Monday, May 30, 2016

Prof DR Nasaruddin Umar ( Penganut Sufi Super Ilmiyyah ) : Berguru Dengan Alam Ghaib Itu Dimungkinkan. Katanya, Imam Ghazali Tidak Perlu Mencantumkan Sebuah Hadits Dalam Kitabnya (Shahih Atau Tidak) Sebab Langsung Meminta Konfirmasi Ke Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Begitupun Ibnu Arabi Dengan Kitab Fushus Al Hikam.

May 30, 2016 
Kalau ingin mengenal seseorang, maka bacalah tulisan-tulisannya. Kali ini kita mencoba mengenali Prof Dr Nasaruddin Umar. Berdasarkan tulisan-tulisannya di Republika, kita dapati bahwa dia adalah seorang pengikut sufi.  Dalam salah satu tulisannya dia menulis bahwa Imam Al-Ghazali selalu meminta konfirmasi Rasulullah saw tentang hadith-hadith lemah dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
Prof. Nasaruddin menulis: Suatu saat, Imam Al-Ghazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer yang dikutip dalam Ihya’ Ulumuddin. Lalu, Al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya’ tanpa mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah. Jika ada lebih dari 200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam Al-Ghazali berjumpa dengan Rasulullah.”
Prof. Nasaruddin juga membahas pengalaman Ibnu Arabi  yang mengaku bertemu dengan Rasulullah saw dalam mimpi. Dalam mimpinya Rasulullah saw berkata, “Ini kitab Fushus Al Hikam. Ambil dan sebarkan kepada umat manusia agar mereka mengambil manfaat darinya.” Berdasarkan cerita itu, tampak bahwa Ibnu Arabi meyakini sepenuhnya bahwa apa yang dia tuliskan dalam kitab tersebut merupakan ilham Ilahi. Ia hanyalah mesin pencetak bagi kitab Fushus yang diberikan Nabi tanpa mengurangi maupun menambah sedikitpun.
Jadi golongan sufi ini sangat meremehkan hadith-hadith sahih., karena mereka punya metode lain untuk menentukan sebuah hadith itu sahih yaitu melalui konfirmasi dengan Nabi SAW di alam mimpi. Metode ini sungguh sangat melecehkan usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama-ulama hadith sejak dulu kala.
Perjalanan jauh yang ditempuh oleh Al-Imam Al-Bukhari dan para ahli hadits  lainnya dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi tampak menjadi pekerjaan bodoh yang menghabiskan banyak waktu, energi serta biaya. Karena sebenarnya ada cara mudah yaitu janjian sama Nabi shallallahu ‘alahi wasallam untuk ketemuan lalu belajar langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang dilakukan oleh Ibnu Arabi.
Juga kalau mengikuti metode sufi, bisa diambil kesimpulan, kitab-kitab hadith yang ada pada saat ini seperti shahih Al-Bukhari, shahih Muslim, Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Thirmidzi, Sunan Ibni Maajah, Sunan An-Nasaai, Sunan Ad-Daarimi, Sunan Al-Baihaqi, dll, jauh daripada lengkap. Karena ternyata masih banyak hadith-hadith yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat “baru” yang bertemu dengan Nabi dalam mimpi.
Itulah Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Seorang pengikut sufi yang membenarkan bahwa dimungkinkan berguru dengan penghuni di alam lain. Bagi yang ingin mengikuti ajaran sunnah dengan benar, jauhi ajaran-ajaran kiyai seperti ini, walaupun bergelar profesor. Pakar-pakar sufi ini biasanya sangat bersahabat dengan golongan Syi’ah, kaum liberal, dan aliran-aliran sesat lainnya. Namun mereka sangat keras dengan golongan sunnah.


“Barangsiapa yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa menyerupai diriku.” (Hadis)

Suatu saat, Imam Al-Ghazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer yang dikutip dalam Ihya’ Ulumuddin.
Lalu, Al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya’ tanpa mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah.
Jika ada lebih dari 200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam Al-Ghazali berjumpa dengan Rasulullah.
Padahal, Imam Al-Ghazali hidup pada 450 H/1058 M hingga 505 H/1111 M, sedangkan Rasulullah wafat tahun 632 M. Berarti, masa hidup antara keduanya terpaut lima abad.
Kitab Ihya’ yang terdiri atas empat jilid itu ditulis di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang sunyi dari hiruk pikuk manusia.
Pengalaman lain, Ibnu Arabi juga pernah ditanya muridnya tentang kitabnya, Fushush Al-Hikam. Setiap kali sang murid membaca pasal yang sama dalam kitab itu selalu saja ada inspirasi baru.
Menurutnya, kitab Fushuh bagaikan mata air yang tidak pernah kering. Ibnu Arabi menjawab, kitab itu termasuk judulnya dari Rasulullah yang diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi itu, Rasulullah berkata, “Khudz hadzal kitab, Fushuh Al-Hikam (ambil kitab ini, judulnya Fushush al-Hikam).”
Kitab Jami’ Karamat Al-Auliya’ karangan Syekh Yusuf bin Isma’il Al-Nabhani, sebanyak dua jilid, mengulas sekitar 625 tokoh/ulama yang memiliki karamah, yaitu pengalaman luar biasa mulai dari sahabat nabi hingga tokoh abad ke-19.
Sayang, di dalamnya tidak dimasukkan sejumlah orang yang dapat dikategorikan sebagai wali yang berasal dari Indonesia. Seperti beberapa ulama yang tergabung di dalam Wali Songo. Dalam kitab ini,Subhanallah, ternyata pengalaman batin dan spiritual hamba Allah SWT berbeda-beda.
Juga di http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/03/02/m0921q-berguru-kepada-penghuni-alam-lain-

