Monday, August 8, 2016

Menelusuri Jejak Syiah di Al-Azhar Ketika Syiah Menguasai Mesir

Shalahuddin al-Ayubi Pulihkan Ajaran Sunni

Dulu, penyebaran Syiah secara masif didukung oleh al-Azhar. Apa saja yang dilakukan?
Shalahuddin al-Ayubi Pulihkan Ajaran Sunni
Madrasah menjadi institusi penting untuk mengembalikan ajaran Sunnah. Shalahuddin al-Ayubi benar-benar all out
Para ulama al-Azhar berfatwa tentang kesesatan Syiah. Mengapa muncul gagasan pendekatan antar-mazhab?
Rabu, 3 Agustus 2016 - 08:45 WIB

Al-Azhar di masa Daulah Fathimiyah pernah menjadi pusat penyiaran ajaran Syiah. Begitu gencarnya gerakan dakwah Syiah di Mesir saat itu, sehingga ajaran Sunni pun menjadi asing.
Ketika Shalahuddin al-Ayubi menduduki kursi perdana menteri Fathimiyah, kemudian berkuasa di Mesir pasca Fathimiyah, maka ideologi Sunni berupaya dihadirkan kembali. Al-Azhar kemudian menjadi benteng ilmu Sunni.

Para ulama al-Azhar dari waktu ke waktu terus berusaha melindungi umat dari pemahaman dan firqah yang tidak sesuai dengan Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Meskipun demikian, ada pula pernyataan yang potensial menimbulkan perdebatan, misalnya tentang gagasan pendekatan antar-mazhab yang dilontarkan Syaikh Mahmud Syalthut.
Perbincangan tentang hal ini juga ramai di media massa ketika bulan Februari 2016 lalu, Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Ahmad Muhammad ath-Thayyib, berkunjung ke Indonesia. Bagaimana keadaan yang sebenarnya?
Ihwal kali ini akan mencoba mengupas salah satu sisi sejarah al-Azhar. Penelusuran dari berbagai dokumen dan literatur dilakukan langsung di Kairo, Mesir. Sejak al-Azhar jadi pusat penyebaran Syiah, hingga akhirnya menjadi benteng ilmu Sunni sampai masa ini.
***
Kala itu Mesir dikuasai oleh Daulah al-Akhsyidiyah. Penguasa ini tunduk kepada kekhalifahan di Baghdad (Iraq) yang memberinya mandat untuk memimpin Mesir. Namun loyalitas itu goyah karena Baghdad kemudian menghendaki Muhammad Raiq sebagai pemimpin. Al-Akhsyid menyatakan melepaskan diri dari Baghdad dan menyatakan loyalitas kepada Fathimiyah, kekuatan Syiah yang berkuasa di Maghrib.
Perselisihan itu akhirnya selesai di meja diplomasi. Disepakati bahwa al-Akhsyid tetap berkuasa di Mesir namun harus memberi 140 ribu dinar per tahun. (Lihat an-Nujum az-Zahirah, 3/252, 253)
Ketika Daulah al-Akhsyidiyah dipegang Kafur, Mesir mencoba untuk mandiri dari Baghdad. Secara diplomatis, hubungan baik dengan Baghdad maupun Fathimiyah terus dijaga. Kafur tidak sungkan mengirim hadiah kepada Khalifah al-Mu’iz Fathimiyah. Bahkan saat ibu al-Mu’iz melaksanakan haji, Kafur mengunjungi serta mengirim pasukan untuk memberi pelayanan. Di masa itu, para pendakwah Fathimiyah pun bebas memasuki Mesir.
