Friday, March 17, 2017

Konflik Pemikiran Di Dalam NU

Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Berbedaan tafsir suatu ajaran atau aturan adalah hal lumrah, terjadi banyak organisasi bahkan di dalam Negara. Namun, bila perbedaan itu amat berbeda atau bertentangan, organisasi itu akan mengalami guncangan, bahkan mungkin perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Sebagai contoh, kita bisa melihat Unie Soviet atau Serikat Islam pada tahun 1930-an.

Di dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama menjelang 1990, terjadi perubahan mendasar di dalam sekelompok anak muda NU dalam menafsiri ajaran Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) yang menjadi ajaran dasar bagi NU. Perbedaan ini konsekuensi logis dari banyaknya anak muda NU yang tamat dari berbagai pesantren dan lalu melanjutkan pendidikan ke perguruan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk negara Barat dan Timur Tengah. Mereka mendapat dorongan dan pengayoman serta diilhami ketua umum PBNU (1984-1999) Abdurrahman Wahid

Aswaja al-Nahdliyah yang selama ini menjadi ajaran dasar dan acuan berpikir bagi organisasi NU, tercantum dalam Qonun Asasi yang disusun KH. Hasyim Asy’ari. Secara sederhana, Aswaja NU dirumuskan sebagai ajaran yang dalam fikih mengikuti imam 4 ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). KH. Bisri Mustofa menambahkan rumusan itu: dalam akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi dan dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi al-Baghdadi.

Definisi ulang Aswaja

Pada 1995, Dr. Said Aqiel Siradj (SAS) menyatakan di depan Musyawah Pimpinan PMII (1995), “Batasan tentang aswaja yang dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari itu membuat kita agak risih, katakana saja cukup memalukan karena kesederhananya”. Pendapat SAS itu mendapat tanggapan keras dari para ulama NU. Seingat saya, sekitar 1995 pernah dibentuk tim untuk mengkaji dan mengklarifikasi pernyataan SAS itu, tetapi saya tidak tahu bagaimana akhirnya.

Dalam pertemuan di Pesantren Sukorejo Asem Bagus, Situbonto, beberapa bulan lalu, ada pembicaraan yang mengemukakan Kembali pernyataan SAS itu. Bahwa rumusan Aswaja KH. Hasyim Asy’ari yang dibuat padk 1926 ditunjukkan bagi masyarakat lapisan bawah yang merupakan mayoritas umat Islam. Tentu rumusan itu harus mudah diingat, dipahami, dan diikuti umat yang jumlahnya amat besar dan tingkat pendidikannya belum setinggi pada 1995.

Ternyata, pengikut Aswaja al-Nahdliyah hasil rumusan KH. Hasyim Asy’ari mencapai sekian puluh juta. Berarti, Aswaja rumusan KH. Hasyim Asy’ari itu sesuai harapan masyarakat yang ingin dituju. Jadi, Aswaja rumusan KH. Hasyim Asy’ari itu tidak memalukan, tetapi jitu dalam membaca harapan masyarakat.

Yang memalukan justru orang yang tidak mampu memahami untuk siapa dan bagaimana rumusan sederhana itu dibuat. KH. Hasyim Asy’ari tentu bisa membuat rumusan canggih, tetapi untuk apa kalau itu tidak dipahami dan tak diikuti orang banyak.

SAS juga yakin, nantinya pemikirannya itu akan diikuti orang banyak. Di kalangan NU, banyak anak muda yang berpikiran liberal dan sebagian membentuk Jaringan Islam Liberal. Mereka pernah memegang posisi strategis di struktur NU, seperti pimpinan Lakpesdam.

Saat KH. Hasyim Muzadi menjadi ketua umum, posisi strategis tak banyak mereka pegang. Dalam jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 17 tahun 2004 menjelang muktamar, untuk laporan utama mereka menggunakan judul “Simpang Jalan NU”. Edisi ini memuat tulisan yang menggugat PBNU (1999-2004) yang dianggap terlalu politis. Bisa juga dimaknai simpang jalan menafsirkan Aswaja.

Selain SAS, sejak lama, sejumlah anak muda menyatakan perlunya redefinisi konsep Aswaja NU. Mohammad Luthfi Tomafi (alumnus al-Azhar, Kairo), menulis pada akhir 2002, konsep Aswaja NU sudah terlalu sempit. Pada tataran fikih, keempat mazhab yang diresmikan NU sudah nyata-nyata tidak mampu menampung kompleksitas persoalan saat ini.

Di dalam majalah Tashwirul Afkar itu, Pimpinan Redaksi Imdadun Rahmat menulis, di jam’iyyah NU, arus ortodoksi dan konservatisme masih belum memberi ruang gerak kepada anak muda dengan arus transformasinya. Pendapat anak-anak muda NU yang liberal dianggap tak sesuai dengan “NU otentik”.

