Thursday, September 3, 2015

Kupas Tuntas Aqidah Raj'ah Syiah


Buka juga :
Raj’ah, Aqidah Busuk Syi’ah Imamiyah Rafidhah

Selain imamah, ‘ishmah imam, dan Mahdiyyah, yang telah dikupas tuntas pada beberapa edisi sebelumnya, Syiah meyakini doktrin lain sebagai ajaran mereka yang disebut Raj’ah (inkarnasi) [1].

Raj’ah

raj’ah adalah salah satu pokok ajaran Syiah. Syiah Imamiyah sepakat meyakini doktrin ini sebagai salah satu ajaran mereka.[2] Dalam Syiah, raj’ah merupakan kelanjutan dan episode kehadiran al-Mahdi, di mana menurut keyakinan mereka, semua Imam Ahlul Bait dan orang-orang yang memusuhinya pasca kedatangan al-Mahdi akan dibangkitkan kembali dari kematian, mereka akan berhadap-hadapan dalam suatu medan pertempuran.
Pada saat itu, konon Allah SWT. akan memberi kesempatan kepada Ahlul Bait dan pengikutnya untuk membalas dendam kepada orang-orang yang selama ini tidak menyukai ajaran Syiah. Mereka akan membunuh Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah berikut para sahabat Nabi yang lain radhiyallahu ‘anhum, yang dianggap telah merampas kursi khilafah yang seharusnya dipegang oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Digambarkan oleh Syiah, bahwa dalam pertempuran itu Imam Ali AS. akan menjadi pimpinan Ahlul Bait dengan didukung oleh orang-orang Syiah yang lain. Tidak hanya orang Syiah yang akan membela Imam Ali AS. waktu itu, namun juga para Nabi dan Rasul akan ikut berperang di bawah bendera Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.. Dalam kitab tafsir Syiah yang otoritatif, Tafsir al-Ayasi, dijelaskan:

لاَ يَبْعَثُ اللهُ نَبِيّاً وَ لاَ رَسُلاً إِلَّا رَدَّ إِلَى الدُّنْيَا مِنْ آدَمَ فَهَلُمَّ جَرَا حَتَّى يُقَاتِلَ بَيْنَ يَدَيْ عَلِيِّ ابْنِ أَبِيْ طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Tidaklah Allah SWT. mengutus seorang nabi maupun rasul, kecuali ia akan dikembalikan (oleh Allah) ke alam dunia mulai dari Nabi Adam dan seterusnya sehingga berperang di hadapan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu.[3]

Raj’ah yang dikehendaki oleh Syiah di sini bukanlah kebangkitan dari kubur pada hari kiamat, sebagaimana keyakinan kaum Muslim pada umumnya, namun raj’ah versi Syiah ini adalah kebangkitan dari alam kubur ke alam dunia, untuk melaksanakan prosesi balas dendam. Kemudian mereka yang telah dibangunkan akan mati kembali, dan setelah itu hari kiamat akan tiba.

Jadi, anggapan sementara kalangan yang mengira bahwa raj’ah (inkarnasi) ala Syiah, secara substansial sama dengan kebangkitan kembali dari alam kubur versi umat Islam dan umat Islam non-Syiah, adalah anggapan yang salah. Maka dari itu, di sini perlu diketengahkan, bagaimana sebenarnya pemahaman Syiah mengenai raj’ah (kehidupan kembali di alam dunia setelah kematian). Mengenai hal ini, Ibnu Babawaih al-Qummi meriwayatkan hadits yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far ash-Shadiq AS.. Katanya, beliau mengatakan:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُؤْمِنُ بِكَرَّتِنَا – رَجْعَتِنَا – وَيَسْتَحِلَّ مُتْعَتَنَا

Bukan dari golongan kami orang yang tidak percaya pada adanya raj’ah dan tidak menghalalkan mut’ah.[4]

Senada dengan pernyataan Ibnu Babawaih al-Qummi barusan, dalam kitab Hayat al-Qulub, al-Majlisi mengatakan:

وَيَرْجِعُ لِلدُّنْيَا يَوْمَ ظُهُوْرِ حَضْرَةِ الْقَائِمِ عليه السلام مَنْ مَحَضَ الْإِيْمَانَ مَحْضاً أَوْ مَحَضَ الْكُفْرَ مَحْضاً، فَيَرْجِعُ أَعْدَاؤُهُ لِيَنْتَقِمَ مِنْهُمْ فِي هَذَا الْعَالِمِ وَيُشَاهِدُوْنَ مِنْ ظُهُوْرِ كَلِمَةِ الْحَقِّ وَعُلُوِّ كَلِمَةِ أَهْلِ الْبَيْتِ مَا أَنْكَرُوْهُ عَلَيْهِمْ، فَتَكُوْنُ رَجْعَةُ الْكُفَّارِ لِيَنَالَهُمْ عِقَابٌ شَدِيْدٌ.

Setelah tampaknya Imam Mahdi, maka orang yang memurnikan imannya dan orang yang memurnikan kafirnya akan dikembalikan (dihidupkan) ke alam dunia, musuh-musuh al-Mahdi akan hidup kembali supaya al-Mahdi dapat membalas dendam kepada mereka di alam ini, agar mereka menyaksikan kebenaran Ahlul bait yang dahulu mereka ingkari. Maka, tujuan dibangkitkannya orang kafir adalah agar mereka merasakan siksa yang pedih.[5]

Dalam dunia Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, raj’ah merupakan salah satu akidah yang disepakati eksistensi dan urgensitasnya. Hal ini antara lain dinyatakan secara tegas oleh Syarif al-Murtadha, seorang ulama Syiah yang digelari Alam al-Huda dikalangan pengikutnya. Ketika menjawab pertanyaan seputar raj’ah, Syarif al-Murtadha mengatakan:

بِأَنَّ الَّذِيْ تَذْهَبُ إِلَيْهِ الشِّيْعَةُ الْإِمَامِيَةُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُعِيْدُ عِنْدَ ظُهُوْرِ الْمَهْدِيْ قَوْماً مِمَّنْ تَقَدَّمَ مَوْتُهُ مِنْ شِيْعَتِهِ وَقَوْماً مِنْ أَعْدَائِهِ.

Sesungguhnya Syiah Imamiyah menyepakati bahwa setelah kedatangan al-Mahdi, Allah SWT. akan menghidupkan kembali pendukung dan musuh-musuh al-Mahdi yang telah mati.[6]

Ungkapan senada juga diucapkan oleh Imamu Mutakallimi asy-syi’ah wa Fuqaha’iha (pemuka pakar teologi dan ahli fikih Syiah), Muhammad bin an-Nu’man al-Mufid, sebagai berikut:

اِتَّفَقَتْ الْإِمَامِيَةُ عَلَى وُجُوْبِ رَجْعَةِ كَثِيْرٍ مِنَ الْأَمْوَاتِ إِلَى الدُّنْيَا قَبْلَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Syiah Imamiyah sepakat mewajibkan (keyakinan) bahwa sebelum hari kiamat, banyak orang-orang yang mati akan hidup kembali ke dunia.[7]

Ibnu Babawaih al-Qummi, pemuka pakar hadits Syiah (Ra’isu Muhaddits as-Syi’ah), atau yang biasa disebut sebagai ash-Shaduq (yang terpercaya) di kalangan Syiah, juga meluncurkan pernyataan senada:

اِعْتِقَادُنَا يَعْنِي مَعْشَرَ الْإِمَامِيَةِ فِي الرَّجْعَةِ أَنَّهَا حَقٌّ.

