(Khotbah Jum’ah
Masjid Nabawi 15 Shafar 1437 H)
Oleh: Asy-Syaikh
Al-Hudzaifi hafizohullah
Segala puji bagi
Allah Tuhan semesta alam, Pelindung orang-orang shalih, Dia memberikan
bimbingan taufiq kepada siapa saja yang dikehendakiNya atas anugerahNya dan
rahmatNya sehingga jadilah orang tersebut beruntung. Dia biarkan orang yang
dikehendakiNya mengurus dirinya sendiri atas keadilanNya dan kebijaksanaanNya
sehingga orang tersebut menempuh selain jalur orang-orang yang beriman. Aku
memuji Tuhanku, berterima kasih dan bertobat kepadaNya serta memohon
ampunanNya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagiNya, Tuhan Yang Maha Benar dan Nyata. Aku bersaksi
bahwa junjungan kita dan Nabi kita Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya, yang
senantasa benar janjinya dan terpercaya amanatnya.
Ya Allah ! curahkanlah
rahmat kasih sayang dan doa keselamatan serta keberkahan kepada hambaMu dan
RasulMu Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam beserta seluruh pengikutnya !
Selanjutnya..
Bertakwalah kepada
Allah, niscaya Allah memasukkan kalian ke dalam rahmatNya dan menyelamatkan
kalian dari murkaNya dan sanksi hukumanNya. Sungguh beruntung orang yang
bertakwa dan merugi orang yang berdusta dan melampaui batas.
Para hamba Allah !
setiap orang berusaha untuk meraih kebahagiaan abadi dan kehidupan yang
memuaskan hati. Ada di antara manusia yang memang mendapatkan bimbingan Tuhan
untuk menempuh jalanNya sehingga Allah memberinya kebahagiaan yang abadi dan
kehidupan duniawi yang memuaskan hati. Tetapi ada pula orang yang yang segala
perhatiannya hanya tertuju kepada dunia dan melupakan akhiratnya sehingga Allah
memberinya jatahnya dari dunia yang memang telah Allah tetapkan untuknya, namun
di akhirat kelak ia tidak mendapatkan bagian apa-apa. Sedangkan jatah duniawi
yang diperolehnya tidaklah jernih tanpa kekeruhan, kekalutan, gangguan dan
keburukan. Firman Allah Swt :
مَنْ كانَ يُرِيدُ الْعاجِلَةَ عَجَّلْنا لَهُ فِيها مَا نَشاءُ لِمَنْ
نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاها مَذْمُوماً مَدْحُوراً[ الإسراء /
18
]
(Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang [duniawi], maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir
) Qs Al-Isra : 18
Firman Allah :
وَمَنْ أَعْرَضَ
عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيامَةِ
أَعْمى ، قالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيراً، قالَ كَذلِكَ أَتَتْكَ آياتُنا فَنَسِيتَها
وَكَذلِكَ الْيَوْمَ تُنْسى ، [ طه / 124-126 ]
( Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta" Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku
dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah
berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan" ) Qs
Thaha : 124-126
Jika faktanya memang
demikian, yaitu masing-masing orang berusaha meraih kebahagiaan duniawi dan
berkerja keras meraih kebahagiaan ukhrawi yang kekal abadi sebagai kehidupan
yang terbaik dan kenikmatan yang paling prima, maka perlu diketahui bahwa
kebahagiaan dunia yang menyenangkan dan kebahagiaan akhirat yang kekal abadi
itu tidak akan mungkin diraih kecuali dengan jiwa yang tulus dan hati yang
bersih. Firman Allah :
يَوْمَ لا يَنْفَعُ
مالٌ وَلا بَنُونَ ، إِلاَّ مَنْ أَتَى
اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ ، وَأُزْلِفَتِ
الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ ، وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ
لِلْغاوِينَ ، [ الشعراء / 88 – 91 ]
( pada hari, harta
dan anak-anak lelaki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih, pada hari itu, surga didekatkan kepada orang-orang
yang bertakwa, dan neraka Jahim diperlihatkan dengan jelas kepada orang-orang
yang sesat ) Qs As-Syu’ara : 88-91
Firman Allah :
مَنْ عَمِلَ صالِحاً
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَياةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ ما كانُوا يَعْمَلُونَ [ النحل / 97 ]
(Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan) Qs An-Nahl : 97
Amal shalih tidak
mungkin terlaksana kecuali oleh orang yang berhati ikhlas dan tulus. Firman
Allah :
لَقَدْ رَضِيَ
اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا
فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثابَهُمْ فَتْحاً
قَرِيباً [ الفتح / 18 ]
( Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang
mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas
mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya)
Qs Al-Fath : 18
Artinya Allah mengetahui kemurnian iman, kesungguhan niat
dan kesucian batin yang ada dalam hati mereka, yang aman dari sifat kemunafikan
dan cabang-cabangnya.
( عَن عبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ
مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ
فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ
وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ
) حديث صحيح رواه ابن ماجه
Abdullah bin ‘Amru berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam ; “Manusia bagaimanakah yang paling mulia?” Beliau
menjawab: “Semua orang yang hatinya makhmum (disapu/dibersihkan) dan tutur
katanya benar.” Mereka berkata; “Tutur kata yang benar telah kami sudah
mengerti, tetapi apakah maksud dari hati yang makhmum?” Beliau bersabda: “Yaitu
hati yang bertakwa dan bersih, tidak ada dosa, kezoliman, kedengkian dan hasad
di dalamnya.” (Hadis shahih riwayat Ibn Majah).
