Wednesday, November 16, 2016

Menyikapi Fitnah Perselisihan Dikalangan Ulama’

Hasil gambar untuk perselisihan ulama

Arahan Umum Dalam Menyikapi Fitnah Perselisihan Dikalangan Ulama’ (Bagian 1)

PENULIS: Abu Ukasya Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid as Salafiy
MUQADDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، مالك يوم الدين; وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أرسله رحمة للعالمين، وحجة على الكافرين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وسلم تسليما.
Maha suci Allah Ta’ala yang telah berfirman lagi termaktub dalam Qur’an yang mulia
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍۢ فِتْنَةً
Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. (Q.S Al Furqon :25)
وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍۢ
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka dengan sebahagian mereka. (Q.S Al An ‘am :53) .
Dua ayat yang mulia ini Allah Ta’ala mengabarkan sebagian kita terhadap sebagian yang lain menjadi fitnah. Manusia akan dilanda fitnah melalui saudara – saudara mereka sendiri , tak lepas juga Ahlus Sunnah akan tertimpa pula fitnah. Dan fitnah bertambah dahsyat dengan bertambahnya waktu.
Dalam hadits Amru bin Ash disebutkan :
Umat kamu ini kebaikannya di jadikan pada awalnya , akhir umat ini akan di timpa musibah dan perkara – perkara yang kamu ingkari. Hadits riwayat Muslim Abdullah bin Mas’ud berkata : Demi Allah Sesungguhnya aku tahu bahwa kemarin lebih baik daripada hari ini, dan hari ini lebih baik dari besok. (Hadits riwayat Ath Thobari).
Karena pada saat ini hidup di jaman fitnah maka hendaknya kita kembalikan urusan nya hanya kepada Allah Subhanahu  Wata’ala dengan berpegang teguh pada perintahNya dan perintah nabiNya. Rasulullah Sallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda : Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabulloh dan sunnah Rasululloh Sallallohu’alaihi wasallam.  
Siapa diantara kalian yang hidup sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak maka wajib berpegang taguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaur rosyidin yang diberi petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham. ( H.R Abu Dawud ).
Ini adalah risalah ringkas yang ditulis akhuna Abu Ukasyah Ilham Gorontalo berisikan cara bijak menyikapi fitnah di kalangan Ahlus Sunnah. Aku memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala dzat yang maha mulia agar membalasnya dengan kebaikan dan semoga bermanfaat baginya dan bagi kaum muslimin terkhusus Ahlus Sunnah. Wal ‘ilmu indallah wa billahit taufiq wa Shallallohu’ala muhammadin wa ‘ala ‘alihi wa shohbihi ajma’in.
Mujahid as salafi
Pengelola
———————————————————————–

MUQADDIMAH PENULIS
Kami mendapati beberapa berkomentar dalam fitnah ini, yang kami lihat mereka mau bersikap pertengahan dalam fitnah ini , namun kami lihat pada perkataan nya masih ada sikap taqshir dan guluw dan kecenderungan terhadap kelompok lain, dan masih terbawa sikap ta’ashub dan kejahilan, dan mereka hanya membahas langsung pada inti masalah, tanpa memberikan poin poin pengarahan sebelum masuk dalam masalah, agar dengan pengarahan tersebut orang bisa bersikap diatasnya , dan agar orang memahami kadar dirinya masing – masing, jadi kami terdorong untuk andil memberikan pengarahan.
Mudah – mudahan memberikan titik gambaran solusi dari fitnah tersebut dengan taufiq dan bantuan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Abu Ukasyah Ilham Gorontalo
——————————————————————————
(sebelumnya kami nasehatkan pada diri ini dan saudara – saudara kami [1])Marilah kita menyibukkan diri mempebaiki diri- diri kita dan keluarga- keluarga kita[2], dan berdakwah di jalan Allah Subhanahu Wata’ala kepada orang – orang yang ada di sekitar kita atau orang – orang yang bisa kita jangkau untuk menyampaikan tauhid dan Sunnah[3], Nabi Shalallohu’alaihi wasallam bersabda :
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْأَيَةٌ
“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat”[4]
Orang yang berakal adalah orang yang bisa menjaga dirinya tetap istiqomah diatas jalan Allah ketika terjadi fitnah, dia tidak tersibukan mengurus perkara – perkara yang belum bisa di jangkaunya, dia berdakwah memulai dengan perkara yang paling terpenting kemudian yang penting lainnya. Nabi Shalallohu’alaihi Wasallam bersabda :
إِنَّ السَعِيْدَ لِمَنْ جُنِّبَ الفِتَنْ
“Sesungguhnya orang –orang yang beruntung adalah orang yang dijauhkan dari fitnah”.[5]
Perlu di ketahui ! bahwa perkara Ulama saling mentahdzir dan saling menghukumi itu bukan perkara baru, tapi sudah ada sejak jaman para Aimmah terdahulu, fitnah Ulama itu akan berdampak negatif bagi para pengikut mereka, sampai pada masa kita sekarang ini, namun bagi orang –orang yang faham maka janganlah kemudian dia melibatkan orang – orang awam atau orang – orang yang baru mengaji dan kenal dakwah, karena itu akan membuat mereka bingung dan akhirnya lari dari dakwah, dan ini bertentangan dengan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah ( dalam dakwah ) dan bukan mempersulit”.[6]
Beliau -shalallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda kepada Mu’adz dan Abu Musa yang mau dikirim berdakwah ke Yaman
“Bersatulah kalian dalam dakwah dan jangan berselisih. Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat lari”.[7]
Inilah nasehat beliau-shalallahu ‘alaihi wa sallam- kepada para Da’I secara umum.
Perkara Ulama saling mentahdzir dan saling menghukumi itu memang bidang mereka , karena ini masuk dalam BAB Jarh Wa Ta’dil , hendaknya kita berprasangka baik terhadap mereka, karena mereka juga dalam mentahdzir bukan karena hawa nafsu atau karena Ta’ashub atau pembelaan kelompok, namun karena kecemburuan mereka terhadap agama ini , niat baik mereka ingin menjaga agama yang mulia ini,dan niat baik mreka ingin menjaga Ummat dan menasehatinya, ini sikap yang harus kita kedepankan terhadap para Ulama, jika mereka salah maka itu adalah ijtihad yang mereka tetap mendapat pahala karena nya[8] , kecuali nampak dari mereka niat jahat dalam usaha tersebut, baru kita hukumi sesuai dzohir nya.
Sekali lagi untuk para da’I dalam fitnah ini , jangan kemudian melibatkan orang – orang awam atau orang – orang yang baru ngaji ( kenal dakwah ) karena akal dan pemahaman mereka belum bisa menjangkau fitnah ini, karena sahabat Ali bin Abi Tholib –radliyallahu ‘anhu-berkata :
‘Sampaikanlah kepada manusia sesuai dengan kadar akal – akal mereka “
Adapun jika hanya sekedar menghabarkan secara umum bahwa telah terjadi fitnah Ulama fulan dengan Ulama fulan, dan memberikan sedikit arahan kepada mereka, maka ini tidak mengapa, namun jangan kemudian fitnah tersebut di jadikan saran untuk mengelompok. Sarana untuk tahazzub, sarana untuk fanatik, membela ulama sana atau sini, membela Geng sana atau geng sini. Inilah bukanlah tujuan syari’at , ini bukanlah tujuan dakwah, tetapi ini adalah Manhaj Perang, Manhaj Partai, Manhaj tahazzub.  Wala Haula Wala Quwwata Illa Billah !
Ringkas masalah, dalam fitnah ini orang – orang yang menyikapi nya terbagi menjadi tiga yaitu :
1). Orang – orang yang guluw
2). Orang – orang yang tafrith / taqshir / meremehkan.
3). Muqtashid  / orang – orang pertengahan.
Gologan yang pertama yakni orang – orang yang ghuluw[9]adalah orang – orang yang menjadikan fitnah ini sebagai sarana tahazzub , perpecahan dan permusuhan , dan melibatkan orang – orang awam dan para thullab yang masih baru, kemudian mendesak mereka untuk bersikap atau membela Ulama sana atau sini.