Kafur wafat tahun 357 H. Terjadilah pergolakan politik di Mesir. Situasi ini dimanfaatkan oleh Fathimiyah untuk melakukan serangan. Dengan dipimpin oleh Jauhar as-Siqili, Fathimiyah berhasil mengakhiri kekuasaan al-Aksyidiyah dan kemudian bisa berkuasa di Mesir. (al-It`ath al-Hunafa, hal 157, 158)
Jauhar yang saat itu menjadi panglima perang Fathimiyah kemudian membangun sebuah ibukota baru bagi Daulah Syiah. Kota itu bernama al-Manshurah, sebelum akhirnya diganti menjadi al-Qahirah (Kairo). (al-Khithtath, 1/273)
Selanjutnya, Jauhar membangun masjid baru yang berfungsi sebagai pusat penyiaran ajaran Syiah, yakni Masjid al-Azhar. Juga membangun istana tempat tinggal khalifah yang lokasinya kini berada di lokasi Masjid Husain dan Khan al-Khalili. (Tarikh Daulah al-Fathimiyah, hal 531)
Penyebaran Ajaran Syiah
Ketika masih berada di bawah kekuasaan Baghdad, umat Islam di Mesir adalah penganut Sunni. Mayoritas fiqihnya mengikuti mazhab Maliki dan Syafi’i, serta sebagian lagi Hanafi dan Hambali. Sedangkan ajaran Syiah waktu itu tidak terlihat dalam praktik kehidupan beragama.
Ajaran Syiah mulai terasa di masa Kafur berkuasa. Ini bermula dari gencarnya dakwah oleh orang-orang Fathimiyah. Sebagian pemeluk Sunnah pun terpengaruh dan mengikuti ajaran Syiah. Meski Mesir berada di bawah kekuasaan Baghdad, namun hubungan dengan Fathimiyah pun terus membaik. Pendakwah Syiah pun leluasa keluar-masuk Mesir.
Lambat laun, pengikut Syiah bertambah. Meningkat pula loyalitas kepada Fathimiyah Maghrib. Bahkan Mesir mengirim surat kepada al-Mu’iz, Khalifah Fathimiyah, “Jika telah tersingkir Hajar Aswad, maka kekuasaan Tuan Kami al-Mu’iz di atas bumi.” Yang dimaksud Hajar Aswad adalah Kafur. (Nujum az-Zahirah, 4/72)
Setelah Fathimiyah menguasai Mesir, maka mulai dilakukan perubahan sistem negara sesuai dengan ajaran Syiah. Pengadilan dan fatwa harus menganut ajaran Syiah serta menentang segala hal yang bertentangan dengan ajaran Syiah. (al-Khithath, 4/136)
Saat itu qadhi agung dijabat oleh hakim Sunni, Qadhi Abu Thahur ad-Duhli, yang ditunjuk oleh Baghdad. Namun setelah Abu Thahur sakit dan meninggal, maka jabatan qadhi agung hanya boleh dipegang kalangan Syiah. (Hushn al-Muhadharah, 2/11)
Di awal masuknya Fathimiyah ke Mesir, lafaz azan shalat untuk masjid-masjid resmi sudah diubah. Jika sebelumnya dikumandangkan “hayya ‘alal-falah”, maka kemudian diganti dengan “hayya ‘ala khairil-amal”sesuai dengan ajaran Syiah. Fathimiyah juga menggugurkan shalat tarawih karena menurut ajaran Syiah tidak ada shalat jamaah kecuali shalat lima waktu. (al-Khithath, 4/156, 157)
Hari raya Ghadir Khum dirayakan pertama kali di Mesir pada tahun 362 H. Ini diyakini oleh para penganut Syiah sebagai hari dimana Rasulullah SAW mewasiatkan kekhalifahan kepada Sahabat Ali bin Abi Thalib RA. Perayaan ini pun sempat membuat para penganut Sunni marah. (al-Khithath, 3/232)
Peran al-Azhar
Al-Azhar adalah masjid pertama yang dibangun oleh Fathimiyah di Mesir. Wazir Ibnu Kalas bertanggung jawab untuk mengangkat 35 ulama yang dibiayai negara untuk mengajarkan Syiah. Majelis itu sendiri menarik perhatian warga Mesir. Mereka berbondong-bondong dalam rangka mengadiri majelis hingga pernah 11 orang meninggal karena berdesakan di majelis Muhammad bin Nu’man. (al-Khithath, 4/156, 157)
Begitu pentingnya menyebarkan ajaran Syiah bagi Fathimiyah, maka dibentuklah jabatan da`i du`at. Ini adalah jabatan yang bertanggung jawab mendakwahkan ajaran Syiah dan memiliki wakil-wakil di seluruh wilayah Mesir dan di luar Mesir. (al-Khithtah, 3/226)
Dakwah Fathimiyah di Mesir yang disebut sebagai majlis al-hikmahbertujuan untuk merubah keyakinan para pejabat negara menuju keyakinan terhadap ajaran Syiah. Agar tetap aman dalam posisinya, maka para pejabat negara minimal harus memiliki kecenderungan terhadap ajaran Syiah. Gerakan ini juga ditujukan bagi rakyat secara umum, baik lelaki maupun perempuan. (al-Khithath, 2/226)
Da’i du’at juga memiliki fasilitas yang bernama Dar al-Ulum, yakni perpustakaan besar di lingkungan istana Fathimiyah. Di sini ada lebih dari 1,6 juta buku dan 2400 naskah al-Qur`an. Da’i du’at sendiri membawahi 36 ribu masjid di Mesir. (al-Khithath, 4/424)
Dakwah ajaran Syiah yang dilakukan oleh Fathimiyah terorganisasi cukup baik. Hasilnya, banyak penganut Sunni Mesir yang berpindah menjadi Syiah. Bahkan akhirnya, menurut sejarawan Mesir Abu al-Mahasin, ajaran Sunni menjadi barang asing. (an-Nujum az-Zahirah, 5/2).*
Kerajaan Kristen Baitul-Maqdis hendak menyerang Mesir. Bukannya solid untuk melakukan perlawanan, di dalam tubuh Daulah Fathimiyah justru bergolak. Banyak pejabat yang bermusuhan dengan perdana menteri saat itu, Syawur. Para pejabat ini bahkan mengundang pihak Baitul-Maqdis agar memasuki Kairo agar Syawur segera jatuh. Harapannya, mereka bisa mengambil alih kursi kekuasaan. Para pejabat yang berada dalam kelompok ini antara lain adalah Ibnu Khiyath dan Ibnu Farjalah.
Syawur sendiri sangat khawatir. Terbayang akan lenyapnya kekuasaan. Ia akhirnya memutuskan untuk membakar kota al-Fusthath dan mengambil harta bendanya agar tidak dirampas Baitul-Maqdis.
Sementara Khalifah Fathimiyah al-Adhidh, justru memilih meminta bantuan kepada penguasa Sunni di Syam, Nuruddin Zanki. Penduduk Mesir melakukan hal yang sama. Mereka mengirim surat kepada Nuruddin agar mendatangkan panglima Syirkuh bersama pasukannya untuk mempertahankan Mesir.
Nuruddin memenuhi permintaan itu. Untuk ketiga kalinya, ia mengirim pasukan ke Mesir. Sebelumnya pernah pula, ketika menghadapi kelompok Syawur yang berkoalisi dengan kerajaan Baitul-Maqdis. Kala itu Syirkuh memimpin pasukan dan didampingi Shalahuddin al-Ayubi.
