Sunday, March 19, 2017

Pelajaran Dari Wafatnya Abu Thalib


Saat Abu Thalib mendekati akhir usia, berkumpullah tokoh-tokoh besar di sekitarnya. Penghulu manusia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tokoh kekafiran juga pemuka Quraisy, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah. Kehadiran para tokoh yang kontradiktif inilah, membuat peristiwa wafatnya Abu Thalib memuat banyak pelajaran.
Ketika ajal Abu Thalib telah dekat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menuju rumah sang paman. Beliau berharap pamannya yang turut memperjuangkan dakwah ini, melisankan syahadat di akhir hayat. Meninggalkan dunia dengan menyandang status seorang muslim. Sehingga menjadi sebab bergantinya keadaan, dari berhadapan dengan ancaman neraka berganti dengan nikmat surga.
Akan tetapi bukan hanya Rasulullah saja yang mengetahui Abu Thalib sedang menghadapi sakaratul maut, Abu Jahal pun tahu kabar itu. Jadilah peristiwa wafatnya Abu Thalib sebuah pertemuan antara kebenaran dan tokohnya dengan kebatilan juga dan dedengkotnya.
Dari Said bin al-Musayyib rahimahullah dari ayahnya, ayahnya berkata, “Kala Abu Thalib telah dekat dengan ajal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya. Saat itu, telah ada di sisi Abu Thalib, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
أَيْ عَمِّ، قُلْلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ.
“Paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Sebuah kalimat yang nanti akan kubela engkau di hadapan Allah.”
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah tidak membiarkan teman mereka ini ingkar dengan ajaran nenek moyang. Keduanya mengatakan,
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
“Apakah engkau membenci agamanya Abdul Muthalib?”
Rasulullah terus mendakwahi pamannya. Tapi selalu ditimpali oleh kedua gembong kemusyrikan ini. Akhirnya Abu Thalib menutup seruan-seruan itu dengan ucapan, “Di atas agamanya Abdul Muthalib.” Ia enggan mengucapkan laa ilaah illallah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ»
“Demi Allah, sungguh aku akan memohonkan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.”
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
﴿مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ﴾
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” [Quran At:Taubah:113]
Tentang Abu Thalib, Allah turunkan ayat pula kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
﴿إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ﴾
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [Quran 28:56].
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir, Suratul Qashash (4494). Dan Muslim dalam Kitabul Iman, Bab Awwalul Iman Qaulu: Laa ilaaha illallaah (24).
Doa yang ingin dipanjatkan Rasulullah adalah bentuk balas budi. Paman yang mengasuh dan melindunginya. Paman yang turut membantu Islam tersebar saat tokoh-tokoh Quraisy berusaha menghadangnya. Tapi kebaikan itu tak bernilai tanpa keimanan. Kebaikan yang banyak tak akan diterima dengan kekufuran.
Nasab bukanlah faktor keselamatan di akhirat. Kalau keluarga Nabi Muhammad dijamin surga dan terjaga dari dosa, tentu Abu Thalib dan Abu Lahab yang merupakan paman beliau lebih layak mendapatkannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada pamannya, Abu Thalib,
«قُلْلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»، قَالَلَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌيَقُولُونَإِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُلأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَفَأَنْزَلَ اللهُ﴿إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ﴾ [القصص: 56]
“Ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Akan aku persaksikan kalimat itu untukmu nanti di hari kiamat.”
Abu Thalib menjawab, “Sekiranya bukan karena cemoohan orang-orang Quraisy. Mereka akan mengatakan, ‘Dia mengucapkan itu karena jiwanya panik’. Pasti kuucapkan kalimat itu agar jiwamu tenang.”
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [Quran 28:56]. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman, Bab Awwalul Iman Qaulu: laa ilaaha illallah (25), at-Turmudzi (3188), dan Ahmad (9608).
Dalam kisah wafatnya Abu Thalib ini, kita melihat ada empat orang laki-laki. Ada Abu Jahal, Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah, Abu Thalib, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari masing-masing tokoh ini bisa kita petik pelajaran yang penting. Insya Allah kita lanjutkan di tulisan berikutnya.
Penutup
Sebagian orang menyangka, Abu Jahal hanyalah bagian dari salah satu babak sejarah. Tindak-tanduknya hanyalah antagonis pelengkap sirah Nabi. Sebagaimana orang-orang yang mewarisi ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terus ada hingga kiamat, demikian juga pewaris-pewaris Abu Jahal yang menentang ajaran Nabi akan terus bermunculan. Karakter Abu Jahal terus berulang. Banyak orang semisalnya dalam kurun zaman dan tempat. Bahkan tokoh-tokoh kezhaliman (para thaghut), tak jauh keadaanya dari gembong kekafiran Quraisy ini.
Namun bagaimana keadaan para thaghut itu pada akhirnya? Kekuasaan mereka lenyap. Kesombongan mereka tak tersisa. Ketenaran dan kuasa mereka dilupakan. Hilang terhembus angin.

