Saturday, July 15, 2017

Pimpinan Ormas Islam Terbesar Sejagat Menghina Sunnah Nabi. Kalian Akan Dipimpin Oleh Orang Yang Seperti Kalian.


TEGAS !!! REAKSI UST .KHALID KETIKA SUNNAH NABI DI HINA SAID AGIL ---UST KHALID BASALAMAH


KIYAI KOK NGAWUR --- UST .KHALID & UST. YAZID JAWAS


Reaksi Ustadz Khalid Ketika SUNNAH NABI DI HINA


Bantahan tentang Arabisasi, semakin panjang jenggot goblok, Islam Nusantara –Ustadz Khalid Basalamah


Bantahan Ust .YAZID terhadap ceramah SAID AGIL SIRADJ -ust.yazid bin abdul qadir


PEDAS.... HINAAN SAID AQIL SIRADJ PADA PENDIRI DAN PETINGGI NU DAN TERKHUSUS BUAT RASULULLAH


SAID AGIL SYIRAJ TERNYATA SYI'AH NU KECOLONGAN(13)

Kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian

Oleh
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani
Ungkapan ini bukan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski sangat terkenal di tengah masyarakat[1]. Ungkapan ini adalah sebuah kata hikmah yang sering diungkapkan oleh para sejarawan dan ahli sosial. Seakan ungkapan tersebut sudah menjadi kaidah baku dalam masalah kepemimpinan dan didukung oleh penelitian terhadap sejarah. Faktanya, hampir semua jama’ah atau kelompok masyarakat itu dipimpin oleh orang yang sesuai dengan kwalitas kebaikan masyarakatnya. Jadi, setiap pemimpin adalah cerminan rakyatnya, sebagaimana ketika Allâh Azza wa Jalla menjadikan Fir’aun sebagai penguasa bagi kaumnya, karena mereka sama seperti Fir’aun. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. [Az-Zukhruf/43:54]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menegaskan bahwa kaum Fir’aun adalah orang-orang fasik, oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menjadikan orang yang seperti mereka sebagai penguasa mereka. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “al-khafîf[2] berarti orang dungu yang tidak beramal dengan ilmunya, dan ia selalu mengikuti hawa nafsunya.”[3]

Jadi sejatinya ungkapan “Kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian” adalah kata hikmah zaman dulu kala. Al-Ajlauni berkata, “Imam Thabrani t meriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa ia mendengar seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk al-Hajjâj (salah seorang pemimpin yang kejam), lantas ia berkata, “Janganlah kamu lakukan itu! Kalian diberikan pemimpin seperti ini karena diri kalian sendiri. Kami khawatir, jika al-Hajjâj digulingkan atau meninggal, maka monyet dan babi yang akan menjadi penguasa kalian, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian.[4]

Perkataan beliau rahimahullah “telah diriwayatkan …” menunjukkan bahwa kaidah ini sudah ada sejak dahulu, bahkan ada beberapa pernyataan dari kalangan assalafusshâlih tentang penisbatan kalimat ini kepada sebagian para Nabi terdahulu. Tentu ini sudah cukup menjadi bukti nyata akan keberadaan kaidah ini di zaman dahulu. Namun kaidah ini diketahui awal mulanya meskipun ia sudah menjadi kaidah baku dalam masalah kerakyatan dan kepemimpinan.

Telah dijelaskan didepan bahwa individu adalah sebab pertama munculnya bencana, juga telah dijelaskan bahwa semua orang itu akan merasakan buah dari amal perbuatannya. Diantara wujud dari buah amalannya itu adalah kondisi para pemimpin mereka. Karena kondisi mereka sesuai dengan prilaku masyarakat, sebagaimana peribahasa bahasa arab yang artinya kezhaliman penguasa itu disebabkan oleh kezhaliman yang dilakukan rakyat.

Dalil-Dalil Al-Quran Dan As-Sunnah Serta Pemahaman Para Salaf Menyangkut Kaidah Ini :
Diantara dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pemahaman salaf mengenai kaidah ini adalah dalil-dalil yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang (hukuman disebabkan oleh dosa), misalnya :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) [As-Syûra/42:30]

Kezhaliman seorang pemimpin adalah musibah yang mengancam umat. Dan Allâh sudah memberitahukan bahwa penyebab musibah adalah kesalahan umat.