Golongan yang kedua , yakni orang – orang yang taqshir[10], meremehkan tidak mau tahu dengan fitnah Ulama, alergi dengan fitnah Ulama, berprasangka buruk terhadap Ulama , menyangka bahwa dalam fitnah ini Ulama membuat fitnah, Ulama membuat perpecahan, Ulama tidak faham kondisi , Ulama tidak hikmah, mereka tidak mau tahu dan berprasangka buruk terhadap fitnah ini.
Adapun Golongan Muqtashid [11]yakni orang – orang yang selamat ketika terjadi fitnah , mereka tidak ghuluw dan tidak taqshir , mereka tetap berprasangka baik terhadap Ulama, dan mereka tetap mendo’akan para Ulama dengan kebaikan[12] , tidak terpengaruh dengan fitnah, dan tidak membuat masalah jadi rumit, tidak membuat masalah menjadi besar, tidak memperkeruh masalah , mereka tetap istiqomah berdakwah di jalan Allah , menyampaikan perkara – perkara yang bermanfaat tentang tauhid dan sunnah dengan cara hikmah, mereka tidak melibatkan orang – orang yang baru ngaji ( kenal dakwah ) mereka tidak mendesak orang lain untuk bersikap dalam fitnah ini, mereka saling menasehati sesama untuk sibuk mengurus aib diri sendiri dan keluarga, semua itu bukan karena sikap meremehkan fitnah yang terjadi di kalangan Ulama , namun mereka menjaga jangan sampai ketika terlibat dalam fitnah tersebut sehingga menyebabkan muncul fitnah baru yang lebih besar, seperti yang terjadi di kalangan para ustadz , akibat terlibat dalam fitnah akhirnya di cela, di fitnah , di hukumi di tahdzir, di bongkar aibnya. Padahal kita diperintah menyembunyikan aib kita setelah bertaubat. Namun dengan sebab kita masuk dalam fitnah ini, kita mentahdzir yang dengan itu orang lain membalas dengan membongkar aib kita yang tidak pantas ditampakkan, yang ujungnya menyebabkan orang lain tidak menerima nasehat kita, tidak menerima kebenaran yang kita sampaikan.
Maka hendaknya Seorang Dai merenungi hal ini, bisa jadi dia masuk dalam hadits :
“semua kesalahan ummatku akan diampuni kecuali orang yang menampakkan maksiatnya terang – terangan.”[13]
Bukan kita yang menampakkan secara langsung, tapi akibat perbuatan kita akhirnya orang lain mengumbar – umbar aib kita. Makanya dalam hadits disebutkan :
“celakalah orang yang mencela kedua orang tuanya! Yaitu orang mencela orang tua orang lain kemudian orang tersebut membalas mencela orang tuanya.”[14]
Orang – orang yang muqtashid mereka mengambil sikap diam dalam fitnah tersebut, jika mereka menyikapi maka tidaklah mengomentari kecuali hanya sekedar memberikan arahan – arahan yang bersifat umum, jika mereka terjun dalam fitnah mereka bersikap bijaksana, berniat baik ingin mencari kebenaran dan berusaha membuat solusi, sikap mereka terjun dalam fitnah tidaklah menimbulkan fitnah yang baru yang lebih besar, yang mana kesemuanya itu mereka lakukan diatas dasar nasehat dan keikhlasan dan diatas dasar sikap mengikuti Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengikuti jejak para salafush shaleh, jauh dari sikap mengikuti hawa nafsu dan fanatik. [15]
Orang – orang yang ingin mengetahui dan mempelajari fitnah yaman, maka hendaknya bersikap adil[16], bijaksana,  dan tatsabut. Jangan dia mengikuti sesuatu yang dia tidak tahu tentangnya atau dia menghukumi sesuatu yang belum jelas permasalahannya, karena hanya sekedar menerima berita dari sepihak. Karena dalam menyikapi dua pihak yang bersengketa harus mengetahui hujjah dari masing – masing pihak. Inilah yang dilakukan Rasulullah dan dilakukan para Nabi –‘alaihim ash shalatu wa as salam-. Setelah dia mengetahui duduk masalah dan mengetahui pihak mana yang benar. Maka dalam hal ini berlakulah sabda Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-:
“tolonglah saudaramu yang dizhalimi atau yang menzhalimi, adapun orang yang menzhalimi maka engkau mencegahnya dari berbuat zhalim.”[17]
Jangan kemudian dia memaksa dan mendesak orang lain untuk mengetahui dan mempelajari fitnah ini, dengan perkataan “antum harus tahu dan mempelajari masalah ini, antum harus bersikap!, jika antum tidak mencari kebenaran dalam hal ini maka antm akan terseret pada hizbiyyah! Atau kalimat – kalimat yang senada, ujungnya adalah memaksa dan mendesak orang harus bersikap, agar diketahui mana yang di pihak sini dan mana yang di piak sana, seolah – olah perkara ini adalah yang wajib diketahui dan dipelajari, serta akan menciderai ketsiqahan manhaj seseorang. Bersambung insya Allah