Di tulisan sebelumnya, telah dibahas bagaimana peristiwa wafatnya paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib. Bagaimana Nabi berusaha mendakwahi sang paman di akhir hayat. Dan bagaimana pula tokoh-tokoh kekufuran, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah, tak mau kalah menyerukan kekufuran untuk teman mereka.

Orang pertama yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini adalah Abu Jahal.

Abu Jahal

Namanya adalah Amr bin Hisyam al-Makhzumi. Ia dikenal sebagai seorang yang bijaksana. Mampu menyelesaikan perselisihan antara dua orang dengan putusan yang membuat keduanya lapang. Karena itu ia digelari Abul Hakam (tokoh yang bijaksana) oleh orang-orang Mekah. Saat risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, ia menolaknya. Alasannya, hanya dengan alasan fanatik kesukuan. Sehingga dalam Islam ia disebut dengan Abu Jahal (bapak kebodohan).

Dalam peristiwa wafatnya Abu Thalib, kita bisa mengetahui bahwa Abu Jahal adalah seorang yang sangat bersemangat turut andil dalam peristiwa penting di Mekah. Ia senantiasa memperhatikan setiap perkembangan yang dapat mengokohkan syiar kekufuran. Ia gelontorkan seluruh daya upaya. Kesungguhan maksimal, waktu siang dan malam yang bernilai, harta hasilnya berniaga, tak membuatnya reda rasa luka, ia tahan kantuk yang membuat mata tekatup, semua itu ia lakukan demi menghalangi dakwah Rasulullah.

Sosok Abu Jahal memang telah berlalu. Tapi spirit dan pemikirannya tetap hidup di sebagian jiwa manusia. Kita temui ada orang-orang tertentu yang rela berpeluh letih untuk menghalangi tersebarnya agama ini. Ia kerahkan segala kemampuan. Tenaga, lobi, harta, bahkan jiwa agar Islam tidak dikenal manusia. Akhir kehidupan mereka pun sama. Mereka telah menyia-nyiakan masa hidup di dunia. Di dunia dada mereka sesak karena tak mampu menghalangi cahaya Allah. Di akhirat adzab yang pedih disediakan untuk mereka.

يريدون ليطفئوا نور الله بأفواههم والله متم نوره ولو كره الكافرون

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” [Quran: ash-Shaf :8].

Abu Jahal hadir di akhir hayat Abu Thalib, ia tak rela Abu Thalib tutup usia sebagai seorang mukmin yang mengesakan Allah Ta’ala. Ia tak sudi kalau temannya wafat dalam keadaan membenarkan risalah kenabian anak saudaranya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya Abu Thalib tutup usia dengan kalimat syahadat, tentu hal ini menjadi pukulan keras untuk syiar kekufuran di Mekah. Keimanan Abu Thalib tentu menginspirasi anggota-anggota kabilah Bani Abdu Manaf, Bani Hasyim, dan Bani Abdul Muthalib yang belum beriman untuk beriman pula. Atau setidaknya mereka akan menggantikan Abu Thalib melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena itu, Abu Jahal mewajibkan dirinya hadir di sisi Abu Thalib. Mendampingi dan memastikannya berada di atas kekufuran hingga ruh keluar dari jasadnya. Inilah sosok Abu Jahal.

Abdullah bin Abi Umayyah

Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi. Kehadiran Abdulllah bin Abi Umayyah dalam peristiwa ini cukup menarik. Ia memiliki kedekatan dengan Islam dan kekufuran dalam level yang sama. Ia adalah sepupu Abu Jahal dari pihak ayah. Di sisi lain, ia juga sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pihak ibu. Ibunya adalah Atikah bin Abdul Muthalib, bibi Rasulullah sekaligus saudari perempuan Abu Thalib bin Abdul Muthalib. Tapi, karena nasab itu dari jalur ayah, jadilah Abdullah bin Abi Umayyah seorang Makhzumi (berasal dari bani Makhzum).

Sebagaimana telah kita ketahui, dalam kisah “Kata Abu Jahal Tentang Pribadi Nabi Muhammad”, bani Makhzum selalu bersaing dengan bani Hasyim (kabilah Rasulullah). Dari sinilah, Abdullah bin Abi Umayyah merasa berkepentingan membela gengsi kabilahnya. Sekaligus mempertahankan agama pamannya dari pihak ibu, Abu Thalib, agar terus berada di atas kekufuran.

Selain memiliki kedekatan nasab dengan Rasulullah, Abdullah bin Abi Umayyah juga memiliki sifat mulia. Ia laki-laki yang cerdas, bijak, dan dermawan. Kedermawanannya terwarisi dari sang ayah, Abi Umayyah, yang dikenal sebagai Zadur Rukab. Karena kebiasannya menanggung makanan dan perbekalan semua orang yang bersafar dengannya (ath-Thabari, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, 11/539).

Inilah nasab Abdullah bin Abi Umayyah yang cukup unik dalam permasalahan ini. Namun ia lebih memilih kekufuran. Lebih dekat dengan sepupunya Abu Jahal dibanding sepupu lainnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah pengaruh teman dekat.

Alasan lain yang membuat Abdullah bin Abi Umayyah benci terhadap Islam adalah anggapannya bahwa Islam memecah belah hubungan keluarga. Saudarinya, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, memeluk Islam bersama suaminya Abu Salamah. Hubungan kekerabatan pun retak. Ia memandang Muhammad adalah pemecah belah keharmonisan keluarganya. Permusuhan dengan Islam dan Nabi Muhammad pun ia kumandangkan.

Disebutkan, Abdullah bin Abi Umayyah menyatakan kepada Rasulullah, sekiranya beliau bisa mengeluarkan mata air di Mekah, ia akan beriman. Berkaitan dengan ini, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca”. Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya.” [Quran Al-Isra: 90-94]. (ath-Thabari, Jami’ul Bayan 17/558).

Oleh karena itu, Abdullah bin Abi Umayyah datang bersama Abu Jahal mengupayakan segala kemampuannya menghalangi manusia dari Islam. Ia meyakini usaha yang ia lakukan ini adalah demi kemaslahatan pamannya dari pihak ibu, Abu Thalib.

Hari-hari terus berlalu, debu-debu kekufuran Mekah pun tertiup angin tauhid. Kebenaran datang menggusur kebatilan. Mekah menjadi negeri muslim melalui peristiwa Fathu Mekah. Lebih dari 10 tahun sudah Abu Thalib wafat. Abdullah bin Abi Umayyah mulai mempertimbangkan memeluk Islam. Ia keluar bersama Abu Sufyan. Berharap selamat dari kemungkinan hukuman mati. Keduanya meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertemu. Awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak menemui kedua tokoh ini, walaupun keduanya telah melobi beliau melalui Ummu Salamah, saudari Abdullah bin Abi Umayyah yang telah menjadi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Abu Sufyan bin al-Harits dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Tsaniyah al-‘Iqab (dekat Juhfah) antara Mekah dan Madinah. Keduanya meminta izin bertemu Nabi. Ummu Salamah berkata kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, anak pamanmu dan anak bibimu serta kerabat istrimu (iparmu) (ingin bertemu pen.)’ Rasulullah menjawab, ‘Aku tidak ada keperluan dengan mereka. Adapun anak pamanku (Abu Sufyan), ia sangat berlebihan dalam merusak kehormatanku. Sedangkan anak bibi sekaligus iparku, ia telah mengatakan padaku apa yang ia katakan sekwatu di Mekah’.”

Saat keduanya mendengar kabar penolak Rasulullah, Abu Sufyan yang bersama anaknya saat itu mengatakan, “Demi Allah, Rasulullah mengizinkan kita atau aku akan membawa anakku ini pergi ke suatu tempat. Biar kami mati kehausan atau kelaparan di sana. Ketika ucapan itu sampai kepada Rasulullah, beliau merasa iba pada keduanya. Kemudian mempersilahkan keduanya masuk. (HR. al-Hakim 4359. al-Hakim mengatakan hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim, walaupun ia tidak meriwayatkannya).

Setelah memeluk Islam, Abdullah bin Abi Umayyah memegang teguh ajaran Islam dengan baik. Imannya kokoh. Ia turut serta dalam Perang Hunain bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ia syahid di Perang Thaif. Wafat disaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ibnu Abdil Bar: al-Isti’ab 3/868, Ibnul Atsir: Asadul Ghabah 3/176, Ibnu Hajar al-Asqalani: al-Ishabah 4-12/10).

Luar biasa sekali lika-liku hidup Abdullah bin Abi Umayyah radhiallahu ‘anhu. Dari seseorang yang memusuhi Rasulullah dan Islam. Menantang Nabi memancarkan mata air dari bumi, baru ia mau memeluk Islam. Membuat Nabi sangat bersedih, karena menjadi sebab wafatnya paman beliau tanpa mengucapkan syahadat seperti yang beliau harapkan. Kemudian memeluk Islam dengan sungguh-sungguh. Dan akhirnya syahid di Perang Thaif. Segala puji bagi Allah Yang Maha membolak-balikkan hati manusia.

Demikianlah keutamaan Islam, ia menghapus dosa-dosa terdahulu. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amr bin al-Ash,

أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ

“Apakah engkau belum tahu bahwa sesungguhnya Islam itu menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya

?” (HR. Muslim).


Keislamannya pun baik sehingga Allah wafatkan ia dalam keadaan husnul khotimah.

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ رواه البخاري وغَيْرُهُ.

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. (HR. Bukhari dan selainnya).

Sebagaimana sosok Abu Jahal diperankan oleh person yang berbeda di setiap zaman dan tempat, demikian pula sosok Abdullah bin Abi Umayyah. Kisahnya juga terulang di kurun perjalanan kehidupan. Hanya saja pemerannya yang berbeda. Betapa banyak kita melihat seseorang, yang sebenarnya ia dekat dengan Islam dan iman. Tapi ada penghalang duniawi yang menutupinya dari cahaya Islam. Saat tabir penghalang itu hilang, ia menjadi seorang yang kuat imannnya. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan wafat dalam keadaan berjihad di jalan Allah.

Hanya saja, ketika orang ingkar kepada Allah, syariat-Nya, dan Rasul-Nya, dirinya sendiri dan orang lain tidak tahu, akhir hayatnya akan seperti Abu Jahal yang tetap dalam kekufuran atau seperti Abdullah bin Abi Umayyah yang mendapatkan husnul khotimah.

