Monday, May 30, 2016

Perbuatan Baik Bukan Jaminan Dia Adalah Ahli Surga, Dan Sebaliknya, Semua Akan Mengikuti Takdirnya. Kalau Memang Sudah Ditaqdir ( Allah Menciptakan Manusia ), Buat Apa Allah Menyiksanya Di Neraka? Apakah Allah Tidak Adil Jika Memasukkan Hambanya Ke Neraka? ( Bagian I )

Hasil gambar untuk surga

Perbuatan Baik Bukan Jaminan Dia Adalah Ahli Surga, Dan Sebaliknya, Semua Akan Mengikuti Takdirnya

Ketetapan Surga dan Neraka untuk Hamba
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عن أبي عبدالرحمن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو الصادق المصدوق ” إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة

Dari Abu ‘Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda, – dan beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan –“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 hal: rezeki, ajal, amal dan celaka/bahagianya.

Maka demi Allah yang tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Bad’ul Khalq)

:: Penjelasan Hadits ::

Maksud hadits “Maka demi Allah yang tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja,” adalah seseorang yang menurut pandangan mata manusia mengerjakan amalan surga dan ketika sudah mendekati ajalnya mengerjakan amalan penduduk neraka, kemudian ia dimasukkan ke dalam neraka. Jadi yang dimaksud ‘jaraknya dengan surga atau neraka tinggal sehasta‘ bukan tingkatan dan kedekatannya dengan surga, namun waktu antara hidupnya dengan ajalnya tinggal sebentar, seperti sehasta.

Yang patut kita pahami dari hadits ini, bukan berarti ketika kita sudah berusaha melakukan kebaikan dan amalan ibadah maka Allah akan menyia-nyiakan amalan kita. Karena hadits di atas diperjelas dengan hadits lainnya, yaitu,

“Sesungguhnya ada di antara kalian yang beramal dengan amalan ahli Surga menurut pandangan manusia, padahal sebenarnya ia penduduk Neraka.” (HR. Muslim no. 112 dengan sedikit perbedaan lafazh dari yang tercantum)

Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan maksud hadits ini, “Amalan ahli surga yang dia amalkan hanya sebatas dalam pandangan manusia, padahal amalan ahli surga yang sebenarnya menurut Allah, belumlah ia amalkan. Jadi yang dimaksud dengan ‘tidak ada jarak antara dirinya dengan surga melainkan hanya sehasta’ adalah begitu dekatnya ia dengan akhir ajalnya.”

Sedangkan maksud hadits, “Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka,” artinya, kemudian orang tersebut meninggalkan – kebiasaan – amalan ahli surga yang sebelumnya dia amalkan. Hal itu disebabkan adanya sesuatu yang merasuk ke dalam hatinya – semoga Allah melindungi kita dari hal ini – yang menjerumuskan orang tersebut ke dalam neraka.

Hal ini perlu diperjelas agar tidak ada prasangka buruk terhadap Allah ta’ala. Karena seorang hamba yang melaksanakan amalan ahli surga dan ia melakukannya dengan jujur dan penuh keikhlasan, maka Allah tidak akan menelantarkannya. Allah pasti memuliakan orang-orang yang beribadah kepada-Nya. Namun bencana dalam hati bukan merupakan suatu perkara yang mustahil – semoga Allah melindungi kita dari hal ini -.

Contoh kisah untuk memperjelas hadits ini yang terjadi di zaman nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

Ada seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersama beliau dalam suatu peperangan. Sahabat ini tidak pernah membiarkan kesempatan untuk membunuh lawan melainkan ia pasti melakukannya, sehingga orang-orang merasa takjub melihat keberaniannya dan mereka berkata, “Dialah yang beruntung dalam peperangan ini.”

Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia termasuk ahli Neraka.”

