Wednesday, April 5, 2017

Syaikh Bin Baz, Seorang Yang Zuhud, Kemuliaan Dan Hafalannya Luar Biasa.


Kisah ketika 3 Imam, Syekh Bin Baz, Syekh Al-Albani, dan Syekh Al-Utsaimin, bertemu dalam satu waktu. Perhatikan adab ulama yang sudah jarang kita lihat... 
dari Ceramah Syekh DR. Muhammad Hassan.

Begitu Sederhana, Hafalannya Luar Biasa

By: muhammad abduh
Syaikh Ibnu Baz adalah seorang yang sangat tidak perhatian dengan dunia sebagaimana yang bisa kita ketahui dari keadaan beliau. Terlebih jika kita tahu bahwa beliau itu tidak memiliki rumah!!!.
Dr Zahrani pernah berupaya untuk meminta izin kepada beliau untuk membeli rumah yang biasa beliau tempati jika berada di Mekah karena rumah tersebut biasanya cuma disewa. Komentar beliau,
“Palingkan pandanganmu dari topik ini. Sibukkan dirimu untuk mengurusi kepentingan kaum muslimin”.
Suatu ketika Raja Faishal berkunjung ke kota Madinah dan Syeikh Ibnu Baz ketika itu adalah rektor Universitas Islam Madinah. Ketika itu raja Faishal berkunjung ke rumah Syeikh Ibnu Baz. Saat itu raja Faishal berkata kepada beliau,
“Kami akan bangunkan rumah yang layak untukmu”.
Menanggapi hal tersebut, beliau hanya diam dan tidak berkomentar. Akhirnya rumah pun dibangun. Ketika panitia pembangunan mau membuat surat kepemilikan rumah atas nama Syeikh Ibnu Baz beliau berkata,
“Jangan. Buatlah surat kepemilikan rumah tersebut atas nama rektor Universitas Islam Madinah sehingga jika ada rektor baru penggantiku maka inilah rumah kediamannya”.
Syeikh Ibnu Baz itu memiliki daya ingat yang luar biasa. Jika kita bertemu dan mengucapkan salam kepada beliau dan kita pernah mengucapkan salam kepada beliau beberapa tahun sebelumnya maka beliau pasti masih mengenal kita.
Bahkan ada orang yang bercerita bahwa dia bertemu dan mengucapkan salam kepada Syeikh Ibnu Baz setelah lima belas tahun ternyata Syeikh Ibnu Baz masih ingat dengan namanya.
Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah kemampuan beliau untuk menghafal jilid dan halaman buku. Bahkan beliau bisa mengoreksi beberapa buku dengan bermodalkan hafalan beliau.
Syeikh Syinqithi, penulis Adhwa-ul Bayan, itu tergolong guru Syeikh Ibnu Baz. Beliau adalah seorang pakar dalam ilmu syar’i dengan kekuatan hafalan yang tidak tertandingi. Syeih Ibnu Baz sering menghadiri ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Syiekh Syinqithi. Beliau kagum dengan cepatnya Syeikh Syinqithi dalam penyampaiannya. Dalam salah satu kaset Syeikh Ibnu Baz mengungkapkan kekagumannya dengan mengatakan, “Maa syaallah. Maa syaallah”.
Satu hari Syeikh Syinqithi sejak usai shalat Shubuh sampai watu dhuha mencari-cari sebuah hadits yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir ada dalam sunan Abu Daud. Beliau bolak-balik kitab sunan Abu Daud namun beliau tidak kunjung mendapatkannya. Syeikh Syinqithi berkata,
“Aku tidak menyalahkan Ibnu Katsir namun aku belum mendapatkannya. Ketika aku sedang asyik mencari tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Aku lantas berdiri dan membuka pintu”.
Ternyata Syeikh Ibnu Baz yang datang bertamu. Ketika Ibnu Baz masih di depan pintu dan belum masuk ke dalam rumah, Syeikh Syinqithi berkata,
“Ya Syekh Abdul Aziz, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa hadits yang bunyinya demikian dan demikian itu ada di Sunan Abu Daud. Sejak usai shalat Shubuh kucari-cari hadits tersebut namun tidak kudapatkan. Di manakah hadits tersebut?”.
Syeikh Ibnu Baz berkata,
“Ada…ada di kitab ini halaman sekian”.
Syeikh Syinqithi,
“Sekarang silahkan masuk ya Syeikh”.
Syeikh Ibnu Baz memiliki daya ingat yang luar biasa. Ini disebabkan tentunya karunia Allah kemudian beliau adalah seorang yang tidak pernah lepas dari berdzikir. Lisan beliau selalu basah untuk berdzikir mengingat Allah. Beliau senantiasa berdzikir. Ini adalah sebuah realita yang bisa disaksikan oleh orang yang bertemu dengan beliau meski sejenak.
Syeih Ibnu Baz mulai mengisi kajian dan menyebaran ilmu sejak belia. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh sebuah majalah yang bernama al Majallah dengan Ibnu Baz terdapat dialog sebagai berikut.
Al Majallah, “Sungguh engkau adalah seorang hakim akan tetapi engkau mendapatkan popularitas yang luas berbagai dengan para hakim yang lain. Apa rahasianya?”
Jawaban beliau,
“Kami bertugas sebagai hakim. Setelah jam kerja berakhir kami mengisi berbagai kajian. Kami adakan berbagai kajian keislaman dan kami terus mengajar dan mengisi pengajian sehingga Allah jadian kami manusia yang bermanfaat bagi banyak orang”.
Beliau memang memiliki pandangan khas tentang tugas seorang hakim peradilan syariah. Beliau berpandangan bahwa seorang hakim tidak cukup dengan menjalankan tugasnya di pengadilan. Beliau mencela para hakim yang bersikap semacam itu.
Beliau pernah mengatakan,
“Jika seorang hakim hanya mencukupkan diri memutuskan sengketa tentang onta, keledai, sapi dan kambing atau semisalnya maka tidak ada kebaikan pada dirinya. Bahkan tugas hakim yang paling penting adalah amar makruf nahi munkar, berdakwah, memperbaiki lingkungan sekitarnya, mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin dan menghubungkan orang-orang yang memerlukan untuk dihubungkan”.
Ketika Ibnu Baz menjadi hakim di daerah Dalm, beliau memiliki kursi terbuat dari tanah di tengah-tengah pasar. Di situlah beliau memutuskan berbagai sengketa yang terjadi di antara kaum muslimin.

Rahasia-Rahasia Syaikh Bin Baaz

Salah seorang murid Syaikh ‘Ibn Utsaimin rahimahullah menceritakan kisah ini kepadaku. Dia berkata: “Pada salah satu kajian Syaikh Utsaimin rahimahullah di Masjidil Haram, salah seorang murid beliau bertanya tentang sebuah masalah yang didalamnya ada syubhat, beserta pendapat dari Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang masalah tersebut. Maka Syaikh Utsaimin menjawab pertanyaan penanya serta memuji Syaikh bin Baz rahimahullah. Di tengah-tengah mendengar kajian, tiba-tiba ada seorang lelaki dengan jarak kira-kira 30 orang dari arah sampingku kedua matanya mengalirkan air mata dengan deras, dan suara tangisannyapun keras hingga para muridpun mengetahuinya.

Di saat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah selesai dari kajian, dan majelis sudah sepi aku melihat kepada pemuda yang tadi menangis. Ternyata dia dalam keadaan sedih, dan bersamanya sebuah mushhaf. Akupun lebih mendekat hingga kemudian aku bertanya kepadanya setelah kuucapkan salam: “Bagaimana kabarmu wahai akhi, apa yang membuatmu menangis?”

Maka diapun menjawab dengan bahasa yang mengharukan: “Jazakallahu khairan.” Akupun mengulangi pertanyaanku sekali lagi: “Apa yang membuatmu menangis akhi?” Diapun menjawab dengan tekanan suara yang haru: “Tidak ada apa-apa, sungguh aku telah ingat Syaikh bin Baz, maka akupun menangis.” Kini menjadi jelas bagiku dari penuturannya bahwa dia dari Pakistan, sedang dia mengenakan pakaian orang Saudi.

Dia meneruskan keterangannya: “Dulu aku mempunyai sebuah kisah bersama Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu sepuluh tahun yang lalu aku bekerja sebagai satpam pada salah satu pabrik batu bata di kota Thaif. Suatu ketika datang sebuah surat dari Pakistan kepadaku yang menyatakan bahwa ibuku dalam keadaan kritis, yang mengharuskan operasi untuk penanaman sebuah ginjal. Biaya operasi tersebut membutuhkan tujuh ribu Riyal Saudi (kurang lebih 17,5 juta Rupiah). Jika tidak segera dilaksanakan operasi dalam seminggu, bisa jadi dia akan meninggal. Sedangkan beliau sudah berusia lanjut.

Saat itu, aku tidak memiliki uang kecuali seribu Riyal, dan aku tidak mendapati orang yang mau memberi atau meminjami uang. Maka akupun meminta kepada perusahaan untuk memberiku pinjaman, Mereka menolak, Aku menangis sepanjang hari. Dia adalah ibu yang telah merawatku dan tidak tidur karena aku.

Pada situasi yang genting tersebut, aku memutuskan untuk mencuri pada salah satu rumah yang bersebelahan dengan perusahaan pada jam dua malam. Beberapa saat setelah aku melompati pagar rumah, aku tidak merasa apa-apa kecuali para polisi tengah menangkap dan melemparkanku ke mobil mereka. Setelah itu duniapun terasa menjadi gelap.

Tiba-tiba, sebelum shalat subuh para polisi mengembalikanku ke rumah yang telah kucuri. Mereka memasukkanku ke sebuah ruangan kemudian pergi. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghidangkan makanan seraya berkata: “Makanlah, dengan membaca bismillah!” Aku pun tidak mempercayai apa yang tengah kualami. Saat adzan shalat subuh, mereka berkata kepadaku, “Wudhu’lah untuk shalat!” Saat itu rasa takut masih menyelimutiku. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang sudah lanjut usia dipapah salah seorang pemuda masuk menemuiku. Kemudian dia memegang tanganku dan mengucapkan salam kepadaku seraya berkata: “Apakah engkau sudah makan?” Akupun menjawab: “Ya, sudah.” Kemudian dia memegang tangan kananku dan membawaku ke masjid bersamanya. Kami shalat subuh. Setelah itu aku melihat lelaki tua yang memegang tanganku tadi duduk di atas kursi di bagian depan masjid, sementara jama’ah shalat dan banyak murid mengitarinya. Kemudian syaikh tersebut memulai berbicara menyampaikan sebuah kajian kepada mereka. Maka akupun meletakkan tanganku di atas kepalaku karena malu dan takut.

Ya, Alloh, apa yang telah aku lakukan? Aku telah mencuri di rumah Syaikh bin Baz rahimahullah. Sebelumnya aku telah mendengar nama beliau, dan beliau telah terkenal di negeri kami, Pakistan.

Setelah Syaikh bin Baz selesai dari kajian, mereka membawaku ke rumah sekali lagi. Syaikh pun memegang tanganku, dan kami sarapan pagi dengan dihadiri oleh banyak pemuda. Syaikh mendudukanku di sisi beliau. Di tengah makan beliau bertanya kepadaku: “Siapakah namamu?” Kujawab: “Murtadho.” Beliau bertanya lagi: “Mengapa engkau mencuri?” Maka aku ceritakan kisah ibuku. Beliau berkata: “Baik, kami akan memberimu 9000 Riyal.” Aku berkata kepada beliau: “Yang dibutuhkan Cuma 7000 Riyal.” Beliau menjawab: “Sisanya untukmu, tetapi jangan lagi mencuri wahai anakku.”

Aku mengambil uang tersebut, dan berterima kasih kepada beliau dan berdoa untuk beliau. Aku pergi ke Pakistan, lalu melakukan operasi untuk ibuku. Alhamdulillah, beliau sembuh. Lima bulan setelah itu, aku kembali ke Saudi, dan langsung mencari keberadaan Syaikh bin Baz rahimahullah. Aku pergi rumah beliau. Aku mengenali beliau dan beliaupun mengenali aku. Kemudian beliaupun bertanya tentang ibuku. Aku berikan 1500 Riyal kepada beliau, dan beliau bertanya, “Apa ini?” Kujawab: “Itu sisanya.” Maka beliau berkata: “Ini untukmu.” Kukatakan: “Wahai Syaikh, saya memiliki permohonan kepada anda.” Maka beliau menjawba: “Apa itu wahai anakku?” Kujawab: “Aku ingin bekerja pada anda sebagai pembantu atau apa saja, aku berharap dari anda wahai Syaikh, janganlah menolak permohonan saya, mudah-mudahan Alloh menjaga anda.” Maka beliau menjawab: “Baiklah.” Akupun bekerja di rumah Syaikh hingga wafat beliau.

Selang beberapa waktu dari pekerjaanku di rumah Syaikh, salah seorang pemuda yang mulazamah kepada beliau memberitahuku tentang kisahku ketika aku melompat ke rumah beliau hendak mencuri di rumah Syaikh. Dia berkata: “Sesungguhnya ketika engkau melompat ke dalam rumah, Syaikh bin Baz saat itu sedang shalat malam, dan beliau mendengar sebuah suara di luar rumah. Maka beliau menekan bel yang beliau gunakan untuk membangunkan keluarga untuk shalat fardhu saja. Maka mereka terbangun semua sebelum waktunya. Mereka merasa heran dengan hal ini. Maka beliau memberitahu bahwa beliau telah mendengar sebuah suara. Kemudian mereka memberi tahu salah seorang menjaga keamanan, lalu dia menghubungi polisi. Mereka datang dengan segera dan menangkapmu. Tatkala Syaikh mengetahui hal ini, beliau bertanya: “Kabar apa?” Mereka menjawab: “Seorang pencuri berusaha masuk, mereka sudah menangkap dan membawanya ke kepolisian.” Maka Syaikhpun berkata sambil marah: “Tidak, tidak, hadirkan dia sekarang dari kepolisian, dia tidak akan mencuri kecuali dia orang yang membutuhkan.”

Maka di sinilah kisah tersebut berakhir. Aku katakan kepada pemuda tersebut: “Sungguh matahari sudah terbit, seluruh umat ini terasa berat, dan menangisi perpisahan dengan beliau. Berdirilah sekarang, marilah kita shalat dua rakaat dan berdoa untuk Syaikh rahimahullah.

Mudah-mudahan Alloh merahmati Syaikh bin Baz dan Ibnu Utsaimin dan menempatkan keduanya di keluasan surga-Nya. Amiin.

[Di kutip dari Majalah Qiblati edisi 02 tahun III (11-2007M / 10-1428H)]

Barangkali inilah salah satu kisah pengamalan hadits di atas oleh sebuah pemerintahan Islam dan seorang ulama besar di abad ini yang pernah menjadi mufti (semacam ketua MUI) di negara tersebut. Ali bin Abdullah Ad-Darbi menceritakan:

“Ada satu kisah yang sangat berkesan bagiku, pernah suatu saat berangkatlah empat orang dari salah satu lembaga sosial di Kerajaan Saudi Arabia ke pedalaman Afrika untuk mengantarkan bantuan dari pemerintah negeri yang penuh kebaikan ini, Kerajaan Saudi Arabia.

Setelah berjalan kaki selama empat jam dan merasa capek, mereka melewati seorang wanita tua yang tinggal di sebuah kemah dan mengucapkan salam kepadanya, lalu memberinya sebagian bantuan yang mereka bawa.

Maka berkatalah sang wanita tua, “Dari mana asal kalian?”

Mereka menjawab, “Kami dari Kerajaan Saudi Arabia”.

Wanita tua itu lalu berkata, “Sampaikan salamku kepada Syaikh Bin Baz”.

Mereka berkata, “Semoga Allah merahmatimu, bagaimana Syaikh Bin Baz tahu tentang Anda di tempat terpencil seperti ini?”

Wanita tua menjawab, “Demi Allah, Syaikh Bin Baz mengirimkan untukku 1000 Riyal setiap bulan, setelah aku mengirimkan kepadanya surat permohonan bantuan, setelah aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.”
(Koran Al-Madinah, no. 13182)

Mengenal Lebih Dekat Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Ditulis oleh:  Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Akidah (Prinsip Keyakinan) Beliau

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah adalah seorang yang berakidah lurus. Akidah beliau tegak di atas al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta bimbingan generasi terbaik umat ini (as-salafush shalih). Di antara akidah yang mulia itu adalah sebagai berikut:

1. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam, Maha Esa (tunggal) dan Mahakuasa. Tiada yang berhak diibadahi selain Dia semata. Dialah satu-satunya tempat bergantung. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada sesuatu pun yang sebanding dengan- Nya. Barang siapa mempersembahkan sebuah ibadah kepada selain-Nya, ia telah musyrik dan kafir.

2. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang mulia bagi Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang terdapat dalam al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua nama Allah Subhanahu wa ta’ala mengandung sifat yang dikandung oleh nama itu. Demikian pula semua sifat Allah Subhanahu wa ta’ala menunjukkan makna zahir (yang tampak) yang dikandungnya tanpa dipalingkan dari makna zahirnya (takwil), atau dianalogikan dengan sesuatu (takyif). Semua itu dinilai sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala, tanpa menyerupakannya sedikit pun dengan makhluk-Nya.

3. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas Arsy-Nya, dan terpisah dengan makhluk sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Dia berbicara dengan sifat bicara yang azali (tidak berawal) dan berbicara kapan saja sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana akidah salaf.

4. Meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah Subhanahu wa ta’ala) bukan makhluk. Dari Allah-lah Subhanahu wa ta’ala al-Qur’an itu berasal dan kepada-Nya ia kembali. Barang siapa meyakini bahwa al-Qur’an itu makhluk, ia telah kafir dan keluar dari Islam.

5. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mempunyai sifat cinta dan ridha, suka dan tidak suka, menghidupkan dan mematikan, marah dan senang, turun setiap malam ke langit dunia dengan sifat turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan makhluk-Nya.

6. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala dapat dilihat oleh orang-orang yang beriman pada hari kiamat dengan pandangan mata mereka, sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits sahih.

7. Meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba Allah Subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya yang diutus kepada seluruh manusia dan jin (tsaqalain). Risalah Islam telah beliau sampaikan seutuhnya, amanat pun telah beliau tunaikan dengan sebaik-baiknya.

8. Meyakini bahwa para malaikat benar adanya, kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul pilihan benar adanya, para nabi dan rasul benar adanya, hari kebangkitan setelah kematian benar adanya, surga dan neraka benar adanya, timbangan amal di hari kiamat benar adanya, dan telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di hari kiamat benar adanya.

9. Meyakini bahwa syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para nabi, dan orang-orang saleh di hari kiamat benar adanya. Namun, semua itu bergantung pada izin Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap yang memberi syafaat dan keridhaan-Nya kepada yang diberi syafaat.

10. Meyakini bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

11. Meyakini bahwa sejelek-jelek perkara dalam agama ini adalah yang diada-adakan (tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam). Setiap perkara dalam agama ini yang diada-adakan (tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka.

12. Meyakini bahwa iman adalah keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

13. Meyakini bahwa takdir Allah Subhanahu wa ta’ala yang baik ataupun yang buruk benar adanya.

14. Meyakini bahwa shalat, zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan haji bagi yang mampu ialah bagian dari rukun Islam yang melengkapi dua kalimat syahadat. Semua itu harus diimani dan diamalkan sesuai dengan bimbingan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.

15.Tidak boleh mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin kecuali jika melakukan salah satu dari pembatal keislaman. Adapun pelaku dosa besar di bawah dosa syirik, seperti zina, mencuri, memakan harta riba, meminum minuman keras, durhaka kepada kedua orang tua, dll, tidaklah dikafirkan selama tidak menghalalkan kemaksiatan tersebut. Jika meninggal dunia dan belum bertobat dari dosanya, dia di bawah kehendak (masyi’ah) Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika AllahSubhanahu wa ta’ala berkehendak untuk mengampuninya— secara langsung—, ia akan mendapatkan ampunan dan masuk ke dalam surga tanpa disiksa; dan jika Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak untuk menyiksanya, dia akan disiksa terlebih dahulu, namun tempat kembalinya adalah surga. Tidak seperti Khawarij yang mengkafirkannya, dan tidak pula seperti Murji’ah yang meyakini bahwa pelaku dosa besar—di bawah dosa syirik itu—adalah mukmin yang sempurna keimanannya.

16. Wajib menaati pemerintah kaum muslimin yang adil atau yang jahat sekalipun, selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika memerintahkan kepada kemaksiatan, pemerintah tidak boleh ditaati (dalam urusan tersebut) namun masih wajib ditaati dalam hal lain yang bukan kemaksiatan. Disyariatkan jihad bersamanya, walaupun dia seorang yang jahat. Boleh menyalurkan harta sedekah kepadanya (untuk dibagikan kepada yang berhak). Demikian pula, boleh shalat Jum’at dan shalat berjamaah di belakangnya, tanpa harus mengulanginya. Barang siapa mengulanginya, dia tergolong mubtadi’ (pelaku bid’ah).

17. Tidak boleh memberontak kepada penguasa kaum muslimin walaupun dia seorang yang jahat. Berbeda halnya dengan prinsip sesat Khawarij yang mengafirkannya dan mewajibkan memberontak kepadanya. Berbeda pula halnya dengan prinsip sesat Mu’tazilah yang mewajibkan memberontak, walaupun tidak mengafirkannya. Barang siapa memberontak, dia telah menghancurkan tongkat kesatuan kaum muslimin.

18. Seseorang yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa ta’ala maka tidak keluar dari empat keadaan:

a. Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

b. Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

c. Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama, tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.

d. Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa ta’ala tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum

dengan selainnya. Tetapi, dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia mengerjakannya karena perintah dari atasan, maka dia kafir dengan kekafiran kecil yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar.

19. Wajibnya menjaga hati dan lisan dari membenci, mencela, atau melecehkan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, mereka adalah generasi terbaik umat ini, bahkan manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Barang siapa membenci, mencela, atau melecehkan salah seorang dari mereka, dia adalah mubtadi’, hingga benar-benar bertobat dan mendoakan kebaikan untuk sahabat tersebut.

20. Sahabat terbaik adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian yang tersisa dari sepuluh orang yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penduduk jannah (yaitu Sa’d bin Abi Waqqash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, Zubair bin al-Awwam, dan Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail), kemudian para sahabat lainnya.

21. Menahan hati dan lisan terhadap perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan meyakini bahwa pihak yang benar mendapatkan dua pahala dan pihak yang salah mendapatkan satu pahala. Sebab, mereka semua adalah ahli ijtihad (orang-orang yang berhak berijtihad dalam urusan agama dan umat).

22. Mencintai semua ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang beriman, baik dari generasi sahabat maupun yang setelah mereka. Selain itu juga memuliakan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka adalah para ibu kaum mukminin (ummahatul mukminin) dan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam). Berbeda halnya dengan kelompok Syi’ah yang membenci, bahkan mengafirkan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ummahatul mukminin, di sisi lain memuliakan ahlul bait (orangorang tertentu yang mereka kehendaki) dan berlebihan memuliakan mereka. Tidak pula seperti kelompok Nawashib yang beragama dengan menyakiti ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) baik dengan perkataan maupun perbuatan. (Lihat Situs Resmi asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz seputar akidah beliau dan berbagai kitab, risalah, ta’liq, atau fatwa tentang akidah yang terdapat dalam Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz)

Akhlak dan Perangai Beliau

Asy-Abdul Aziz bin Baz rahimahullah kesohor akan akhlak dan perangainya yang mulia. Pertemuan dengan beliau selalu menghadirkan pesan dan meninggalkan kesan. Hal itu karena banyaknya akhlak dan perangai mulia yang terkumpul pada diri beliau. Suatu keistimewaan yang sulit didapati pada diri seorang ulama di zaman ini. Di antara akhlak dan perangai beliau yang mulia itu adalah:

1. Ikhlas dalam beramal karena Allah Subhanahu wa ta’ala.

2. Sangat tawadhu’ (rendah hati), walaupun berkedudukan mulia dan berilmu tinggi.

3. Berpikiran jernih.

4. Tegar, tabah, dan mempunyai etos kerja yang tinggi hingga di usianya yang lanjut.

5. Berbudi pekerti luhur dan penuh pengertian.

6. Dermawan dalam segala hal yang dimiliki; harta, waktu, kesempatan, ilmu, kebaikan, mediator untuk kebaikan, kemurahan, dll.

7. Berkepribadian tenang dan mempunyai daya ingat yang kuat.

8. Stabil dalam hal semangat dan kemauan, tidak goyah dengan berbagai perubahan situasi dan kondisi.

9. Adil dalam memberikan keputusan.

10. Teguh di atas kebenaran dan tidak takut terhadap celaan orang yang mencela.

11. Berwawasan luas, berpandangan jauh, dan selalu mengikuti berbagai perkembangan peristiwa di dunia internasional.

12. Keyakinan yang kuat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

13. Zuhud terhadap dunia; harta, pangkat, kedudukan, pujian, dll.

14. Semangat yang tinggi dalam merealisasikan Sunnah (bimbingan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

15. Berjiwa sabar.

16. Murah senyum dan selalu tampak ceria.

17. Sangat menjaga adab dalam berbicara, bermajelis, dll.

18. Setia terhadap guru, kawan, dan orang yang beliau kenal.

19. Menjalin hubungan silaturahmi dengan segenap keluarga.

20. Memerhatikan hak-hak tetangga.

21. Bertutur kata mulia.

22. Jauh dari sikap bangga diri, merendahkan orang lain, atau mencela makanan.

23. Tidak menerima berita kecuali dari orang yang dapat dipercaya.

24. Selalu berbaik sangka terhadap orang lain.

25. Sedikit bicara dan banyak diam.

26. Banyak berzikir dan berdoa.

27. Tidak mengangkat suara ketika tertawa.

28. Sering menangis ketika mendengar bacaan al-Qur’an, dibacakan kepada beliau sejarah para ulama, atau hal-hal yang berkaitan dengan keagungan al-Qur’an dan as-Sunnah.

29. Menerima hadiah dari orang lain dan berusaha untuk membalasnya.

30. Mencintai orang-orang miskin, dekat dengan mereka, dan kerap kali makan bersama-sama mereka.

31. Sangat menjaga efesiensi waktu.

32. Selalu bersemangat mengajak orang lain kepada kebaikan.

33. Jauh dari sifat iri/dengki kepada orang yang mendapatkan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

34. Membalas kejelekan dengan kebaikan.

35. Tidak berlebihan dalam hal menu makanan dan minuman.

36. Memerhatikan janji dan selalu menjaganya.

37. Penuh harap, jauh dari sifat putus asa.

Sepenggal Kisah Cerminan Akhlak Beliau

• Kira-kira 30 tahun sebelum wafat, beliau pernah mendatangi sebuah masjid untuk menyampaikan ceramah. Alas masjid tersebut menggunakan tikar, sedangkan khusus untuk beliau disediakan alas berupa sajadah (permadani). Ketika beliau merasa bahwa alas beliau berbeda dengan keumuman alas di masjid tersebut, digulunglah sajadah itu oleh beliau. Hal itu karena karakter beliau yang tidak suka diistimewakan atas orang lain.

• Pada suatu hari ada seorang pemuda yang menghubungi beliau via telepon seraya berkata, “Wahai Samahatusy Syaikh, umat Islam sangat membutuhkan para ulama yang mempunyai kemampuan berfatwa (mufti). Untuk itu saya mengusulkan kepada Anda agar menempatkan seorang mufti di setiap kota.” Beliau berkata, “Masya Allah, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memperbaikimu. Berapa umurmu?” Pemuda itu menjawab, “13 tahun.” Beliau pun berkata, “Ini usulan yang bagus, berhak untuk mendapat perhatian.” Kemudian beliau menyuruh sang sekretaris pribadi untuk menulis surat kepada penanggung jawab di Hai’ah Kibar Ulama yang isinya, “Amma ba’du, ada masukan dari seorang penasihat bahwa sudah saatnya ada seorang mufti di setiap kota. Kami memandang, usulan ini perlu diteruskan ke al-Lajnah ad- Daimah (Komite Tetap Fatwa) agar bisa kita diskusikan.”

• Ketika asy-Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin al-Hilali rahimahullah menulis bait-bait syair yang secara berlebihan memuji beliau dan dimuat di Majalah al-Jami’ah as-Salafiyyah India edisi

09/Sya’ban 1397 H, beliau mengirim surat kepada redaksi majalah tersebut, menyampaikan ketidakrelaan beliau terhadap pujian itu dan meminta redaksi memuat ketidakrelaan beliau itu pada edisi berikutnya.

• Pada musim haji tahun 1418 H, saat beliau duduk di sebuah mushalla di Padang Arafah dan dikitari oleh ratusan orang, dihidangkanlah di hadapan beliau buah-buahan yang sudah dipotongpotong. Mengingat, kebiasaan beliau di hari-hari itu (mayoritasnya) tidak makan

selain buah-buahan, kurma, dan yoghurt. Ketika buah-buahan telah terhidang di hadapan beliau, beliau pun bertanya, “Apakah semua yang hadir di sini juga mendapatkan hidangan seperti ini?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau marah seraya berkata, “Jauhkanlah hidangan ini!”