Inilah sosok kedua dalam peristiwa wafatnya Abu Thalib, yakni Abdullah bin Abi Umayyah.
Dalam peristiwa wafatnya Abu Thalib, ada empat tokoh besar yang duduk bertemu. Dua orang di antaranya telah kita uraikan di tulisan sebelumnya. Banyak pelajaran yang kita dapati dan kaji dari keduanya. Pelajaran yang bisa kita adaptasi dengan realita kekinian. Berikutnya, tokoh ketiga adalah paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib bin Abdul Muthalib.

Abu Thalib

Mungkin, penolakan Abu Jahal terhadap Islam membuat kita terheran. Bagaimana seorang yang dijuluki Abu al-Hakam, bapak kebijaksanaan, bisa menolak Islam dengan alasan gengsi kesukuan. Sebaliknya, kita juga takjub dengan Abdullah bin Abi Umayyah. Bagaimana lika-liku kehidupan yang ia alami hingga mengantarkannya pada hidayah dan syahid di akhir hayat. Tapi, kisah Abu Thalib akan membuat kita lebih terheran lagi. Bagaimana ia bisa menolak Islam?!

Begitu banyak jalan dan sebab yang memungkinkan Abu Thalib menerima Islam dan menjadi seorang mukmin. Ia seorang yang cerdas. Matanya menyaksikan, bagaimana wahyu turun pada anak saudaranya sejak hari pertama. Ia tahu dan yakin wahyu itu benar. Tak pernah ia dustakan keponakannya yang mengklaim diri sebagai nabi. Rasulullah sangat mencintainya. Demikian juga dia, keponakannya ini berada di tempat istimewa di hatinya. Ia laki-laki terhormat. Tokoh bani Hasyim yang turut berbangga, terlahir seorang nabi dari kabilahnya. Rasulullah berjanji membelanya di hari kiamat jika ia mengucapkan laa ilaaha illallaah. Tapi tak diindahkannya. Setelah semua itu, ia akhiri hayatnya dengan berpegang pada agama ayah dan kakek-kakeknya.

Abu Thalib sangat dekat dengan Nabi. Melebih kedekatan Nabi dengan dua orang sahabat istimewanya, Umar bin al-Khattab dan Utsman bin Affan. Tapi, demikianlah hidayah. Ia tak mengenal nasab dan kedudukan sosial. Dari sini kita bersyukur, Allah memilih kita menerima Islam. Nikmat terbesar yang tidak didapatkan oleh keluarga Nabi, paman beliau sendiri.

Fanatik Kesukuan (Ashobiyah)

Abu Thalib mengungkapkan alasan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengapa ia enggan mengucapkan kalimat tauhid.

لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ؛ يَقُولُونَ: إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ

“Sekiranya bukan karena cemoohan orang-orang Quraisy. Mereka akan mengatakan, ‘Dia mengucapkan itu karena jiwanya panik (takut)’. Pasti kuucapkan kalimat itu agar jiwamu tenang.”

Sebagai seorang tokoh bani Hasyim, Abu Thalib merasa berkewajiban menjaga wibawa kabilah. Ia tak ingin orang-orang menyangka tokoh kabilah bani Hasyim ketakutan di akhir hayat. Sehingga turunlah marwah kabilah.

Abu Thalib juga mencintai ayahnya, Abdul Muthalib, dan kakek-kakeknya, Hasyim, Abdu Manaf, dll. Cinta yang dibangun di atas fanatik kesyirikan. Cinta yang menutup hatinya dari cinta hakiki. Kecintaan yang menjadi hijab dari fitrahnya. Kalau dia beriman, sama saja telah memvonis ayah dan kakek-kakeknya berada dalam kesesatan. Sebab ini juga yang banyak menghalangi orang Arab menerima Islam.