Keyakinan kita, yakni golongan Syiah Imamiyah, bahwa keyakinan akan raj’ah merupakan keyakinan yang haq.[8]

Lebih lanjut, al-Majlisi dalam karya besarnya, Bihar al-Anwar, juga memberikan penegasan yang serupa. Setelah menyebutkan hadits-hadits tentang raj’ah, ia menyatakan sebagai berikut:

اِعْلَمْ يَا أَخِيْ أَنِّي لَا أَظُنُّ أَنَّكَ قَدْ تَرْتَابُ بَعْدَ مَا مَهَّدْتُ وَأَوْضَحْتُ لَكَ بِالْقَوْلِ فِي الرَّجْعَةِ الَّتِيْ أَجْمَعَتْ عَلَيْهِ الشِّيْعَةُ فِي جَمِيْعِ الْأَعْصَارِ وَاشْتَهَرَتْ بَيْنَهُمْ كَالشَّمْسِ فِي رَابِعَاتِ النَّهَارِ.. وَكَيْفَ يَشُكُّ مُؤْمِنٌ بِأَحْقِيَةِ الْأَئِمَّةِ الْأَطْهَارِ فِيْمَا تَوَاتَرَتْ عَنْهُمْ مِنْ مِائَتَيْ حَدِيْثٍ رَوَاهَا نَيْفٌ وَأَرْبَعُوْنَ مِنَ الثِّقَاتِ الْعِظَامِ وَالْعُلَمَاءِ الْأَعْلَامِ فِي أَزْيَدَ مِنْ خَمْسِيْنَ مِنْ مُؤَلَّفَاتِهِمْ.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa aku kira kau tidak akan ragu-ragu setelah ku jelaskan panjang lebar tentang raj’ah yang telah disepakati oleh Syiah dalam setiap kurun, dan sangat jelas sejelas sinar matahari di seperempat siang. . . Bagaimana mungkin seorang mukmin ragu-ragu akan berhaknya para Imam suci (atas anugerah ini), yang diabadikan dalam dua ratus hadits, diriwayatkan oleh empat puluh lebih ulama besar terpercaya, dan ditulis di lima puluh lebih karangan mereka.[9]

Dari pemaparan di atas, agaknya cukup jelas bagaimanakah yang sebetulnya pandangan Syiah terhadap akidah raj’ah, baik berkenaan dengan wujud nyata atau proses kejadiannya kelak, kepercayaan sekaligus kesepakatan mereka terhadap doktrin tersebut. Karena itulah, maka perlu dimaklumi jika kemudian Syiah amat kesulitan untuk menyembunyikan keyakinan yang ganjil ini, baik dengan taqiyyah atau yang lain. Akhirnya, Syiah mencari jalan keluar, bagaimana sekira doktrin raj’ah dalam Syiah tidak terkesan demikian ekstrem dan mengerikan. Hal ini mereka tempuh dengan melakukan penafsiran ulang terhadap raj’ah, dengan menjauh dari dan bahkan bertolak belakang dengan penafsiran dan pendefinisian raj’ah yang telah paten dan dipatok baku oleh para ulama Syiah, sebagaimana kami kemukakan di atas.

Dr. Quraish Shihab termasuk salah satu di antara penulis yang berupaya memberikan ‘arti baru’ bagi raj’ah. Hal tersebut beliau tempuh dengan cara berupaya mempopulerkan arti raj’ah pinggiran yang dimunculkan oleh segelintir orang-orang Syiah, dan berusaha mengecilkan suara mayoritas dan kesepakatan para ulama Syiah akan arti, maksud dan tujuan dari akidah raj’ah yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Dr. Quraish Shihab menulis:

Perlu dicatat bahwa kendati ulama-ulama Syiah memahami ayat-ayat dari riwayat-riwayat yang berbicara tentang akan adanya orang-orang tertentu yang akan dihidupkan Allah SWT. di pentas bumi ini setelah kematian mereka, namun tidak semua penganut aliran tersebut memahaminya dalam arti kehidupan sosok-sosok tertentu setelah kematian mereka. Ath-Thabarsi juga menulis setelah uraiannya yang penulis kutip sebelum ini, bahwa: “Ada sekelompok dari penganut Imamiyah yang mentakwilkan apa yang diriwayatkan dari berita-berita dalam arti kembalinya kekuasaan Negara, wewenang memerintah dan mencegah bukan kembalinya sosok manusia dan kehidupan setelah kematian.”[10]

Syekh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’ juga mengisyaratkan hal serupa. Dia menulis dalam menampik kecaman sementara orang menyangkut kepercayaan raj’ah. Bahwa “Apakah orang yang menggebu-gebu tanpa kontrol menyerang Syiah berkaitan dengan persoalan raj’ah – dahulu dan sekarang – apakah mereka mengetahui makna raj’ah bagi siapa yang berpendapat demikian dari kelompok Syiah?[11]

Komentar ulama besar Syiah di atas yang menyatakan bahwa ‘bagi siapa yang berpendapat demikian dari kelompok Syiah” mengisyaratkan bahwa ada orang di kalangan Syiah pun yang tidak berpendapat demikian.[12]

Mengamati kata demi kata dari tulisan Dr. Quraish Shihab ini, akan sangat tampak pada kita bahwa sesungguhnya Dr. Quraish Shihab sendiri tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa raj’ah, dengan arti yang telah disepakati oleh umat Syiah, memang menjadi keyakinan mereka secara umum. Sementara sagilintir pendapat yang dikutip oleh Dr. Quraish Shihab tetaplah tidak dapat mewakili arti doktrin raj’ah yang diyakini dengan sepenuh hati oleh para pengikut Syiah.

Setelah diuraikan secara jelas, bagaimana sebenarnya keyakinan dan komitmen Syiah terhadap doktrin raj’ah, maka selanjutnya perlu dipaparkan pula, bagaimanakah proses raj’ah menurut keyakinan Syiah itu tejadi. Rupanya, literature-literatur Syiah yang memaparkan tentang proses terjadinya raj’ah ini, semakin memperkukuh pernyataan semula,bahwa raj’ah versi Syiah memang punya arti dan kepentingan tersendiri, yang sejalan dengan doktrin-doktrin mereka yang lain. Mengenai hal ini antara lain dinyatakan sebagai berikut:

إِذَا آنَ قِيَامُ الْقَائِمِ وَمُطِرَ النَّاسُ فِي جُمَادِى الْآخِرَةِ وَعَشْرَةِ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ مَطَرًا لَمْ يَرَ النَّاسُ مِثْلَهُ ,فَيُنْبِتُ اللهُ بِهِ لُحُوْمَ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي أَبْدَانِهِمْ فِي قُبُوْرِهِمْ ,فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِمْ مِنْ قَبْلِ جُهَيْنَةَ يَنْفَضُّوْنَ رُؤُوْسَهُمْ مِنَ التُّرَابِ.

Bila telah tiba saatnya al-Mahdi keluar dari kegaibannya, dan turun hujan yang tak pernah ada hujan seperti itu sebelumnya pada bulan Jumadal akhirah serta sepuluh hari di bulan Rajab, maka Allah SWT. akan mengembalikan lagi daging-daging orang mukmin ke dalam tubuh mereka di alam kubur. Seakan-akan aku melihat mereka datang dari Juhainah, sambil membersihkan abu dari kepala mereka.[13]

Sementara itu, penjelasan proses terjadinya raj’ah dalam kitab al-Anwar an-Nu’maniyah diilustrasikan sebagai berikut:

إِنَّ الْحُسَيْنَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَرْجِعُ إِلَى الدُّنْيَا مَعَ خَمْسَةٍ وَسَبْعِيْنَ أَلْفاً مِنَ الرِّجَالِ.