• Suatu hari (30 tahun sebelum wafat) beliau hendak menjual rumah karena utang yang menumpuk. Hal ini tercium oleh salah seorang pejabat kerajaan dan dia pun segera mengirimkan uang kepada beliau. Sang pejabat berkata, “Telah sampai kepada saya berita bahwa Anda hendak menjual rumah karena kesempitan yang sedang mengimpit. Sungguh, berita itu membuat saya gelisah, kumohon Anda berkenan menerima hadiah dari saya ini3 dan izinkan saya untuk menyampaikan hal ini kepada Raja.” Beliau balas ucapan pejabat itu dengan banyak-banyak terima kasih dan doa kebaikan untuknya lalu berkata, “Berita yang sampai kepada Anda itu benar, karena banyaknya tamu yang berdatangan dan orang-orang yang membutuhkan bantuan baik di kota Riyadh maupun di kota Madinah, namun saya tidak ingin hal ini sampai kepada Raja.”

• Asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Aziz bin Baz berkata, “Aku adalah salah seorang putra Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Aku dilahirkan saat ayahku telah berusia di atas 60 tahun. Usia beliau yang sudah lanjut itu, ditambah dengan aktivitas kantor, dakwah, dan fatwa yang sangat padat tidaklah menjadi penghalang bagi beliau untuk menjadi seorang ayah bagiku dan saudara-saudaraku, bahkan untuk umat Islam. Beliau sangat memerhatikan kami selaku anak. Layaknya seorang ayah terhadap anaknya, beliau mencurahkan segenap kasih sayang, pengawasan, nasihat, bimbingan, arahan, bahkan dakwah. Dengan segala cara beliau berupaya untuk menjadi seorang ayah yang dekat dengan anak-anaknya di tengah kesibukan beliau yang sangat padat.” Untuk melengkapi berbagai kisah cerminan akhlak beliau yang mulia, silakan membaca rubrik “Akhlak” dan “Manhaji” pada edisi ini.

Agenda Harian Beliau

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mempunyai agenda harian yang sangat ketat dan bagus. Dengan taufik dari Allah Subhanahu wa ta’ala, kemudian berkat agenda harian yang tertata itulah berbagai amanat yang berada di pundak beliau dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Berikut ini agenda harian beliau, semoga menjadi teladan bagi kita semua.

1. Beliau bangun pagi kurang lebih 1 jam sebelum shubuh. Kemudian shalat tahajjud 11 rakaat dengan khusyu’ dan rendah diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau pun banyak berdoa, di antaranya mendoakan umat Islam dan kebaikan para penguasa mereka, berzikir, membaca al-Qur’an, dan beristighfar.

2. Setelah azan subuh (terkadang sebelumnya), beliau pergi ke masjid dengan tenang dan penuh penghambaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan membaca doa keluar rumah (dan doa menuju masjid, -pen.) sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesampainya di masjid, beliau masuk dengan mendahulukan kaki kanan seraya membaca doa masuk masjid dan shalat sunnah qabliyah. Beliau kemudian memperbanyak doa hingga iqamat. Setelah itu, beliau menunaikan shalat shubuh berjamaah. Selepas shalat, beliau membaca zikir-zikir yang khusus dibaca setelah shalat, kemudian membaca wirid-wirid doa dan zikir yang dituntunkan untuk dibaca di setiap pagi.

3. Setelah dirasa cukup membaca wirid-wirid pagi, beliau memulai taklim (kajian) rutin di masjid tersebut dari beberapa kitab yang dibacakan kepada beliau. Taklim (kajian) rutin itu menghabiskan waktu sekitar 3 jam, bahkan terkadang lebih. Setelah itu, beliau menjawab berbagai pertanyaan agama yang diajukan kepada beliau dengan penuh perhatian dan ketelitian, kemudian pulang ke rumah. Jika berhalangan

3 Permohonan tersebut disampaikan oleh sang pejabat karena asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dikenal tidak mudah menerima bantuan. Dia khawatir jika bantuannya itu ditolak. mengajar, beliau langsung pulang ke rumah seusai membaca wirid doa dan zikir pagi.

4. Beliau duduk di rumah sekitar dua jam. Beliau manfaatkan kesempatan itu untuk menjawab berbagai persoalan yang membutuhkan jawaban dari beliau, atau dibacakan kepada beliau beberapa kitab dan karya ilmiah. Setelah itu beliau masuk ke bagian dalam rumah guna beristirahat. Tepat pukul 08.00 pagi, beliau keluar dari tempat peristirahatan dan bersiap-siap untuk makan pagi. Setelah makan pagi, beliau berwudhu lalu shalat dua rakaat, kemudian berangkat ke kantor dengan tenang dan kemauan yang kuat. Begitu naik mobil, diajukan kepada beliau beberapa persoalan yang membutuhkan jawaban dari beliau, atau dibacakan kepada beliau beberapa kitab. Setibanya di kantor, beliau turun dari mobil dan berjalan kaki menuju ruangan pribadi beliau. Berbagai tulisan dan persoalan pun diajukan kepada beliau hingga memasuki ruangan tersebut.

5. Di ruangan pribadi tersebut, beliau mengerjakan berbagai tugas harian yang berat dengan penuh semangat, seperti menyelesaikan berbagai kasus dan persoalan yang diajukan kepada beliau, menyambut para delegasi/tamu, mengeluarkan fatwa terkait pertanyaanpertanyaan yang berdatangan dari para penanya, melayani para pengunjung yang sedang mengalami kasus talak, dan sebagainya. Hal ini berlangsung hingga pukul 14.30 siang atau lebih sedikit. Dengan demikian, seringkali beliau menjadi orang yang terakhir keluar dari kantor. Setelah itu beliau pulang ke rumah.

6. Dalam perjalanan menuju rumah (di atas mobil), diajukan kembali kepada beliau berbagai persoalan, atau dibacakan kitab. Jika tidak ada yang membacakan, beliau manfaatkan untuk berzikir dan membaca al-Qur’an. Dalam kesempatan itu pula terkadang beliau manfaatkan untuk mendengarkan siaran berita radio pukul 14.30.

7. Setiba di rumah, beliau langsung disambut oleh banyak orang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai keperluan dengan beliau. Ada yang meminta fatwa, ada yang sekadar mengucapkan salam, ada yang mempunyai kasus talak, ada yang meminta bantuan, orang fakir, pejabat, dan pengunjung dari daerah yang dekat ataupun jauh. Beliau ucapkan salam kepada mereka, kemudian mempersilakan para tamu tersebut untuk menyantap hidangan makan siang yang telah disediakan di rumah beliau. Beliau makan siang sembari berbincang dengan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan menjawab berbagai pertanyaan mereka.