Fanatik kesukuan (ashobiyah) sampai tingkat demikian, tidak dimiliki oleh ras manapun di dunia ini kecuali bangsa Arab. Allah Ta’ala menggambarkan bagaimana ashobiyah bangsa Arab:

﴿قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ﴾

Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. [Quran Al-A’raf:70].

Allah Ta’ala berfirman,

﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ﴾

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. [Quran Al-Baqarah:170].

Firman-Nya yang lain,

﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ﴾

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. [Quran Al-Maidah:104].

Dan firman-Nya juga,

﴿بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ * وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ * قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ﴾

Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya”. [Quran Az-Zukhruf: 22-24].

Seperti ini pula keadaan Abu Thalib.

Tampak bagi kita, Abu Thalib lebih mencintai ayahnya dibanding Allah. Dalam hatinya, membuat Abdul Muthalib senang walaupun ia sudah tiada itu lebih dikedepankan dibanding membuat Rasulullah yang masih hidup bahagia. Kemudian Allah ungkapkan isi hatinya melalui kata-kata terakhirnya itu. Ia menolak hidayah. Ia menzhalimi dirinya sendiri. Mengetahui kebenaran tapi menepisnya dan lebih memperturutkan hawa nafsunya.

Jasa Yang Terkubur Dosa

Tidak diragukan lagi, Abu Thalib memiliki jasa besar dalam dakwah Islam. Ia melindungi Rasulullah dan menghadang intimidasi pembesar-pembesar Mekah terhadap keponakannya itu. Rasulullah sangat mencintainya. Dan berharap agar sang paman memeluk Islam. Kita tidak memungkiri keutamaannya ini. Di sisi lain, kita juga tidak boleh berlebihan memujinya. Menyebutnya sebagai seorang muslim dan beriman. Ada dua hal yang harus kita perhatikan dalam menilai sosok Abu Thalib:

Pertama: Meskipun Abu Thalib memiliki jasa besar terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia mempraktikkan dosa yang paling besar. Yaitu dosa syirik. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:

سَأَلْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم أيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ؟ قَالَ: «أَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ»

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan untuk Allah, padahal Dia yang menciptakanmu.” “Aku pun berkata kepada beliau, ‘Jika demikian, hal ini benar-benar serius (besar)’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir, Surah al-Baqarah (4207) dan Muslim dalam Kitab al-Iman, Bab Kaunu asy-Syirki Aqbahu adz-Dzunub wa Bayanu A’zhamuha Ba’dahu (86)).

Allah Ta’ala berfirman,

﴿إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا﴾

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [Quran An-Nisa:48].

Dan firman-Nya,

﴿إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [Quran An-Nisa:116].

Dalil-dalil di atas menunjukkan betapa buruknya apa yang telah dilakukan Abu Thalib. Ia membawa mati sosa syirik. Dosa yang tidak diampuni apabila pelakunya mati dan tak sempat bertaubat. Demikianlah seriusnya keadaan seseorang yang mempraktikkan kesyirikan.

Memang, Abu Thalib punya andil menyebarkan dakwah di masa-masa sulit. Tapi ia juga memiliki kesahalan yang besar. Ia menolak tunduk kepada Allah Ta’ala. Dan malah menghambakan diri kepada Hubal, Latta, dan Uzza.

Kedua: Banyak nash-nash yang menjelaskan bahwa Abu Thalib adalah penghuni neraka. Dan Allah Ta’ala melarang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampunan untuknya. Ia telah divonis sebagai ash-habul jahim. Allah Ta’ala berfirman,

﴿مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ﴾

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” [Quran At-Taubah:113].