Kedatangan pasukan Nuruddin kali ini menciutkan nyali Raja Amuri, penguasa Baitul-Maqdis. Ia kemudian menarik pasukannya. Khalifah al-Adhidh dan para pejabatnya kemudian menghabisi Syawur. (al-Kamil fi at-Tarikh, 11/336-340)
Setelah kondisi stabil, Khalifah al-Adhidh mengangkat Syirkuh sebagai perdana menteri menggantikan Syawur. Baru dua bulan menjabat, Syirkuh wafat. Posisinya kemudian digantikan oleh Shalahuddin al-Ayubi. Selain bertanggung jawab atas pemerintahan Fathimiyah di Mesir, di waktu yang sama Shalahuddin juga merupakan wakil Nuruddin Zanki untuk Mesir. (al-Kamil fi at-Tarikh, 11/44)
Menghidupkan Sunni
Tatkala Shalahuddin al-Ayubi menduduki jabatan perdana menteri, Nuruddin Zanki beserta Baghdad menghendaki agar kekuasaan Fathimiyah segera diakhiri. Namun Shalahuddin tidak segera melaksanakan perintah itu, karena khawatir akan terjadi konflik. Pasalnya, ajaran Syiah waktu itu telah mengakar di Mesir. (Ar-Raudhatain, 2/124)
Shalahuddin lebih memilih untuk menghidupkan mazhab Sunni. Para hakim Syiah diberhentikan. Majelis-majelis dakwah Syiah juga dibekukan. Shalahuddin pun menghapus syiar-syiar Syiah semisal penggunaan lafal “hayya ‘ala khairil-amal” dalam azan serta menghapus simbol keagamaan yang terukir di mata uang seperti lafal “Ali Waliyullah”.
Mazhab Syafi’i kemudian menjadi rujukan dalam pengadilan. Posisi qadhi banyak diisi ulama Syafi’iyah. Para penganut mazhab Sunnah seperti Syafi’iyah dan Malikiyah mulai berani menampakkan diri. Sebaliknya, penganut Syiah menutupi identitasnya. (al-Khithath, 1/175)
Gerakan dakwah digiatkan. Ajaran yang berisi penisbatan Fathimiyah tidak dibenarkan. Hal itu untuk menghindarkan dari penisbatan diri kepada Ahlul-Bait. (ar-Raudhatain, 1/201)
Shalahuddin juga menutup Masjid al-Azhar. Masjid ini baru dibuka di masa pemerintahan Mamalik. (Hushn al-Muhadharah, 2/67)
Suatu hari, Khalifah al-Adhidh sakit keras. Ketika khutbah Jumat, Shalahuddin memutuskan untuk tidak menyebut nama khalifah Fathimiyah itu. Sebagai gantinya, disebutlah nama Khalifah al-Mustadhi Abbasiyah. Ini merupakan tanda bahwa kekhuasaan Fathimiyah telah berakhir. Al-Adhidh pun akhirnya wafat. (al-Kamil fi at-Tarikh, 11/368-370)
Pembangunan Madrasah
Langkah penting lainnya yang dilakukan Shalahuddin al-Ayubi adalah membangun madrasah-madrasah Sunni. Ibnu Jubair menulis, “Kami menyaksikan Syirkuh menziarahi makam Imam asy-Syafi’i di hari terbunuhnya Syawur dan Shalahuddin membangun madrasah di sekitar makam.” (ar-Rihlah Ibnu Jubair, hal 18)
Menurut Ibnu Khalikan, Shalahuddin adalah pembangun madrasah pertama di Mesir. Misalnya yang dikenal dengan sebutan Madrasah ash-Shalahiyah, lokasinya di samping makam Imam asy-Syafi’i. Selain itu, madrasah di samping masyhad al-Husaini Kairo. Shalahuddin juga menjadikan rumah al-Abbas, salah satu menteri Fathimiyah, untuk madrasah mazhab Hanafi. Juga dibangun madrasah asy-Syarifiyah untuk mazhab asy-Syafi’i serta madrasah al-Qahmiyah untuk mazhab Maliki.
Pasca jatuhnya Fathimiyah, Madrasah ash-Shalahiyah merupakan madrasah terbesar kala itu. Salah satu ulama besar Mesir yang mengajar di madrasah ini adalah Ibnu Daqiq al-Ied.