Dari Abdullah Bin
Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda :
( حُرِمَ عَلَى النَّارِ كُلِّ هَيِنٍ لَيِّن قَرِيبٍ
مِنَ الّناسِ ) رواه أحمد والترمذى
(Diharamkan (terlindung dari neraka) setiap orang yang
suka memudahkan, lemah lembut, dan akrab dengan sesama manusia ).” HR. Ahmad
dan Tirmizi
Perhatikan wahai
saudaraku sesama muslim bagaimana hati yang tulus ikhlas dan bersih itu dapat
mengangkat seseorang kepada derajat yang demikian tinggi di surga, dan dapat
menyelamatkannya dari neraka dan akibat yang membinasakannya.
Hati yang bersih dekat
dari segala kebaikan, jauh dari segala keburukan. Hati yang bersih dapat
menampung semua perilaku yang baik sebagaimana tanah yang landai dapat
menampung air. Hati yang baik akan mampu menolak semua perilaku kerendahan
sebagaimana tempa besi dapat menghilangkan karat pada emas dan perak. Hati yang
bersih dapat manaungi pemiliknya dengan rahmat Allah, perlindunganNya,
penjagaanNya dan bimbinganNya.
Firman Allah :
وَبَشِّرِ
الْمُخْبِتِينَ ، الَّذِينَ إِذا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
وَالصَّابِرِينَ عَلى ما أَصابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلاةِ وَمِمَّا
رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ [ الحج / 34 –
35
]
) Dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah, [yaitu] orang-orang
yang apabila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar
terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan
orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada
mereka) Qs Al-Haj : 34-35
Firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَخْبَتُوا إِلَى رَبِّهِمْ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[ هود / 23 ]
( Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri
kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di
dalamnya ) Qs Hud : 23
Sikap merendakan diri
kepada Allah Swt merupakan sifat yang melekat pada hati yang bersih. Ada yang
menafsirkannya sebagai sikap tawadhu’ ( dalam arti patuh dan taat ) kepada
Allah Swt serta merasa tenteram dalam menjalankan syariatNya dan firmanNya, pun
pula merasa nyaman mengerjakan amal kebajikan dan puas dengannya. Firman
Allah :
الَّذِينَ
تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلامٌ عَلَيْكُمْ ادْخُلُوا
الْجَنَّةَ بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [ النحل / 32 ]
( orang-orang yang
diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan [kepada
mereka]: "Salaamun´alaikum”, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan
apa yang telah kamu kerjakan ) Qs An-Nahl : 32
Yang dimaksud dengan
“mereka wafat dalam keadaan baik” di sini adalah “hati yang bersih dalam
keimanan”.
Diriwayatkan dari
Iyadh Bin Himmar radhiyallahu 'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda :
( أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ: ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ
مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ، وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى،
وَمُسْلِمٍ، وَرَجُلٌ فَقِيرٌ عَفِيْفٌ مُتَصَدِّقٌ ) رواه ابن حبان
( Ahli surga itu ada tiga :
Pertama : orang yang
punya kekuasaan dan berlaku adil serta mau bersedekah atas pertolongan Allah.
Kedua ; orang yang di
dalam hatinya terdapat rasa belas kasihan kepada sanak saudara dan sesama
muslim.
Ketiga : orang miskin yang mampu menjaga harga
dirinya [dari meminta-minta], dan ia-pun masih mau bersedekah ) HR Ibnu Hibban.
Hati yang bersih punya
sifat dan ciri khas tertentu, yang paling menonjol dan terpenting ialah
terbebasnya hati seseorang dari kemusyrikan besar ( syirik akbar ) dan kecil (
syirik asghar ) beserta cabang-cabangnya, juga terhindarnya dosa-dosa besar dan
kecil, terjauhkan dari sifat-sifat tercela dan perilaku nista, seperti kikir,
terlampau pelit, iri hati, dengki, sombong, menipu, curang, khianat, tipu
muslihat, dusta dan sifat-sifat hati tak terpuji lainnya. Di samping itu, hati
yang bersih pemiliknya selalu menjalankan kewajiban dan memperbanyak ibadah
sunah serta menghindari hal-hal yang makruh.
Adapun sebaik-baik
karakter dan sifat hati yang bersih dan yang paling tinggi tingkat kesuciannya
ialah sebagaimana yang sifat-sifat hati bersih yang disandang oleh para Nabi
–alaihimussalam- .
Firman Allah
mengkisahkan rasul kekasihNya, Ibrahim a.s.
:
وَإِنَّ مِنْ
شِيعَتِهِ لَإِبْراهِيمَ ، إِذْ جاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ [ الصافات / 83-84 ]
(Dan sesungguhnya
benar-benar termasuk golongannya [Nuh] adalah Ibrahim. ketika ia datang kepada
Tuhannya dengan hati yang suci) Qs Ash-Shafat: 83-84
Diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda
:
( لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ
شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ
الصَّدْرِ ) رواه أبو داود والترمذى
( Tidaklah seseorang
di antara sahabat-sahabatku yang menyampaikan sesuatu kepadaku dari seseorang,
[melainkan] aku sungguh senang jika aku keluar menemui kalian sementara aku
dalam keadaan hati yang bersih) HR Abu Dawud dan Tirmizi.
Dari Syaddad Bin Aus
radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan
kepada kami doa ini :
( اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي
الأَمْرِ، وَالعَزِيمَةَ على الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ، وَحُسْنَ
عِبَادَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا، وَقَلْبًا سَلِيمًا، وَأَعُوذُ بِكَ
مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ،
وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلاَّمُ الغُيُوبِ )رواه أحمد
والترمذى والنسائي
(Ya Allah, aku mohon
kepadaMu ketetapan hati dalam segala urusan dan keteguhan kehendak menuju
kebenaran. Dan aku memohon agar aku dapat mensyukuri nikmatMu dan beribadah
kepadaMu dengan sebaik-baiknya. Ya Allah, aku memohon kepadaMu tutur kata yang
benar, hati yang bersih, dan aku berlindung kepadaMu dari keburukan apa yang
Engkau ketahui, aku memohon kepadaMu kebaikan dari apa yang Engkau ketahui, aku
memohon ampun kepadaMu dari apapun yang Engkau ketahui, sesungguhnya hanya
Engkau jualah yang Maha Mengetahui yang ghaib). HR Ahmad, Tirmizi dan Nasai.
Sebaik-baik kondisi
hati, yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya adalah bersihnya hati
dan baiknya hati. Dan kesempurnaan bersihnya hati bertingkat-tingkat. Maka
barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam meneladani para nabi –'alaihimus
salam- maka ia akan meraih kebersihan hati sesuai kadar keteladanannya.
Barangsiapa yang mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
dan berpegang teguh dengan sunnahnya yang mulia maka ia telah dibimbing kepada
petunjuk yang terbaik, amal dan keyakinan yang terbaik. Dan Allah akan
menganugerahkan kepadanya hati yang bersih sebagaimana Allah menganugerahkan
hati yang bersih kepada para sahabat yang meneladani petunjuk Nabi mereka
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan berpegang teguh dengannya. Allah
berfiman :
وَٱلَّذِينَ
تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ
إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ
وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ
شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩
Dan orang-orang yang
telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada
mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada hasad dalam dada mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada kaum muhajirin; dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang orang yang beruntung (QS Al-Hasyr : 9)
Dan orang-orang
kemudian yang mengikuti para sahabat dengan baik mereka diberikan hati yang
bersih juga. Allah berfirman
وَٱلَّذِينَ جَآءُو
مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ
سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ
ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠
Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang" (QS Al-Hasyr : 10)
Hati yang bersih
ganjarannya adalah surga (di akhirat) dan tubuh yang sehat di dunia. Dari Anas
r.a ia berkata :
كُنَّا جُلُوسًا
مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ
الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ،
تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ
الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى
. فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ
حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي لَاحَيْتُ
أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ
تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ
"Kami sedang
duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliaupun berkata
: "Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga". Maka
munculah seseorang dari kaum Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air wudhu,
sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan
munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala
keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan
kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin 'Amr bin
Al-'Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya : "Aku bermasalah
dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari.
Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?. Maka
orang tersebut berkata, "Silahkan".
Anas bin Malik
melanjutkan tuturan kisahnya :
وَكَانَ عَبْدُ
اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ
يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ
وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى
يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ
يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ
أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ
أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ
الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ
مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ
بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا
مَا رَأَيْتَ . قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا
رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ
عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
"Abdullah bin
'Amr bin al-'Aaash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut
selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut
mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan
berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir,
hingga akhirnya ia bangun untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : "Hanya
saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala
berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun
berkata kepadanya : Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada
permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali : Akan
muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga", lantas engkaulah
yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih
amalanmu untuk aku contohi, namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka
apakah yang telah menyampaikan engkau sebagaimana sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam?". Orang itu berkata : "Tidak ada kecuali amalanku
yang kau lihat". Abdullah bertutur : "Tatkala aku berpaling pergi
maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya
saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang
muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun atas kebaikan yang
Allah berikan kepadanya". Abdullah berkata, "Inilah amalan yang
mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga-pen), dan inilah yang tidak kami
mampui" (HR Ahmad, Ibnu Katsir berkata : Ini sanadnya shahih)
Jika seorang muslim
bersungguh-sungguh untuk meraih dan melakukan sebab-sebab bersihnya hati dan
akhirnya ia meraih kedudukan yang tinggi ini maka sungguh dia telah menang dan
beruntung dan ia akan menjalani hidup di dunia dengan sehat (selamat) dan Allah
akan menjamin baginya derajat yang tinggi di akhirat. Ia akan dibimbing oleh
Allah untuk menasehati dan ia terlepas dari penipuan, maka iapun melakukan yang
terbaik kepada Allah, kepada kitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin,
dan kepada keumuman kaum muslimin. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Agama adalah
nasehat (sebanyak 3 kali). Para sahabat bertanya, "Nasehat untuk
siapa", Nabi berkata, "Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, para pemimpin
kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin" (HR Muslim dari sahabat Tamim
Ad-Dary).
Dan bentuk nasehat
kepada Allah adalah beribadah kepadanya dengan ikhlas, dan nasehat kepada
kitabNya adalah mempelajarinya dan mengajarkannya serta mengamalkannya. Nasahat
kepada RasulNya adalah dengan mengikuti sunnahnya dan berdakwah kepada
sunnahnya. Nasehat kepada para pemimpin (penguasa) adalah dengan tidak
memberontak kepada mereka serta membantu mereka dalam menjalankan beban amanah
yang dipikul oleh mereka. Nasehat bagi kaum muslimin adalah dengan menunaikan
hak-hak mereka, menjaganya, dan memberi pelajaran bagi mereka serta
menyumbangkan kebaikan bagi mereka dan menahan diri dari berbuat keburukan
terhadap mereka. Barangsiapa yang sempurna bersihnya hatinya maka ia menyukai
bagi kaum muslimin apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri, dan ia akan diselamatkan
dari sifat pelit sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidaklah salah
seorang dari kalian beriman hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang ia
sukai untuk dirinya" (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Anas)
Ibnu Rojab berkata
tentang hadits ini : "Hadits ini menunjukkan bahwa seorang mukmin
membahagiakannya apa yang membahagiakan saudaranya seiman, dan ia ingin untuk
saudaranya tersebut kebaikan yang ia inginkan untuk dirinya. Ini semuanya
timbul dari sempurnanya bersihnya hati dari dengki, jahat, dan hasad. Karena
hasad melazimkan orang yang hasad benci seorangpun mengunggulinya atau
menyamainya dalam perkara kebaikan, karena ia maunya menjadi spesial di hadapan
manusia dengan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya dan ia ingin menjadi
sendirian yang istimewa diantara mereka. Dan keimanan melazimkan lawan dari
yang demikian ini, yaitu dia ingin kaum mukminin seluruhnya ikut merasakan
kebaikan yang Allah anugrahkan kepadanya tanpa mengurangi kebaikan tersebut
darinya."
Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhu berkata :
إِنِّي لَأَمُرُّ
بِالآيَةِ فَأَعْلَمُ مِنْهَا مَا أَعْلَمُ فَأَتَمَنَّى أَنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ
يَعْلَمُ مِنْهَا مَا عَلِمْتُ
Sesungguhnya aku
membaca sebuah ayat lalu mengetahui ilmu dari ayat tersebut maka akupun
berangan-angan agar semua muslim mengetahui ilmu tentang ayat tersebut"
Al-Imam Asy-Syafi'i
berkata :
وَدِدْتُ أَنَّ
النَّاسَ تَعَلَّمُوا هَذَا الْعِلْمَ وَلَمْ يُنْسَبْ إِلَيَّ مِنْهُ شَيْئٌ
"Aku ingin
orang-orang mempelajari ilmu (ku) ini lalu tidak dinisbahkan kepadaku
sedikitpun dari ilmu tersebut"
Dan Abu Bakar
radhiyallahu 'anhu menginfakkan seluruh hartanya demi kemaslahatan kaum
muslimin, dan Umar radhiyallahu 'anhu menginfakkan setengah hartanya.
Dan diantara dampak
dari hati yang bersih adalah sikap memaafkan, mengalah, sabar, dan lemah lembut
terhadap kaum muslimin. Dan Nabi shallallahu 'alihi wasallam telah memuji Abu
Dhomdhom karena hal tersebut. Jika beliau di pagi hari beliau berkata :
اللَّهُمَّ لاَ
مَالَ لِي لِأَتَصَدَّقَ بِهِ عَلَى النَّاسِ، وَقَدْ تَصَدَّقْتُ عَلَيْهِمْ
بِشَتْمِ عِرْضِي، فَمَنْ شَتَمَنِي أَوْ قَذَفَنِي فَهُوَ حِلٌّ
"Ya Allah
sesungguhnya aku tidak memiliki harta untuk bersedekah dengannya kepada
orang-orang, dan aku telah bersedekah kepada mereka dengan cacian terhadap
harga diriku, maka barangsiapa yang mencaci maki aku atau menuduhku (dengan
tuduhan tidak benar) maka ia telah aku halalkan". Maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ يَسْتَطِيْعُ
مِنْكُمْ أَنْ يَكُوْنَ كَأَبِي ضَمْضَمَ؟
"Siapa diantara
kalian yang mampu seperti Abu Dhomdhom?" (HR Al-Hakim, Ibnu Abdilbar, dan
Al-Bazzar, dan hadits ini hasan"
Dan lawan dari hati
yang bersih adalah hati yang sakit dengan berbagai macam penyakit yang dibenci
dan tercela. Diantara penyakit hati yang
paling parah adalah pelit. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah
memperingatkan umatnya dari penyakit ini, beliau berkata :
اتَّقُوا الظُّلْمَ؛
فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ؛ فَإِنَّ
الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، وَحَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا
دِمَاءَهُمْ، وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
"Waspadalah
kalian dari perbuatan menzolimi karena kezoliman adalah kegelapan yang
bertumpuk-tumpuk pada hari qiamat, dan jauhilah kalian dari pelit, karena sikap
pelit telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, sikap pelit ini
mengantarkan mereka untuk menumpahkan darah mereka dan menghalalkan
perkara-perkara yang haram' (HR Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu
'anhu)
Jika seorang yang
berakal mengamati fitnah yang meluas dan yang khusus di dunia ini, maka ia akan
mendapat bahwasanya diantara sebab utamanya adalah sikap pelit dan tamak
(rakus). Dari Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam beliau bersabda :
«يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ
وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ» قَالُوا: وَمَا
الْهَرْجُ؟ قَالَ: «الْقَتْلُ الْقَتْلُ»
"Zaman semakin
mendekat, dan amal semakin sedikit, dan muncullah fitnah-fitnah, dan
dilemparkanlah sifat Asy-Syuh (pelit disertai semangat mengejar dunia) di hati
dan banyaklah al-Harju". Mereka bertanya, "Apakah itu
al-Harju?", Nabi berkata, "Pembunuhan, pembunuhan" (HR
Al-Bukhari)
Maka sikap Asy-Syuh
(pelit kelas kakap) adalah semangat untuk mengejar dunia, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berakta,
مَا الفَقْرَ أخْشَى
عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّى أخْشَى عَلَيْكُمْ أنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ
كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا،
وَتُهْلِكَكُم كَمَا أهْلَكَتْهُمْ
"Bukanlah
kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian, akan tetapi dibentangkannya
dunia pada kalian lalu kalian berlomba untuk memperebutkannya sebagaimana
orang-orang sebelum kalian berlomba memperebutkannya, maka dunia tersebut
membinasakan kalian sebagaimana dunia telah membinasakan mereka'
Dan jika engkau telah
mengetahui makna dari "pelit" maka engkau berusaha untuk
menghindarinya. Dan engkau telah mengetahui bahwa fitnahnya penyakit ini yang
telah menjadikan hati menjadi mati adalah sikap Asy-Syuh (pelit) yaitu tamak
(rakus) dan semangat untuk meraih apa yang ada di tangan orang lain, dan
berusaha dengan berbagai macam cara ditempuh untuk memilikinya di tanganmu,
demikian hak-hak orang lain yang wajib yang ada ditanganmu kau tahan dan tidak
kau tunaikan kepada mereka. Dan ini merupakan sifat yang paling buruk, maka
Asy-Syuh lebih parah daripada hanya sekedar "kikir/pelit", dan
Asy-Syuh merupakan sebab terputusnya silaturahmi, melanggar hak-hak orang lain,
dan menumpahkan darah orang lain, dan menahan hak-hak orang lain yang wajib
untuk ditunaikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Nabi shallallahu
'alaihi wasallam
"Waspadalah
kalian dari penyakit Asy-Syuh, karena ia telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian. Asy-Syuh telah memerintahkan mereka untuk berbuat dzolim maka merekapun
menzolimi, memerintahkan mereka untuk berbuat fajir (maksiat) maka merekapun
berbuat fajir, memerintahkan mereka untuk memutuskan silaturahmi maka merekapun
memutuskan silaturahmi" (HR Ahmad dan Abu Dawud dari hadits Abdullah bin
'Amr).
Allah berfirman
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ وَٱسۡمَعُواْ وَأَطِيعُواْ وَأَنفِقُواْ خَيۡرٗا
لِّأَنفُسِكُمۡۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
١٦
Maka bertakwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah
nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS At-Tagobun : 16)
Semoga Allah
memberkahi aku dan kalian dalam Al-Qur'an.
Khutbah Kedua
Segala puji bagi
Allah yang maha perkasa, maha pengampun, yang mengetahui apa yang ada di dada
manusia. Aku memuji Robku dan aku bersyukur kepadaNya serta aku bertaubat
kepadaNya dan memohon ampunanNya. Dan aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan
yang berhak disembah melainkan Allah Yang Maha Penyantun dan Maha membalas
kebaikan. Dan aku bersaksi bahwasanya Nabi kita dan pemimpin kita Muhammad
adalah hamba dan utusanNya, Allah mengutusnya dengan petunjuk dan cahaya. Ya
Allah curahkanlah shalawat dan salam serta keberkahan kepada hambaMu dan
rasulMu Muhammad, juga kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta
orang-orang yang meneladani mereka dengan baik hingga hari kebangkitan.
Selanjutnya,
bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, berpeganglah tali Islam
dengan kuat. Hamba-hamba Allah sekalin, ketahuilah bahwasanya sehatnya hati dan
bersihnya hati adalah dengan kesabaran dan keyakinan. Yaitu sabar untuk
meninggalkan perkara-perkara yang haram, sabar dalam menunaikan
kewajiban-kewajiban, dan memperbanyak menjalankan perkara-perkara yang
mustahab, dan juga bersabar dalam menghadapi bencana-bencana dan
perkara-perkara yang sudah ditakdirkan.
Dan keyakinan akan
memperkuat hati dan menolak syubhat-syubhat serta berbegai bentuk kemunafikan
dan syahwat. Barangsiapa yang hatinya telah dikuasai oleh syubhat atau syahwat hingga mati maka ia telah celaka
dengan kecelakaan yang sangat besar. Allah berfirman
وَمَن يُرِدِ
ٱللَّهُ فِتۡنَتَهُۥ فَلَن تَمۡلِكَ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِ شَيًۡٔاۚ أُوْلَٰٓئِكَ
ٱلَّذِينَ لَمۡ يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمۡۚ لَهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا
خِزۡيٞۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٞ ٤١
Barangsiapa yang
Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak
sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang
Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan
di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (QS Al-Maidah : 41)
Mengerjakan apa saja
yang diperintahkan oleh Allah adalah membersihkan dan mensucikan hati. Dan
seluruh apa yang dilarang oleh Allah adalah dalam rangka untuk menjaga hati
dari penyakit-penyakit.
Maka wahai seorang
muslim, carilah kebersihan hatimu dan sehatnya hatimu dengan menjalankan
perintah-perintah Allah dan meninggalkan penyakit-penyakit hati yang tercela
dan mematikan hati atau membuatnya sakit. Kalau hal ini tidak mampu untuk
dikerjakan oleh seorang hamba maka tentu Allah tidak akan membebaninya dengan
hal ini, dan Allah tidak akan membebani suatu jiwapun kecuali dengan apa yang
mampu untuk ia lakukan. Dalam hadits Nabi bersabda :
لاَ تَحَاسَدُوا
وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا
"Janganlah
kalian saling hasad, dan jangan saling memboikot, dan jangan saling
bermusuhan" (HR Muslim dari Abu Huroiroh)
Hamba-hamba Allah,
sesungguhnya Allah dan para malaikat bersolawat kepada Nabi.
Diterjemahkan oleh
Firanda Andirja dan Usman Hatim
Khotbah Jum’at dari Masjid Nabawi, 15 Rajab 1437 H
Oleh : Syekh Abdul
Bari Bin Awadh Al-Tsubaiti
Khotbah Pertama
Segala puji bagi
Allah. Semoga shalawat dan salam tenantiasa tercurah kepada Rasulullah
–shallallahu alaihi wa sallam- beserta segenap keluarganya, sahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti jejaknya.
Selanjutnya.
Cinta kepada Allah
merupakan konsekuensi keimanan. Tidak akan sempurna tauhid (peng-Esaan) kepada
Allah hingga seorang hamba mencintai Tuhannya secara sempurna. Kecintaa tidak
bisa didefinisikan dengan lebih jelas keculai dengan kata "kecintaan"
itu sendiri. Dan tidak bisa disifatkan dengan yang lebih jelas seperti kata
"kecintaan " itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang esensinya patut
dicintai dari segala sisi selain Allah,
yang memang tidak boleh ada penyembahan, peribadatan, ketundukan dan kepatuhan
serta kecintaan yang sempurna kecuali hanya kepada Nya –subhanahu wa ta’ala-.
Cinta kepada Allah,
bukanlah sembarang cinta; tidak ada suatu apapun yang lebih dicintai dalam hati
seseorang selain Sang Penciptanya, Kreatornya. Dialah Tuhannya, Sesembahannya,
Pelindungnya, Pengayomnya, Pengaturnya, Pemberi rezekinya, dan Pemberi hidup
dan matinya. Maka mencintai Allah –subhanahu wa ta’ala- merupakan kesejukan
hati, kehidupan jiwa, kebahagiaan sukma, hidangan batin, cahaya akal budi,
penyejuk pandangan dan pelipur perasaan.
Tiada suatu apapun
menurut hati yang bersih, sukma yang suci, pikiran yang jernih lebih indah,
lebih nyaman, lebih lezat, lebih menyenangkan dan lebih nikmat dari pada
kecintaan kepada Allah, perasaan tenteram damai di sisi-Nya dan kerinduan akan
perjumpaan dengan-Nya.
Yahya Bin Mu’adz
berkata :
عَفْوُهُ يَسْتَغْرِقُ الذُّنُوْبَ فَكَيْفَ رِضَوَانُهُ؟، وَرِضْوَانُهُ
يَسْتَغْرِقُ الآمَالَ فَكَيْفَ حُبُّهُ؟، وَحُبُّهُ يُدْهِشُ الْعُقُوْلَ
فَكَيْفَ وُدُّهُ؟، وَوُدُّهُ يُنْسِي مَا دُوْنَهُ فَكَيْفَ لُطْفُهُ؟
“Ampunan-Nya mencakup
(menggugurkan) seluruh dosa, lalu bagaimana lagi dengan ridho-Nya? Ridho-Nya begitu mendominasi seluruh
cita-cita dan harapan, lantas bagaimana dengan kecintaan-Nya? Kecintaan-Nya
begitu mengagumkan akal pikiran, lalu bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih
sayangnya begitu melupakan segala yang selainNya, lalu bagaimana dengan
kelembutan-Nya?
Maka, terukur dengan
sejauh mana cinta kasih seseorang kepada Allah, sejauh itu pula ia akan
merasakan lezat dan manisnya iman. Barangsiapa yang hatinya karam dalam
kecintaan kepada Allah, maka cukuplah hal itu menjadikannya tidak perlu dengan
kecintaan, kekhawatiran dan kepasrahan hati kepada selain Allah. Sebab tidak
ada yang dapat memuaskan hati, tidak bisa mengisi relung-relung cinta hatinya,
serta tidak bisa mengenyangkan rasa laparnya kecuali cinta kepada Allah
–subhanahu wa ta’ala-.
Andakan saja hati
seseorang mendapatkan segala apa yang melezatkan, tidaklah ia merasa damai dan
tenteram kecuali dengan kecintaannya kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-. Jika
seseorang kehilangan cinta kepada Allah dalam hatinya, maka kepedihan yang
dirasakannya jauh lebih parah dari pada kepedihan mata karena kehilangan cahaya
pengelihatan, atau kepedihan telinga karena kehilangan pendengaran, hidung
karena kehilangan penciuman dan mulut karena kehilangan kemampuan berbicara,
bahkan kerusakan hati akibat kekosongan dari rasa cinta kepada Allah sebagai
Penciptanya, Pencetus wujudnya dan Tuhan sesembahannya yang sejati, jauh lebih
berat dari pada kerusakan fisik karena terpisah dari nyawanya.
Esensi (hakikat)
cinta adalah bilamana Anda merelakan segala yang Anda miliki untuk seseorang
yang Anda cintai sehingga tidak menyisakan sedikitpun apa yang ada pada diri
Anda. Di sinilah, maka kecintaan seseorang kepada Allah hendaklah mengalahkan
mendominasi segala perkara yang dicintai, sehingga apapun yang dicintai oleh
seseorang tunduk kepada cinta yang satu ini yang menjadi penyebab kebahagiaan
dan kesuksesan bagi dirinya.
Kadar kecintaan dalam
hati orang yang mencintai Allah adalah bertingkat-tingkat. Itulah sebabnya,
Allah –subhanahu wa ta’ala- melukiskan betapa besarnya kecintaan orang-orang
mukmin kepada-Nya dalam firman-Nya :
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ [ البقرة / 165]
“Orang-orang yang
beriman sangat mendalam cintanya kepada Allah.”. Qs Al-Baqarah : 165
Kata “Asyaddu”
(sangat mendalam) menjadi bukti adanya tingkatan cinta dalam hati mereka.
Artinya, ada cinta yang lebih tinggi dan kemudian ada lagi yang lebih tinggi.
Cinta kepada Allah
berarti Anda mengutamakan segala sesuatu yang disenangi Allah di atas diri
Anda, jiwa Anda dan harta benda Anda, lalu ketaatan Anda kepada Allah dalam
kesendirian dan keramaian, kemudian kesadaran diri akan kelalaian Anda dalam
mencintai Allah. Seharusnya secara totalitas Anda mencintai Allah dengan
mencurahkan jiwa dan raga serta pengembaraan hati dalam upaya mencari Sang
Kekasih, dengan lisan yang selalu bergerak untuk menyebut nama-Nya.
Rasulullah
–shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
وَأَسْأَلُكَ
حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ
“Aku memohon
kepada-Mu agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan
mencintai amal yang mendekatkan diriku untuk mencinta-Mu.”
Suatu kecintaan yang
apabila telah melekat di hati seseorang dan memuncak, akan menjadi al-Walah (ketundukan/peribadatan),
dan al-Walah adalah kecintaan yang sangat dalam. Karenanya at-taalluh
(ketundukan dan peribadatan) kepada Allah adalah bentuk kecintaan yang dalam
kepada Allah dan kecintaan terhadap perkara yang datang dari sisi Allah.
Kebutuhan manusia
akan cintaan secara mendalam kepada Allah jauh lebih mendesak dari pada
bebutuhannya akan asupan zat gizi (makanan). Sebab jikalau kekurangan asupan
zat gizi itu dapat merusak tubuh seseorang, maka kekurangan cinta yang mendalam
(kepada Allah) dapat merusak jiwa spiritualnya.
Seorang mukmin ketika
mengenal Tuhannya, pastilah ia cinta kepada-Nya. Ketika itulah dirinya
memusatkan perhatian kepada-Nya. Jika ia telah dapat merasakan manisnya
konsentrasi kepada-Nya, maka ia tidak lagi melihat dunia dengan kaca mata
syahwat (kelezatan sesaat) dan tidak pula melihat akhirat dengan pandangan
pesimistis (kendur semangat).
Cinta kepada Allah
mendorong seseorang melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan, memacu
seorang hamba melaksanakan amal ibadah sunnah, dan mencegahnya berbuat hal-hal
yang makruh (tidak selayaknya dilakukan).
Cinta kepada Allah
memenuhi hati seseorang dengan kelezatan dan manisnya iman.
ذَاقَ حَلَاوَةَ
الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْناً وَمُحَمَّدٍ
رَسُولاً
“Akan dapat merasakan
manisnya iman, seorang yang ridha Allah sebagai Tuhan-nya, Islam sebagai
agamanya, dan Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- sebagai rasul.”
Cinta kepada Allah
dapat mengusir dari dalam hati segala bentuk kecintaan kepada apa saja yang
tidak disenangi Allah. Organ-organ tubuh dengan dorongan kecintaan kepada Allah
akan tergugah untuk beribadah kepada-Nya, dan jiwa menjadi tenteram karenanya.
Allah berfirman dalam hadis qudsi :
فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ،
وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا .
"Jika Aku telah
mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan mendengar,
penglihatannya yang dia gunakan melihat, tangannya yang dia gunakan memukul dan
kakinya yang digunakan berjalan.”
Seeorang yang sedang
mencintai, karena keasyikan dan kelezatan cintanya ia akan melupakan segala
derita cobaan, tidak terasa baginya kepedihan yang dirasakan orang lain. Cinta
kepada Allah merupakan kekuatan yang sangat kuat untuk mendorong seseorang
mampu bertahan untuk tidak melanggar dan mendurhakai Allah.
" إنَّ المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ "
“Orang yang mencintai
tunduk kepada sang kekasih yang dicintainya.”
Semakin kuat dorongan
cinta dalam hati seseorang, akan semakin kuat pula dorongan untuk melaksanakan
ketaatan serta menghindari kemaksiatan dan pelanggaran. Sebab kemaksiatan dan pelanggaran
hanya terjadi akibat lemahnya dorongan cinta dalam diri seseorang.
Cinta yang sejati,
membuat seseorang merasa dikawal oleh pengawas dari sang kekasih untuk
membimbing hatinya berikut organ-organ tubuhnya. Hanya sekedar cinta tidak akan
berdampak positif seperti ini selama tidak disertai sikap pengagungan dan
pemuliaan terhadap sang kekasih. Jika cinta itu disertai sikap pengagungan dan
rasa hormat, maka akan melahirkan rasa malu berikut ketaatan. Namun jika kosong
dari sikap pengagungan dan rasa hormat, maka cinta model itu hanya membuahkan
semacam kemesraan, kepuasan, keharuan dan kerinduan belaka. Itulah sebabnya,
mengapa pengaruh positif cinta tersebut tidak ada. Ketika yang bersangkutan
memeriksa hatinya, ternyata ia pun menemukan rasa cinta kepada Allah, tetapi
cinta yang tidak mendorong dirinya untuk meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya.
Sebabnya adalah,
kehampaan cinta tersebut dari sikap pengagungan dan rasa hormat. Padahal tidak
ada sesuatu yang mampu memakmurkan hati setara dengan cinta yang disertai sikap
pengagungan dan rasa hormat. Itulah anugerah Allah –subhanahu wa ta’ala- yang
paling besar dan paling utama bagi seorang hamba, dan itu pula karunia Allah
yang berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Cinta yang hampa dari
sikap ketundukan dan kerendahan hati, sesungguhnya hanyalah pengakuan cinta
yang tidak bermutu. Sama seperti orang yang mengaku dirinya cinta kepada Allah,
tetapi tidak mau melaksanakan perintah-Nya dan tidak patuh kepada sunnah
Nabi-Nya Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-; tidak meneladaninya dalam
ucapan, perbuatan dan amal ibadah.
Tidak disebut cinta
kepada Allah dan tidak pantas mengaku cinta kepada-Nya orang yang tidak
meneladani Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karena itu, Allah
menceritakan tentang ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam firman-Nya :
وَقَالَتِ
ٱلۡيَهُودُ وَٱلنَّصَٰرَىٰ نَحۡنُ أَبۡنَٰٓؤُاْ ٱللَّهِ وَأَحِبَّٰٓؤُهُۥۚ [
المائدة / 18]
“Orang-orang Yahudi
dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya". Qs Al-Maidah : 18
Pengakuan semata
tanpa bukti nyata, semua orang pun bisa berbuat seperti itu. Di sinilah Allah
memadamkan seluruh pengakuan dan menyingkap kedok kepalsuannya dalam firmanNya
:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ [ آل عمران/31]
"Katakanlah jika
kalian benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian
dan memaafkan dosa-dosa kalian, dan Allah maha pengampun lagi penyayang."
Qs Ali-Imron : 31
Diantara indikasi
cinta kepada Allah adalah mencintai orang-orang yang taat kepada Allah, loyal
kepada wali-wali Allah, dan memusuhi orang-orang yang membangkang kepada-Nya,
berjihad melawan musuh-musuh-Nya dan menolong para penolong-Nya. Semakin kuat
kecintaan hamba kepada Allah maka semakin kuat pula praktik amal-amalnya.
Di sini penting bagi
kita untuk mengenal sebab-sebab yang mendatangkan kecintaan kepada Allah.
Diantaranya :
Mengenal nikmat dan
karunia Allah kepada para hambaNya yang tidak terhitung dan tidak terhingga.
وَإِنْ تَعُدُّوا
نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا [ النحل / 18]
"Dan jika kalian
menghitung nikmat-nikmat Allah maka kalian tidak akan mampu menghitungnya"
(QS An-Nahl : 18)
وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ [ القصص / 77]
"Dan berbuatlah
baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." Qs Al-Qosos : 77
Diantara sebab yang
mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah mengenal Allah –subhanahu wa ta’ala-
melalui nama-namaNya yang terindah dan sifat-sifatNya serta
perbuatan-perbuatanNya. Siapa yang
mengenal Allah maka ia akan mencintai Allah, siapa yang mencintai Allah maka ia
akan taat kepadaNya, siapa yang taat kepada Allah maka Allah akan
memuliakannya, dan siapa yang dimuliakan Allah maka Allah akan menempatkannya
di sisiNya, dan siapa yang ditempatkan oleh Allah di sisi-Nya maka sungguh
mujur nasibnya.
Di antara penyebab
utama cinta kepada Allah adalah merenungkan tentang kerajaan-Nya di langit dan
di bumi. Semua yang Allah ciptakan merupakan tanda-tanda yang melambangkan
keagungan-Nya, kemaha-kuasaan-Nya, kemuliaan-Nya, kesempurnaan-Nya,
keperkasaan-Nya, kelembutan dan kasih sayang-Nya, dan nama-nama Allah yang
demikian indah serta sifat-sifatNya yang luhur lainnya. Maka semakin kuat
makrifat (pengenalan) hamba tentang Allah, maka semakin kuat pula rasa cintanya
kepada Allah dan kecintaannya untuk mentaati-Nya.
Di antara sebab yang
mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah bersikap tulus dan ikhlas dalam
bermu’amalah dengan Allah, serta tidak menuruti kemauan hawa nafsu. Hal ini
merupakan penyebab turunnya karunia Allah kepada hambaNya sehingga anugerah
cinta kepada-Nya dapat diraih.
Diantara sebab
terbesar untuk mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah memperbanyak dzikir (
mengingat) Allah.
" فَمَنْ أحَبَّ شيْئًا أكْثَرَ مِنْ ذِكْرِهِ "
“Siapa yang cinta
kepada sesuatu, maka ia akan sering menyebutnya. Allah berfirman :
أَلَا بِذِكْرِ
اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ [ الرعد / 28]
"Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." Qs Ar-Ra'du : 28
=======
Khotbah Kedua:
Saudara-saudaraku
seiman!
Di sini ada empat
bentuk kecintaan yang harus dibedakan satu dengan yang lainnya.
Pertama : Kecintaan
kepada Allah. Kecintaan ini semata tidak cukup untuk menyelamatkan seseorang
dari azab Allah dan meraih ganjaran dari pada-Nya. Karena kaum musyrikin, para
penyembah salib, kaum yahudi, dan yang lainnya juga mencintai Allah.
Kedua : Mencintai apa
yang dicintai oleh Allah, dan kecintaan inilah yang memasukan seseorang ke
dalam Islam dan mengeluarkannya dari kekufuran. Sedangkan orang yang paling
dicintai oleh Allah adalah yang paling mampu mengaplikasikan kecintaan ini dan
yang paling konsisten menjalankannya.
Ketiga : Cinta di
jalan Allah dan karena Allah. Maka inilah konsekuensi dari mencintai apa yang
dicintai oleh Allah, yang mana tidak akan lurus kecintaan apa yang dicintai
oleh Allah kecuali melalui cinta di jalan-Nya dan karenaNya.
Keempat : Mencintai
selain Allah di samping cinta kepada Allah. Inilah cinta kesyirikan. Maka semua
yang mencintai sesuatu yang lain bersamaan dengan kecintaan kepada Allah, bukan
karena Allah, dan bukan juga di jalan Allah, maka ia telah menjadikannya
sebagai partner atau tandingan bagi Allah. Inilah bentuk kecintaan kaum
musyrikin.
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ [البقرة/165]
"Dan diantara
manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman,
maka amat sangat mendalam cintanya kepada Allah." Qs Al-Baqoroh : 165
====== Doa ======
Penerjemah : Usman
Hatim & Firanda Andirja