2. Dalil lain untuk kaidah ini adalah kisah perjalanan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memfokuskan diri untuk mendakwahi masyarakat umum, tidak fokus pada jajaran konglomerat, pejabat, penguasa serta tokoh masyarakat. Cara dakwah semacam inilah yang merupakan metode berdakwahnya para Nabi.

Sebagai tambahan, saya sebutkan dalil-dalil lain dibawah ini :

3. Diriwayatkan oleh Abu as-Syeikh dari Manshûr bin Abi al-Aswad, ia berkata, “Aku bertanya kepada al-A’masy tentang firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan [Al-An’âm/6:129]

Apa yang kau dengar dari perkataan mereka tentang ayat ini? Ia menjawab, “Aku mendengar mereka berkata, ‘Jika manusia sudah rusak maka mereka akan dipimpin oleh orang-orang jahat mereka”[5]

4. Thurthusyi berkata[6] , “Aku masih mendengar orang-orang senantiasa menyuarakan, “Amal perbuatan kalian adalah pemimpin kalian” juga “Sebagaimana kalian begitulah pemimpin kalian” sampai akhirnya saya menemukan ayat yang senada dengan dua perkataan ini, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” [al-An’âm/6:129]

Orang dahulu juga mengatakan, “Kerusakan atau keburukan yang engkau ingkari pada zamanmu, itu sesungguhnya akibat dari tindakan dan perbuatanmu sendiri.” Abdul Mâlik bin Marwan rahimahullah juga pernah berkata, ‘Wahai rakyatku! Sungguh kalian tidak berlaku adil pada kami. Kalian menuntut kami berlaku seperti Abu Bakr dan Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhuma akan tetapi kalian tidak berlaku seperti keduanya. Kami memohon kepada Allâh agar setiap individu saling membantu.’

5. Qatâdah rahimahullah berkata, “Dahulu Bani Israil pernah mengatakan, ‘Wahai Tuhan kami! Engkau di langit sementara kami di bumi, lalu bagaimana kami dapat mengetahui ridha dan murka-Mu?’ Lalu Allâh Azza wa Jalla mengilhamkan kepada sebagian para Nabi-Nya “Kalau Aku angkat orang-orang baik sebagai pemimpin kalian, berarti Aku ridha kepada kalian. Kalau Aku angkat orang-orang jahat sebagai pemimpin kalian, berarti Aku murka kepada kalian.’

6. ‘Abidatu as-Salmaini berkata kepada Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, “Wahai Amirul Mukminin! Apakah gerangan Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma, kenapa semua rakyat tunduk dan patuh kepada keduanya? Wilayah kekuasaan yang semula lebih sempit dari satu jengkal lalu meluas dalam kekuasaan mereka? Lalu saat engkau dan Utsman menggantikannya posisi keduanya, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh terhadap kalian berdua, sehingga kekuasaan yang luas ini menjadi sempit buat kalian? Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menjawab, “Karena rakyat mereka berdua adalah orang-orang yang seperti aku dan Utsman, sementara rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu.”

7. Seorang laki-laki menulis sepucuk surat kepada Muhammad bin Yûsuf. Ia mengadukan perihal kekejaman para pemimpinnya. Muhammab bin Yusuf membalas surat itu dengan mengatakan, “Suratmu telah saya terima, dimana kau menceritakan tentang keadaan kalian saat ini, padahal tidak sepantasnya pelaku maksiat mengingkari akibat perbuatannya. Menurut hemat saya, keadaan kalian seperti ini tidak lain karena disebabkan oleh dosa-dosa kalian, wassalam.’

8. Muhammad Haqqi saat menafsirkan makna firman Allâh di bawah ini :

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [Ali ‘Imrân/3:26]

Kandungan ayat ini adalah “Jika kalian adalah orang-orang yang taat dan patuh niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan orang yang penuh kasih sayang sebagai pemimpin kalian. Namun jika kalian pelaku kemaksiatan, niscaya Allâh akan menjadi orang jahat sebagai penguasa kalian.”

Yang semakna dengan ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allâh) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. [al-Isrâ/17: 16]

Allâh memberitahukan dalam ayat ini bahwa Dia memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang melampaui batas dalam kefasikan mereka untuk rakyat yang layak mendapatkan kehancuran. Dan tidak diragukan lagi bahwa mereka yang berhak mendapatkan kehancuran dan kebinasaan itu adalah mereka yang zhalim, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا

Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka” [Al-Kahfi/18:59]

Dengan pengertian seperti inilah sebagian Ulama salaf memahami ayat di atas. Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ka’ab al-Ahbar bahwa ia berkata , “Sungguh pada setiap masa pasti ada raja atau pemimpin yang dijadikan oleh Allâh sesuai dengan (keadaan) hati rakyatnya. Jika Allâh Azza wa Jalla menghendaki kebaikan untuk kaum tersebut, niscaya Dia akan mengutus yang melakukan perbaikan. Jika Allâh menghendaki kehancuran atas mereka niscaya Allâh akan mengutus mutrafa, ” Kemudian beliau t membaca ayat al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat ke-16 di atas.