Khomainiy = Nasr Hamid Abu Zaid = Nasaruddin Umar, Al-Qur'an Tidak Sempurna ( Belum Tuntas ) !
Nasaruddin Umar : Pemerintah Akan Mengawasi Gerakan Anti-Syiah. Menteri Agama : Hina Sahabat ( Istri ? ) Nabi Muhammad Menistakan Agama Atau Tidak ? Di Saudi/Sudan/Pakistan, Dihukum Sangat Berat Dan Jadi Benalu Negara. Malaysia/Brunei Larang Syiah.
SYIAH Bergembira Digantinya KH Ali Mustafa Yaqub Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal
Innalillahi.. Menag Lukman Angkat Nasaruddin Umar Penyanjung Anand Krishna Jadi Imam Besar Masjid Istiqlal

Sejarah Hidup Imam 
Al Ghazali (1)

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengenalnya. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata,“Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalamThabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi,Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitabAt Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitabIkhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.”Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-
***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
sumber : http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html


Kitab Ihya’ Ulumuddin Imam al-Ghazali & Kritik Hadits Didalamnya


Hasil gambar untuk Kitab Ihya’ Ulumuddin Imam al-Ghazali & Kritik Hadis Di Dalamnya

Tak ada gading yang tak retak. Begitu kira-kira permisalan bagi kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al Imam al-Ghzali rahimahullah. Disamping kemasyhuran dan faidah yang terkandung padanya, sayang di dalamnya banyak terselip hadits lemah, sangat lemah bahkan palsu.

Diakui, Imam al-Ghazali adalah seorang ulama pemuka umat yang dihormati. Jasa dan sumbangsihnya dalam berbagai cabang ilmu agama tidak dapat dipungkiri. Beliau adalah ahli fikir dan ushul yang tersohor. Kendati dalam bidang hadits, beliau bukanlah ahli di dalamnya, sebagaimana dinyatakan para pakar hadits. Makanya, mengkritik hadits-hadits lemah dan palsu dalam kitab beliau, tidak berarti merendahkan kedudukan al-Ghazali, karena kebenaran dan keselamatan agama berada di atas segalanya.

Simaklah pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi kala menjelaskan kekeliruan yang ada dalam kitab al-Ihya’: “Aku katakan: Al-Ghazali adalah imam yang besar, namun bukanlah menjadi syarat seorang alim itu tidak melakukan kekeliruan’’. (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar Alam al-Nubala 19/339, al-Maktabah al-Syamilah).

Bahkan Imam besar dalam Mazhab Syafi’i yang selalu membela al-Ghazali, Imam Tajuddin al-Subki pun mengakui hal ini dalam “Thabaqat”-nya: “Adapun apa yang dianggap cela pada kitab al-Ihya' berupa kelemahan sebagian hadits-hadistnya, maka itu kerana al-Ghazali dikenal bukanlah seorang pakar dalam bidang hadits’’. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yyah al-Kubra, 6/249, al-Maktabah al-Syamilah).

Nah, berikut beberapa komentar ulama mu’tabar terkait kitab Ihya’ Ulumuddin:

Pertama: Imam al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan: “Ketika berada di Damaskus dan Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya Ihya' Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang luar biasa, mengandung banyak ilmu yang berkaitan dengan syari’at, dan bercampur dengan kehalusan tasawuf serta amalan hati. Namun sayang, di dalamnya banyak hadits yang gharib, mungkar dan bahkan palsu’’. (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/214, al-Maktabah al-Syamilah).

Kedua: Imam Ibnul Jauzi berkata: “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk mereka (golongan sufi) kitab al-Ihya' berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya itu dengan hadits-hadits batil yang dia tidak ketahui kebatilannya’’. (Lihat: Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hlm 149, al-Maktabah al-Syamilah).

Ketiga: Imam al-Hafidz al-Dzahabi mengomentari: “Adapun kitab al-Ihya’ di dalamnya terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil. Padanya terkandung kebaikan yang melimpah, andai saja tidak ada padanya adab, cara dan zuhud yang diambil daripada ahli falsafah dan golongan sufi yang menyeleweng. Kami memohon daripada Allah ilmu yang bermanfaat". (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala’, 19/339, Beirut: Dar al-Risalah, al-Maktabah al-Syamilah).

Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Abu Hamid (Al-Ghazali) tidak memiliki pengalaman (kepasitas) dalam atsar-atsar Nabi serta riwayat-riwayat salaf sebagaimana dimiliki oleh ahli-ahli yang mengetahui perkara itu yang sanggup membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih. Olehnya, al-Ghazali menyebut dalam kitab-kitabnya hadis dan athar yang palsu dan dusta, dimana kalau ia mengetahuinya tentu dia tidak akan menyebutnya” (Lihat: Ibn Taimiyyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, 3/370, al-Maktabah al-Syamilah).

Itulah Imam al-Ghazali dan kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Tapi kebesaran dan kesohoran beliau di dunia Islam, tidak menjadikan beliau tutup mata terhadap kekurangannya dalam bidang ilmu hadits tersebut. Beliau mengakuinya, hingga di akhir-akhir hayatnya, sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisy, bahwa beliau mulai melakukan kajian-kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw, duduk mendengar pelajaran dari ahli ilmu, serta mendalami kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, 4/111, dan al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, 19/325-326). Terbukti, saat ditemukan, beliau wafat sambil memeluk kitab “Shahih al-Bukhari”. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh al-Aql wa al-Naql, 1/162).

Semoga Allah merahmati al-Hafidz Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi atas kerja keras dan upaya beliau melakukan pendalaman dan takhrij (penjelasan) bagi hadits-hadits dalam kitab al-Ihya’, kemudian beliau namakan takhrijnya tersebut “Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar”, yang dicetak bersamaan dengan kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut.
*dari fb Rappung Samuddin (Jumat, 28/8/2015)


Tinjauan Kritis Terhadap Beberapa Pemikiran Imam Al Ghazali Dalam Kitabnya Ihya’ Ulumiddin

Ditulis pada 18 Januari 2015 oleh abuzahrahanifa
PENDAHULUAN
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath Thusi asy Syafi’i yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al Ghazali dilahirkan di kota Thûs pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal di Thûs pada tahun 505 H (1111 M). Dikenal di dunia Barat pada abad pertengahan dengan Algazel.

Berkun-yah Abu Hamid, karena salah seorang anaknya bernama Hâmid. Sementara gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan pekerjaan ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazâlah di Bandar Thûs, Khurasân, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syâfi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.

Imam al-Ghazâli rahimahullah termasuk penulis produktif, di antaranya menulis dalam bidang Ushûluddîn, Ushul Fiqh, Fiqh, Mantiq, Tasawuf, dan lainnya. Tulisan dan kitab-kitab beliau tersebut cukup banyak tersebar di kalangan kaum muslimin, meskipun di dalamnya banyak terdapat substansi-substansi yang perlu dikoreksi dan diluruskan karena penyelisihannya dari pemahaman yang benar.

Pada tulisan ini, akan sedikit diuraikan beberapa pemikiran dan pemahaman Imam al- Ghazâli rahimahullah yang perlu dikritisi, dalam rangka meluruskan kesalahan dan sebagai bentuk nasihat kepada kaum umat Islam. Pembahasan ini diangkat dari kitab berjudul Waqafat ma’a Kitab Ihya’ ‘Ulumiddîn lil Ghazali karya Sa’d bin ‘Abdirrahman al-Hushayyin.

PANDANGAN AL-GHAZALI rahimahullah DALAM MASALAH KHOLWAT [1].

Beliau mengatakan,

“Adapun kehidupan berkholwat, maka di antara faidahnya adalah meninggalkan kesibukan, menguatkan pendengaran dan penglihatan, karena sesungguhnya keduanya (pendengaran dan penglihatan) adalah saluran menuju ke hati. Dan tidaklah hal itu bisa sempurna kecuali dengan berkholwat (menyendiri) di rumah yang gelap. Dan jika tidak ada tempat yang gelap, maka hendaklah ia memasukkan kepalanya ke dalam baju, atau berselimut dengan baju atau sarungnya, maka dalam keadaan ini ia akan mendengar seruan kebenaran dan menyaksikan keagungan rubûbiyyah Allâh Azza wa Jalla .” [2].

Beliau berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla:

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

“Hai orang yang berkemul (berselimut)”. [al-Muddatstsir/74 :1]. Dan Firman Allah Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

“Hai orang yang berselimut (Muhammad)”. [al-Muzzammil/73 :1].

Sanggahan :

Apakah Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai dasar untuk merealisasikan jenis kholwat semacam itu, ataukah ayat tersebut menjelaskan perintah meninggalkan tempat tidur dalam rangka berdakwah mengajak ke jalan Allâh Azza wa Jalla dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dan apakah jenis kholwat semacam itu diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?.

Al-Ghazali rahimahullah juga mengatakan tentang kholwat,

“Dan hendaklah ia menyendiri di ruangan khusus, dengan hanya melaksanakan perkara-perkara yang wajib, dan tidak mengiringi keinginannya untuk membaca al-Qur’ân, tidak pula menelaah tafsirnya, serta tidak pula menulis Hadits.” [3].

Sanggahan :

Pernahkah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , para Sahabat, dan para imam (panutan) beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan membaca al-Qur`ân, mentadabburinya, dan menyebarkan Sunnah (Hadits)?.

