Tauhid Itu
Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? (1) [Dalil-dalil & Alasan
Pembagian Tauhid]
Sebagian Saudara kita sangat
fobi dengan pembagian tauhid menjadi tiga, (1) Tauhid Ar-Rububiyah, (2) Tauhid
Al-‘Uluhiyah/al-‘Ubudiyah, dan (3) Tauhid al-Asmaa’ wa as-Sifaat. Bahkan barang
kali ada yang menyamakan pembagian ini dengan aqidah TRINITAS kaum Nasrani yang
meyakini Allah terdiri dari 3 oknum (http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/403-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-adalah-trinitas).
wal iyaadzu billah. Ada juga yang mengatakan bahwa pembagian tersebut hanya
akal-akalan dan bualan kaum salafi dan baru pertama kali dicetuskan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh. Ada juga yang dianggap ulama, mengatakan
bahwa pembagian tauhid menjadi tiga menyelisihi akidah kaum muslimin!?
Benarkah hal tersebut?
Sebagai seorang muslim yang selalu mengedepankan ilmu atas
perkataan, selayaknya kita menelaah akan hal yang sangat penting ini, agar
aqidah kita selamat dari syirik dan penyakit hati lainnya.
Jawaban ringkas untuk menjelaskan ketiga macam tauhid tersebut
adalah, mari kita tanyakan hal-hal berikut ini kepada masyarakat umum:
1. Apakah mengakui bahwa
Allahlah satu-satunya yang Menciptakan, yang memberi rizqi, yang mengatur alam ini ? Jika ya, maka anda telah mentauhidkan Rubbubiyah Allah.
2. Apakah anda meyakini bahwa
hanya Allah lah yang berhak untuk diibadahi? jika ya,
maka anda telah mengakui Tauhid Ulluhiyah, yaitu mentauhidkan Allah
dlm ibadah.
3. Apakah anda meyakini bahwa
Allah mempunyai
Nama dan sifat Yang Maha Sempurna dan Maha Agung ? jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid ‘Asma wa sifat.
Namun jika anda tidak mengimani
satu saja dari ketiga tauhid tsb diatas, maka anda telah rusak tauhidnya bukan? naudzubillah. (http://khansa.heck.in/pembagian-tauhid-adalah-untuk-mempermuda.xhtml)
Secara
umum tidak ada yang menolak, karena Allah
memang Maha Esa dalam ketiga hal di atas. Lantas kenapa harus ada
pengingkaran jika maknanya disetujui dan disepakati..?? (http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/403-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-adalah-trinitas)
Tulisan ini mencoba menelaah pembagian ketiga jenis tauhid ini
A. Pembagian Tauhid dan Dalil-dalil yang Mendasarinya
B. Mengapa Tauhid harus Dibagi Menjadi 3?
Mari kita bahas satu persatu, semoga bermanfaat untuk saya
khususnya dan bagi siapa saja yang membacanya
A. Pembagian
Tauhid dan Dalil-dalil yang Mendasarinya
Tauhid menurut bahasa berarti:
menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut istilah syar’i berarti :
Pengesaan terhadap Allah subhaanahu wa ta’ala dengan
sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam uluhiyyah-Nya, rububiyyah-Nya, asma’ dan sifat-Nya. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa
tauhid ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : Tauhid Rububiyyah, Tauhid
Uluhiyyah, dan Tauhid Asmaa’ wa Shifaat Allah. (http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/10/pembagian-tauhid-menurut-ahlus-sunnah.html)
Pengertian dari masing-masing
tauhid ini pernah saya ulas di: https://abumuhammadblog.wordpress.com/2013/01/07/hakikat-dan-kedudukan-tauhid/.
Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid rububiyyah:
a). Al Fatihah: 1 dan 2; b). Al A’rof: 54; c). Ar
Ro’d: 16; d). Al Mu’minun: 84-89; e). Al Mu’min/Al Ghofir:
64; f). Az-Zumar: 62; g). Lukman: 25
2. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid uluhiyyah:
a). Al Fatihah: 1, 2, 4, dan 5; b). Al Baqoroh: 21; c). Az
Zumar: 2-3; d). Az Zumar: 14-15; e). Al Bayyinah: 5;
f). Al-Anbiyaa’ : 25; g). An-Nahl : 36; h). Ali-’Imran :
18; i). Al-Qashash : 88; j). Al-Mukminun : 117; k). Huud : 101;
l). Lukman : 30; m). An-Najm : 23
3. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid asma’ wash shifat:
a). Al Fatihah: 3-4; b). Al Isro’: 110; c). Maryam:
65; d). Thoha: 8; e). Asy-Syuro: 11
Selengkapnya, bacalah di: http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/10/pembagian-tauhid-menurut-ahlus-sunnah.html
Termasuk ayat-ayat yang mengumpulkan pembagian
tauhid yang tiga adalah firman Allah
tabaraka wa ta’ala dalam Surat Maryam.
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang
ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat
kepada-Nya. Apakah kalian mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang
patut disembah)? (QS. Maryam: 65)
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman bin Sa’di rahimahullah
(berkata) ketika menerangkan bentuk pendalilan dari ayat di atas (diringkas):
“Ayat ini mengandung prinsip
yang agung yaitu: tauhidur- rububiyah, dan Allah ta’ala adalah
Rabb, Pencipta, Pemberi rezeki, serta Pengatur segala sesuatu, dan tauhid al-uluhiyah wal ibadah. Allah ta’ala adalah Sesembahan yang Berhak
untuk Diibadahi. Dan sungguh Rububiyah Allah mewajibkan adanya per-ibadahan serta pentauhidan-Nya. Oleh karena itu
di dalam ayat tersebut terdapat fa’ dalam firmannya: فَاعْبُدْهُ. Ini menunjukkan
kepada suatu sebab, yang maksudnya: karena Allah adalah Rabb bagi segala
sesuatu maka Allah pulalah Dzat yang pantas disembah, maka sembahlah Allah…” (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
Perhatikanlah pembagian tauhid menjadi tiga dalam satu ayat ini,
yaitu:
1. Firman-Nya, “(Dia lah) Robb
(baca: pencipta, penguasa, pengatur, dan pemberi rizki) langit-langit dan bumi
dan segala yang ada di antara keduanya.” adalah merupakan penetapan macam
tauhid yang pertama, tauhid rububiyyah (mengesakan
Allah dalam penciptaan)
2. Firman-Nya, “Maka sembahlah Dia
dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya.” adalah macam tauhid yang
kedua, yaitu tauhid uluhiyyah (mengesakan Allah
dalam peribadatan)
3. Dan firman-Nya, “Apakah kau
mengetahui ada sesuatu yang menyamai-Nya.” adalah macam tauhid yang ketiga, yaitu tauhid asma’ & shifat. (http://almarwadi.wordpress.com/2012/09/27/klaim-bidahnya-pembagian-tauhid-serta-bantahan-atasnya/)
B.
Mengapa Tauhid harus Dibagi Menjadi 3?
Sepengetahuan saya (Abu
Muhammad), setidaknya ada 6 alasan syar’i, di balik
pembagian tauhid menjadi 3, yaitu sebagai berikut:
1.
Tauhid Ar-Rububiyyah saja Tidaklah Cukup
Alloh Jalla wa A’la telah menceritakan
di dalam kitab-Nya tentang keadaan kaum musyrikin yang telah mengikrarkan
Tauhidur-Rububiyah. Allah berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit
dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan,
dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka
akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa
kepada-Nya)?” (Yunus: 31)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka
dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? (Az-Zukhruf: 87)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Dan sesungguhnya jika kalian menanyakan kepada mereka: “Siapakah
yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah
matinya?”Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. (Al-Ankabut: 63)
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam
kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan
yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping
Allah ada sesembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kalian mengingati (Nya).
(An-Naml: 62)
Dalil-dalil di atas adalah
bukti bahwa mereka (kaum musyrikin) dahulu mengenal Allah dan mengetahui
tentang rububiyah, kekuasaan serta pengaturanNya. Walaupun demikian, sekedar pengakuan tidaklah
mencukupi dan menyelamatkan mereka. Hal ini
dikarenakan kesyirikan
mereka dalam tauhid al-ibadah yang
merupakan makna “La Ilaha illallah”. Karena itu Allah ta’ala berfirman tentang
mereka:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari
mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (Yusuf: 106) [http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf]
Ibnu Jarir At-Thobari -Imamnya para ahli tafsir- dalam tafsirnya
(Jaami’ul Bayaan ‘an takwiil Aayi Al-Qur’aan tatkala menafsirkan surat Yusuf
ayat 106), beliau berkata :
((Perkataan tentang penafsiran firman Allah “Dan tidaklah
kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali mereka berbuat kesyirikan” (QS
Yusuf : 106)
Allah berkata : Dan tidaklah
kebanyakan mereka –yaitu yang telah disifati oleh Allah dengan firmanNya وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ “Dan banyak sekali
tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya,
sedang mereka berpaling dari padanya” (QS Yusuf : 105)- mengakui bahwasanya Allah pencipta mereka, pemberi rizki kepada
mereka, dan pencipta segala sesuatu melainkan mereka berbuat kesyirikian kepada
Allah dalam peribadatan mereka kepada patung-patung dan arca-arca dan
menjadikan selain Allah sebagai tandingan bagi Allah dan persangkaan mereka
bahwasanya Allah memiliki anak. Maha tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan. Dan para ahli tafsir
berpendapat seperti pendapat kami ini))
(Tafsir At-Thobari 13/372)
Setelah itu Imam Ibnu Jarir
At-Thobari menyebutkan perkataan para ahli tafsir dari kalangan para sahabat
dan para tabi’in tentang tafsiran ayat ini. Beliau kemudian meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ibnu
Abbas –radhiallahu ‘anhumaa-, beliau
berkata :
“Termasuk keimanan mereka adalah jika dikatakan kepada mereka : Siapakah yang
menciptakan langit?, siapakah yang menciptakan bumi?, siapakah yang menciptakan
gunung?, mereka menjawab : Allah. Namun mereka berbuat kesyirikan” (Tafsir At-Tobari 13/373)
Ibnu Jarir juga meriwayatkan
dengan sanadnya dari Ikrimah –rahimahullah- beliau berkata:
“Termasuk kemimanan mereka adalah jika dikatakan kepada mereka :
Siapakah yang menciptakan langit?, mereka menjawab : Allah. Jika mereka ditanya
: Siapakah yang menciptakan kalian?, mereka menjawab : Allah. Padahal mereka
berbuat kesyirikan kepada Allah” (Tafsir At-Thobari 13/373)
Ibnu Jarir At-Thobari juga
meriwayatkan dengan sanadnya dengan beberapa jalan dari Mujahid -rahimahullah-, diantaranya beliau berkata :
“Keimanan mereka adalah
perkataan mereka : Allah pencipta kami dan Yang memberi rizki kepada kami dan
mematikan kami. Inilah
keimanan (mereka) bersama keyirikan mereka dengan beribadah kepada selain Allah” (Tafsir At-Thobari 13/374)
Ibnu Jarir At-Thobari juga
meriwayatkan dengan sanadnya dari Qotaadah –rahimahullah-,
beliau berkata :
“Keimanan mereka ini, (yaitu) tidaklah engkau bertemu dengan
seorangpun dari mereka kecuali ia mengabarkan kepadamu bahwasannya Allah adalah
Robnya, dan Dialah yang telah menciptakannya dan memberi rizki kepadanya. Padahal dia berbuat kesyirikan
dalam ibadahnya” (Tafsir At-Thobari 13/375)
Ibnu Jarir At-Thobari juga
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahullah, beliau berkata :
“Tidak seorangpun yang
menyembah selain
Allah –bersama penyembahannya terhadap
Allah- kecuali ia beriman kepada Allah dan mengetahui bahwasanya Allah adalah
Robnya, dan Allah adalah penciptanya dan pemberi rizkinya, dan dia berbuat kesyirikan kepada Allah. Tidakkah engkau lihat bagaimana perkataan
Nabi Ibrahim :
قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ (٧٥)أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الأقْدَمُونَ (٧٦)فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلا رَبَّ الْعَالَمِينَ (٧٧)
Ibrahim
berkata: “Maka Apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah,
kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?, karena Sesungguhnya apa yang kamu
sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (QS As-Syu’aroo 75-77)
Nabi Ibrahim telah mengetahui
bahwasanya mereka
menyembah (juga) Allah bersama dengan penyembahan mereka kepada selain Allah. Tidak seorangpun yang berbuat syirik kepada Allah kecuali ia
beriman kepadaNya. Tidakkah engkau lihat bagaimana orang-orang Arab
bertalbiah?, mereka berkata : “Kami memenuhi panggilanmu Ya Allah, kami
memenuhi panggilanmu, tidak ada syarikat bagiMu, kecuali syarikat milikMu yang
Engkau menguasainya dan dia tidak memiliki apa-apa”. Kaum musyrikin Arab dahulu
mengucapkan talbiah ini” (Tafsir At-Thobari 13/376)
Inilah penafsiran sahabat dan para
tabi’in, semuanya sepakat bahwasanya kaum
musyrikin mengakui bahwa Allah pencipta mereka dan yang memberi rizki kepada
mereka.
Allah banyak menyebutkan
ayat-ayat seperti ini –yang menjelaskan pengakuan kaum musyrikin terhadap
rububiyyah Allah- dalam Al-Qur’an dan tidak sekalipun Allah
menyebutkan dan menjelaskan bahwasanya perkataan mereka tersebut hanya untuk
membela diri. Bukankah tatkala Allah
menyebutkan perkataan orang-orang munafiq yang dusta maka Allah menjelaskan
bahwasanya perkataan mereka tersebut dusta dan bertentangan dengan keyakinan
mereka. Dan hal ini banyak dalam al Qur’an. Maka jika seandainya pengakuan kaum
musyrikin tersebut hanyalah dusta maka tentu akan dijelaskan oleh Allah
meskipun hanya sekali. (http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah).
Selengkapnya bacalah situs tersebut
Namun, sekali lagi, hanya sekedar tauhid Rububiyah tersebut
tidak terus menjadikan mereka kaum musyrikin arab tersebut mendapatkan label
muwahhid dan selamat dari peperangan dengan Rosululloh Sholallohu ‘alaihi
wa sallam. Bahkan Al-Quran mengabadikan kesyirikan mereka
Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi
Tiga? (2) [Alasan Pembagian Tauhid-2]
2.
Seluruh Ayat Al-quran Menetapkan Tentang Pembagian Tauhid Tersebut
Di dalam menerangkan
dalil-dalil Al-Quran yang menunjukkan pembagian tauhid, Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim berkata, setelah menyebutkan semua golongan yang
kebatilannya disebut sebagai tauhid:
“Adapun tauhid yang diserukan oleh seluruh utusan Allah dan
diturunkan dengannya kitabullah sangat bertentangan dengan itu semua (kebatilan
yang dianggap tauhid-ed). Tauhid itu ada dua jenisnya: Tauhid fil ma’rifat wal
itsbat (tauhid pengenalan dan penetapan) serta tauhid fith tholab wal qasd
(tauhid permintaan dan
tujuan).
Adapun yang pertama: merupakan hakikat dari Dzat Rabb ta’ala, nama-namanya,
sifatsifatnya, perbuatannya, ketinggian-Nya di atas arsy-Nya yang ada di atas
langit. Pembicaraan-Nya melalui kitab-Nya, dan Dia mengajak bicara
terhadap orang yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, serta
ketentuanNya yang bersifat menyeluruh, dan beragam hikmah-hikmaNya.
Al-Quran telah benar-benar menjelaskan jenis ini dengan penjelasan yang
begitu gamblang. Sebagaimana di awal Surat Al-Hadid, dan Surat Thoha. Pada
akhir Surat Al-Hasyr dan awal Surat Tanzilus Sajdah. Awal surat Ali Imron
dan seluruh ayat dari Surat Al-Ikhlas dan yang selainnya.
Jenis yang kedua, seperti yang terkandung didalam Surat Qul Ya Ayyuhal Kafirun
(AlKafirun), dan di dalam firman-Nya, Ali Imron: 64.
Begitu juga pada awal Surat Tanzilul Kitab dan akhirnya. Awal
surat Yunus, bagian tengah dan akhirnya. Awal surat Al-A’raf dan akhirnya.
Sejumlah ayat dari surat Al-An’am. Dan pada kebanyakan dari surat-surat yang
ada dalam Al-Quran, bahkan pada seluruh surat di dalam Al-Quran terkandung dua
jenis tauhid ini.
Lebih dari itu, bahkan kita
katakan dengan perkataan yang menyeluruh: bahwasanya seluruh ayat di dalam Al-Quran
terkandung padanya at-tauhid, yang
mempersaksikan dan yang selalu menyeru kepadanya. Karena Al-Quran isinya kalau
bukan pemberitaan tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat serta perbuatanNya dan
ini adalah tauhid al-ilmi wal khobari (ilmu dan pemberitaan), maka isinya
adalah dakwah kepada peribadahan untuk Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya
dan meninggalkan semua yang disembah selain Allah dan ini adalah tauhid
al-irodiy wath-tholabiy (kehendak dan tuntutan).
Selain itu isi Al-Quran kalau
bukan perintah, larangan dan kewajiban untuk mentaati Allah dalam larangan dan
perintahnya dan ini adalah hak-hak tauhid dan
penyempurnanya, maka isinya adalah pemberitaan tentang karomah Allah terhadap
orang-orang yang bertauhid dan taat kepada-Nya, dan apa-apa yang tentukan
baginya di dunia dan perkaraperkara apa yang menyebabkan mereka menjadi mulia
di akhirat dan ini adalah balasan mentauhidkan Allah.
Al-Quran juga mengandung
pemberitaan tentang pelaku kesyirikan dan
apa-apa yang Allah tentukan baginya di dunia serta berbagai balasan di dunia
yang menyengsarakan mereka, dan apa saja yang akan menimpa mereka kelak dari
berbagai adzab, ini merupakan pemberitaan tentang orang yang keluar dari
ketentuan hukum tauhid. Maka seluruh Al-Quran mengandung perkara tauhid, hak-haknya dan
balasan-balasannya. Begitu juga
perkara syirik, pelakunya, serta balasan untuk mereka.
Asy-Syaukani Rahimahullah
berkata di dalam muqaddimah kitab beliau yang mulia, Irsyaduts-Tsiqot ila
Ittifaqisy-syaro’i’ ‘ala Tauhid wal-Miad
wan-nubuwaat :
“Dan ketahuilah bahwa
penyebutan ayat-ayat Al-Quran yang telah menjelaskan/menetapkan semua maksud
dari tujuan-tujuan (tentang tauhid. Pent), dan
juga penetapan tentang samanya syariat-syariat dalam perkara ini. Tidaklah
menyulitkan bagi mereka yang membaca Al-Quranul Azhim. Karena jika dia
mengambil mushaf yang mulia kemudian berhenti di bagian yang dia inginkan, atau
tempat yang dia suka, atau posisi yang dia kehendaki, niscaya dia akan
menemukannya (perkara tauhid. pent) dalam keadaan terbentang luas di dalam
Al-Quran, dari pembukaan sampai akhirnya”. (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
Alasan tauhid dibagi tiga
karena seluruh dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berbicara tentang tauhid
menunjukkan bahwa tauhid
terbagi tiga, tidak lebih daripada itu.
Karena hakikatnya seluruh ayat dan hadits yang berbicara tentang Allah
ta’ala beredar
pada tiga pembicaraan:
1) Pembicaraan tentang
perbuatan-perbuatan Allah ta’ala seperti mencipta, member rizki, menguasai,
mengatur dan lain-lain, maka kita yakini hanya Allah ta’ala sendiri saja yang
mampu melakukan itu, tiada sekutu bagi-Nya. Inilah tauhid rububiyah.
