Tuesday, July 21, 2015

Tauhid Dibagi menjadi 3 (tiga) Bagian, Mana dalilnya? Bid'ahkah ? Sesatkah ? ( Bagian 1 )

Mengapa tauhid dibagi 3? Mana dalilnya?

Kami katakan: sesungguhnya pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan:

“Dimanakah larangan merokok dalam Islam? Dalam al-Qur’an? Sehingga merokok dapat dikatakan haram?”

Jawab: jika yang Anda minta adalah ayat yang bunyinya: “dan telah Kami haramkan merokok bagimu” atau yang semisalnya, maka tak akan kita jumpai!


 
ayat larangan bunuh diri
Tapi larangan merokok ada dalam al-Qur’an, termaktub dalam ayat:
“…Janganlah kamu membunuh dirimu…” (an-Nisaa: 29)

Namun, demikian, pertanyaan tentang jenis-jenis tauhid tetap sering kita jumpai. Mungkin karena tidak terbiasanya mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dan kurang pahamnya akan bagaimananya suatu dalil digunakan atau suatu kesimpulan diperoleh melalui sistem pendalilan. Untuk itu kami akan menukilkan sebuah tulisan singkat yang akan menjawab pertanyaan di atas, yang sejatinya kami ambil dari:
Suatu kesempatan Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari ditanya mengenai kenapa orang-orang yang mengatakan bermanhaj dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Sifat. Dari manakah pembagian ini, mengingat di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak disebutkan. Dan menurut kami, hal itu tidak didapati pula pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun shahabat. Bukankah pernyataan tersebut termasuk suatu perkara baru (muhdats) dan tidak ada dalilnya?

Maka Syaikh menjawab bahwa pembagian yang disyaratkan tersebut kedudukannya seperti pembagian para pakar ilmu Nahwu terhadap kata dalam bahasa Arab menjadi isim (nama), fi’il (kata kerja) dan harf (imbuhan). Apakah yang demikian itu suatu hal tercela, padahal sesuai dengan kenyataan dan hakekat perkaranya.

Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya At Tahdzir hlm. 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam Taaj Al Aruus dan Syaikh Syanqithi dalam Adhwa Al-Bayaan, dan yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya

Ini adalah hasil telaah yang paripurna dari nash-nash syar’i , seperti yang dikenal dalam setiap bidang ilmu. Seperti hasil tela’ah pakar ilmu Nahwu terhadap bahasa Arab menjadi : isim, fi’il dan harf. Dan orang-orang Arab tidak mencela dan melecehkan para pakar Nahwu tersebut terhadap hasil telaahnya”.

Berkata Syaikh Al-Baijuri dalam Syarh Jauharah At Tauhid hlm. 97. Firman Allah ; Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin, mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang konsekuensinya adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah. Adapun konsekuensi Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi seorang hamba untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya : “Kebanyakan surat-surat Al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid ini, bahkan Al-Qur’an dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan (menjelaskan)”.

Kami katakan : “Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam banyak surat di dalam Al Qur’an Al Karim. Yang paling tampak serta paling jelas adalah dalam dua surat, yaitu Al Fatihah dan An Naas, dimana keduanya adalah pembuka dan penutup Al Qur’an.

Oleh karena itu firmanNya Yang Maha Suci ;Alhamdulillahirrabbil ‘alamiin, mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa A’laa terhadap seluruh makhlukNya, dan firmanNya Yang Maha Suci : ‘Ar Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diindi disini mengandung pengukuhan terhadap sifat-sifatNya Yang Maha Tinggi dan nama-namaNya Yang Maha Mulia, sedangkan firmanNya Yang Maha Suci : ‘Iyaaka Na’budu Wa Iyaaka Nasta’iin di sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an seluruh makhluk kepadaNya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.

Kemudian berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz, juz I, hlm.75. FirmanNya : Iyaaka Na’budu adalah ucapan seorang yang beriman kepadaNya yang menunjukkan pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan manusia beribadah kepada selainNya yang berupa berhala-berhala dan lain sebagainya”.

Bahkan di dalam Al Qur’an disebutkan satu ayat yang mengumpulkan seluruh jenis tauhid tersebut.

 “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65)

Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah (berkata) ketika menerangkan bentuk pendalilan dari ayat di atas:

“Ayat ini mengandung prinsip yang agung yaitu: tauhid rububiyah, dan Allah ta’ala adalah Rabb, Pencipta, Pemberi rezeki, serta Pengatur segala sesuatu, dan tauhid uluhiyah wal ibadah. Allah ta’ala adalah Sesembahan yang Berhak untuk Diibadahi. Dan sungguh Rububiyah Allah mewajibkan adanya per-ibadahan serta pentauhidanNya. Oleh karena itu di dalam ayat tersebut terdapat fa’ dalam firmanNya. Ini menunjukkan kepada suatu sebab, yang maksudnya: karena Allah adalah Rabb bagi segala sesuatu maka Allah pula-lah Dzat yang pantas disembah, maka sembahlah Allah.

Termasuk kandungan ayat tersebut adalah: berteguh hati di dalam beribadah kepada Allah ta’ala dan ini merupakan suatu upaya yang kokoh, serta selalu melatih dan menjaga jiwa agar selalu ber-ibadah kepada Allah ta’ala. Maka termasuk ke dalam hal ini suatu jenis kesabaran yang paling tinggi. Yaitu sabar di dalam perkara-perkara yang wajib dan mustahab (disukai dalam syariat), serta sabar dari perkara-perkara yang haram dan makruh, bahkan masuk kedalamnya sabar dalam menghadapi berbagai cobaan. Karena sabar terhadap berbagai cobaan tanpa adanya rasa murka, dan selalu ridha darinya kepada Allah merupakan bentuk ibadah yang terbesar yang masuk ke dalam firman Allah: “Berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, sifat yang penuh dengan ke-agungan, serta kekuasaan yang mulia. Dalam permasalahan ini tidak ada bagiNya sesuatu yang serupa, sepadan, yang menyamai. Bahkan Allah ta’ala telah menyendiri dengan kesempurnaan yang mutlak dari berbagai sudut dan sisi”[2] .

Jadi pembagian tauhid menjadi 3 tersebut adalah pembagian secara ilmu dan merupakan hasil telaah seperti yang dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya.

Jadi, apabila ketiga jenis tauhid ini tidak lengkap atau tidak sempurna diimani oleh seorang hamba, maka hamba itu tidak sempurna imannya atau bahkan keluar dari Islam (seperti kaum Quraisy yang mentauhidkan Allah dalam tauhid rububiyah tapi tidak dengan tauhid uluhiyah)
————————
Sebelumnya pun ada beberapa ulama terdahulu membagi tauhid ini menjadi dua bagian:

Yang pertamaTauhid Al Ma’rifat wal Itsbat (Pengenalan dan Penetapan) yang mengandung 2 tauhid yaitu Tauhid Rububiyah yaitu mengenal Allah melalui perbuatanNya, dan Tauhid Asma wa Sifat yaitu mengenal Allah melalui nama dan sifatNya.

Yang keduaTauhid Al Iradi Ath Thalabi yaitu tauhid yang diinginkan dan dituntut, disebut juga tauhid uluhiyah.
————————-
Akan tetapi seiring semakin jauhnya umat Islam dari ajaran agama, sehingga banyak terjadi penyimpangan keyakinan di dalam nama dan sifat Allah, maka Tauhid Asma’ wa Sifat disebutkan secara khusus.

Wallahu a’lam.

Sumber Penulisan:
Al Mukhtashar Al Mufidah fii Bayaanii Dalaail Aqsaani At Tauhid, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad. Edisi Indonesia: Mengapa Tauhid Dibagi Tiga (Ebook)


Oleh:Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rohimahulloh
Beliau berkata, “Sebagian orang berpendapat bahwa membagi-bagi tauhid menjadi tiga (baca: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma wa shifat) adalah bid’ah, karena yang semacam itu tidak diriwayatkan dari Nabishollallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Sedangkan apa saja (yang dianggap) bagian dari agama padahal tidak datang dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka itu bid’ah.
Namun ini kita jawab, maka kita katakan, sesungguhnya banyak perkara sesuatu yang disusun oleh para ulama yang sebelumnya belum tersusun di masa Ar Rosul ‘alaihish sholatu was salam. Ini tidak perlu dijelaskan lagi.Orang-orang yang membaginya (tauhid) menjadi tiga tidak mendatangkan sesuatu yang baru, tidak pula mengingkari keabsahannya. Bahkan mereka membawakannya dari Al Quran & Sunnah, hanya saja mereka membaginya. Pembagian mereka ini berdasarkan perbedaan manusia di dalamnya. Sebagaimana yang akan kita terangkan (dalam pembahasan kitab), insyaAllah.Sekiranya kita menempuh jalan yang ditempuh orang yang nyeleneh ini, pasti juga kita katakan bahwa syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat, rukun-rukun haji, wajib-wjib, dan larangan-larangannya, dan semisalnya, termasuk perkara bid’ah!Padahal kita tidak menyatakan (pembagian) ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah, akan tetapi kita hanya menyebutkan ini sebagai bentuk mendekatkan ilmu kepada penuntutnya. Jadi, pembagian ini adalah sarana bukan tujuan.
Maka yang benar -tidak ragu lagi-, bahwa pembagian tauhid menjadi tiga macam, dan menyebutkan syarat-syarat, rukun-rukun, wajib-wajib, serta perusak-perusak dalam ibadah-ibadah; ini semua diperbolehkan karena hanya sebagai sarana & pendekatan, serta meringkas sesuatu untuk penuntut ilmu. Kita juga ingat bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa menyebutkan sesuatu dengan bilangan tertentu. Seperti: ‘Tujuh golongan manusia yang Allah naungi dengan naungan-Nya…’ [Riwayat Al Bukhari (660) & Muslim (1031) dari hadits Abu Hurairah], ‘Tiga golongan manusia yang tidak Allah ajak bicara di hari kiamat…’ [Riwayat Al Bukhari (2369 & 2672) & Muslim (107) dari hadits Abu Hurairaah], dan semisalnya. Ini termasuk macam dari pembagian.”
[Syarh ‘Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah hal. 6-7 cet. ke-4 1431 H, Dar Ibnul Jauzi Mesir]
Faidah:

