thiqa yang dapat menguatkannya.
Pendapat Profesor di atas hampir sama dengan pendapat DR. Muhibbin, MA dalam Disertasinya yang mengklaim bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Abi Bakrah ra adalah hadis yang tidak memenuhi syarat ketersambungan sanad (ittishol sanad) karena tadlis. Oleh karena itu, saya kutipkan dari pembahasan tentang status riwayat Al-Hasan Al-Basri ini dari pembahasan skripsi saya “Isykaliyah Hawla Ahadith al-Bukhari wa Syart Sahihi..” sbb:
Menurut DR. Muhibbin, hadis-hadis tersebut tidak muttashil karena terputusnya sanad pada al-Hasan dari Abu Bakrah ra. Al-Hasan (w. 110 H) tidak pernah meriwayatkan langsung hadis dari Abu Bakrah (w. 51 H), tetapi melalui perantara perawi lain (al-wasithoh) yaitu al-Ahnaf bin Qais (w. 67 H). DR. Muhibbin merujuk kepada pendapat ad-Daruquthni (w. 385 H) yang membuktikan “illat” di atas dalam kitabnya Al-Ilzamat wa al-tatabu’. Sebenarnya Ibnu Hajar al-Asqolani telah menjelaskan permasalahan ini dalam Kitab Hadyu as-Sary, akan tetapi DR. Muhibbin tidak sepakat dan berkomentar bahwa Ibnu Hajar hanya bersandar kepada indikasi dalam al-Jami’ al-Sahih menyatakan al-Hasan mendengar dari Abu Bakrah sementara al-Bukhari sangat ketat dalam masalah (iitishol sanad) itu. Menurutnya, pendapat Ibnu Hajar ini tidak dapat mengalahkan argumentasi bahwa al-Hasan tidak mendengar langsung dari Abu bakrah.
Jika klaim DR. Muhibbin tentang keterputusan sanad antara Al-Hasan ‘an Abi Bakrah ini benar, maka hal tersebut cukup signifikan mengingat dalam Kitab Shohih al-Bukhari terdapat dua belas (12) hadis yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Abu Bakrah ra.
Data pribadi Al-Hasan al-Bashri
Al-Hasan bin Abu al-Hasan al-Bashri, seorang tabi’in yang faqih dan tokoh yang masyhur dengan keutamaannya. Beliau wafat tahun 110 H ketika berumur hampir 90 tahun. Menurut data memang al-Hasan sering meng-irsal-kan dan melakukan tadlis hadis. Adapun Abu Bakrah ats-Tsaqofy, seorang shahabat Nabi SAW. Nama aslinya Nufai’ ibnu al-Harits. Wafat tahun 52 H di Basrah, saat kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW dan orang yang meriwayatkan hadis darinya antara lain anak-anaknya Abdurrahman (w. 96 H), Abdul Aziz, Abdullah, termasuk Al-hasan al-Bashri (w.110 H), Al-Ahnaf bin Qois (w. 67 H atau 72 H di Kufah), Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Adz-Dzahaby dalam menerangkan biografi al-Hasan menyatakan bahwa al-Hasan melakukan irsal dari beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Tholib (w. 40 H), Ummu Salamah. Al-hasan tidak mendengar langung (sima’) dari Abdullah bin Umar (w.73 atau 74 H), Abu Musa al-Asy’ary (w.50 H), Ibnu Abbas (w. 67 H), Abu Hurairah (w. 57 H), dll.
Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa dari aspek mu’asharah antara al-Hasan dengan para shahabat telah terpenuhi. Karena al-Hasan yang lahir tahun 21 H. sementara Abi Bakrah ra wafat tahun 51 H, sehingga ada rentang waktu 30 tahun kesempatan bertemu (mu’asharah zamaniyah). Demikian pula mereka pernah bersama di satu wilayah yaitu di Kota Basrah dengan Abi Bakrah (mu’asharah makaniyah).
Argumentasi Penetapan sima’-nya al-Hasan dari Abi Bakrah ra & Verifikasi Status Tadlisnya
Dalam hadis al-Bukhari nomor. 3463 Kitab al-Manaqib bab Manaqib al-Hasan wal Husain Ra. Riwayat Shodaqoh (bin Al-Fadl) dari (Sufyan) Ibn Uyainah dari Abu Musa dari al-Hasan yang menyatakan “Sami’a Aba Bakrah”. Berikut teksnya :

فَقَالَ الْحَسَنُ وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرَةَ يَقُولُ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِصلى الله عليه وسلمعَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ إِلَى جَنْبِهِ ……. . قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ إِنَّمَا ثَبَتَ لَنَا سَمَاعُ الْحَسَنِ مِنْ أَبِى بَكْرَةَ بِهَذَا الْحَدِيثِ .
Dan berkata Al Hasan; Sungguh saya mendengar Abu Bakrah berkata; Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas mimbar bersabda, ketika itu Al Hasan ada disamping beliau. Sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya: “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin “. Ali bin Abdillah berkata kepadaku: “Sesungguhnya kepastian mendengar (sima’)nya al-Hasan dari Abu Bakrah dengan (keterangan) hadis ini.” (Al-Bukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Kitab As-Sulhu Bab Qaul an-Nabi SAW li al-Hasan bin ‘Ali ra (ibniy hadza sayyidun), no. 2704.)

Ali bin Abdillah yang dimaksud oleh al-Bukhari adalah Guru beliau, Ali bin Abdullah Ibnu Al-Madini (w. 234 H). Ali ibn Al-Madiny adalah seorang ulama yang diakui kredibilitas dan kapasitas keilmuan dan kepakarannya dalam ilmu hadis, khususnya dalam masalah ‘ilalhadis. Ahmad bin Hanbal berkata : Orang yang paling mengetahui masalah ‘ilal di antara kami (para muhaditsin) adalah Ali bin Al-Madini. Al-Bukhari sendiri berkomentar tentang gurunya tersebut: “saya tidak merasa yunior dihadapan siapapun dalam ilmu hadis kecuali di hadapan Ali bin Al-Madini. Abu Hatim Ar-Rozy berkata : “Beliau adalah panji (yang dipedomani) manusia dalam ilmu hadis dan ‘ilal-nya. Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’y mengomentari Ali al-Madiny adalah puncak ketinggian ilmu ‘ilal hadis an-nabawy ditambah lagi keilmuannya yang luas tentang ilmu naqd ar-rijal, hafalan hadis yang banyak dan kedalaman pengetahuan tentang ilmu hadis. Pernah bertemu bertemu Hammad bin Zaid dan (berguru) kepada Yahya bin Sa’id al-Qoththon. Menulis banyak karya tulis, bahkan dikatakan mencapai sekitar dua ratus tulisan.
Penegasan Ibnu al-Madini ini untuk mengklarifikasi status periwayatan al-hasan dari Abi Bakrah ra yang diklaim banyak melakukan irsal dari orang yang belum pernah ditemuinya dengan shighot (ungkapan) yang menyebabkan orang menduga riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah adalah mursal. Dengan adanya riwayat yang secara tegas dan jelas menyebutkan pengakuan sima’-nya al-Hasan dari Abi Bakrah, maka kepastian status sima’nya itu valid.
Di antara argumen yang kontra sima’ al-Hasan dari Abi Bakrah adalah dugaan tentang sedikitnya kesempatan al-Hasan untuk bertemu para sahabat Nabi dan melakukan aktivitas periwayatan hadis dari mereka, mengingat seringnya al-Hasan al-Basri pergi berjihad dan kesibukannya menjadi sekretaris Amir Khurasan, Ar-rabi’ ibnu zayyad serta menjadi mufti Kota Basrah menggantikan Jabir bin Zaid Abu asy-Sya’tsa’.
Syarif Hatim al-Auny dalam penelitiannya terhadap riwayat-riwayat al-Hasan yang kemudian dibukukan dalam Kitab “al-Mursal al-Khafy” mengoreksi pendapat tersebut. Al-Auny menyatakan jika sebab adanya tadlis adalah karena jihadnya al-Hasan, maka justru jihadnya al-Hasan tidaklah totalitas menjauhkannya dari aktivitas keilmuan. Bahkan sebaliknya, dengan aktivtas jihadnya itulah al-Hasan bisa bertemu dengan banyak sekali sahabat Nabi SAW yang merupakan pintu mendapatkan riwayat hadis. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari al-Haitsam bin ‘Ubaid dari bapaknya dari al-Hasan bahwa ada seseorang yang berkata kepada al-Hasan; “Engkau menympaikan hadis kepada kami dengan mengatakan “Nabi SAW bersabda”, alangkah baiknya jika engkau menyebutkan sanadnya kepada kami. Al-Hasan menjawab: “Demi Allah, kami tidak berdusta kepadamu dan kami tidak dibohongi (oleh yang meriwayatkan kepada kami), sungguh aku telah ikut dalam peperangan (jihad) di daerh Khurasan dan di tengah-tengah kami ada 300 orang sahabat Nabi SAW.”

