Wednesday, May 3, 2017

Tidak Mungkin Beriman Kecuali Dengan Izin Allah

Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ ﴿٩٩﴾وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu telah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allâh. Dan Allâh menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. [Yûnus/10:99-100]

TAFSIR RINGKAS

“Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu telah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya,” maksudnya seandainya Allâh Azza wa Jalla menghendaki orang-orang musyrik itu beriman, maka mereka semuanya akan beriman. Ayat ini juga sebagai bentuk hiburan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meringankan kepedihan dan kesedihan yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasakan karena kaumnya tidak beriman, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mendoakan mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat siang dan malam. Allâh Azza wa Jalla  memberitahukan kepada Beliau, jika Allâh Azza wa Jalla menghendaki maka seluruh penduduk bumi menjadi orang yang beriman. Akan tetapi, permasalahan keimanan adalah permasalahan yang berhubungan dengan pembebanan syariat (taklîf), yang berkonsekuensi adanya balasan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menawarkan kepada manusia untuk beriman, hanya sebagai sebuah tawaran dan bukan paksaan. Barangsiapa beriman maka dia akan beruntung dan barangsiapa tidak beriman maka dia akan binasa. Yang membuktikan hal ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla : “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” maksudnya, ini bukan tanggung jawab yang dibebankan kepadamu.

“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allâh.” Ini adalah penegasan terhadap apa yang disebutkan sebelumnya bahwa keimanan tidak akan sempurna pada seseorang kecuali hal tersebut berdasarkan kehendak dan taqdîr Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

“Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya,” maksudnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengajak manusia untuk beriman dan juga menjelaskan kepada mereka buah-buah keimanan yang baik dan Allâh memperingatkan kepada mereka dari perbuatan mendustakan-Nya dengan menjelaskan dampak-dampak buruknya. Barangsiapa beriman, maka dia akan terselamatkan dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikannya bahagia. Barangsiapa tidak beriman, Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan timpakan kemurkaan kepadanya, yang berupa azab yang meliputinya sebagai bentuk balasan atas perbuatan mereka yang tidak mempergunakan akalnya.[1]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا

Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu telah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.

Allâh Azza wa Jalla  menyebutkan bahwa kalau Allâh Azza wa Jalla menghendaki maka seluruh manusia menjadi orang yang beriman, tetapi pada kenyataannya Allâh Azza wa Jalla menjadikan sebagian manusia beriman dan sebagiannya lagi tidak beriman.

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Ayat ini sebagai bentuk hiburan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena Beliau sangat bersemangat untuk menjadikan manusia beriman seluruhnya. Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan kepadanya bahwa tidaklah seseorang beriman kecuali orang yang telah Allâh Azza wa Jalla tetapkan baginya kebahagiaan dan tidaklah seseorang sesat kecuali yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tetapkan baginya kesengsaraan.”[2]

Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengingatkan nabinya, ‘Dan jikalau Rabb-mu menghendaki’ wahai Muhammad, ‘tentu telah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya’ kepadamu, dan mereka akan membenarkanmu sebagai utusan-Ku. Dan mereka juga akan membenarkan apa-apa yang engkau bawa dan yang engkau dakwahkan kepada mereka berupa tauhid kepada Allâh dan agar mereka ikhlash beribadah untuk-Nya. Itu haq (benar), akan tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menginginkan hal tersebut, karena telah didahului oleh ketetapan (taqdîr) Allâh sebelum Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengutusmu sebagai seorang rasul, bahwasanya orang tersebut tidak akan beriman kepadamu.

Tidak ada orang-orang yang mengikutimu dan membenarkan petunjuk dan cahaya yang Allâh utus engkau untuk membawanya, kecuali orang tersebut telah dicatat kebahagiaan untuknya di dalam kitab yang pertama (al-Lauhul Mahfûzh) sebelum diciptakannya langit-langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya.[3]

INGATLAH BAHWA HIDAYAH ITU DI TANGAN ALLAH

Kita harus memahami bahwa seorang masuk ke dalam agama Islam adalah berdasarkan hidayah dari Allâh. Apabila Allâh Azza wa Jalla menginginkan maka orang tersebut akan masuk Islam dan jika Allâh Azza wa Jalla tidak menginginkan maka tidak mungkin bisa dia masuk ke dalam agama Islam.

Allâh Azza wa Jalla  berfirman:

كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Seperti itulah Allâh menyesatkan orang-orang yang dikehendakinya dan memberi petunjuk siapa saja yang dikehendakinya. [Al-Muddatstsir/74:31]

Allâh Azza wa Jalla telah memberikan hujjah dan keterangan yang jelas kepada seluruh manusia. Seandainya seluruh manusia dijadikan beriman atau sebaliknya, maka Allâh Maha Mampu untuk melakukannya. Akan tetapi, sudah menjadi ketetapan Allâh Azza wa Jalla bahwa di antara manusia ada yang beriman dan ada yang kafir. Allâh Azza wa Jalla tidak ditanya atas apa yang Allâh lakukan tetapi merekalah yang akan ditanya atas apa yang mereka lakukan.

Adapun hidayah at-tablîgh (menyampaikan), hidayah al-bayân (menjelaskan) atau hidayah ad-dakwah (berdakwah) maka ini adalah tugas dari para rasul dan para da’i. Mereka dibebankan untuk selalu berdakwah, tetapi hasilnya adalah terserah Allâh.

Allâh Azza wa Jalla  berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allâh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allâh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. [Al-Qashash/28:56]

Begitu pula dalam ayat lain, semisal dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat ke-272.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

 Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”

Allâh Azza wa Jalla  menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa memaksakan apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam inginkan, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala sudah menetapkan bahwa tetap akan ada orang-orang yang tidak menerima dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ayat-ayat yang semisal dengan ayat ini

Ada beberapa ayat yang semisal dengan ayat ini, di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ أَنَّ قُرْآنًا سُيِّرَتْ بِهِ الْجِبَالُ أَوْ قُطِّعَتْ بِهِ الْأَرْضُ أَوْ كُلِّمَ بِهِ الْمَوْتَىٰ ۗ بَلْ لِلَّهِ الْأَمْرُ جَمِيعًا ۗ أَفَلَمْ يَيْأَسِ الَّذِينَ آمَنُوا أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا ۗ وَلَا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا تُصِيبُهُمْ بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ حَتَّىٰ يَأْتِيَ وَعْدُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ

Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allâh menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allâh memberi petunjuk kepada manusia semuanya. Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allâh. Sesungguhnya Allâh tidak menyalahi janji. [Ar-Ra’d/13:31]

Juga firman-Nya:

إِنْ تَحْرِصْ عَلَىٰ هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ ۖ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allâh tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong. [An-Nahl/16:37]

Ikhlas Dan Berhasil Dalam Berdakwah Bukan Ditentukan Dengan Jumlah Pengikut

Banyak yang salah paham dalam menilai keberhasilan dakwah seseorang. Banyak yang menilai hanya dengan banyaknya pengikut yang memenuhi ajakan orang tersebut. Padahal seseorang dinilai berhasil dalam berdakwah oleh Allâh, apabila dia berdakwah ikhlas hanya untuk Allâh, bukan untuk meninggikan namanya, mendapatkan kedudukan, mencari dunia atau berbangga dengan banyaknya jumlah pengikut, serta dia berdakwah dengan menggunakan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah.

Ada Nabi yang sangat ikhlas dalam berdakwah tetapi mereka hanya memiliki beberapa pengikut dan ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Apakah kita katakan bahwa mereka tidak berhasil di dalam berdakwah? Mereka telah berdakwah dengan cara terbaik, hanya saja Allâh Azza wa Jalla tidak menginginkan mereka memiliki banyak pengikut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَم فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

Ditampakkan kepadaku umat-umat, kemudian lewatlah seorang nabi yang bersamanya hanya satu orang, seorang nabi yang bersamanya dua orang, seorang nabi yang bersamanya beberapa orang dan seorang nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya.[4]

Kita semua mengetahui bahwa seluruh nabi adalah utusan Allâh dan mereka orang-orang terbaik pilihan Allâh Azza wa Jalla . Tentu kita yakin mereka berdakwah ikhlash hanya untuk Allâh Azza wa Jalla . Meskipun demikian, ternyata ada juga nabi yang hanya memiliki sedikit pengikut bahkan ada nabi yang tidak memiliki pengikut. Dan ini menjadi pelajaran untuk para da’i atau orang-orang yang mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang manusia dari perbuatan mungkar untuk bisa ikhlas dan tidak merasa sakit hatinya jika dakwahnya tidak diterima oleh masyarakat, serta tidak berbangga dengan banyaknya pengikutnya.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allâh.”

 Arti ‘illaa biidznillaah‘ (dengan izin Allâh) menurut Ibnu Abbas z adalah dengan perintah Allâh; Menurut ‘Atha’ rahimahullah adalah dengan kehendak Allâh; Dan disebutkan pendapat lain yaitu dengan ilmu Allâh.[5] Sedangkan menurut Sufyan ats-Tsauri rahimahullah artinya adalah dengan qadha’ Allâh (taqdîr Allâh).[6]

Kesemuanya bermakna satu, yaitu seseorang tidak mungkin beriman kecuali Allâh Subhanahu wa Ta’ala berkehendak dan taqdirkan dia sebagai seorang Muslim.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN HIDAYAH BISA BISA DITERIMA OLEH SESEORANG

Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, “Jika faktor-faktor penyebabnya belum dilakukan sebagaimana mestinya, tidak sempurna juga syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya tidak dihilangkan, maka hasil-hasil (yang diinginkan) tidak akan terwujud, suka atau tidak suka. Karena hasil-hasil tersebut bisa terwujud atau tidak bisa terwujud bukan atas pilihannya. Dan juga, asy-Syâri’ (Pembuat syariat) tidak menjadikan sebab-sebab itu untuk mendapatkan hasil-hasil kecuali bersamaan dengan adanya syarat-syarat dan hilangnya penghalang-penghalang. Apabila belum terpenuhi maka sebab tidak akan sempurna untuk menjadi sebab syar’i, sama saja, apakah kita mengatakan bahwa kelengkapan syarat dan hilangnya penghalang adalah bagian dari sebab ataukan bukan, maka (yang terpenting) hasilnya adalah sama.”[7]

Maksud dari perkataan beliau adalah meskipun seseorang sudah menjalankan atau mengerjakan seluruh sebab dalam berdakwah, tetapi ternyata syarat-syarat bagi orang yang didakwahi belum terpenuhi dan terdapat penghalang-panghalang untuk orang yang didakwahi tersebut untuk menerima Islam, maka orang tersebut tidak akan memeluk agama Islam.

Tidakkah kita mendengar firman Allâh Azza wa Jalla :

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Maka sesungguhnya Allâh menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. [Fâthir/35:8]

ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TELAH MENTAQDIRKAN PENGHUNI SURGA DAN PENGHUNI NERAKA

Allâh Azza wa Jalla sudah mentaqdirkan siapa saja yang akan masuk ke dalam surga dan siapa saja yang akan masuk ke dalam neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَلِيٍّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كُنَّا فِي جَنَازَةٍ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ فَأَتَانَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ … قَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَد مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلاَّ قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً ، أَوْ سَعِيدَةً فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَمَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ قَالَ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى} الآيَةَ.

Diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata, “Dulu kami sedang mengurus jenazah di (kuburan) Baqi’ al-Gharqad, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan Beliau duduk dan kami pun duduk semuanya di sekitar Beliau … Beliau berkata, ‘Tidak ada di antara kalian dari jiwa yang ditiupkan (ruh) kecuali dia telah dicatat tempatnya, apakah nanti dia di surga ataukah di neraka dan telah dicatat juga apakah dia sengsara ataukah bahagia.’ Kemudian berkatalah seorang laki-laki, ‘Apakah kami bergantung dengan catatan kami dan kami meninggalkan amalan? Barangsiapa di antara kami termasuk golongan yang bahagia maka dia akan beramal dengan amalan golongan yang bahagia. Dan barangsiapa di antara kami termasuk golongan yang sengsara, maka dia akan beramal dengan amalan golongan orag yang sengsara?’ Beliau berkata, ‘Adapun orang yang berbahagia maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan golongan yang berbahagia dan orang yang sengsara ​maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan golongan yang sengsara.’ Kemudian beliau membaca: ‘Adapun orang yang memberikan dan bertakwa …'(Ayat).”[8]

Di dalam riwayat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan hadits qudsi:

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى يَا آَدَمُ فَيَقُولُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ قَالَ وَمَا بَعْثُ النَّارِ قَالَ مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَمِئَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللهِ شَدِيدٌ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ وَأَيُّنَا ذَلِكَ الْوَاحِدُ قَالَ أَبْشِرُوا فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلٌ وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفٌ ثُمَّ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَكَبَّرْنَا فَقَالَ أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَكَبَّرْنَا فَقَالَ أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَكَبَّرْنَا فَقَالَ مَا أَنْتُمْ فِي النَّاسِ إِلاَّ كَالشَّعَرَةِ السَّوْدَاءِ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَبْيَضَ ، أَوْ كَشَعَرَةٍ بَيْضَاءَ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَسْوَدَ

Allâh Azza wa Jallaberfirman, ‘Wahai Adam!’ Kemudian Adam berkata, ‘Labbaika wa sa’daika! Kebaikan berada di tangan-Mu.’ Allâh pun berkata, ‘Pisahkanlah penghuni-penghuni neraka!’ Adam berkata, ‘Siapakah penghuni-penghuni neraka itu?’ Allâh berkata, ‘Di setiap 1000 orang ada 999 orang.’ Itu adalah ketika anak kecil akan beruban, setiap wanita hamil akan keguguran dan kamu melihat menusia seolah-olah mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allâhlah yang sangat pedih.”

Para Sahabat pun berkata, “Ya Rasûlullâh! Siapakah di antara kami satu orang tersebut?” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bergembiralah kalian. Sesungguhnya dari setiap orang dari kalian, maka dari Ya’juuj dan Ma’juuj ada seribu orang.” Kemudian Beliau berkata, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya saya berharap kalian menjadi seperempat ahli surga.” Kemudian kami pun bertakbir (Allaahu akbar). Kemudian beliau berkata, “Saya berharap agar kalian menjadi sepertiga ahli surga.” Kemudian kami pun bertakbir. Kemudian beliau pun berkata, “Saya berharap kalian menjadi setengah dari seluruh penghuni surga.” Beliau berkata, “Tidaklah jumlah kalian, kecuali seperti satu rambut hitam di kulit sapi jantan yang putih atau seperti rambut putih di kulit sapi jantan yang hitam.”[9]

Firman Allâh Ta’ala:

وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Dan Allâh menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Adapun perkataan Allâh Subhanahu wa Ta’ala, “dan Allâh menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya,’ sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengatakan bahwa sesungguhnya Allâh memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendakinya untuk beriman kepadamu wahai Muhammad dan memberi izin kepadamu untuk membenarkanmu, sehingga dia bisa membenarkan dan mengikutimu serta mengakui apa-apa yang engkau bawa dari sisi Rabb-mu.

‘Dan Allâh menimpakan ar-rijs (kemurkaan),’ maksudnya adalah azab dan kemarahan Allâh ‘kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya,’ maksudnya adalah orang-orang yang tidak memahami hujjah–hujjah (dalil-dalil) dari Allâh, begitu pula pelajaran-pelajaran dan ayat-ayatnya yang Allâh tunjukkan kepada kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hakikat yang beliau serukan berupa tauhid dan berlepas dari seluruh saingan-saingan dan berhala-berhala.”[10]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengartikan ar-rijs dengan al-khabâl (kekurangan/kehancuran) dan adh-dhalâl (kesesatan).[11] Allâhu a’lam bishshawâb.

BERSYUKURLAH ATAS KENIKMATAN HIDAYAH ISLAM

Sudah sepantasnya kita bersyukur telah memeluk agama Islam, dan sudah sepantasnya kita berharap agar hidayah ini bisa terus diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla sampai kita menghembuskan nafas terakhir. Dan sudah sepantasnya kita selalu berharap kepada Allâh Azza wa Jalla untuk selalu bisa beristiqâmah menjalan perintah-perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-larangannya. Mudah-mudahan Allâh mematikan kita semua dalam keadaan mati yang baik (husnul-khaatimah). Dan mudahan bermanfaat. Amin.

KESIMPULAN

Jika Allâh Azza wa Jalla berhehendak maka seluruh manusia akan beriman, tetapi Allâh tidak menghendakinya.
Tidak ada kewajiban untuk para nabi dan para da’i untuk mengislamkan seluruh manusia, tetapi mereka wajib berdakwah dengan ikhlas dan sesuai petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hidayah berada di tangan Allâh dan Allâh Azza wa Jalla sudah tetapkan siapa saja yang akan menjadi orang yang bahagia dan memeluk Islam dan siapa saja orang yang sengsara dan tetap dalam kekufurannya.
Allâh akan mengazab orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
Seorang Muslim wajib bersyukur atas hidayah Islam dan harus selalu berharap untuk bisa beristiqamah di jalan Allâh ta’ala.
DAFTAR PUSTAKA

Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr wa bihaamisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.Al-Muwafaqaat. Ibrahim bin Musa bin Muhammad bin Al-Lakhmi Asy-Syathibi. Kairo: Dar Ibni ‘Affan.
Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah Minal-Kitab Was-Sunnah Wa Ijma’ ash-Shahâbah. Hibatullah bin Al-Hasan bin Manshur Al-Laalakaa-i Abul-Qasim. Ar-Riyadh: Dar Ath-Thaibah.
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhî Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
_______
Footnote
 [1]. Lihat Aisar At-Tafâsîr, hlm. 624-625.
 [2]. Tafsir al-Baghawi IV/153.
 [3]. Tafsir Ath-Thabari XV/211.
 [4]. HR. Al-Bukhâri, no. 5752 dan Muslim, no. 220.
 [5]. Tafsir Al-Baghawi, IV/153.
 [6]. Tafsir At-Thabari, XV/214.
 [7].  Al-Muwâfaqât Lisy-Syâthibi 1/345.
 [8]. HR. Al-Bukhâri, no. 1362 dan Muslim, no. 2647.
 [9]. HR. Al-Bukhâri, no. 3348 dan Muslim, no. 222.
 [10]. Tafsir ath-Thabari, XV/214.
 [11]. Tafsir Ibni Katsir, IV/298.