9. Sebagian Ulama berdalil dengan hadits riwayat Imam Muslim, no. 1819 dari Jâbir Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ

Umat manusia itu mengikuti Quraisy dalam hal kebaikan dan keburukan[8]

Ali al-Qâri mengatakan, “Dikatakan, maknanya adalah jika mereka baik niscaya Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kekuasaan kepada orang baik, jika mereka jahat niscaya Allâh akan memberikan kekuasan kepada orang jahat dari kalangan mereka, sebagaimana ungkapan “Perbuatan kalian adalah pemimpin kalian” juga “Sebagaimana keadaan kalian, begitulah keadaan pemimpin kalian.”[9] Pemahaman ini disampaikan oleh al-Munâwi dalam tafsir Faidhu al-Qadîr.[10]

Allâh telah memberikan kekuasaan kepada al-Hajjâj bin Yusuf dengan segala kezhalimannya. Ketika imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah melihat masyarakat membenci dan marah terhadap terhadap kekuasaan al-Hajjâj, beliau rahimahullah berusaha menasihati mereka dengan berdalilkan kaidah ini, “Al-Hajjâj adalah hukuman dari Allâh atas kalian yang belum pernah ada sebelumnya. Janganlah kalian merespon hukuman Allâh ini dengan pedang! Namun sambutlah hukuman ini dengan bertaubat kepada Allâh dan tunduk kepada-Nya! Bertaubatlah kalian, niscaya kalian akan terpelihara darinya!”[11] dalam riwayat lain dengan sanad yang shahih bahwa beliau Imam al-Hasan al-Bashri menyampaikan kalimat ini ketika mendapati seseorang yang sedang memprofokasi masyarkat umum untuk melakukan pemberontakan dan penentangan terhadap kuasa kepemimpinan dan kepemerintahan.[12]

Perhatikanlah! Bagaimana para assalafusshalih mengaitkan kaidah ini dengan larangan memberontak dan menentang serta keluar dari pemerintah!

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan ini juga kepada rakyat yang berusaha melawan al-Hajjâj yang haus darah, sebagaimana telah dinukil oleh Hisyâm bin Hassan, beliau mengatakan, “Coba kalian hitung jumlah mayat yang dibunuh oleh al-Hajjâj secara zhalim. Jumlahnya mencapai 120.000 mayat.”[13]

Inilah yang disampaikan oleh Imam adz-Dzahabi dalam as-Siyar, “Dia adalah seorang yang zhalim, bengis, nâshibi (pembenci Ahlul Bait), keji dan haus darah…”[12] bahkan sebagian salaf sampai berani menjatuhkan vonis kafir kepada dia.[15]

Kesimpulannya, tujuan dari penjelasan ini adalah ingin menjelaskan gelar paling ringan disematkan untuk al-Hajjâj adalah ia seorang muslim yang suka membantai dan membunuh rakyat. Namun meski demikian, para Ulama tetap melarang rakyatnya untuk memberontak. Karena pada hakikatnya, naiknya dia sebagai penguasa adalah sebagai hukuman dari Allâh Azza wa Jalla akibat dari dosa-dosa rakyat. Diharapkan, rakyat segera menyadari dan segera bertaubat, bukan sebaliknya menyambut buah dari dosanya dengan mengangkat pedang (atau melakukan tindakan anarkis).

Hendaklah ini menjadi perhatian kita, jika kita ingin mengikuti jejak as-salafus shalih.

Seorang Tabi’in dan seorang ahli ibadah bernama Abi al-Jalad al-Asdi rahimahullah mengatakan, “Kelak di hari kiamat para pemimpin akan dibangkitkan di hadapan halayak manusia dengan memikul dosa-dosa mereka”[16]

Dahulu seorang penasihat bernama Ibrahim ibn Hamsy berkata, “Ya Allâh, karena perbuatan tangan-tangan kami ini, Engkau berikan kekuasaan kepada seorang yang tidak mengenal dan tidak menyayangi kami.”[17]

Imam ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,[18] : “Ada sebagian para Nabi bani Israel menyaksikan apa yang diperbuat oleh raja Bukhtanashar, lantas iapun berkata, ‘Karena perbutan tangan-tangan kami ini, Engkau berikan kekuasaan kepada seorang yang tidak mengenal-Mu dan tidak menyayangi kami.”

