Kisah Hidup Seorang Muslim
Di BawahPenjajahan Penguasa Kristen Spanyol
Sebuah nostalgia.
Andalusia, suatu daerah di Spanyol pernah cemerlang gemerlapan disinari oleh
nur Islam. Pada saat itu benar-benar tumbuh nilai-nilai budaya dan peradaban
dunia insani. Andalusia menjadi pusat sumber segala sumber ilmu pengetahuan.
Filosof dan ilmuwan silih berganti bermunculan mewarnai kesegaran nafas Islami.
Ilmu, budaya, dan iman tumbuh dalam simbiosa mutualistis (saling menghidupi dan
saling mengisi). Semua itu tumbuh segar dari keaslian akar Islam yang menyinari
Andalusia yang tercinta ini.
Akan
tetapi apa lacur? Entah bagaimana ceritanya, umat Islam berangsur-angsur
meninggalkan prinsip-prinsip yang digariskan oleh ketentuan Islam, dan mulai
pudarlah sinar Islam sampai titik kulminasi yang paling kritis. Hari demi hari
umat Islam mulai meninggalkan Andalusia dan tertinggal menjadi bulan-bulanan
kebiadaban kaum kristiani yang ada di Spanyol.
Situasi
kehidupan umat Islam yang tertinggal makin hari makin tragis, dikoyak-koyak
oleh kekejaman kaum kristiani. Penguasa Kristen di Spanyol muncul dalalm
kekejaman dan kebengisan sepeti kesetanan. Setiap muslim mulai orok sampai tua
bangka dikejar, diteror, disiksa, dan dibunuh dengan semena-mena tiada taranya.
Diantara umat Islam yang dikepung oleh kebengisan penguasa Kristen itu adalah
satu rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu dan anaknya laki-laki yang masih
kecil. Si anak itu, yang sekarang sudah menjadi ulama besar, sempat
mengungkapkan tragedi yang dialami oleh keluarga sebagai berikut :
Saat itu
aku masih kecil, dan masuk sekolah Kristen. Tanpa kusadari, apa yang kuperoleh
dari sekolah kuceritakan kepada ayahku. Banyak ayat dari kitab Injil aku hafal.
Dengan bangga hal itu pun aku laporkan kepada ayah. Setelah mendengar ini,
tiba-tiba kulihat wajah ayahku menjadi pucat dan sekujur badannya gemetar.
Secepatnya ia meninggalkan aku menuju sebuah kamar pribadinya yang terletak
paling ujung. Ayah melarang keras siapa saja memasuki kamar pribadinya itu.
Mendekati saja tidak boleh. Termasuk ibu dan aku sendiri. Jadi aku sendiri
tidak tahu apa yang diperbuat ayah dikamarnya itu. Agak lama ia membenamkan
dirinya di dalam kamar. Beberapa jam kemudian setelah keluar dari kamarnya,
kulihat kedua matanya merah seperti menangis sedu. Terhadap pertanyaankau, ia
selalu mengelak. Sejak saat itu, ia suka memandang aku agak lama dengan wajah
sayu yang penuh duka, sambil menggerakkan bibirnya seperti membaca sesuatu
dengan suara halus. Kalau aku mendekati untuk mendengar apa yang ia baca,
secepatnya ia berpaling dan pergi tanpa mengucap sedikit pun. Aku membaca sesuatu
yang aneh di raut wajah ayahku.
Setiap
pagi saat aku hendak berangkat ke sekolah, ibuku seperti berat melepaskan aku.
Wajahnya begitu murung, dan sambil mencucurkan air mata dipeluknya aku dan
dicium berkali-kali.
Baru saja
aku dilepas dan kakiku melangkah kecil, ditariknya kembali dan dihujani
peluk-cium lagi, sampai cucuran air matanya yang hangat membasahi mukaku. Aneh
bin ajaib. Aku heran tak habis-habisnya, dan tidak faham latar belakang semua
itu. Kalau aku pulang dr sekolah, ibuku menyambutku dengan penuh mesra dan
kerinduan, seolah-olah puluan tahun berpisah dengan anaknya. Setiap otakku
dipenuhi oleh teka-teki yang sukar dijawab.
Ditengah-tengah
kelesuan keluarga, sejak itu sering kali kulihat kedua orang tua suka duduk
berduaan seperti menghindari aku. Mereka suka berbicara perlahan dan berbisik,
tapi bukan dengan bahasa spanyol. Aku menjadi bingung dan resah. Bahasa mereka
tak kukenal. Setiap kali aku mendekati, mereka alihkan pembicaraannya dengan
bahasa Spanyol. Dalam hatiku timbul prasangka dan dugaan, jangan-jangan aku ini
hanya anak angkat dan bukan anak mereka sendiri. Hatiku kesal, wajahku murung
tak pernah cerah. Aku suka menyendiri di suatu pojok, dan sering pula mengangis
sendirian memikirkan semua teka-teki yang menyelimuti keluargaku ini. Semua itu
menimbulkan stigma (vlek) dalam hatiku. Mungkin itu disebut ‘stress’ ataukah
neurosa? Entahlah yang jelas, sejak itu terasa ada kelainan dalam diriku, yang
berbeda dari anak-anak sebaya denganku. Aku lebih suka menyendiri, tidak ikut main-main
dengan anak lainnya. Aku suka duduk merenung sambil menutup wajahku dengan
kedua tangan. Aku ingin rasanya segera bisa menjawab teka-teki yang menyelimuti
keluargaku. Pernah kualami, tiba-tiba saja pak guru menegur dan menggiring aku
ke gereja. Aku jadi bengong.