Selain amat perhatian terhadap ilmu-ilmu zhahir, Shalahuddin juga memperhatikan ilmu batin guna membangkitkan kembali ajaran Sunni. Misalnya membangun khaniqah, yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan pendidikan kaum sufi. Menurut Imam as-Suyuthi, khaniqah Sa’id Su’ada merupakan khaniqah pertama yang dibangun di Mesir, yakni 4 tahun setelah runtuhnya Fathimiyah. (Husn al-Muhadharah, 2/256-260)
Shalahuddin tampak all out dalam upaya membangkitkan dan menguatkan kembali aqidah Sunni. Kata al-Hafidz as-Suyuthi, “Ketika Shalahuddin bin Ayub berkuasa, ia memerintahkan para muazin untuk melantunkan di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muazin membiasakan hal itu setiap malam hingga waktu kita saat ini.” (al-Wasa`il ila al-Musamarah al-Awa`il, hal 15).*

Atas izin AllahSubhanahu Wata’alamelalui perjuangan Shalahuddin al-Ayubi, penduduk Mesir kembali Sunni dalam aqidah, fiqih, dan tashawufnya. Demikian pula al-Azhar, pengajarannya mengacu kepada Asy’ariah dalam aqidah, fiqih mazhab, serta akhlak tashawuf. Identitas Sunni ini tetap dilestarikan hingga kini.
Sebagai institusi keislaman, al-Azhar juga bertanggung jawab atas penjagaan aqidah Islam dari pemahaman yang melenceng. Para ulama al-Azhar dari waktu ke waktu terus berusaha melindungi umat dari pemahaman dan firqahyang tidak sesuai dengan Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Tak heran, para ulamanya terus berupaya untuk meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah, termasuk terhadap ajaran Syiah.
Hal ini telah dilakukan oleh Syaikh al-Azhar, Jad al-Haq. Dalam Bayan li an-Nas min al-Azhar asy-Syarif dijelaskan tentang kelompok-kelompok Syiah serta ajaran-ajarannya yang menyimpang.
Sedangkan Syaikh Hasanain Makhluf selaku mufti dalam fatwanya yang diterbitkan Dar al-Ifta al-Mishriyah membagi kelompok-kelompok Syiah. Secara umum ada tiga kelompok, yaitu:
Pertama, ghulat Syiah (Syiah ekstrim). Kelompok ini menyematkan sifat uluhiyah kepada Sahabat Ali RA sehingga dinyatakan keluar dari Islam.
Kedua, Syiah Zaidiyah. Kelompok ini yang mengambil masalah fiqih mayoritas dari mazhab yang paling dekat dengan Sunnah.
Ketiga, Syiah Imamiyah. Kelompok ini mengklaim bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai kekhalifahan Sahabat Ali RA setelah beliau. Dengan demikian, mereka mencela para Sahabat. Syiah Imamiyah juga memiliki ajaran menyimpang lainnya seperti keyakinan ma’shum atas diri orang selain para nabi, pembatasan imamah hanya untuk Ahlul-Bait, mensucikan tanah Karbala, dan menjadikan hari Asyura sebagai hari berduka. (Fatwa Dar al-Ifta al-Mishriyah no 679, Dzulhijjah, th 1367)
Di kesempatan lain, Syaikh Hasanain Makhluf juga berfatwa tentang Syiah Ismailiyah yang merupakan sekte di luar Islam, karena menghalalkan hal-hal yang telah dilarang Islam. (al-Fatawa asy-Syar’iyah wa al-Buhuts al-Islamiyah, hal 72-74)
Pendekatan Antar-Mazhab
Pada tahun 1948, Syaikh al-Azhar Mahmud Syalthut menggagas Taqrib al-Mazahib (pendekatan antar-mazhab). Sejatinya ini bukanlah untuk melegalkan penyebaran ajaran Syiah di wilayah-wilayah Sunni, juga bukan berarti berdiam diri dengan penyimpangannya. Dalam situs Dzakirah al-Azhar, yang merupakan situs resmi mengenai sejarah dan dokumentasi al-Azhar, dijelaskan tentang tujuan taqrib sebagai berikut:
“Dan hendaklah seruan taqrib antar-mazhab tidak untuk menjadikan umat Islam dalam satu mazhab, maka tetaplah penganut Syiah sebagai Syi’i dan penganut Sunni sebagai Sunni, dan mengarahkan seluruhnya kepada prinsip saling menghormati pendapat yang didukung oleh dalil.”