Bukhtanashar menyampaikan pertanyaan kepada Nabi Daniel, “Gerangan apa yang menjadikanku berkuasa penuh terhadap kaummu? Ia menjawab, “Karena besarnya kesalahanmu dan kezhaliman kaumku terhadap diri mereka.”

Ibnu al-Azrâq mengatakan, “Sudah menjadi keharusan bagi setiap masyarakat untuk selalu mencatat bahwa kekejaman para pemimpin dan pejabat disebabkan oleh tindakan dan perbuatan rakyat yang jauh dari jalan kebenaran, sebagaimana kandungan kaidah, “Sebagaimana keadaan kalian, begitulah penguasa kalian.” Dengan kaidah ini pula Ibnu al-Jazzâr as-Sirqisthi mejawab pertanyaan al-Musta’in bin Hud mengenai perihal keluhan rakyatnya dengan puisinya :

Kalian nisbatkan kezhaliman kepada para penguasa kalian
Sementara kalian tertidur (lupa) terhadap buruknya perbuatan kalian
Janganlah kalian nisbatkan kezhaliman kepada para penguasa kalian
Karena penguasa kalian akibat dari perbuatan kalian
Demi Allâh, seandainya kalian berkuasa walau sejenak
Tidak akan terbetik dalam benak kalian untuk berlaku adil

Setelah menyampaikan kisah Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan pesan, “Beginilah dahulu kondisi para khalifah di masa-masa awal umat ini, ketika rakyatnya selalu menegakkan perintah Allâh Azza wa Jalla , takut terhadap siksa-Nya dan senantiasa berharap limpahan pahala-Nya. Namun ketika rakyat berubah dan mulai menzhalimi diri mereka, maka berubahlah pula sikap dan karakter permimpin-pemimpin mereka, Sebagaimana keadaan kalian, begitulah penguasa kalian.”[20]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyapaikan sebuah pesan yang sangat menyentuh, seakan belum pernah ada pesan ahli ilmu yang lebih menyentuh dari itu. Beliau rahimahullah mengatakan, “Renungilah hikmah Allâh Azza wa Jalla yang telah memilih para raja, penguasa dan pelindung umat manusia berdasarkan perbuatan rakyatnya, bahkan seakan perbuatan rakyat tergambar dalam prilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat istiqamah dan lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan berbuat zalim pula. Jika menyebar tindakan penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula pemimpin mereka. Jika rakyat bakhil dan tidak menunaikan hak-hak Allâh Azza wa Jalla yang ada pada mereka, maka para pemimpin juga akan bakhil dan tidak menunaikan hak-hak rakyat yang ada pada mereka. Jika dalam bermuamalah, rakyat mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka juga akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan berbagai beban tugas yang berat. Semua yang diambil oleh rakyat dari orang-orang lemah maka akan diambil paksa oleh para pemimpin dari mereka. Jadi (karakter) para penguasa itu tampak jelas pada prilaku rakyatnya.

Jelas bukan hikmah ilahiyah, mengangkat penguasa bagi orang jahat dan buruk perangainya kecuali dari orang yang sama dengan mereka.

Ketika masa-masa awal Islam berisi generasi terbaik, maka demikian pula pemimpin-pemimpin kala itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga mulai rusak. Jelas tidak sejalan dengan hikmah Allâh, (jika) pada zaman ini kita dipimpin oleh pemimpin yang seperti Mu’âwiyah dan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah , apalagi dipimpin oleh pemimpin sekelas Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu. Akan tetapi pemimpin kita itu sesuai dengan kondisi kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan sebab akibat dan tuntunan hikmah Allâh Azza wa Jalla .