Pernyataan Rasulullah ini menjadi perkara besar bagi para sahabat radhiallahu ‘anhumdan membuat mereka bertanya-tanya keheranan. Maka seseorang diantara mereka berkata, “Aku akan mengikutinya kemanapun dia pergi.”

Kemudian orang yang pemberani ini terkena panah musuh hingga ia berkeluh kesah. Dalam keadaan itu ia mencabut pedangnya, kemudian ujung pedangnya ia letakkan pada dadanya, sedangkan genggaman pedangnya ia letakkan di tanah, lalu ia menyungkurkan dirinya (ke arah depan), hingga pedang tersebut menembus punggungnya (alias ia bunuh diri). Na’udzu billah.

Orang yang mengikutinya tadi datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamdan mengabarkan apa yang terjadi seraya berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

“Kenapa engkau katakan itu?” sabda Rasulullah.

Ia berkata, “Sesungguhnya orang yang engkau katakan tentangnya dia termasuk ahli neraka, telah melakukan suatu tindakan (bunuh diri, ed.).” Maka setelah itu Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya orang itu telah beramal dengan amalan ahli surga pada pandangan manusia, padahal sebenarnya ia penduduk neraka.” (HR. Bukhari (no.2898) dan Muslim (no.112))

Kisah lain adalah seorang sahabat yang bernama al-Ushairim dari kabilah ‘Abdul Asyhal dari kalangan Anshar. Dahulu ia dikenal sebagai penghalang sekaligus musuh dakwah Islam. Tatkala para sahabat pergi ke perang Uhud, Allah memberikan ilham kepadanya berupa iman, lalu ia ikut berjihad dan berakhir dengan mati syahid. Setelah perang selesai, orang-orang mencari para korban dan mendapatkan Ushairin dalam keadaan terluka.

Para sahabat bertanya, “Wahai Ushairin, apa yang menndorongmu berbuat seperti ini, apakah untuk membela kaummu ataukah kecintaanmu terhadap Islam?”

Ia menjawab, “Bahkan karena kecintaanku terhadap Islam.”

Sebelum wafatnya, ia meminta untuk disampaikan salamnya kepada Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka, meskipun dulunya Ushairin ini buruk dan suka mendzalimi kaum muslimin, namun karena hatinya yang baik, Allah jadikan dia orang yang mati di medan jihad.

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ikhlas dan beramal dan menjadikan akhir kehidupan yang baik untuk kita. Aamiin.
***
Disusun ulang dari Syarah Hadits Arba’in karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dengan perubahan seperlunya oleh tim muslimah.or.id

Bagaimana Allah Manyiksa Manusia Sedangkan Takdir Sudah Ditentukan Oleh-Nya

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya : “Ada polemik yang dirasakan sebagian manusia, yaitu bagaimana Allah akan menyiksa karena maksiat, padahal telah Dia takdirkan hal itu atas manusia ?”

Jawaban.

Sebenarnya hal ini bukanlah polemik. Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan : “Lakukanlah perbuatan munkar itu”, akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri.

Allah telah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur” [Al-Insan : 3]
Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama. Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu. Maka pastilah anda akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan : “Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua). Dengan demikian, apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang menyalahi syara’ dan amal shalih yang berupa amal-amal yang sesuai dengan syara’. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan yang baik, mengapa anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat. Karena itu, seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam.
Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman.
“Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok” [Luqman : 34]
Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. Oleh karena itu, sebagian ulama’ mengatakan : “Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup”. Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi. Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk kita.
Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut. Disebutkan dari Amirul Mu’minin, Umar bin Kahtthab, sebuah kisah (mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan : “Tunggu dulu hai Amirul Mu’minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah”. Umar mengatakan : “Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah”. Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam. Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari’at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma’siyat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas. Allah berfirman.
“Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul” [An-Nisa : 165]
Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya. Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma’siyat dengan alasan Qadha’ dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya.
Semoga Allah memberi Taufiq.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Apakah Allah Tidak Adil Jika Memasukkan Hambanya Ke Neraka? Menjawab Kerancuan Pemahaman Tokoh MTA

Kasihan Orang Yang Sudah DItakdirkan Masuk Neraka?
Assalamualaikum ustadz,

Ana pernah dengar kalau jodoh, rizki, mati, takdir buruk/baik telah ditetapkan jauh sebelum kita lahir ke dunia.

Kalau memang demikian bukankah kalau seseorang telah ditakdirkan (misalnya menjadi ahli neraka) padahal di dunia ia berusaha untuk menjalankan ibadah sebaik mungkin sesuai syariat, kalau pada akhirnya ia telah ditakdirkan masuk neraka, alangkah sedihnya dia..kasihan ya ustadz..sia-sia apa yang telah dia kerjakan.
Mohon penjelasannya tentang takdir ini.

Syukron

Penanya : Akhwat
Daerah Asal : Jakarta

Jawab :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Ya, semua yang Anda sebutkan telah ditentukan oleh Allah ta’ala. Ini didasarkan dari hadits:

حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوقُ، «إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ إِلَيْهِ مَلَكًا بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، فَيُكْتَبُ عَمَلُهُ، وَأَجَلُهُ، وَرِزْقُهُ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُ الجَنَّةَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فَيَدْخُلُ النَّارَ»

Telah bercerita kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ialah orang yang jujur serta berita yang dibawanya adalah benar: “”Setiap orang dari kalian telah dikumpulkan dalam penciptaannya ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh hari kemudian menjadi ‘alaqah (zigot) selama itu pula kemudian menjadi mudlghah (segumpal daging) selama itu pula kemudian Allah mengirim malaikat yang diperintahkan dengan empat ketetapan (dan dikatakan kepadanya), tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, sengsara serta bahagianya, lalu ditiupkan ruh kepadanya. Dan sungguh seseorang akan ada yang beramal dengan amal-amal penghuni neraka hingga tak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sejengkal saja lalu ia didahului oleh catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia beramal dengan amalan penghuni surga kemudian masuk surga, dan ada juga seseorang yang beramal dengan amal-amal penghuni surga hingga tak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sejengkal saja, lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka lalu dia masuk neraka. HR. Bukhari no.3332 dan Muslim no.2643

Perlu difahami bahwa ini tidak berarti bahwa Allah ta’ala mendholimi hambanya yang bertahun-tahun banyak melakukan kebaikan, akan tetapi ada makna lain yang tidak nampak di dhohir hadits tersebut yaitu orang yang termasuk ahli neraka itu melakukan amalan kebaikan hanya dhohirnya saja, adapun batinnya maka niatnya tidaklah murni karena Allah ta’ala. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits lain yang diriwayatkan oleh imam Bukhari juga:

عَنْ سَهْلٍ، قَالَ: التَقَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالمُشْرِكُونَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَاقْتَتَلُوا، فَمَالَ كُلُّ قَوْمٍ إِلَى عَسْكَرِهِمْ، وَفِي المُسْلِمِينَ رَجُلٌ لاَ يَدَعُ مِنَ المُشْرِكِينَ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً إِلَّا اتَّبَعَهَا فَضَرَبَهَا بِسَيْفِهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَجْزَأَ أَحَدٌ مَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ، فَقَالَ: «إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ»، فَقَالُوا: أَيُّنَا مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، إِنْ كَانَ هَذَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: لَأَتَّبِعَنَّهُ، فَإِذَا أَسْرَعَ وَأَبْطَأَ كُنْتُ مَعَهُ، حَتَّى جُرِحَ، فَاسْتَعْجَلَ المَوْتَ، فَوَضَعَ نِصَابَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ، وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَجَاءَ الرَّجُلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: «وَمَا ذَاكَ». فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ»

Dari Sahal ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhadapan dengan Kaum Musyrikin di peperangan beliau, lalu mereka saling menyerang. Kemudian masing-masing pasukan bergabung dengan bala tentara mereka. Sementara diantara Kaum Muslimin terdapat seseorang yang tidak menyisakan seorang musyrik pun kecuali ia terus mengejarnya untuk dipenggal dengan pedangnya.

Seseorang berkata; “Wahai Rasulullah, tidak ada seorangpun yang mendapat ganjaran pahala sebagaimana yang didapat si fulan.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh orang itu termasuk penduduk neraka.”

Mereka balik bertanya; “Kalau begitu siapa diantara kami yang menjadi penduduk surga bila orang seperti ini termasuk penduduk neraka?.”

Kemudian seorang laki-laki dari kaum Muslimin berkata; “Aku akan mengikutinya”. Maka dia mengikuti orang tersebut, hingga ketika dia mempercepat langkah atau memperlambatnya, aku selalu bersamanya. Akhirnya dia mendapatkan luka parah, kemudian ia ingin segera mati, dia meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkah diantara dua dadanya, lalu dia menekannya, akhirnya dia membunuh dirinya sendiri.

Maka orang yang mengikutinya tadi pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; “Aku bersaksi bahwa tuan adalah benar-benar utusan Allah”.

Beliau bertanya: “Kenapa kamu berkata begitu?”.

Orang itu mengabarkan kepada beliau.

Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penduduk surga berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia dari penduduk neraka. Dan ada seseorang yang mengamalkan amalan penduduk neraka berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia dari penduduk surga.” HR. Bukhari no. 4207

Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama’, termasuk syaikh Utsaimin. lih. Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 2/100-101
Silahkan perhatikan ucapan tokoh MTA dalam video ini yang menyatakan bahwa Allah tidak adil, sungguh ucapan yang tidak layak diucapkan oleh orang yang memahami hadits diatas dengan benar , bisa didengarkan mulai di menit 05:40

Sangat Fatal, Bagi Orang Yang Mengingkari Takdir.. Plus VIDEO Pimpinan MTA Yang Salah Menjelaskan Tentang Takdir
https://aslibumiayu.net/10019-sangat-fatal-bagi-orang-yang-mengingkari-takdir-plus-video-pimpinan-mta-yang-salah-menjelaskan-tentang-takdir.html

Kalau Memang Sudah Ditaqdir, Buat Apa Allah Menyiksanya di Neraka?

Ketika berdebat soal keyakinan dengan orang-orang kafir, mungkin kita sering mendengarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang muncul dari lisan mereka. Salah satunya ketika berbicara tentang Al-Qur’an, mungkin mereka akan bertanya, “Menurut Al-Qur’an, Tuhan kalian telah mencitapkan taqdir, sehingga sesatnya manusia juga bagian dari taqdir. Lalu buat apa Dia menyiksa orang selama-lamanya di neraka?”

Menjawab pertanyaan ini, ada sebuah jawaban yang cukup bagus yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Majid Subh ketika ada orang bertanya dengan  pertanyaan serupa, beliau berkata: Jika kita serius mencermati pertanyaan tersebut, maka kita akan menyimpulkan bahwa hal itu telah mencerminkan bentuk pengingkaran mereka terhadap neraka dan surga.

Islam menganut prinsip bahwa iman yang kokoh harus didasarkan pada akal, renungan, dan kebijaksanaan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ

“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta. Oleh sebab itu, mereka tidak mengerti.” (Al Baqarah: 171).

Makin sering orang merenungkan ciptaan, maka semakin kokoh imannya kepada Allah, Sang Khalik. Al-Qur’an mengakui takdir Ilahi dan kehendak manusia. Pengakuan ini tersurat jelas dalam ayat berikut:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yangdikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (An-Nahl: 93).

Al-Qur’an menolak alasan para pendosa yang mengatakan bahwa takdir sudah menentukan mereka untuk melakukan perbuatan dosa. Prinsip ini ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an:

Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti selain persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” (Al An’am: 148).

