By Moslem Today
2018-07-27
Keputusan MUI Sumbar menolak konsep Islam
Nusantara mendapat peringatan dari MUI Pusat. Wakil Ketua Umum MUI Pusat,
Zainut Tauhid dalam pernyataannya mengatakan bahwa penolakan konsep ‘Islam
Nusantara’ oleh MUI Sumbar menyalahi khittah dan jati diri MUI.
Sementara itu, Ketua Umum MUI Pusat KH
Ma’ruf Amin mengatakan akan menegur pihak MUI Sumbar yang menolak konsep
Islam Nusantara. Ma’ruf menambahkan bahwa MUI provinsi wajib mematuhi aturan
MUI pusat.
“Iya harus (ikut aturan), harus. Kalau
ada MUI yang menghantam salah satu pihak, tidak boleh karena kita wadah semua.
Wadah kok hantam sana-sini, MUI gaduh, dong. Tugasnya menyatukan umat malah MUI
jadi sumber,” ujar KH Ma’ruf Amin, seperti dikutip dari Detikcom.
Menanggapi peringatan tersebut, MUI Sumbar
tidak goyah dengan keputusannya. Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar
mengatakan keputusan sudah final dan untuk ruang lingkup Ranah Minang (Sumbar).
“Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat kami menghirup udaranya, meneguk airnya
sehingga kami merasakan detak nadi kehidupannya. Karena kami yang hidup di
tengah masyarakatnya maka kami bertanggungjawab mengatakan bahwa negeri kami
tidak membutuhkan istilah “Islam Nusantara,” ungkap Buya Gusrizal.
Baca selengkapnya jawaban Ketua MUI
Sumbar dalam artikel yang diterbitkan langsung di akun resmi Buya Gusrizal
Gazahar, Kamis, (26/8/2018) berikut ini :
“10910900Amanah Kami Tunaikan”
Membiarkan umat bingung dengan pernyataan
orang-orang yang mengusung “Islam Nusantara” sesuai seleranya seperti menuding
Islam Arab sebagai Islam Radikal, Islam penjajah dan lainnya, berarti
mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat.
Suatu istilah yang dilahirkan oleh sebagian
umat kemudian disebarkan dengan kekuasaan dari meletakkan tugu sampai
mengarahkan berbagai institusi, itu jauh sekali dari “taswiyyatul manhaj”
bahkan mengabaikan bagian umat Islam lain yang belum tentu bisa menerima konsep
yang diusung tsb.
Ketika kaum sekuler, liberal dan pluralis
menjadikan Islam Nusantara sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi
perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja.
Ketika sikap diambil oleh ulama Sumbar, kami
bukan hanya membaca dan mendengar paparan konsep sehingga dengan enteng
dikatakan “salah persepsi”.
Kami melihat perkataan, perbuatan dan sikap
yang dilakukan di bawah konsep itu jauh melenceng maka kami memadukan antara
pemahaman konsep dengan aplikasi di lapangan, itu lah langkah berpendapat dalam
kasus aktual. Kalau tidak demikian, berarti kita membohongi diri sendiri.
Sikap sudah kami lahirkan.
Kami mengajak semua kembali kepada nama
agama yang diberikan oleh Zat Yang Maha Menurunkan Syari’at Agama ini yaitu
“Islam” (QS. Ali ‘Imran 19, 85, al-Maidah 3 dan al-Shaff 7) tanpa ada
embel-embel apapun.
Mudah-mudahan tidak dilupakan bahwa telah
dua kali saya juga mengkritik istilah “Islam Wasathiy” di hadapan pengurus
lembagai keulamaan ini yaitu di Lombok dan di Bogor”.
Satu mumayyizat (keistimewaan) tidak bisa
dilabelkan kepada Islam karena akan memunculkan pemahaman yang rancu di tengah
umat.
Seluruh mumayyizaat harus difahami secara utuh dan tidak bisa berdiri sendiri.
Kalau hanya kekhususan budaya dan tradisi
yang menjadi alasan menambah Islam dengan wilayah dan sifat lainnya, bagi kami
itu bukanlah dalil karena semua tradisi dan budaya, tetap kita saring dengan
konsep ‘uruf dalam dalil hukum.
Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat
kami menghirup udaranya, meneguk airnya sehingga kami merasakan detak nadi
kehidupannya.
Karena kami yang hidup di tengah masyarakatnya maka kami bertanggungjawab
mengatakan bahwa negeri kami tidak membutuhkan istilah “Islam Nusantara” itu
dan juga tambahan apapun di belakang nama “Islam” karena kata itu sangat
sempurna dalam pandangan kami.
Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan
dakwah dan mengamalkan tradisi kami,
kami sudah memiliki konsep yang menyatukan ormas Islam apapun di Ranah Minang
selama ini, yaitu:
“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai”
Kami tempatkan falsafah kehidupan itu
dalam pengamalan agama kami yang semenjak ulama-ulama tua kami, namanya adalah
“Islam” tanpa ada tambahan apapun karena kami tidak mampu menggandengkan apapun
dengan nama yang sempurna itu.
“Sekali kata dikatakan, seribu fikiran
menjadi timbangan, pantang bertarik surut ke belakang, kecuali Al-Qur’an dan
Sunnah yang menentang”
Ingatlah:
أهل البلد أدرى بشعابها
“Penduduk suatu negeri lebih tahu dengan celah-celah kampungya”.
Sumber : Republika.co.id, Detikcom, Buya Gusrizal
Gazahar