Orang yang punya kecerdasan, apabila merenungkan masalah ini, maka dia akan menemukan bahwa hikmah ilahiyah itu senantiasa berjalan seiring dengan qadha’ dan qadar, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, begitulah pula dalam masalah penciptaan dan perintah agama. Jangan sampai Anda menduga dan menyangka bahwa ada diantara qadha dan taqdir Allâh yang tidak mengandung hikmah. Bahkan semua qadha dan qadar Allâh itu terjadi sesuai dengan hikmah dan kebenaran yang paling sempurna. Tetapi, karena keterbatasan dan kelemahan akal manusia, sehingga mereka tidak sanggup memahaminya, sebagaimana mata kelelawar karena lemahnya ia tidak sanggup melihat sinar matahari. Akal-akal yang lemah ini, apabila berjumpa dengan kebatilan, akan menerima dan menyebarkannya, sebagaimana kelelawar yang terbang dan pergi saat kegelapan malam telah datang.

Cahaya siang menyilaukan pandang kelelawar
Pantas jika ia ditemani oleh gelap malam yang gulita”[21] .

Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan jika kezhaliman penguasa Muslim di atasi dengan cara pemberotakan dan perlawanan, bahkan agama Islam yang mulia ini senantiasa menyerukan untuk taat selama ia tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika ia memerintahkan kepada kemaksiatan maka rakyat tidak disyari’atkan untuk mentaatinya, sebagaimana tidak disyari’atkan untuk memberontak dan melawannya meskipun penguasa tersebut tergolong orang jahat.

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمِانِ إِنْسِ قَالَ : قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ – يَارَسُوْلَ اللهِ- إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ ، وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ، وَأَخَذَ مَالَكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِع

Nanti setelahku, akan ada pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang berhati setan berbadan manusia.” Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkan zaman seperti itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dengarlah dan ta’atlah kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu.Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.”[22]

Muhammad Haqqiy mengatakan ketika menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. [An-Nisa’/4:59]

Dia mengatakan, “Ketahuilah bahwa para pemimpin itu sesuai dengan perbuatan para rakyatnya, baik dan buruknya. Diriwayatkan bahwa ada yang mengatakan kepada al-Hajjâj bin Yûsuf, “Kenapa kamu tidak berbuat adil sebagaimana Umar padahal engkau mendapati pemerintahan beliau Radhiyallahu anhu ? Apakah engkau tidak melihat keadilan dan kebaikannya?’ Ia menjawab, ‘Jadilah kalian seperti Abu Dzar Radhiyallahu anhu, maka aku akan seperti Umar.”

Jika dalam kondisi seperti di atas tidak disyari’atkan memberontak lalu bagaimana dengan keadaan kita?

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
Footnote
[1]. Silsilah ad-Dhâ’ifah karya Syaikh Al-Albâni (320)
[2]. Majmû’al-Fatâwâ (16/337)
[3]. Kasyfu al-Khafâ 1/148)
[4]. Ad-Durru al-Mantsûr milik as-Suyuthi (3/358)
[5]. Sirâjul Mulûk (2/467)
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (6/30), dan Baihaqi dalam Syu’abul Imân (7389), dan Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Wârid fil Fitan (299)
[7]. HR Muslim (1819)
[8]. Mirqatul Mafâtih Syarh Misykâtul Misbâh (11/131
[9]. Faidhul Qadîr (1/265)
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam al-Uqûbât, no. 52 dengan sanad shahih dan dalam satu riwayat dalam Thabaqât Ibnu Sa’ad, 7/164 dan dalam kitab Jumal min Ansâbil Asyrâf, Bilâdzri (7/394) dengan sanad yang shahih
[11]. Dinukilkan dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa’ad (7/164), dan dalam kita Jumal min Ansâbil Asyrâf karya Bilâdzri (7/394) dengan sanad yang shahih
[12]. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang shahih
[13]. Terdapat dalam kitab as-Siyar karya ad-Dzahabi (4/343), dishahihkan oleh Imam al-Albâni.
[14]. Lihatlah tentang ini dengan sanad shahih dari Thâwus pada kitab al-Amâli fi Atsâri Shahâbah, Abdurrazaq; kitab al-Imân, karya Ibnu Abi Syaibah; at-Thabaqat, ibnu Sa’ad; Syarhu Ushul I’tiqad, al-Lalika’i.
[15]. Dinukilkan oleh ad-Dani dalam as-Sunanul Wâridah fil Fitan (300),dan Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Dimasyqa (39/477)
[16]. Dinukilkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab (7390)
[17]. Ad-Dâ’ wad Dawâ (75)
[18]. Badâ’ius Sulûk Fi Thabâ’iul Mulûk (1/235)
[19]. Khutbah yang kesepuluh dalam Kitab Dhiyâ’ul Lâmi’
[20]. Miftâh Dâris Sa’âdah (1/253)
[21]. HR. Muslim (1847)