2) Pembicaraan tentang
kewajiban memurnikan ibadah hanya kepada Allah ta’ala dan menyalahkan semua
bentuk peribadahan kepada selain-Nya. Inilah tauhid uluhiyah.
3) Pembicaraan tentang
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kita yakini hanya Allah ta’ala dan Rasul-Nya
shallallahu’alaihi wa sallam yang boleh menetapkan nama dan sifat bagi-Nya,
tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ini adalah tauhid asma was sifat. (http://nasihatonline.wordpress.com/2013/03/13/mengapa-tauhid-dibagi-tiga/)
3. Pembagian
Tauhid Merupakan Suatu Kebenaran Syar’i, yang Akan Diketahui Dengan Suatu
Penelahaan
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya penelaahan terhadap Al-Quranul Azhim telah menunjukkan bahwa
mentauhidkan Allah itu terbagi menjadi tiga bentuk (diringkas):
Yang pertama: Tauhid dalam Rububiyah. Ini merupakan jenis
tauhid yang terbentuk dalam fitrahnya orang-orang yang berakal. Kemudian beliau
menyebutkan dalil-dalil firman Alloh dalam surat: Az-zukhruf:
87; Yunus: 31; Asy-Syu’aro: 23; Al-Isro’: 102; An-Naml: 14;
dan Yusuf: 106
Yang kedua: Mentauhid-kan Allah ta’ala dalam peribadahan kepada-Nya
Batasan tauhid jenis ini adalah perealisasian makna “La ilaha
illallah”, yang tergabung di dalamnya penafian dan penetapan. Makna penafian
dari perkataan tersebut adalah: melepaskan seluruh jenis sesembahan selain
Allah, apapun bentuknya, dalam seluruh jenis peribadahan apapun bentuknya.
Adapun makna penetapan dari
kalimat ‘La ilaha illallah’ adalah: meng-esakan Allah jalla wa’ala satu-satunya dalam semua jenis
ibadah dengan ikhlas, dalam
ketentuan yang telah disyariatkan oleh Allah melalui Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam , dan mayoritas ayat Al-Quran berbicara tentang jenis tauhid
ini, dan hal ini merupakan sebab terjadinya peperangan antara para Rasul dan
Umatnya. Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil firman Alloh dalam
surat: Shod: 5; Muhammad: 19; An-Nahl: 36; Al-Anbiya:
25; Az-Zukhruf: 45; dan Al-Anbiya: 108
Yang ketiga: Mentauhidkan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid jenis ini dibangun di atas dua prinsip:
Pertama: Mensucikan Allah jalla wa ‘ala dari Men-serupakanNya dengan sifat-sifat makhluk-makhluk, Sebagaimana Allah
berfirman, “Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia” (Asy-Syuro: 11)
Kedua: Beriman dengan apa yang
Allah sifatkan bagi diri-Nya atau disifatkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, yang sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaanNya. Sebagaimana
di dalam firman-Nya: “Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
(Asy-Syuro: 11)
Bersamaan dengan hal
tersebut dilarang berusaha untuk mencari bagaimana hakekat sifat Allah
(sehingga keluar dari keyakinan para salaf. Pent).
Berkata Asy-Syaikh
Al-‘Allamah Bakr
Abu Zaid rohimahullah:
“Pembagian yang diperoleh dengan penelitian ini sebelumnya telah dilakukan oleh para ulama salaf,
sebagaimana yang telah di isyaratkan oleh Ibnu Mandah, Ibnu Jarir
AthThobari dan yang selain keduanya
telah mengisyaratkannya. Hal tersebut telah dijelaskan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan
Ibnul Qoyyim, Begitu pula Az-Zubaidi di dalam kitab Tajul-‘Urusy, dan juga guru kami Asy-Syinqithi di dalam Adwa’ul Bayan semoga Allah merahmati mereka
semua. Pembagian ini merupakan penelitian yang menyeluruh dari nash-nash syariat, sebagaimana hal yang sudah diketahui di kalangan para ulama
yang membidangi dalam berbagai ilmu pengetahuan, sebagaimana upaya yang
dilakukan para ahli nahwu di menelaah ungkapan orang Arab yang terbagi menjadi
ism, fiil, dan huruf dalam keadaan orang-orang Arab tidaklah marah dan
mencela para ahli nahwu, Dan demikianlah berbagai bentuk penelitian yang
terjadi dalam berbagai disiplin ilmu” . (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
Selengkapnya, bacalah link ini
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Prof.
DR. Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Dan macam-macam tauhid itu ada
tiga berdasarkan penelitian
secara menyeluruh terhadap kitab
Allah ta’ala dan sunnah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. Dan ini adalah
aqidah yang telah tetap di atasnya pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka
barangsiapa yang menambah pembagian tauhid yang keempat atau kelima maka itu
adalah tambahan dari dirinya sendiri (bukan dari ulama Sunnah), karena para
ulama telah membagi tauhid kepada tiga bagian berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, sebab seluruh ayat Al-Qur’an dan seluruh hadits tentang aqidah
(tauhid) tidak keluar dari tiga macam tauhid ini.” [At-Ta’liqot
Al-Mukhtashoroh ‘alal Aqidah Ath-Thohawiyah, hal. 28]
Adapun tauhid keempat: hakimiyah yang dimunculkan oleh ahlul bid’ah sudah masuk dalam
kategori tauhid
rububiyah, sebab diantara perbuatan Allah ta’ala
adalah menentukan hukum.
Demikian pula dari sisi
kewajiban manusia hanya tunduk kepada hukum Allah ta’ala maka itu masuk
pada tauhid uluhiyah. Sehingga tidak perlu dibuat pembagian tersendiri. (http://nasihatonline.wordpress.com/2013/03/13/mengapa-tauhid-dibagi-tiga/)
Baca juga fatwa dari
– Syaikh Bin Baz di: http://islamqa.com/id/ref/26338/Pembagian%20ini%20disimpulkan%20berdasarkan%20kajian%20dan%20perenungan dan
– Syaikh Ali Hasan bin Ali
Al-Halabi di: http://almanhaj.or.id/content/2333/slash/0/pembagian-tauhid/ yang senada dengan penjelasan tersebut
Jadi, pembagian tauhid
menjadi tiga tersebut adalah pembagian secara ilmu dan merupakan hasil tela’ah
seperti yang dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya
berarti tidak ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan
Allah, mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya. Allah pemberi petunjuk ke jalan nan lurus kepada siapa yang
Dia kehendaki. (http://almanhaj.or.id/content/2333/slash/0/pembagian-tauhid/)
4. Pembagian
Tauhid Dalam Syari’at yang Memiliki 2 fungsi, (1) Dalam Rangka Penjelasan dan
(2) Dalam Rangka Menjaga Tauhid Dari Kesalahpahaman
Syari’at tidak ingin tauhid
dipisah-pisahkan, bahkan ingin agar tauhid
merupakan seusatu yang satu kesatuan. Hanya saja timbul penyimpangan dari kaum
musyrikin yang memecah dan membagi tauhid, dimana mereka beriman kepada
sebagian makna tauhid dan mengingkari sebagian yang lain. Maka datanglah
syari’at untuk meluruskan mereka sehingga menjelaskan dengan cara membagi
antara keimanan mereka yang benar (tauhid ar-rububiyah) dan keimanan mereka
yang salah dalam tauhid (yaitu tauhid al-uluhiyah). Sehingga sering kita dapati
bahwasanya Al-Qur’an berhujjah dengan keimanan mereka terhadap tauhid
ar-rububiyah agar mereka meluruskan tauhid mereka yang salah dalam tauhid
al-uluhiyah. Seperti firman Allah
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu
yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan
itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu
Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqoroh : 21-22)
Dalam ayat ini Allah berhujjah dengan pengakuan kaum musyrikin
dan keimanan mereka terhadap Rububiyah Allah agar mereka juga mentauhidkan
Allah dalam uluhiyah/peribadatan.
Baca kembali poin B. 1 di atas tentang penyimpangan kaum musyrikin arab yang
hanya sekedar bertauhid Rububiyyah dan tidak bertauhid Uluhiyyah
Allah juga berfirman
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
Maka
apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya, Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba
mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS
Al-‘Ankabuut : 65)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya dalam kondisi gawat kaum
musyrikin mengesakan (tidak membagi) tauhid mereka sehingga ikhlas berdoa
kepada Allah, akan tetapi tatkala mereka diselamatkan di daratan mereka kembali
lagi melakukan pembagian tauhid dan menyimpang dalam tauhid al-uluhiyah.
Intinya : Pembagian tauhid
nampak dan muncul pada makhluk lalu datanglah syari’at berusaha memperbaiki dan
meluruskan pemahaman mereka yang keliru
tentang tauhid. Jadilah timbul pembagian tauhid dalam syari’at yang
memiliki 2 fungsi tersebut di atas. (http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/403-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-adalah-trinitas)
5. Pembagian
Tauhid Ini Bukanlah Penimbulan/Pemunculan Suatu Makna Baru Yang Tidak Ada Di
Zaman Salaf, Akan Tetapi Hanyalah Pembaharuan Dalam Istilah Atau Metode
Penjelasan Dan Pemahaman
Kalau pembagian ini dikatakan
bid’ah maka terlalu banyak penamaan dan pembagian yang kita hukumi sebagai
bid’ah juga. Sebagai contoh misalnya pembagian para ulama bahwasanya
hukum taklifi terbagi menjadi 5 (wajib, mustahab, mubah, makruh, dan haram).
Tentunya pembagian ini tidak terdapat dalam pembicaraan sahabat. Akan tetapi
setelah diteliti dalil-dalil yang ada jelas bahwa kesimpulan hukum-hukum
taklifi tidaklah keluar dari 5 hukum tersebut. (http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/403-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-adalah-trinitas)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin berkata:
“Sebagian orang berpendapat
bahwa membagi-bagi tauhid menjadi tiga (baca: tauhid rububiyyah, tauhid
uluhiyyah, dan tauhid asma wa shifat) adalah bid’ah, karena yang semacam itu
tidak diriwayatkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Sedangkan apa saja (yang dianggap) bagian dari agama padahal
tidak datang dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka itu bid’ah.