Al-Musayyib bin Hazn radhiallahu ‘anhu berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memahami realita bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan musyrik. Sehingga Allah melarang beliau memintakan ampunan untuknya. Setelah sebelumnya beliau berazam untuk memintakan ampunan. Sebgaimana sabda beliau,

«وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ»

“Demi Allah, pasti aku akan mohonkan untukmu ampunan selama aku tidak dilarang.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak lagi memohonkan ampun untuknya. Beliau hanya diizinkan memberikan syafaat. Sehingga Abu Thalib mendapatkan keringanan adzab di neraka. Allah Ta’ala adalah Maha Adil dan Bijaksana, tidak melupakan jasanya menolong Rasul-Nya dan dakwah sepanjang umurnya. Jadi, yang menyebabkan syafaat ini bukan kedekatan kerabat, akan tetapi jasanya terhadap dakwah.

Berikut ini riwayat-riwayat tentang syafaat terhadap Abu Thalib:

Dari al-Abbas bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟ قَالَ: «هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّا

“Apakah Anda tidak bisa menolong paman Anda? Karena dia selalu melindungi Anda dan marah karena Anda.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak neraka.” (HR. Ahmad 1774 dan Bukhari 3883).

Dari Abdullah bin al-Harits, ia berkata,

سمعتُ العباس رضي الله عنه، يقول: قلتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبَا طَالِبٍ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَنْصُرُكَ فَهَلْ نَفَعَهُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَجَدْتُهُ فِي غَمَرَاتٍ مِنَ النَّارِ، فَأَخْرَجْتُهُ إِلَى ضَحْضَاحٍ»

Aku mendengar al-Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, (Kata Abbas) Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Thalib dulu melindungi dan menolongmu, apakah hal itu bermanfaat untuknya?” Rasulullah menjawab, “Iya, aku melihatnya dalam kesengsaraan di neraka (paling bawah pen.). Kemudian aku keluarkan (atas izin Allah pen.) ke permukaan neraka.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman, Bab Syafaatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam li-Abi Thalib wa at-Takhfif ‘anhu bi Sababihi (209)).

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudry radhiallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang paman beliau. Beliau bersabda,

لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُجْعَلُ فِي ضَحضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ يَغْلِي مِنْهُ دِمَاغُهُ

“Semoga bermanfaat syafaatku untuknya pada hari kiamat. Dia ditempatkan di neraka yang paling atas. Yang api neraka mencapai mata kakinya, yang dengan itu otaknya mendidih.” (HR. Al-Bukhari no. 3885 dan 6564, Muslim no. 210; dan yang lainnya).

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbsada,

أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ، وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ

“Penduduk neraka yang paling ringan adzabnya adalah Abu Thalib. Yaitu dia memakai sandal yang membuat otaknya mendidih.” (HR. Muslim dalam Kitabul Iman, Bab Ahwanu Ahlun Nar Adzaban (212) dan Ahmad (2636)).

Tokoh keempat adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah ada artikel tersendiri yang membahas tentang beliau, berkaitan dengan peristiwa wafatnya Abu Thalib.

Penutup

Dari sini kita benar-benar sadar, betapa bahayanya syirik. Amal shaleh apapun tidak ada yang bisa menutupinya. Sampaipun amalan agung berupa menolong utusan Allah. Kita sadar, amalan yang bukan karena Allah tidak akan diterima. Seperti halnya Abu Thalib, ia menolong Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Niatnya bukan karena Allah; bukan karena mecintai agamanya, akidahnya, atau kenabiannya. Ia menolognnya lantaran sama-sama anak keturunan Hasyim. Kecintaannya kepada Nabi adalah cinta tabiat. Seperti cintanya seorang ayah kepada anak. Ia menolong Nabi semata-mata agar anaknya ini selamat dari luka dan derita. Dan inilah bentuk niat karena dunia. Ia tidak mendapat bagian apapun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

﴿مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا * وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا * كُلاًّ نُمِدُّ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا * انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا * لَا تَجْعَلْ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُومًا مَخْذُولًا﴾

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).” [Quran Al-Isra:18-22]
Oleh Nurfitri hadi (@nfhadi07)