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah pernyataan,”…mengarahkan seluruhnya kepada prinsip saling menghormati pendapat yang didukung oleh dalil.” Hal itu sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Mahmud Syalthut ketika memberi pengantar pada buku al-Islam bila Mazhab karya Musthafa asy-Syak’ah. Ketika berbicara mengenai taqrib, Mahmud Syalthut menyatakan bahwa sejatinya al-Qur`an dan Sunnah Shahihah merupakan sumber dari aqidah, sedangkan penyimpangan terjadi karena kebodohan. Maka ketika ilmu menyebar maka hilanglahashabiyah dan penyimpangan. (al-Islam bila Mazhab, hal 26)
Dengan adanya taqrib, kritik-kritik terhadap ajaran Syiah yang tidak sejalan dengan dalil serta prinsip penghormatan terhadap Sunni justru dilakukan terutama oleh para ulama penggerak taqrib.
Syaikh al-Azhar Abdul Majid Salim, yang merupakan anggota dalam majelis Taqrib al-Mazahib sejak sebelum diangkat menjadi Syaikh al-Azhar dan setelahnya, dalam fatwanya melarang seorang Muslimah menikah dengan penganut ajaran Druze. Ini adalah salah satu sekte Syiah yang telah keluar dari Islam. (Fatwa Dar al-Ifta, no 82, 8 Ramadhan 1303 H)
Syaikh Muhammad Abu Zuhrah yang juga anggota majelis Taqrib al-Mazahib juga mengkritik ajaran-ajaran Syiah dalam karyanya yang berjudul Imam Ja’far ash-Shadiq. Buku yang berisi tentang biografi salah satu ulama mujtahid ini ditanggapi oleh seorang tokoh Syiah dari Lebanon.
Mufti Mesir, Syaikh Jad al-Haq, yang memiliki lembaga khusus mengenaitaqrib di kantornya, juga menjelaskan tentang kelompok-kelompok Syiah serta ajaran-ajarannya yang menyimpang. Hal ini antara lain bisa dibaca dalam karyanya yang berjudul Bayan li an-Nas min al-Azhar asy-Syarif.
Dalam tataran praktik, al-Azhar menolak upaya penyebaran Syiah di Mesir. Sebagaimana pada 3 Desember 2006, Majma al-Buhuts al-Islamiyah al-Azhar mengeluarkan larangan penyebaran beberapa buku Syiah. Di antaranya buku berjudul Malhamah al-Husainiyah karya Murtadha al-Muthahari, juga majalah Ahlul-Bait. Hal itu dilakukan dalam rangka menjaga aqidah Islam.* [Suara Hidayatullah]

Syeikh Ahmad Thayyib, Al-Azhar, dan Syiah

Sikap Syeikh al-Azhar terhadap Syiah jelas. Bahwa Syiah tidak boleh menyiarkan paham mereka di tengah-tengah kaum Sunni di Indonesia
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi 

KUNJUNGAN Grand Sheikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayyib ke Indonesia sejak Senin (22/2/2016) membawa catatan penting, khususnya dalam dua ranah penting: ranah diplomasi dan pemikiran. Dalam 
tulisan ini penulis akan fokus pada ranah kedua saja: pemikiran. Berikut ini adalah poin-poin penting yang dapat disarikan dari kunjungan bersejarah Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad al-Thayyib itu.
Pertama, lima puluh tahun silam, Syeikh Al-Azhar yang ketika itu diduduki oleh Syeikh Mahmud Syaltut juga berkunjung ke Indonesia pada 1962. Masjid Agung Kebayoran Baru yang dibina oleh Buya Hamka menjadi satu tempat bersejarah yang dikunjungi oleh Syeikh Al-Azhar itu. kemudian Masjid Agung itu pun diganti namanya dengan Masjid Al-Azhar, dengan harapan dapat berfungsi sebagaimana Masjid dan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. (Lihat, Qosim Nursheha Dzulhadi, Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar (Medan: Litbang Publishing, 1437 H/2016 M).