Namun ini kita jawab, maka kita katakan, sesungguhnya banyak
perkara sesuatu yang disusun oleh para ulama yang sebelumnya belum tersusun di
masa Ar Rosul ‘alaihish
sholatu was salam. Ini tidak perlu dijelaskan
lagi. Orang-orang yang membaginya (tauhid) menjadi tiga tidak mendatangkan
sesuatu yang baru, tidak pula mengingkari keabsahannya. Bahkan mereka
membawakannya dari Al Quran & Sunnah, hanya saja mereka membaginya.
Pembagian mereka ini berdasarkan perbedaan manusia di dalamnya. Sebagaimana
yang akan kita terangkan (dalam pembahasan kitab), insyaAllah.Sekiranya kita
menempuh jalan yang ditempuh orang yang nyeleneh ini, pasti juga kita katakan
bahwa syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat, rukun-rukun haji,
wajib-wjib, dan larangan-larangannya, dan semisalnya, termasuk perkara
bid’ah!Padahal kita tidak menyatakan (pembagian) ini sebagai bentuk ibadah
kepada Allah, akan tetapi kita hanya menyebutkan ini sebagai bentuk mendekatkan ilmu kepada
penuntutnya. Jadi, pembagian ini adalah sarana
bukan tujuan.Maka yang benar -tidak ragu
lagi-, bahwa pembagian tauhid menjadi tiga macam, dan menyebutkan
syarat-syarat, rukun-rukun, wajib-wajib, serta perusak-perusak dalam
ibadah-ibadah; ini semua diperbolehkan karena hanya sebagai sarana &
pendekatan, serta meringkas sesuatu untuk penuntut ilmu. Kita juga ingat bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
biasa menyebutkan sesuatu dengan bilangan tertentu. Seperti: ‘Tujuh golongan
manusia yang Allah naungi dengan naungan-Nya…’ [Riwayat Al Bukhari (660) &
Muslim (1031) dari hadits Abu Hurairah], ‘Tiga golongan manusia yang tidak
Allah ajak bicara di hari kiamat…’ [Riwayat Al Bukhari (2369 & 2672) &
Muslim (107) dari hadits Abu Hurairaah], dan semisalnya. Ini termasuk macam
dari pembagian.” [Syarh ‘Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah hal. 6-7 cet. ke-4
1431 H, Dar Ibnul Jauzi Mesir] {http://almarwadi.wordpress.com/2012/09/27/klaim-bidahnya-pembagian-tauhid-serta-bantahan-atasnya/}
6.
Bahkan Pembagian Tauhid yang Tersirat Di Dalam Kalimat Tauhid (Laa Ilaha
Illallah)
Bahkan kalimat tauhid “Lailaha illallah”yang merupakan pokok dan
asas agama telah menunjukkan pembagian tauhid yang berjumlah tiga. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah –rahimahullah-:
“Di dalam syahadat La ilaha
ilallah terdapat
sifat ilahiyah yang merupakan asas dari tiga tauhid: Tauhid ar-rububiyah, tauhid al-uluhiyah, serta tauhid al-asma
wa sifat. Agama para rasul serta apa-apa yang diturunkan kepada mereka selalu
menyerukan permasalahan ini. Perkara ini juga merupakan pondasi terbesar yang
tersirat di dalam kalimat “La ilaha illallah”yang sesuai dan terbukti dengan
akal-akal serta fitrah”.Adapun sisi yang tersirat di dalam kalimat yang agung
ini terhadap pembagian tauhid yang tiga, akan tampak secara jelas bagi
orang yang memperhatikannya. Kalimat “Lailaha illallah”menunjukkan
ketetapan suatu ibadah yang hanya untuk Allah serta menafikan peribadahan kepada
yang selain-Nya. Sebagaimana kalimat ini
menunjukkan pula atas jenis tauhid ar-rububiyah, karena sesuatu
yang lemah tidaklah pantas dijadikan sebagai ilah (sesembahan). “Lailaha illallah”juga menunjukkan tauhid al-asma wash
shifat, karena sesuatu yang kosong dari nama
dan sifat bukanlah sesuatu apapun, bahkan dia tidak berwujud. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Al-Musyabbih
(orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-pent) merupakan
penyembah berhala, Al-Mua’thil (yang menafikan sifat Allah) menyembah sesuatu
yang tidak eksis, sedangkan AlMuwahhid (orang – orang yang bertauhid) menyembah
penguasa bumi dan langit”. (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
Sehingga, otomatis, bahwa setiap muslim yang telah bersyahadat
dan mengulang-ulangnya dalam setiap sholatnya (baik yang wajib maupun yang
sunnah) harus mengakui ketiga macam tauhid ini, agar aqidahnya lurus
Tauhid Itu
Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? (3) [Asal-Usul
Pembagian Tauhid]
C.
Darimana Asal-Usul Pembagian Tauhid Menjadi 3? (Perkataan Para Ulama Salaf
Terkait Masalah Ini)
Kitab-kitab salafush
sholih sarat dengan pembagian tauhid tersebut, terkadang disebutkan
secara langsung
atau sesuatu yang tersirat, apabila dinukilkan semua tentang perkataan mereka dalam
permasalahan ini, maka pembahasannya akan panjang. Akan tetapi, disini
dicukupkan dengan sebagian nukilan dari para salaf umat ini, dan untaian
ringkas dan mudah dari perkataan mereka yang mengandung penyebutan pembagian
tauhid yang tiga. (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
1. Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man
bin Tsabit yang wafat pada tahun 150 H berkata dalam kitab beliau Al-Fiqhul
Absath :
“Allah itu diseru dengan suatu
sifat yang tinggi bukan dengan sifat yang rendahan, karena sifat yang rendah
bukanlah termasuk sifat rububiyah dan uluhiyah sedikitpun”.
Perkataan beliau: “Diseru
dengan suatu sifat yang tinggi bukan dengan sifat yang rendahan”, padanya
terdapat penetapan sifat ketinggian Allah. Dan ini termasuk ke dalam tauhid asma wash shifat yang di dalamnya terdapat bantahan terhadap
orang-orang Jahmiyah, Mu’tazilah, Asya’iroh, Maturidiyah dan golongan
lainnya yang menolak ketinggian Allah.
Perkataan beliau, “..termasuk
sifat rububiyah”, padanya terdapat penetapan tauhid rububiyah. Adapun perkataan beliau, “..dan uluhiyah”. Di dalamnya
terdapat penetapan tauhid uluhiyah.
2. Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi yang wafat pada tahun 321 H berkata dalam muqadimah
kitab aqidahnya yang masyhur dengan nama Ath-Thohawiyah,
“Kami katakan dengan penuh keyakinan –dan semoga Allah
memberikan curahaan taufiknya-, dalam masalah pengesaan terhadap Allah:
Allah itu Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatu yang
sepadan dengan-Nya, tidak ada sesuatupun yang mampu untuk mengalahkan-Nya,
dan tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia…”.
Maka ucapan beliau, “Allah itu Maha Esa, tidak ada sekutu
bagi-Nya”, tercakup di dalamnya pembagian tauhid yang berjumlah tiga, yaitu
Allah adalah Maha Suci, Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya di dalam
kekuasaan-Nya. Maha Esa pula, tidak ada sekutu bagiNya dalam perkara
uluhiyah-Nya. Dan juga Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam nama-nama dan
sifat-sifat-Nya.
Kata beliau, “Tidak ada sesuatu
yang semisal dengan-Nya”. Ini merupakan tauhid al-asma wash shifat. Ucapan beliau juga, “Tidak ada sesuatu pun yang
mengalahkan-Nya”, ini masuk ke dalam Tauhidur-rububiyah. Dan pada ucapan beliau, “Tidak ada sesembahan yang haq melainkan
Dia”, ini merupakan
tauhid al-uluhiyah.
3. Berkata Al-Imam Abu Abdillah Ubaidullah bin
Muhammad bin
Baththoh Al-‘Akbari
-wafat pada tahun 387 H- di dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Syariati
Al-Firqotin Najiyah wa Mujanibatil Firrqotil Madzmumah,
“Sesungguhnya prinsip keimanan kepada Allah yang wajib bagi para
makhluk untuk meyakininya dalam menetap keimanan kepada-Nya ada tiga bagian:
Yang pertama: seorang hamba
harus meyakini Rabbaniyah
Allah. Yang demikian itu sebagai pemisah antara
madzhab ahlu ta’thil yang tidak menetapkan adanya pencipta.
Yang kedua: seorang hamba harus
meyakini keesaan
Allah. Hal ini untuk membedakan dengan madzhab
pelaku syirik yang menetapkan adanya pencipta namun mereka menyekutukan Allah
dalam peribadahan-Nya.
Yang ketiga: dia harus meyakini
bahwa Allah disifati dengan sifat-sifat yang dengannya Allah mensifati diri-Nya, seperi ilmu, qudroh, hikmah dan seluruh apa yang Dia sifatkan
di dalam kitab-Nya.
Apabila telah kita ketahui
bahwa kebanyakan orang yang telah mengakui Allah, serta mentauhidkan-Nya dengan
dengan sesuatu yang mutlak, terkadang menyimpang dalam masalah sifat-sifat-Nya,
sehingga penyimpangan mereka dalam masalah itu telah merusak tauhidnya. Ini
karena kita lihat bahwa Allah ta’ala telah menyeru para hamba-Nya untuk
meyakini setiap
jenis dari ketiga hal (yaitu
tauhid-pent) tersebut dan beriman dengannya.
Adapun seruan-seruan Allah kepada mereka untuk mengakui
Rabbaniyah serta keesaanNya, tidaklah kami sebutkan, mengingat panjang dan
luasnya pembahasan hal tersebut, Dan juga karena golongan Jahmiyah-pun mengakui
bahwa mereka menetapkan keduanya (yaitu pengakuan rububiyah serta keesaan Allah
–pent). Namun karena mereka mengingkari sifat-sifat Allah maka batallah
pengakuan mereka terhadap keduanya” .Kemudian beliau memberikan dalil yang
menunjukkan kebatilan perkatan Jahmiyah dalam penafian sifat.
Ini merupakan ungkapan yang sangat jelas yang
memaparkan tentang pembagian tauhid yang tiga. Renungkan –semoga Allah menjagamu- ucapan Ibnu
Baththah: “Ini karena kita lihat bahwa Allah ta’ala telah menyeru para
hambaNya untuk meyakini setiap jenis dari ketiganya”. Padanya terdapat bantahan
yang jelas terhadap orang-orang yang menyangka bahwa pembagian ini tidak
terdapat dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya sholallahu ‘alaihi wasallam.
4. Abu
Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusy (wafat 520 H) menyebutkan dalam mukadimah kitab
Sirajul Muluk :
“Dan aku bersaksi bahwa sungguh
bagi Allah sifat rububiyah dan keesaan, dan dengan apa-apa yang Allah telah
persaksikan bagi diriNya dari nama-namanya yang baik dan sifatsifat-Nya yang
maha tinggi serta sifat-sifat-Nya yang maha sempurna”. Setelah itu beliau
menyebutkan pembagian tauhid menjadi tiga.
5. Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi (wafat 671 H) berkata:
“Maka Allah adalah nama yang
menunjukan keberadaan yang Haq, terkandung di dalamnya sifat-sifat ilahiyah, yang tersifati dengan sifat rububiyah. Maha
Tunggal dengan keberadaan-Nya yang hakiki. Tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Dia” .
Beliau juga berkata, “Dasar
kesyirikan yang diharamkan adalah berkeyakinan adanya sekutu bagi Allah ta’ala
dalam ke-ilahiyan-Nya, dan ini adalah kesyirikan yang terbesar, dan kesyirikan
yang dilakukan orang-orang jahiliyah. Bentuk kesyirikan yang selanjutnya adalah
keyakinan adanya sekutu bagi Allah ta’ala di dalam perbuatan walaupun dia tidak
meyakini ketuhanan hal tersebut, seperti perkataan orang-orang: “Sesungguhnya
yang ada selain Allah Ta’ala memungkinkan untuk mengadakan dan menciptakan
dengan tanpa adanya keterkaitan” . (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
Bacalah ucapan ulama lainnya,
seperti: Ibnu
Mandah, Abu Yusuf Al-Qodhi, Al-Imam Abul Qosim Isma’il At-Taimi
Al-Ashbahani, dan Ibnu Jarir Ath-Thobari terkait
pembagian tauhid ini dalam artikel di link tersebut
6. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky
( wafat th. 386 H )
Di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75
( cet. Darul Gharb Al-Islamy ) . Beliau mengatakan :
“Termasuk diantaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan
dengan lisan bahwasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang
berhak disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada
tandinganNya…Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta
hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan
gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka ”
Perkataan beliau ” sesembahan
yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia “: ini termasuk
tauhid Uluhiyyah
Perkataan beliau ” tidak ada
yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat
Perkataan beliau ” Pencipta
segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan
pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan
ajal-ajal mereka ” : ini termasuk tauhid Rubiyyah.
Selanjutnya, diantara ulama belakangan yang membagi tauhi
menjadi 3 adalah:
7. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy ( wafat th. 1393 H ) di
dalam Adhwaul Bayan (3 / 111-112), ketika menafsirkan Surat Al-Isro': 9
8. Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, diantaranya dalam
kitab beliau Kaifa Nuhaqqiqu At-Tauhid ( hal. 18-28 ) .
9. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, diantaranya dalam
Fatawa Arkanil Islam ( hal. 9-17 )
10. Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr ( pengajar di
Masjid Nabawy ), diantaranya dalam muqaddimah ta’liq beliau terhadap kitab
Tathhir ul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad karangan Ash-Shan’any dan kitab Syarhush
Shudur fi Tahrim Raf’il Qubur karangan Asy-Syaukany (hal . 12-20.)
11. Syeikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, di dalam kitab beliau At-Tanbihat
As-Saniyyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 14) .
12. Syeikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, di dalam kitab
beliau Al-Mukhtashar Al-Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid. Kitab ini
adalah bantahan atas orang yang mengingkari pembagian tauhid, Dan
lain-lain (http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/06/asal-usul-pembagian-tauhid.html)
Jadi ternyata, pembagian tauhi
menjadi 3 tersebut sudah didahului oleh para ulama sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seperti: Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi, Al-Imam Abu Abdillah
Ubaidullah bin Muhammad bin Baththoh Al-‘Akbari, Abu
Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusy, Abu Abdullah Muhammad
bin Ahmad Al-Qurthubi, Ibnu Mandah, Abu Yusuf Al-Qodhi, Al-Imam
Abul Qosim Isma’il At-Taimi Al-Ashbahani, dan Ibnu Jarir Ath-Thobari,
dan Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky. Dengan demikian,
batallah argumen orang-orang yang mengatakan bahwa pembagian tauhid yang 3 ini
hanya akal-akalan kaum salafi yang hanya mengekor (taklid) kepada Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Sebagai tambahan
informasi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 661 H dan wafat
pada tahun 728 H. (http://abufathurrahman.wordpress.com/2007/11/13/biografi-ringkas-syaikhul-islam-ibnu-taimiyyah/)
Hal ini menunjukkan bahwa dalam
pembagian ini, ahlussunnah wal-jama’ah selalu mengikuti apa yang telah datang
dari masa sebelum mereka. Tidak
terdapat perbedaan di kalangan mereka. Dalam hal ini mereka mengikuti Al-Quran
dan As-Sunnah, dan selalu tegar di atas apa yang datang dalam keduanya. Mereka
hanya mengikuti, tidak
membuat bid’ah. Mereka hanya mengikuti
teladan mereka, tidak memulai hal yang baru, dan yang menyelisihi mereka adalah
ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu, Orang-orang yang ragu dengan Allah dan
Rasul-Nya, yang menempuh selain jalan orang-orang yang beriman. (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
Tambahan
Faedah
a. Ternyata kaum Asyaa’iroh juga membagi tauhid menjadi 3, mereka menyatakan bahwa
wahdaniah (keesaan) Allah mencakup tiga perkara, ungkapan mereka adalah:
“Sesungguhnya Allah (1) maha satu pada dzatnya maka tidak ada pembagian dalam
dzatNya, (2) Maha esa pada sifat-sifatNya maka tidak ada yang menyerupai
sifat-sifatnya, dan (3) Maha esa pada perbuatan-perbuatanNya maka tidak ada
syarikat bagiNya.
b. Abu Hamid Al-Gozali
menyatakan bahwa tauhid yang berkaitan dengan kaum muslimin ada 3 tingkatan, karena beliau membagi tauhid menjadi 4
tingkatan, dan tingkatan pertama adalah tingkatan tauhidnya orang-orang
munafik.
c. Sebagian ulama Ahlul Kalaam juga mengenal istilah tauhid
ar-rububiyah dan tauhid al-uluhiyah, yaitu Abu Mansuur Al-Maturidi
Selengkapnya baca di: http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/403-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-adalah-trinitas
Tauhid Itu
Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? (4) [Akibat Tidak Mau Membagi
Tauhid Menjadi 3]
D.
Apa Akibatnya jika Tidak Mau Membagi Tauhid Menjadi 3?
Barangkali
masih ada yang bertanya, memangnya apa salahnya jika tidak mau membagi tauhid
menjadi tiga? Setidaknya ada 2 kesalahan fatal yang akan dialami
oleh orang yang tidak mau meyakini tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan asma wa
shifat adalah:
1.
Hanya Meyakini Tauhid Rububiyah saja, Salah dalam Cara Beribadah yang Benar
(yang Selamat dari Kesyirikan)
Hal ini sudah
dijelaskan dalam poin B. 1 di atas.
Mereka juga menafsirkan syahadat Laa ilaaha
illalloh sebagai
- Tidak ada Tuhan selain Allah (Laa Robba illallah)
Ini adalah
penafsiran yang batil dan di bawahnya ada beberapa penafsiran yang batil yang
semuanya kembali kepada makna ini, yaitu :
a. Tidak ada pencipta selain Allah (Laa Kholiqa illallah)
b. Tidak ada
yang menguasai atau memberi
rezki kecuali Allah (Laa malika aw roziqa illallah)
c. Tidak ada
yang sanggup mengadakan yang baru kecuali Allah (Laa qodira ’alal ikhtiro’
illallah) dan ini adalah penafsiran para ahli kalam
dan filsafat.
Ketiga makna
ini dan makna-makna yang semisalnya kita katakan bisa kembali kepada penafsiran
tidak ada Tuhan selain Allah (Laa Robba illallah) , karena kata robbun (Tuhan) secara bahasa Arab mencakup 3 makna, yaitu Al-Kholiq (pencipta), Al-Malik (penguasa) dan Al-Mudabbir (pengatur) maka
siapa yang meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya berarti dia meyakini bahwa
hanya Allah yang menciptakan dia, hanya Allah yang menguasai dia dan hanya
Allah yang mengatur dirinya beserta seluruh makhluk.
