Wednesday, November 9, 2016

Solusi Di Tengah Kondisi Keterpurukan Dan Perpecahan Ummat Islam.


Kabar Gembira dan solusi di Tengah Keterpurukan 
Umat

7 November 2016 by abunamirahasna
Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah–
Roh GentayanganDimana-mana kita telah menyaksikan, mendengar dan mendapatkan berita tertekan atau tertindasnya Islam dan kaum muslimin.

Sebaliknya kaum kafir semakin menunjukkan taring kebuasannya di hadapan kaum muslimin bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya.

Islam dan pengikutnya selalu disempitkan geraknyaoleh orang-orang kafir sehingga kebenaran yang akan disuarakan oleh penegak dan pembawa panji kebenaran terpinggirkan, bahkan hampir tenggelam oleh kekuatan kaum kafir dan segala makarnya dalam memadamkan cahaya kebenaran Islam.

Allah –ta’ala– berfirman,

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (32) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (33) [التوبة/32، 33]

“Mereka (kaum kafir) berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki, selain menyempurnakancahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai”. (QS. At-Taubah : 32-33)

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata,

ونور اللّه: دينه الذي أرسل به الرسل، وأنزل به الكتب، وسماه اللّه نورا، لأنه يستنار به في ظلمات الجهل والأديان الباطلة، فإنه علم بالحق، وعمل بالحق، وما عداه فإنه بضده، فهؤلاء اليهود والنصارى ومن ضاهوه من المشركين، يريدون أن يطفئوا نور اللّه بمجرد أقوالهم، التي ليس عليها دليل أصلا. (انظر : تيسير الكريم الرحمن – ص 335)

“Cahaya Allah adalah agama-Nya yang Dia mengutus para rasul untuk membawanya dan menurunkan kitab-kitab dengannya. Allah menamainya sebagai “cahaya”, karena ia (agama Islam) dijadikan pelita di dalam gelapnya kejahilan dan agama-agama batil. Sebab Islam itu adalah ilmu tentang kebenaran dan pengamalan terhadap kebenaran. Adapun selainnya, maka justru sebaliknya!! Orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) serta orang-orang serupa dengan mereka dari kalangan kaum musyrikin, menginginkan untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan sekedar ucapan-ucapan mereka yang pada asalnya tidak didasari oleh suatu dalil”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 335)]

Orang-orang kafir dengan berbagai macam tipe dan jenisnya, semuanya bersepakat ingin memadamkan cahaya Islam yang dibawa oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– kepada umat manusia.

Upaya memadamkan cahaya Islam, mereka lakukan dengan berbagai macam propaganda busuk yang mengkambinghitamkan Islam, menyudutkan, merendahkan dan menekannya.

Namun semua upaya itu tidaklah berarti di sisi Allah, sebab Dia ingin menyempurnakan cahaya Islam dan memenangkannya di atas segala agama batil!!!

Di dalam ayat ini terdapat busyro (berita gembira) bagi kaum beriman bahwa Islam akan dimenangkan atas semua agama batil. Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dalam beberapa hadits yang shohih dari beliau.

Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِىَ الأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِىَ لِى مِنْهَا

“Sesungguhnya Allah telah menghimpun bumi bagiku. Karenanya, aku melihat bagian-bagian timur dan baratnya. Sesungguhnya umatku, kerajaannya (kekuasaannya) akan mencapai sesuatu yang telah dihimpunkan bagiku dari bumi itu”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Fitan wa Asyrooh As-Sa’ah (no. 2889)]

Mungkin ada diantara kita yang bertanya dalam hati, “Siapa tahu kejayaan itu telah berlalu?”

Jawabnya, “Tidaklah demikian, kejayaan Islam tidaklah berakhir, bahkan akan ada saatnya kejayaan itu kembali di akhir zaman sebagaimana yang akan anda lihat dalam hadits-hadits lainnya di bawah ini”.