Al-Ghazali rahimahullah menambahkan mengatakan,

“Ketahuilah bahwa orang yang masih dalam tahapan awal [4] , hendaklah tidak menikah terlebih dahulu. Karena, hal itu (pernikahan) merupakan urusan yang mendatangkan kesibukan dan akan menghalanginya dari menempuh perjalanan (suluk). Demikian pula, hal itu akan mengantarkannya untuk berkasih-sayang dengan istrinya. Dan barangsiapa berkasih-sayang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , itu akan melalaikannya dari Allâh Azza wa Jalla . Janganlah ia tertipu dengan keberadaan Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai banyak isteri. Karena beliau adalah orang yang hatinya tidak terlalaikan dari mengingat Allâh Azza wa Jalla dengan seluruh yang ada di dunia. Jadi, tidaklah bisa dikiaskan antara malaikat dengan tukang besi……..Oleh karena itulah, Abu Sulaimân ad-Dârâni berkata, “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah cenderung (tertarik) kepada dunia.” [5].

Sanggahan :

Lihatlah pertentangan perkataan tersebut dengan firman Allah Azza wa Jalla berikut :

وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

“Dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”. [ al-A’raf/7:189].

Juga berseberangan dengan perintah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لِأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

“Barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan” [HR. al-Bukhari Muslim].

PANDANGAN AL-GHAZALI BERKAITAN DENGAN AL-QUR’AN.

1). Ta’wil Batiniyah

Para pengikut tharekat Sufiyah berpendapat seperti yang menjadi pendapat kaum batiniyah secara umum, yaitu membagi ilmu syar’i menjadi ilmu yang bersifat lahir dan ilmu yang bersifat batin, atau ilmu thariqah (jalan) dan ilmu hakikat. Dan al-Ghazâli rahimahullah termasuk pemandu mereka dalam masalah ini, sebagaimana kenyataan yang ada, dimana beliau telah mambuka pintu ajaran tasawuf kepada para pengikut yang datang setelahnya. Dan juga memudahkan sarana untuk menjadikan ajaran ini nampak, padahal sebelumnya ajaran ini tersembunyi dan tidak terang-terangan.

Berikut ini contoh penafsiran al-Ghazali rahimahullah terhadap beberapa ayat al-Quran :

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ

“Maka tanggalkanlah kedua terompahmu. [Thaha/20:12].

Al-Ghazâli rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Aku mengatakan bahwa Musa memahami perintah untuk menanggalkan kedua terompahnya, yang maksudnya adalah menanggalkan kedua alam. Maka Musa melaksanakan perintah secara lahir dengan menanggalkan terompah dan secara batin dengan menanggalkan kedua alam.”[6].

Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. tahun 728 H) mengomentari penafsiran tersebut dengan menyatakan, “Ini adalah kebiasaan ahli takwil, ahli filsafat….shabiah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Qaramithah, Bathiniyah dan para pengikut aliran tasawuf”[7].

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dan dari sisi inilah orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahlul hulûl, ahlul wihdah, dan ahlul ittihâd [8]”[9].

Ibnul Jauzi rahimahullah (w. tahun 597 H) juga menukil perkataan al-Ghazâli rahimahullah, “Yang dimaksudkan dengan bintang-bintang dan bulan (yang dilihat Nabi Ibrâhîm) [10] adalah cahaya-cahaya, yaitu hijab Allâh Azza wa Jalla , dan bukanlah yang dimaksudkan adalah matahari dan bulan yang sudah dimaklumi.” Maka, Ibnul Jauzi rahimahullah mengomentari perkataan ini dengan mengatakan, “Ini termasuk jenis perkataan orang-orang Batiniyah.”[11].

Demikian pula,

Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ/4:6].

Al-Ghazali rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan mengatakan bahwa, orang yang sudah cukup bekal ilmunya, hendaklah dibukakan kepadanya hakikat-hakikat ilmu, dan ia naik dari pengetahuan yang sifatnya lahiriyah dan nampak kepada pengetahuan yang sifatnya rinci, tersembunyi, dan batin.” [12].

2). Membandingkan al-Quran dan Nyanyian

Al Ghazali rahimahullah menyebutkan dalam al-Ihya’ satu bab tentang al-ghina (nyanyian). Secara panjang-lebar, beliau membicarakan tentang kondisi orang-orang yang menekuninya, dan juga perasaan gembira yang mereka rasakan. Dan beliau menyebutkan dalil-dalil orang yang berpendapat akan haramnya nyanyian, kemudian membantahnya. Dan menyebutkan orang-orang yang berpendapat akan bolehnya nyanyian dan kemudian mendukungnya.

Kemudian beliau menjawab pertanyaan berkaitan dengan hal ini, yaitu pertanyaan, “Jika sudah diketahui bahwa mendengar al-Quran jelas memberikan manfaat kepada jiwa, maka mengapakah mereka masih berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari orang-orang yang ahli dalam pembicaraan, bukan mendengar dari para pembaca al-Quran ?”.