Pada suatu
hari ibuku melahrkan seorang bayi. Aku lari-lari memberitakan kepada ayah.
Ayahku tidak tampak gembira, walau yang lahir itu seorang bayi laki-laki.
Bahkan wajahnya terlihat sedih. Ketika ia melangkah hendak mengabari rahib
tentang kelahiran anaknya itu. Ia kembali membawa rahib ke rumah dengan wajah
merunduk ke bawah. Wajahnya diliputi putus asa penyesalan.
Kian hari
kulihat wajahnya makin muram dan sorot matanya makin redup melayu. Hatiku makin
tersayat pilu memikirkan penderitaan ayah ini. Aku tidak tahu apa yang mesti
kukerjakan. Begitu berjalan berhari-hari.
Datanglah
malam hari paskah. Kota Granada tenggelam dalam kegemerlapan cahaya lampu yang
beraneka warna, seperti Jannah dengan bau minyak wangi kasturinya. Gedung
Alhambra gemerlapan memancarkan cahaya lampu warna-warni. Tiang-tiang salib
terpancang megah di setiap halaman. Menara-menara nampak gemerlang mempesona
oleh kedap-kedipnya lampu, dan terlihat gagah menjulang tinggi mencakar langit.
Di tengah
pesta malam yang gemerlapan itu, ayah membangunkanku. Seisi rumah sedang
tenggelam tidur nyenyak. Ayah menggiring aku ke kamar pribadinya yang ’suci’
itu. Hatiku berdebar-debar bercampur heran. Tapi aku bisa menahan menutupi
perasaan getir itu. Setelah kita berdua masuk, ayah mengunci pintu rapat-rapat.
Suasananya sangat gelap tanpa lampu, dan aku tertegun dalam kegelap-gulitaan.
Kemudian ayah menyalakan lampu kecil dan kulihat sekeliling kamar itu kosong
melompong. Tak ada satu pun benda yang menarik untuk dilihat, kecuali selembar
permadani yang terhampar, deretan buku di atas rak dan sebuah pedang bergantung
di dinding. Ayah menyuruh aku dengan isyarat supaya aku duduk di permadani. Ia
terpaku diam memusatkan pandangannya yang tajam kepadaku. Ketajaman
pandangannya menyebabkan suasana kamar yang sunyi itu bertambah angker. Bulu
romaku berdiri dan angan-anganku itu terbang merana menembus kesunyian kamar
itu tidak karuan kemana arahnya. Aku tidak bisa membayangkan lagi apa yang
kurasakan pada saat itu. Tiba-tiba ayahku dengan penuh kasih sayang memegang
tanganku. Sambil meremas-remas jari-jari tanganku, terlontar deratan kata-kata
dengan suara yang lembut mengesankan:
”Wahai
anakku, sekarang engkau sudah menginjak usia dewasa. Sudah 10 tahun lebih
umurmu. Engkau sudah mejadi seorang remaja. Sudah saatnya aku mengungkap segala
tabir rahasia yang kusimpan selama ini terhadapmu. hanya satu pintaku,
sanggupkah engkau merahasiakan rapat-rapat pesanku ini. Engkau tidak boleh
membocorkan pesanku ini, berarti engkau ekan melemparkan tubuh ayahmu ke tangan
algojo-algojo yang berada di inkuisisi.”
Mendengar
sebutan ’Inkuisisi’ itu, bulu romaku berdiri dan sekujur badanku gemetar
ketakutan. Aku tahu benar praktek Inkuisisi itu, walau aku masih kecil. Setiap
hari aku berangkat ke sekolah, kulihat dengan mata kepalaku sendiri sosok
manusia yang bergantung di jalan-jalan raya, disalib, dibakar hidup-hidup. Kaum
wanita di gantung rambutnya, di sayat kulitnya sampai berceceran semua isi
perut, menyebarkan bau busuk menyengat di sekitar tempat gantungan. Aku terdiam
dan tidak kuasa menahan rasa ngeri yang terbayang dalam benakku.
“Mengapa
engkau diam tidak menjawab? Bisakah engkau menyimpan rahasia yang hendak aku
sampaikan kepadamu?” desak ayah.
Aku
menjawab setengah gemetar, ”bisa ayah.”
”Rahasiakan
walau terhadap ibumu sendiri dan terhadap sahabatmu yang dekat sekalipun,”
tandasnya dengan penuh kesungguhan.
”Baik
ayah, aku sanggup,” jawabku meyakinkan.
Ayah
terlihat bingar, dan sambil menarik tanganku ia berkata, ”baiklah, dekatkanlah
dirimu kemari. Kau pasang telingamu lebar-lebar. Aku tidak berani bicara keras,
karena dinding-dinding ini punya telinga dan bisa melaporkan aku ke Inkuisisi,”
ayah menandaskan itu sambil menunjuk ke empat penjuru dinding.
Kemudian
ia berdiri mengambil sebuah kitab dan disodorkan ke muka mataku. ”Tahukah
engkau kitab ini, wahai anakku?” tanyannya.
”Tidak
ayah,” jawabku.
”Ini
adalah kitabullah,” ia menandaskan. “Kitabullah? maksud ayah kitab suci yang
diajarkan Isa anak Tuhan?” selaku dengan terheran-heran.
”Bukan,”
jawab ayah dengan gemetar, ”ini adalah Al-Quran yang diturunkan Allah Yang Maha
Esa, Maha Perkasa dan Maha Kuat. Tiada Bandingannya, Tiada Beranak dan Tiada
pula Diperanakan, Tidak ada sesuatupun setara dengan Dia. Kitab ini diturunkan
kepada makhluknya termulia dan terunggul. Nabinya yaitu Muhammad bin Abdillah.”
Kubuka
lebar-lebar mataku keheranan karena aku belum faham benar apa yang dimaksud
ayahku itu.
”Ini
kitabnya Islam,” jelasnya, ”yaitu agama yang haq yang dibawa oleh utusan Allah,
Muhammad Rasulullah kepada seluruh umat manusia. Beliau dilahirkan nun jauh di
sana, melintas lautan dan beberapa negara. Di padang pasir yang jauh, yang
disebut kota Mekkah, di tengah umat yang tadinya terbelakang dan bodoh, yang
kemudian mendapat hidayah dari Allah menjadi umat tauhid, dikaruniai Allah
persatuan yang kokoh, ilmu pengetahuan yang cemerlang, peradaban yang tinggi,
mereka berhasil keluar membuka pintu negara-negara di Timur dan Barat. Dan
sampailah mereka ke negeri ini, negeri Spanyol yang rajanya dhalim, pemerintahannya
kejam sedang rakyatnya teraniaya dan miskin, dalam kebodohan dan kemunduran.
Akhirnya raja yang dhalim itu terbunuh dan runtuhlah pemerintahan yang kejam
itu. Setelah Islam berkuasa di Spanyol, menyebarluaslah keadilan sosial,
derajat, dan martabat rakyatnya terangkat. Negara pun menjadi kuat. Islam
menetap disini 800 tahun lamanya. Selama itu negeri ini menjadi negeri yang
paling unggul dan paling megah di dunia, dan kami ini wahai anakku adalah kaum
muslimin yang tersisa dan bersembunyi disini.”
Mendengar
uraian ayahku yang bersemangat itu, aku ternganga takjub bercampur takut dan
juga benci. Aku mencoba hencak berteriak, ”apa ayah, kitab kaum muslimin?”
Ayah
segera menutup mulutku sambil berseloroh, ”benar wahai anakku. Rahasia ini lah
yang kubungkus rapat bertahun-tahun, untuk kubuka kepadamu apabila engkau sudah
menginjak dewasa. Sesungguhnya kitalah pemilik negeri ini. Kitalah yang
membangun semua gedung dan bangunan yang kini beralih menjadi milik lawan kita.
Kitalah yang mendirikan menara-menata untuk mengumandangkan adzan, dan kini
telah diganti dengan suara lonceng gereja. Masjid-masjid yang kita bangun
sebagai tempat ibadah sholat yang dipimpin oleh para imam yang membacakan kalam
ilahi sekarang diubah menjadi gereja yang dipimpin oleh para yang membaca
Injil. Wahai anakku, kita kaum muslimin telah meletakkan pada setiap sudut
negeri Spanyol ini kenangan indah yang mengesankan. Setiap jengkal tanahnya
pernah dilalui para mujahidin dan syuhada kita. Kitalah yang membangun semua
kota, semua jembatan, dan kita pula yang membuka jalan-jalan raya dan semua
sarana jalan di negeri ini. Kita pula yang membenahi semua irigasi pertanian,
menanam dan mengatur segala tanaman dan taman-tamannya. Dengarkan baik-baik
anakku. Sejak 40 tahun lalu raja kita Abu Abdillah yang kasihan itu telah
tertipu racun janji muluk dari Raja Spanyol. Raja Abu Abdillah sebagai raja
terakhir kaum muslimin di negeri ini tertipu menyerahkan kunci kota Granada
dengan perjanjian, bahwa raja yang sekarang ini akan memberi kebebasan kepada
umat Islam melakukan ibadahnya, serta menjaga segala pusaka dan kuburan nenek
moyang mereka. Raja Abu Abdillah mengasingkan diri ke Maroko dan wafat di sana.
Mereka ini telah menjanjikan kita kemerdekaan beragama, keadilan, dan
kebebasan. Akan tetapi setelah mereka berkasa, mereka injak-injak semua
perjanjian bersama itu. Mereka mendirikan Inkuisisi untuk memaksa kita memeluk
agama Kristen, melarang penggunaan bahasa kita, dan mengkristenkan semua anak
keturunan kita dengan paksa.”
“Itulah
sebabnya kita melakukan ibadah dengan sembunyi, membuat kita sedih karena
penghinaan mereka terhadap agama kita dan memurtadkan anak cucu kita. Empat
puluh tahun lamanya kita tersayat-sayat siksaan yang berat, sambil menantikan
hari kebebasan dari Allah. Kita tidak berputus-asa, karena hal itu dilarang
oleh agama kita, sebagai agama yang didasari kekuatan, kesabaran dan perjuagan.
Rahasia inilah wahai anakku yang harus kau simpan. Ketahuilah, nasib ayahmu
terletak di mulutmu. Jangan engkau menyangka aku takut mati. Atau benci bertemu
Tuhanku. Tetapi aku ingin diberi kesempatan hidup sampai batas menyelesaikan
tugasku. Mendidik engkau tentang bahasa dan agamamu, demi menyelamatkan engkau
dari kekufuran. Sampai sekian dulu anakku, dan pergilah tidur.”
Sejak saat
itu, setiap aku melihat gedung Alhambra dan menara-menara kota Granada, mataku
terbelalak, tubuhku gemetar dan darahku mendidih. Lahir kerinduan dan
kesedihan, benci bercampur cinta. Benci, karena semua itu sudah dikuasai oleh
lawan agamaku. Cinta, karena semua itu dirintis, dibangun dan diukir oleh
pejuang-pejuang yang telah meninggalkan negeri ini. Semua itu
menggoncang-goncang nafsuku. Terkadang tanpa ku sadari aku sudah di hadapan
gedung Alhambra, sambil mencemooh dan bergumam, ”Wahai Alhambra, kini kasih
sayang ku telah sirna. Lupakah engkau kepada mereka yang membangun dan
memperindah engkau?? Begitu juga kepada kawan seperjuanganmu yang rela
memperjuangkan hidupnya, mengucurkan darah dan air matanya?? Masa bodokah
engkau terhadap masa jaya dan kecintaan mereka kepadamu?? Sudah lupakah engkau
terhadap manusia-manusia mulia yang berkeliaran di pelataranmu, suka bersandar
di tiang-tiang bangunanmu dan menyayangi engkau?? Engkau dijadikan lambang
kejayaan, kebanggaan, dan keindahan. Mereka adalah tokoh-tokoh terhormat, yang
tiap ucapannya didengar oleh dunia, dan tiap jasanya disambut hangat sepanjang
masa. Sudah jinakkah engkau kepada petualang-petualang jahanam itu?? Setelah
sirna gema suara adzan, sudah relakah engkau mendengar suara lonceng dan
dipeluk oleh para rahib yang menggantikan para imam??”
Setelah
aku puas mencaci maki, Alhambra yang terkutuk itu, sadarlah aku, jangan-jangan
gumamku itu terdengar mata-mata inkuisisi. Aku cepat-cepat pulang untuk
menghafal bahasa Arab yang diajarkan ayahku. Aku sudah diajar menulis bahasa
Arab. Dan ayahku menandaskan, bahwa tulisan ini adalah milik umat Islam.
Setelah itu diajarkan aku mengenal Islam, cara berwudhu dan aku mulai ikut
sholat di belakang ayah di kamarnya yang sunyi-senyap itu. Bagaimanapun rahasia
ituku simpan rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Ibu ku suka menguji aku,
”Diajari apa engkau oleh ayahmu?”
”Aku tidak
diajar apa-apa,” jawabku.
”Aku
mendengar engkau dididik sesuatu. Jangan engkau merahasiakan itu kepadaku,”
desak ibuku. ”Sungguh, ayah tidak mengajar apa-apa,” jawabku bohong. Pada
akhirnya ibuku mengetahui juga.
Setelah
aku menguasai bahasa Arab secukupnya, memahami al Quran dan dasar-dasar kaidah
Islam. Maka ayah memperkenalkan aku dengan salah seorang sahabatnya
seperjuangan. Kita bertiga sering mendirikan sholat bersama-sama dan mengkaji
al Quran. Sementara itu di luar dinding-dinding rumah tindakan algojo Inkuisisi
bertambah ganas terhadap sisa umat Islam di negeri itu. Hampir setiap hari kita
menyaksikan minimal tiga puluh orang banyaknya yang disalib, dibakar
hidup-hidup secara demonstratif di tempat-tempat terbuka. Jumlahya menanjak
sampai ratusan orang. Yang dianiaya dengan kejam, dicabut kukunya hidup-hidup
adapula yang dijejeli air lumpur sampi mati. Adapula yang dibakar kakinya,
perutnya jari-jari tangannya dipotong-potong, kemudian dibakar dan dimasukkan
ke mulut. Ada juga yang dicemeti sampai babak belur badannya, kemudian
dikompres dengan air asam garam. Kekejaman yang memuncak, dan peristiwa itu
berjalan sangat panjang pada suatu hari ayahku berpesan:
”Wahai
anakku, aku merasa bahwa ajalku sudah semakin dekat. Aku rela mati syahid di
tangan mereka, dan semoga Allah mengganjarku dengan jannah-Nya. Dengan demikian
aku meninggalkan dunia ini sebagai pemenang. Aku bersyukur, bahwa bebanku yang
berat melepaskan engkau dari kekufuran telah berhasil dengan baik. Tongkat
estafet itu sekarang telah berada di tanganmu. Kalau aku tertimpa musibah, maka
taatilah pamanmu ini. Jangan membantah sedikitpun, ikuti dia kemana saja.”
Beberapa
hari telah berlalau sejak ayah menyampaikan pesannya itu. Pada suatu malam,
paman kawan ayahku itu datang menjemputku untuk melarikan diri ke negeri
Maroko. Aku bertanya kepadanya, ”bagaiman ayah dan ibuku?”
Paman
bahkan menghardik keras, ”bukankah ayahmu sudah berpesan, supaya engkau
mentaati segala perintahku?”
Aku
bungkam dan tak berkutik dan mengikutinya. Sesampai ditempat yang aman, ia
menepuk pundakku dengan penuh kasih sayang dan berkata, ”tabahkan hatimu, wahai
anak sahabatku.. Kedua orang tuamu telah tercatat sebagai mukminin syuhada di
hadapan Allah, meskipun harus lewat pintu gerbang Inkuisisi.”
Beberapa
puluh tahun kemudian, anak seorang mujahid yang dilarikan ke Maroko itu tumbuh
dan dibesarkan di Maroko. Dia kemudian menjadi seorang ulama besar dan
pengarang tenar bernama ”SIDI
MUHAMMAD BIN ABDURRAFI` AL ANDALUSI”.
Disusun
oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net
Dikutip dari buku tulisan DR. Jalal ‘Alam, Syaikh Ali Thanthawy,
dan Syaikh Muhammad Namer Alkhatib. Dendam Barat & Yahudi Terhadap Islam.
Solo: Pustaka Mantiq
Penindasan Penguasa Kristen
Terhadap Umat Islam di Andalusia Pasca Jatuhnya Granada
Jatuhnya Granada ke
tangan Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella I dari Castilla pada
tanggal 2 Rabi’ul Awal tahun 897
H (2 Januari 1492 M) merupakan akhir dari kekuasaan Islam di wilayah Andalusia
di Iberia. Sejak hari itu pula, umat Islam yang masih tinggal di wilayah
Andalusia ditindas dan ditekan. (baca: Jatuhnya Granada & Awal Mula Penindasan Kristen
Terhadap Umat Islam di Andalusia)
Enam puluh
tujuh (67) pasal dalam Perjanjian Granada yang diantaranya meliputi jaminan
keselamatan jiwa, agama, dan harta benda, jaminan untuk kehormatan, pemikiran,
dan kebebasan, serta jaminan-jaminan lain yang intinya adalah jaminan untuk
menjalankan keyakinan dan agama Islam ternyata tak lama ditaati oleh kaum
Kristen. Atas pengaruh gereja, penguasa Andalusia segera mengingkari perjanjian
damai tak lama setelah menguasai negeri itu. Orang-orang Yahudi kemudian diusir
keluar dari Spanyol. Kaum Muslimin dipaksa masuk Kristen, atau terpaksa hijrah
keluar dari Spanyol. Mereka memberontak, tapi pada akhirnya dikalahkan. Banyak
dari orang-orang Islam ini akhirnya setuju untuk dibaptis.
Sekira 10
tahun setelah Perjanjian Granada, penguasa Kristen di Andalusia (Ferdinand dan
Isabella) mengeluarkan beberapa Dekrit yang menekan umat Islam. Diantara
beberapa dekrit itu antara lain:
Pada hari Selasa,
tanggal 20 Juli 1501 M (4 Muharram 907 H), Raja mengeluarkan Dekrit yang isinya
melarang umat Islam berada di wilayah kerajaan Granada. Perintah dua Raja
(Ferdinand II dan Isabella I) itu atas perintah tuhannya untuk mebersihkan
daerah itu dari orang-orang ‘kafir’. Dengan catatan bahwa mereka yang mau
merubah agamanya boleh menetap. Dan yang sudah Kristen dilarang melakukan
hubungan apapun lagi dengan Islam. Bagi mereka yang menentang peraturan ini
akan diganjar hukuman mati dan seluruh harta bendanya dirampas.
Pada hari Selasa,
tanggal 12 Februari 1502 M (13 Ramadhan 908 H), Raja mengeluarkan peraturan
bagi setiap muslim pria, minimal berusia 15 tahun dan wanita usia 12 tahun,
untuk meninggalkan Granada sebelum awal Mei tahun itu juga. Bagi yang ingin
keluar dari wilayah ini diizinkan bila dengan beaya sendiri. Asal tidak menuju
Afrika Utara karena saat itu Afrika Utara masih terlibat perang dengan Spanyol.
Barangsiapa yang menentang peraturan ini diganjar hukuman mati, penjara, atau
dijadikan budak belian dengan dirantai kakinya. Keluarnya peraturan ini
dimanfaatkan oleh kaum muslimin. Mereka, orang-orang yang pura-pura memeluk
Kristen, menjual hartanya lalu melarikan diri ke Afrika. Melihat gejala ini,
maka kemudian penguasa Kristen pun mengeluarkan peraturan baru, yaitu:
Pada tanggal 12
September 1502 M (19 Rabiul Awal 909 H), Raja mengeluarkan peraturan yang
isinya melarang kaum muslimin menjual harta bendanya sebelum dua tahun. Mereka
hanya diperbolehkan meninggalkan Castilla dan mengungsi ke Aragon atau Portugis.
Merasa
masih belum cukup dengan dekrit-dekrit yang dibuat, penguasa Kristen kemudian
mendirikan mahkamah-mahkamah di banyak tempat. Mahkamah-mahkamah ini memiliki
wewenang yang sangat kejam. Diantara kewenangannya, mahkamah berhak merampas
seluruh harta, menghancurkan kehormatan, dan menghina umat Islam. Dengan
sewenang-wenang, mahkamah-mahkamah itu menjatuhkan vonis dengan memasukkan
sejumlah kaum muslimin ke penjara bawah tanah yang di dalamnya dilangsungkan
penyiksaan yang sangat kejam.
Untuk
menegakkan aturan-aturan itu, dibentuklah semacam polisi khusus yang bertugas
mencari-cari orang-orang yang bukan Katholik. Diantara contoh-contoh tindakan
mereka antara lain:
Kardinal
Kamnis atau Don Alfonso Manrique menasranikan secara paksa puluhan ribu umat Islam
dan Yahudi. Setidaknya, lebih dari lima puluh ribu kaum muslimin berhasil
dipaksanya untuk menjadi Katolik dalam sektenya. Kardinal itu menangkapi kaum
muslimin (dan Yahudi) dan memasukkannya ke dalam mahkamah pengadilan yang
selalu siap dengan siksaan-siksaan.
Karir
keuskupan Alfonso Manrique dimulai saat ia menjadi Uskup Badajoz mulai
September 1499 sampai sebelum 1516. Kemudian ia diangkat menjadi Uskup Cordoba
mulai Agustus 1516-1523, dan selanjutnya menjadi Uskup Agung Sevilla (Agustus
1523). Pada tahun itu juga ia ditunjuk sebagai salah satu orang yang duduk
dalam Dewan Inkuisisi. Kematian Alfonso Manrique berakhir dengan cara yang
terhina. Ia meninggal pada tanggal 28 September 1538 di Sevilla akibat
terjatuh dari kuda.
Bagi
Alfonso, yang dimaksud orang-orang kafir adalah orang-orang yang tidak memeluk
Katolik yaitu: umat Islam, Yahudi, Kristen aliran Marthin Luther,
pemikir-pemikir bebas, dan lain-lain. Mereka inilah yag terus menerus
dikejar-kejar, disiksa, dan dibakar.
Setiap
muslim yang sudah menjadi Katolik tidak boleh lagi memuji agama Muhammad SAW.
Mereka tidak boleh menyebut Isa al Masih adalah utusan Allah. Tidak boleh
menyebut bahwa Isa bukan Tuhan. Mahkamah juga mewajibkan tiap pemeluk Katolik
itu untuk menyampaikan keberatan mereka terhadap semua adat istiadat Islam.
Mereka harus menegur orang-orang Islam yang telah memeluk Katolik secara paksa
itu untuk tidak lagi memakai tradisi Islam. Secara tegas, tidak boleh lagi
memakai pakaian terbaiknya pada hari Jumat. Dilarang menghadap ke Timur (ke
Ka’bah) untuk shalat. Diharamkan membaca atau mengucap
bismillahirrahmanirrahim. Begitu pula tidak boleh mengucapkan basmalah ketika
menyembelih ternak.
Orang-orang
yang menolak makan daging yang tidak disembelih, akan diintai. Mereka harus
makan mau makan daging sembelihan tangan wanita. Mengkhitankan anak juga
tergolong sebagai pelanggaran berat. Intinya, semua pola hidup Islami tak boleh
sedikitpun dipraktekkan lagi.
Akibatnya,
orang-orang Islam yang secara dzahir beragama Katolik itu berusaha semaksimalnya
untuk sangat berhati-hati dalam menjalankan ritual-ritual Islam mereka. Mereka
sangat hati-hati dalam berwudhu dan menunaikan shalat. Ketika datang bulan
Ramadhan, mereka juga tidak bisa menjalankan puasa kecuali beberapa hari saja
karena mereka takut ketahuan mahkamah dan para Polisi Khusus. Bahkan sekedar
melafalkan kalimat-kalimattayyibah saja mereka berusaha dengan
sangat untuk tidak mengatakannya kecuali di tempat yang sembunyi.
Anak-anak
kecil yang lelaki maupun perempuan diasramakan di sekolah-sekolah Katolik dan
gereja. Tujuannya agar anak-anak tersebut jauh dan asing dari keislaman dan
bahasa Arab.
Selanjutnya,
Paus mencabut perjanjian yang semula isinya tidak boleh mengganggu umat Islam
dan pada tanggal 12 Maret 1524 M, Paus mengeluarkan aturan yang isinya
menghimbau Dewan Inkuisisi untuk memaksa umat Islam memeluk Katolik secara
total. Bagi yang menolak akan dijadikan budak belian. Paus juga memerintahkan
agar semua masjid dijadikan gereja.
Singkat
kata, kaum muslimin di Andalusia saat itu benar-benar dipaksa hidup di bawah
penindasan dan ancaman. Identitas keislaman dan ke-Arab-an mereka dihapus
secara sistematis sampai benar-benar hilang tiada sisa. [mzf/md]
Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net
Sumber Referensi:
Muhammad Ali Quthub. 1993. Fakta Pembantaian
Muslimin di Andalusia. Solo: Pustaka Mantiq
Wikipedia.org
*Keterangan gambar: Salah satu bentuk penyiksaan
yang dilakukan oleh Dewan Inkuisisi di Spanyol
Kekejaman Dewan Inkuisisi
Gereja Spanyol
Ada tujuh belas
pengadilan Inkuisisi di Spanyol dan masing-masing membakar rata-rata 10 pelaku
bid’ah (dalam Katolik) setahun serta menyiksa dan memotong kaki atau tangan
ribuan orang lainnya yang hampir tidak bisa pulih dari luka-lukanya. Selama
masa Inkuisisi di Spanyol diperkirakan ada sekitar 32.000 orang, yang
kesalahannya tidak lebih dari tidak sepaham dengan doktrin Paus, atau yang
telah dituduh melakukan kejahatan takhayul, yang disiksa di luar imajinasi
kemudian dibakar hidup-hidup.
