Friday, June 19, 2015

[ bikin terperangah ! ] Islam Kita Bukan "Islam Saudi Arabia"; Tanah Air Mesti Didahulukan daripada Islam; Amalkan Pancasila Wujud Tegakkan Syariat ??!

Gus Mus: Islam Kita Bukan "Islam Saudi Arabia"

Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Mustofa Bisri kembali menegaskan perbedaan antara muslimin Indonesia dan Arab Saudi. Meski keduanya menganut agama yang sama tapi masing-masing memiliki kekhasan budaya.
“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima,” katanya saat membuka Pameran Seni Rupa Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (2/10).

Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini berpesan kepada umat Islam di Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan.

“Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?” katanya disambut gelak tawa hadirin.

Gus Mus membuka pameran yang hadir dalam bentuk tabligh seni Rubuh Rubuh Gedhang itu dengan menabuh beduk. Ia menilai, acara sejenis seharusnya diadakan bukan hanya di Yogyakarta namun juga di seluruh penjuru Nusantara. Hal ini sebagai wujud kecintaan masyarakat pribumi terhadap tradisi dan budaya di Tanah Air.

Turut mengisi pada acara ini dalang Wayang Suket Slamet Gundono, Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) Tegalrejo, Romo Sindunata, Kirun, Marwoto, Den baguse Ngarso, Djadug dan lainya.


Mengapa Tanah Air Mesti Didahulukan daripada Islam?

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengaku mengembangkan pemikiran Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tentang ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam) danukhuwwah wathaniyyah(persaudaraan sesama bangsa).


Menurut dia, sebagai sebuah strategi, memperjuangkan tanah air harus dilakukan lebih dahulu daripada Islam. Kenapa? “Karena dengan tanah air ini kita bisa memperjuangkan Islam,” ujarnya dalam pembukaan Harlah ke-60 dan Rakernas IPNU di Jakarta, Senin (24/02).

Kiai Said, sapaan akrabnya, mengatakan banyak bangsa yang tidak bisa menjaga tanah airnya akhirnya hilang dari sejarah, seperti yang dialami bangsa Kurdi.

Man laisa lahu ardlun laisa lahu tarikh, waman laisa lahu tarikh laisa lahu dzakirah; barangsiapa tidak memiliki tanah air, tidak memiliki sejarah dan barangsiapa tidak memiliki sejarah tidak akan dikenang,” imbuhnya. 

Timur Tengah, lanjut Kiai Said, memiliki segudang ulama yang ‘alim dan ‘allamah. Namun demikian, di sana terjadi banyak konflik berdarah yang tidak bisa dipecahkan oleh ulama.

Hal ini, menurutnya, karena tidak adanya nasionalisme di kalangan ulama dan organisasi kemayarakatan sebagai kekuatan masyarakat sipil di sana. Dengan adanya ormas seperti NU, Al-Washliyyah, Hizbul Wathan dan lain-lain, ulama Indonesia memiliki peran strategis, baik di kancah nasional maupun Internasional.

Maka dari itu, Kiai Said berharap IPNU sebagai ujung tombak pengkaderan NU mampu mewarisi nilai-nilai yang telah dipelopori oleh ulama Nusantara sebagai pengawal ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan NKRI.

“Selama masih ada NU, Insya Allah Indonesia akan terus ada. Semoga, NU langgeng sampai yaumil qiyamah,” ungkapnya di depan Wakil Menteri Pertahanan Letjend Sjafrie Sjamsoeddin, tamu undangan, para alumni IPNU, Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah IPNU se-Indonesia.

Usai sambutan, Kiai Said menerima kenang-kenangan dari Ketua Umum PP IPNU Khairul Anam Kharisah. PP IPNU periode ini juga memberi penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa besar dan memiliki dedikasi kepada IPNU.


Said Aqil Sebut Amalkan Pancasila Wujud Tegakkan Syariat, Ini Komentar Ketua Pemuda Persis Jabar