Sesungguhnya Imam al-Husain akan kembali lagi ke dunia bersama 75.000 (tujuh puluh lima ribu) laki-laki.[14]

Selanjutnya, al-Jaza’iri mengutip riwayat yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far ash-Shadiq AS.. Konon, beliau berkata sebagai berikut:

إِنَّ أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَرْجِعُ مَعَ ابْنِهِ الْحُسَيْنِ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَجْعَةً، وَتَرْجِعُ مَعَهُ بَنُوْ أُمَيَّةَ، مُعَاوِيَةُ وَآلُ مُعَاوِيَةَ، وَكُلُّ مَنْ قَاتَلَهُ، فَيُعَذِّبُهُمْ بِالْقَتْلِ وَغَيْرِهِ، وَيُرْجِعُ اللهُ مِنْ أَهْلِ الْكُوْفَةِ ثَلَاثِيْنَ أَلْفاً، وَمِنْ سَائِرِ النَّاسِ سَبْعِيْنَ أَلْفاً، وَيَتَلَاقُوْنَ فِي الْحَرْبِ مَعَ مُعَاوِيَةَ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ، ثُمَّ يُحْيِيْهِمُ اللهُ سُبْحَانَهُ مَرَّةً فَيُعَذِّبُهُمْ مَعَ فِرْعَوْنَ وَآلِ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَابِ، ثُمَّ يَرْجِعُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَرَّةً أُخْرَى مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَجَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ.

Sesungguhnya Amirul Mukmini AS. Akan kembali (ke dunia) bersama putranya, Imam Husain AS.. Bani Umayyah, Muawiyah, keluarga Muawiyah sera semua orang-orang yang yang telah memeranginya juga akan kembali ke dunia bersama Imam Ali AS., maka beliau akan menyiksa mereka dengan pembantaian dan (bentuk penyiksaan) yang lain. Allah SWT. akan mengembalikan 30 ribu dari penduduk Kufah serta 70 ribu dari Negara lain, kemudian mereka berhadap-hadapan dengan Muawiyah di medan perang, kemudian Allah SWT akan menghidupka mereka lagi (Muawiyah cs), lau menempatkan mereka bersama Fir’aun dan penduduknya dalam siksa yang sangat pedih. Allah SWT juga akan menghidupkan Amirul Mukminin AS. sekali lagi bersama dengan Nabi Muhammad SAW dan semua Nabi ‘alaihim as-salam”.[15]

Dari sini, kita telah melihat gambaran yang cukup transparan mengenai doktrin Syiah yang satu ini. Karena itu dapatlah kita simpulkan, bahwa al-Mahdi dan raj’ah merupakan satu paket doktrin untuk diputar dalam satu episode drama Syiah. Al-Mahdi dan raj’ah merupakan setting narasi yang meggambarkan dendam kesumat orang-orang Syiah yang terpendam selama ribuan tahun terhadap ‘musuh-musuh’ mereka. Dalam status mereka sebagai kelompok minoritas dan minim dukungan, mereka tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan isi hati mereka yang sedang membara, hingga bertakhayyul untuk bisa melumat para musuh dengan mengarang cerita fiktif al-Mahdi al-Muntadzar. Dari balik skenario ini, Syiah melakukan indoktrinasi terhadap para pengikut mereka, agar selalu tabah dan tidak beranjak dari keyakinan semula. Cerita fiktif al-mahdi dan raj’ah menjanjikan kemenangan akhir dan happy ending bagi Syiah.

Landasan Raj’ah Syiah

Dalam menetapkan raj’ah (inkarnasi) sebagai salah satu akidah inti, ulama-ulama Syiah telah mempersiapkan landasan-landasannya yang mereka adopsi dari al-Qur’an al-Karim. Namun, tidak berbeda dengan nash-nash al-Qur’an yang mereka jadikan landasan untuk kategori akidah-akidah yang lain, tampaknya dalam konteks ini mereka juga tidak mendapatkan nash sharih (teks definitif) untuk menopang akidah raj’ah sebagaimana yang mereka inginkan. Seperti biasa, ketika mereka sudah tidak mendapatkan apa yang mereka dari al-Qura’an, maka cara satu-satunya adalah dengan mentakwil dengan takwilan yang jauh. Mereka memelintir beberapa ayat suci yang sebenarnya sudah jelas maksud dari artinya. Dalam presfektif Siah, dalil raj’ah yang paling kuat adalah sebagai berikut:

وَحَرَامٌ عَلَى قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَنَّهُمْ لَا يَرْجِعُونَ

Sungguh tidak mungkin atas (penduduk) suatu negeri yang telah Kami binasakan, untuk kembali (ke dunia). (QS. Al-anbiya’ [21]: 95)

Ketika menafsiri ayat ini, al-Qummi dalam tafsir-nya menyatakan demikian:

هَذِهِ الْآَيةُ مِنْ أَعْظَمِ الْأَدِلَّةِ عَلَى الرَّجْعَةِ؛ لِأَنَّ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَام ِلَا يُنْكِرُ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ هَلَكَ وَمَنْ لَمْ يُهْلِكْ.

Ayat ini merupakan dalil paling kokoh akan adanya raj’ah, karena sesungguhya tidak seorang pun dari orang Islam yang mengingkari bahwa semua manusia akan dibangkitkan kembali di hari kiamat, baik yang dihancurkan maupun yang tidak.[16]

Dilihat dari pernyataan al-Qummi ini, tampaknya dia mengartikan raj’ah dengan “kehidupan pada hari kiamat (setelah kematian)”, bukan kehidupan di dunia. Padahal penafsiran al-Qummi ini tertera di bawah judul “A’zhamu Ayatin Dallatin ‘ala ar-raj’ah” (Dalil paling kuat akan adanya raj’ah).

Dalam penafsiran kali ini, rupanya al-Qummi terperosok pada tafsir yang sejatinya tidak ia kehendaki, sebab apa yang dia paparkan dari ayat ke-95 surat al-Anbiya’ itu telah menyimpang dari arti raj’ah yang diyakini oleh sekte Syiah. Sepertinya, upaya menyelinap masuk pada dalil-dalil umat Islam untuk melegitimasi doktrin-doktrin Syiah, tidak selalu bisa dijalankan secara mulus oleh ulama-ulama Syiah. Karena diakui atau tidak, dalam konteks ini, ayat-ayat ke-95 surat al-Anbiya’ di atas memang tidak mengarah kepada raj’ah sama sekali, malah secara teks, ayat tersebut jelas menginformasikan kepada kita bahwa tidak akan ada yang dapat kembali ke dunia setelah kematian, sebab arti dari ayat ini, menurut Ibnu Abbas, Abu Ja’far al-Baqir, Imam Qatadah dan yang lain, adalah:

حَرَامٌ عَلَى أَهْلِ كُلِّ قَرْيَةٍ أُهْلِكُوْا بِذُنُوْبِهِمْ أَنَّهُمْ يُرْجَعُوْنَ إِلَى الدُّنْيَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Haram atas semua pendudk desa yang telah dihancurkan disebabkan dosa-dosa mereka kembali ke dunia sebelum hari kiamat.[17]

Sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Gramatika Arab, kalimat “La” (la yarji’un) dalam ayat tersebut (QS. Al-Anbiya’ [21]: 95) berfungsi sebagai shilah (penyambung). Maka, “La” dalam ayat itu dibebaskan dari makna. Ia berfungsi sebagai tambahan yang bertujuan untuk memperkuat kata Haramun yang disebut di awal ayat. Uslub (pola susunan kata) semacam ini adalah salah satu dari sekian uslub yang digunakan al-Qur’an dan telah digunakan oleh para penyair Arab kenamaan, karena memang memiliki nilai keindahan tersendiri bagi mereka yang memiliki cita rasa bahasa yang tinggi. Ayat lain yang menggunakan “La” sebagai shilah (tambahan, dibebaskan dari makna) adalah ayat 12 surat al-A’raf berikut:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ

Allah berfirman: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu. (QS. Al-A’raf [7]: 12)[18]

Tentang kedudukan “La” dan maknanya dalam surat al-Anbiya’ ayat 95 tersebut masih diperselisihkan oleh para pakar tafsir, hanya saja mereka sepakat bahwa maksud ayat tersebut adalah: Haram (tidak mungkin) bagi penduduk desa yang telah dihancurkan oleh Allah untuk kembali ke dunia.[19]

Jika kita amati lebih lanjut, sebenarnya kandungan makna dari ayat 95 surat al-Anbiya’ itu sama dengan maksud surat Yasin ayat 31 dan 50 berikut:

أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ

Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwa orang-orang (yang telah kami binasakan) itu tiada  kembali kepada mereka. (QS. Yaasin [36]: 31)

فَلَا يَسْتَطِيعُونَ تَوْصِيَةً وَلَا إِلَى أَهْلِهِمْ يَرْجِعُونَ

Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiat-pun dan tidak  (pula) dapat kembali kepada keluarganya. (QS. Yasin [36]: 50)

Selain ayat 95 surat al-Anbiya’, ayat lain yang sering dimanfaatkan Syiah dan ditunjuk sebagai dalil raj’ah, sebagaimana yang disampaikan al-Alusi, adalah ayat 83 surat an-Naml:

وَيَوْمَ نَحْشُرُ مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ فَوْجًا مِمَّنْ يُكَذِّبُ بِآيَاتِنَا فَهُمْ يُوزَعُونَ

Dan (Ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalm kelompok-kelompok). (QS. An-Naml [27]: 83)

Dalam menafsiri ayat ini, salah satu tokoh tafsir Syiah terkemuka, Abdullah Syibr, menulis sebuah riwayat yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far ash-Shadiq AS. Menurut riwaya itu, ayat ini turun berkenaan dengan raj’ah.[20] Ath-Thabrisi, penafsir kenamaan Syiah yang lain, juga menegaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa Syiah Imamiyah menggunakan ayat ini sebagai dalil atas keabsahan akidah raj’ah. Lebih lanjut, dia mengutip alsan ulama Syiah yang menjadikan ayat 83 dari surat an-Naml ini sebagai dalil sharih atas akidah raj’ah:

إِنَّ دُخُوْلَ “مِنْ” فِي الْكَلَامِ يُوْجِبُ التَّبْعِيْضَ فَدَلَّ بِذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ يُحْشَرُ قَوْمٌ دُوْنَ قَوْمٍ وَلَيْسَ ذَلِكَ صِفَةَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ الَّذِيْ يَقُوْلُ فِيْهِ سُبْحَانَهُ: {وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا}

Sesungguhnya masuknya “min” dalam kalam itu mewajibkan adanya tab’idh (pembagian). Dengan begitu, ayat tersebut menunjukan bahwa akan dikumpulkan sebagian kaum, sementara kaum yang lain tidak akan dikumpulkan. Ini bukanlah ciri-ciri hari kiamat yang dijelaskan oleh Allah dengan “Dan Kami kumpulkan mereka semua, maka kami tidak membiarkan satu orang-pun dari mereka.”[21]

Jika kedua huruf “min” dalam ayat ini diartikan sebagai “at-Tab’idh” (min yang bermakna sebagian) semua, maka sudah barang tentu akan merusak kandungan arti serta maksud yang hendak disampaikannya. Namun jika yang dimaksud ath-Thabrisi adalah “min” yang pertama, maka pendapatnya sama dengan pendapat ulama Ahlusunnah. Jadi maksud ayat itu adalah Allah SWT akan mengumpulkan sebagian umat, tidak kesemuanya.

Selanjutnya, di sini juga penting untuk menjelaskan makna min yang kedua agar pengertian isi ayat 83 surat an-Naml ini menjadi jelas dan mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Huruf jar min yang kedua dari ayat di atas bermakna bayan (menjelaskan maksud kalimat sebelumnya). Bayan di sini berfungsi untuk memperjelas maksud kalimat fauja. Dengan demikian, maka arti keseluruhan ayat ini adalah Allah akan mengumpulkan umat-umat yang telah mendustakan ayat-ayat-Nya.

Sejauh pemaparan ini, kita bertanya, kalimat manakah yang menunjuk terhadap arti ”raj’ah” secara khusus, sebagaimana yang dikemukakan ath-Thabrisi dan ulama-ulama Syiah yang lain?[22] Jadi di sini tak ada kesimpulan yang dapat kita ambil dari ayat ini, selain penegasan bahwa raj’ah ternyata tidak memiliki landasan-landasan teoritis, baik dari nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW.. Hal ini menunjukan bahwa akidah ini memang sengaja dibuat-buat, tak ubahnya akidah-akidah Syiah yabg lain.

Selain dapat dilakukan dengan menguraikan arti ayat di atas, kepalsuan akidah raj’ah juga dapat dibuktikan dengan melakukan pembacaan dengan mengikut-sertakan ayat selanjutnya. Dari sini akan tampak lebih jelas, bahwa yang dimaksud mengumpulkan umat dalam konteks ayat ini bukanlah mengumpulkan mereka di alam dunia, sebab ayat setelahnya merekam firman Allah SWT. yang diucapkan dihadapan mereka:

وَيَوْمَ نَحْشُرُ مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ فَوْجًا مِمَّنْ يُكَذِّبُ بِآيَاتِنَا فَهُمْ يُوزَعُونَ (83) حَتَّى إِذَا جَاءُوا قَالَ أَكَذَّبْتُمْ بِآيَاتِي وَلَمْ تُحِيطُوا بِهَا عِلْمًا أَمَّاذَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (84) وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوا فَهُمْ لَا يَنْطِقُونَ (85)

Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok). Hingga apabila mereka datang, Allah berfirman: “Apakah kamu telah mendustakan ayat-ayat-Ku, padahal ilmu kamu tidak meliputinya, atau apakah yang telah kamu kerjakan?” Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka. Maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa). (QS. An-Naml [27]: 83-85)

Ayat 83-85 dari surat an-Naml tersebut memberikan pemaparan yang demikian lugas, bahwa orang-orang yang berdosadikumpulkan secara khusus, lalu Allah SWT. berfirman sebagaimana termaktub dalam ayat tersebut, agar mereka merasa bahwa diri mereka salah, dan agar mereka merasa hina-dina di hadapan kebesaran-Nya.[23] Jadi, ayat-ayat tersebut sama sekali tidak connected dengan akidah raj’ah yang dikehendaki Syiah.

Di samping itu, tafsir yang diajukan ath-Thabrisi di atas rupanya bukan merupakan suara bulat dari kalangan Syiah. Terbukti bahwa ternyata ulama Syiah yang lain mengajukan penafsiran yang bertolak-belakang dengan rumusan ath-Thabrisi. Muhammad Jawwad Mughniyah, seorang tokoh Syiah kontemporer, adalah salah satu di antara ulama Syiah yang membentangkan rumusan tafsir yang dapat mementahkan kesimpulan ath-Thabrisi. Dalam hal ini, Muhammad Jawwad Mughniyah memunculkan pemahaman yang berbeda dengan ath-Thabrisi, terkait dengan makna huruf min yang terdapat dalam ayat tersebut. Dia mengatakan:

«مِنْ» هُنَا بَيَانِيَةٌ وَلَيْسَتْ لِلتَّبْعِيْضِ تَمَامًا كَخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ، وَالْمَعْنَى: أَنَّ فِي الْأُمَمِ مُصَدِّقِيْنَ وَمُكَذِّبِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ وَبَيِّنَاتِهِ، وَهُوَ يَحْشُرُ لِلْحِسَابِ وَالْجَزَاءُ جَمِيْعَ الْمُكَذِّبِيْنَ بِلَا اِسْتِثْنَاءٍ، وَخَصَّهُمْ بِالْحَشْرِ مَعَ أَنَّهُ يَعُمُّ الْجَمِيْعَ؛ لِأَنَّهُ تَعَالَى قَصَدَ التَّهْدِيْدَ وَالْوَعِيْدَ.

Hurufjar min di sini bermakna bayan, bukan tab’idh, seperti kata-kata “cincin terbuat dari besi.” Arti ayat itu adalah: “Di antara umat-umat ini ada yang membenarkan ada pula yang mendustakan ayat-ayat Allah dan bukti (kekuasaan)Nya. Dia akan mengumpulkan semua pendusta tanpa terkecuali untuk dihisab dan diberi pembalasan. Allah mengumpulkan mereka secara khusus untuk menggertak dan mengancam mereka, padahal perkumpulan itu meliputi semua manusia.[24]

Secara tersurat, penafsiran gramatikal dari Muhammad Jawwad Mughniyah ini dengan sendirinya telah menggerogoti konsep raj’ah, atau paling tidak mengilustrasikan betapa ulama Syiah tidak memiliki komitmen yang mapan terhadap akidah yang mereka yakini. Yang jelas, di sini Muhammad Jawwad Mughniyah tampak telah mematikan langkah dan telah menghabisi pendahulunya, yakni ath-Thabris. Tentunya, kita berharap, semoga komitmen Muhammad Jawwad Mughniyah timbul dari kinsyafan batinnya, bukan dari pengaruh doktrin taqiyyah yang selalu digunakan untuk menutup-nutupi jati dirinya.

Dari sekian banyak kelemahan, kontradiksidan kerancuan tafsir, inkonsistensi pendapat serta penyelewengan takwil dalam rangka mengukuhkan akidah raj’ah dengan nash al-Qur’an, agaknya Syiah semakin terjebak dalam lingkaran kebingungan yang tak berkesudahan. Sepertinya, kondisi inilah yang menggiring mereka untuk juga menarik ayat 17, 21, 22, dan 23 dari surat ‘Abasa sebagai salah satu dalil raj’ah; suatu pilihan yang diputuskan tanpa pertimbangan nalar yang sehat Dalam tafsir-Nya, al-Qummi mengomentari ayat-ayat itu sebagai berikut:

قُتِلَ الإِنسَانُ مَا أَكْفَرَهُ قَالَ: هُوَ أَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ، قَالَ: مَا أَكْفَرَهُ أَيْ مَاذَا فَعَلَ وَأَذْنَبَ حَتَّى قَتَلُوْهُ..”ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ، ثُمَّ إِذَا شَاء أَنشَرَهُ” (عبس ]80[: 21-22). قَالَ: فِي الرَّجْعَةِ “كَلَا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ” (عبس ]80[: 23) أَيْ لَمْ يَقْضِ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ مَا قَدْ أَمَرَهُ، وَسَيَرْجِعُ حَتَّى يَقْضِيْ مَا أَمَرَهُ.

(Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya) Al-Qummi berkata: Dia adalah Amir al-Mukminun. Ma akhfarahu artinya adalah: Dosa apa yang telah diperbuatnya, hingga mereka membunuhnya?. (Kemudian Dia mematikannya dan memasukannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki, Dia mengbangkitkannya kembali). (QS.’Abasa [80]: 21-22). (Sekali-kali jangan; menusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya) (QS. ‘Abasa [80]: 23). Maksudnya, Amirul Mukminin belum melaksanakan perintah Allah, dan akan kembali untuk melaksanaka perintah-Nya..[25]

Sungguh, kita tak habis pikir, kenapa pilihan ulama Syiahuntuk mengukuhkan raj’ah juga jatuh pada ayat itu, padahal yang dimaksud dengan kata insan dalam ayat ke 17 tersebut adalah orang kafir. Agaknya, kekuatan nafsu Syiah untuk mengesankan agar raj’ah memiliki landasan yang absah dari al-Qur’an, membuat mereka meninggalkan nalar yang jernih dan tidak bisa berpikir logis. Di sini, jika al-Qummi menafsiri kata insan tersebut dengan Imam Ali bin Abi Thalib RA., maka dia telah menghina Imamnya sendiri, yang dia anggap suci.

Lalu bagaimana arti yang sesungguhnya dari ayat tersebut? Mengenai hal ini, ulama Islam melakukan penafsiran dengan teliti dan cermat, dengan memperhatikan inidikasi-indikasi dan dalil-dalil yang ada; memadukan teks dan konteks secara sempurna, sehingga memunculkan pemahaman yang komprehensif, benar dan terarah. Di sini, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari mengartikulasikan kata ma akfarahu pada dua makna, sebagaimana dipaparkan dalam tafsirnya, sebagai berikut:

وَفِيْ قَوْلِهِ: (أَكْفَرَهُ) وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: التَّعَجُّبُ مِنْ كُفْرِهِ مَعَ إِحْسَانِ اللهِ إِلَيْهِ، وَأَيَادِيْهِ عِنْدَهُ. وَالْآخَرُ: مَا الَّذِيْ أَكْفَرَهُ، أَيْ: أَيُّ شَيْئٍ أَكْفَرَهُ.

Firman Allah “akhfarahu” mempunyai dua arti: Pertama bermkana “Heran atas kekufuran merka, padahal Allah telah berbuat baik dan menganugerahkan pemberian yang banyak pada mereka.” Kedua bermkasud “Apakah yang membuat mereka kufur?”[26]

Jadi, dari segi pemaknaan literal ayat, Syiah telah menghadirkan makna yang sama sekali tidak sikron dengan ayat yang diartikannya, baik secara teks maupun konteks. Karenanya, dalam pembahasan ini, mengatakan bahwa ulama-ulama Syiah telah terjebak dalam kekacauan pemikiran dan kebingungan cukup logis. Akan tetapi di samping itu ada alasan lain yang agaknya lebih abash untuk mendeteksi akar dari kekacauan ini. Bahwa rupanya, ulama-ulama Syiah yang menafsiri ayat di atas dengan Sayyidina Ali RA., sangat dimungkinkan terpengaruh oleh logika sekte Syiah Kamiliyah, yaitu kelompok Syiah yang mengkafirkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. sebab beliau tidak mau berjuang untuk mengambil kekhalifahan yang telah dirampas oleh khalifah-khalifah sebelum beliau. Kelompok Syiah ini juga mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi yang lain, dikarenakan mereka tidak menyerahkan khilafah kepada Imam Ali RA..

Sampai di sini, agaknya dimaklumi, bahwa Syiah memang tidak mampu menghadirkan hujjah yang berakar untuk akidah-akidah yang diyakininya, sehingga kadang nalar mereka jauh dari jangkauan logika yang sehat. Bahkan, akibat heran dengan penafsiran-penafsiran bebas ala Syiah ini, Dr. Nashir bin Abdillah al-Qifari mengatakan: “Barangkali orang pertama yang menggunakan ayat ini (ayat dalam surat ‘Abasa) sebagai dalil raj’ah adalah orang ‘Ajam (non-Arab) yang tidak mengerti bahasa al-Qur’an, karena terdorong oleh rasa fanatik dan kepentingan pribadi belaka.”[27]

Setelah penafsiran-penafsiran telah terbantahkan tadi, ayat 21-22 surat ‘Abasa yang juga dijadikan penguat bagi akidah raj’ah juga tidak bertaring. Ayat tersebut jelas tidak menunjukan arti raj’ah versi Syiah, karena memang tidak ada kalimat tegas (sharih) yang mengindikasikan arti itu. Yang tepat adalah, bahwa arti kalimat ansyarahu pada ayat tersebut di arahkan pada kehidupan di hari kiamat, sebab hanya itu yang paling mendekati pada arti yang sesungguhnya, baik ditinjau dari zhahir-nya teks ayat maupun konteksnya.

Selanjutnya, ulama Syiah mulai melangkah pada titik puncak dari pemeliharaan ayat di atas, yaitu ayat ke 23 dari surat ‘Abasa, dan inilah rupanya alasan ‘terkuat’, kenapa mereka menggunakan ayat-ayat dari surat ini sebagai dalil raj’ah. Yakni karena Imam Ali AS. belum pernah melaksanakan perintah Allah SWT. dengan sempurna, jadi beliiau perlu dibangkitkan kembali untuk menyempurnakan perintah pada masa raj’ah (inkarnasi).

Jika diamati lebih cermat, sebetulnya pernyataan sedemikian merupakan bentuk penghinaan lain terhadap Sayyidina Ali RA.. Bagaimana mungkin mereka mangaku mencintai Ahlul Bait, jika mereka malah mencela Imam Ali RA. dengan menyebutnya sebagai orang yang tidak becus melaksanakan perintah Allah SWT., sehingga harus dihidupkan kembali kelak menjelang hari akhir?[28] Bukankah—dalam  pandangan Syiah—para Imam adalah orang yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, terjauhkan dari kekeliuran, salah dan lupa? Mungkinkah orang yang memiliki sifat sedemikian rupa, akan lalai dalam melaksanakan tugasnya? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Dan jika itu memang ‘harus terjadi’ (sekali lagi, dalam presfektif Syiah). Maka runtuhlah doktrin kemaksuman imam dalam Syiah.

Landasan Raj’ah

Tidak sebagaimana yang kita duga, ternyata dalil raj’ah yang mereka adopsi dari al-Qur’an cukup banyak, kendati Syiah tidak berhasil menafsirkan satu ayat pun dengan penafsiran yang mengarah pada raj’ah, tanpa melakukan distorsi terhadap nash. Setelah ayat-ayat yang telah diuraikan pada edisi sebelumnya, kini giliran ayat 185 surat Ali Imran yang dijadikan sasaran dalil raj’ah, yakni firman Allah SWT.:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Ali Imran [03]: 185)

Mengenai ayat ini, al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar dan al-‘Ayasyi dalam tafsir al-‘Ayasyi, memberikan komentar sebagai berikut:

لَمْ يَذُقِ الْمَوْتَ مَنْ قُتِلَ، وَلَابُدَّ أَنْ يَرْجِعَ حَتَّى يَذُوْقَ الْمَوْتَ

Tidak merasakan mati orang yang dibunuh, oleh karenanya dia harus kembali (hidup) hingga merasakan kematian.[29]

Dari penakwilan al-‘Ayasyi dan al-Majlisi ini, kiranya tak ada sanggahan yang perlu untuk dimunculkan, karena secara gamblang, kekeliruannya dapat dimasukan dalam kategori dharuri (pengetahuan aksioma). Barangkali karena itulah, Mamduh Farhan al-Buhairi dalam karyanya Asy-Syi’ah Minhum ‘Alaihim serta Dr. Nashir bin Abdullah al-Qifari dalam Ushul Madzhab Asy-Syi’ah menanggapi dengan mengatakan bahwa “pentakwilan semacam itu adalah penakwilan awam yang tidak mengerti bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an. Ia membeda-bedakan maut (kematian) dengan qatl (pembunuhan), dia mengatakan bahwa qatl tidak termasuk maut. Sesungguhnya Imam Ali dan putra-putra beliau sudah cukup sengsara dengan pedihnya pembunuhan. Masihkah mereka akan dihidupkan kembali ke dunia hanya sekadar untuk merasakan sakitnya kematian? Begitukah bentuk dan ekspresi mereka kepada Ahlul Bait?.[30]

Sebagai dalil tambahan untuk akidah ini, Syiah juga menafsiri kata al-Ma’ad yang terdapat dalam surat al-Qashash ayat 85 dengan raj’ah:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. (QS. Al-Qashash [28]: 85).

Di antara orang yang menafsiri al-Ma’ad dalam ayat tersebut dengan raj’ah adalah Ibnu Ibrahim dan Abdullah Syibr, dua tokoh Syiah terkemuka.[31] Sepintas, barangkali mereka melihat kecocokan antara doktrin raj’ah dengan makna yang dikandung oleh kalimat Ma’ad tersebut, sehingga mereka mencomot ayat ini begitu saja tanpa melakukan kajian secara teliti dan cermat terlebih dahulu. Karenanya, dalil yang mereka kira dapat mengukuhkan raj’ah, pada gilirannya menjadi senjata makan tuan bagi mereka dan merobohkan akidah tersebut.

Jika kita menelaah kata Ma’ad dari prespektif kebahasaan, maka kata tersebut setidaknya memiliki empat arti, yaitu Akhirat, Haji, Makkah dan Surga. Demikian sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Fairuz Abadi dalam al-Qamus al-Muhith. Jadi, dalam kamus versi apa pun, tidak ada kata Ma’ad yang memiliki arti kembali ke dunia.[32] Karena keberagaman arti ini, maka para pakar tafsir Ahlussunnah tidak sepakat dalam menentukan arti Ma’ad dalam ayat ini. Di antara mereka ada yang mengartikanyya dengan hari kiaamat (akhirat), ada lagi yang menafsiri dengan surga, dan ada pula yang memaknainya dengan Makkah.[33] Artinya, Rasulullah SAW. akan kembali lagi ke Makkah setelah beliau di usir oleh penduduknya.

Jika misalnya arti Ma’ad yang dikehendaki dalam ayat tersebut adalah yang terakhir, maka janji Allah SWT. sudah ditepati pada saat penaklukan Makkah (Fathu Makkah) tahun 8 (delapan) Hijriyah. Karena itu, Rasulullah SAW. tidak perlu hidup lagi (raj’ah) untuk kembali ke tempat kelahirannya itu.

Dari perspektif Sabab an-Nuzul (pemicu turunnya ayat), Imam al-Muqatil meriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah ketika Rasulullah keluar dari Gua Tsur. Ketika itu, beliau tidak melewati jalan Makkah karena takut diketahui oleh orang karif Quraisy. Ketika sudah merasa berada di tempat yang aman, beliau kembali melalui jalan-jalan Makkah dan singah di Juhfah, suatu tempat antara Makkah dan Madinah. Beliau pun terkenang dan merindukan tempat kelahirannya itu. Maka turunlah Malaikat Jibril sambil bertanya: “Apakah engkau merindukan tempat kelahiranmu Muhammad? Rasulullah SAW. menjawab: “Ia.” Maka Jibril AS. berkata, sesungguhnya Allah SWT. berfirman kepadamu:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Makkah). (QS. Al-Qashash [28]: 85).[34]

Jika dari segi arti kebahasaan, penafsiran dan sabab an-nuzul ayat tak ada indikasi apa pun yang menunjuk pada arti raj’ah yang dikehendaki Syiah, lalu dari sisi manakah mereka menetapkan ayat di atas sebagai dalil bagi raj’ah?

Ayat lain yang dijadikan tameng oleh Syiah untuk doktrin raj’ah adalah ayat 11 dari surat Ghafir. Salah satu mufassir Syiah, Abdullah Syibr, misalnya, memberikan penafsiran terhadap ayat itu sebagai berikut:

(قَالُوْا رَبَّنَا اَمَتَّنَا اِثْنَتَيْنِ) فِي الدُّنْيَا وَفِي الرَّجْعَةِ اَوْ الْقَبْرِ اَوْ خَلَقَهُمْ نُطَفًا اَمْوَاتًا ثُمَّ اَمَاتَهُمْ (وَاَحْيَيْتَنَا اِثْنَتَيْنِ) فِي الْقُبْرِ وَالرَّجْعَةِ اَوْ فِي الْقَبْرِ وَحِيْنَ الْبَعْثِ.