Maka al- Ghazali -rahimahullah- menjawabnya langsung,

“Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian lebih memberikan dorongan kepada jiwa daripada al-Qur’an ditinjau dari tujuh sisi” (?!)[13] :

Sisi pertama : Sesungguhnya tidak semua ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kondisi orang yang mendengarkannya. Orang yang ditimpa kesedihan, rasa rindu, atau penyesalan, dari sisi mana kondisinya sinkron dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan [an-Nisa/4:11].

Dan dari sisi mana kondisinya sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik. [an-Nûr/24:4]. Jadi, yang bisa menggerakkan perasaan dalam hati ialah hal-hal yang sesuai dengannya.

Sisi kedua : Bahwasanya al-Quran telah banyak orang yang menghafalnya, sering didengar, dan sering diresapi dalam hati. Ketika pertama kali didengar, maka pengaruhnya terasa besar pada kalbu. Setelah mendengar kedua kalinya, pengaruhnya akan menurun. Dan pada kali yang ketiga, seolah-olah pengaruhnya lenyap. Berkaitan dengan apa yang kami sebutkan itu, Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu telah mengisyaratkan kenyataan tersebut ketika ia melihat beberapa orang arab Badui datang mendengarkan al-Qur`ân kemudian mereka menangis, maka ia berkata,“Dahulunya kami juga menangis seperti kalian, akan tetapi sekarang sudah keras hati kami.” Akan tetapi, berulang-ulangnya hati menelaah al-Qur`ân mengakibatkan kerasnya hati, dan sedikitnya pengaruh yang dirasakan, disebabkan kebiasaan dan seringnya mendengar al-Qur`ân. Menurut kebiasaan, tidak mungkin seseorang mendengar satu ayat yang belum pernah didengar sebelumnya lalu ia menangis, dan ia terus-menerus bisa menangis karenanya dalam jangka dua puluh tahun, kemudian setiap kali ia mengulang ia selalu menangis” [14].

Sanggahan :

Sangat mengherankan, bukankah alGhazali rahimahullah telah mengatakan tidak hanya sekali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin bahwa al Quran tidaklah usang dengan banyaknya diulang ? Dan bahwa hati tidaklah bosan dengannya?[15].

Dari manakah beliau mendatangkan kisah palsu yang dihikayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu tersebut? Sedangkan telah diriwayatkan dalam hadits yang shahîh dari ‘Aisyah Radhyallahu anhuma , bahwasanya ia berkata :

إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيْقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَ عَلَيْهِ الْبُكَاءُ

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut hatinya, jika ia membaca al Quran, maka ia tidak bisa menahan tangisnya [16].

Ini adalah riwayat yang jelas menunjukkan kedustaan kaum yang menganggap telah sampai pada tingkatan ma’rifah dan wushûl, dan mereka lebih mengedepankan nyanyian daripada al Quran, dan berdalil dengan riwayat yang dibuat-buat (dipalsukan) atas nama Abu Bakar Radhiyallahu anhu.

PANDANGAN AL-GHAZALI DALAM ROJA DAN KHAUF [17].

Al-Ghazali rahimahullah menyebutkan beberapa perkataan kaum Sufi dan pendapat-pendapat mereka dalam masalah roja’ dan khauf. Di antaranya beliau mengatakan,

“Adapun orang yang beramal karena mengharapkan surga dan takut neraka maka dia adalah seorang yang mukhlis (ikhlas) jika ditinjau dari bagian yang didapatkannya segera. Jika tidak demikian, maka hakikatnya dia sedang mencari pemenuhan kebutuhan perut dan farji (kemaluan). Dan sesungguhnya yang benar-benar dituntut dari orang-orang yang berakal adalah mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla semata (bukan berharap surga dan takut dari neraka, pent)” [18].

Kemudian beliau menukil perkataan Rabi’ah al ‘Adawiyah kepada Sufyân ats-Tsauri rahimahullah,

“Aku tidaklah beribadah kepada-Nya karena takut dari neraka-Nya, tidak pula karena menginginkan surga-Nya. Jika seperti itu, tentulah aku termasuk kuli yang buruk (mengharap upah dam takut kena marah, pent). Akan tetapi, aku beribadah kepada-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.[19].

Beliau juga menceritakan bahwa Isa Alaihissallam pernah melewati sejumlah orang ahli ibadah dan mereka sedang tekun beribadah. Mereka berkata,

“Kami takut akan neraka dan kami mengharapkan surga.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Mengapa kalian takut kepada makhluk (neraka) dan mengharapkan makhluk (surga)?”. Kemudian Isa Alaihissallam melewati sekelompok orang lain yang mengatakan,“Kami beribadah karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan kebesaran-Nya.”Maka Isa Alaihissallam berkata, “Kalian adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla yang sejati, dan bersama kalian lah aku diperintahkan untuk tinggal.”[20].

Sanggahan :

Allah Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan tarhib [21]:

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu”. [al-Baqarah/2:24].

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan targhib [22] :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. [Ali ‘Imran/3:133].