Syaikh ‘Abdurrozzaq bin ‘Abdul Muhsin Al Badr Al ‘Abbad dalam bukunya yang sangat bermanfa’at, Al Mukhtashor Al Mufid fi Bayan Dalail At Tauhid (edisi terj.: Mengapa Tauhid Dibagi Menjadi Tiga pent. Abu ‘Umar ‘Urwah Al Bankawi), menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan pembagian tauhid, yaitu:

A. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid rububiyyah:

1. Al Fatihah: 1
2. Al A’rof: 54
3. Ar Ro’d: 16
4. Al Mu’minun: 84-89
5. Al Mu’min/Al Ghofir: 64


B. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid uluhiyyah:         

1. Al Fatihah: 1
2. Al Fatihah: 4
3. Al Baqoroh: 21
4. Az Zumar: 2-3
5. Az Zumar: 14-15

6. Al Bayyinah: 5
C. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid asma’ & shifat:

1. Al Fatihah: 3-4
2. Al Isro': 110
3. Maryam: 65

Dan dalam sebuah ayat (65) di suroh Maryam terdapat pembagian tauhid menjadi tiga yang sangat nampak jelas, bak matahari di siang bolong. Ayat tersebut adalah: “(Dia lah) Robb (baca: pencipta, penguasa, pengatur, dan pemberi rizki) langit-langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kau mengetahui ada sesuatu yang menyamai-Nya.”
Perhatikanlah pembagian tauhid menjadi tiga dalam satu ayat ini, yaitu:

1. Firman-Nya, “(Dia lah) Robb (baca: pencipta, penguasa, pengatur, dan pemberi rizki) langit-langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya.” adalah merupakan penetapan macam tauhid yang pertama, tauhid rububiyyah (mengesakan Allah dalam kaitannya dengan perbuatan Allah Ta’ala)

2. Firman-Nya, “Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya.” adalah macam tauhid yang kedua, yaitu tauhid uluhiyyah (mengesakan Allah dalam kaitannya dengan perbuatan hamba)

3. Dan firman-Nya, “Apakah kau mengetahui ada sesuatu yang menyamai-Nya.” adalah macam tauhid yang ketiga, yaitu tauhid asma’ & shifat. Allahua’lam. []
https://almarwadi.wordpress.com/2012/09/27/klaim-bidahnya-pembagian-tauhid-serta-bantahan-atasnya/


Tauhid Dibagi menjadi 3 (tiga) Bagian, Bid'ahkah ?? Sesatkah ??

- Tauhid Rububiyah, yakni meyakini dan mengimani bahwa Allaah adalah satu2nya Pencipta semua makhluk, Allaah adalah satu2nya Pemberi rizki..

- Tauhid Uluhiyah, yakni meyakini HANYA Allaah satu2nya Dzat yang wajib disembah dan di ibadahi..



- Tauhid Asma wa Sifat, yakni meyakini bahwa Allaah memiliki nama2 dan sifat yang mulia..


==> Sederhananya begitu, tapi ada sebagian manusia jahil (dalam artian tidak tahu ilmunya, atau memang tidak mau tahu ilmunya, atau bisa jadi sudah tahu tapi hatinya tertutup nafsu) yang manganggap 3 bagian tauhid tsb bahwa jumlah tauhid (sesembahan) itu ada 3, bahkan pada level lebih parah sampai dianggapnya atau disamakannya dengan trinitas ala kristen. Subhanallaah.