Kedua, pesan damai. Ini salah satu poin penting yang disampaikan oleh Syeikh Al-Azhar. Peran Indonesia amat penting dan nyata bagi umat. Ini dibuktikan dengan nyata dalam sejarah Islam dan kaum Muslimin. Dan pelabelan Islam dengan terosis adalah kezaliman. (www.azhar.eg, “Kalimat Fadhilat al-Imam al-Akbar ila al-Ummah min Jakarta,  Selasa (23/2/2016). Untuk itu, umat Islam Indonesia harus bawa pesan damai dan toleransi dan menjunjung tinggi persatuan umat.
Ketiga, sikap Syeikh Al-Azhar terhadap Syiah. Ini sepertinya menjadi poin paling hangat, karena menyita perhatian massa yang sangat luas. Bahkan, dapat dikatakan terjadi pro-kontra dimana-mana. Ini wajar karena Al-Azhar dianggap institusi Islam – bukan hanya dari sisi pendidikan – yang sangat luas diterima di belahan dunia. Ulama-ulama besar internasional jebolan salah satu universitas Islam tertua ini “mewarnai” dunia di berbagai lini kehidupan masyarakat. Maka sangat mafhum jika kemudian pendapat atau pandangan ulamanya dinantikan banyak orang.
Berkaitan dengan pandangan Al-Azhar mengenai Syiah sejatinya bukan hanya dapat diketahui ketika Syeikh Ahmad al-Thayyib datang ke Indonesia. Namun sejak dulu Al-Azhar sudah punya pandangan mengenai sekte Syiah. Pandangannya pun tidak bergeser: Syiah sesat. Maka para ulama’ Al-Azhar pun mengeluarkan kumpulan fatwa mereka mengenai Syiah. Diantara isinya adalah:
Syiah Ism’iliyyah bukan bagian dari Islam.
Syiah adalah sekte yang suka melakukan distorsi (muharrifun).
Syiah sekte Druz yang menikah Muslimah hukumnya (nikahnya) batil, tidak sah. (Ulama Al-Azhar, Fatawa Kibar ‘Ulama’ al-Azhar al-Syarif fi al-Syiah (Kairo: Dar al-Yusri, Cet. IV, 1432 H/2011 M): 41, 43, 49, dst).
Mengenai upaya taqrib, Syeikh Muhammad ‘Arafah – salah satu ulama senior dan anggota taqrib antara Sunni dan Syiah – menilai bahwa tujuan Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariah tidak baik. Akhirnya beliau meninggalkan upaya taqrib ini. Diantaranya, karena mereka memurtadkan seluruh Sahabat Nabi Muhammad Saw. Bahkan, mereka melaknat khalifah Abu Bakr dan ‘Umar dan mengafirkan keduanya. Dasarnya mereka pun sangat sederhana: hanya karena tidak mempercayai keimamahan Ali ibn Abi Thalib. Karena imamah ‘Ali dijadikan sebagaian bagian dari iman. (Fatawa Kibar ‘Ulama’ al-Azhar fi al-Syiah, 55, 56).
Bahkan mantan Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi menyatakan dengan tegas, “Innahu la Makana wala Wujuda li al-Syiah kamadzhabin; li’anna Mishr Daulatun Sunniyyah walan taqbala bi nasyr al-tasyayyu’ fi biladina.” (Mesir adalah negara Sunni dan dia tidak akan pernah menerima penyebaran faham Syiah di negeri kami ini). Pandangan ini beliau sampaikan pada hari Selasa (16 Juni 2009) dalam sebuah pertemuan dengan pelajar Saudi Arabia. (Fatawa Kibar ‘Ulama’ al-Azhar al-Syarif, 100).
