Tuesday, April 26, 2016

Raja Salman Ancam Obama Akan Hancurkan Ekonomi Amerika, Masa Lalu Yang Baik Dengan Washington Telah Hilang Dan Tidak Akan Pernah Kembali !


Raja Salman Ancam Obama Akan Hancurkan Ekonomi Amerika

Senin, 18 April 2016
Kerajaan Arab Saudi mengancam akan menghancurkan ekonomi Amerika dengan melepas ratusan miliar dolar AS aset-aset Saudi di Amerika jika pemerintahan Barack Obama meloloskan sebuah RUU yang memungkinkan Arab Saudi diminta bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001.

Ancaman Saudi ini bukanlah main-main, Raja Salman melalui menteri Luar Negerinya Adel Al Jubeir menitipkan pesan ini saat kunjungannya ke Washington bulan lalu. Juberi menyampaikan dihadapan legislator AS bahwa Arab Saudi akan melepas US$ 750 miliar aset mereka dalam bentuk surat-surat berharga di AS sebelum aset itu dibekukan oleh pengadilan AS.
The New York Times edisi ahad (117/4/2016),  menyebutkan bahwa setelah mendapat ancaman dari Saudi, presiden Obama sangat panik, nampak terlihat dari langkah yang ditempuh dengan langsung melakukan upaya lobi kepada konggres Amerika agar membatalkan RUU tersebut. Ancaman Saudi ini menjadi bahasan utama DPR dan pejabat dari Departemen Luar Negeri dan Pentagon. Pemerintah Amerika memperingatkan para anggota DPR bahwa ekonomi Amerika akan hancur jika Saudi merealisasikan ancamanya.
Untuk merespon ancaman Saudi ini, Obama secara khusus akan berkunjung ke Riyadh pada hari Rabu (20/4/2016) untuk bertemu Raja Salman dan pejabat Saudi lainnya.
Sementara pihak kerajaan Saudi menegaskan bahwa Saudi tidak terlibat sama sekali dengan serangan 11 September 2001. Komisi 9/11 juga tidak menemukan bukti keterkaitan pemerintah Arab Saudi, baik sebagai lembaga atau individu pejabat kerajaan Saudi.[islamedia/mh]

Arab Saudi : Masa lalu yang baik dengan Washington telah hilang dan tidak akan pernah kembali

Mantan kepala intelijen Saudi Pangeran Turki Al-Faisal mengatakan bahwa hubungan antara kerajaan dan AS telah berubah dan tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi.
“Sedang berlangsung kalibrasi ulang hubungan kita dengan Amerika – seberapa jauh kita bisa meninggalkan ketergantungan kita pada Amerika. Berapa banyak kita bisa mengandalkan kekuatan pimpinan Amerika. Apa ada manfaat jika kami masih bersama, “pangeran, yang juga menjabat sebagai duta negaranya di Washington, mengatakan kepada jurnalis CNN, Christiane Amanpour, Rabu.
“Dan saya tidak berpikir bahwa kita bisa mengharapkan presiden baru di Amerika bisa mengembalikan, seperti yang saya katakan, hari-hari di masa lampau ketika segala hal berbeda,” tambah Al-Faisal.
Pangeran membuat pernyataan saat Presiden AS Barack Obama mengunjungi negara Teluk di mana ia bertemu dengan Raja Saudi Salman Bin Abdulaziz.
Masa jabatan kedua Obama sebagai presiden telah menyaksikan beberapa perbedaan pendapat dengan negara Teluk termasuk penolakannya untuk menggunakan kekuatan militer terhadap rezim Assad di Suriah, dan akhirnya adanya kesepakatan nuklir dengan rival sektarian dan politik Arab Saudi, Iran.
Middle East Monitor

Mengapa Saudi membuat Obama merasa tak diinginkan ?

Ketika Presiden AS Barack Obama tiba di Riyadh pada hari Rabu dalam kunjungan resmi ke Arab, ia melangkah keluar dari pesawat dan ke karpet merah, sangat mungkin mengharapkan untuk disambut oleh Raja Salman, atau pejabat tinggi bangsawan; bukannya disambut oleh Gubernur Riyadh dan pejabat tingkat lainnya yang lebih rendah. Hal ini dianggap sebagai tanda dari Saudi ke seluruh dunia bahwa kebijakan Obama tidak disambut di Arab dan seluruh GCC.
Sebelum kedatangannya, sudah jelas bahwa ketegangan yang telah meningkat selama tahun lalu dan terlihat jelas selama kunjungan Obama. Penyelesaian kesepakatan Iran adalah salah satu pukulan terbesar untuk Arab. Setelah kesepakatan itu ditandatangani, Menteri Luar Negeri Saudi Adel Al-Jubeir mengatakan bahwa ia “sangat prihatin” dan percaya bahwa sebagian besar negara “tidak baik-baik saja dengan kesepakatan Iran”. Menambahkan bahwa ia yakin Iran akan menggunakan uang ekstra untuk mendanai “kegiatan keji mereka.” Al-Jubeir jelas mengisyaratkan sikap resmi Saudi pada kesepakatan ini menyatakan bahwa itu adalah ancaman bagi keamanan nasional mereka dan bahwa Obama mengorbankan keamanan di kawasan itu.
Suriah adalah masalah lain yang telah menjadi platform untuk perbedaan pendapat bagi kedua belah pihak. Titik fokus yang intrinsik didefinisikan dengan kebijakan pemerintahan Obama atas Suriah yang terjadi sebelum Raja Salman berkuasa. Pada bulan Agustus tahun 2013, sembilan hari setelah pebantaian dengan senjata kimia di Ghouta, Obama menyatakan bahwa AS menolak untuk meluncurkan serangan udara di Damaskus untuk menjatuhkan rezim Assad. Sejak saat itu, sudah jelas bahwa Obama tidak bersedia untuk menyingkirkan diktator Suriah Bashar Al-Assad, sehingga membuat kebijakan AS tidak sesuai dengan kebijakan Arab – terutama setelah Raja Salman naik tahta.
Selama setahun Raja Salman berkuasa, daripada meminta bantuan Amerika untuk masalah Suriah, ia telah memutuskan untuk mengambil alih sendiri masalah dengan regionalising konflik sebagai gantinya. September lalu, Arab Saudi dan Turki mengancam akan mengambil tindakan militer di Suriah, dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada ruang untuk Assad di masa depan Suriah. Pada bulan Desember, Saudi membentuk aliansi militer Muslim terdiri dari 34 negara Muslim Sunni. Pada bulan Februari, ada kekhawatiran dalam NATO bahwa Arab, bersama dengan Turki, dapat meningkatkan aksi militer independen di Suriah untuk menyeimbangkan kekuatan Timur Tengah.
Sebuah aksi independen serupa terjadi pada bulan Maret tahun lalu ketika Saudi membentuk koalisi untuk intervensi militer di Yaman. Tidak hanya dilakuakn tanpa persetujuan AS, koalisi Saudi melakukannya tanpa memberitahu AS. Ketua Senat Republik Komite Angkatan Bersenjata, John McCain, mengatakan: “Negara-negara ini, dipimpin oleh Arab Saudi, tidak memberitahukan kami juga tanpa koordinasi dengan kami atau meminta bantuan kami dalam upaya ini … karena mereka percaya kita berpihak dengan Iran.” Faktanya bahwa ini terjadi bebrapa hari setelah tepat dua bulan Raja Salman naik tahta, menunjukkan bahwa ia sudah mengambil keputusan menentang pemerintahan Obama.
Obama sendiri menunjukkan ketidakcocokan langsung kepada pemerintahan Saudi. Pada November tahun lalu, Obama bertemu dengan Perdana Menteri Australia Malcom Turnball dalam sebuah acara pertemuan santai. Ketika Turnball bertanya kepada presiden Amerika apakah Saudi adalah teman bagi AS, Obama tersenyum dan berkata “Itu rumit.” Ketika ditanya tentang bangkitnya ekstremisme di Indonesia, Obama tidak menghindar untuk langsung menyalahkan Saudi. Dia mengatakan pada Turnball bahwa munculnya ekstrimisme adalah karena Saudi dan negara-negara GCC lainnya mendanai sekolah yang mengajarkan ekstrimisme dan ideologi yang ia percaya sesuai dengan monarki Saudi.
Selama tahun lalu, Raja Salman melakukan banyak usaha dalam membuat perbedaan kebijakan dari pendahulunya. Raja Salman tidak mau Saudi dilihat sebagai kekuatan regional belaka – ia ingin membawa monarki dan negaranya ke panggung internasional sebagai penantang sepenuhnya atas otonom struktur kekuasaan unipolar global. Dengan kebijakan pada tindakan politik dan militer yang menjadi lebih mandiri, bersama dengan sikap secara terbuka yang menunjukkan penentangan atas doktrin pemerintahan Obama di Timur Tengah, jelas bahwa Saudi di bawah Raja Salman tidak akan berkompromi dengan apa yang mereka yakini akan menjadi ancaman bagi keamanan mereka, atau hegemoni mereka.
Diana Alghoul ~ Middle East Monitor