Para Pembenci dakwah tauhid menebarkan tuduhan bahwa pembagian tauhid menjadi Tauhid Rubbubiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa sifat adalah bid’ah dan sesat !! Mereka tak lain hanya ingin menjauhkan umat dari dakwah tauhid. Mereka tidak sadar atau pura-pura tidak tahu bahwa sesungguhnya merekapun mengakui bahwa dalam tauhid itu memang ada 3 bagian tidak boleh diingkari.

1. Apakah anda mengakui bahwa Allaah lah satu-satunya yang Menciptakan, yang memberi rizqi, yang mengatur alam ini ???? Jika ya, maka anda telah mentauhidkan Rubbubiyah Allaah.

2. Apakah anda meyakini bahwa hanya Allaah lah yang berhak untuk diibadahi ???? Jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid ulluhiyah, yaitu mentauhidkan Allaah dlm ibadah.

3. Apakah anda meyakini bahwa Allah mempunyai Nama dan sifat Yang Maha Sempurna dan Maha Agung ???? Jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid ‘Asma wa sifat.

Dan, jika anda tidak mengimani satu saja dari ketiga bagian tauhid tsb diatas, maka anda telah rusak tauhidnya, naudzubillaah !!

Maka dari jalan manakah kita menolak ketiga bagian tauhid ini wahai saudaraku ?????

Sebagian mereka pun berkata :

"Lho, tapi kan pembagian spt ini bid'ah, gak ada di zaman Nabi !!"

Kita katakan :

Banyak pembagian istilah dalam Islam oleh para ulama yang tujuannya untuk memperjelas agar umat islam lebih mudah memahami.

Contoh :

Pembagian hukum : Wajib, sunnah, mubah, makruh, haram..

Pemabgian2 tsb juga tidak ada di zaman Nabi, lantas apakah pembagian tsb bid'ah dan sesat ???

Istilah nama-nama shalat : Shalat tarawaih, tahiyatul masjid, sukrul wudhu’, dlsb..

Di zaman Nabi tak pernah ada nama-nama sholat spt ini, lantas apakah pembagian atau penamaan tsb bid'ah dan sesat ????

Demikian juga dengan syarat wajib, syarat sah, dan rukun dalam ibadah, itu semua adalah syarat2 yang dirumuskan dan dijelaskan oleh para ulamaa', tak akan pernah ditemui dalam Qur'an maupun hadits tentang syarat2 semacam itu. Apakah adanya pembagian dan penjelasan syarat2 tsb bid'ah dan sesat ?????

Jenis-jenis dan pembagian najis : Mukhafafah, mutawasithah, mugholadhoh. Dan masih banyak pembagian2 dalam Islam yang tujuannya adalah untuk mempermudah umat dalam memahaminya, apakah semua itu bid'ah dan sesat ????

Demikian juga dengan pembagian tauhid menjadi 3 bagian, apakah karena tidak dilakukan di zaman Nabi lantas otomatis bid'ah dan sesat ????

Saudaraku, jika anda pernah baca buku yang judulnya “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi”(USMSW), di bagian akhir disebutkan keterangan tentang fatwa Dewan Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al Mishriyah), bahwa pembagian tauhid menjadi dua (Uluhiyyah dan Rububiyyah) merupakan pembagian yang bid’ah dan sesat. Sayangnya, si penulis tidak mencantumkan teks asli fatwa itu, karena di dalamnya ada tulisan “Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullah” (doa dari ulama anggota Darul Ifta’). Sepertinya (wallahu A'lam) si penulis takut jika doa “rahimahullah” ini dibaca oleh kaum Muslimin, sehingga dia tidak cantumkan fatwa itu secara penuh. Hanya disebutkan isinya saja. Subhanallaah, sampai segitunya ya..

Kembali ke soal pembagian tauhid menjadi Uluhiyyah dan Rububiyyah :

Katanya, pembagian tauhid seperti ini bid’ah, sesat dan menyesatkan. Banyak yang mengatakan :

“Padahal sesungguhnya, tauhid hanya satu. Pembagian tauhid seperti faham Wahabi ini adalah akal-akalan mereka untuk memusyrikkan umat Islam yang bertawasul dengan ibadahnya, bertawasul dengan kebenaran nabinya, dan bertawasul dengan kebenaran orang saleh ataupun Al Qur’an al-Karim.” (Lihat USMSW, hal. 324).