[1] Mengambil faidah dari firman Allah:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًۭا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh. ( QS. Fushhilat : 33 ) Tambahan dari pemberi catatan kaki
[2] Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. ( QS. At Tahrim : 06 )
[3] Allah berfirman:
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ( QS. An Nahl : 125 )
[4] Hadits riwayat Bukhari dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash
[5] Hadits riwayat Abu Dawud dalam sunannya di kitab al Fitan wal Malahim, dishahihkan Syaikh al Albani dalam al Misykatul Mashabih 5405
[6] Hadits Riwayat Bukhari dari Shahabat Abu Hurairah –radliyallahu ‘anhu- no 220
[7] Hadits Riwayat Bukhari
[8] Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam-  bersabda:
Apabila seorang hakim menghukumi suatu perkara, lalu berijtihad dan benar baginya dua pahala. Dan apabila dia menghukumi suatu perkara, lalu berijtihad dan keliru, maka baginya satu pahala. ( HR. Bukhari dan Muslim dari Amru bin Ash )
[9]  Golongan ini dicela dalam al Qur’an dan Hadits serta tidak sesuai dengan manhaj salaf. Allah berfirman:
يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ ۚ
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. (QS. An Nisa’ : 17)
[10]  Golongan ini juga merupakan makar syetan dan bukan manhaj salaf. ( Mawaridul Amn 187 )
[11] Inilah golongan yang beruntung dan manhaj Ahlus Sunnah berdiri diatasnya, allah berfirman:
وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. ( QS. Al Hujurat : 09 )
[12] Syaikh Abdul Muhsin berkata: sepeninggal rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- tiada seorangpun yang ma’sum, begitu pula orang alim, diapun tidak akan leps dari kesalahan. Seorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahan itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir terhadapnya….. sa’id bin Musayyib berkata: seorang ulama’ , orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan  tidak akan luput dari kesalahan. Akan- —tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya maka kekurangannya akan tertutup oleh keutamaannya.
Abdullah bin al Mubarak berkata: apabila kebaikan seorang lebih banyak daripada kesalahannya maka kesalahannya tidak dianggap. ( Siyaru A’lamin Nubala’ 8/352 ) ( mengambil faidah dari risalah Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, Syaikh Abdul Muhsin al Abbad )
[13] Hadits riwayat Bukhari no 6069
[14] Hadits riwayat Bukhari dari Amru bin Ash
[15] Allah melarang hambaNya mengikuti hawa nafsu, sebagaiamana dalam firmanNya:
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍۢ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةًۭ فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?. ( QS. Al Jatsiyah : 23 )
[16] Allah berfirman:
ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan. ( QS. Al Maidah: 08 )
[17] Hadits riwayat Bukhari dalam kitab shahihnya dari shahabat Anas bin Malik –radliyallahu ‘anhu-
Sumber : millahmuhammad.blogspot.com

Arahan umum dalam menyikapi fitnah perselisihan dikalangan ulama’ (Bagian 2)

PENULIS: Abu Ukasya Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid as Salafiy
Dalam hadits Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- “mencegah orang yang berbuat zhalim” harus sesuai tahapan seperti hadits:
“siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia cegah dengan lisannya…………dst[1]”
Jika dia mampu dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu pula maka dengan hati. (Disini kita mendapatkan faidah)[2] jika dia tidak mampu merubah dengan tangan maka janganlah dia memaksakan diri yang dengannya muncul bahaya yang besar. Dan termasuk inkarul mungkar dengan tangan adalah hajr/ boikot, maka jika dia tidak mampu menghajr atau akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka janganlah dia memaksakan dirinya untuk menghajr karena akan menimbulkan kerusakan[3], begitu pula jia dia tidak mampu merubah dengan lisan, dalam artian tidak mampu memberikan penjelasan dan nasehat atau justru menimbulkan bahaya, maka dia tidak boleh memaksakan dirinya dengan sebab bahaya yang akan timbul[4], Maka tidaklah tersisa kecuali merubah dengan hati yakni membenci dan meninggalkan maksiat dan pelakunya[5].