Maka, bagaimanakah seseorang bisa disebut sebagai orang yang mengagungkan Allah Azza wa Jalla , sedangkan ia mendengar firman Allah Azza wa Jalla tersebut, kemudian ia tidak mau memperhatikan ancaman yang menjadikan seseorang takut dari-Nya, dan tidak pula mengharapkan kenikmatan yang telah Allâh Azza wa Jalla janjikan ( dalam surga)?.

Apakah ia berkeyakinan bahwa ia lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla dan lebih dekat kepada-Nya daripada para Nabi yang telah dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا

“Mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [al-Anbiya/21:90].

Dan apakah ia menganggap bahwa dirinya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada para malaikat yang telah Allâh Azza wa Jalla puji dalam firman-Nya :

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka” [an-Nahl/16:50].

Bukankah hakekat pengagungan dan makna ketakwaan dengan seluruh maknanya adalah seseorang takut akan hal-hal yang menjadi ancaman Allâh Azza wa Jalla , dan seseorang mengharapkan kenikmatan yang telah dijanjikan Allâh Azza wa Jalla .

Tidakkah ia mendengar firman Allâh Azza wa Jalla :

ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ

“Demikianlah Allâh mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku [az-Zumar/39:16].

Simaklah pernyataan al-Qusyairi –seorang tokoh Sufi dan termasuk peletak pokok-pokok ajaran Tasawuf – yang diriwayatkan dari perkataan Abu Sulaimân ad Darani, “Yang dimaksud dengan ridha adalah engkau tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla, dan tidak memohon perlindungan dari neraka.” [23].

Tidakkah ia mengetahui bahwa ketidaktakutan seseorang terhadap ancaman Allâh Azza wa Jalla termasuk sifat orang-orang yang melampaui batas, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا

“Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar besar kedurhakaan mereka” [al-Isrâ/17:60].

Sifat thughyan (melampai batas) ini telah menimpa kaum Sufi dengan penyimpangan mereka dari sunnah (petunjuk) Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , dan meremehkan pahala dan siksaan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Mereka berpandangan bahwa apabila seseorang takut akan neraka dan adzab Allâh Azza wa Jalla berarti ia telah takut kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan bahwasanya hal itu termasuk kategori syirik. Dalam hal ini, mereka telah melalaikan akan perintah Allah Azza wa Jalla :

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan” [al-A’raf/7:56].

Dengan demikian, mereka tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula berlindung dari neraka karena menganggap bahwa hal itu adalah tingkatan ridha kepada Allâh Azza wa Jalla .

AL-GHAZALI MENGUTIP KISAH TOKOH-TOKOH TASAWUF.

Al-Ghaza li rahimahullah mengatakan,

“Dan diriwayatkan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi, suatu ketika ia merasa kagum terhadap seorang pengikut tarekat Sufi. Ia pun mendekatinya dan menyediakan segala kebutuhannya, sementara orang tersebut tetap sibuk dalam ritual ibadahnya. Kemudian Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau mau melihat Abu Yazid!” Maka orang itu menjawab, “Celaka kamu, apa yang aku butuhkan dari Abu Yazid? Aku telah melihat Allâh Azza wa Jalla (!?), maka aku tidak butuh kepada Abu Yazid.” Abu Turab berkata, “Maka bergoncanglah perasaanku, dan aku pun tidak bisa menguasai jiwaku, lalu aku pun berkata kepadanya, “Celakalah engkau, engkau telah terpedaya dengan Allâh Azza wa Jalla . Kalau lah engkau melihat Abu Yazid sekali saja, maka itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah Azza wa Jalla tujuh puluh kali (!?)” [24].

Sanggahan :

Perkataan yang buruk ini tidak perlu lagi untuk dikomentari, kecuali kita hanya berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dari penyimpangan setelah datangnya hidayah. Namun demikian, al-Ghazâli rahimahullah tidak mengingkari perkataan tersebut, demikian pula cerita-cerita lainnya dari tokoh-tokoh Sufi. Justru berkomentar positif, “Ini adalah bagian awal dari perjalanan mereka (menuju Allah), sekecil-kecil kedudukan mereka, dan semulia-mulia orang yang bertakwa(?! ).” [25].

Imam al-Ghazali rahimahullah juga menceritakan dari Ibnu al-Kuraibi bahwa ia berkata,

“Aku mendatangi suatu tempat dimana penduduknya mengenalku sebagai orang shalih. Di situ, hatiku menjadi gundah. Lalu aku masuk ke kamar mandi dan aku melihat ada sehelai baju yang mewah. Aku mencurinya dan kemudian mengenakannya. Lalu aku pakai pakaianku yang penuh tambalan di atas baju tersebut, kemudian aku keluar. Aku pun berjalan pelan-pelan. Orang-orang pun menemuiku dan melepaskan baju luarku. Selanjutnya, mereka mengambil pakaian yang mewah itu dan menampari dan menyakitiku dengan pukulan. Sejak itu, aku dikenal sebagai seorang pencuri barang-barang yang tertinggal di kamar mandi. Namun, dengan kasus itu lah jiwaku menjadi tenang (?!).” [26].