Bahkan dalam penelitian Umar Im’an Abu Bakar dalam “At-Ta’sis fi Fanni Dirasat al-Asanid” menyebutkan riwayat dari al-Hasan yang menjelaskan manhajnya dalam Irsal yaitu jika al-Hasan mendapatkan riwayat suatu hadis dari empat orang sahabat maka dia meninggalkan penyebutan nama-nama shahabat dan sanadnya langsung disandarkan kepada Rasulullah SAW.
Yahya bin Sa’id al-Qothon ketika menjelaskan tentang hadis-hadis Samrah yang diriwayatkan oleh al-Hasan berkata : al-Hasan adalah seorang ulama yang terkumpul kebaikan dalam dirinya, seorang yang alim, tinggi kedudukannya, dihormati, seorang perawi yang tsiqot ma’mun, ahli ibadah, luas ilmunya, fasih lisannya, bagus penampilannya. Hadis-hadis yang disebutkan sanadnya oleh al-Hasan dari orang yang pernah dia dengar adalah hadis yang menjadi hujjah. Bahkan ketika al-Hasan datang ke Kota Makkah dan diminta menyampaikan hadis-hadisnya, banyak orang berkumpul termasuk tokoh-tokoh tabi’in seperti Mujahid,’Atha bin Abi Rabbah, Thawus bin Kisan al-Yamani, Amr bin Syua’ib, dll. Sebagian dari mereka berkomentar: “Kami belum pernah melihat orang yang keilmuannya seperti dia”.

Dari informasi Yahya bin Sa’id al-Qothon di atas, DR. Syarif Hatim al-Auny berkesimpulan bahwa hal ini jelas bahwa riwayat al-Hasan dari siapa saja yang kita ketahui bahwa al-Hasan pernah mendegar langsung (sima’) darinya adalah riwayat yang shohih dan menjadi hujjah dan tidak mesti bahwa setiap hadisnya diungkapkan dengan ungkapan sima’.

Dalam Kitab Tahrir Ulumil Hadis, DR. Abdulah bin Yusuf al-Judai’ berkesimpulan bahwa pendapat ad-Daruquhny adalah pendapat yang lemah (marjuh) karena tsubut-nya riwayat dari al-Hasan yang secara jelas (Shorihah) menyebutkan sima’nya dari Abi Bakrah.
Adapun klaim DR. Muhibbin bahwa pendapat ittishol sanad al-Hasan dari Abi Bakrah itu adalah subjektivitas al-Bukhari sendiri, maka hal ini sangat tidak tepat, sebab para imam al-Jarh wa ta’dil seperti Ali a-Madiny yang juga guru al-Bukhari, Yahya bin Sa’id al-Qothan, dll sepakat dengan al-Bukhari. Bahkan bukan hanya al-Bukhari yang mencantumkan hadis al-Hasan dari Abi Bakrah tapi juga Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Baihaqy, Ibnu Hibban, dll.

Dengan data-data di atas dapat disimpulkan :
(1) DR. Muhibbin hanya bersandar pada pendapat ad-Daruquthny dan tidak berusaha untuk mengumpulkan data-data tentang riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah dan melakukan tarjih atas perbedaan pendapat para ulama. Ad-Daruquthny sendiri sebenarnya tidak eksplisit menyatakan riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah sebagai hadis dho’if.

(2) Riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah bukanlah hadis yang munqothi’. Riwayat tersebut memenuhi syarat al-Bukhari dari aspek Ittishol sanad yaitu Mu’asharoh dan tsubut al-Liqo’. Dengan demikian, hadis al-Hasan dari Abi Bakrah adalah hadis yang shohih dan tidak dho’if sebagaimana penilaian DR. Muhibbin.
(3) Penilaian ittishol sanad riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah bukanlah penilaian subjektif al-Bukhari karena cukup banyak ulama al-Jarh wa at-Ta’dil yang memberi penilaian positif dalam aspek ittishol sanadnya seperti Ali Al-Madiny, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, dll. Demikian pula, cukup banyak ahli hadis yang mengakui riwayat tersebut dan mencantumkannya dalam kitab-kitab hadis mereka seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, dll. Apalagi Imam al-Bukhari sendiri telah mengajukan karyanya al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h} kepada para pakar hadis pada masanya yaitu Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madiny, dll kemudian diuji dan diakui kesahihannya oleh mereka.
(4) Adanya beberapa riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah melalui al-Ahnaf bin Qois tidak bertentangan dan menafikan validitas riwayat langsung al-Hasan dari Abi Bakrah, karena hal tersebut menunjukkan keragaman sumber periwayatan (تنوع مصادر الرواية). Al-Hasan meriwayatkan hadis dari al-Ahnaf bin Qois dan juga al-Hasan meriwayatkan langsung dari Abi Bakrah ra. Hal ini didukung oleh bukti-bukti kuat adanya hubungan guru-murid (periwayatan) antara al-Hasan dengan mereka.

sekian dulu…
Wallahu A’lam bis showab
[1]UIN Online, “Western Methods Of Dating Vis-à-vis Ulumul Hadis”, dalam http://www.uin-alauddin.ac.id/uin-982-.html  (29 Desember 2014)
[2]Amin Kamaruddin, ”Problematika Ulumul Hadis Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif”, dalam://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Komaruddin.doc. (27 Desember 2014), 4