Yang harus dilakukan oleh orang yang memahami fitnah ini dan mengetahui pihak yang benar, maka hendaknya dia membelanya sesuai dengan keadilan dan jangan bersikap berlebihan dalam pembelaan. Yakni dengan berusaha memberikan penjelasan kepada pihak yang menzhalimi dan orang yang sefaham dengan mereka, agar mereka tidak terus menerus dalam berburuk sangka, dan berusaha meluruskan serta mebuat perbaikan bukan menambah keruh masalah dan membuat fitnah baru. Dan disisi lain hendaknya dia tetap menolong saudara yang menzhlimi dengan mencegah kezhalimannya sesuai tahapan dalam hadits, jika tidak mampu hendaknya dia diam, tidak berbuat apa – apa kecuali mendoakan[6], jangan kemudian dia memaksakan diri mentahdzir atau menghukumi karena  hal itu akan menimbulkan kerusakan yang tidak remeh.
FASAL TENTANG TAHDZIR DAN HAJR
Masalah menghukumi itu bidangnya orang – orang yang berilmu, punya keahlian dalam hal itu, atau para Qadli. Karena hal itu masuk bab Ijtihad dan Bab Inkarul Munkar, namun jika kita sudah menjadi Mujtahid maka silahkan menghukumi, jika tidak, maka jangan kita masuk pada perkara yang bukan hak kita. [7]
Tahdzir terbagi menjadi dua macam, Tahdzir secara umum dan secara Ta’yin. Tahdzir secara umum adalah mentahdzir sifat dan perbuatan serta pelakunya secara umum, seperti mentahdzir syirik dan orang – orang musyrik, mentahdzir bid’ah dan pelakunya, mentahdzir kemaksiatan dan pelakunya secara umum, ini hukumnya wajib dan bukan termasuk ghibah. Adapun yang ke dua yaitu mentahdzir secara ta’yin atau person tertentu maka ini termasuk ghibah yang diperbolehkan bahkan termasuk nasehat serta termasuk juga inkarul munkar jika didasari dengan ilmu, keikhlasan dan wara’[8]. Jika hal itu tidak dimiliki oleh orang yang mentahdzir maka dia akan berbuat kejahilan dan kezhaliman dalam tahdzirnya.
Adapun yang dimaksud “diatas ilmu “ adalah dia mengetahui sebab – sebab tahdzir, keadaan orang yang ditahdzir dan mampu menimbang mashlahat dan madlarat. Ringkasnya dia adalah ahli Ijtihad, karena jika tidak, akan banyak madlaratnya.
Adapun syarat yang ke-dua”dia harus memiliki sifat wara’[9] ”, karena bisa jadi dia mentahdzir memang diatas ilmu tapi bermaksud ingin tampil, ingin didengar, ingin terkenal dan maksud – maksud duniawi lainnya atau dia mentahdzir karena bisa jadi dia mentahdzir karena ingin melampiaskan dendamnya, atau karena iri, atau ingin menyenangkan teman – temannya, atau membuat teman – temannya ridla padanya supaya keberadaan dan kedudukannya masih dianggap disisi teman – temannya, sehingga tahdziran berubah menjadi ghibah yang diharamkan, sadar atau tidak (dia telah melakukan ghibah). Walaa Haula Walaa Quwwata Illa Billah
Dari sisi tahdzir secara ta’yin, perkara wajib yang harus dilihat oleh orang yang mentahdzir adalah apakah tahdzirannya menghasilakn mashlahat ataukah madlarat atau madlaratnya lebih besar dari pada mashlahatnya[10], karena kepincangan dalam menimbang hal ini akan menimbulkan kerusakan yang tidak remeh dan dia juga harus memperhatikan dirinya dan orang yang tahdzirnya. Apakah dirinya termasuk orang yang didengar atau tidak, dia juga harus memperhatikan keadaan objek orang yang ditahdzir, apakah orang tersebut orang berilmu atau tokoh yang didengar masyarakat. Jika dia tidak memperhatikan hal ini maka bisa jadi orang yang ditahdzir akan membalas mentahdzir dan membongkar aib kita dan membuat fitnah, sehingga berpengaruh terhadap saudara – saudaranya yang lain yang bersamanya atau yang sepaham dengannya dan menambah musuh yang lebih banayak, membuat orang – orang menjauh dari dakwahnya, sehingga manfaat dari tahdzirannya tidak berhasil bahkan sebaliknya hanya madlaratyang terjadi. Maka dalam keadaan seperti ini dia tidak boleh mentahdzir orang tersebut dan mecari thariqah lain yakni mentahdzir secara umum tanpa menyebut person agar orang berhati – hati dari penyimpangan tersebut. Maka dengan ini dia insya Allah telah menunaikan kewajibannya dalam menasehati dan berdakwah.
Adapun Hajr juga ada dua macam yaitu hajr wiqayah dan hajr Tabdi’/Ta’zir. Hajr Wiqayah adalah menjauhi maksiat dan pelakunya denangan maksud menjaga dirinya agar tidak terjerumus  di dalamnya, misalnya menjauhi syirik, bid’ah, maksiat dan pelakunya, masuk juga dalam Hajr Wiqayah yaitu hijrah dari tempat kesyirikan menuju tempat tauhid. Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“orang – orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa –apa yang dilarang oleh Allah.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
Hajr ini merupakan kewajiban setiap muslim, adapun hajr yang ke dua yakni Hajr Tabdi’ atau Hajr Ta’zir adalah memboikot pelaku bid’ah dengan maksud memberikan hukuman agar pelakunya menyadari dirinya dan bertaubat, dan sebagai sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukan hal yang serupa. Hajr ini menimbang mashlahat dan madlarat , melihat kondisi orang yang menghajr dan yang diHajr disisi kuat atau lemah dan dari sisi banyaknya jumlah atau sedikit. Jika orang yang diHajr tidak menyadari kesalahan dirinya atau bertambah jauh dari Allah –ta’ala- maka dalam keadaan seperti ini tidak boleh diHajr Tabdi’[11]. Wallahu a’lam
Ketika kita tidak mampu menempuh tahdzir secara ta’yin, mka bisa kita tempuh dengan cara tahdzir secara umum dengan membantah dan mencela penyimpangan tersebut tanpa menyebut orangnya, maka dengan ini kita telah terhitung telah berInkarul Munkar dan telah tercapai mentahdzir dan menyampaikan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau bersabda:
“ ada perihal apa suatu kaum yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah. ”[12]
Jika telah kita ketahui bersama bahwa Tahdzir, Hajr dan Tahkim adalah merupakan wasilah dakwah, wasilah inkarul Munkar, maka tentunya harus dilihat tujuannya apakah terhasilkan mashlahat lebih besar ataukah madlarat yang lebih besar? Jika seandainya tidak terhasilkan maka wajib bagi kita untuk bersabar dan menahan diri dari merubah kemungkaran tersebut. Tidak boleh kita karena terbakar semangat sehingga memaksakan diri untuk merubahnya sehingga muncullah madlarat yang lebih besar, sehingga kita terhitung berbuat zhalim dalam Inkarul Munkar kita. Maka dalam kondisi seperti ini bukan berarti kita terlepas dari mengingkarinya, akan tetapi disana ada kewajiban terakhir yaitu merubah dengan hati yakni dengan membenci dan menjauhi perbuatan dan pelakunya tersebut.
