Tuesday, November 29, 2016

Jangan Bangga Jadi Pakar (Profesor) Pembuat Hukum (Undang-Undang) Positip (Non Syari’at), QS. Al Maidah 44 Lebih Mengarah Kepada Anda !

Hasil gambar

Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata tentang firman-Nya:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka (orang-orang Nasrani) telah menjadikan para ahli ilmu dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan juga Al Masih Ibnu Maryam, padahal mereka itu tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada ilah yang Esa, tidak ada ilah (yang haq) kecuali Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan.” (At Taubah: 31)
Sungguh Allah telah menamakan putusan dengan selain aturan-Nya sebagai thaghut, sebagaimana firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا (٦٠)

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An Nisa: 60)


Menegakkan syari’ah dalam konteks jinayat baik hudud maupun ta’zir hal itu adalah kewenangan negara, bukan kewenangan individu.  "Andai saya berhasil menangkap maling di rumah saya, saya tetap tidak berwenang melaksanakan jinayat (hudud) terhadap si pencuri”. Perkataan Jahil Murokkab, pernyataan diatas untuk orang awan. Pembebanan hukum Seorang Profesor (Super Pakar) yang Memproposed (Mengendoser) atau membuat Undang-undang (Hukum positip, Bertentangan dengan Syari’at Allah) tidak sama dengan orang Awam. Rakyat Awam bukan perusak hukum Allah. Yang pertama bisa mengarah kepada kekafiran. 

Belajar Hukum Positif dan Menjalani Profesi sebagai Pengacara dan Hakim 
(bukan pembuat Undang-undang)

Fatwa Komite Tetap
Belajar Hukum Positif dan Menjalani Profesi sebagai Pengacara dan Hakim
Fatwa Nomor (3712):
Pertanyaan: Sekarang saya sedang belajar di Fakultas Hukum pada tahun kedua, artinya: saya sudah menghabiskan waktu dua tahun di fakultas. Saya benar-benar ingin mengetahui: apakah saya harus meninggalkannya, karena (mata kuliah hukum) itu tidak memakai hukum syariat Allah, dan yang dipelajari adalah hukum positif (buatan manusia)? Dan apakah saya boleh menjadi jaksa penuntut umum (melakukan investigasi berdasarkan hukum buatan manusia) Dan apakah mengajarkan ilmu hukum di fakultas kepada para mahasiswa itu haram atau tidak? Dan apakah menjalani profesi pengacara sebagai sumber penghasilan itu haram?
Jawaban 1: Pertama: Jika orang yang ingin belajar hukum positif (buatan manusia) itu memiliki dasar pemikiran dan pengetahuan ilmiah yang kuat sehingga dapat membedakan antara yang benar dan batil, memiliki benteng pengetahuan keislaman yang kokoh yang mampu menjaganya agar tidak menyeleweng dari kebenaran dan terjerumus dalam fitnah kebatilan.
(Nomor bagian 1; Halaman 794)
Juga berniat mempelajari hukum positif ini untuk perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif, bisa menjelaskan keistimewaan hukum Islam daripada hukum positif tersebut, dan menjelaskan bahwa hukum Islam lebih komprehensif dan berguna bagi agama dan kehidupan duniawi mereka dan sudah dapat mencukupi (kebutuhan) mereka. Juga bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil, menolak argumen orang yang mengagungkan hukum positif yang mengira bahwa ia lebih cocok, komprehensif, dan mencukupi, jika seperti itu yang dimaksud, maka belajar hukum positif itu boleh. Dan jika tidak seperti itu, maka tidak diperbolehkan mempelajarinya, dan cukup baginya untuk mempelajari hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang shahih, sebagaimana yang dijalani oleh ulama Islam terdahulu dalam mempelajari dan mengambil kesimpulan dari kedua sumber tersebut.
Kedua: Jika profesi sebagai pengacara atau hakim itu bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil secara hukum, bisa mengembalikan hak-hak manusia pada tempatnya, dan bisa menolong orang yang terzalimi, maka profesi ini dianjurkan, karena di dalamnya terdapat sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Akan tetapi jika sebaliknya, maka tidak diperbolehkan, karena di dalamnya terdapat sikap tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Allah Ta'ala berfirman: http://www.alifta.net/_layouts/images/UserControl-Images/MEDIA-B1.GIF Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
AnggotaAnggotaWakil Ketua KomiteKetua
Abdullah bin Qu'udAbdullah bin GhadyanAbdurrazzaq `AfifiAbdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Fatwa Komite Tetap

Mempelajari Hukum Positif dan Bekerja Sebagai Pengacara

(Nomor bagian 1; Halaman 792)
Pertanyaan Pertama dan Kedua dari Fatwa Nomor (3532):
Pertanyaan 1: Kami telah disibukkan dengan beberapa perkara, diantaranya terkait mempelajari undang-undang di Fakultas Hukum. Beberapa teman berbeda pendapat dalam masalah ini. Saya memohon kepada Allah semoga Anda bisa memberikan penjelasan dalam beberapa permasalahan ini:
1 - Hukum mempelajari hukum positif (buatan manusia);
2 - Hukum bekerja sebagai pengacara (hakim)
Jawaban 1: Jika orang yang ingin belajar hukum positif (buatan manusia) itu memiliki dasar pemikiran dan pengetahuan ilmiah yang kuat hingga dapat membedakan antara yang benar dan batil, memiliki benteng (pengetahuan) keislaman yang kokoh sehingga bisa menjaganya agar tidak menyeleweng dari kebenaran dan terjerumus dalam fitnah kebatilan. Juga berniat mempelajari hukum positif ini untuk perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif, bisa menjelaskan keistimewaan hukum Islam dari hukum positif tersebut, dan menjelaskan bahwa hukum Islam lebih komprehensif dan berguna bagi agama dan kehidupan duniawi mereka dan sudah mencukupi (kebutuhan) mereka, bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil. Juga mampu menolak argumen orang yang mengagungkan hukum positif hingga mengira bahwa ia lebih cocok, komprehensif dan mencukupi -- jika kondisinya seperti itu -- maka belajar hukum positif itu boleh. Dan jika tidak seperti itu, maka tidak boleh mempelajarinya, dan cukup baginya untuk mempelajari hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan riwayat shahih dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang dijalani oleh ulama Islam terdahulu dalam mempelajari dan mengambil kesimpulan dari kedua sumber tersebut.

(Nomor bagian 1; Halaman 793)

Kedua: Jika profesi sebagai pengacara atau hakim itu bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil secara hukum, bisa mengembalikan hak-hak manusia pada tempatnya, dan bisa menolong orang yang terzalimi, maka profesi ini dianjurkan, karena di dalamnya terdapat sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Akan tetapi jika sebaliknya, maka tidak diperbolehkan, karena di dalamnya terdapat sikap tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Allah Ta'ala berfirman: http://www.alifta.net/_layouts/images/UserControl-Images/MEDIA-B1.GIF Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.


Berhukum dengan Selain yang Alloh Turunkan bag. 2 :
Rincian Masalah Berhukum Dengan Selain Yang Alloh Turunkan
Diskusi  Konstruksi Teori Ilmiah
Bandar bin Nayif Al Mihyany Al Utaiby
Pengantar Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Hasan bin Abdurrahman Al Syaikh

Bahasan Kedua

Keadaan kedelapan : Taqnien ( menyusun undang-undang )

Bentuknya : memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan yaitu dengan hukum yang ia buat sendiri 

Artinya, dialah yang membuat hukum atau undang-undang itu, tanpa istihlal, tidak pula juhuud, tidak takdzieb atau pun tafdhiel atau menyamakan, dan tidak menisbatkan hukum yang ia buat kepada agama Alloh .

Hukumnya : kufur ashghar ( = tidak keluar dari agama islam ).

Dalilnya : tidak ada dalil yang menyebutkan takfirnya, sebab syariah tidak mengkaitkan kufur akbar dengan sumber hukum, sebagaimana dalil-dalil tidak membedakan antara seorang yang menghukumi dengan hukumnya sendiri dengan yang menggunakan hukum orang lain.

·Saya berkata : jika pembedaan itu benar tentu tidak akan dilalaikan oleh syariat, dan tentu akan datang dalil-dalil yang mendukungnya.

Keadaan ini berkaitan dengan empat masalah :

Masalah pertama :

Pemerintah yang membuat hukum yang menyelisihi syariat bisa jadi lebih besar kejahatannya daripada yang tidak melakukannya. Namun pembahasan kita adalah kekufuran yang tidak ada dalilnya, bukan tentang lebih berat atau lebih ringan kejahatannya.

Masalah kedua :

Sebagian tokoh yang berdalil atas takfir dengan keadaan ini mengatakan bahwa dengan membuat undang-undang berarti ia telah menyaingi Alloh Ta’ala dalam satu kekhususannya , yaitu : Tasyrie’ ( membuat syariat ).

Saya katakan : yang benar adalah bahwa hal ini harus dirinci, sebab orang yang membuat undang-undang tidak lepas dari dua keadaan :

Keadaan pertama : melakukan hal itu dengan menganggap dirinya memiliki hak tasyrie’ dengan ia mengungkapkannya dengan lisan dan tidak sekedar melakukan ; maka dia kafir dengan kufur akbar tanpa ragu lagi ; karena ia menghalalkan perkara yang Alloh Ta’ala haramkan .

Keadaan kedua : melakukannya ( membuat aturan ) tanpa mengklaim hal itu ; maka dia tidak kafir karena tiga sebab :

1. Tidak ada dalil atas kekafirannya.

2. Ahli sunnah tidak mengkafirkan teman buruk yang merencanakan dosa dan menghiasinya dan mengajak kepadanya...orang seperti ini kafir menurut mereka, padahal ia tidak kafir dengan kesepakatan ahli sunnah.

3. Ahli sunnah tidak mengkafirkan tukang gambar yang tidak menghalalkan menggambar yang haram. Allah berkata tentang mereka dalam hadits qudsi : “ siapakah yang lebih dzalim daripada seorang yang hendak menciptakan seperti yang Aku ciptakan ? “ ( Bukhary 5953, Muslim 5509 ). Dan bersabda Rasululloh shollalloh alaihi wa sallam tentang mereka  : “ manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah yang menyaingi ciptaan Alloh “ ( Bukhary 5954, Muslim 5494 ).

Dan tidak ada perbedaan antara keduanya, sebab penggambar / pematung telah menjadikan dirinya pencipta bersama Alloh, dan pembuat hukum menjadikan dirinya pembuat aturan bersama Alloh, sehingga siapa yang mengkafirkan pembuat aturan maka ia harus mengkafirkan pembuat patung/gambar . Keduanya sama...maka tukang gambar kafir menurut yang menetapkan ini , padahal ia tidak kafir dengan kesepakatan ahli sunnah .

Saya berkata : kesepakatan ahli sunnah atas tidak kafirnya teman buruk dan tukang gambar adalah dalil qath’iy atas apa yang saya terangkan tadi. Ingatlah hal penting ini !

Masalah ketiga :

Sebagian orang tersebut berdalil atas kekafiran dengan keadaan ketiga ini dengan mengatakan bahwa seorang yang menyusun undang-undang menjadi thaghut yang hukumnya dirujuk selain hukum Alloh, pendalilan ini tidak benar dan dapat dijelaskan dari dua sisi :

Sisi pertama : pendapat ibni dibanguin dari dasar yang tidak benar, yaitu bahwa setiap thaghut pasti kafir ! kesalahan ini dilihat dari tiga hal ;

1. Kata thaghut dimaksudkan untuk : “ setiap pemimpin kesesatan “ , sebab kata ini diambil dari kata thughyan yang artinya : melampaui batas.

Berkata Al Qurtubhy rahimahulloh : “ yaitu : tinggalkanlah setiap yang disembah selain Alloh ; seperti setan dan dukun dan berhala, dan setiap yang mengajak kepada kesesatan “ ( tafsir 5/75, tafsir QS. 16 ( Nahl ) : 36 )

Berkata Al Fairuz Abady rahimahulloh : thaghut : ... dan setiap pemimpin kesesatan, dan berhala, dan apa saja yang disembah selain Alloh, dan orang jahat dari ahli kitab ( Al Qamus Al Muhith 4/400, thogho ).

Saya berkata : thughyan – jika begitu – kadang dikafirkan dan kadang tidak sampai derajat kafir, karena itulah Syaikh Ibnu Baz rahimahulloh berkata :  “ maka batas bagimu adalah dengan menjadi seorang yang taat kepada Alloh, jika engkau melewati batas itu maka engkau adalah thaghut dengan apa yang kau lakukan itu....yang bisa kafir, bisa juga di bawah itu “ ( Syarh tsalatsatil Ushul , kaset 2, side b, produksi Bardain Riyadh ).

2. Ada sebagian ulama yang mensifati seorang sebagai thaghut dengan sekedar melihat perbuatan melewati batas, tanpa melihat keadaan pelaku :

a. Karena mereka mendefinisikan thaghut sebagai : “ setiap yang hamba melampaui batas baik dengan diibadahi , diikuti atau ditaati “ ( disebutkan ibnul qayyim rahimahulloh ( a’lamul muwaqiien 1/50 ) )

Ibnu Utsaimin rahimahulloh mengomentari dengan mengatakan  : “ maksudnya yaitu yang ridha, atau dikatakan : dia thaghut dengan melihat orang yang menyembah , mengikuti atau mentaatinya ; karena ia telah melewati batas kedudukan yang diberikan oleh Alloh, sehingga perbuatan menyembah, mengikuti dan mentaatinya itu disebut thughyan, karena melampaui batas dengan itu “ ( Al Qaul Al Mufid 1/30 ).

Saya berkata : maka tidak mesti seorang yang disifati thoghut adalah kafir ; karena bisa disebut thaghut dengan hanya melihat sikap orang kepadanya, bukan keadaan dia .

b. Sebagaimana para ulama menyebut benda-benda mati yang diibadahi selain Alloh sebagai thaghut, padahal jelas bahwa benda mati juga tidak disifati islam sebagai lawan kufur.

Berkata Ibnul Jauzi rahimahulloh : “ berkata ibnu qutaibah : setiap yang diibadahi : berupa batu atau gambar atau setan, maka dia jibt dan thaghut. Demikian diceritakan Zajjaj dari para ahli bahasa “ ( Nuzhatul A’yun An Nawadzir hal 410, bab thaghut ) 

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ ia adalah ism jins ( kata jenis ) yang masuk padanya : setan, dan berhala dan dukun , dan dinar serta dirham dan selainnya “ ( Al Fatawa 16/565 ).

Saya berkata : jika setiap thaghut adalah kafir tentu bis mengkafirkan benda-benda mati .

3. Para ulama juga menyebut para pelaku dosa yang tidak mengkafirkan sebagai thaghut .

Berkata Ar Raghib Al Ashfahany rahimahulloh : “ Thaghut adalah istilah bagi ; setiap yang melampaui batas dan setiap yang disembah dari selain Alloh .... dan karena itulah : disebut tukang sihir dan dukun dan yang jahat dari jin dan yang menyimpangkan dari jalan kebaikan sebagai thaghut “ ( Al Mufradaat hal 108 , thagha ).

Berkata Muhammad ibnu Abdil Wahhaab rahimahulloh : “ dan thaghut itu banyak , yang jelas ada lima : yang pertama setan dan pemimpin yang dzalim dan pemakan riba dan yang diibadahi dengan ia ridha dan setiap yang beramal tanpa ilmu “ ( Durar Saniyyah 1/137 ).

Berkata Ibnu Utsaimin rahimahulloh : “ dan ulama buruk yang menyeru kepada kesesatan dan kekufuran atau menyeru kepada bid’ah atau kepada menghalalkan apa yang Alloh haramkan atau mengharamkan yang Alloh halalkan adalah : THAGHUT “ ( Syarh Ushul Tsalatsah hal 151 ).

·Saya berkata : jika setiap thaghut kafir tentu tidak boleh dijelaskan dengan demikian, yang berkonsekuensi mereka mengkafirkan dengan dosa maksiat .

Sisi kedua :  hal ini berkonsekuensi juga mengkafirkan orang yang Ahli sunnah telah sepakat ketidakkafirannya . yaitu seorang yang merencanakan dosa ; sebab tidak ada perbedaan – dalam taqnien - antara seorang yang menulis rencana maksiat dengan yang menulis undang-undang hukum yang selain Alloh turunkan, sebab keduanya telah melakukan taqnien dalam perkara yang haram .

Contohnya : segerombolan orang yang bertekad merampok dan mengangkat pemimpin serta membuat aturan, maka pemimpin ini yang telah mengajak mereka lalu merencanakan kejahatan dan perampokan serta menakuti kaum muslimin hingga menjalankannya, dialah pula yang memerintah , mereka ikut , melarang dan mereka mentaati, pemimpin seperti ini berarti telah melakukan taqnien ( rencana tertulis ) , namun ia tidak kafir .

Saya katakan : jika pengkafiran dengan hal ini benar , tentu harus mengkafirkan pelaku dosa seperti ini, padahal ia termasuk pelaku maksiat yang Ahli sunnah bersepakat akan ketidakkafiran mereka .

Masalah keempat :

Keadaan ini adalah perkara yang paling sengit perdebatan antara penuntut ilmu, hanya saja ulama abad ini ; Ibnu Baz, AlBany, dan Ibnu Utsaimin rahimahumulloh bersepakat akan ketidakkafirannya.

Berkata Ibnu Baz rahimahulloh : “ jika ia membuat undang-undang yang berisi bahwa pezina tidak ada hukuman had, atau pencuri tidak terkena hukum had.... maka undang-undang ini bathil, dan jika pemimpin meyakini halal ( istihlal ) maka ia kafir “ ( Al Fatawa 7/124 )

Dan lihatlah pula ucapan Al Albany rahimahulloh tentang ketidakkafiran seorang yang menyusun undang-undang kecuali jika istihlal dalam “ Silsilah  Al Huda Wa Nur “ ( kaset 849 , menit 72 ).

Berkata Ibnu Utsaimin rahimahulloh : “ berhukum dengan selain yang Alloh turunkan bukan kufur yang mengeluarkan seorang dari agama , namun kufur amaly ( ashghar ) , karena pemerintah yang melakukannya berarti keluar dari jalan yang benar. Dan tidak dibedakan antara yang mengambil undang-undang buatan dari luar lalu menerapkan di negaranya dengan yang membuat dan menerapkan undang-undang buatan ini ; karena yang penting adalah apakah undang-undang ini menyelisihi undang-undang langit ? atau tidak ?[2]  ( Fitnah Takfir hal 25, footnote 1 )

Keadaan kesembilan : Tasyrie’ Aam ( pembuatan aturan umum )

Bentuknya : memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan dan menjadikan hukum ini berlaku umum bagi setiap yang di bawahnya .

Artinya : ia mengganti hukum Alloh dengan hukum selain-Nya, dan mewajibkan setiap orang yang di bawahnya melaksanakan hukum ini, tanpa istihlal, tanpa juhuud, tanpa takdzieb , tanpa tafdhiel, tanpa menyamakan dan tidak menisbatkan hukum yang dibuat kepada agama Alloh .

Hukumnya : kufur ashghar .

Dalilnya :  tidak ada dalil yang mengkafirkannya, maka syariah tidak pernah mengkaitkan kufur akbar dengan pemberlakuan umum atau dengan mewajibkannya. Sebagaimana dalil-dalil tidak membedakan antara pemerintah yang menerapkan secara umum atau yang tidak demikian, atau antara pemerintah yang mewajibkan bagi yang dibawahnya atau yang tidak demikian .

Saya katakan : jika pembedaan ini benar tentu tidak akan ditinggalkan oleh syariah, dan tentu akan datang dalil yang banyak yang mendukungnya .

Ada enam masalah berkaitan dengan hal ini :

Masalah pertama :

Benar bahwa seorang yang menetapkan hukum umum dan mengharuskan semua orang yang di bawahnya untuk mengikuti bisa dianggap lebih jahat daripada yang tidak membuat hukum umum atau mewajibkan. Tetapi pembahasan kita adalah : kekafiran yang tidak ada dalilnya , bukan meneliti yang lebih jahat .

Masalah kedua :

Sebagian orang yang utama berdalil akan kekafiran keadaan kedua ini dengan Laazim ( konsekuensi ) ; yaitu tidak mungkin seorang mengganti hukum Alloh dengan hukumnya lalu menjadikan hukumnya menjadi hukum umum bagi siapa saja yang di bawahnya kecuali pasti ia berkeyakinan bahwa hukumnya lebih bermanfaat dan lebih baik dari hukum Alloh, pendalilan ini terbantah dari empat sisi :

Sisi pertama : para ulama telah menetapkan bahwa lazim madzhab bukanlah madzhab kecuali jika ia mengetahui dan menetapinya . Dan bahwa seseorang mungkin saja meyakini yang bukan menjadi konsekuensi pendapatnya, walaupun disebut kontradiktif  jika ia tidak berpendapat dengan lazim itu .

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ lazim madzhab belum tentu menjadi madzhab, bahkan kebanyakan manusia berpendapat dengan berbagai hal yang mereka tidak menerima konsekuensinya ; sehingga seorang yang berpendapat dengan pendapat yang berkonsekuensi ta’thil belum tentu berakidah ta’thil, bahkan kadang berpendapat itsbat namun ia tidak mengetahui konsekuensinya “ ( Al Fatawa 16/461 ) .

Beliau juga berkata rahimahulloh : “ adapun jika konsekuensi itu diridhai olehnya setelah jelas baginya ; maka itu uga pendapatnya , adapun jika tidak meridhainya, maka bukan pendapatnya, walaupun ia akan kontradiktif.... adapun jika ia menafikan konsekuensi itu maka tidak boleh dinisbatkan hukum konsekuensi itu kepadanya sama sekali “ ( Al Fatawa 29/42 ).

Beliau rahimahulloh juga berkata ; “ adapun ucapan seorang : apakah laazim madzhab adalah madzhab ? ataukah bukan madzhab ? maka yang benar : bahwa laazim madzhab seseorang bukanlah madzhabnya jika ia tidak menetapinya , sebab jika ia telah mengingkari atau menafikan maka penisbatan hal itu kepadanya adalah kedustaan atas namanya “ ( Al Fatawa 20/217 ) .

Sisi kedua :

Konsekuensi ini kadang tidak terjadi , dimana terkadang dijumpai seorang yang melakukan itu dengan masih meyakini bahwa syariah lebih bermanfaat daripada hukumnya ,seperti telah lalu pencontohan Ibnu Taimiyyah rahimahulloh dengan pendapat yang seakan berkonsekuensi ta’thil namun tidak otomatis orang tersebut termasuk ahli ta’thil .

Saya berkata : tidak adanya konsekuensi itu menunjukkan bahwa kaidah ini tidak pasti ; sehingga tidak bisa dijadikan pegangan, terlebih dalam masalah pengkafiran yang tidak digunakan kecuali yang meyakinkan.

Sisi ketiga : bahwa Ahli sunnah tidak mengkafirkan kecuali dengan hal yang tidak ada kemungkinan lain padanya , sebab hukuman dicegah dengan kerancuan ( al huduud tudra’ u bi syubuhat ) , dan pengkafiran lebih berhak untuk dicegah .

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ siapa yang telah ditetapkan keislamannya dengan yakin maka tidak dapat dihilangkan ( status itu ) dengan syakk ( keraguan ) “ ( Al Fatawa 12/466 ) .

Dan berkata Muhammad Ibn Abdul Wahhaab rahimahulloh : “ kami tidak mengkafirkan kecuali yang para ulama seluruhnya telah bersepakat “ ( Durar Saniyyah 1/102 ) .

Sisi keempat : konsekunsi hal ini adalah harus mengkafirkan orang yang ahli sunnah bersepakat ketidakkafirannya, yaitu yang membuat aturan maksiat – yang di bawah kesyirikan - . Jika ada seorang ayah yang menetapkan maksiat pada keluarganya dan mewajibkan mereka, menyelesihi setelah diingkari dan tidak mendengar yang menasehati ; maka ia tidak kafir menurut Ahli sunnah, sedang menurut mereka yang menetapi pendapat ini maka ia kafir .

Masalah  ketiga :

Sebagian mereka berdalil atas pengkafiran dengan keadaan ini berdasar hadits tahmiem yahudy ( lihat hal 22 ) , maka Alloh turunkan pada mereka ( sebagaimana dalam shahih Muslim 4415 ) :

{يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ} [المائدة: 41]

Artinya : hai rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya ( QS . Al Maidah 41 ) hingga firman Alloh :

{يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا} [المائدة: 41]

Artinya : mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka hati-hatilah". ( QS . Al Maidah 41 )

Dan firman Alloh :

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} [المائدة: 44]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS. Al Maidah : 44 )

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ} [المائدة: 45]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim ( QS. Al Maidah : 45 )

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} [المائدة: 47]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ( QS. Al Maidah : 47 ).

Mereka berpandangan bahwa Alloh tidak menghukumi dengan kekafiran mereka kecuali karena mereka menjadikan tahmiem sebagai syariat umum . Dan pendalilan ini terbantah karena yahudi – yang dimaksud kafir dalam pendalilan dalam taysrie’ aam ini – telah kafir dengan selain tasyri ini, dapat dikjelaskan sebagai berikut :

1. Mereka mengingkari hukum Alloh pada pezina yang muhshan , inilah yang ditegaskan dalam banyak riwayat hadits, maka ketika Naby shollallohu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka : “ kalian tidak mendapatkan rajam dalam taurat ? , mereka menjawab : kami tidak mendapatkan apapun ! ( Bukhary 4556 ), dan ketika pembaca mereka membacakan taurat , ia meletakkan tangannya di atas ayat rajam dan hanya membaca sebelum dan sesudah ayat rajam ! ( Bukhary 4556 ), dan pengingkaran ini adalah juhuud yang telah dijelaskan ( hal 15 ) bahwa sepakat bahwa ia kufur akbar .

2. Mereka melakukan tabdiel atau perubahan terhadap hukum Alloh pada zina yang muhshan, maka saat Beliau shollallohu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka : “ apakah yang kalian dapatkan dalam taurat dalam hal rajam ? “ mereka menjawab : “ kami permalukan dan cambuk mereka “ ( Bukhary 3635 ), mereka telah merubah hukum Alloh lalu menisbatkan apa yang mereka buat sendiri kepada agama Alloh, inilah makna tabdiel yang telah lalu ( hal 20 ) bahwa telah disepakati bahwa ia kufur akbar. Karena itulah berkata Ibnu Abdil Barr rahimahulloh : “ dan dalam hadits ini pula : dalil bahwa mereka mendustakan taurat mereka , dan menisbatkan pendustaan mereka kepada Rabb mereka dan kitab mereka “ ( Tamhied 9 / 13 ) .

Dengan ini : maka tidak benar berdalil dengan kisah ini untuk pengkafiran dengan Tasyrie’ Aam ; sebab yahudi terjatuh dalam dua hal yang Ahli Sunnah bersepakat akan kekafiran yang terjatuh walaupun dalam salah satu saja – apalagi keduanya – maka pengkafiran mereka dengan tasyrie’ aam membutuhkan dalil lain .

Saya berkata : dan pengkaitan takfir dengan perkara dhahir – dalam banyak riwayat -  yang ahli sunnah bersepakat atas kekafiran dengannya ( Juhuud atau Tabdiel atau keduanya ) lebih utama daripada dikaitkan dengan perkara yang diperselisihkan ini ( = tasyrie’ aam ) yang tidak ada dalil pengkafiran dengannya , dan tidak ada dalil bahwa kekufuran yahudi dikaitkan dengannya .

Masalah keempat :

Dahulu Ibnu Utsaimin rahimahulloh berfatwa pengkafiran dengan hal ini , hanya saja beliau rujuk / meralat kembali. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut :

Fatwa terdahulu

Beliau rahimahulloh berkata : “ .... dan di antara mereka : ada yang menetapkan bagi manusia peraturan yang menyelisihi  syariat islam , untuk menjadi jalan yang ditempuh manusia, maka mereka tidaklah menetapkan aturan yan g menyelisihi syariat islam kecuali pasti mereka meyakini bahwa aturan itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi manusia, sebab diketahui secara pasti dengan akal, dan fitrah kelaziman bahwa seorang tidak akan berpindah dari satu jalan ke jalan lain yang menyelisihinya kecuali tentu ia meyakini keutamaan yang ia pilih dan kekurangan yang ia tinggalkan “ . ( Al Fatawa 2/143 ).

Beliau rahimahulloh juga berkata : “ sebab pembuat undang-undang yang menyelisihi islam ini ; hanyalah menetapkannya karena keyakinan bahwa itu lebih baik daripada islam dan lebih bermanfaat bagi manusia “ ( Al Fatawa 2/143 )

Saya berkata : dalam fatwa ini ada tiga hal yang mesti diperhatikan :

1. Beliau berdalil untuk kekafiran pembuat hukum dengan laazim ( konsekuensi ), dan telah lalu ( hal 33 dan seterusnya ) bahwa pendalilan ini perlu ditinjau ulang.

2. Beliau mengembalikan pengkafiran dalam hal ini kepada akidah, maka sesungguhnya beliau sependapat dengan apa yang telah saya sebutkan dalam keadaan ini ( hal 33 ), hanya saja beliau mengkaitkan kekafiran dalam kondisi ini dengan laazim yang tidak pasti. Maka hendaklahmemperhatikan ini mereka yang berpegang dengan ucapan beliau dalam masalah ini dan berpandangan bahwa melihat keyakinan adalah irja ( murjiah ) !

3. Beliau tidak menetapi pendapat ini dan tidak menerapkan pengkafiran dengan laazim di selain masalah ini, jikalau pengkafiran dengan laazim adalah benar tentu selain beliau akan berpendapat dengannya dalam seluruh permasalahan pengkafiran.

Fatwa Terakhir

Beliau rahimahulloh berkata : “ jika ia mengetahui hukum syar’iy tetapi menghukumi dengan ini, atau menetapkan ini, dan menjadikannya undang-undang yang dijalani manusia ; ia meyakini berbuat dzalim dengan itu, dan bahwa yang benar adalah yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka kita tidak dapat mengkafirkannya dengan ini “ ( lihat fatwa dengan sempurna hal 29 ).

Masalah kelima :

Sebagian pihak mengklaim bahwa kondisi tasyrie’ aam tidak pernah terjadi kecuali di zaman belakangan ini, dibangun di atas kerangka ini : bahwa tidak benar berpegang bahwa ketidakakfirannya karena tidak ada dalil yang mengkafirkan, dan bahwa mutaqadimien / ulama terdahulu tidak mengkafirkan dengan kondisi ini. Hal ini salah karena dua perkara :

1. Semestinya juga tidak bisa berdalil untuk pengkafiran keadaan ini dalil apapun, dan ini tidak dikatakan oleh siapapun; karena digunakan dalil hal ini kisah tahmiem, dan telah lalu ( hal 34 ) jawaban pendalilan ini, dan bahwa manaath ( = sebab= illat ) pengkafiran dalam kisah ini bukan tasyrie’ aam.

2. Kondisi tasyrie’ aam ini telah terjadi sejak berabad yang lalu, dan tidak ada seorang pun dari ulama yang berfatwa pengkafirannya, diantara bentuknya : pajak yang diterapkan kepada muslimin di  banyak negeri mereka sejak lama, dan diketahui bahwa pemerintah mewajibkan serta menghukum yang tidak mau membayarnya, padahal ini perkara haram, bahkan termasuk bentuk berhukum dengan selain yang Alloh turunkan, jika perkara ini mengkafirkan , tentu para ulama telah berbicara, dan menetapkan bahwa tasyrie’ aam itu kufur, dan tentu mereka tidak akan diam dari menjelaskan perkara yang mereka alami.

Masalah keenam :

Walaupun perkara ini termasuk perkara yang paling sengit perdebatan di kalangan akademisi, hanya saja tiga ulama besar abad ini : Ibnu Baaz dan Albany dan Ibnu Utsaimin rahimahumulloh sepakat atas ketidakkafirannya , ( lihat hal 39 ) .

[1] . ucapan beliau : ( tidak ada serang pun berkata dengan ( dzahir ) nya) : bisa difahami dari dua sisi; bisa jadi maksud beliau adalah pendapat Ahli Sunnah dan beliau tidak menyinggung khawarij, atau  beliau bermaksud bahwa dosa kecil dan dosa besar masuk dalam keumuman ayat ini, yang khawarij tidak mengkafirkan kecuali dengan dosa besar saja.

[2] . maksud beliau rahimahulloh adalah : yang menjadi penilaian adalah apakah uu itu sesuai atau menyelisihi hukum syar’iy, dan tidak perlu dilihat sumber hukum itu, apakah pemerintah sendiri yang membuat atau mengambil dari selainnya ?
Penterjemah : Ustadz Abdul Hakim Lc

Pakar Syari'at Islam Vs Pakar Hukum Positif Saudi & Upaya Penyelarasan

Penasehat Hukum Saudi menyatakan bahwa situasi pengadilan di Saudi mengalami kemacetan yang signifikan dalam hubungan antara pakar hukum Syar’i dan pakar hukum positif di tingkat studi, metode dan aplikasi hukum.
Dia menekankan perlunya konvergensi dan kompatibilitas atara keduanya (syari’at dan hukum positif)dan menutup perselisihan controversial yang melebar antara kedua belah pihak. 
....... Dr Ahmad Al-Shuqyah mengatakan bahwa tujuan syari’at Islam dan upayanya dalam merealisasikan keadilan lebih tinggi dan komperhensif dibandingkan dengan hukum – hukum positif yang ada, meskipun ia lebih tua secara historis dibandingkan syari’at islam......
Pakar Hukum tersebut menunjukkan kalau sebagian spesialis di bidang hukum positif mengatakan bahwa konstitusi Perancis dipengaruhi, menurut mayoritas teks konstitusinya, oleh madzhab Maliki.
Dalam kuliah yang disampaikan di Khamisiah Hamad Al-Jasser, Dr Ahmad Al-Shuqyah mengatakan bahwa tujuan syari’at Islam dan upayanya dalam merealisasikan keadilan lebih tinggi dan komperhensif dibandingkan dengan hukum – hukum positif yang ada, meskipun ia lebih tua secara historis dibandingkan syari’at islam.
“Ada dikotomi antara pengajaar syari’at Islam dan pengajar hukum – hukum positif. Mungkin sebab yang terpentingnya adalah hilangnya sebagian mata kuliah hukum  di fakultas syari’at di satu sisi, dan hilangnya pokok – pokok fiqh dan ushul fiqh di fakultas hukum, yang mana hal ini memperleba sengketa antara kedua belah pihak” tambah Dr Ahmad.
Ia mengakhiri bahwa perlu adanya keahlian dan aplikasi dalam merumuskan teks konstitusi dan undang – undang di bawah naungan syari’at Islam serta mengambil manfaat dari berbagai undang – undang positif lainnya.[usamah/imo]