Sebenarnya, penolakan terhadap pembagian tauhid ini sudah terdengar sejak lama. Lengkapnya, pembagian tauhid itu meliputi tiga sebagaimana sudah kita singgung dalam muqadimah, yaitu :

Tauhid Rububiyyah
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Asma Wa Shifat

Mereka yang menetangnya mengatakan bahwa hal ini merupakan pembagian yang bid’ah, yang tidak dikenal di masa Rasulullah dan Shahabat. Dan ini dianggap hanyalah sebagai akal2an kaum “Salafi Wahabi”

Benarkah pembagian tauhid dengan 3 pembagian itu merupakan bid’ah ???? Sesat dan menyesatkan ??? Akal-akalan kaum Wahabi ????

Saudaraku, harus kita katakan bahwa :

Pembagian tauhid itu sudah sesuai Syariat Islam, dan bukan bid’ah (apalagi sampai sesat menyesatkan). Apa yang dituduhkan sebagian orang dalam topik ini hanyalah pendapat emosional, dalil dan hujjahnya lemah, dan terkesan dicari-cari belaka. Bahkan lembaga setingkat Dewan Ulama Mesir sekalipun, kalau pendapatnya keliru, harus diabaikan.

Disini ada beberapa argumentasi yang bisa disebutkan, yang mana sebagiannya sudah kita singgung dalam muqadimah tulisan :

PERTAMA :

Apa dasarnya menyebut pembagian tauhid (Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Asma Wa Shifat) itu dikatakan bid’ah ???

Katanya, karena pembagian seperti itu tidak dikenal di masa Nabi dan Shahabat.

Jika demikian, apakah setiap sesuatu yang tidak ada di masa Nabi lalu dianggap bid’ah ??? Bagaimana dengan penulisan Mushaf Al Qur’an ??? Apakah penulisan Mushaf ini ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ??? Penulisan Mushaf baru dikenal di zaman Khalifah Abu Bakar As Shiddiq, lalu ditulis kembali di masa Khalifah Utsman. Maka penulisan dan pembukuan Mushaf ini cukup sebagai dalil, bahwa segala sesuatu yang tidak dilakukan di masa Nabi, tidak otomatis bid’ah.

KEDUA :

Pernahkan Anda mendengar di masa Nabi dan para Shahabat ada istilah “ilmu hadits”, “musthalah hadits”, “perawi hadits”, “matan hadits”, “sanad”, “jarah wa ta’dil”, dan lain-lain ??????

Maka di masa Nabi belum ada ilmu baku tentang hadits Nabi. Ilmu baku seputar hadits muncul di kemudian-kemudian hari, terutama ketika mulai menyebar hadits-hadits palsu.

Imam Al Bukhari saja hidup sekitar 300 tahun setelah zaman Nabi. Apakah karena di masa Nabi belum terbentuk struktur ilmu hadits, lalu kita akan menolak ilmu hadits ??????

Maka tanyakan hal ini kepada manusia-manusia yang hatinya dipenuhi dendam, kebencian, dan emosi itu !!

KETIGA :

Apa yang dilakukan oleh para ulama akidah dalam soal pembagian tauhid menjadi 3 istilah, hal itu bukan akal-akalan mereka, bukan kreasi mereka, bukan ciptaan mereka. Mereka itu hanyalah membuat sebutan untuk suatu hakikat yang sudah ada. Sekali, membuat atau menjelaskan hal yang sudah ada !!

Logikanya begini :

Seperti seorang ilmuwan Botani yang menemukan tumbuhan, lalu tumbuhan itu dinamai dengan nama dia. Maka penamaan ini bukan lantaran tumbuhan itu tadinya tidak ada, lalu menjadi ada. Tumbuhan itu sudah ada, tetapi belum ada istilahnya.

Paham ????

Jika penjelasan sesederhanan ini masih tidak ngerti juga, maka kita tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk lebih menyederhanakannya..

Nah, dari sini telah jelaslah bahwa pembuatan istilah ini, hanya untuk memudahkan saja. Hakikat Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Asma Wa Shifat, semua itu sudah ada, hanya istilahnya belum dikenal. Maka sebagian ulama perlu membuat istilah tertentu untuk menamai sesuatu yang sudah ada tersebut agar lebih mudah dipahami oleh umat.

Mungkin Anda bertanya :

“Apa buktinya bahwa semua itu sudah ada, hanya tinggal dicarikan namanya saja ???”

Maka jawabnya sebagai berikut :

“Alhamdulillah, coba Anda baca Surat An Naas, coba baca Surat yang sangat dihafal anak-anak itu !!”

Kalau membaca Surat An Naas, disana ada kata :

“Bi Rabbin naas”
“Malikin naas”
“Ilahin naas”

Disini Allaah menyebutkan diri-Nya dengan tiga sebutan :

Ar Rabb
Al Malik
Al Ilah

Apakah hal ini mengada-ada ????