Dan hal penting yang perlu diperhatikan disini, bahwa tujuan dakwah kita adalah mengajak orang ke jalan Allah, menyampaikan al Qur’an dan Sunnah berusaha, bagaimana orang yang berbuat zhalim berhenti dan bertaubat dari kezhalimannya. Mengajak orang yang melakukan kesyirikan bisa sadar dan bertaubat kepada Allah[13], begitu pula pelaku bid’ah dan maksiat. Semuanya kita ajak ke jalan Allah dan bertaubat kepadaNya. Inilah dakwah para Rasul, seperti ajakan Nabi Nuh dan yang lainnya –‘alihimus salam- kepada kaumnya yang disebutkan dalam al Qur’an:
فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًۭا
maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. [14]
وَيَٰقَوْمِ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya.[15]
Inilah yang kita hidupkan yakni dakwah bukan menghukumi orang, misalnya berusaha menghukumi orang yang melakukan syirik dihukumi kafir, bagaimana pelaku bida’ah dihukumi mubtadi’ atau hizbiy dan bagaimana pelaku maksiat dihukumi fasiq serta membebani diatas itu, berusaha dan berusaha menacari apakah si fulan hizbiy ataukah kafir ataukah fasiq. Bahkan mengangkat permasalahan kepada para Ulama’ untuk memberikan keputusan bahwa si fulan mubtadi’ atau hizbiy. Walaa Haula walaa Quwwata illa Billah
Pertanyaannya, apakah ini adalah dakwah para Rasul???! Dan perlu diingat bukan berarti kita  menihilkan masalah menghukumi secara ta’yin, namun hal ini janganlah di hidupkan seperti halnya kita menghidupkan dakwah. Mari kita lihat kembali hadits Nabi bagaimana menyikapi kemungkaran diatas “siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia cegah dengan lisannya”, Disitu nabi tidak berkata: maka hendaklah dia menghukuminya. [16]
-selesai fasal ini dengan pertolongan Allah-
[1] Hadits Muslim dari Abu Sa’id al Khudriy
[2] Tambahan dari pemberi catatan kaki
[3]  Muslim yang baik adalah yang menyelamatkan muslim lain dari bahaya tangan dan lisannya, Rasulullah bersabda:
ان رجلا سأل رسول الله: أي مسلم خير؟ قال: من سلم المسلمون من لسانه و يده. ( رواه مسلم )
“Bahwa seorang bertanya kepada Rasulullah Shallalla hu ‘alaihi wa Salam: siapa orang muslim yang terbaik?, beliau  menjawab: orang yang menyelamatkan orang muslim lainnya dari lidah  dan tangannya”. ( HR. Muslim )
[4] Diantara sikap serang muslim yang dicontohkan oleh Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- adalah bersikap diam jika tidak mampu berkata baik,
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Dari Abu hurairah –radliyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah – Shallalla hu ‘alaihi wa Salam – bersabda: “Barang siapa yang beriman dengan Allah dan hari ak hirat maka hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau lebih baik diam”. ( HR. Bukhari dan Muslim )
Asy Syafi’I berkata: makna hadits tersebut adalah apabila ia ingin untuk berbicara maka hendaklah ia  pikirkan terlebih dulu, apabila ia melihat tidak akan berbahaya diatasnya baru ia bicara, dan apabila ia melihat bahwa didala mnya ada bahaya atau ia ragu-ragu antara berbahaya atau tidaknya, maka lebih baik ia memilih diam”
Oleh karena itu seorang muslim harus benar – benar menjaga lisannya agar bertutur kata baik dan memberi manfaat bukan sebaliknya. Rasulullah bersabda:
“Tiadalah yang membantingkan manusia kedalam neraka diatas muka atau hidung mereka melainkan akibat panenan buah lidah mereka”. ( HR. Tirmidzi dalam sunannya )
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat tanpa memikirkan apa yang terkandung dalamnya, sehingga dengan sebab kalimat tersebut ia dicampakkan kedala m neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”. ( HR. Bukhari dalam kitab shahihnya )
[5]  Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: begitu pula wajib bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari setiap amalan yang tidak diidlai Allah dan RasulNya, meskipun amalan itu tidak sampai pada derajat kekafiran seperti kefasikan dan kemaksiatan, sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“tetapi Allah menjadikan kamu kecintaan kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di hatimu dan menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah yang mengikuti jalan yang lurus.” ( QS. Al Hujurat : 07 )
Jika ada seorang mukmin yang memiliki keimanan sekaligus kemaksiatan maka kita wala’ padanya kerena keimanannya dan membenci karena kemaksiatannya dan hal ini berlaku pula pada kehidupan kita, terkadang anda mengambil obat yang rasanya tidak enak dan anda membencinya. Namun demikian anda tetap menyukainya karena ada kesembuhan dari penyakit pada obat tersebut. Sebagian orang membenci seorang mukmin pelaku kemaksiatan  dengan kebencian yang lebih besar dari pada kebencian terhadap orang kafir, ini adalah keanehan dan membalik kenyataan yang sebenarnya. ( Majmu’ fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu utsaimin 2/12 )
[6] Mendoakan kebaikan atas muslim yang lain adalah sebuah kebagusan yang banyak dilalaikan terlebih orang yang mendalami masalah fitnah ini. Wallahu a’lam
Padahal Rasulullah bersabda: apabila seorang muslim mendoakan kebaikan untuk saudaranya yang berjauhan, maka malaikat akan mendoakannya pula: semoga engkau memperoleh kebaikan juga. ( HR. muslim dalam kitab shahihnya )
[7] Syaikh Ahmad bin Yahya an Najmi:  Tidak boleh bagi penuntut ilmu yang masih pemula untuk menghukumi seorang sebagai pelaku bid’ah atau mengkafirkan kecuali setelah memiliki kemampuan untuk itu,dan wajib baginya untuk menyerahkannya kepada ulama’, karena Allah berfirman :
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ مِنْهُمْ
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). ( QS. An Nisa’ : 83 ) ( fatawa al Jaliyyah: 32 )
Syaikh Yahya bin Ali al Hajuri -hafizhahullah- berkata: Adapun kalau sekedar menerka atau tidak punya kemampuan atau tidak dapat meletakkan perkara pada tempatnya atau tidak mengetahui perkara ini, tidak  paham, bisa jadi dia hanya menyangka bahwa … orang itu berhak untuk ditahdzir sedangkan orang itu tidak berhak untuk ditahdzir dan seterusnya, yang seperti ini wajib baginya untuk menuntut ilmu dan bertanya kepada yang tahu (ulama’) sehingga dia tidak menambah robekan semakin meluas dan demikian pula mudharatnya lebih banyak dari pada manfaatnya. ( Mengambil faedah dari Nashul Bayyin bi anna Tabdi’ Laisa bi Hayyin )
[8]  Dan seorang yang mentahdzir juga harus memiliki aqidah yang lurus, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Khatib Al Baghdadi ( lihat Nashhul Bayyin bi anna Tabdi’ Laisa bi Hayyin )
[9]  Wara’ berasal dari kata wara’a yara’u war’an yang artinya menjaga dan menghindari dari hal – hal yang diharamkan. ( lihat Mu’jamul Wasith )
[10] Ini adalah kaidah penting dalam syariat islam secara umum dan dalam berInkarul Munkar secara khusus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: jika amar ma’ruf dan Nahi munkar merupakan kewajiban dan amalan sunnah yang agung maka hendaknya mashlahat di dalamnya lebih besar dari madlaratnya, karena Allah tidak menyukai kerusakan. ( al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar hal 10 )
[11] Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin dalam syarah riyadlus Shalihin hadits pertama bab ikhlas, konteks ucapan beliau adalah sebagai berikut: adapun kalau memboikotnya tidak bermanfaat dan sekedar perbuataanya adalah maksiat, bukan karena kekufuran maka tidak boleh memboikotnya. Karena Rasulullah bersabda: tidak halal bagi seorang muslim tidak menegur/ membiarkan saudaranya lebih dari tiga malam, jika berjumpa yang ini memalingkan muka dan yang lain memalingkan muka, dan sebaik – baik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam. ( HR. Bukhari dan Muslim )
[12]  HR. Bukhari dalam kitab shaihnya bab asy Syuruut
[13] Ini adalah dakwah utama yang diemban oleh para Rasul, Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. ( QS. An Nahl : 36 )
[14] QS. Nuuh : 10
[15] QS. Huud : 52
[16] Selesai Fasal ini dengan pertolongan Allah.