Setelah ini
dipahami, maka ketahuilah bahwa makna kalimat ini “Tidak Ada Tuhan selain
Allah’ adalah benar, hanya saja yang bermasalah dan yang merupakan kebatilan kalau kalimat ini dijadikan
sebagai makna kalimat tauhid laa ilaha illallah. Karena kalau kalimat tauhid ditafsirkan dengan penafsiran
seperti ini maka berarti siapa saja yang telah
mengakui hanya Allah sebagai Robb (Tuhan) –yakni sebagai pencipta, penguasa dan
pengatur- maka berarti dia telah berlaa
ilaha illallah atau telah masuk Islam, padahal
orang-orang musyrikin dan ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) bahkan seluruh
makhluk -kecuali beberapa kelompok kecil dari manusia- dari dahulu sampai
sekarang semuanya mengakui bahwa ’Tidak ada Tuhan selain Allah’. Mereka tidak
pernah ada yang mengatakan apalagi meyakini bahwa ada pencipta selain Allah
atau ada yang menguasai dan mengatur alam semesta selain Allah, tidak sama
sekali akan tetapi bersamaan dengan semua keyakinan di atas –yakni keyakinan
hanya Allah sebagai pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta tanpa
selainnya atau dengan kalimat lebih ringkas keyakinan bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah-, mereka tetap dikatakan musyrik
dan kafir, tetap diperangi oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tetap
diperintahkan untuk mengucapkan Laa ilaha illalah, menunjukkan bukan makna ini yang diinginkan dari kalimat
tauhid yang mulia ini. (http://almakassari.com/beberapa-penafsiran-batil-dari-kalimat-tauhid-%E2%80%9Claa-ilaaha-illallah%E2%80%9C.html)
Sekali lagi,
lihat kembali bantahan atas keyakinan ini di poin B. 1 di atas.
Padahal tafsiran yang benar adalah
sebagaimana perkataan ulama berikut ini:
Berkata
Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin (1/18) :
“Nama “Allah”
menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya
dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan”.
Berkata Imam Ibnu Rajab :
“Al-Ilah adalah yang ditaati dan
tidak didurhakai karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut,
berharap dan bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu
dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka
dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa
Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat
peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau
sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu
Syaikh :
“Dan ini
banyak dijumpai pada perkataan kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari
mereka. Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain
Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah
tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal
sampai akhirnya”.
Adapun dalil-dalilnya, antara
lain: QS. Al-Baqarah : 256, Az-Zukhruf : 26-27, An-Nisa` :
36, Adz-Dzariy at : 56, Al-Baqarah : 29, An-Nahl :
36, Al-Anbiya` : 25, Az-Zukhruf : 45, Hud : 1-2,
dan Az-Zumar : 2
Jadi, makna Laa ilaaha illallahadalah tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah.
Sebagai bukti
terakhir atas hal ini, lihatlah bagaimana jawaban kaum musyrikin tatkala diperintah mengucapkan kalimat
tauhid, spontan mereka menolak karena sangat mengetahui
apa makna dan konsekwensi kalimat ini yaitu harusnya meninggalkan semua
sembahan mereka dan menjadikannya hanya satu sembahan yaitu hanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Maka betapa celakanya seseorang yang mengaku muslim yang
Abu Jahl lebih tahu dan lebih faham tentang makna laa Ilaha illallah daripada
dirinya. Wallahul musta’an. (http://almakassari.com/makna-kalimat-tauhid-laa-ilaha-illallah.html)
Baca selengkapnya tentang makna kalimat
“Laa ilaaha illalloh” di situs tersebut
Kita dapati kaum asyairoh dalam buku-buku
aqidah mereka menyatakan bahwa أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْمُكَلَّفِ هُوَ النَّظْرُ (Yang pertama wajib bagi seorang mukallaf adalah pengamatan
untuk meyakini adanya pencipta). Sehingga konsentrasi mereka adalah tentang
penetapan akan adanya Tuhan Pencipta Yang Maha Esa dalam Penciptaan
Akibat
dari salah penafsiran tentang laa ilaaha illallah ini akhirnya seseorang yang
beristighotsah dan berdoa kepada selain Allah tidaklah terjerumus dalam
kemusyrikan selama meyakini bahwa pencipta satu-satunya adalah Allah.
Karenanya kita
dapati sebagian orang alim mereka (sebagian kiyai) terjerumus dalam kesyirikan
atau membolehkan kesyirikan. Menurut mereka hal-hal berikut
bukanlah kesyirikan :
– Berdoa
kepada mayat, meminta pertolongan dan
beristighotsah kepada mayat bukanlah
kesyirikan, selama meyakini bahwa mayat-mayat tersebut hanyalah sebab dan
Allahlah satu-satunya yang menolong
– Jimat-jimat bukanlah
kesyirikan selama meyakini itu hanyalah sebab, dan yang menentukan hanyalah
Allah. Karenanya kita dapati sebagian kiyai menjual jimat-jimat
– Bahkan kita
dapati sebagian kiyai mengajarkan ilmu-ilmu kanuragan
atau ilmu-ilmu sihir. Karena selama meyakini
itu hanyalah sebab dan Allah yang merupakan sumber kekuatan maka hal ini
bukanlah kesyirikan.
– Sebagian
mereka juga membolehkan memberikan sesajen atau tumbal kepada lumpur lapindo atau kepada gunung yang akan
meletus, karena menurut mereka hal itu bukanlah bentuk kesyirikan kepada Allah.
(http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/403-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-adalah-trinitas)
Naudzu billahi min dzaalik. Berikut bantahannya
Padahal, doa adalah ibadah yang sangat
penting, yang jika diserahkan kepada selain
Allah, maka merupakan syirik besar
Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang
sangat penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang
berdoa kepada dzat yang menjadi tujuan doa. Pantas saja jika Nabi bersabda :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.
“Doa itulah ibadah”, kemudian Nabi membaca
firman Allah ((Dan Rob kalian berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan
bagi kalian))” (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu
Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul Baari 1/49)
Al-Hulaimi (wafat tahun 403 H) berkata :
“Dan doa secara umum merupakan bentuk
ketundukkan dan perendahan, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia
telah menampakkan hajatnya (kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan
kepada dzat yang ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba
seperti ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah. Oleh
karenanya Allah berfirman ((Berdoalah kepadaku niscaya akan Aku kabulkan,
sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam
neraka jahannam dalam keadaan terhina)). Maka Allah menjelaskan bawhasanya doa
adalah ibadah” (Al-Minhaaj fai syu’ab Al-Iimaan 1/517)
Ar-Roozi menyebutkan dalil yang banyak
kemudian ia berkata :
“Allah
berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang
aku maka sesungguhnya aku dekat)), dan Allah tidak berkata ((Katakanlah aku
dekat)), maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari
banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah berkata : HambaKu engkau hanyalah
membutuhkan washithoh (perantara) di selain waktu berdoa adapun dalam kondisi
berdoa maka tidak ada perantara
antara Aku dan engkau” (Mafaatihul Goib 5/106)
Sungguh
dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya berdoa
kepada selain Allah merupakan kesyirikan sangatlah
banyak. Diantaranya firman Allah dalam surat QS Al-Ahqoof :
5; Al-Mukminun: 117; Asy-Syu’aroo: 213; An-Naml: 62; QS
Al-Qoshosh: 88; dan Al-Jin: 18.
Rasulullah bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan
berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka” (HR Al-Bukhari no 4497)
Itulah dalil yg banyak yang menunjukkan
bahwa berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan.
Allah dan Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam tidak pernah mengecualikan bahwasanya jika berdoa kepada makhluk dengan keyakinan
bahwasanya makhluk tersebut (baik malaikat atau nabi atau wali) tidak ikut
mencipta, mengatur, dan memberi rizki secara independent maka bukan kesyirikan.
(http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-7-qperkataan-abu-salafy-berdoa-kepada-selain-allah-tidak-mengapa-selama-tidak-syirik-dalam-tauhid-rububiyahq)
Bacalah
bantahan atas hal ini secara lebih luas dalam situs tersebut. Baca juga tentang
bantahan terhadap orang yang menjadikan mayat orang sholih atau Nabi sebagai perantara dalam berdoa di
situs http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab
Tauhid
Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? (5) [Akibat Tidak Mau Membagi
Tauhid Menjadi 3, Lanjutan]
2.
Menyimpang (Ilhad) dalam Pemahaman dan Pengamalan atas Nama dan Shifat Alloh
‘Azza wa Jalla
Ketidakpedulian terhadap tauhid Asma wa Shifat dan hanya meyakini
pengertian tauhid sebagai tauhid rububiyah semata (hanya meyakini bahwa Alloh
adalah pencipta, penguasa, dan pengatur) akan menjerumuskan seseorang ke dalam
berbagai bentuk penyimpangan (ilhad) dalam memahami nama-nama dan sifat Alloh.
Hal ini merupakan kelaziman sebagai petaka dari kebodohannya terhadap ilmu yang agung
ini, sedangkan para penebar syubhat kesesatan begitu laris di media.
Bentuk ilhâd (penyimpangan) dalam memahami
nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla bermacam-macam. Sebagian hukumnya sampai
pada tingkat kesyirikan dan ada yang sampai pada tingkat kekafiran, sesuai
dengan petunjuk dalil-dalil syariat yang ada [Al-Qawâ-‘idul Mutslâ hlm. 50] .
Macam-macam bentuk ilhâd tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mengingkari sebagian dari nama-Nya atau mengingkari sifat-sifat
dan hukum-hukum yang dikandung nama-nama
tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu ta’thil (orang-orang yang
mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla ) dari kelompok
jahmiyah dan selain mereka.
Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd, karena
kita wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla serta
sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya yang dikandung nama-nama tersebut.
Maka mengingkari hal tersebut termasuk penyimpangan dalam masalah ini.
b. Menjadikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya menyerupai nama-nama dan sifat-sifat makhluk, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu tasybih (orang-orang yang
menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk).
Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd karena
perbuatan menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk adalah kebatilan dan
keburukan yang besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [asy-Syuurâ/42:11]
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka janganlah kamu mengadakan
penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui [an-Nahl/16:74]
c. Menetapkan bagi Allâh Azza wa Jalla nama yang tidak ditetapkan-Nya
bagi diri-Nya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Nashrani yang menamakan
Allâh Azza wa Jalla dengan nama bapak. Juga seperti perbuatan kaum filosof
(ahli filsafat) yang menamakan Allâh Azza wa Jalla dengan al-‘illatul fâ’ilah
(penyebab yang berbuat).
Perbuatan
mereka ini termasuk al-ilhad, karena penetapan nama-nama Allah bersifat tauqifiyyah (harus
berdasarkan dalil dari al-Qur’ân dan hadits yang shahih, tidak boleh ditambah
dan dikurangi). Sebab, Allâhlah yang maha mengetahui nama-nama dan sifat-sifat
yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
d. Menamai berhala dengan mengambil dari nama-nama Allâh Azza wa
Jalla , seperti perbuatan orang-orang musyrik yang mengambil nama untuk berhala
mereka al-‘uzza dari nama Allâh al-‘Aziz (Yang Maha Mulia dan Perkasa),
demikian juga nama al-lata dari nama-Nya “al-Ilah” (Dzat yang berhak diibadahi)
Perbuatan
mereka ini termasuk al-ilhad karena nama-nama yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan
bagi diri-Nya adalah khusus untuk diri-Nya semata-mata, sebagaimana firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah-lah asma-ul husna
(nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu
[al-A’râf/7:180]
Sebagaimana
hak untuk diibadahi dan disembah khusus milik Allâh Azza wa Jalla semata,
karena hanya Dia-lah semata yang menciptakan, memberi rezki, memberi
kemanfaatan, mencegah kemudharatan, dan mengatur alam semesta, maka hanya
Dia-lah yang khusus memiliki nama-nama yang maha indah, dan tidak boleh
dipalingkan kepada selain-Nya. [Keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam al-Qawâ-‘idul
Mutslâ hlm. 49-50 dengan ringkas dan penyesuaian. Lihat juga keterangan Imam
Ibnul Qayyim dalam Badâ-i’ul Fawâ-id hlm.179-180] .
e. Menyebut Allâh Azza wa Jalla dengan sifat-sifat yang
menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allâh Azza wa Jalla adalah Maha Suci dan Maha Tinggi
dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang
Yahudi yang mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ
Sesungguhnya Allâh miskin dan kami kaya
[Ali-‘Imrân/3:181]
Juga ucapan kotor mereka:
يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
Tangan Allâh
terbelenggu [al-Mâidah/5:64] [Lihat Badâi’ul Fawâidhlm.179] . (http://almanhaj.or.id/content/3581/slash/0/penyimpangan-dalam-nama-nama-dan-sifat-sifat-allh-azza-wa-jalla/)
f. Tahrif (menyimpangkan makna), yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa
dalil. Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan
untuk menghukum, sifat Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi
istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan
nikmat Allah.
g. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat
Allah), yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan
nama yang dimiliki oleh
Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya
sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang
untuk menggambarkannya.
Karena hal ini tidak mungkin dilakukan
makhluk. Untuk mengetahui bentuk dan hakikat sebuah sifat, hanya bisa diketahui
dengan tiga hal:
a) Melihat zat tersebut secara
langsung. Dan ini tidak mungkin kita lakukan, karena manusia di dunia tidak ada
yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b) Ada sesuatu
yang semisal zat tersebut, sehingga bisa dibandingkan. Dan ini juga
tidak mungkin dilakukan untuk Dzat Allah, karena tidak ada makhluk yang serupa
dengan Allah. Maha Suci Allah dari hal ini.
c) Ada berita yang akurat (khabar
shadiq) dan informasi tentang Dzat dan sifat Allah. Baik dari Al Qur’an
maupun hadis. Karena itu, manusia yang paling tahu tentang Allah adalah
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menggambarkan bentuk dan hakikat sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala. (http://yufidia.com/tauhid-asma-wa-sifat)
Contoh-contoh
penyimpangan dalam nama dan sifat Allah Azza wa Jalla yang tersebar di
masyarakat
Banyak contoh perbuatan ini yang terjadi di
masyarakat, karena ketidakpahaman mereka terhadap urusan agama mereka, terutama
masalah yang berhubungan dengan keyakinan dasar dan keimanan mereka, meskipun
kebanyakan penyimpangan tersebut tidak separah dan tidak sampai pada tingkat
kekafiran seperti bentuk-bentuk penyimpangan di atas. Meskipun demikian, tentu
semua ini harus dijauhi karena sedikit banyak akan merusak keimanan dan
mendangkalkan keyakinan seorang Muslim terhadap Allâh Azza wa Jalla .
Beberapa contoh penyimpangan tersebut,
di antaranya:
a. Keyakinan
sebagian orang yang tidak paham agama bahwa masing-masing dari Asmâul Husnâ
(nama-nama Allâh yang maha indah) mempunyai khasiat khusus untuk
mengobati penyakit tertentu.
Perbuatan ini jelas merusak keyakinan,
bahkan mengandung pelecehan terhadap nama-nama Allâh yang maha indah, disamping
itu juga merupakan perbuatan bid’ah yang sesat serta memalingkan manusia dari
dzikir dan ruqyah yang bersumber dari al-Qur’ân dan hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang shahih.
b. Menjadikan
nama-nama Allâh sebagai jimat dengan menulisnya pada kertas atau manik-manik kemudian di
gantung pada kendaraan atau rumah, dengan tujuan untuk penjagaan dan
perlindungan dari pandangan mata jahat, kedengkian, gangguan setan dan lain
sebagainya.
Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam,
berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa
yang menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik”[R. Ahmad
(4/156) dan al-Hâkim no. 7513. Lihat Ash-Shahîhah no. 492]
c. Menulis
nama-nama Allâh Azza wa Jalla pada pigura yang indah dengan tulisan yang dihiasi (kaligrafi) untuk
dijadikan sebagai hiasan dinding, sehingga orang yang melihatnya akan kagum
dengan keindahan tulisan dan hiasannya, bukan pada keindahan nama-nama-Nya
apalagi untuk meningkatkan keimanan.
Perbuatan ini jelas tidak disyariatkan, karena perbuatan ini tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat . Juga
karena nama-nama Allâh Azza wa Jalla terlalu agung dan mulia untuk dijadikan
sebagai hiasan dinding dan rumah.
d. Menjadikan
Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang maha indah) sebagai bahan dzikir sehari-hari
dengan membaca semua nama tersebut. Ada yang membacanya di waktu pagi dan sore, atau
setelah shalat lima waktu, bahkan terkadang ada yang membacanya berulang-ulang
sampai ratusan kali.
Adapun makna ‘berdoa dengan nama-nama
Allâh’ seperti yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam surat al-A’râf
ayat 180, juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah
memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menghafal (dan memahami
kandungan)nya maka dia akan masuk surga”[HR. al-Bukhâri no. 2585 dan Muslim no.
2677] , adalah menghapal nama-nama tersebut, memahami kandungan maknanya, dan
mengamalkannya serta berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama-Nya
yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya.
e. Termasuk
kesalahan besar dalam masalah ini adalah memberi
nama seseorang dengan nama yang berarti penghambaan kepada selain Allâh Azza wa Jalla, seperi ‘abdun nabi (hambanya Nabi) atau
‘abdul ka’bah (hambanya ka’bah), ‘abdul Husain (banyak terdapat di kalangan
Syiah) dan lain-lainnya.
Perbuatan ini diharamkan dalam Islam
berdasarkan konsensus para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah, karena manghambakan
diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla adalah perbuatan syirik.
f. Juga
termasuk kesalahan dalam masalah ini adalah membuang kertas, buku ataupun
majalah yang bertuliskan nama-nama Allâh di sembarang tempat ataupun di tempat sampah yang
bercampur dengan kotoran dan barang-barang buangan.
Perbuatan ini
diharamkan dalam Islam, karena menunjukkan sikap tidak memuliakan dan
mengagungkan nama-nama-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak
menjawab salam seorang Sahabat ketika beliau sedang berada di WC [Hadits hasan
shahih riwayat Abu Dâwud no. 16 dan at-Tirmidzi no.90] , dalam rangka memuliakan nama Allâh Azza wa Jalla dengan
tidak menyebutkannya sewaktu berada di tempat yang kotor dan najis [Keterangan
Syaikh ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdul Muhsin al-Badr dalam Fiqhul Asmâil Husnâ hlm.
66-69 dengan ringkas dan penyesuaian] .
Cara untuk
menyelamatkan diri dari penyimpangan dan dosa besar ini
Satu-satunya
cara untuk selamat dari penyimpangan besar ini adalah dengan berdoa memohon taufik
kepada Allâh Azza wa Jalla agar kita terhindar dari semua bentuk penyimpangan
dan kesesatan dalam memahami dan mengamalkan agama ini.
Kemudian
dengan berusaha mengikuti metode yang benar dalam memahami dan mengamalkan
agama Islam, yaitu manhaj ulama Salaf, Ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah direkomendasikan
kebenaran pemahaman dan pengamalam Islam mereka oleh Allâh Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [at-Taubah/9:100] {http://almanhaj.or.id/content/3581/slash/0/penyimpangan-dalam-nama-nama-dan-sifat-sifat-allh-azza-wa-jalla/}
Berikut
beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para
ulama, terkait nama dan sifat Allah:
a. Mengimani segala nama dan
sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah (hadits-hadits sahih).
Artinya, kita tidak membedakan dalam
mengimani segala ayat yang ada dalam Alquran, baik itu mengenai hukum,
sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat
jika seseorang kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna
oleh akal sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya
karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.
b. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.
Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang
Allah tetapkan, seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan
Allah, maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan
sifat makhluk.
c. Menutup keinginan untuk
mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.
Yang perlu
kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha
sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya. Dan untuk mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita
harus mengetahui hakikat zat tersebut. Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh
(nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakikat dari roh
tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun
akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakikatnya.
Termasuk larangan dalam
hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk
dan hakikat sifat Allah, karena akan
membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu
diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui bentuk dan hakikat dari
sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya bentuk dan hakikat dari
sifat-sifat Allah. hakikat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang
mengetahuinya. (http://yufidia.com/tauhid-asma-wa-sifat)
Oleh karena
itulah manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah digambarkan oleh para ulama sebagai
metode berislam yang a’lam wa ahkam wa aslam [Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dalam Dar-u Ta’ârudhil ‘Aqli wan Naqli 3/95 dan Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah dalam Ash-Shawâ’iqul Mursalah 3/1134] (yang paling sesuai dengan
ilmu yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , yang paling bijaksana dan sesuai dengan hikmah yang agung, serta
paling selamat dari kemungkinan menyimpang dan tersesat dari kebenaran) {http://almanhaj.or.id/content/3581/slash/0/penyimpangan-dalam-nama-nama-dan-sifat-sifat-allh-azza-wa-jalla/}
Pembahasan
selengkapnya, bacalah kedua situs (yufidia dan almanhaj) tersebut. Baca
juga penyimpangan-penyimpangan dalam memahami tauhid Asma wa Shifat di http://abuzuhriy.com/tauhid-asma-wa-sifat/; http://sunnah.or.id/buletin-assunnah/tauhid-asma-wa-shifat.html; http://www.salaf.web.id/789/mendalami-tauhid-al-asma-wash-shifat-al-ustadz-abdul-mu.htm;
dan http://ibnusarijan.blogspot.com/2008/06/makna-ilhad-dalam-asma-dan-shifat-allah.html
Dengarkan juga
kajian ilmiah tentang penyimpangan dalam memahami tauhid Asma wa Shifat disini
Simpulan dan Penutup
Setelah penjelasan ini, rasanya sangat
dungu jika ada yang menyamakan pembagian tauhid menjadi 3 dengan trinitas.
Mudahnya begini, Alloh yang Maha Esa, Robbuna, mempunyai nama dan sifat
Al-Malik, Ilaahinnaas (‘Ilah-nya manusia, yang wajib menjadikan segala
peribadatan hanya kepada-Nya), dan sifat-sifat mulia lainnya, seperti As-Sami’
(Maha Mendengar) dan Al-Bashir (Maha Melihat). Apakah akan disamakan dengan
aqidah trinitas yang mana Allah adalah salah satu dari YANG TIGA? Semoga Alloh
menjaga kita dari tipu daya dan kelicikan para penebar kesesatan.
Pembagian tauhid menjadi tiga disimpulkan
dari istiqra’ terhadap nash-nash Al-qur’an dan As-Sunnah yang diwarisi dari
para ulama terdahulu, bukan sesuatu yang baru, apalagi diklaim ‘akal-akalan’
kaum salafi.
Bahkan inilah aqidah yang benar yang
semestinya seluruh kaum muslimin memilikinya dan tidak menyelisihinya, agar
mendapatkan jaminan sebagai muwahhid yang pasti masuk surga dan tidak akan
kekal di neraka
Asy-Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin
Al-Abbad berkata:
“Dan tidaklah seseorang itu beriman dengan tauhid, apabila dia tidak
beriman dengan pembagian ketiga tauhid yang
bersandarkan dari nash-nash yang syar’i, tauhid yang diinginkan secara syar’i
adalah beriman kepada keesaan Allah di dalam rububiyah, uluhiyah, serta
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka barang siapa yang tidak
meyakini secara keseluruhan berarti dia bukanlah seorang yang bertauhid”.
Akhirnya, kami
meminta kepada Allah untuk menganugerahkan tauhid yang murni serta
iman yang bersih. Dan semoga Allah memberikan taufik kepada kita dalam
mengikuti petunjuk penghulu para rasul serta imamnya orang-orang yang
bertauhid, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)
Wallohu A’lam. Semoga Bermanfaat
Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah
kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat.
Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihat
Abu Muhammad
Palembang,
28 Jumadits Tsaniyah 1434 H/ 8 Mei 2013
Download dalam
bentuk pdf, artikel: Tauhid Itu Mengesakan Alloh
yang Satu, Kok Dibagi Tiga (1 s.d 5, lengkap)
comments
on “Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok
Dibagi Tiga?
tahqiq
Assalamualaikum
Maaf ustadz. Ada yg membantah… bgimana dg
surah ali imran 80. Kenapa bukan ilaahan. Tapi arbaban? Itu berarti tdk ada
namanya rububiyah dan uluhiyah…..artinya arbaban tetap tuhan pencipta sekaligus yang di ibadahi…
wa’alaikumus salam. Saya bukan ustadz, tapi insyaAllah
saya jawab
1. Seandainya dia meyakini bahwa hanya Allah lah yang berhak untuk diibadahi,
walaupun tidak tahu dalilnya, maka hal tersebut sudah menandakan tauhid
uluhiyahnya sudah benar
2. Pendalilan tauhid tidak adanya tauhid uluhiyah hanya dengan ayat tersebut
tidak semerta-merta menggugurkan dalil-dalil tauhid uluhiyah yang lain (sudah
saya sebutkan di halaman ini)
3. Mengakui adanya rabb (tauhid rububiyah) berkonsekuensi menyembahnya-Nya
satu-satunya (tauhid uluhiyah) [QS. Maryam: 65]
4. Memang terkadang di dalam Al Qur’an atau As Sunnah kata rabb dipakai dalam
konteks pembicaraan tertentu sementara yang dimaksudkan adalah makna ilah,
bukan semata-mata rabb dalam artian rububiyah. Seperti ayat yang disebutkan
oleh penanya yaitu surat Yusuf ayat 39. Di dalam ayat itu disebutkan perkataan
Nabi Yusuf ketika berdakwah di dalam penjara, “Hai dua orang temanku di
penjara.
Manakah yang lebih baik; rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah ilah
yang esa lagi Maha Kuasa?” Kata rabb dalam ayat ini digunakan dengan makna
ilah. Untuk membuktikan hal ini marilah kita lihat sebuah hadits yang
menceritakan perbincangan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan
salah seorang sahabatnya yang dulunya Nasrani yaitu Adi bin Hatim.
Dari Adi bin Hatim, suatu ketika dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca ayat ini, “Mereka (ahli kitab) telah menjadikan pendeta-pendeta
dan rahib-rahib mereka itu sebagai rabb-rabb selain Allah.” (QS. At Taubah:
31). Maka aku (Adi) berkata kepada beliau, “Sesungguhnya kami dahulu tidak
menyembah mereka.” Nabi menjawab, “Bukankah dahulu mereka mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah kemudian kalian pun ikut mengharamkannya. Dan mereka juga
menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan kalian pun ikut menghalalkannya?”
Lalu kukatakan, “Iya, betul demikian.” Maka Nabi bersabda, “Itulah yang
dimaksud penyembahan kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Tirmidzi
meng-hasan-kannya).
Hadits yang mulia ini menunjukkan banyak pelajaran yang sangat berharga kepada
kita, di antaranya:
Adi bin Hatim memahami makna ayat ‘menjadikan pendeta dan rahib sebagai rabb’
ialah menyembah mereka. Ini menunjukkan bahwa kata rabb di sini digunakan dan
dipahami dengan makna ilah/sesembahan bukan rabb dalam artian pencipta, dsb.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pemahaman Adi bin Hatim
bahwa makna ‘menjadikan pendeta dan rahib sebagai rabb’ adalah menyembah
mereka, bukan dalam artian menjadikan mereka sebagai pencipta, penguasa dan
pengatur alam ini. Sehingga Nabi dan Adi bin Hati sepakat tentang makna rabb
dalam ayat ini adalah dipahami dengan makna ilah.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa kata rabb di dalam ayat di atas (QS.
Yusuf: 39) adalah dipakai dan harus dipahami dengan makna ilah, berdasarkan
realita dan pemahaman terhadap kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang lain dan juga
tafsiran dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.(http://muslim.or.id/aqidah/menyoal-pemaknaan-syahadat.html)
Tanya bagaimana dengan illahinas, manusia ilahi,
apakah rob bisa jadi manusia.!!
Tidak ada terjemahan spt itu. Ilahinnaas,
terjemahannya: ilah (ma’bud bi haqqin = Tuhan yang berhak disembah) nya (oleh)
manusia.
Ibnu
Askha
mana dalilnya?mana hadistnya?
Baca dulu artikel 1, sampai 5, terutama yang ini:https://abumuhammadblog.wordpress.com/2013/05/08/tauhid-itu-mengesakan-alloh-yang-satu-kok-dibagi-tiga-2/ baru komentar
SAYA
Kok kayak konsep trinitasnya umat Kristiani ya?
Sudah coba tanya umat Kristiani kenapa ada Allah,
Yesus dan Roh Kudus belum?
Menurut mereka Tuhan itu ESA, tapi untuk berkomunikasi
dan menyebarkan ajaran tauhid versi mereka, Tuhan bermanifestasi menjadi 3,
yaitu Allah (Tuhan), Yesus (Tuhan dalam wujud manusia supaya bisa bertatap
langsung kepada manusia demi menyampaikan tauhid dan wahyu Tuhan) serta Roh
Kudus (atau bagi umat Katholik, Bunda Maria – pihak perantara antara Allah dan
Yesus). Kan Nabi Isa alaihissalam tidak pernah mengajarkan hal ini, tapi kaum-kaumnya-lah
yang menyelewengkan tauhid yang ESA yang dibawakan Nabi Allah Isa alaihissalam.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadits pun tidak ada penjelasan
mengenai tauhid trinitas. Beriman kepada Allah ta’ala hanya perlu dengan
kalimat:
“AKU BERSAKSI BAHWA TIADA ILAH (TUHAN) SELAIN ALLAH
DAN MUHAMMAD ADALAH UTUSAN ALLAH.”
Kalau memang ada pendapat ulama yang berpendapat bahwa
tauhid trinitas itu benar adanya, lalu apakah Al-Qur’an dan Hadits salah dan
pendapat ulama-ulama lebih benar?
Kan pendapatnya pengikutnya Yesus berpendapat bahwa
Yesus (Nabi Isa alaihissalam) adalah Tuhan, padahal Nabi Isa mati-matian
menetapkan tauhid TIADA TUHAN SELAIN ALLAH kepada umat Yahudi saat itu, tapi
pengikutnya lebih benar?
Bukankah itu bid’ah (hal-hal baru yang berbentuk
akidah yang tidak disampaikan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya)?
Sudah baca artikelnya 1 s.d. 5 belum? kalau belum,
mohon dibaca dulu baru berkomentar. kalau sudah baca tapi komentarnya masih
kayak gini. MUSIBAH