Dalam Al Qur’an sendiri sudah diyebutkan adanya istilah-istilah itu. Dengan adanya istilah “Malikin naas” maka bisa diketahui istilah Tauhid Mulkiyah (tauhid terkait dengan otoritas Allah dalam menentukan hukum). Jadi istilah Rububiyah, Uluhiyyah, dan Asma Wa Shifat, bukan sesuatu yang mengada-ada !!

KEEMPAT :

Diceritakan bahwa As Sibawaih pernah ingin mendalami ilmu hadits, tetapi dia ternyata kurang mampu. Maka dia pun mendalami ilmu bahasa Arab. Ternyata, bintangnya cemerlang di bidang ilmu kebahasaan ini. As Sibawaih banyak mengemukakan teori-teori baru seputar ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab).

Apakah Sibawaih dalam hal ini seorang ahli bid’ah karena membuat teori-teori yang tak ada di zaman Nabi ????

Saudaraku, apa yang dilakukan As Sibawaih tak lebih dari membuat ilmu bahasa Arab menjadi lebih teratur, terorganisir, dan lebih mudah dipelajari.

Maka begitu pulalah ulama-ulama akidah dan pakar tauhid, mereka ingin lebih memudahkan Ummat Islam dalam memahami, mempelajari, dan mengamalkan ilmu tauhid. Andaikan ada istilah lain yang lebih baik, lebih tepat, dan efektif, tidak mengapa digunakan istilah semisal itu.

Dari sini, kita yakin (bagi yang mau berfikir obyektif dan mengesampingkan rasa benci dan hawa nafsu) cukup mudah untuk diikuti dan dimengerti penjelasan ini, semoga !!

KELIMA :

Kalau kita ingin memahami Allah Ta’ala secara sempurna, maka kita harus memasuki ilmu tauhid melalui pintu-pintunya. Dan pintu ilmu tauhid itu bukan hanya satu saja. Pintu-pintu itu terbuka sesuai jalan-jalan yang Allaah ajarkan kepada manusia untuk mengenal-Nya.

Contohnya sangat mudah :

Perhatikan doa-doa yang Allah ajarkan melalui Al Qur’an dan As Sunnah. Sekali lagi, perhatikan doa-doa itu.. Ada kalanya Allah mengajarkan doa yang dimulai dengan kalimat “Rabbana” (Tuhan Kami) atau “Rabbi” (Tuhanku). Doa-doa Al Qur’an umumnya dengan istilah ini.

Kemudian ada istilah lain : “Allahumma” (Ya Allah). Istilah ini sering disebut dalam doa-doa Sunnah. Kemudian ada doa yang menyebut nama-nama Allah seperti “Ya Hayyu” (wahai yang Maha Hidup), “Ya Qayyum” (wahai yang Berdiri Sendiri), “Ya Malik”, “Ya Quddus”, “Ya Dzal Jalali Wal Ikram”, dan lain-lain. Sebagian shalihin ada yang menggunakan doa “Ya Ilahi” atau “Ya Ilahana”.


Sebutan-sebutan dalam doa ini menjelaskan adanya pintu-pintu berbeda untuk sampai kepada Allah. Hal ini membuktikan bahwa Allah ingin dikenal (dimakrifati) oleh Hamba-Nya dari beberapa jalan yang Dia ajarkan. Kalau hanya ada tauhid Rububiyyah saja, mungkin doa-doa itu seluruhnya akan dimulai dengan kata “Rabbana” atau “Rabbi”

KEENAM :

Kita semua paham, bahwa : Istilah Rabb dan Ilah itu memiliki pengertian berbeda.

RABB secara umum diartikan sebagai : Pengatur, pendidik, atau pemelihara. Maka dari itu, orang-orang yang memberi pengajaran ilmu sering disebut sebagai Murabbi. Sedangkan ilmu pengajarannya dikenal sebagai Tarbiyyah.

Sedangkan ILAH maknanya adalah sesembahan. Siapapun dan apapun yang disembah, ia adalah ilah. Para ulama menjelaskan, ilah adalah segala sesuatu yang mendominasi kehidupan, dicintai, menjadi tujuan penghambaan manusia.

Kalau RABB berbicara tentang posisi Allah sebagai pencipta, pemelihara, pengatur, penjaga, serta penguasa alam semesta.

Maka ILAH berbicara tentang posisi Allah sebagai pihak satu-satunya yang berhak diibadahi manusia.

Seperti tercermin dalam kalimat, “Laa ilaha illa Allah.” Dua makna, Rabb dan Ilah ini, menjelaskan posisi yang berbeda, meskipun keduanya ada pada Dzat yang sama, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Akan semakin lengkap ketika kita juga memahami Nama-nama Allah dalam Asma’ul Husna. Siapapun yang memahami hal-hal ini, mereka tidak akan heran dengan sebutan Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma Wa Shifat itu. Tidak akan heran !!

Analoginya begini :

Misalnya tentang Shalat. Siapapun di antara kaum Muslimin pasti tahu apa itu Shalat. Kita sering mendengar orang berkata : “Sudahkah Anda Shalat ??? Mari kita laksanakan Shalat. Segera Shalat, waktu hampir habis.” dlsb.. Kata-kata Shalat sering kita dengar.

Tetapi, kalau kita baca “Bab Shalat” dalam kitab fiqih atau hadits, disana kita akan mendapati fakta, bahwa Shalat ini ternyata banyak perinciannya :

- Kata Shalat dalam percakapan sehari-hari lebih bersifat umum.

- Kalau lebih didalami lagi, ternyata di balik kata Shalat banyak perincian-perinciannya, semisal tatacaranya, rukunnya, syarat sahnya, dst.. Dan memang demikianlah adanya..

Jadi, "istilah" Allaah adalah bersifat umum, maka di balik istilah itu ada perincian-perincian Sifat Allah seperti yang sering dibahas oleh para ulama. Kalau anak kecil diberitahu, “Allah itu Maha Esa.” Untuk anak kecil, penjelasan seperti itu sudah cukup. Tetapi untuk orang dewasa, mereka perlu dijelaskan tentang perincian-perincian Sifat Allah yang perlu dia ketahuinya.

Kalau sudah belajar Islam, banyak ilmu, akrab dengan istilah-istilah agama, lalu tidak bisa membedakan antara Allah sebagai Rabb dan Allah sebagai Ilah, waaaaah sayang sekali.

KETUJUH :

Dalam Al Qur’an banyak dijelaskan tentang perilaku orang-orang musyrik. Mereka itu kerap kali kalau ditanya, “Siapa pencipta langit dan bumi ???” Mereka menjawab, “Allah !!” Ayat-ayat demikian disinggung dalam banyak tempat, antara lain : Surat Yunus ayat 31, Al Mu’minuun ayat 84-89, Al Ankabuut ayat 61 dan 63, Luqman ayat 25, Az Zunar ayat 38, Az Zukhruf ayat 87.

Mari kita ambil salah satu contoh ayat-ayat ini :

“Katakanlah, “Siapa yang memiliki bumi dengan segala isinya, jika kalian orang-orang yang berakal ?” Mereka akan menjawab, “Milik Allah.” Katakanlah, “Apakah kalian tidak mengambil pelajaran ?” Katakanlah, “Siapakah Rabb pemilik langit-langit yang tujuh dan Rabb penguasa Arasy yang besar ?” Mereka akan menjawab, “Milik Allah.” Katakanlah, “Apakah kalian tidak merasa takut (kepada Allah) ?” Katakanlah, “Siapakah yang di Tangan-Nya terdapat kekuasaan atas segala sesuatu; Dia melindungi, tetapi tidak ada yang terlindungi (dari adzab-Nya), jika kalian benar-benar mengetahui ?” Mereka akan menjawab, “Milik Allah.” Katakanlah, “(Jika demikian) bagaimana kalianbisa tertipu ?” (Al Mu’minuun, 84-89)

Ayat-ayat ini menjadi bukti bahwa orang-orang Arab jahiliyah di masa lalu memang mempercayai Allah, mereka percaya Allah sebagai Rabb alam semesta. Hal ini dibuktikan dengan kebiasaan bangsa Arab jahiliyyah melaksanakan “ritual haji” di sekitar Ka’bah. Mereka meyakini bahwa Ka’bah itu adalah Baitullah (Rumah Allah). Untuk membangun Ka’bah ketika mengalami kerusakan di masa Nabi masih muda, orang Arab jahiliyyah memakai uang halal sepenuhnya, tidak dicampur uang haram. Hal ini membuktikan, bahwa mereka memuliakan Ka’bah itu, mereka sadar, bahwa untuk urusan membangun Ka’bah tidak boleh memakai uang haram.

Begitu juga saat terjadi peristiwa “pasukan gajah” di bawah pimpinan Raja Abrahah. Sebagai kuncen Ka’bah, Abdul Muthalib (kakek Rasulullah) hanya ingin menyelamatkan ternaknya dari amukan pasukan gajah. Ketika ditanya, mengapa hanya ingin menyelamatkan ternak saja ?? Dia menjawab, Ka’bah itu sudah ada yang memiliki; maka Pemilik Ka’bah (yaitu Allah) akan melindungi situs tersebut.