Tulisan lain yang senada dibuat oleh Syafiq Hasyim. Dia menyatakan, akibat persinggungan dengan modernitas, perlu reinterpretasi bahkan dekonstruksi terhadap pemahaman Aswaja. Akan dilahirkan corak pemikiran baru yang tetap berpijak pada khazanah lama, tapi kritis; dan apresiatif terhadap interpretasi baru, tapi selektif.

Pada 2003, diadakan Muktamar Pemikiran Islam yang digelar sejumlah anak muda NU di Situbondo. Namun muktamar itu tidak dianggap positif oleh para kiai di Jawa Timur. Di Muktamar itu, Cak Nur, SAS, Masdar Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, dan lainnya berbicara. Muktamar itu menyampaikan gagasan yang sejalan dengan pemikiran sejumlah anak muda NU tadi.

NU Salafi

Di pihak lain, muncul kelompok yang berseberangan dengan kelompok di atas yang oleh Prof. Nur Syam (Sekjen Kementerian Agama), yang dalam tulisannya (2008) disebut sebagai NU Salafi, saya tidak tahu apakah istilah itu tepat. Dalam tulisan itu, diterangai pemikiran sebagian kelompok NU menunjukkan kecenderungan ke arah kanan (fundamental). Itu dilihat dari pergeseran anak muda NU yang berpikiran progresif dari posisi strategis di Lakspesdam. Dia menulis, pada 1990-an makin banyak anak muda NU yang belajar ke Timur Tengah yang punya corak pemikiran keagamaan cenderung ke arah Islam Formal.

Alumni Timur Tengah ini kebanyakan berpendapat, substansi dan simbol harus sama. Mereka amat mengapresiasi pelarangan MUI terhadap sekularisme agama. Mereka juga cenderung mendorong pemerintah melarang Syi’ah dan Ahmadiyah di Indonesia. Saya pernah punya pengalaman saat memberikan sambutan pada peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur di Masjid al-Akbar Surabaya. Saya menyampaikan bahwa pluralisme yang diperjuangkan Gus Dur bukanlah paham yang menganggap semua agama itu sama dan benar. Kita boleh toleransi dalam masalah sosial, tetapi tidak boleh toleransi akidah. Besoknya seorang kiai menelepon saya dan minta saya tidak usah membela Gus Dur dalam masalah pluralisme agama. Saya menjawab, ada kekeliruan pemahaman terhadap pemikiran pluralisme agama yang dipunyai Gus Dur. Pluralisme Gus Dur tidak menganggap semua agama itu sama dan benar.

   Pesantren Tebuireng Siapkan Maklumat Aktualisasi Resolusi Jihad
Di media sosial terdapat akun NU Garus Lurus yang sering mengkritik kelompok lain yang berbeda pendapat dengan cara-cara yang kurang baik. Tentunya keberadaan mereka tidak bisa kita larang, kita hormati keberadaannya. Akan lebih baik bila perbedaan pendapat itu dikomunikasikan secara langsung dengan kelompok lain yang pendapatnya berlawanan. Perang kata-kata melalui media sosial memperuncing keadaan dan tidak menyelesaikan masalah.

Suara Mayoritas Ulama

Menurut pemantauan saya, sebagian besar ulama Nahdlatul Ulama (NU) masih berpegang pada Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) NU sesuai rumusan KH Hasyim Asy’ari. Sesuai keputusan Munas Ulama di Lampung (1992), mereka sependapat bahwa konsep Aswaja KH Hasyim Asy’ari memungkinkan perubahan pola bermazhab, dari secara qauli (produk) menuju secara manhaji (metodologi). Mereka khawatir (bahkan bisa dibilang mencurigai) ada rencana sistematis untuk mengubah secara resmi ajaran Aswaja KH Hasyim Asy’ari yang dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan keadaan.

Dalam Draf Materi Muktamar ke-33 NU muncul berbagai usul perubahan terhadap rumusan di dalam berbagai pasal AD atau rekomendasi muktamar yang oleh para piminan Wilayah NU dan Cabang NU dianggap berpotensi untuk membelokkan ajaran NU. Forum Lintas Wilayah NU (FLWNU) memberi koreksi dan dalam materi muktamar, butir-butir bermasalah sudah dihilangkan. Sayangnya, di dalam muktamar tidak tersedia cukup waktu untuk membahas masalah itu. NU Online yang merupakan media resmi PBNU menyiarkan hasil Muktamar ke-33 yang sama dengan Draf Materi Muktamar yang ditolak oleh FLWNU. Yang menarik, PBNU menyatakan apa yang ditulis NU Online itu tidak benar. Sampai hari ini, kawan-kawan dari FLWNU belum menerima hasil keputusan muktamar yang resmi.

Masalah perbedaan tafsir terhadap Aswaja NU itu harus diselesaikan dengan baik. Siapa pun juga tidak berhak untuk melarang Dr Said Aqiel Siradj (SAS) dkk serta tokoh-tokoh muda NU untuk menganggap bahwa rumusan Aswaja Kyai Hasyim Asy’ari dianggap sempit dan terlalu sederhana. Namun, SAS dkk tidak bisa mengubahnya begitu saja dengan mengabaikan pendapat mayoritas. Pendapat mayoritas ulama juga tidak sama dengan pendapat NU Salafi. Untuk mengetahui dengan tepat pendapat mayoritas ulama yang ideal tentu diperlukan jajak pendapat. Perlu dipahami bahwa kekuatan NU terletak pada jamaah (komunitas), bukan pada jam’iyyah (organisasi). Dari 20 ribuan pesantren, semua adalah milik jamaah, bukan jam’iyyah. Dari belasan ribu sekolah di kalangan NU, hanya sekitar 10 persen yang dimiliki jam’iyyah NU. Kalau jam’iyyah mengubah rumusan Aswaja sekehendak hati, jamaah bisa meninggalkan mereka.

Aspek HAM

Salah satu masalah yang potensial untuk menimbulkan perbedaan tafsir adalah timbulnya pertentangan prinsip HAM dengan hukum agama dan hukum negara. Misalnya, keberadaan jamaah Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Ada kelompok di dalam NU (dan juga di luar NU) yang berpendapat bahwa Ahmadiyah dan Syiah itu bukan bagian dari Islam. KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa Syiah itu menyimpang. Namun, di Cirebon, ada kalangan NU yang menyatakan bahwa Syiah adalah bagian dari NU. Ada yang mengatakan bahwa Syiah yang dianggap menyimpang oleh KH Hasyim Asy’ari adalah Syiah Rafidhah yang mengecam sahabat Nabi dan Siti Aisyah. Akan tetapi, banyak warga NU yang kemudian menganggap bahwa semua Syiah itu bukan bagian dari Islam.

Karena menganggap bahwa Syiah dan Ahmadiyah bukan bagian dari Islam maka kelompok Islam yang punya pendapat seperti itu lalu meminta supaya Ahmadiyah dan Syiah dilarang untuk bisa berkembang di Indonesia. Kelompok ini tidak (mau) paham bahwa sesuai UUD semua agama, termasuk Syiah dan Ahmadiyah punya hak untuk hidup di Indonesia. Kita berbeda dengan Malaysia dalam masalah menyikapi keberadaan Ahmadiyah dan Syiah.

Pihak yang ingin Ahmadiyah dilarang untuk aktif di Indonesia menggunakan UU Penodaan Agama sebagai dasar dari tuntutan tersebut. Apalagi, pada 2010 Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD ketika Gus Dur dkk mengajukan judicial review terhadap UU tersebut. Menarik sekali bila mereka menggugat secara resmi terhadap Ahmadiyah berdasarkan UU tersebut. Apakah pengadilan akan memenuhi gugatan itu atau tidak?

UUD hasil amendemen telah menegaskan bahwa HAM di Indonesia tidak sepenuhnya bebas seperti di negara Barat. Pasal 28 huruf J mengatur bahwa pertimbangan moral dan nilai-nilai agama perlu diperhatikan. Walau demikian, selalu akan muncul perbedaan penafsiran terhadap teks di dalam UUD itu.

Tafsir terhadap khittah

Dalam Tashwirul Afkar yang dikutip di atas, PBNU 1999-2004 dikritik karena dianggap terlalu politis, sehingga ditulis jam’iyyah NU berada di simpang jalan. Menarik sekali bahwa mereka yang dulu menganggap KH. Hasyim Muzadi terlalu politis, kini tidak menganggap SAS dkk terlalu politis. Padahal, kini PBNU bisa dianggap telah dikendalikan oleh PKB. Ada kawan yang mengatakan secara bergurau bahwa PKB itu seperti anak perusahaan yang melakukan akuisisi terhadap perusahaan induk.

Selama ini, terdapat multitafsir atau konflik pemikiran dalam penerapan khittah itu. Penerapannya amat situasional dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ada ketua PWNU yang diberhentikan karena menjadi calon wakil gubernur, tetapi ada ketua PCNU yang boleh menjadi calon bupati dan ada ketua PBNU yang boleh menjadi calon wakil gubernur. Juga, ada ketua umum PBNU yang boleh menjadi calon wakil presiden.

Campur tangan partai sudah amat terasa dan mengganggu kemandirian dan keberadaan jam’iyyah NU sebagai bagian dari masyarakat sipil dari tingkat nasional hingga tingkat cabang. Hal serupa juga terjadi di dalam organisasi di bawah NU, seperti Ansor, Fatayat, dan Muslimat NU. Perlu dilakukan pembahasan serius tentang penafsiran terhadap khittah NU dalam bidang politik. Sayang sekali kalau organisasi yang sudah berusia hampir seratus tahun ini harus menjadi sub-ordinat partai politik. Paradigma parpol amat bertentangan dengan paradigma ormas yang diharapkan menjadi lokomotif masyarakat sipil.

*Tulisan ini dimuat di Harian Republika tertanggal 30 Januari 2016, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan.