Tuesday, December 6, 2016

Riwayat Berpegang Dengan Al-Qur'an Dan Sunnah Adalah Sah !! (Bukan Berpegang Dengan Ahlul Bait) !

Juga hadits "apa-apa yang ada didalamnya sunnahku dan sunnah para shahabatku"

Riwayat berpegang dengan Al-Qur'an dan Sunnah adalah sah wahai Secondprince !!!

Artikel ini adalah pembanding atas tulisan Secondprince.


Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah

1. Jalur Ibnu Abbas ra
2. Jalur Abu Hurairah ra
3. Jalur Amr bin Awf ra
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra

Jalan Sanad Ibnu Abbas

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.

1. Ibnu Abi Uwais

Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya
Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah.
An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy
“An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”.
Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”
Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan lain-lain”.

Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.

Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan hujjah.

Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis.

Seperti penjelasan di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil).

Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah.

Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.

TANGGAPAN :

Mengenai Ibnu Abi Uwais yang namanya adalah Ismail, Ibnu Hajar berkata :

وهذا هو الذى بان للنسائى منه حتى تجنب حديثه و اطلق القول فيه بأنه ليس بثقة ، و لعل هذا كان من إسماعيل فى شبيبته ثم انصلح .

“Inilah riwayat yang menyebabkan An-Nasaai menjauhi haditsnya, dan memutlakan pernyataan tersebut padanya bahwasannya dia bukanlah perawi yang tsiqah. Dan barangkali hal ini adalah keadaan Ismail di masa remajanya lalu dia berubah memperbaiki dirinya.”(Tahdzib At-Tahdzib,1/311)

Terlebih terdapat ta’dil dari Abu Hatim, sehingga keadaan Ismail adalah lemah bukan dari segi ‘adalahnya.

Ditambahkan lagi bahwa Ismail termasuk perawi Imam Bukhari, semakin menguatkan akan kelemahan Ismail dari segi ke-dhabit-an-nya.

2. Abu Uwais
Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”. Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata ”Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.

TANGGAPAN :

Jarh dari Yahya (suka mencuri hadits, mukhtalith, dan pembohong) jika dikroscek dengan jarh beliau yang lain (tidak tsiqah) ditambah dengan ta’dil Ibnu Abi Hatim serta pencarian syahid riwayat ini oleh Imam Hakim menunjukkan bahwa riwayat Abu Uwais ini hanya bermasalah dalam ke-dhabit-an-nya.

Jalan Sanad Abu Hurairah ra

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan Daruquthni IV hal 245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.

Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.

Hadis di atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.

Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96)

Berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa.

Abu Hatim Ar Razy berkata hadis Shalih bin Musa dhaif.

Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).

Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan
Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk berhujjah.
Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.
Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus ditinggalkan).

Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa
Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.
Kalau melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif.

Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm.

Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak longgar(tasahul) dalam masalah ini.

TANGGAPAN :

Telah berkata Abu Ahmad bin ‘Adi di dalam mendudukkan keadaan Shalih bin Musa :

عامة ما يرويه لا يتابعه عليه أحد . و هو عندى ممن لا يتعمد الكذب ، و لكن يشبه عليه و يخطىء.

“Pada umumnya apa yang ia riwayatkan tidak ada satu pun orang yang mengikutinya. Menurut saya dia bukanlah orang yang dengan sengaja berdusta, akan tetapi terdapat kesamaran atasnya dan kekeliruan.” (Tahdzibul-Kamal, Al-Mizzi)

Begitu juga Al-Juzajani mengatakan :

ضَعِيْفُ الحَدِيْثِ عَلَى حُسْنِهِ.

“Dia adalah dhaiful hadits di atas perangai baiknya.”(Siru A’laamun Nubala, 8/181)

Dari keterangan diatas, disimpulkan mereka yang tidak mengetahui keadaan Shalih bin Musa menjarhnya akibat kesamaran den kekeliruannya, akan tetapi kesamaran dan kekeliruannya tersebut diiringi dengan baiknya perangai beliau (tidak sengaja berdusta).

Hal ini dapat disimpulkan Shalih bin Musa seorang yang lemah dari segi ke-dhabit-an-nya.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kedua riwayat tersebut dapat naik menjadi hasan lighairihi sah dan diterima.

Berpegang Teguh Pada Ahlul Bait Nabi SAW Atau Sahabat Nabi SAW

Berpegang Teguh Pada Ahlul Bait Nabi SAW Dan Berpegang Teguh Pada Sahabat Nabi SAW

Mahzab Syiah adalah Mahzab Ahlul Bait

Seperti yang dijelaskan sebelumnya Syiah mengambil Sunah Rasulullah SAW dari Ahlul Bait. Dalam pandangan Syiah Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam setelah Al Quran. Hal ini ternyata sesuai dengan apa yang dinyatakan Rasulullah SAW sendiri
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).
Perlu dijelaskan bahwa ada banyak sekali hadis keutamaan Ahlul Bait yang menunjukkan bahwa Mereka memiliki kemuliaan yang besar sehingga setiap umat islam diwajibkan untuk mencintai Mereka. Tetapi dalam pembahasan ini hanya difokuskan terhadap hadis yang menjelaskan dengan kalimat yang lugas dan jelas bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam. Dalam mahzab Syiah kedudukan Ahlul Bait Nabi SAW sebagai pedoman menyebabkan timbulnya pandangan kema’suman Ahlul Bait. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Ahlul Bait sebagai Pedoman Umat islam. Sang pedoman jelas sekali harus selalu benar.

TANGGAPAN SAYA :

Kerancuan SP, mengatakan syi'ah bermadzab ahlul bait berdasarkan riwayat diatas, padahal mereka tidak mau menggunakan riwayat dari orang-orang yang bermadzab shahabat.

Tidak benar bahwa syiah bermadzab ahlul bait.

Kita lihat syi'ah, mereka mempunyai hadits sendiri yang bersih dari periwayatan dari ulama madzab shahabat, dalam periwayatan mereka tidak ada periwayatan para imam dari tokoh-tokoh madzab shahabat, kecuali tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh yang di klaim sebagai pengikut mereka. Adakah riwayat mereka Ali ra dari Abu Bakar, Umar, dll, tokoh-tokoh yang madzab shahabat yang mereka benci ?

Adakah Ali ra seperti itu ? Adakah Hasan seperti itu ? Adakah Husen seperti itu ? adakah ... adakah ....?

Bertaburan riwayat-riwayat madzab shahabat, bahwa Ali, Hasan, Husen, Ali bin Husen, dll meriwayatkan dari tokoh-tokoh madzab shahabat yang dibenci oleh syi'ah.

Mahzab Sunni adalah Mahzab Sahabat

Mahzab Sunni mengambil hadis Rasulullah SAW dari para Sahabat. Hal ini berdasarkan banyaknya keutamaan yang dimiliki oleh mereka para Sahabat. Dalam mahzab Sunni Sahabat Nabi memiliki keutamaan-keutamaan yang besar. Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang ini. Sahabat Nabi jelas sekali belajar hadis dari Rasulullah SAW oleh karena itu mengambil hadis dari Sahabat Nabi SAW adalah suatu hal yang rasional dengan sudut pandang ini. Sayangnya tidak ada hadis yang lugas dan jelas yang menyatakan bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam agar tidak tersesat. Semua hadis yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah hadis-hadis keutamaan mereka yang menjelaskan betapa mulianya mereka. Oleh karena itu Sunni tidak pernah menyatakan bahwa Sahabat Nabi itu ma’sum. Hal ini memiliki konsekuensi logis bahwa Sahabat Nabi tidak selalu benar.
Ada sebagian hadis yang sering dijadikan dasar bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan . Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya “Siapakah golongan itu?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya pada hari ini”.(Hadis Riwayat Thabrani dalam Mu’jam As Saghir jilid I hal 256)
Kemudian juga hadis ini
Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya bani Israil telah berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan . Mereka semua di neraka kecuali satu golongan “. Para Sahabat bertanya “Dan siapakah golongan (yang selamat) itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya”. (Hadis Riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi Kitab Al Iman ‘An Rasulillah Bab Ma Ja’a Fi Iftiraqi Hadzihi Al Ummah no 2565)
Kedua hadis tersebut adalah hadis yang dhaif . Hadis pertama riwayat Thabrani dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sufyan dimana Al Uqaili berkata Hadisnya tidak bisa diikuti. Oleh karena itu Al Uqaili memasukkan hadis ini dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabir no 938. Hadis kedua riwayat Tirmidzi dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dan sebagaimana dijelaskan dalam At Taqrib bahwa dia adalah dhaif. Oleh karena itu Al Mubarakfuri menyatakan dhaifnya hadis tersebut dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi hadis no 2565.

TANGGAPAN :

Perhatikan perkataan Al Uqailiy (yang diiringi Imam Dzahabi dalam Diwan dhuafa' wal matrukin no 2187) : Abdullah bi Sufyan dhaif, tidak ada mutaba'ah dalam haditsnya.

Dari jarh diatas dapat difahami bahwa Abdullah bin Sufyan bukan seorang yang majhul.

Dari jarh diatas dapat difahami bahwa Abdullah bin Sufyan tidak bermasalah dalam ke-'adalah-annya, kecuali kalau ada qarinah jarh yang lain.

Keterangannya, jarh "tidak ada mutaba'ahnya" bila disematkan pada perawi yang bermasalah ke-'adalah-annya, maka akan sia-sia. Perawi yang cacat ke-'adalah-annya baik ada mutaba'ah maupun tidak, tetap saja sebagai perawi yang ditolak periwayatannya.

Dan ternyata riwayat Al Ifriqi (lemah dalam segi ke-dhabit-annya) dapat menjadi mutaba'ah bagi riwayat Abdullah bin Sufyan. (pembahasan selengkapnya di sini)

Kesimpulan
Apa yang dapat disimpulkan dari ini adalah Rasulullah SAW sendiri telah menjelaskan bahwa pegangan dan pedoman bagi umat Islam agar tidak sesat adalah Hendaknya berpegang teguh pada Al Quran dan Ahlul Bait Nabi. Tidak ada suatu penjelasan lugas dan jelas yang shahih bahwa Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpegang pada sahabat agar umat Islam tidak sesat.

Salam Damai

TANGGAPAN :

Riwayat tsaqalain adalah shahih, tapi bukan seperti yang difahami SP.

Riwayat tsaqalain adalah wasiyat berpegang teguh dengan kitabullah dan berbuat baik kepada ahlul bait (pembahasannya di sini) 
KESIMPULAN AKHIR : Bahwa madzab ahlul bait adalah mengamalkan riwayat "maa ana alaihi wa ashhabi"

Secondprince (mr. J algar) melemahkan hadits "apa-apa yang ada didalamnya sunnahku dan sunnah para shahabatku"

SP menulis :
Kedudukan Hadis “Apa Yang Aku Dan Para SahabatKu Ada Di Atasnya”

Hadis Iftiraqul Ummah adalah hadis masyhur di kalangan umat Islam. Hadis tersebut mengatakan bahwa Umat Islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Sebagian orang yang berasal dari mahzab salafy mengklaim bahwa Salafy adalah golongan yang selamat dari ke-73 golongan tersebut. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti jejak Para Sahabat Nabi atau memahami Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat. Sayangnya hadis yang mereka jadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang sangat dhaif.
.
Hadis Iftiraqul Ummah yang akan dibahas diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/26 no 2641.

حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الحفري عن سفيان الثوري عن عبد الرحمن بن زياد الأفريقي عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذلك وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghaylan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafari dari Sufyan Ats Tsawri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amr yang berkata “Rasulullah SAW bersabda “Sungguh akan datang pada UmatKu sesuatu yang datang pada bani Israil seperti sandal yang berjajar dengan sandal yang lain hingga ada diantara mereka yang menyetubuhi istrinya terang-terangan dan pada umatku akan ada yang demikian. Sesungguhnya bani Israil akan terpecah belah menjadi 72 golongan sedangkan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”.

Syaikh Al Albani telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 2641 seraya berkata bahwa hadis ini hasan. Pernyataan Beliau sudah jelas keliru dan mengandung kerancuan. Hadis ini sendiri sanadnya dhaif dan jika Syaikh menghasankan hadis Tirmidzi ini berdasarkan penguat dari hadis-hadis Iftiraq Al Ummah yang lain maka Beliau sudah salah alamat. Hadis Iftiraq Al Ummah lain yang bersanad shahih memang mengandung kata-kata “akan terpecah belah menjadi 73 golongan” tetapi tidak satupun dari hadis-hadis penguat tersebut yang menyebutkan bahwa golongan yang selamat itu adalah “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”. Tambahan ini sangat jelas dhaif baik dari segi sanad maupun matannya. Oleh karena itu jelas sekali hadis Iftiraq Al Ummah yang lain tidak bisa dijadikan penguat bagi riwayat Tirmidzi di atas.

Penyebab dhaifnya hadis Tirmidzi di atas adalah Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia adalah seorang perawi yang dhaif. Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 358 telah menyebutkan biografi Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia telah dilemahkan oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Yahya bin Sa’id, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Kharrasy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Di antaranya Ibnu Hajar mengutip

وقال بن أبي خيثمة عن بن معين ضعيف

Ibnu Abi Khaitsamah berkata dari Ibnu Ma’in “dhaif”.

وقال النسائي ضعيف وقال بن خزيمة لا يحتج به وقال بن خراش متروك

An Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Khuzaimah berkata “tidak bisa dijadikan hujjah” dan Ibnu Kharrasy berkata “matruk”.

An Nasa’i telah memasukkan Abdurrahman bin Ziyad ke dalam Kitabnya Ad Dhu’afa no 361 dan berkata

عبد الرحمن بن زياد بن أنعم الإفريقي ضعيف

Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi dhaif

Daruquthni juga memasukkan Abdurrahman bin Ziyad dalam kitabnya Ad Dhu’afa no 338 dan berkata

عبدالرحمن بن زياد بن أنعم الأفريقي، ليس بالقوي

Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi tidak kuat.

Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi memang dikenal dhaif sehingga banyak kitab Ad Dhu’afa menyebutkan namanya. Selain Nasa’i dan Daruquthni, Ibnu Hibban juga menyebutkannya sebagai perawi dhaif dalam Al Majruhin no 586 seraya berkata bahwa Abdurrahman bin Ziyad sering meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi tsiqat. Al Uqaili juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/332 no 927 dan Adz Dzahabi juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam Mughni Ad Dhu’afa no 3566 dan mengatakan bahwa ia seorang yang dikenal dhaif dan dinyatakan dhaif oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Daruquthni dan Ahmad.

Selain dalam Sunan Tirmidzi ternyata hadis dengan matan “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya” juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 dan Mu’jam Al Ausath 5/137 no 4886

حدثنا عيسى بن محمد السمسار الواسطي حدثنا وهب بن بقية حدثنا عبد الله بن سفيان المدني عن يحيى بن سعيد الأنصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي

Telah menceritakan kepada kami Isa bin Muhammad Al Wasithi yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan Al Madani dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan para SahabatKu ada di atasnya pada hari ini”.

At Thabrani berkata dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 setelah menyebutkan hadis ini

لم يروه عن يحيى إلا عبد الله بن سفيان

Tidak diriwayatkan dari Yahya kecuali oleh Abdullah bin Sufyan

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/262 no 815 dan berkata

عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه

Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i  Al Wasithi meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak diikuti hadisnya.

Setelah itu Al Uqaili membawakan hadis riwayat Thabrani ini sebagai penegasan akan kedhaifan riwayat tersebut dan tidak layak untuk diikuti. Adz Dzahabi menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Adz Dzahabi juga memasukkan Abdullah bin Sufyan sebagai perawi dhaif dalam kitab Diwan Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 2187. Oleh karena itu sudah jelas riwayat Thabrani inipun tidak layak untuk dijadikan hujjah.

Selesai perkataan secondprince ......

TANGGAPAN KAMI :

Ada yang kurang dalam jarh dan ta'dil terhadap Abdurrahman bin Ziyad, yaitu :

Imam Tirmidzi berkata : "Aku melihat Muhammad memuji Al Ifriqi dengan kebaikan dan menguatkan perkaranya.
Oleh karena itu Al-Haafidh Ibnu Hajar menyimpulkan perkataan para ahli hadits terhadap ‘Abdurrahman bin Ziyaad Al-Ifriqiy rahimahullah dengan :“Lemah dalam jurusan hapalannya” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 578 no. 3887].

Adapun jarh yang terkesan bahwa Abdurahman sebagai seorang pendusta sehingga tercacat 'adalahnya adalah jarh yang berlebih-lebihan, dikarenakan hal ini disandarkan kepada Ibnu Hibban.

Pertanyaan sederhananya : Apakah ada riwayat orang tsiqah yang dipalsukan oleh Al Ifriqi ? Apakah ada ulama selain Ibnu Hibban yang menjarh 'adalah Al Ifriqi secara jelas ? Jawabannya : tidak ada !

Jadi, Abdurrahman bin Ziyad adalah seorang yang lemah dalam hafalannya.

Mengenai Abdullah bin Sufyan, jarh "tidak ada mutaba'ah", "kesendirian" merupakan jarh yang digunakan yang berkaitan dengan kelemahan hafalannya, bukan berkaitan dengan sifat 'adalah.

Dan juga dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Al Ifriqi dan Abdullah bin Sufyan bukan seorang yang majhul.

Sehingga dapat kita fahami bahwa kelemahan dalam hafalan mereka dan ke-tidak majhulan mereka, mengindikasikan bahwa mereka berdua tidak bermasalah dalam hal ke-'adalah-an.

Seorang yang yang bermasalah tentang 'adalah, maka tidak berguna baginya jarh "infirad" atau "tidak ada mutaba'ah", jarh tersebut hanya diperuntukkan bagi perawi yang tidak bermasalah dalam ke-'adalah-an.

Kesimpulannya, bahwa dua riwayat diatas diriwayatkan oleh dua orang yang tidak majhul, dan tsiqat, hanya lemah dari segi hafalannya, sehingga keduanya dapat saling menguatkan, menjadi riwayat yang hasan lighairihi, SAH DAN DITERIMA KEBERADAANNYA.

Telah datang bantahan dari secondprince ....

SP menulis :

Orang ini (yang dimaksud adalah saya) seolah-olah ingin mengesankan bahwa kami tidak mengetahui ada beberapa ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Orang ini juga ingin mengesankan bahwa kami hanya bertaklid buta pada jarh Ibnu Hibbaan.

Hal ini jelas tidak benar, kami mengetahui bahwa ada beberapa ulama yang menta’dilkan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Oleh karena itulah kami dalam tulisan sebelumnya menetapkan Ia sebagai perawi dhaif yang tidak bisa dijadikan hujjah tetapi dapat dijadikan i’tibar oleh perawi semisalnya atau yang lebih kuat darinya. Adanya sebagian ulama yang menta’dilkan hanya mengangkat derajatnya menjadi perawi dhaif yang bisa dijadikan i’tibar.

TANGGAPAN SAYA :

Awal bantahan second ini adalah awal yang baik, karena saya sependapat dengannya bahwa Al Ifriqi adalah PERAWI DHAIF YANG TIDAK BISA DIJADIKAN HUJJAH TETAPI DAPAT DIJADIKAN I'TIBAR.

Akan tetapi sayang, tulisan selanjutnya merupakan inkonsistensi dia terhadap pernyataannya sendiri diatas, darimana ilmu dia bahwa perawi yang dapat dijadikan i'tibar bermasalah terhadap 'adalah-nya.

SP menulis :

Dan tidaklah benar kalau kami melemahkan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy hanya berdasarkan jarh Ibnu Hibban. Diantara sebagian ulama yang menyatakan jarh terhadap Abdurrahman bin Ziyaad terdapat mereka yang memang menyatakan cacat pada ‘adalah-nya.
Ahmad bin Hanbal mendhaifkannya dan terkadang mengatakan tentangnya “tidak ada apa-apanya” terkadang mengatakan “mungkar al hadiits” bahkan melarang untuk menulis hadis darinya [Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 1529]. Larangan menulis hadis atau meriwayatkan darinya menunjukkan Ahmad bin Hanbal menyatakan cacat pada ‘adalah-nya
Ibnu Khiraasy mengatakan “matruk” dan Nasa’iy mengatakan “dhaif” [Tahdzib At Tahdzib 4/44 no 4508]. Jarh dengan lafaz “dhaif” dan lafaz “matruk” adalah jarh dari segi ‘adalah
Jadi sungguh tidak benar dakwaan yang secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah dalam hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.

TANGGAPAN SAYA :

Lihat dia, jarh "mungkarul hadits", "larangan menulis hadits darinya", "matruk", "dhaif", tidak mutlak bermasalah dalam segi 'adalahnya. Memang dapat berarti bermasalah dalam 'adalahnya, akan tetapi dapat pula berkenaan dengan masalah dari segi ke-dhabitan-nya, tergantung qarinahnya.

Dan dia sendiri telah menulis qarinah pembantahnya, yaitu : perkataan Shalih bin Muhammad berkata tentangnya Mungkarul Hadits, tetapi ia seorang yang SHALEH.

Sejak kapan orang yang SHALEH diperermasalahkan tentang ke-'adalah-annya ?

SP menulis :

Jadi sungguh tidak benar dakwaan yang secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah dalam hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.

Jika dilihat lebih teliti ucapan para ulama mutaqaddimin tentangnya tidak ada keterangan sharih atau lafaz yang sharih [jelas] bahwa Abdurrahman bin Ziyaad adalah orang yang lemah hafalannya. Hal ini adalah ijtihad sebagian ulama muta’akhirin seperti Ibnu Hajar yang melihat sebagian qaul ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad tetapi melemahkan hadisnya.

TANGGAPAN SAYA :

Alhamdulillah ternyata saya masih berdiri diatas kaedah ilmu, sehingga seorang ulama hadits-pun telah sesuai dengan pendapat saya.

SP menulis :

Padahal sebenarnya ternukil jarh mufassar dari sebagian ulama yang menunjukkan bahwa kelemahan dalam hadis Abdurrahman bin Ziyaad adalah karena ia banyak meriwayatkan hadis mungkar. Diantaranya ada Shalih bin Muhammad yang berkata tentangnya “mungkar al hadiits tetapi ia seorang yang shalih”. Sufyaan Ats Tsawriy yang mengatakan Abdurrahman bin Ziyaad merafa’kan hadis-hadis kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dimana tidak seorangpun dari ahli ilmu yang merafa’kan hadis tersebut. Abu Hasan bin Qaththan yang mengatakan bahwa yang benar ia dhaif karena banyak meriwayatkan hal-hal mungkar [Tahdzib At Tahdzib 4/44-45 no 4508].

TANGGAPAN SAYA :

Alhamdulillah, ternyata tidak hanya Imam Ibnu Hajar saja yang berpendapat seperti saya, ternyata Shalih bin Muhammad, Sufyan Ats Tsauri, dan Abu Hasan bin Qaththan, berpendapat bahwa kelemahan Al Ifriqi hanyalah karena meriwayatkan riwayat yang mungkar, dan ini maklum merupakan jarh dari segi ke-dhabitan. 

Hal ini pernah kita bahas dalam periwayatan Bakr bin Bakaar, bahwa berbeda antara jarh fulan perawi mungkar dengan fulan mungkarul hadits.

SP menulis :

Jadi ketika Ibnu Hibban mengatakan “ia meriwayatkan hadis maudhu’ dari para perawi tsiqat dan mendatangkan dari para perawi tsabit apa yang bukan dari hadis mereka” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581] hal itu bukanlah perkara yang mengherankan karena sebagian ulama telah menetapkan bahwa Abdurrahman bin Ziyaad banyak meriwayatkan hadis mungkar dan diantaranya hadis-hadis yang ia sandarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] padahal tidak ada satupun ahli ilmu yang menyandarkannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

TANGGAPAN SAYA :

Hal ini dapat terjadi akibat buruknya hafalan Al Ifriqi.

SP menulis :

Satu hal lagi yang menambah kedhaifan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy adalah ia seorang mudallis. Ibnu Hajar memasukkan namanya dalam mudallis thabaqat kelima
عبد الرحمن بن زياد بن أنعم ذكر بن حبان في الضعفاء أنه كان مدلسا وكذا وصفه به الدارقطني
‘Abdurrahman bin Ziyaad bin An’um, Ibnu Hibban menyebutkan dalam Adh Dhu’afa bahwa ia seorang mudallis dan demikian juga disifatkan oleh Daruquthniy [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar no 143]

Dan sudah maklum diketahui [sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya tersebut] bahwa mudallis thabaqat kelima adalah orang-orang yang memang dhaif karena hal lain selain tadlis maka hadis-hadis mereka ditolak walaupun mereka menyebutkan lafal sharih penyimakan hadisnya.

Ketika menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy seorang mudallis, Ibnu Hibban menyebutkan dengan lafaz “ia melakukan tadlis dari Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais Al Mashlub” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581]. Sedangkan Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais dikenal sebagai seorang yang zindiq dan pemalsu hadis. Ahmad bin Hanbal mengatakan ia pemalsu hadis. An Nasa’iy menggolongkannya kedalam pendusta dan dikenal pemalsu hadis. Ibnu Numair menyatakan ia pendusta pemalsu hadis. Daruquthniy berkata “matruk al hadiits”. Ibnu Hibban dan Abu Ahmad Al Hakim menyatakan ia pemalsu hadis [Tahdziib At Tahdziib 5/600-601 no 6982].

Hadis Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy di atas diriwayatkan olehnya dengan lafaz ‘an anah maka hal ini tidaklah selamat dari cacat tadlis. Bahkan dengan cacat ini juga riwayat itu tidak bisa dijadikan i’tibar karena bisa jadi lafaz ‘an anah itu adalah tadlisnya dari perawi dhaif, pendusta atau pemalsu hadis.

TANGGAPAN SAYA :

Sejak kapan riwayat mudalis tidak bisa dijadikan i'tibar ?

SP menulis :

Ucapan ini sangat jelas mengada-ada. Jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau jarh “tidak ada mutaba’ah dalam hadisnya” tidak mesti hanya berlaku bagi orang yang tidak bermasalah ‘adalah-nya. Seorang yang majhul atau dhaif pun bisa saja dikatakan dengan jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau “tidak ada mutaba’ah atas hadisnya”

Sebaik-baik bukti disini adalah sebagaimana tertera dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy : Asad bin ‘Atha’ seorang yang majhul, meriwayatkan dari Ikrimah hadis yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 6]

Hasan bin ‘Aliy Al Hamdaaniy majhuul juga tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya dan tidak dikenal kecuali dengannya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 282]

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan “majhul”.

TANGGAPAN SAYA :

Kacau betul bantahan orang ini, jelas harus dibedakan antara jarh "majhul, tidak ada mutaba'ahnya" dengan jarh "tidak ada mutaba'ahnya".

Jarh "majhul tidak ada mutaba'ahnya", lafal "majhul" menunjukkan identitas perawi, dan lafal "tidak ada mutaba'ahnya" menunjukkan status haditsnya.

Sedangkan jarh "tidak ada mutaba'ahnya", menunjukkan diketahuinya identitas perawi tersebut sebagai perawi yang lemah hafalannya sehingga haditsnya membutuhkan mutaba'ah.

SP menulis :

Bisyr bin Ibrahim Al Anshaariy meriwayatkan dari Al Auza’iy dengan hadis-hadis maudhu’, tidak memiliki mutaba’ah atas hadis-hadisnya tersebut [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 174]

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan ia meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ [palsu]

TANGGAPAN SAYA :

Sungguh mengherankan apabila bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain.

Meriwayatkan hadits-hadits palsu berbeda dengan membuat hadits palsu.

Yang pertama bisa karena dia pendusta atau bisa juga karena dia seorang yang buruk hafalannya sehingga menyampaikan sanadnya keliru.

Sedangkan yang kedua tidak syak lagi kalau perawi tersebut adalah pendusta.

Dalam kasus diatas bisa jadi Al Uqailiy tidak menjarh 'adalah Bisyr, hanya menjarh hadits-hadits Bisyr adalah lemah bila tidak ada mutaba'ahnya, dan bisa jadi menjadi kuat bila ada mutaba'ahnya. Dan setelah beliau teliti ternyata hadits-hadits tersebut tidak ada mutaba'ahnya.

Akan tetapi bila jarh-nya tidak murni (ada qarinah jarh lain) "tidak ada mutaba'ahnya", maka qarinah tersebutlah yang dipakai.

SP menulis :

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menukil Yahya bin Ma’in yang menyatakan Muththarih bin Yaziid dhaif tidak tsiqat [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1868]

TANGGAPAN SAYA :

Sekali lagi sungguh mengherankan apabila bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain. Tetapi bila ada jarh qarinah lain, maka jarh qarinah itulah yang dianggap.

Dan lagi sejak kapan "dhaif tidak tsiqat" merupakan mutlak jarh atas 'adalah ?

SP menulis :

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau disisi Al Bukhariy lafaz “mungkar al hadiits” berarti tidak halal meriwayatkan dari perawi tersebut  

TANGGAPAN SAYA :

Sekali lagi jarh "mungkarul hadits tidak ada mutaba'ahnya" berbeda dengan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya"

Untuk yang kesekian kalinya saya tegaskan, bahwa jarh murni "laa yuttaba'u biha" bermakna selain 'adalah kecuali kalau ada jarh yang lain.

Telah berlalu perkataan Imam Dzahabi bahwa Abdullah bin Sufyan adalah dhaif, bila dirangkai dengan jarh 'tidak ada mutaba'ahnya" menjadi jarh "dhaif tidak ada mutaba'ahnya", sehingga diketahui bahwa perawi ini hanya bermasalah dari segi hafalannya saja.

SP menulis :

Sungguh perkataan Abu Fulan (yang dimaksud adalah saya) ini tidak ada nilainya. Siapapun yang membaca kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy pada biografi Abdullah bin Sufyaan maka tidak akan mungkin menjadikan riwayatnya sebagai penguat. Mengapa? Karena Al Uqailiy sendiri telah menegaskan bahwa riwayat Abdullah bin Sufyaan itu tidak ada asalnya.

عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه حدثناسلم بن سهل الواسطي قال حدثني جدي وهب بن بقية الواسطي قال حدثنا عبد الله بسفيان عن يحيى بن سعيد الانصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار الا فرقة واحدة قيل يا رسول الله ما هذه الفرقة قال من كان على ما أنا عليه اليوم وأصحابي ليس له من حديث يحيى بن سعيد أصل وإنما يعرف هذا الحديث من حديث الافريقى
‘Abdullah bin Sufyaan Al Khuzaa’iy Al Waasithiy meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya. Telah menceritakan kepada kami Aslam bin Sahl Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepadaku kakekku Wahb bin Baqiyah  Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Dikatakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “siapakah golongan itu”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Apa yang Aku dan para Sahabat-Ku ada di atasnya pada hari ini”. Hadis ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid, dan sesungguhnya hanya dikenal hadis ini dari hadis Al Ifriqiy [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 817].

Dengan kata lain Al Uqailiy selaku periwayat hadis ini dan yang menuliskan biografi Abdullah bin Sufyaan menolak hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut sebagai penguat bagi hadis Al Ifriqiy. Bahkan Al Uqailiy menegaskan kalau hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid.

TANGGAPAN SAYA :

Pada intinya jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an, bisa karena buruk hafalannya, bisa karena majhul, bisa karena dhaif, bisa karena ikhtilath, bisa karena terputus, dll.

Sedangkan inti jarh Imam Al Uqailiy adalah "hadits ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Said" akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan.

Hal ini tidak berarti bahwa Al Uqailiy berpendapat bahwa riwayat Abdullah bin Sufyan tidak dapat dijadikan penguat riwayat Al Ifriqi, beliau hanya berpendapat tidak tsabit riwayat Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Said akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan dan yang tsabit adalah riwayat Al Ifriqi akan tetapi lemah.

Hal ini perlu dicermati, bahkan riwayat Abdullah bin Sufyan mempunyai mutaba'ah (syahid), yaitu riwayat Al Ifriqi.

SP menulis :

Kesimpulan : Hadis Al Ifriqiy dan hadis Abdullah bin Sufyaan di atas tidak bisa saling menguatkan maka kedudukannya adalah dhaif. Sungguh keliru orang yang mengatakan hadis tersebut saling menguatkan dan menjadi hasan lighairihi.

TANGGAPAN SAYA :

Telah berlalu kesepakatan kita, bahwa Al Ifriqi dapat dijadikan i'tibar.

Telah berlalu pembahasan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" merupakan mutlak merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an atau ke-ittisal-an sanad bukan jarh tentang 'adalah seorang perawi.
 
Sehingga kalau SP hendak melemahkan Abdullah bin Sufyan, hendaklah ia mendatang jarh tentang 'adalah beliau, jangan berasumsi dengan analogi-analogi yang tidak pas.

Oleh karena itu Abdullah bin Sufyan adalah perawi yang lemah dari sisi ke-dhabit-an, menjadi sah bila ada mutaba'ahnya (syahidnya), dan Alhamdulillah riwayat Al Ifriqi dapat dijadikan syahid atas riwayat Abdullah bin Sufyan.

Jadi kesimpulannya :

Al Ifriqi adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i'tibar, demikian pula Abdullah bin Sufyan adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i'tibar, sehingga saling menguatkan, menaikkan statusnya menjadi HASAN LIGHAIRIHI.