Setelah dirasa cukup, beliau berhenti dan masih menemani mereka beberapa saat agar mereka tidak terburu-buru menyelesaikan makan. Kemudian beliau berdiri untuk mencuci tangan seraya mengatakan, “Tidak usah terburu-buru, masing-masing hendaknya melanjutkan makannya.” Ketika beliau berdiri menuju tempat cuci tangan, mulailah diajukan berbagai pertanyaan kepada beliau. Setelah mencuci tangan, beliau kembali ke tempat yang semula. Jika waktu agak sempit dan masuk waktu ashar, maka beliau mengambil air wudhu, menjawab azan lalu berangkat ke masjid. Namun, jika masih tersisa banyak waktu, beliau

meluangkan waktu untuk duduk-duduk bersama para tamu sambil minum teh dan memakai minyak wangi, kemudian masuk ke dalam rumah sejenak. Beliau keluar saat dikumandangkan azan ashar guna berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat ashar.

8. Seusai shalat ashar, imam masjid membacakan beberapa poin dari kitab Riyadhush Shalihin, al-Wabilush Shayyib, atau Kitabut Tauhid, atau yang lainnya, lalu beliau menerangkannya kepada para jamaah. Berikutnya, beliau menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan di majelis tersebut. Kemudian beliau pulang ke rumah untuk beristirahat. Dalam perjalanan menuju rumah pun, beliau masih menjawab banyak pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang berjalan mengiringi beliau.

9. Menjelang maghrib, beliau mengambil air wudhu lalu pergi ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Seusai shalat, beliau pulang ke rumah dan melakukan shalat ba’diyah maghrib. Kemudian beliau duduk bersama orangorang yang mengunjungi beliau dengan problemnya masing-masing. Hal itu jika tidak ada jadwal mengajar atau memberikan catatan penting dalam acara seminar.

10. Saat azan isya dikumandangkan, beliau menjawabnya, lalu beranjak menuju masjid untuk menunaikan shalat isya. Ketika tiba di masjid, beliau menunaikan shalat tahiyatul masjid. Seusai shalat sunnah tersebut, imam masjid segera membacakan beberapa hadits untuk diterangkan kepada para jamaah oleh beliau. Setelah itu beliau menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Kemudian ditnuaikanlah shalat isya.

11. Seusai shalat isya, jika tidak ada janji di luar rumah, ceramah, undangan khusus, undangan walimah nikah, mengunjungi orang sakit, atau agenda yang semisalnya, beliau langsung pulang ke rumah. Beliau manfaatkan waktu tersebut untuk membaca beberapa persoalan yang membutuhkan solusi, atau memuraja’ah beberapa kitab. Terkadang ada acara rapat di rumah beliau, terkadang pula kedatangan para tamu, atau ada rekaman untuk siaran radio, atau ceramah via telepon untuk kaum muslimin di luar negeri.

12. Setelah itu, beliau makan malam bersama para tamu, para pegawai di kantor pribadi (di rumah) beliau, dan siapa saja yang hadir saat itu. Selepas makan malam, beliau melanjutkan pekerjaan yang dilakukan sebelum makan malam, atau melanjutkan perbincangan dengan para tamu beliau, atau duduk untuk membaca beberapa kitab, atau menyelesaikan beberapa persoalan yang membutuhkan solusi dari beliau hingga larut malam. Terkadang hingga pukul 23.00 atau pukul 24.00 malam. Kemudian beliau masuk ke bagian dalam rumah, lalu berjalan-jalan sekitar 30 menit, setelah itu beranjak tidur. Demikianlah agenda harian asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang penuh ilmu, hikmah, derma, dan berbagai kegiatan bermanfaat lainnya. Semoga menjadi teladan dan pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.

Sumber Bacaan:

• Majmu’ Fatawa Ibn Baz, program al-Maktabah asy-Syamilah.

• Asy-Abdul Aziz bin Baz Namudzaj Minar Ra’ilil Awwal, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, program al- Maktabah asy-Syamilah.

• Al-Mauqi’ ar-Rasmi lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz (Situs Resmi asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz)

• Durus lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz, program al-Maktabah asy-Syamilah.
Sumber : Makalah Asy Syariah


Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Ijazah hadits beliau dari guru-gurunya diungkap dalam kitab “Silsilah Mualafat wa Rasail Samahat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz no. 57”. Dari kitab ini, diketahui bahwa beliau memiliki sedikitnya dua guru dalam ijazah ammah, yaitu:

New Picture (12)

Pertama, dari Syaikh al-Muhadits Haramain Abdul Haq bin Abdul Wahid al-Hasyimi al-Umari al-Hindi[1] (w. 1392 H), pengajar di Masjidil Harom dan Darul Hadits Khairiyah Mekkah asal India, ayah kepada al-Muhadits Abu Thurab adz-Dzahiri dan al-Musnid Abdul Wakil al-Hasyimi. Al-Hasyimi bukanlah nisbah kepada Bani Hasyim melainkan kepada salah satu leluhurnya yang bernama Hasyim, adapun nasab beliau tersambung kepada Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu atau dikenal dengan al-Umari.

Syaikh Abdul Haq memberi Syaikh Bin Baz ijazah ammah untuk semua yang sah diriwayatkan darinya dengan ijazah tertulis yang lumayan panjang, sebelumnya sempat Syaikh Bin Baz membacakan beberapa hadits kepada gurunya ini. Syaikh Abdul Haq memiliki tsabat yang disebut Tsabat al-Kabir[2], dan apa yang dituliskan kepada Syaikh Bin Baz adalah ringkasan dari Tsabatnya tersebut. Disana disebutkan nama-nama gurunya dan sejumlah pendengaran dan bacaannnya kepada mereka, seperti kepada Syaikh Ahmad bin Abdullah al-Baghdadi, Syaikh Abu Wafa’ al-Amritsari, Syaikh Abu Sa’id Husein al-Batalwi dan lainnya banyak sekali.