Sebagai
tambahan, jumlah orang yang dibakar atau dihukum untuk menebus dosa, yang
biasanya berarti pengasingan, penyitaan seluruh harta benda, hukuman fisik
sampai pencucuran darah dan perusakan total segala sesuatu dalam hidup mereka,
berjumlah total 339.000. Namun, tidak ada catatan tentang berapa banyak orang
yang mati di tahanan bawah tanah karena disiksa; karena dikurung di lubang yang
kotor, penuh penyakit, yang penuh tikus, dan kutu; karena tubuh yang hancur
atau hati yang hancur. Jumlah mereka diperkirakan jauh lebih banyak.
Lembaga
Dewan Inkuisisi mulai diperkenalkan di Spanyol pada tahun 1478. Ketika itu
Alonso de Hojeda, seorang pendeta Dominican, berhasil meyakinkan Ratu Isabella
bahwa di wilayah kekuasaannya ada sebagian conversos (orang-orang yang pindah agama) dari
kalangan Yahudi yang diam-diam tetap memelihara keyakinan dan tradisi Yahudi
mereka. Mereka ini belakangan dikenal sebagai crypto–jewsatau marranos.
Pada tahun
1479 karena desakan penguasa Gereja Katolik di Spanyol, Ferdinand II dari
Aragon, dan Isabella I dari Castile, Paus Sixtus IV membentuk Inkuisisi Spanyol
yang independen yang dipimpin oleh dewan tinggi dan pelaksana Inkuisisi Agung.
Dewan
inkuisisi kemudian dibentuk secara terbatas di Seville dan Cordova. Dan sebagai
hasilnya, enam orang pelaku bid’ah dibakar hidup-hidup di Seville pada awal
tahun 1981. Sejak itu, dewan-dewan inkuisisi semakin hidup dan berkembang di
wilayah-wilayah Castile, walaupun masih harus menunggu beberapa tahun sebelum
diterapkan juga di wilayah Aragon.
Pada 1487,
Paus Innocentius VIII menunjuk pendeta Dominikan Spanyol, Tomas de Torquemada,
sebagai pelaksana Inkuisisi Agung. Di bawah kekuasaannya, ribuan orang
Protestan, Yahudi, Muslim, penyihir yang dicurigai, dan orang-orang lainnya
terbunuh dan disiksa.
Nama
Torquemada menjadi sinonim dengan kekejaman, kefanatikan, sikap tidak toleran,
dan kebencian. Ia adalah orang yang paling ditakuti di Spanyol. Selama
pemerintahan terornya dari tahun 1487 sampai tahun 149l, ia secara pribadi
memerintahkan lebih dari 2.000 orang untuk dibakar di tiang. Ini berarti 181
orang setahun, sementara pengadilan Spanyol rata-rata hanya membakar 10 orang
setahun.
Dengan
dukungan penguasa Gereja Roma, pelaksana awal Inkuisisi Spanyol begitu sadis
dalam cara penyiksaan dan teror mereka sehingga Paus Sixtus IV merasa ngeri
mendengar laporan mereka, tetapi tidak mampu mengurangi kengerian yang telah
dilepaskan di Spanyol. Ketika Torquemada dijadikan pe1aksana Inkuisisi Agung,
akibatnya lebih parah dan ia melakukan Inkuisisi seolah-olah ia adalah dewa di
Spanyol. Apa pun yang bisa ia kelompokkan sebagai pe1anggaran rohani diberi
perhatian oleh pe1aksana Inkuisisi. Inkuisisi yang kejam di Spanyol belum
mengenal kekejaman yang sebenarnya sampai Torquemada menjadi pemimpinnya.
Pada 1492,
Dewan Inkuisisi digunakan untuk mengusir semua orang Yahudi dan Muslim dari
Spanyol atau untuk memaksakan kaum Muslim dan Yahudi untuk di-kristen-kan.
Dengan desakan Torquemada, Ferdinand dan Isabella mengusir lebih dari 160.000
orang Yahudi yang tidak mau menjadi Katolik.
Kaum
Muslimin dipaksa masuk Kristen (Katolik), atau terpaksa hijrah keluar dari
Spanyol. Mereka memberontak, tapi pada akhirnya dikalahkan. Banyak dari
orang-orang Islam ini akhirnya setuju untuk dibaptis. Hanya saja mereka tetap
mempertahankan tradisi Arab-Muslim mereka, dan sebagian lainnya tetap
menjalankan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang ini dikenal
sebagai Moriscos. Mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran utama Dewan
Inkuisisi Spanyol.
Kaum Moriscos terus
mendapat tekanan dan siksaan. Mereka kembali memberontak, namun pada akhirnya
tetap kalah. Pada tahun 1609 mereka dipaksa keluar secara masif dari Spanyol.
Jumlah mereka mencapai 300.000 orang. Sejak saat itu, sejarah Moriscos di Spanyol
boleh dikatakan sudah habis. Namun bagaimanapun, Inkuisisi masih terus berjalan
hingga abad 19, bahkan abad 20, dengan orang-orang Kristen sendiri sebagai
korbannya.