Dari A’isyah –radhiyallahu anha– berkata, “Aku pernah mendengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

لاَ يَذْهَبُ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ حَتَّى تُعْبَدَ اللاَّتُ وَالْعُزَّى . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ لأَظُنُّ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ (هُوَ الَّذِى أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ) أَنَّ ذَلِكَ تَامًّا قَالَ: إِنَّهُ سَيَكُونُ مِنْ ذَلِكَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ رِيحًا طَيِّبَةً فَتَوَفَّى كُلَّ مَنْ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيَبْقَى مَنْ لاَ خَيْرَ فِيهِ فَيَرْجِعُونَ إِلَى دِينِ آبَائِهِمْ

“Siang dan malam tak akan hilang sampai Laata dan Uzza disembah lagi”. Aku (A’isyah) katakan, “Wahai Rasulullah, sunguh aku kira -saat Allah turunkan ayat (lalu beliau bacakan ayat 32 dari Surah At-Taubah di atas)- bahwa hal itu (yakni, kemenangan Islam) telah sempurna”.

Beliau bersabda, “Sesungguhnya kemenangan itu kelak akan terjadi sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah akan mengutus angin yang harum. Allah pun mewafatkan semua orang yang di dalam hatinya ada keimanan seberat biji sawi. Akhirnya, tersisalah orang-orang yang tak ada kebaikan sama sekali pada dirinya. Lalu mereka kembali kepada kepada agama nenek moyang mereka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2907)]

Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy –rahimahullah– usai membawakan ayat di atas dan sebelum membawakan hadits ini berkata,

تبشرنا هذه الآية الكريمة بأن المستقبل للإسلام بسيطرته و ظهوره و حكمه على الأديان كلها , و قد يظن بعض الناس أن ذلك قد تحقق في عهده صلى الله عليه وسلم و عهد الخلفاء الراشدين و الملوك الصالحين , و ليس كذلك , فالذي تحقق إنما هو جزء من هذا الوعد الصادق (انظر : سلسلة الأحاديث الصحيحة، 1/ 31)

“Ayat yang mulia ini memberikan kabar gembira kepada kita bahwa masa depan Islam dengan berkuasanya Islam, menang dan berhukumnya Islam atas seluruh agama. Terkadang sebagian orang menyangka bahwa hal itu telah terealisasi di zaman beliau -Shallallahu alaihi wa sallam-, zaman Khulafa’ Rosyidin dan raja-raja sholih. Padahal bukanlah demikian halnya!! Kemenangan yang terealisasi hanyalah sebagian dari janji ini”. [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/31)]

Kejayaan Islam tidaklah terbatas pada zaman Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan akan meluas dan merata sampai tak ada tempat dan negeri, kecuali akan dikuasai oleh Islam.

Dari Tamim Ad-Dariy –radhiyallahu anhu– berkata,

“Aku telah mendengar Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ ، وَلاَ يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ ، بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ ، عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الإِِسْلاَمَ ، وَذُلاًّ يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْكُفْرَ.

“Urusan (agama) ini akan mencapai sesuatu yang dicapai oleh malam dan siang. Allah tak akan menyisakan rumah kota dan pedalaman, kecuali Allah akan memasukkan agama ini ke dalamnya dengan kemuliaan orang yang mulia dan dengan kehinaan orang yang hina; kemuliaan yang Allah akan memuliakan dengan Islam dan kehinaan yang akan menghinakan dengannya kekafiran”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/103). Dinilai shohih oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 3)]

Hanya saja kejayaan dan kemenangan tentunya akan diraih oleh kaum muslimin dengan kesabaran, dan usaha keras dari mereka, bukan berpangku tangan dan sekedar berangan-angan. Kaum muslimin harus menguatkan fisik, materi dan iman mereka. Ini yang harus diusahakankan, jangan tergesa-gesa!! Kemenangan bukan hanya sekedar emosi dan semangat belaka!!!

Khobbab bin Al-Arott –radhiyallahu anhu– berkata,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً (بُرْدَهُ) وَهُوَ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَقَدْ لَقِينَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ شِدَّةً فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا تَدْعُو اللهَ فَقَعَدَ وَهُوَ مُحْمَرٌّ وَجْهُهُ فَقَالَ لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ (بِأَمْشَاطِ) الْحَدِيدِ مَا دُونَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ (يَصْرِفُ) ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُوضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَلَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ مَا يَخَافُ إِلَّا اللهَ * زَادَ بَيَانٌ: وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ

“Aku mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sedangkan beliau berbantalkan kain selimut, di bawah bayangan Ka’bah. Sungguh kami telah mendapati sikap keras dari kaum musyrikin. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa anda tak berdoa kepada Allah?” Tiba-tiba beliau duduk, sedang wajahnya memerah seraya bersabda, “Sungguh orang-orang sebelum kalian, dengan sisir besi, disisirilah sesuatu sebelum tulangnya berupa daging atau urat. Hal itu tidaklah memalingkan mereka dari agamanya. Gergaji diletakkan di atas sigaran (belahan) kepalanya, lalu dibelah menjadi dua. Hal itu tidaklah memalingkan mereka dari agamanya. Sungguh Allah akan menyempurnakan urusan (agama) inisampai seorang pengendara akan berjalan dari kotaShon’a menuju Hadhromaut, ia tak takut, kecuali kepada Allah dan serigala atas kambingnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3852)]

“Masa depan adalah untuk Islam!! Allah akan menolong agama-Nya dengan kemuliaan orang yang mulia dan kehinaan orang yang hina; suatu kemuliaan yang Allah muliakan dengannya Islam dan kaum muslimin dan suatu kehinaan yang Allah hinakan dengannya kekafiran dan pengikutnya…Hadits-hadits dalam perkara ini adalah mutawatir”. [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/101)]

Para pembaca yang budiman, sambutlah datangnya kemenangan dan kejayaan Islam di akhir zaman dengan kesabaran dan usaha, baik materiil, maupun yang lainnya berupa usaha nyata yang baik menurut syariat.

Dengan kata lain, umat harus kembali kepada prinsip agama dan syariatnya yang suci.

Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian melakukan transaksi “al-inah”(riba) dan kalian sibuk beternak sapi, serta kalian rela (puas) dengan bercocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, pastilah Allah menimpakan kehinaan kepada kalian, dan Allah tidak akan melepaskan kehinaan itu dari kalian sebelum kalian kembali ke agama kalian”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4825), Ath-Thobraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (3/208/1), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 11)]

Di dalam hadits ini terdapat peringatan kaum muslimin bahwa apabila mereka meninggalkan jihad dan ajaran agama, lalu menyibukkan diri dengan dunia, maka kehinaan akan menimpa mereka.

Al-Imam Izzuddin Abu Ibrahim Al-Amir Ash-Shon’aniy –rahimahullah– berkata,

وَفِي هَذِهِ الْعِبَارَةُ زَجْرٌ بَالِغٌ وَتَقْرِيعٌ شَدِيدٌ حَتَّى جَعَلَ ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الرِّدَّةِ وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى الْجِهَادِ. (انظر : سبل السلام – (2 / 58)

“Di dalam ungkapan ini terdapat celaan mendalam dan teguran keras sampai mendudukkan hal seperti kemurtadan. Di dalam hadits ini terdapat dorongan kepada jihad.” [Lihat Subul As-Salam (2/58)]

Jika teguran keras yang terdapat di dalam hadits ini, kita tidak indahkan dan perhatikan dengan baik, maka yakin dan pasti kehinaan, keterpurukan, kemunduran dan kelemahan akan mendera umat ini. Kita sibuk masing-masing memperhatikan kehidupan dunia kita, dan pada gilirannya kesenangan dunia yang indah membuat kita takut mati di jalan Allah demi mempertahankan dan mendakwahkan agama ini.

Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy –rahimahullah– berkata,

وسبب هذا الذل والله أعلم أنهم لما تركوا الجهاد في سبيل الله الذي فيه عز الإسلام وإظهاره على كل دين عاملهم الله بنقيضه وهو إنزال الذلة بهم فصاروا يمشون خلف أذناب البقر بعد أن كانوا يركبون على ظهور الخيل التي هي أعز مكان.” (انظر : عون المعبود – (9 / 242)

“Sebab kehinaan ini –Wallahu A’lam- bahwa mereka (kaum muslimin) tatkala meninggalkan jihad di Jalan Allah yang di dalam terdapat kewibawaan Islam dan kejayaannya di atas seluruh agama, maka Allah membalas mereka dengan sebaliknya yakni, dengan diturunkannya kehinaan pada mereka (kaum muslimin). Akhirnya, mereka pun berjalan di belakang ekor-ekor sapi, dimana sebelumnya menunggangi pungggung-punggung kuda yang merupakan tempat termulia.” [Lihat Aun Al-Ma’bud(9/242)]