(Mereka menjawab: “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali) di dunia dan pada waktu raj’ah atau di alam kubur atau Allah menjadikan mereka mani yang mati, kemudian Allah mematikan mereka. (dan Telah menghidupkan kami dua kali [pula]) di alam kubur dan pada waktu raj’ah atau di alam kubur dan pada hari kebangkitan.[35]

Andai tidak menyematkan doktrin raj’ah, barangkali penafsiran dari Abdullah Syibr untuk ayat di atas nyaris sama dengan penafsiran umat Islam. Bandingkan penafsiran Abdullah Syibr di atas—selain  raj’ah —dengan komentar beberapa ulama Umat Islam berikut ini:

قَوْلُهُ تَعَالَى:” قالُوا رَبَّنا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ” اخْتَلَفَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِي مَعْنَى قَوْلِهِمْ:” أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ” فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَقَتَادَةُ وَالضَّحَّاكُ: كَانُوا أَمْوَاتًا فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ، ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ثُمَّ أَمَاتَهُمُ الْمَوْتَةَ الَّتِي لَا بُدَّ مِنْهَا فِي الدُّنْيَا، ثُمَّ أحياهم للبعث والقيامة، فهاتان حياتان موتتان، وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى:” كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْواتاً فَأَحْياكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ” [البقرة: 28]. وَقَالَ السُّدِيُّ: أُمِيتُوا فِي الدُّنْيَا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ فِي الْقُبُورِ لِلْمَسْأَلَةِ، ثُمَّ أُمِيتُوا ثُمَّ أُحْيُوا فِي الْآخِرَةِ. وَإِنَّمَا صَارَ إِلَى هَذَا، لِأَنَّ لَفْظَ الْمَيِّتِ لَا يَنْطَلِقُ فِي الْعُرْفِ عَلَى النُّطْفَةِ. وَاسْتَدَلَّ الْعُلَمَاءُ مِنْ هَذَا فِي إِثْبَاتِ سُؤَالِ الْقَبْرِ، وَلَوْ كَانَ الثَّوَابُ وَالْعِقَابُ لِلرُّوحِ دُونَ الْجَسَدِ فَمَا مَعْنَى الْإِحْيَاءِ وَالْإِمَاتَةِ؟

Para pakar takwil berbeda pendapat mengenai arti perkataan orang kafir (Mereka menjawab: “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali [pula]). Berkata Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Qatadah dan al-Dhahhak “Mereka mati ketika berada dalam tulang punggung ayahnya, kemudian Allah menghidupkan mereka, lalu mematikan mereka di dunia dengan kematian yang tidak boleh tidak harus terjadi, selanjutnya Allah menghidupkan mereka pada hari kiamat, itulah arti dua kehidupan dan dua kematian dan ini adalah firman Allah SWT. (Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali). (QS. Al-Baqarah [2]: 28). Imam as-Sudi berpendapat: “Merka dimatikan di Dunia lalu dihidupkan kembali di alam kubur untuk ditanyakan, kemudian mereka dimatikan kembali dan dihidupkan lagi di Akhirat”. As-Sudi berpendapat sedemikian sebab kata mayyit tidak bisa di ucapkan pada mani. Dengan pendapat (as-Sudi) ini, para ulama menetapkan adanya pertanyaan kubur. Andaikan pahala dan siksa hanya untuk ruh, lalu apa arti menghidupkan dan mematikan?[36]

Ayat lain yang dijadikan dalil raj’ah adalah ayat 234 surat al-Baqarah berikut:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu, kemudian Allah menghidupkan mereka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 243)

Ayat ini juga tidak ada sangkut pautnya dengan raj’ah yang—menurut syiah—akan terjadi nanti menjelang hari akhir. Sebab terdahulu[37] yang lari dari kematian saat virus ganas menyerang negeri mereka. Kemudian Allah SWT. berfirman kepada mereka, “Matilah kalian!” Maka matilah umat itu. Lalu Allah SWT. menghidupkan mereka kembali sebagai peringatan bagi umat-umat setelahnya, bahwa lari dari kematian tidak memberikan kontribusi apa pun untuk kelangsungan hidup mereka. Selain itu, ayat ini juga menggambarkan kekuasaan Allah SWT. yang bisa menghidupkan dan mematikan sesuai dengan kehendak-Nya.[38]

Di balik kelemahan-kelemahan dalil dari doktrin raj’ah ini, lantaran sudah jelas jika tidak ada nash sharih yang mereka angkat dengan menggunakan pendekatan dan metodologi ilmiah yang absah, maka Syiah selanjutnya membuat metodologi alternatif khusus untuk kalangan mereka sendiri. Mereka menyatakan bahwa dalil-dalil raj’ah (dan doktrin-doktrin Syiah yang lain) yang dianggap lemah oleh suara mayoritas, justru menunjukan terhadap kekuatan dan keabsahannya. Tentunya, metodologi seperti ini tidak dapat diberlakukan secara umum, apalagi dimasukan ke dalam perangkat analisa keilmuan. Sebab, selain tidak logis, agaknya metodologi ini dibuat hanya untuk mengelabui kaum awam Syiah saja. Mengenai hal ini, Al-Hur al-Amili dalam kitab Al-Iqadz min al-Haj’ah bi al-Burhan ala ar-Raj’ah mengatakan sebagai berikut:

لَمْ يَقُلْ بِصِحَّتِهَا أَحَدٌ مِنَ العَامَّةِ (وَهُمْ مَا سِوَى الشِّيْعَةِ الإمَامِيَّةِ) وَكُلُّ مَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ حَقٌّ.

Tidak ada satu orang awam pun yang membenarkan raj’ah (yang dikehendaki dengan orang awam adalah selain Syiah Imamiyah), Jadi, apapun yang tidak dibenarkan orang awam pasti benar adanya.[39]

Lebih lanjut, Syiah menegaskan bahwa pendapat apapun yang berseberangan dengan golongan umat Islam dipastikan benar menurut Syiah, seperti yang—menurut Syiah—disampaikan oleh Imam mereka berikut:

واللِه مَا هُمْ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا أَنْتُمْ عَلَيْهِ، وَلَا أَنْتُمْ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا هُمْ عَلَيْهِ فَخَالِفُوْهُمْ فَمَا هُمْ مِنَ الحَنَيفِيَةِ عَلَى شَيْءٍ.

Demi Allah, mereka tidak sama dengan kalian, kalian juga tidak sama dengan mereka, janganlah kalian bersepaham dengan mereka, sebab mereka tidak berada di jalan lurus sama sekali.[40]

Jadi, ‘metodologi keilmuan’ spesifik yang hanya berlaku bagi kalangan Syiah ini dibentuk guna menghindar dari berbagai kritik yang banyak dilancarkan untuk doktrin ini, sekaligus untuk menjaga reputasi dan supremasi ulama-ulama Syiah dimata para pengikut mereka. Andai mereka mampu berdialog secara ilmiah dalam mempertahankan dali-dalil al-Qur’an yang mereka kenakan pada doktrin-doktrin mereka, tentu mereka tidak perlu memilih jalan senaif ini.

Akar Pemikiran Raj’ah

Mengamati doktrin khurafat dan sangat asing “dalam Islam“ ini, tentu kita timbul tanya, dari manakah Syiah mengadopsi pemikiran khurafat semacam raj’ah ini? Para pakar telah memastikan bahwa akidah raj’ah dalam madzhab Syiah ini memiliki akar yang kuat dari ajaran dan tradisi Yahudi-Kristen. Rupanya, kesimpulan ini tidak hanya dimunculkan oleh para pengkaji Syiah terkemuka sekaliber Dr. Al-Qifari, al-Buhairi atau yang lain. Bahkan kalangan orientalis pun memiliki kesimpulan yang sama. Hal ini tak lain karena memang otensitas dan kejelasan data yang menunjukan terhadap kebenaran fakta tersebut. Dalam hal ini, Ignaz Golziher, seorang orientalis beragama Yahudi asal Hungaria dan pernah menjadi mahasiswa di al-Azhar Mesir, menyatakan sebagai berikut:

إنَّ فِكْرَةَ الرَّجْعَةِ ذَاتِهَا لَيْسَتْ مِنْ وَضْعِ الشِّيْعَةِ أَوْ مِنْ عَقَائِدِهِمْ الَّتِيْ اخْتُصُّوْا بِهَا، وَيَحْتَمِلُ أَنْ تَكُوْنَ قَدْ تَسَرَّبَتْ إِلَى الإِسْلَامِ عَنْ طَرِيْقِ المُؤَثَّرَاتِ اليَهُوْدِيَّةِ وَالمَسِيْحِيَةِ.