Bahkan beliau menyatakan dengan tegas,
“Kami memandang telah tiba saatnya untuk menjelaskan kepada para ulama’ dan mewanti-wanti para pemimpin tentang bahaya gerakan Syiah yang mengeluarkan dana milyaran untuk mensyiahkan mayoritas sunni dan menguasai negaranya serta menanamkan hegemoni Persia atasnya. Terkadang mereka menggunakan senjata ‘Perlawanan’ (muqawamah) seperti di Lebanon; atau menggunakan istilah ‘Revolusi’ seperti di Iran; atau istilah slogan ‘Kuota’ (al-Muhashahah) seperti yang terjadi di Iraq; atau slogan ‘Menghilangkan Batas-batas, intimidasi, dan kezaliman’ seperti yang ada di Kuwait, Bahrain, Saudi, dan Yaman.”
Bahkan, Syeikh Thanthawi menambahkan pula,“Ya, Sunni dan Syiah saat ini adalah dua agama yang berbeda, bukan satu agama.” (Lihat, Thaha ‘Ali al-Sawwah,Mauqif al-Azhar al-Syarif min al-Syiah al-Itsnai ‘Asyariyyah(Kairo: Dar al-Yusr, 1431 H/2010 M), 306).  
Prof. Dr. Al-Khusyu’i al-Khusyu’i Muhammad al-Khusyu’i, dosen Hadits dan Ilmu Hadits danmantan Wakil dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, menyerut agar umat Islam berhati-hati terhadap kaum Syiah: yang pura-pura cinta Ahli Bait Nabi Saw. untuk mengelabui orang-orang awam. (Fatawa Kibar ‘Ulama’ al-Azhar al-Syarif, 101).
Kemudian beliau mengingatkan mengapa Syiah “menikam” para Sahabat Nabi Saw. Itu jelas-jelas mereka melakukan hal-hal berikut:
Mendustakan Al-Quran. Padahal Al-Quran telah menyebutkan ‘adalah mereka, memuji mereka karena imannya benar dan keyakinannya kuat, bahkan menjanjikan mereka mendapatkan surga.
Nabi Saw. galam dalam mendidik para Sahabatnya, karena – menurut Syiah – mereka murtad begitu Nabi Saw. wafat.
Islam hanya terbatas di zaman Nabi Saw. dan tidak menyentuh zaman setelah beliau. Karena para Sahabat yang menukil Al-Quran dan Sunnah beliau telah murtad, minimal fasiq. (Fatwah Kibar ‘Ulama’ al-Azhar al-Syarif, 104-106).
Oleh karena itu, Syeikh al-Thayyib memperingatkan bangsa Indonesia sebagai negara terbanyak berpenduduk Muslim Sunni agar waspadai bahanya penyebaran paham Syiah di tengah-tengah Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah. Beliau menyeru para pemuda Sunni untuk berpegang kepada ‘aqidah Sunni. (Lihat, www.azhar.eg, “Min Jakarta.. al-Imam al-Akbar Yuhadzdzir al-Indunisiyyin min Khathar al-Tasy-yi’ fi Biladihim” (Grand Syeikh Peringatkan Penyebaran Syiah di Indonesia), Selasa, 23/2/2016 dan https://www.facebook.com/OfficialAzharEg/, Selasa, 23/2/2016, pukul 23: 58).
Ini artinya, sikap Syeikh al-Azhar terhadap Syiah sudah clear, jelas. Bahwa Syiah itu tidak boleh menyiarkan paham mereka di tengah-tengah kaum Sunni di Indonesia. Untuk itu jangan sampai ada pihak-pihak yang memanfaatkan pandangan dan pendapat Syeikh Ahmad al-Thayyib untuk mendukung ajaran Syiah. Karena tidak mungkin pandangan beliau bertolak-belakang dengan pandangan para ulama’ senior Al-Azhar yang lainnya. Apalagi pendahulu beliau, Syeikh Sayyid Thanthawi dengan tegas menyatakan bahwa Mesir adalah negara Sunni. Semoga tulisan ini bisa menjelaskan pandangan Syaikh Al-Azhar, Syeikh Ahmad al-Thayyib dan Al-Azhar tentang Syiah. Wallahu a’lam bi al-shawab.*

Syeikh Al Azhar Peringatkan Indonesia Akan Penyebaran Ajaran Syi’ah