Tataran akademis terkait Aqidah Yang Haq
ajaran Islam dan Kesesatan Sekte Syi’ah bukan diwilayah Kampus tapi Wilayah
Ulama yang Tsiqah, lebih utama di Otoritas Resmi (Negara) yaitu MUI. Sarjana
Agama di Kampus belum tentu Ulama (sesat aqidahnya), bahkan bisa Perusak
Agama (Munafiqun).
Promosi Ajaran Syiah Di Uin Alauddin
Kemarin, hari Selasa 26 Desember 2017,
dilangsungkan acara presentasi dari Prof. Najamuddin (guru besar Univ.
Hasanuddin), ketua komisi Hubungan Luar Negeri MUI Sulsel. Beliau ingin
memaparkan pengalamannya berkunjung ke Iran, juga mengikuti seminar
"Gerakan Takfirisme", serta kesannya bertemu dengan pemimpin Syiah
Ali Khamenei. Tentu saja, dibalik semua ini bekerja tangan-tangan Syiah secara
halus. Salah satunya dengan memfasilitasi kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk
jalan-jalan ke Iran.
Dalam acara yang diselenggarakan di
fakultas Adab tersebut, rupanya hadir juga panelis lain dari Iran. Dia fasih
bahasa Indonesia, mungkin juga bahasa Arab. Mungkin hal yang tidak disangka
oleh para narasumber dan mungkin juga panitia, adalah kehadiran guru kami
ustadz Said Abdusshomad hafizhahullah.
Setelah menceritakan pengalaman
"indah" ketika di Iran, masuklah pembicaraan menyangkut hasil-hasil
seminar "Gerakan Takfirisme". Salah satu hasil seminar tersebut
adalah solusi dari problem takfirisme adalah kembali kepada Alqur'an dan ajaran
ahlul bait. Tentu saja maksudnya adalah mengikuti ajaran syiah.
Saat sesi tanggapan, tanpa basa-basi
ustadz Said menjelaskan kesalahan dari ajakan kembali kepada Alqur'an dan ahlul
bait. "Mengapa tidak disebut para sahabat?", kata beliau.
"Bukankah para sahabat yang mengumpulkan Alqur'an?".
Panelis asal Iran mencoba menyela,
"Karena sahabat tidak disebut dalam Alqur'an".
Kata ustadz Said, "Ada dalam Alqur'an". Beliau pun membaca ayat 100
dari surah At-Taubah, dan membacakan artinya dengan suara bergetar.
(Silahkan buka http://lamurkha.blogspot.co.id/ribuan artikel terkait kekafiran Syiah).
(Silahkan buka http://lamurkha.blogspot.co.id/ribuan artikel terkait kekafiran Syiah).
Orang Iran itu pun menyela, "Coba baca ayat sesudahnya, ayat 101". Perlu dipahami bahwa ayat 101 surah
At-Taubah menjadi dalil bagi Syiah tentang kemunafikan para sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Ayat ini memang berisi informasi bahwa ada
sebagian orang di Madinah dan sekitarnya yang munafik, tapi jelas bukan para
sahabat Nabi karena Muhajirin dan Anshar telah dijelaskan ayat sebelumnya. Bagi
anda yang suatu saat berdiskusi dengan orang Syiah, perlu ingat ini.
Namun ustadz Said paham hal ini. Beliau
tidak mau menuruti keinginan orang Iran tersebut. "Hadzaa waqty, laa
tuqaati'", lalu membacakan ayat 29 surah Al-Fath. Simpulan dari ayat
tersebut adalah para sahabat akan membuat takjub Nabi shallallahu alaihi
wasallam dan pengikutnya, namun membuat geram orang kafir (termasuk Syiah).
Ustadz Said juga menyesalkan narasumber
lain yang seolah menyepelekan dampak gerakan Syiah. Beliau pun menjelaskan
kesesatan syiah mulai dari syahadat hingga nikah mut'ah. Aula yang
sebelumnya sejuk dengan narasumber yang senyum-senyum manis, berubah menjadi
gerah dan senyum-senyum kecut. Kursi mereka seolah ditaburi paku.
Semoga Allah merahmati guru kami dan
memberkahi umur beliau, ustadzuna Said Abdusshomad hafizhahullah.
(Foto dan video tidak dapat saya
lampirkan demi melindungi sumber.)
Rektor UIN Alauddin: Jangankan Syiah,
Komunis pun Kami Terima
Pernyataan mengejutkan disampaikan Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Profesor Musafir Pababari,
saat berdialog dengan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) Indonesia
Timur, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) Sulawesi Selatan, dan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Muslim Makassar, Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia
(LIDMI), dan Forum Arimatea Sulsel, di ruang kerjanya di kampus II UIN, Samata,
Kabupaten Gowa, pada Rabu (27/12/2017) lalu.
Secara mengejutkan, Musafir mengaku tidak
mempersoalkan keberadaan Syiah yang leluasa masuk ke perguruan tinggi yang
dipimpinnya.
“Jangankan Syiah, Komunis pun saya terima
di UIN Alauddin. Dan sudah berapa yang datang di UIN, yang humanis, yang
Komunis, yang tidak ada masalah sama saya. Saya terima semua,” ujarnya.
Bahkan, Musafir menganggap fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) tentang kesesatan paham Syiah, tidak mengikat secara
hukum. Disebutnya, fatwa itu boleh diikuti, juga boleh tidak diikuti.
“Majelis
Ulama, ya, Majelis Ulama. Kita di sini hanya tataran akademis. Silakan kita
berdebat secara akademis,” tutur Musafir.
Menurutnya,
persoalan Syiah dan Sunni sudah selesai. Secara akademis telah dibahas secara
tuntas. Tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan. Masalah pengamalan itu
individu.
Tim Forum Pegiat Media Islam (Forpemi)
Sulawesi Selatan yang meliput jalannya dialog itu, menangkap kesan tidak bersahabat
dari Rektor UIN kepada para tamunya.
Berkali-kali Rektor UIN, yang pernah
berkunjung ke Iran selama sepekan itu, tampak meninggikan suara dengan
pernyataan yang disampaikan. Beruntung perwakilan LBH Muslim Makassar selalu
menyanggahnya dengan dalil hukum, sehingga Musafir pun memilih mengalah.
Ketua LPPI Indonesia Timur, Kyai HM Said
Abd Samad, Lc., menjelaskan maksud kedatangannya bahwa hanya sekadar ingin
memberikan saran dan masukan ke UIN Alauddin sebagai salah satu kampus Islam
terbesar di kawasan timur Indonesia.
Wakil Pimpinan Muhammadiyah Daerah
Makassar itu memaparkan tentang perlunya paham Syiah diwaspadai. Apalagi para
pengikutnya sudah terang-terangan masuk ke kampus-kampus.
“Kullukum Ra’in wa Kullukum
Mas’ulun…..Kalau mahasiswa ini setelah mendengar penjelasan-penjelasan yang
menarik, lalu terpengaruh dengan Syiah, bukankah ini bukan tanggung jawab
(Prof) di akhirat!” tegas Kyai Said.
Dalam kesempatan itu, Kyai Said berjanji
akan kembali menemui Musafir Pababari dan berdialog langsung yang membahas
masalah Syiah.
Sebelum pertemuan itu digelar, Kyai Said
terlebih dahulu menyanggah dan membantah pernyataan Ghasem Muhammadi dan
Ebrahim Zargar, dua pengajar dari Al Mustafa International University of Iran,
saat menjadi pembicara di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin.
Sumber: Tim Forum Pegiat Media Islam (Forpemi) Sulsel
Editor: Hunef Ibrahim