Jawaban Abdul Muthalib ini terbukti. Pasukan gajah Abrahah hancur oleh burung Ababil yang membawa batu-batu panas. Lihatlah dalam catatan sejarah yang terkenal itu, sosok Abdul Muthalib pun meyakini Allah sebagai Rabb (Pelindung Ka’bah).

Namun banyak yang menolak semua ini, terutama dari kalangan mereka yang menolak pembagian tauhid, dengan beralasan, katanya pengakuan orang-orang musyrik itu hanya “omong kosong di mulut saja”, padahal hati mereka sejatinya kufur (lihat buku USMSW).

Pendapat ini sangat aneh. Bagaimana ada “ritual haji” setiap tahun di Makkah, kalau mereka tak percaya Allah ?????

Bagaimana mereka membangun Ka’bah yang rusak dengan uang halal, karena hati mereka tidak meyakini sama sekali Kemuliaan Allah ???

Bagaimana Abdul Muthalib menyerahkan keselamatan Ka’bah kepada Allah, kalau dia tak mengimani Allah ????

Bahkan, bagaimana bisa Abdul Muthalib menamakan ayah Rasulullah dengan “Abdullah” kalau dia tak percaya Allah ????

Jadi, kufurnya kaum jahiliyyah Arab kala itu, bukan karena mereka atheis, tetapi karena mereka MUSYRIK, yaitu membuat tandingan-tandingan dalam penghambaan mereka kepada Allah. Mereka percaya kepada Allah, tetapi juga percaya kepada ilah-ilah selain Allah.

Ketika Islam mengajarkan konsep SATU ILAH (yaitu Allah saja), mereka menolak keras keyakinan seperti itu. Mereka percaya Allah, tetapi juga percaya ilah-ilah lainnya.

Ketika Islam mengajarkan konsep SATU TUHAN, seketika orang-orang musyrik merasa heran. Mereka berkata :

“Aja’alal alihah ilahan wahidan ? Inna hadza la syai’un ‘ujab” (mengapa dia jadikan tuhan-tuhan itu menjadi Tuhan yang satu saja ? Sungguh semua ini adalah perkara yang sangat mengherankan). [Shaad: 5].

Jadi, kaum musyrikin jahiliyyah Mekah disebut musyrik bukan karena tidak percaya Allah, tetapi mereka tidak mau hanya memiliki SATU TUHAN saja. Mereka ingin ada “tuhan kolektif”

Demikianlah yang terjadi dalam kaum musyrikin Mekkah kala itu, yakni mengimani sebagian tauhid tapi mengingkari bagian tauhid yang lain.

DELAPAN :

Dalam Al Qur’an dijelaskan juga, orang-orang musyrik, kalau mereka tertimpa badai di tengah lautan, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya.

“Jika mereka naik perahu di lautan, mereka berdoa dengan memurnikan ketaatan kepada Allah. Namun jika Kami selamatkan mereka sampai ke darat, mereka pun melakukan perbuatan orang-orang musyrik.” (Al Ankabuut: 65).

Jadi secara fitrahnya, orang musyrikin pun mengesakan Allah. Tetapi hal itu dalam momen-momen ketika keadaan mereka genting. Jika kondisi sudah aman, mereka berbuat kemusyrikan kembali. Hal ini menjadi bukti tambahan bahwa orang musyrikin bisa membedakan antara Allah sebagai Ilah dan sebagai Rabb.

Rabb adalah keyakinan umum mereka, namun Ilah adalah terkait dengan hak-hak Allah untuk diibadahi (seperti dimintai doa).

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa konsep Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Asma Wa Shifat, semua itu bukan bid’ah, bukan sesat-menyesatkan, bukan akal-akalan kaum Wahabi, tetapi ia adalah ajaran Syar’i dalam Islam. Andaikan ada istilah lain yang lebih tepat, Islami, dan mewakili, tentu istilah itu tidak mengapa dipilih. Tetapi sejauh kita mempelajari topik-topik ini, maka peristilahan yang sudah dibuat para ulama selama ini, ia paling dekat kepada kebenaran. Dalilnya adalah Surat An Naas :

“Rabbin naas”
“Malikin naas”
“Ilahin naas”

Kalau susah memahami, coba hafalkan Surat An Naas dulu ya.. Kalau masih belum hafal juga, T E R L A L U !!
Semoga Allah memberi kemudahkan untuk memahaminya.
Wallaahu Ta'ala A'lam bish shawaab.


Artikel terkait perlu dibaca :

Pembagian Tauhid Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah
Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? [Dalil-dalil & Alasan Pembagian Tauhid, Asal-Usul Pembagian Tauhid, Akibat Tidak Mau Membagi Tauhid Menjadi 3]
Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga?