Tuesday, February 16, 2016

Benarkah Syaikh Nashirudin Al-Albaniy Itu Muhadits Tanpa Guru Dan Sanad ? Apalah Artinya Sanadnya Bersambung Pada Nabi, Tapi Amalannya Menyelisihi Ajaran Nabi.. Pujian Ulama Dunia Terhadap Syaikh Al-Albaniy Dan Tuduhan Dusta Kepadanya

Syaikh al-Albani Miskin Sanad dan Miskin Guru

Benarkah Syaikh Nashirudin Albani Itu Muhadits Tanpa Guru Dan Sanad?

Imam al-Albani : Muhadits Tanpa Guru dan Sanad?
Nama beliau sudah sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i , baik yang pro atau kontra kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah muhadits zaman ini, penulis yang produktif dan berkualitas, penyeru kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah: Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh Najati al-Arnauth[1] al-Albani –rahimahullahu-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan dengan tahun 1999 M. Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh beliau sebagai muhadits tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak lepas dari dua perkara, pertama ia seorang jahil atau kedua ia seorang pendusta.
Para pembaca yang budiman…

Dalam perjalanannya menuntut ilmu, al-Albani belajar beberapa kitab fiqh, lughoh dan lainnya kepada Ayahnya, seorang ulama bermazhab Hanafi dari Albania. Kepada Ayahnya ini pula, Syaikh al-Albani mengkhatamkan al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu banyak kisah tentang Syaikh Nuh Najati al-Hanafi ini, namun dalam biografi Syaikh al-Muhadits Abdul Qadir al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa Syaikh Abdul Qadirpun pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak dari Syaikh al-Albani. Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah ulama sembarangan, beliau temasuk ulama rujukan di kalangan mazhab Hanafi baik di negerinya maupun setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah, jika Imamnya berhalangan, Syaikh Nuh Najatilah yang menggantikan menjadi imam. Fakta ini sebenarnya sudah cukup menggugurkan tuduhan sebagian orang jahil yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai muhadits tanpa guru. Tuduhan yang mustahil bagai igauan di siang bolong. Bahkan al-Albani dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga ulama.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (Qs. Ath-Thuur 21).

Ayah Syaikh al-Albani hijrah dari Albania untuk menyelamatkan agama diri dan keluarganya dari cengkraman penguasa jahat, maka Allah melahirkan untuknya seorang anak yang menjadi ulama yang benar-benar sebagaimana doa Ayahnya dalam namanya: “Nashruddin” yakni penolong as-Sunnah (ad-Din).

Para pembaca yang budiman…

Pada tahun-tahun berikutnya, al-Albani muda sudah giat menghadiri durus-durus Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani (w. 1386 H/ 1967 M) seorang ulama Syam yang bermazhab Hanafi yang sekaligus menjadi imam mesjid Bani Umayyah, Damaskus.[2] Syaikh al-Albani sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil Falah Syarh Nurul ‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu dan balaghah kepadanya. Seringkali mereka berdua berdialog dalam berbagai macam pembahasan ilmu. Meskipun demikian, al-Albani bukanlah orang yang begitu saja menerima perkataan gurunya ini. Setidaknya ada satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap Syaikh al-Albani itu dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu.

Suatu ketika Syaikh al-Albani muda pernah membaca dalam Tarikh Ibnu Asakir tentang kuburan Nabi Yahya ‘alaihissalaam yang terletak di Masjid Bani Ummayah yang kesimpulan pembahasannya sampai pada bahwa shalat di mesjid tersebut tidak diperbolehkan. Syaikh al-Albani kemudian secara rahasia memaparkan kesimpulan pendapatnya itu kepada Syaikh Sa’id al-Burhani. Syaikh Sa’id lalu berkata kepadanya, “Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam permasalahan ini”. Syaikh al-Albani berkata, “Maka aku tulis pendapatku itu dalam tiga atau empat halaman kemudian kuserahkan kepadanya. Beliau berkata kepadaku, “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fitri”. Saat itu kami berada pada bulan Ramadhan. Ketika tiba waktunya, kudatangi beliau, namun beliau berkata kepadaku, “Semua yang engkau tulis ini tidak memiliki dasar karena seluruh sumber nukilanmu bukanlah sandaran bagi mazhab kami !!!”. Kata al-Albani: “Aku tidak mengerti makna ucapannya ini, karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar –sebuah kitab madzhab Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih karya Mulla Ali Qari’ –seorang Hanafi sebagaimana telah ma’ruf- serta nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama persis seperti sikap ayahku”.

Kejumudan yang melanda manusia dizaman itu yang menjadi salah satu pendorong baginya untuk mempelajari sunnah lebih dalam lagi. Maka beliaupun menghadiri berbagai kajian ahlus sunnah yang diadakan oleh para ulama sunnah dizamannya yang berpemikiran merdeka seperti Syaikh al-Muhadits Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir pada zamannya- (w. 1377 H) dan Syaikh al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar (w. 1396 H) [3] –keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh al-Allamah Jamaluddin al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah al-Manar yang diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat keluar dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi banyak ulama seperti Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan lainnya, termasuk pula al-Imam al-Albani.

Adakah al-Albani Memiliki Sanad?

Tidak sebagaimana dikatakan orang-orang bahwa beliau adalah muhadits tanpa sanad, karena sebenarnya Syaikh al-Albani rahimahullahu mendapatkan ijazah hadits ammah[4] dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh al-Halabi rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di zamannya.[5] Syaikh ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits dan sejarah di Fakultas Syari’ah al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga merupakan penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah ditulisnya adalah kitab yang berjudul, “Dzu al-Qarnain wa Sadd ash-Shin: Man Huwa wa Aina Huwa”. Dalam buku ini Syaikh ath-Thabakh berpendapat bahwa orang Arab lebih dahulu menemukan benua Amerika sebelum orang-orang barat.[6]

Syaikh at-Thabakh mengijazahkan kepada Syaikh al-Albani tsabat beliau yang terkenal, “al-Anwar al-Jaliyah fi Mukhtashar al-Tsabat al-Halabiyah”, tanpa diminta, melainkan beliau sendiri yang berinisiatif memberikannya kepada Syaikh al-Albani rahimahullahu.[7]

Seorang mujiz kami, Syaikh Ahmad alu Ibrahim al-‘Anqori hafizahullahu, menuturkan bahwa Syaikh Zuhair asy-Syawisy rahimahullahu mengatakan kepadanya, bahwa beliau menyaksikan langsung pengijazahan itu bersama Ustadz Muhammad ath-Thayib, peristiwa itu terjadi ditahun 1365 H. Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh al-Albani sendiri dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan hadits Musalsal al-Mahabah yang terkenal itu,

وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله

”Dan sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk riwayat hadits musalsal ini Syaikh al-Fadhil Raghib at-Thabakh rahimahullahu…”.

Dalam Tsabat tersebut disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8], satu diantara mereka adalah Syaikh al-Muhadits as-Salafi Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan dari setidaknya tiga Muhadits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa an-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dan Syaikh Nadzir Husein Muhadits ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam Tsabat beliau ”Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah” .

Sanad melalui jalur inilah yang akan kami uraikan berikut ini.

Silsilah Sanad al-Albani

Berikut diantara contoh sanad “keguruan” Syaikh al-Albani rahimahullahu yang paling bagus dan tersambung sampai kepada Imam-Imam Dakwah seperti: Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan yang lainnya –rahimahumullahu sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:

Syaikh al-Albani meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah untuk semua riwayat, yang meriwayatkan dari al-Muhadits as-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari Muhadits as-Salafi Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), dari al-Allamah al-Mujadid ats-Tsani Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1285 H) – penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab[9], dari Abdullah bin Ibrahim al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdulqadir Ath-Taghlabi[10].

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Al-Allamah Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dari Al-Allamah Muhammad Nashr al-Hajimi dan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad asy-Syaukani, keduanya dari Bapak yang kedua yaitu Al-Imam al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani[11] -penulis kitab Nailul Authar-, dari al-Allamah Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani dari Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-.

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Syaikh Nadir Husein Muhadits ad-Dihlawi, dari Syaikh Muhammad Ishaq Muhadits ad-Dihlawi, dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh Abdul Aziz Muhadits ad-Dihlawi, dari Bapaknya Syaikh al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Muhadits ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah al-Balighah-. [12]

Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani dan Syaikh Waliyullah Muhadits ad-Dihlawi, keduanya meriwayatkan dari Abu Thahir al-Kurani yang meriwayatkan, dari Bapaknya, Ibrahim Al-Kurani.[13]

Syaikh Abdulqadir Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh Ibrahim al-Kurani meriwayatkan dari Abdul Baqi bin Abdul Baqi Al-Hanbali, yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih Al-Wafai, dari Musa bin Ahmad Al-Hajawi –penulis al-Iqna’-, dari Ahmad bin Muhammad al-Maqdisi, dari Ahmad bin Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin al-Mardawi –penulis al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus al-Ba’ali, dari Ibn al-Lahm, dari Ibn Rajab al-Hanbali, dari Ibn Qayyim al-Jauziyah dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dari Syaikhul Islam Abdurrahman Ibn Qudamah dari pamannya al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis al-Mughni- dari al-Imam Abi al-Fatah bin al-Minni dari al-Imam Abu Bakr Ahmad ad-Dainuri dari al-Imam Abi al-Khathab Mahfudz bin Ahmad al-Kalwadzani dari al-Qadhi Abi Ya’la Ibn al-Fara’ dari al-Imam Abi Abdullah al-Husein bin Haamad dari al-Imam Abu Bakar Abdul Aziz al-Khallal dari al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Bapaknya Imam Ahmad bin Hanbal dari al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dari al-Imam Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.[14]

Murid Beliau dalam Riwayah

Sangat ramai murid al-Albani dari berbagai negeri, namun sangat sedikit yang meriwayatkan dari beliau. Hal itu disebabkan Syaikh Al-Albani tidak terlalu membuka pintu dalam persoalan ini. Beliau rahimahullahu berkata,

أنا لا أفتح على نفسي هذا الباب

“Saya tidak membuka pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]

Dan Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini:

هي لا تعني لي شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين

“Ijazah tersebut tidak menarik perhatianku sedikit pun. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk membantah orang-orang yang dengki”.[16]

Diantara yang sedikit itu -yakni yang meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani- adalah guru dan mujiz kami dari Maroko yaitu Al-Allamah al-Muhadits Muhammad Amin Bu Khubzah al-Hasani ath-Tathawani hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]

Dikisahkan kepada kami bahwa sedikitnya ada tiga cara bagi Syaikh Muhammad Bu Khubzah dalam meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu, sebagaimana dikatakan oleh guru kami, al-Musnid Muhammad Ziyad Umar Tuklah[18] hafizahullahu:

Pertama, Beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani secara munawalah untuk sebagian kitab-kitab beliau rahimahullahu di Madinah dan Amman, diantaranya:

1. Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasallam

2. Shalat Tarawih Nabi Shallallahu’alaihi wasallam

3. Shalat Ied fil Mushaliy

4. Tasdid al-Ishabah

5. Fahrisat Kitab al-Hadits bil Dhahiriyah

6. Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]

Photo 5 : Munawalah al-Albani kepada Syaikh Muhammad Bu Khubzah, lalu ijazah Bu Khubzah kepada Syaikh al-Hadutsi.

Kedua, beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani melalui qiroat kepadanya sebagian manuskrip dari kitab Sunan Nasai al-Kubro dalam suatu pertemuan diantara mereka di Tathawan, Maghrib.

Ketiga, izin secara lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna Muhammad Ziyad Tuklah,

استأذنه شيخنا في الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا أشاء ذلك وأحبه

“Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) meminta izin kepada Imam al-Albani dalam riwayat ammah, maka Imam al-Albani berkata kepadanya dengan perkataan singkat, “Riwayatkanlah dariku jika kamu mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) telah berkata kepadaku, “Dan saya sangat ingin dan menyenanginya”.

Perkataan singkat dari Imam al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum) insyaallah Ta’ala.

Maka, dengan ketiga cara inilah (munawalah, qiroat, dan izin) guru kami Syaikh Muhammad Bu Khubzah meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani rahimahullahu.

Diantara yang sedikit lainnya –yang meriwayatkan dari Imam al-Albani rahimahullahu- adalah Syaikhuna al-Musnid Musa’ad bin Basyir as-Sudani hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944 M) yang dikenal dengan Haji As-Sadirah.[20]

Berkata Syaikhuna at-Tuklah dalam Tsabat al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi Syaikh Musa’ad halaman 159, “Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad al-Basyir berkali-kali, sesungguhnya Syaikh Nashr al-Albani memberi ijazah kepadanya di tahun 1397 H, di rumah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Bana di Jeddah. Dan Syaikh Musa’ad berkata kepadaku, “Syaikh Al-Albani memberi ijazah kepadaku untuk kitabnya, dan ia juga berkata kepadaku dengan singkat,

أجزتك عن شيخي راغب الطباخ

“Aku ijazahkan kepadamu dari guruku Raghib ath-Thabakh”,

Dan beliau (Syaikh al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.

Berkata Syaikhuna Abu al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21], “Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah ammah”.

Syaikhuna Abu Hajaj al-Alawi mengatakan bahwa terdapat orang yang lainnya yang meriwayatkan dari al-Albani, diantaranya; Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau berkata, “Dan yang lain, telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya, seperti kepada guruku Ahmad ar-Rifa’i yang mana syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya. Berkata Syaikh ar-Rifa’i kepada Syaikh Nashr, “Munawalah menurut cara para ahli hadits” maka tertawa Syaikh Al-Albani”.[22]

Tidak diketahui secara pasti periwayatan melalui ijazah ammah bagi Syaikh al-Albani kecuali dari arah Syaikh Raghb Thabakh ini saja. Namun ini bukan aib, bahkan justru pada kisah ijazah riwayat Syaikh al-Albani rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi ahli riwayah zaman ini. Syaikh al-Albani hanya memiliki satu ijazah saja, tapi menghasilkan ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda dengan zaman sekarang, seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan guru riwayah namun tidak menghasilkan satu juz pun karya yang berkualitas.