Saat memberikan sambutan pada acara Munas Ulama dan istighotsah menyambut Ramadan, Ketum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan bahwa mengamalkan Pancasila adalah wujud menegakkan syariat Islam.
"Bagi para ulama NU baik itu Wahid Hasyim dan yang lain seperti Hasyim Asy'ari memandang bahwa Pancasila adalah ahlusunnah wal jama'ah. Maka NU menegaskan bahwa pengamalan Pancasila adalah wujud menegakkan syariat Islam," katanya di Jakarta. (baca selengkapnya: Ketua PBNU Said Aqil Siradj: Mengamalkan Pancasila Adalah Menegakkan Syariat Islam).
Pernyataan Said Aqil Siradj ini ditanggapi oleh Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Persis Jabar Ustadz Syarif Hidayat, M.Pdi. Menurutnya, pernyataan “Mengamalkan Pancasila berarti menegakkan Syari’at Islam” adalah pernyataan yang bisa benar dan bisa juga salah.
"Benar bila yang dimaksud Pancasila adalah rumusan dalam piagamSo Jakarta yang dipahami oleh founding father negeri ini. Yakni, Pancasila yang dilandasi kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya," katanya dalam rilis yang diterima voa-islam.com, Selasa (16/06).
...wajar bila kemudian ada sebagian Ikhwah yang menilai Pancasila itu telah menjadi thãghût. Sebab, bila ada aturan selain aturan Allah yang dianggap sacral dan sempurna sesempurna Islam tentu saja secara akidah salah besar
Selanjutnya Ustadz Syarif mengatakan, kita tidak bisa memungkiri kenyataan, bahwa rumusan Pancasila itu  digali dari nilai-nilai agama dan budaya bangsa saat itu, termasuk Islam di dalamnya. Sayangnya, tujuh kata yang telah kita maklumi di atas dicoret oleh sebagian founding father negeri ini.
"Padahal, bila dicermati seksama nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan Islam, kecuali sila pertama yang menjadi bias maknanya," ujarnya.
Pancasila mengalami sakralisasi dan kristalisasi. Seolah-olah Pancasila falsafah Negara yang sempurna dan harga mati. Dan diperparah dengan kenyataan di lapangan, tidak ada seorang anak bangsa di negeri ini yang bisa dijadikan figure Pancasialis sejati
Amat disesalkan di kemudian hari, kata Ustadz Syarif, Pancasila mengalami sakralisasi dan kristalisasi. Seolah-olah Pancasila falsafah Negara yang sempurna dan harga mati. Dan diperparah dengan kenyataan di lapangan, tidak ada seorang anak bangsa di negeri ini yang bisa dijadikan figure Pancasialis sejati.
"Sehingga, wajar bila kemudian ada sebagian Ikhwah yang menilai Pancasila itu telah menjadi thãghût. Sebab, bila ada aturan selain aturan Allah yang dianggap sacral dan sempurna sesempurna Islam tentu saja secara akidah salah besar," tuturnya seraya menyitir surat Al-Maidah ayat 50 yang artinya. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.
Selain itu Ustadz Syarif juga menyitri surat Fushilat ayat 33 yang artinya Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’"(Q.S. Fushilat, ayat 33)
"Jadi, bagaimanapun juga Pancasila jangan disetarakan dengan Islam sebagai agama Allah satu-satunya yang mutlak benar dan yang diridhai-Nya," tegas Ustadz yang sedang menempuh pendidikan Doktora di UIKA Bogor
Pancasila, terang Ustadz Syarif memang telah menjamin umat Islam untuk menjalankan aktivitas ibadah dan amaliah ritual sebatas hubungan hablun minallah wa hablun min al-nas.
"Tetapi, Pancasila tidak mengizinkan umat Islam menjalankan Syari’at Islam dalam ranah hokum dan siyãsah jinãyah. Sehingga, bisa dikatakan umat Islam leluasa menjalankan Syari’at Islam di negeri ini asalkan jangan menegakkan hudûd dan qishãsh. Dengan kata lain, Syari’at Islam minus hokum jinãyah. Islam yang tidak kaffah," paparnya.
Karena itu, sambungnya lagi sebenarnya bila ada kemauan untuk mengizinkan umat Islam menjalankan seluruh aspek ajarannya, niscaya Pancasila sebagai falsafah Negara mungkin takkan ada yang ‘menggugat’.
"Oleh karenanya, ungkapan menjalankan Pancasila sama dengan menjalankan Syari’at Islam belum tentu benar. Apalagi Pancasila sebagai teks mati bisa ditafsirkan oleh siapa saja dan apa saja. Berbeda dengan al-Qur’an dan Hadits yang notabene memiliki batasan-batasan ilmiah dan aturan baku dalam penafsirannya. dengan demikian, boleh jadi bagi umat Islam Pancasila itu begini, tetapi bagi umat lain Pancasila itu begitu. Mana yang benar? Wallahu a’lam, " jelasnya.
Ketuhanan yang Maha Esa hemat saya kurang islami, sebab Ketuhanan tidak mencerminkan ajaran Tauhid, buktinya semua agama mengaku semuanya berketuhanan yang Maha Esa walau faktanya berakidah syirik
Alhasil, menurut pengajar di sekolah menenga Islam ini, ajaran Pancasila tidak seratus persen mencerminkan ajaran Islam, namun demikian bukan pula Pancasila bertentangan dengan Islam seratus persen. Artinya, ada nilai-nilai ajaran Islam di dalamnya semisal rumusan musyawarah mufakat, keadilan bagi seluruh rakyat, dan kemanusiaan yang adil dan beradab, justeru sarat dengan nilai-nilai Islam, bahkan boleh diklaim berjiwakan Islam, karena adil, adab, dan musyawarah belum tentu terdapat dalam ajaran agama lain. Atau mungkin itulah nilai-nilai universal dari Pancasila.
"Adapun Ketuhanan yang Maha Esa hemat saya kurang islami, sebab Ketuhanan tidak mencerminkan ajaran Tauhid, buktinya semua agama mengaku semuanya berketuhanan yang Maha Esa walau faktanya berakidah syirik," pungkasnya.