Sanggahan :

Perkara ini jelas menyelisihi syariat Allâh Azza wa Jalla dan sunnah (petunjuk) Nabi-Nya. Karena pencurian termasuk perbuatan dosa besar.Allâh Azza wa Jalla menggandengkan penyebutan tindak pencurian dengan dengan perbuatan zina yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla atas orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ

“Tidak akan mencuri dan tidak akan berzina”. [al-Mumtahanah/60:12]. Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. [an-Nûr/24: 3].

TAUHID AL-GHAZALI DAN KEYAKINAN AL-HALLAJ [27].

Para ulama telah mengingkari pendapat al-Ghazali rahimahullah yang membagi tauhid menjadi empat, yaitu :

Tingkatan pertama: Seseorang mengucapkan kalimat La Ilaha illallah dengan lisannya, namun hatinya ghoflah (lalai) darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang munafik”. [28].

Sanggahan :

Telah dimaklumi bahwa nifaq (kemunafikan) bukanlah satu tingkatan dari tauhid menurut para Ulama Salaf. Bahkan sebaliknya, termasuk tingkaran kekufuran paling tinggi. Sementara ghoflah (kelalaian) itu berbeda dengan inkâr (pengingkaran).

Tingkatan kedua: “Seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya sebagaimana umumnya kaum Muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-orang awam”.[29].

Tingkatan ketiga : “Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan al-kasyf (penyingkapan) melalui perantara cahaya dari Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah tingkatan muqorrabîn (orang-orang yang didekatkan kepada-Nya). Yaitu, dengan melihat benda-benda yang banyak, disertai keyakinan bahwa semuanya itu muncul dari satu Dzat Yang Maha Mulia”.

“Maka, orang yang menyaksikan adalah orang yang bertauhid, karena ia tidak menyaksikannya kecuali (bersumber) dari perbuatan satu Dzat……dan tidak melihat satu pun perbuatan secara hakiki kecuali (bersumber) dari yang satu.[30].

Tingkatan keempat: “Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu hakikatnya adalah satu. Ini adalah yang disaksikan oleh shiddîqîn. Para pengikut Tasawuf menamainya dengan fanâ (melebur) dalam tauhid. Inilah puncak tertinggi dalam tauhid.”[31].

Sanggahan :

Di sini kita sampaikan satu pertanyaan, yaitu di manakah letak tauhid (aqidah) yang diserukan oleh Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya (mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh ibadah) di antara empat tingkatan tauhid yang disebutkan tersebut, mengapa tidak ada bagiannya di sana?.

Dan apa benar puncak tertinggi dalam tauhid diwujudkan dengan melihat segala apa yang ada sebagai sesuatu yang hakikatnya satu? Apakah yang dimaksudkan satu tersebut adalah Allâh Azza wa Jalla ? Jika demikian, maka ini adalah pemahaman wihdatul wujud. [32].

Al-Ghazali rahimahullah telah mengisyaratkan hal itu [33] ketika beliau mengatakan dalam kitab Misykatul Anwar, “La ilaha illallah adalah tauhid (keyakinan) orang-orang awam, dan ‘La huwa illa huwa’ (tidak ada dia kecuali dia) adalah tauhid (keyakinan) orang-orang khusus.”[34].

Ketika al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan tingkatan keempat dari tauhid tersebut, beliau mengatakan, “Jika engkau bertanya, “Bagaimana dapat dibayangkan seseorang tidak melihat kecuali satu, padahal ia melihat langit, bumi, seluruh benda-benda yang bisa dijangkau oleh panca indera, dan jumlahnya sangat banyak, maka bagaimana bisa dikatakan yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang satu ?”.

Maka beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat permisalan yang mengherankan, dan tidak terbayang bahwa itu muncul dari seorang yang alim (berilmu) terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla , yang mestinya mengembalikan perkara ketika terjadinya perselisihan kepada nash-nash wahyu dari Allâh Azza wa Jalla . Beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan,

“Hal itu seperti pada diri seorang insan, ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari ruhnya, jasadnya, anggota badannya, urat-uratnya, tulang-tulangnya, dan juga lambungnya. Dan ditinjau dari sisi lainnya, ia juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu. Betapa banyak orang yang melihat orang lain, namun tidak terlintas di dalam benaknya tentang banyaknya usus orang itu, urat-uratnya, anggota badannya, rincian ruh dan jasadnya, demikian pula anggota tubuhnya yang lain. Demikian pula segala sesuatu yang ada ini dari al- Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dan seluruh makhluk mempunyai sisi penyaksian yang banyak dan beraneka ragam. Maka, ditinjau dari satu sisi, semuanya itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu, dan ditinjau dari sisi lainnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banyak, sebagiannya lebih banyak dari sebagian yang lain.“[35].

Maka, makna dari perkataan al-Ghazali rahimahullah tersebut bahwa puncak tertinggi tauhid adalah wihdatul wujud dan bersatunya al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dengan makhluk-Nya.

Inilah beberapa kekeliruan dari kekeliruan Abu Hamid al-Ghazali yang banyak dalam kitabnya yang sangat terkenal . Namun pemaparan yang sedikit ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang bahaya besar yang tidak (belum) disadari dari kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.

