Saturday, June 4, 2016

Tokoh Oposisi Iran: Keterlibatan ( Syi’ah ) Iran Di Fallujah Tak Lepas Dari Peran AS ! Mantan PM Iraq Sesalkan Keterlibatan Iran Dalam Perang Fallujah Dan Apa Ambisi Iran ?

Hasil gambar untuk desert

Tokoh Oposisi Iran: Keterlibatan Iran di Fallujah Tak Lepas dari Peran AS

Baghdad – “Keterlibatan Garda Revolusi Iran ditambah terjunnya para jenderal, serta adanya bantuan para petinggi dan komandan perang Irak, menekankan bahwa apa yang terjadi di Fallujah merupakan perang Iran terhadap Sunni Arab.”
Hal itu diutarakan oleh Ali Zaidan seperti yang dikutip Arabi21 pada Kamis (26/05), saat mengomentari keterlibatan Garda Revolusi Iran dalam  pertempuran Fallujah. Ali Zaidan merupakan tokoh suku Ahwazi Iran, yang dikenal keras menentang pemerintahan Iran, yang kini menetap di Australia.
“Sunni Arab akan menolak keras dominasi Iran atas wilayah Irak seluruhnya. Baik dari sektor politik, ekonomi, dan militer, bukan hanya daerah selatan yang telah dikendalikan oleh Iran,” sambungnya.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa keterlibatan Iran dalam perang Fallujah tidak terlepas dari hubungan Iran-AS. Hal ini lantas sangat berlawanan dengan Iran, yang dikenal keras sebagai negara yang anti-Amerika.
“Kehadiran Iran tidak lagi tertutup atas nama milisi Syiah (saja) seperti dulu. Tetapi (semua ini) memperjelas bahwa manajemen, koordinasi dan pendanaan kerja Iran yang dipimpin oleh Jenderal Qassem Sulaimani, merupakan atas perintah dan persetujuan barat, untuk melibatkan Garda Revolusi Iran di dalam permasalahan Irak,” lanjutnya.
Lantas, tambah Ali Zaidan, ini adalah hal yang paling diwaspadai Arab. Karena akan ada kemungkinan bahwa situasi seperti ini akan terulang lagi di daerah konflik Arab lainnya seperti Suriah, Yaman. Dengan delik memeras negara-negara Teluk dan Turki.
“Koordinasi keamanan dan kemiliteran antara Iran-Amerika di Fallujah, telah menelanjangi isu yang dibangun Iran. Pasalnya, untuk mengalihkan opini publik Syiah dan memombilisasi mereka, Iran mengunakan slogan-slogan perlawanan dan anti-setan besar (Amerika Serikat) di daerah tersebut,” tegasnya.
Sebagaiman diketahui, Iran mengirimkan kekuatan militernya ke Fallujah Irak untuk membebaskannya dari kendali Daulah Islam (ISIS). Pengiriman pasukan ini menambah keterlibatan Iran dalam konflik di Irak, selain intervensinya yang nyata di Suriah.
Pertempuran di Fallujah telah dimulai sejak Senin (23/05) dan masih berlanjut. Pasukan Iran bergabung ke dalam militer Irak yang mengepung kota yang terletak sekitar 69 km sebelah barat Baghdad di tepi Sungai Eufrat itu.

Mantan PM Iraq Sesalkan Keterlibatan Iran dalam Perang Fallujah


Mantan Perdana Menteri Iraq, Iyad Allawi mengkritisi kebijakan negaranya atas perang di Fallujah. Ia menganggap perang di sana adalah perang sektarian, bukan perang melawan terorisme.
“Kami tengah menghadapi pembersihan sektarian, tetapi hal ini akan berjalan setelah operasi kontra ISIS. Ada kekhawatiran bahwa mereka (tentara Iraq dan milisi Syiah) akan membunuh ribuan orang,” katanya.
Dalam perkara ini, Allawi mengungkapkan bahwa pasukan Iraq dan milisi Syiah kerap melancarkan operasi secara acak di daerah mayoritas Sunni. Padahal, operasi ini seharusnya terlepas dari agama dan politik mereka.
Mantan Perdana Menteri Iraq ini juga membeberkan saat ini Iraq bergantung pada kekuatan regional dan internasional yang dipimpin oleh Iran untuk mendoktrin dan menguasai agama serta hukum di negara tersebut.
Terkait kemunculan Komandan Garda Revolusi Iran bersama Nuri Al-Maliki di Fallujah, Allawi menganggap bahwa hal ini merupakan kesalahan besar.
“Munculnya Maliki bersama Sulaimani merupakan kesalahan besar. Tanpa diragukan lagi untuk Fallujah, saya menolak kehadiran Iran dan setiap negara dalam konflik bersenjata di Iraq,” paparnya.
“Intervensi seorang militan dari negara lain tidak dapat diterima dalam perang melawan terorisme,” tambahnya.
Selanjutnya, Allawi mengatakan bahwa terorisme juga harus diberantas secara intelektual dan politik, disamping memperhatikan kesatuan masyarakat.
“Memenangkan perang tidak harus mengobarkan perselisihan sektarian, tetapi memenangkan pertempuran tidak lebih penting dari kesatuan masyarakat. Untuk itu saya tidak berharap hasil apapun dalam perang melawan ISIS ini,” jelasnya seperti dikutip AlKhaleej Online pada Rabu (01/06).
Selain itu, dia menekankan kepada pemerintah Baghdad bahwa apa yang terjadi saat ini adalah perpecahan politik dan sektarian “yang akan menghasilkan radikalisasi yang lebih lanjut di masa depan, bahkan jika mereka (tentara Iraq) menang secara militer”.
Fallujah sendiri merupakan kota yang dihuni oleh mayoritas Sunni. Koalisi pimpinan AS dan pasukan milisi Syiah yang didukung Iran membantu tentara Irak dalam serangan ke kota itu. Pertempuran diperkirakan akan terus berlangsung karena ISIS telah mengontrol wilayah itu lebih dari dua tahun.
Reporter : Dio Alifullah

Inilah Ambisi Iran di Balik Perang Melawan ISIS 
di Fallujah

Iran mengirimkan kekuatan militernya ke Fallujah Irak untuk membebaskannya dari kendali Daulah Islam (ISIS). Pengiriman pasukan ini menambah keterlibatan Iran dalam konflik di Irak, selain intervensinya yang nyata di Suriah. Pertempuran di Fallujah telah dimulai sejak Senin (23/5) dan masih berlanjut. Pasukan Iran bergabung ke dalam militer Irak yang mengepung kota yang terletak sekitar 69 km sebelah barat Baghdad di tepi Sungai Eufrat itu.
Dalam suasana pertempuran sengit di Fallujah itu, seorang tokoh terkemuka dalam Garda Revolusi Iran Brigadir Jenderal Iraj Masjidi, mengatakan bahwa Iran masuk ke Fallujah dengan kekuatan penuh. Iran berambisi untuk meluaskan cengkeramannya di dunia Arab dan menguatkan dominasi Syiah di dunia.
“Masuknya Garda Revolusi Iran ke dalam pertempuran Fallujah adalah agar Iran tetap menjadi pusat Syiah di dunia, dan kami menganggap intervensi ini adalah bagian dari upaya membela Iran dan perbatasannya,” kata Masjidi, yang juga berfungsi sebagai penasihat penting bagi komandan Pasukan Quds Jenderal Qasim Sulaimani.
Iran masuk ke Irak untuk membela kuburan (kuil) Hussein dan Ali bin Abi Thalib di Karbala dan Najaf. Itu merupakan dasar-dasar ajaran Syiah, seperti dijelaskan Masjidi kepada media Iran.
Masjidi bersumpah bahwa kota Mosul akan menjadi target setelah selesainya Fallujah. ia mengatakan, ” Setelah selesai darinya (Fallujah) hanya kota Mosul yang tersisa, yang saat ini berada di bawah kendali organisasi Daisy (sebutan untuk Daulah Islam/ISIS) yang mencoba untuk menarik anak-anak muda di kota itu ke jajarannya.”
Pengamat dari Iran sendiri, seperti dilansir Arabi21, percaya bahwa intervensi militer Iran di Irak bertujuan untuk menguatkan dominasi Teheran, tidak hanya di wilayah-wilayah selatan dan Efrat Tengah tetapi juga untuk menundukkan kaum Sunni dan basis-basis mereka. Misi Iran dalam hal ini adalah agar Sunni tidak memiliki peran politik dan kebijakan yang berpengaruh di Irak di masa depan.
Menurut pengamat, pernyataan-pernyataan Masjidi itu, menurut pengamat, menegaskan intervensi sektarian Teheran dalam pertempuran Fallujah. Iran berkeinginan kuat untuk menguasainya. Media Iran menggambarkan Fallujah sebagai sarang terorisme dan inkubator kelompok-kelompok ekstremis, dalam konteks pembenaran atas kejahatan sektariannya.
Reporter: Salem


Siapa yang memborbardir dan melantakkan Fallujah, Irak? Siapa yang mengepung umat Islam hingga mati kelaparan di Madaya, Suriah? Siapa yang mengusir bahkan menggantung umat Islam di pinggir jalan di Iran dan Irak?
Sejumlah pertanyaan itu menjadi pamungkas acara pembekalan 200 orang dai tentang Syiah di Hotel Balairung, Matraman, Jakarta. Acara itu berlangsung selama 3 hari di pekan pertama bulan Mei 2016 ini.

Kepada mereka diingatkan untuk terus waspada dengan penyebaran ideologi Syiah di tengah kaum Muslimin.

“Solusi menghadapi gerakan Syiah adalah banyak membaca, belajar, sekaligus mengajarkan kepada umat tentang bahaya Syiah,” ucap Syaikh Ali Abdullah al-Ammari, pemateri dalam kegiatan itu.

Menurut Ali al-Ammari, ajakan taqrib (berdamai) antara ahlu sunnah dan Syiah adalah ilusi yang menipu. “Bagaimana bisa ikhwah (bersaudara) sedang kalian (Syiah. Red) membunuhi saudara kami. Tidak ada ukhuwah di antara Sunni dan Syiah,” tegasnya.

Menurut Ali al-Ammari, hal itu bukan dikatakan oleh dirinya sendiri. Tapi berdasar fakta sejarah sejak dulu hingga sekarang.

Realitas itu juga menjadi doktrin yang terdapat dalam kitab-kitab induk Syiah dan disebutkan dalam ceramah-ceramah para ulama Syiah