Sesungguhnya pemikiran raj’ah bukanlah asli ciptaan Syiah atau akidah mereka. Dimungkinkan pemikiran itu terserap ke dalam Islam (Syiah) melalui pengaruh Yahudi dan Kristen.[41]

Seorang sejarawan dan pemikir terkemuka, Ahmad Amin, juga mengatakan hal yang sama. Dalam Fajr al-Islam, ia menyatakkan sebagai berikut:

اليَهُوْدِيَّةُ ظَهَرَتْ فِيْ التَّشَيُّعِ بِاالقَوْلِ بِاالرَجْعَةِ.

“Yudaisme muncul dalam Tasyayyu’ di balik topeng raj’ah.”[42]

Jika kita merunut kembali hingga ke akar tumbuhnya sekte Syiah, maka apa yang disampaikan oleh para pakar tadi tidaklah aneh, sebab Abdullah bin Saba’ yang menjadi peletak pertama pemikiran Syiah adalah orang Yahudi tulen dari Yaman. Bisa dipastikan bahwa orang inilah yang telah mengajarkan doktrin raj’ah kepada para pengikutnya. Imam ath-Thabari, sejarawan Muslim terkemuka, mengatakan bahwa Abdullan bin Saba’ masuk Islam pada periode Sayyidina Usman RA, kemudian dia berpindah dari satu negeri ke negeri lain sambil berusaha memperkenalkan ajaran Yahudinya, yang dikemas dengan bungkus Islam. Pertama-pertama dia berdakwah di Hijaz, kemudian ke Bashrah, ke Kufah dan terakhir dia mempengaruhi kaum Muslimin di Syam, dia pun berpindah ke Mesir, dan di negeri ini dia berdakwah antara lain seperti berikut ini:

لَعَجَبَ مِمَّنْ يَزْعُمُ أَنَّ عِيْسَى يَرْجِعُ وَيُكَذِّبُ بِأَنَّ مُحَمَّدًا يَرْجِعُ؟ وَقَدْ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ القُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ. فَمُحَمَّدٌ أَحَقُّ بِالرُّجُوْعِ مِنْ عِيْسَى, قَالَ: فَقُبِلَ ذَلِكَ عَنْهُ وَوَضَعَ لَهُمْ الرَّجْعَةَ فَتَكَلَّمُوْا فِيْهَا.

“Aku heran kepada orang yang meyakini Isa AS akan kembali (ke dunia), namun dia mendustakan jika Muhammad akan kembali, sedangkan Allah telah berfirman, “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” Maka Muhammad lebih berhak untuk kembali dari pada Isa. (Rawi) berkata, “Maka diterimalah doktrin itu darinya.” Dia (Abdullan bin Saba’) mengajarkan (faham) raj’ah pada mereka hingga mereka meyakininya.[43]

Paparan data dan fakta sebagaimana tersaji pada beberapa edisi tampak jelas menunjukkan bahwa ulama-ulama Syiah telah mempersiapkan landasan-landasan untuk menetapkan raj’ah (inkarnasi) sebagai salah satu akidah inti, yang mereka adopsi dari al-Qur’an al-Karim. Namun, karena mereka tidak mendapatkan nash sharih (teks definitif) untuk menopang akidah raj’ah sebagaimana yang mereka inginkan—seperti biasa—mereka memelintir beberapa ayat suci Al-Qur’an yang sebenarnya sudah jelas maksud dari artinya, bahkan terkadang mereka berani “memperkosa” Al-Qur’an dari maksud yang sesungguhnya.

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)

[1] Inkarnasi berarti penjelmaan roh dalam wujud makhluk lain (terutama manusia).

[2] Al-Mufid, Awa’il al-Maqalat, hlm. 51.

[3] Lihat, Tafsir al-Ayasi, juz 1 hlm. 281 dan ar-Radd al-Kafi, hlm. 170.

[4] Ibnu Babawaih al-Qummi, Man la Yahdhuru al-Faqih, juz 3 hlm. 458, dan Tafsir ash-Shafi li al-Kasyani, juz 1 hlm. 347.

[5] Al-Majlisi, Hayatu al-Qulub, juz 3 hlm. 303.

[6] Lihat, A’yan asy-Syi’ah, juz 1 hlm. 132, percetakan Damaskus.

[7] Lihat, Awa’il al-Maqalat, hlm. 52.

[8] Lihat, Al-Huj’ah, hlm. 39-40.

[9] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 13 hlm. 225.

[10] Majma’ al-Bayan, juz 4 hlm. 234 (dikutip oleh Dr. Quraish Shihab dalam Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!Mungkinkah?)), hlm.196.

[11] Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghitha’, Ashlu asy-Syi’ah waa Ushuliha, hlm. 100. (dikutip oleh Dr. Quraish Shihab dalam Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 197).

[12] Dr. Quraish Shihab dalam Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!Mungkinkah?, hlm. 197.

[13] Lihat, Al-Irsyad li al-Mufid, hlm. 363; ath-Thabrisi, I’lam al-Wara, hlm. 462; al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 13 hlm. 223 dan ash-Shirath al-Mustaqim, juz 2 hlm. 251.

[14] Lihat, Al-Irsyad li al-Mufid, hlm.363; ath-Thabrisi, I’lam al-Wara, hlm. 462; al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 13 hlm. 223 dan ash-Shirath al-Mustaqim, juz 2 hlm. 251.

[15] Ibid, hlm. 103.

[16] Tafsir al-Qummi, juz 2 hlm. 76 dan Ushul Madzhab as-Syi’ah, juz 2 hlm. 1111.

[17] Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hlm. 205.

[18] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz 12 hlm. 41 dan Ushul Madzhab as-Syi’ah, juz 2 hlm. 1111.

[19] Ibid, juz 18 hlm. 524.

[20] Tafsir Abdullah Syibr, hlm. 369.

[21] Tafsir ath-Thabrisi, juz 5 hlm. 251-252.

[22] Ushul Madhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1113-1114.

[23] Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz 6 hlm. 215.

[24] Muhammad Jawwad al-Mughniyah, At-Tafsir al-Mubin, hlm. 441.

[25] Lihat, Tafsir al-Qummi, juz 2 hlm. 405.

[26] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz 24, hlm. 222.

[27] Ushul Madzhab asy-Syi’ah, Juz 2, hlm. 1115.

[28] Ibid, juz 2 hlm. 1116.

[29] Lihat, Tafsir al-‘Ayasyi, juz 1 hlm. 210 dan Bihar al-Anwar, juz 53 hlm. 71.

[30] Mamduh Farhan al-Buhairi, asy-Syi’ah Minhum ‘Alaihim, hlm. 199 dan Dr. Nashir bin Abdullah al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1116.

[31] At-Tasyayyu’, hlm. 224.

[32] Al-Qamu al-Muhith, juz 1 hlm. 302.

[33] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an, juz 19 hlm. 638-641.

[34] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Gha’ib, juz 12 hlm. 115.

[35] Tafsir Abdullah Syibr, hlm. 44.

[36] Lihat, Tafsir al-Qurthubi, juz 15 hlm. 298.

[37] Dalam satu riwayat dikatakan bahwa kejadian itu terjadi pada masa Nabi Hizqil AS.

[38] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 3 hlm. 394 dan at-Tasyayyu’, hlm. 223.

[39] Al-Iqadz min al-Haj’ah, hlm. 69.

[40] Lihat, al-Iqadz min al-Huj’ah, hlm. 70 dan Ushul Madzhab asy-Syiah, juz 2 hlm. 1118.

[41] Al-Aqidah wa asy-Syi’ah, hlm. 215.

[42] Ahmad Amin, Fajru al-Islam, hlm. 276.

[43] Lihat, Tarikh ath-Thabari, juz 5 hlm. 98; al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, juz 1 hlm. 50. Lebih lengkapnya bisa juga dirujuk dalam Ar-Radd al-Kafi, hlm. 172.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)