Dari
tujuan politis, Dewan Inkuisisi juga melakukan penyelidikan yang kejam di
antara penduduk baru dan orang-orang Indian di koloni Spanyol di Amerika.
Meskipun
akhirnya ada penurunan dalam kekejamannya, Inkuisisi masih tetap bekerja dalam
satu bentuk atau bentuk lainnya sampai awal abad ke-19 pada tahun 1834 di
Spanyol, dan 1821 di Portugal – yaitu saat kelompok ini diganti namanya, tetapi
tidak dihapuskan. Pada 1908, Dewan Inkuisisi direorganisir di bawah nama Congregation
if the Holy Office dan
didefinisikan ulang selama Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI sebagai Congregation
of the Doctrine if the Faith. Pada saat ini dikatakan, kelompok ini
memiliki tugas yang lebih positif, yaitu memajukan doktrin yang benar daripada
sekadar “menyensor” bid’ah.
Ketika
pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya,
Kolonel Lehmanowski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri
dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lehmanowski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya
ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan
Lehmanowski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah.
Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan
beberapa diantaranya gila.
Pasukan
Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa
muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang
penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakkan biara tersebut (Peter de Rosa, Vicars of
Christ: The Dark Side of the Papacy, hal. 239).
Henry
Charles Lea, seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Dewan Inkuisisi di
Spanyol dalam empat volume bukunya: A History of The Inquisition of Spain (New York: AMS Press Inc., 1988).
Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam
kasus Inkuisisi, seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam,
yang menyatakan: “The inquisition is an
institution for which the Church has no responsibility.” Ini adalah
salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen Katolik Roma.
Lea
menunjuk bukti sebagai contoh bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban
inkuisisi, otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap
menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah
bertentangan dengan semangat Kristus yang selama ini didengung-dengungkan
sebagai penebar kasih. Tapi, sikap gereja ketika itu justru menyatakan
sebaliknya, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia.
Proses interogasi dan
eksekusi hukuman pada inkuisisi sangat berbeda dengan proses pada pengadilan
modern. Penyiksaan pada Inkusisi memang diizinkan dengan tujuan mendapatkan
kebenaran dari si tertuduh.
Kekejaman
yang terjadi pada Dewan Inkuisisi Spanyol ini menurut Alwi Alatas jelas berbeda
dengan konsep Qishah di dalam Islam. Menurut kandidat
Doktor bidang sejarah di Universitas Islam Antarabangsa, Malaysia itu
setidaknya dalam tiga hal mendasar. Pertama, Dewan Inkuisisi secara aktif
mencari dan menghukum pelaku penyimpangan, bahkan seringkali cenderung
’mencari-cari’ kesalahan. Sementara Qishah yang diterapkan Nabi SAW, beliau tidak
mau mencari-cari kesalahan orang, bahkan cenderung enggan untuk langsung
menghukum ketika ada yang mengakui kesalahannya (seperti pada kasus pezina yang
datang pada Nabi dan melaporkan kesalahan dirinya). Kedua, pada Islam tidak ada
proses penyiksaan untuk memaksa tertuduh mengaku. Ketiga, menurut Islam ketika
seorang terbukti bersalah dan dihukum di depan umum, maka kebaikannya bukan
hanya bagi masyarakat umum, tapi juga bagi si tersalah, karena itu merupakan
bentuk taubatnya dan akan menghindarkannya dari hukuman di akhirat.
Inkuisisi
Spanyol berlangsung selama empat abad lebih dan menelan banyak korban.
Keinginan gereja dan masyarakat Katolik di sana untuk memurnikan darah (limpieza de sangre) masyarakatnya
telah menyebabkan wajah peradabannya yang dulunya toleran dan damai menjadi
berdarah-darah dan jauh dari kasih.
Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net
Sumber Referensi:
Muhammad Ali Quthub. 1993. Fakta
Pembantaian Muslimin di Andalusia. Solo: Pustaka Mantiq
John Foxe, Foxe’s Book of Martyrs, Kisah
Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
Alwi Alatas, Gereja
dan Inkuisisi Spanyol pada
http://alwialatas.multiply.com/journal/item/83/Gereja-dan-Inkuisisi-Spanyol
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Wikipedia.org
#1.
Ilustrasi penyiksaan dalam Dewan Inkuisisi Gereja di Spanyol
#2. Alat-alat
Penyiksaan Dewan Inkuisisi Gereja
#3. Tomás de
Torquemada
http://www.muslimdaily.net/artikel/studiislam/kekejaman-dewan-inkuisisi-gereja-spanyol.html
http://www.muslimdaily.net/artikel/studiislam/kekejaman-dewan-inkuisisi-gereja-spanyol.html
Related Articles :
Awal Mula Berdirinya Dewan Inkuisisi Gereja
Jatuhnya Granada & Awal Mula Penindasan Kristen
Terhadap Umat Islam di Andalusia
Kesaksian Kolonel J. J. Lehmanowsky Atas Fakta
Kekejaman Dewan Inkuisisi Gereja Spanyol (1)
Kesaksian Kolonel J. J. Lehmanowsky Atas Fakta
Kekejaman Dewan Inkuisisi Gereja Spanyol (2)