Disini letak kebenaran dari apa yang dikatakan oleh salah satu murid al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Bayan Fadhl ilmu Salaf ala ilm Khalaf hal 58,

فليس العلم بكثرة الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق , ويميز به بينه وبين الباطل

“Ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya riwayat dan perkataan, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukan kedalam hati yang dengannya seseorang mengenal kebenaran, membedakan antara yang haq dengan yang batil..”. Selesai. [as-Surianji]

[1] Al-Arnauth ini istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan sekitarnya.

[2] Beliau adalah Muhammad Sa’id bin Abdurrahman bin Muhamad Sa’id al-Burhani ad-Dagistani al-Hanafi (1311 – 1386 H). Leluhurnya adalah pendatang dari wilayah Dagestan. Ayahnya seorang ulama di Damaskus, adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya. Syaikh Sa’id juga termasuk ulama riwayat, hanya saja al-Albani tidak meminta ijazah kepadanya karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh al-Burhani ini meriwayatkan dari Bapaknya Abdurrahman al-Burhani, Syaikh Badruddin al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih al-Aamadi, Syaikh Mahmud al-Athar, dan Syaikh Muhammad al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu guru kami dalam riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang meriwayatkan secara langsung dari Syaikh al-Burhani ini lewat ijazah, dan bahkan secara sama’i untuk beberapa matan ringkas seperti Arbain an-Nawawiyah dan al-Ajluniyah.

[3] Menurut beberapa sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh Al-Albani secara khusus meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini benar, maka riwayat Syaikh al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, karena Syaikh al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin al-Qasimi.

[4] Syaikh al-Faqih Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya yang ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa diantara ijazah yang sah adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan mujiz, “Saya memberi ijazah kepadamu untuk semua riwayat dariku”. Sehingga setiap riwayat yang sah dari mujiz tersebut boleh diriwayatkan berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat umum ini.

[5] Lihat Al-‘Alam – Az-Zarkili (6/123-124), Natsr al-Jawahir (3/1165- 1167) dan lainnya.

[6] Hal. 40.

[7] Ulama wa Mufakkirun ‘araftuhum karya Ustadz Muhammad al-Majdzub (I/288).

[8] Guru beliau lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad al-Fatah hal 308-312.

[9] Perlu diketahui bahwa periwayatan Syaikh Abdurrahman bin Hasan kepada kakeknya, masih menjadi perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah Syaikh Abdurrahman meriwayatkan secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya tanpa disertai ijazah riwayah ammah, atau juga melalui ijazah ammah?!. Namun sebagian Masyaikh secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhadits Muhammad Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.

[10] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti al-Hanabilah bi Damasyiq”.

[11] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad ad-Dafatir”.

[12] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Irsyad ila Muhimmat Ilm al-Isnad”.

[13] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Umam li Iqaz Al-Himam”.

[14] Lihat Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah hal 64-71.

[15] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230

[16] Lihat Tadzkirul Nabihin karya Syaikh Rabi al-Madhkali hal 13.

[17] Beliau meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq al-Ghumari, Syaikh Abdul Hay al-Kattani, Syaikh Abdul Hafizh al-Fihri al-Fasi, Syaikh Thahir bin Asyhur al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam ijazahnya kepadaku.

[18] Syaikh at-Tuklah meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih), sebagiannya disebutkan dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca kepada guru-gurunya itu banyak sekali kitab. Penulis saksikan kalau beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu riwayah ini.

[19] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230

[20] Selain dari al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh Umar al-Faqi, Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali an-Nadwi, Syaikh Abdullah an-Najdi, Syaikh Yasin al-Fadani, dan lainnya.

[21] Syaikh Abu al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar 150 syaikh, sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan kepada ikhwan yang ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits” yang dikelola oleh saya sendiri.


Apalah Artinya Sanadnya Bersambung Pada Nabi, Tapi Amalannya Menyelisihi Ajaran Nabi..

Jangan Tertipu Dengan Tokoh Seperti Itu
Mengaku Bersanad

Salah satu senjata paling diandalkan (padahal senjata tumpul) oleh para penyeru bid’ah ialah sanad, lebih tepatnya “mengaku ber-SANAD”. Bahkan tak jarang sampai mengatakan bahwa Salafiy dan atau pihak lain yang dianggap tidak mempunyai sanad guru sehingga pendapat ataupun fatwanya bathil. Beda dengan mereka, mereka yang konon katanya mempunyai sanad guru nyambung sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallaam yang ilmu  dan  pendapatnya  pasti benar.

Dan oleh  karena itulah mereka pun sangat mengagungkan kehebatan guru2nya yang konon bersanad.

Mereka pun sering berkata :

“Jangan berguru pada ustadz itu, karena ia tidak  ‘ber-sanad’. Mending ke guru ane aja, sanadnya nyambung sampek Rasulullah.”

Ada juga yang berkata :

“Jangan dengerin perkataan ustadz wahabi, meragukan, dia kan gak punya sanad. Mending ikuti apa kata guru ane, pasti guru ane yang bener, karena guru ane sanadnya nyambung sampek Rasulullah”

Dan perkataan-perkataan yang semisal..

Demikianlah yang mereka katakan, pokoknya bagi mereka orang yang dianggapnya bersanad pasti benar dan harus diikuti, sedangkan yang dianggap gak punya sanad itu mesti bathil..

Benarkah hal itu ??

Benarkah sanad pembela bid’ah bener-bener nyambung hingga Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallaam ????

Apakah ini sebuah kebenaran atau hanya sebuah hayalan atau bahkan hanya tipuan belaka ??

Yuk kita renungkan, renungkan  dengan kepala dingin :

Saudaraku, jika memang benar bahwa sanad guru mereka nyambung sampai ke Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.. Lantas mengapa cara ibadahnya, bahkan ada juga akidah nya justru berbeda dengan yang diajarkan Rasulullah ?????

Beberapa contoh (baca : fakta) :

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata bahwa setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka, Beliau pun memerintahkan agar menjauhi bid’ah.

Namun mereka, para pengaku sanad, justru mengatakan ada bid’ah yang baik, hanya sebagian saja yang sesat, merekapun seolah kompak membela bid’ah.

Ini saja sudah tidak klop. Artinya saling kontradiksi antara pengakuan dengan yang diakui.

Rasulullah mengatakan Allah Ta’ala di atas langit.

Tapi ada yang ngaku bersanad nyambung hingga Rasul malah berkata dan berkeyakinan bahwa Allah tidak bertempat, Allah ada di mana-mana, Allah ada di hati setiap manusia, dan keyakinan-keyakinan nyeleneh lainnya.

Tidak klop kan ??

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan dan mengajarkan ritual-ritual semisal tahlilan, maulidan, yasinan, tawassul dan istighotsah kepada orang mati, dan amalan-amalan lainnya yang tidak ada tuntunanya dari Rasulullah..

Tetapi mereka yang mengaku mempunyai sanad guru nyambung hingga ke Rasulullah mengapa gemar melakukan tahlilan, maulidan, yasinan, dst ????

Aneh nggak ?????

Ini amalan dan akidah dapat nemu ya ???

Dan ini sanad nyambung nya kemana ya ??

Sanadnya katanya nyambung tapi kok tidak sama dengan yang diklaim, bahkan malah bertolak belakang ???

Seharusnya, kalo memang sanad gurunya nyambung, maka amalannya harus sama persis mulai dari guru ke murid terus ke murid selanjutnya, dst, yang mana sumber dari sumber sanad adalah Rasulullah.

Jadi, seharusnya, amalan, tatacara ibadah, serta akidahnya, sama dengan Beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Seharusnya amalan dan ajaran dari Rasulullah pastilah sama persis dengan orang-orang yang bersanad nyambung hingga Beliau shallallahu alaihi wa sallam.. Ya khaaan ?????

Saudaraku, kita semua sepakat, bahwa sanad dalam agama sangatlah penting, bahkan dikatakan jika sebuah riwayat tanpa sanad maka ia tak perlu dianggap atau dilihat, karena memang salah satu pondasi keshahihan sebuah riwayat adalah sanadnya.

Pun demikian sanad keilmuan dan guru, ia pun sangat penting, tapi sanad guru bukanlah setempel yang bisa menjadikan seseorang pasti benar, karena kebenaran dalam Islam adalah kecocokan dengan dalil, dalil shahih.

Jadi tak ada gunanya mengaku dan berbangga dengan sanad gurunya yang diklaim nyambung itu, tapi ternyata justru tidak cocok dengan Beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Duhai saudaraku yang mengaku bersanad, kalau memang benar kalian dan guru-guru kalian tersebut bersanad nyambung hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka contohlah Beliau, bukan justru menyelisihi Beliau shallallahu alaihi wa sallam..

Duh celakanya engkau wahai saudaraku dimana kalian “mengaku-ngaku dan berbangga-bangga” dengan sanad tapi justru menyelisihi tuntunan..

Yakinlah, tidak akan ada gunanya seseorang mengaku-ngaku bersanad, sementara kenyataannya justru amalan bahkan akidahnya tidak sesuai dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam..

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَىٰ

”Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [An Najm: 30].

Siapakah mereka yang mendapat petunjuk ????
Apakah mereka2 yang mengaku bersanad ????

Mereka yang mendapat petunjuk adalah orang-orang tunduk patuh terhadap syari’at, serta berpegang dan istiqomah di atas Qur’an wa Sunnah menurut pemahaman para shahabat.

Wallahu Ta’ala A’lam bish showaab..

Ihdinaash shiraathal mustaqiim..

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”

Shiraathalladziina an’amta’alayhim ghayril maghdhuubi ‘alayhim walaadhdhaalliin..

“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

Baraakallaahu fiikum.

sanad disini artinya bersambungnya silsilah seseorang dalam belajar, bersambung kepada gurunya, demikian seterusnya hingga bersambung ke rasulullah,.

Sanad keilmuan yang dimaksud,. yaitu ilmunya bersambung kepada Rasulullah,.

Konsekwensinya, apa yang didakwahkan oleh orang yang ngaku bersanad tadi, maka wajib sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah,. bukan malah berseberangan atau bertentangan,.
Jika yang didakwahkan itu bertentangan dengan ajaran yang betul-betul diajarkan oleh Rasulullah, maka sanad dia tidak dianggap, itu ngawur sanadnya,. atau dia saat belajar itu mungkin tidur,.. atau gagal paham,.
jazakumullahu khairan,.
Kalau bersanad ilmunya, maka tidak tersesat, atau menyesatkan,..

Justru kenapa bersanad tapi tersesat? karena bukan bersanad ilmunya,. cuma ngaku-ngaku sanadnya nyambung doang,..

Kalau ngaku sanadnya bersambung pada Rasulullah, tapi amalannya atau yang didakwahkan itu tidak diajarkan sama sekali oleh Rasulullah, maka bisa dianggap dia telah berdusta atas nama Rasulullah, karena orang-orang bisa menganggap yang dia dakwahkan itu ada ajaranya dari rasulullah, lah wong punya sanad hingga bersambung ke rasulullah,..
Maka itu hanya semakin menambah dosa tokoh yang ngaku bersanad tersebut,.. tentu ini mengerikan,..
kalo Imam Malik bin ‘Anas bilang : “Setiap orang bisa diambil dan ditolak perkataannya, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).”
beliau bilang “setiap orang” tanpa mengklasifikasi bersanad atau tidak bersanad.


Beliau rahimahullah adalah salah seorang imam Ahlus-Sunnah abad ini, yang mengorbankan seluruh hidupnya demi mengabdikan diri kepada Allah, seorang laki-laki agung yang namanya telah memenuhi cakrawala. Beliau rahimahullah tidak saja dikenal sebagai seorang ulama ahli hadits, akan tetapi beliau rahimahullah juga salah seorang diantara barisan para ulama yang mendapat predikat sebagai pembaharu Islam (Mujaddid al-Islam).
Nama, Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh al-Albanirahimahullah
Beliau adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh, dikenal dengankuniah Abu 'Abdurrahman. Beliau lahir tahun 1914 M di tengah sebuah keluarga yang sangat sederhana dan sibuk dengan ilmu agama, di ibukota Albania. Bapaknya, haji Nuh, adalah salah seorang ulama besar Albania kala itu, yang pernah menuntut ilmu di Istambul, Turki, kemudian kembali ke Albania untuk mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Lingkungan keluarga yang menaungi Syaikh al-Albani ketika masih kanak-kanak, penuh dengan cahaya Islam, yang tampak sangat terjaga dalam setiap sisi.

Hijrah Demi Melindungi Agama
Ketika Ahmad Zogo menjadi raja Albania, dia mulai melancarkan berbagai perubahan aturan sosial yang revolusioner bagaikan hantaman hebat yang menggoncangkan pondasi-pondasi lingkungan Islami tersebut. Karena tindakan yang dilakukan oleh raja Ahmad Zogo tersebut sama dengan apa yang dilakukan oleh thaghutTurki, Mustafa Ataturk; dimana para wanita Albania diharuskan menanggalkan hijabnya, sehingga rangkaian fitnah dan malapetaka pun tak terhindarkan. Sejak saat itu, mulailah kaum muslimin yang mengkhawatirkan agama mereka, berhijrah ke berbagai negeri. Termasuk diantara yang paling pertama hijrah adalah keluarga Syaikh Haji Nuh, yang membawa agama dan keluarganya ke Suriah. Termasuk di dalamnya, sang Imam kecil, Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Al-Albani Mulai Menuntut Ilmu
Di Damaskus, lelaki kecil Muhammad Nashiruddin mulai menimba ilmu dengan mempelajari Bahasa Arab di Madrasah Jam'iyah al-Is'af al-Hairi. Disanalah beliau rahimahullah mulai menapaki dunia ilmu dan kemudian mendaki kemuliaan sebagai seorang alim.

Orang yang paling pertama menanamkan pengaruhnya adalah bapaknya sendiri, Haji Nuh, yang merupakan salah seorang ulama Madzhab Hanafi kala itu. Dan untuk berapa lama beliau rahimahullah mengikuti taqlid madzhabi yang diajarkan bapaknya. Akan tetapi hidayah Allah selalu datang kepada orang yang dikehendaki-Nya kebaikan pada dirinya. Dan kemudian beliau rahimahullah muncul sebagai seorang yang tidak terkekang madzhab tertentu.

Begitulah al-Albani muda ini muncul sebagai seorang pemuda yang unggul dalam kajian hadits, yang pindah dari satu majelis pengajian ke majelis lainnya demi menimba ilmu.
Semua sepak terjang beliau rahimahullah dalam mencari ilmu tadi, berbarengan dengan kehidupan beliaurahimahullah yang sangat pas-pasan. Sehingga untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, beliau bergelut sebagai seorang tukang (servis) jam, dan beliau dikenal sangat ahli dalam pekerjaan tersebut. Dan semua itu sama sekali tidak menghalangi beliau rahimahullah untuk menjadi seorang alim yang besar di kemudian hari.
Menjadi Guru Besar di Universitas Islam Madinah
Berkat jerih payah dan keuletan sang Imam -dan tentu saja karena taufik dari Allah-, sejumlah karya tulis beliaurahimahullah mulai terbit dari tangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, akidah dan lainnya, terlebih dalam ilmu hadits yang memang merupakan spesifikasi beliau; yang menunjukkan kepada dunia ilmiah, luasnya ilmu yang telah Allah anugerahkan kepada beliau rahimahullah; berupa pemahaman yang shahih, ilmu yang luas, dan kajian yang dalam tentang hadits, dari berbagai sisinya. Ditambah lagi dengan manhaj beliau yang lurus, yang menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai tolok ukur dan dasar dalam segala sesuatu. Semua itu menjadikan sang Imam muncul sebagai sosok yang fenomenal, menjadi rujukan ahli ilmu dan dengan cepat keutamaan yang ada pada diri beliau dikenal oleh berbagai kalangan. Maka ketika Universitas Islam Madinah mulai dirintis, yang dipelopori oleh Syaikh al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, yang saat itu adalah Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh al-Albani rahimahullah langsung menjadi pilihan untuk menjadi guru besar Bidang Studi Hadits disana.

Disana sang Imam sempat mengajar, dengan berbagai suka dan duka, selama tiga tahun. Dalam masa-masa itu, beliau rahimahullah adalah figur dan teladan dalam keuletan, kesungguhan dan keikhlasan mengabdi, sampai seringkali, pada waktu istirahat diantara mata pelajaran, beliau ikut serta duduk di tengah para mahasiswa diatas pasir demi menjawab pertanyaan dan berdiskusi dengan murid-murid beliau.

Beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, sehingga di tengah para mahasiswanya, beliau bagaikan salah seorang diantara mereka. Tak heran bila mobil pribadi beliau yang sederhana selalu dipenuhi oleh para murid-murid beliau yang selalu ingin mengambil faidah dari beliau rahimahullah. Kedekatan dan keakraban beliau adalah bukti bahwa pengajaran-pengajaran beliau memang menuai berkah disana.

Diantara kenangan dan berkah yang masih tersisa sampai saat ini di Universitas Islam Madinah adalah metodologi kuliah yang beliau sampaikan dalam sub-disiplin "Ilmu Isnad." Beliau mengajarkan bidang ini dengan metode, memilih hadits dari Shahih Muslim misalnya, lalu menuliskannnya di papan tulis lengkap dengan sanad. Berikutnya beliau membawa kitab-kitab biografi rawi-rawi hadits, lalu menjelaskan kepada para mahasiswa tentang metodologi kritik rawi dan metodologi takhrij hadits, serta segala hal yang berkaitan dengannya.

Pengajaran Ilmu Isnad yang dirintis beliau ini, menempatkan sosok beliau rahimahullah sebagai guru yang paling pertama menetapkan sub-disiplin ini sebagai mata pelajaran di perguruan tinggi, dan itu yang paling pertama di dunia. Dan ketika sang Imam meninggalkan Universitas Islam Madinah untuk menetap di Yordania, metodologi pengajaran ini terus dijalankan oleh para dosen yang menggantikan beliau.
Menjadi Imam Para Ulama Ahli Hadits Abad Ini
Begitu banyaknya karya tulis dan hasil-hasil studi beliau rahimahullah dalam dsiplin ilmu hadits; yang dikenal dengan kesimpulan-kesimpulan yang detil dan cermat, menjadikan beliau rahimahullah sebagai rujukan para ulama dan para penuntut ilmu di berbagai negara Islam. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk mengambil faidah dari berkah ilmu beliau.
Berikut ini beberapa hal yang menggambarkan kedudukan tinggi beliau:
1.Beliau rahimahullah terpilih sebagai anggota pada dewan kajian hadits yang dibentuk oleh Mesir dan Suriah, untuk memimpin komite publikasi kitab-kitab sunnah.
2.Menjadi guru besar bidang studi hadits di Universitas Islam Madinah, sebagaimana yang telah disinggung. Bahkan kemudian beliau dipilih sebagai anggota dewan rektor di universitas yang sama, periode 1381-1383 H.
3. Beliau pernah diminta menjadi guru besar di Universitas as-Salafiyah, India, tapi beliau tidak menyanggupi.
4. Beliau juga pernah diminta oleh Menteri Wakaf Saudi Arabia, Syaikh Hasan 'Abdullah Alu asy-Syaikh, untuk menjadi guru besar ilmu hadits di Universitas Makkah al-Mukarramah.
5.Oleh Raja Khalid bin 'Abdul-Aziz, raja Saudi Arabia, beliau terpilih kembali sebagai anggota dewan rektor Universitas Islam Madinah periode 1395-1398 H.
6.Perpustakaan azh-Zhahiriyah, di Damaskus, mengkhususkan satu ruang tersendiri untuk Syaikh, demi memudahkan studi dan penelitian beliau. Dan ini tidak pernah terjadi bagi seorang pun sebelum beliau.
Pujian Para Ulama
1.Sikap hormat Syaikh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah -yang dikenal sebagai seorang ahli tafsir yang tidak ada bandingannya di zamannya- yang tidak lazim kepada Syaikh al-Albanirahimahullah, dimana saat beliau melihat Syaikh al-Albani berlalu padahal beliau tengah mengajar di Masjid Nabawi, beliau menyempatkan berdiri untuk mengucapkan salam kepada Syaikh al-Albani, demi menghormatinya.
2.Pujian al-Allamah Muhibbuddin al-Khathib rahimahullah; “Diantara para dai kepada as-Sunnah, yang menghabiskan hidupnya demi bekerja keras untuk menghidupkannya, adalah saudara kami Abu 'Abdurrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati al-Albani.”
3.Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh rahimahullah, pernah menyebut al-Albani dengan pujian; “Beliau adalah Ahli Sunnah, pembela kebenaran dan musuh yang menghantam para pengikut kebathilan.”
4.Pujian Syaikh 'Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah; “Saya tidak pernah melihat seorang ulama di bawah kolong langit ini, di abad modern ini seperti al-Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani.”
5.Pujian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah; “Yang saya ketahui tentang Syaikh, dari pertemuan saya dengan beliau -dan itu sangat sedikit- bahwa beliau sangat teguh di dalam mengamalkan as-Sunnah dan memerangi bid'ah, baik dalam akidah maupun amaliyah. Dan dari telaah saya terhadap karya tulis beliau, saya mengetahui bahwa beliau memiliki ilmu yang luas di dalam hadits, riwayat maupun dirayat. Dan bahwasanya Allah memberikan manfaat yang banyak dari karya tulis beliau, baik dari segi ilmu maupun metodologi…”
Dan begitu banyak pujian yang beliau terima, yang tidak mungkin disebut seluruhnya dalam lembaran biografi singkat ini.
Karya Tulis Sang Imam
Berkah hidup dan sumbangsih sang Imam kepada dunia Islam, tidak saja berupa dakwah kepada al-Qur'an dan as-Sunnah berdasarkan manhaj as-Salaf ash-Shalih, yang memenuhi cakrawala dan menghentakkan para pengikut kesesatan. tapi juga meninggalkan karya tulis yang di dalamnya tertuang hasil-hasil studi ilmiah yang tidak kita dapatkan dalam karya tulis lain. Karya tulis beliau yang telah tercetak tidak kurang dari 119 buah, baik yang berupa ta'lif atau takhrij. Bahkan masih banyak yang berbentuk manuskrip.
Berikut ini diantara karya tulis beliau:
1. Adab az-Zafaf.
2. Al-Ayat al-Bayyinat fi Adami Sima'i al-Amwat.
3. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'An As'ilah Lajnah Masjid al-Jami'ah.
4. Ahkam al-Jana'iz.
5. Irwa' al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar as-Sabil.
6. Tadzhir as-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid.
7. Tahrim Alat ath-Tharb.
8.Shifah Shalati an-Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam min at-Takbir Ila at-Taslim.
9.Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah.
10. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah.
11.At-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu, dan lain-lain.
Dan ketika menjelang ajal, beliau berwasiat agar seluruh perpustakaan pribadinya dihibahkan ke Universitas Islam Madinah.

Beliau wafat pada hari Sabtu, 22 Jumadil-Akhir 1420 H. Jenazah beliau dipersaksikan dengan iringan ribuan para pelayat dari berbagai negeri. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada sang Imam, yang telah berjasa besar menggaungkan kembali dakwah as-Salafiyah di abad ini.
Demikian biografi singkat ini kami tulis yang disadur dari kitab al-Imam al-Mujaddid al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, oleh Umar Abu Bakar.

Pujian Ulama Dunia terhadap Syaikh Al-Albaniy
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. I)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. II)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. III)
Dialog antara al bani dan al buthi dibawah ini dusta belaka !
Membantah Ustaz Abu Syafiq ( Tipikal Syiah ! ) Yang Menghina Syaikh Al-Albani