New Picture (13)

Photo : Ijazah Syaikh Bin Baaz dari Syaikh Abdul Haq al-Hasyimi

New Picture (14)

Kedua, Syaikh al-Allamah al-Mufti Muhammad Syafi’ bin Muhammad Yasin al-Utsmani al-Hindi (1314-1397 H), Mufti Pakistan, diantara murid dari Syaikh Anwar Syah al-Kasymiri penulis Faidhul Baari dan juga bapak dari mufti Pakistan saat ini, mujiz kami Syaikh Muhammad Rafi’ Utsmani. Syaikh Bin Baaz meminta beliau mengijazahinya ammah, dan beliau mengabulkannya permintaan itu.

Syaikh Muhammad Syafi Utsmani ini memiliki ahlak yang tinggi lebih mengikuti dalil dan tidak ta’ashub kepada mazhab hanafi, dimana kebanyakan ulama di negerinya bermazhab hanafi. Beliau berkata tentang Syaikh Bin Baaz rahimahullahu, “Beliau ‘alim jayyid, mukhlis, sangat menguasai berbagai macam ilmu”.

Dalam ijazahnya beliau berkata:

“Aku meriwayatkan Shahih Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhori dari hafizh zamannya Syaikh al-‘Ajl as-Sayyid Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri, dibacakan kepadanya sedangkan saya mendengarnya. Beliau meriwayatkan dari Syaikh al-Hind Maulana Mahmud Hasan … dan seterusnya“.

New Picture (15)

Photo : Ijazah Syaikh Bin Baaz dari Syaikh Muhammad Syafi’

Selain dengan kedua Syaikh diatas, Syaikh Bin Baz dikenal berguru kepada Mufti Saudi sebelumnya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, juga kepada Syaikh Sa’ad bin Atiq dan Syaikh Hamad bin Faris. Beliau membacakan kepada mereka beberapa kitab, terutama kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Namun tidak diketahui apakah beliau mendapatkan ijazah ammah dari mereka atau tidak. Ijazah ammah ini berguna ketika kita meriwayatkan apa-apa yang tidak melalui penyema’an atau pembacaan, atau apa-apa yang kurang dari keduanya. Seperti yang dinukilkan oleh Abu Bakar Ibnu Khair Al-Isybily di mukaddimah kitab “Fihrisit”nya halaman 15-16 ,”Ketahuilah oleh kalian semua rahimakumulloh bahwa ijazah adalah perkara yang mendesak dalam periwayatan yang dengannya sesuatu menjadi sempurna, jika tidak maka dia adalah sesuatu yang kurang, dan kekurangannya itu suatu kemestian. Telah mengkabarkan kepada kami Abu Muhammad Ibnu ‘Itaab dari bapaknya Abu Abdillah dan beliau termasuk orang yang perhatian, hati-hati dan begitu teliti dalam periwayatan, beliau berucap, “Tidak mencukupi bagi para penuntut hadits tanpa ijazah, untuk apa-apa yang telah dia dengar dari seorang muhaddits, atau apa yang telah ia perlihatkan kepadanya, atau apa yang ia telah mendengarnya dari orang yang memperlihatkannya kepadanya, sebab bisa saja ada terdapat kelupaan, kantuk, tertinggal, tertukar dan terganti dengan yang lain yang dilakukan oleh keduanya atau salah seorang dari mereka berdua. Maka jika seorang muhaddits: dia yang membacakannya dengan lafadznya sendiri, bisa jadi datang lupa pada pihak yang mendengarnya, hilang apa yang telah dibacakan itu, atau jika yang lain yang membacakannya maka bisa jadi menimpa kelupaan itu kepada yang membacakannya kepadanya. Namun, jika digabungkan antara ijazah dengan pendengaran atau penyerahan hadits tadi, maka sebuah ijazah bisa menambal apa yang terjadi dari berbagai bencana tersebut”.

Murid Beliau Dalam Riwayah

Adapun yang meriwayatkan dari Syaikh Bin Baz dari jalan ijazah ammah adalah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu setelah berguru kepadanya sangat lama, dan penulis tidak mengetahui ada selain dari beliau. Namun melalui haq as-sama’ beberapa kitab, beberapa muridnya meriwayatkan melalui beliau. Diantaranya guru kami, Syaikh Badr Thami al-Utaibi yang membaca secara kamil kepadanya kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mana Syaikh Bin Baz membacanya secara kamil kepada Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh yang meriwayatkan dari Syaikh Sa’ad bin Atiq dan seterusnya muntasil dengan sama’i sampai Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu. [as-Surianji].

[1] Biografi beliau bisa merujuk : al-Iqdul Nurani Tsabat Syaikh Abdul Aziz az-Zahrani hal. 10, Natsr al-Jawahir hal. 633-634, Muqadimah kitab Adatu al-Imam Bukhari fi Shahihi hal 20-40, Hadi as-Saari hal 180-183 dan lainnya.

[2] Telah dicetak dengan tahqiq guru kami, Syaikh Badr Thami al-Uthaibi hafizahullahu

Apa Yang Dikatakan Sheikh Bin Baz tentang Aidh Al Qarni, Safar Al Hawali, dan Salman Al Audah?
Fadhilatusy Syaikh ‘Alwi Bin ‘Abdil Qadir As-Saqqaf ‘Hafizhahullahu’ (Muridnya Syaikh Bin Baz) : Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamaah? Kritikan Keras Beliau Terhadap Muktamar Internasional Di Chechnya.
Fatwa Asy-Syaikh Bin Baz Terhadap “Pemberontakan” Melawan Rezim Tiran Al-Assad Di Suriah
Menjawab Syubhat Pembela Syiah yang Comot Fatwa Syaikh bin Baz
Mau Tahu Sanad Ulama Salafy (Wahabi) ?
Pandangan Ulama Saudi Tentang Al-Ikhwan Al-Muslimin (untuk alwi shihab, pembela syiah houtsi)
Silsilah Ulama Ahlus Sunnah