Orang yang berpikiran waras pasti tahu bahwa dunia ini meliputi takdir Allah dan kehendak manusia. Manusia misalnya, tidak punya kehendak dalam menciptakan tubuh dan anggota-anggota tubuhnya sementara dia punya kehendak sempurna dalam hal-hal tertentu seperti makan, minum, tidur, bekerja, bermain, belajar, mengajar, dan sebagainya. Maka dari itu, ia memikul tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan itu.

Dalam buku Risalah Tauhid, ulama terkemuka Muhammad Abduh mengatakan, “Karena orang yang berakal sehat mengakui bahwa mereka ada dan karena itu tidak ada perlunya membuktikan fakta ini. Mereka mengakui bahwa mereka punya kehendak tak terbantahkan mengenai perbuatan-perbuatan yang bisa dipilih. Karena itulah mereka melakukan atau menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan sengaja.”

Sekarang mari kita renungkan kutipan dari Injil yang membahas masalah takdir Ilahi dan kehendak manusia berikut ini:

“Tuhan menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka. Sebab mereka menggantikan kebenaran Tuhan dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Tuhan menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar.

Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan menyala-nyala dalam birahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.” (Roma1: 18-27).

Sehingga Al-Qur’an—yang menganut prinsip takdir Ilahi maupun kehendak manusia—tidak menyangkal agama-agama samawi lain. Sebagai kesimpulan, saya ingin mengarahkan perhatian kalian pada fakta bahwa keyakinan kaum muslimin pada takdir Allah dan pada tanggung jawab mereka atas perbuatan yang mereka lakukan membuat mereka melaksanakan kewajiban mereka dalam menyebarkan kebajikan, kesejahteraan, keadilan, dan moralitas ke seluruh dunia.
Disadur dari buku “Mereka Bertanya, Islam Menjawab” karya Syekh Abdul Majid Subh, Penerbit Aqwam

Mungkin Ada Yang Bertanya, Kenapa Allah Menciptakan Manusia Dan Memasukannya Ke Neraka?

Masuk Surga dan Neraka Sudah Ditakdirkan
Pertanyaan:

Mengapa Allah menakdirkan sebagian orang masuk ke dalam neraka? Jazakumullah khairan

Jawaban:
Sesungguhnya Allah menakdirkan seseorang masuk neraka bukan berarti Allah memaksa seseorang kufur. Ini bukanlah akidah yang benar, Allah Ta’ala berlepas diri dari keyakinan demikian.

Allah Ta’ala mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk-makhluknya di dalam kehidupan mereka di dunia.

Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan pena penulis takdir untuk menuliskan apa saja yang akan terjadi pada para hamba-Nya.

Takdir tersebut tidak diketahui oleh satu pun dari makhluk-Nya, baik malaikat-malaikat yang dekat dengan-Nya, tidak pula para nabi. Tidak seorang pun mengetahui tentang takdir yang dituliskan di lauhul mahfuzh untuknya. Dengan demikian tidak ada manfaatnya bagi orang-orang yang mengkritisi takdir Allah.

Hamba-hamba Allah hanya diperintahkan untuk beriman dan beramal. Allah Ta’ala akan memberi balasan bagi mereka pada hari kiamat berdasarkan apa yang telah mereka usahakan bukan berdasarkan apa yang Allah tetapkan bagi mereka di lauhul mahfuz (maksudnya seseorang melakukan perbuatan atas pilihannya sendiri, bukan dipaksa ed.).

Allah pun telah mengutus para rasul sebagai penegak hujjah-Nya. Para rasul telah memberikan kabar gembira dan peringatan serta ancaman. Allah Ta’ala berfirman,

رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. (QS. An-Nisa: 165)

Kalau seandainya Allah tidak mengutus para rasul, maka masuk akal kalau seseorang hendak mengkritik Allah Ta’ala, Maha Suci Allah dari yang demikian. Seseorang diadzab di akhirat, tidak lain dikarenakan apa yang mereka amalkan setelah dijelaskan kepada mereka mana yang salah dan mana yang benar, Allah Ta’ala telah menetapkan hujjahnya. Oleh karena itulah, orang-orang yang belum sampai risalah kenabian pada mereka memiliki alasan kelak di hari kiamat.

Syaikh Shaleh bin Fauzan hafizhahullah ketika ditanya tentang seseorang yang tidak sampai padanya ilmu, beliau menjelaskan. Yang dimaksud tidak sampai ilmu pada seseorang atau seseorang dimaklumi jika tidak tahu adalah apabila seseorang tidak mengetahui karena tidak memungkinkan baginya, maka hal ini dapat dimaklumi.

Misalnya seseorang yang tidak menemukan seorang guru yang bisa mengajarinya, seperti seseorang yang tinggal di negeri kafir yang tidak memiliki akses dengan negeri-negeri Islam, maka dia dimaklumi tidak tahu.

Sedangkan mereka yang tinggal di lingkungan orang-orang Islam, mendengar Alquran dan hadis dibacakan, dan banyak dai yang menyerukan Islam, orang yang demikian tidak bisa dimaklumi kalau dia tidak mengerti dan mengetahui. Sudah sampai kepada mereka risalah, hanya saja mereka yang tidak memiliki perhatian. (Durus fi Syarhi Nawaqid Al-Islam, Hal.31)

Apalagi pada zaman sekarang, kemajuan teknologi sangat mendukung bagi seseorang untuk mengetahui dan mempelajari agamanya. Tidak tersembunyi bagi seseorang bahwasanya Allah Ta’ala telah menjelaskan mana jalan yang lurus dan mana pula jalan yang menyimpang, tinggallah dirinya sendiri hendak menempuh jalan yang mana.

Seseorang yang menempuh jalan yang lurus, maka ia akan masuk ke surga dan bagi mereka yang menempuh jalan yang sesat bagi mereka neraka. Allah sama sekali tidak memaksa mereka untuk menempuh jalan yang mana. Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا . إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلاً . أُوْلَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ الأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِّن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal shaleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al-Kahfi: 29-31)

Ketika kita mengimani Allah Ta’ala telah menakdirkan segala sesuatu dan Allah mengilmui tentang hal tersebut, hendaknya kita berpikir positif Allah menakdirkan bagi kita hidayah dan kebaikan.

Allah Ta’ala telah mewajibkan bagi kita syariat-Nya dan memerintahkan kita dengan syariat tersebut. Sehingga yang tersisa bagi kita hanya ada dua pilihan.

Pertama, kita berprasangka baik bahwa Allah. Dia telah menetapkan takdir yang baik bagi kita dan menakdirkan kita sebagai penghuni surga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya rahmat-Nya itu mendahului kemarahan-Nya, ridha-Nya lebih Dia kedepankan dari pada rasa kebencian-Nya. Tempuhlah takdir yang demikian! Berlakulah dengan perbuatan layaknya calon penghuni surga. Setiap orang akan dimudahkan menuju takdirnya.

Kedua, kita berprasangka buruk kepada Allah Ta’ala. Dia akan memasukkan kita ke neraka dan kita memilih jalan-jalan yang mengantarkan kita ke neraka, wal’iyadzbillah.

Inilah keimanan kita terhadap takdir Allah yang merupakan salah satu dari rukun iman yang enam. Jangan sampai karena permasalahan ini tidak terjangkau oleh akal kita atau karena kita belum memahaminya, kemudian kita lebih mendahulukan berburuk sangka kepada Allah.Allahu a’lam

Disadur dari: islamqa.com
Dengan tambahan dari kitab Durus fi Nawaqdhu Al-Islam oleh Syaikh Shaleh Al Fauzan.