Ketika kaum muslimin menyelesihi tuntunan agama yang terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka mereka akan mendapatkan kehinaan. Sebaliknya, siapapun dari kalangan umat ini yang berusaha dengan sungguh-sungguh dan bersabar serta ikhlash dalam berpegang teguh dengan ajaran-ajaran agama, maka pertolongan itu akan turun dari langit.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rojab As-Salamiy Al-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata,

ومن أعظم ما حصل به الذل من مخالفة أمر الرسول صلى الله عليه وسلم ترك ما كان عليه من جهاد أعداء الله، فمن سلك سبيل الرسول صلى الله عليه وسلم عز، ومن ترك الجهاد مع قدرته عليه ذل…فمن ترك ما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم من الجهاد مع قدرته واشتغل عنه بتحصيل الدنيا من وجوهها المباحة حصل له من الذل فكيف إذا اشتغل عن الجهاد بجمع الدنيا من وجوهها المحرمة؟!” (الحكم الجديرة بالإذاعة – (ص / 40_41)

“Diantara sebab terbesar terjadi dengannya kehinaan, penyelisihan urusan (agama) Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam-, yakni meninggalkan sesuatu yang dahulu dipijaki oleh beliau berupa berjihad melawan musuh-musuh Allah.

Jadi, barangsiapa yang menempuh jalan Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka ia mendapatkan kewibawaan dan kejayaan. Siapapun yang meninggalkan jihad –padahal mampu berjihad-, maka ia akan menjadi hina.

Siapa saja yang meninggalkan sesuatu yang dahulu dipijaki oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berupa jihad –padahal ia mampu berjihad- dan malah menyibukkan diri (lalai) dari jihad gara-gara mengejar dunia dari arah-arah yang mubah, maka akan terjadi baginya kehinaan. Nah, bagaimana lagi bila seseorang menyibukkan diri (lalai) dari jihad gara-gara mengumpulkan dunia dari arah-arah yang diharamkan.”[Lihat Al-Hikam Al-Jadiroh bi Al-Idza’ah (hal. 40_41) karya Ibnu Rojab Al-Hambaliy, dengan tahqiq Syaikh Abdul Qodir Al-Arna’uth, cet. Dar Al-Ma’mun, 1990]

Mengatasi kondisi perpecahan ummat islam

Bersatu dan berpisah karena Allah
Kondisi umat Islam yang berpecah sering memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana caranya?

Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan. Persatuan identik dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan perkumpulan. Sedangkan perpecahan identik dengan perselisihan, permusuhan, pertentangan dan perceraian.

Persatuan merupakan perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh oleh seluruh kaum muslimin, yang merupakan jalan yang lurus dan manhaj bagi agama-Nya yang benar ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153).

Sebagaimana pula Dia telah melarang umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari perpecahan dan perselisihan pendapat, karena yang demikian itu merupakan sebab terbesar dari kegagalan dan merupakan kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)

Dan firman-Nya ta’ala:

Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya’. Amat berat bagi orang musyrik agama yang kalian seru mereka kepada-Nya.” (Asy-Syura: 13).

(Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 176)

Asas dan Hakekat Persatuan

Asas bagi persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah, bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan lain sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al Quran) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para shahabat, maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja yang lebih kuat dalam mengikuti hadits Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak para shahabat, maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan fitnah. Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah dan jejak para shahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan lebih terjerumus ke dalam fitnah.” (Minhaajus Sunnah, 6/368)

Oleh karena itu, walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya dan berada di atas satu manhaj”, berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, akan tetapi semuanya berada di atas manhaj salaf, mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di jalan Allah dan ber-intisab kepada Ahlus Sunnah Wal Jamaah, tanpa ada sikap fanatik terhadap kelompoknya. Yang demikian ini tidak mengapa, walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan (manhaj).” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman bin Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Bila kita anggap bahwa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen), maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah satu jamaah, manhajnya satu dan jalannya pun satu. Maka terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata perbedaan letak/tempat di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.” (Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 180).

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa bila suatu persatuan berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) maka itulah sesungguhnya hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terpisahkan oleh tempat.

Bahaya Perpecahan

Bila kita telah mengetahui bahwa hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah adalah yang berasaskan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih, maka bagaimana dengan firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin, yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya, saling bangga satu atas yang lain, loyalitasnya dibangun di atas kungkungan ikatan kelompok, apakah sebagai embrio persatuan umat, ataukah sebagai wujud perpecahan umat?

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah di masyarakat kaum muslimin merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan dan musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.” (Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/204, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 177).

Beliau juga berkata: “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin atau Jama’ah Tabligh atau demikian dan demikian, kami tidak menasehatkannya, ini salah! Akan tetapi kami nasehatkan mereka semua agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah Wal Jamaah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 15).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah serta manhaj As-Salafush Shalih, bahwasanya bergolong-golongan bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat dari Al Qur’anul Karim, di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32).[Fataawa Asy-Syaikh Al-Albani, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106, dinukil dari Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 178]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan menyelisihi apa yang selalu dihimbau dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al-Mu’minun: 52)

Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan bergolong-golongan ini, di mana tiap-tiap golongan mengklaim yang lainnya dengan kejelekan, cercaan dan kefasikan, bahkan bisa lebih dari itu. Oleh karena itu saya memandang bahwa bergolong-golongan ini adalah perbuatan yang salah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 16).

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Agama kita adalah agama persatuan, dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka berbilangnya jamaah-jamaah ini bukanlah dari ajaran agama, karena agama memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jamaah.” (Muraja’at fii Fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad Ar-Rifa’i rahimahullah, hal. 44-45).

Beliau juga berkata: “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok membuat manhaj tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.” (Taqdim/Muqaddimah kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at).

Bukankah mereka juga berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan hati berbunyi.

Asy-Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi berkata: “Jika benar apa yang dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahwa mereka berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah, niscaya mereka tidak akan berpecah belah, karena kebenaran itu hanya satu dan berbilangnya mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka, suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing kelompok berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan permusuhan.” (An-Nashrul Azis ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali rahimahullah, hal. 46)

Pertanyaan Penting

1.Bagaimanakah masuk menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari dalam ?

Asy-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan kepada kebaikan dan menasehati mereka, dengan tetap berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka tidak apa-apa. Adapun menjadi anggota mereka, maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasehati mereka karena Allah seraya berkata: ‘Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian (menerima) Al Qur’an dan As Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya, bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah perpecahan dan perselisihan’, maka ini adalah nasehat yang baik.” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal. 15-16)

2. Bukankah dengan adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang ada dan para tokohnya, justru semakin membuat perpecahan dan tidak akan terwujud persatuan?

Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman berkata: “Kebanyakan orang-orang awam dari kaum muslimin kebingungan dalam permasalahan ini, mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama kok saling memperingatkan satu dari yang lain?!’ Di kalangan terpelajar pun demikian, mereka meminta agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang salah dan ahlulbid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat. Mereka tidak mengetahui bahwa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan jalan yang berbeda-beda (dalam memahami agama ini, pen) justru merupakan faktor utama penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus. Dengan tetap adanya jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak akan terwujud persatuan selama-lamanya.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharari Qa’idah Al-Ma’dzirah Watta’aawun, hal. 98)

Nasehat dan Ajakan

Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri berkata: “Tidak ada solusi dari perpecahan, tercabik-cabiknya kekuatan dan rapuhnya barisan kecuali dengan dua perkara:

Pertama: Menanggalkan segala macam bentuk penyandaran (atau keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan kelompok-kelompok nan sempit, yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.

Kedua: Kembali kepada jamaah Salafiyyah (yang bermanhaj salaf, pen), karena sesungguhnya dia adalah ajaran yang lurus, dan cahaya putih yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat, pen), dan At-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ‘Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar…’.” (Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah ilaa Fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil ‘Azhimah, hal. 24).

Sungguh benar apa yang dinasehatkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri, karena As-Salafiyyah tidaklah sama dengan kelompok-kelompok yang ada. As-Salafiyyah tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu… suatu kungkungan hizbiyyah yang sempit, bahkan As-Salafiyyah dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia adalah saudara, walaupun dipisahkan oleh tempat dan waktu… suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala, senantiasa menjauhkan kita semua dari perpecahan, dan menyatukan kita semua di atas persatuan hakiki yang berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As- Salafush Shalih.
Sumber://Salafy.or.id offline Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc Judul: Bersatu dan Berpisah Karena Allah

Related Articles :