Tulisan ini bukanlah untuk mencela ataupun menghina Imam al-Ghozali yang termasuk Ulama Islam yang masyhur. Namun tujuannya sebagaimana disampaikan Syaikh Sa’d al-Hushayyin dalam muqoddimah kitab yang menjadi sumber naskah ini, ”Kami memandang pentingnya menyebarkan tulisan ini secara terpisah karena banyak orang yang menjadikan Ihyâ’ ‘Ulumiddîn sebagai bahan rujukan namun tidak selektif. Kitab ini meskipun juga memang memuat kebaikan, kebenaran dan petunjuk (yang benar), akan tetapi juga berisi gulungan kejelekan dan kebatilan serta kesesatan, jauh dari petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah. Hanya saja, orang-orang yang fanatik kepada beliau, tetap menyebarkan kekeliruan dan kesalahan beliau di dalamnya. Kewajiban kita tiada lain, memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla bagi beliau dan kita semua, dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan pemikirannya yang bertentangan dengan syariat, dalam rangka menjaga Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para penguasa dan kaum Muslimin pada umumnya”.

PENUTUP.

Di akhir pembahasan ini, setelah kami menyebutkan beberapa pendapat dan pemikiran al-Ghazâli rahimahullah yang dinukil dari kitab-kitab beliau sendiri, demikian pula dari kitab-kitab yang menjelaskan biografi beliau, maka perlu kami sampaikan bahwa telah disebutkan pernyataan tentang taubat beliau dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dan di akhir-akhir kehidupannya, beliau menyibukkan diri dengan menekuni hadits dan ilmu-ilmunya. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau meninggal dengan kitab Shahih al-Bukhâiari berada di atas dadanya. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196].
Footnote
1.Kholwat adalah menyendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , pent)
2.al-Ihyâ’ 3/76
3.al-Ihyâ (3/19).
4.Dalam tahapan awal dalam menempuh tarekat Sufi, Pent)
5.al-Ihyâ 3/110
6.Misykâh al-Anwâr, hlm. 30
7.Majmû Fatâwâ 6/180
8.Maksudnya adalah orang-orang yang berkeyakinan bersatunya Rabb dengan makhluk, Pen)
9.Dâr-u at-Ta’ârudh al-‘Aql wa an-Naql 1/318
10Sebagaimana disebutkan dalam QS. al An’âm : 77-78, Pen)
11.Talbîs Iblîs, hlm. 166
12.Mizân al-‘Amâl, hlm. 111
13.Di sini kami hanya menyebutkan dua sisi yang disebutkan al-Ghazâli karena keterbatasan tempat. (Pent)
14.al-Ihyâ (2/299).
15.al-Ihyâ (1/272-289).
16.HR. al-Bukhâri (1/162, 165, 167) dalam Kitâb al-Adzân
17.Rojâ maknanya mengaharpkan pahala dan surge Allâh Azza wa Jalla , sedangkan khauf maknanya takut dari adzab dan neraka Allâh Azza wa Jalla . (Pen)
18.al-Ihyâ 4/381
19.al-Ihyâ 4/310
20.al-Arba’în min Ushûl ad-Dîn 192
21.Tarhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang takut akan ancaman dan siksaan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
22.Targhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang bersemangat untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
23.ar-Risâlah al-Qusyairiyah hlm. 90
24.al-Ihyâ 4/356, Bab Hikâyatu al-Muhibbin wa Aqwâlihum wa Mukasyafâtihim
25.al-Ihyâ 4/357
26.al-Ihyâ 4/358
27.Al-Hallâj adalah tokoh pemahaman wihdatul wujûd (segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent).
28.Al-Ihyâ 4/245
29.Al-Ihyâ 4/245
30.Idem.
31.Idem.
32.Yaitu pemahaman bahwa segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent)
33.Yaitu pemahaman wihdatul wujud. (Pen)
34.Misykâh al-Anwâr (19/20).
35.Al-Ihyâ 4/246-247.

Kesesatan Al Ghazali & Ihya Ulumuddin

Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)

Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)

Ibnu Mas’ud z berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)

Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara global.

1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)

Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى
“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)

إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَمَّا قَضَى اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187)

2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/22)

Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Contoh yang baik adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah jalan yang lurus.”

Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah: “Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)

Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah k dari hal itu).

3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)

Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)

Rasulullah n bersabda:

خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
“Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau membaca ayat:

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Jami’, 6/361]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan segala perkara ghaib yang Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)

Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.

Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/235)
Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)
Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)

5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)

Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)

Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jelas menyatakan:

لاَ رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)

Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).

6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)

Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah1, nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)

Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)

Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)

7. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan dengan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)

Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)

Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.
Allah k berfirman:

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah.

Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)

Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya.
* Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
* Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)

Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.

Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)

9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)

Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari Al-Qur`an.

Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)

Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)

10. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)

Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)

Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)

Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)

11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti nikah.
Al-Ghazali berkata: “Barang siapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى
“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)

Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3

Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’.

Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”4

Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”

Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”

Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”

Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.

1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
3 Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
4 Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)