Friday, March 31, 2017

Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.


[Video] Nasehat Dari Ulama Kepada Da’i Salafy: Waspadalah Senang Untuk Tampil Di Televisi (YouTube), Sarana Berbahaya Memaparkan Diri Kepada Fitnah Ketenaran

Meneladani Para Ulama dalam Membaca dan Menulis

Ketika menyaksikan deretan buku yang saya miliki, saya menjadi semakin kagum dengan para ulama penulis buku-buku itu. Terutama ulama-ulama zaman dulu semisal Imam Ath-Thabari, Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Al-Jauzy, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Al-Qurthubi.
Mereka telah menulis ratusan hingga ribuan judul dan satu judulnya ada yang mencapai ratusan jilid buku. Imam Ath-Thabari, seorang ahli sejarah dan ahli tafsir terkemuka, membiasakan diri selama 40 tahun untuk menulis 40 lembar setiap hari. Setelah kematiannya, murid-muridnya menghitung apa yang ditulisnya setiap hari. Ternyata sejak beliau berusia baligh sampai meninggalnya, terhitung kurang lebih 14 lembar yang beliau tulis setiap hari.

Abu Ishaq asy-Syairazi telah menulis 100 jilid buku. Imam Ibnu Taimiyah menyelesaikan setiap buku dalam waktu satu minggu. Beliau pernah menulis satu buku penuh dalam satu kali duduk. Dan bukunya telah dijadikan referensi oleh lebih dari 1000 penulis.

Imam Ibnu al-Jauzy telah menulis 1000 judul buku dan satu bukunya ada yang mencapai 10 jilid. Kayu bekas penanya bisa dipakai untuk memanaskan air yang dipakai untuk memandikan jasadnya ketika meninggal.

Termasuk semangat yang menakjubkan pula adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di dunia yaitu al-Funun. Tahukah Anda berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan sebanyak 800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata: "Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz yang empat ratus lebih dari kitab tersebut."

Bisa Anda bayangkan betapa banyaknya tempat untuk meletakkan buku yang mereka tulis. Tidak perlu memiliki buku dari semua ulama yang saya sebut, satu saja di antaranya. Apakah kita memiliki buku di atas seratus? Dua ratus? Tiga ratus? Mungkin akan ada yang menjawab, tidak! Saya hanya memiliki buku puluhan saja. Yang lain lebih parah lagi, hanya memiliki belasan buku.

Bagaimana kita bisa mengisi hari-hari dengan ilmu jika buku yang kita miliki saja hanya puluhan atau bahkan belasan? Bagaimana kita bisa lebih semangat beramal saleh jika kita tidak berdekatan dengan buku? Para ulama itu tidak mungkin mampu banyak menulis dan beramal kecuali mereka mengoleksi banyak buku untuk mereka baca.

Berikut ini beberapa fakta yang dahsyat betapa banyaknya para ulama membaca buku:
Seorang tabib datang mengobati Abu Bakar Al Anbari (ilmuwan Islam yang banyak menulis buku), ketika sakitnya sudah teramat kritis. Kemudian tabib itu memeriksa air seninya, lalu berkata: “Tuan telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun, sebenarnya apa yang telah tuan lakukan?” Al-Anbari menjawab: “Aku baca setiap pekan sebanyak sepuluh ribu lembar.” (Washaaya wa Nasha’ih li Thalibil Ilmi, hlm. 14)

Syaikh Abdul Adim bercerita tentang Ishaq bin Ibrahim Al Muradi: “Saya belum pernah melihat dan mendengar orang yang lebih banyak kesibukannya, melebihi Ishak Al-Muradi. Beliau senantiasa terbenam dalam kesibukannya sepanjang siang hingga larut malam. Saya bertetangga dengan beliau. Rumah beliau dibangun setelah duabelas tahun rumahku berdiri. Setiap kali saya terjaga di keheningan malam, selalu terbias sinar lentera dari dalam rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu; bahkan sewaktu makan beliau selingi pula dengan membaca kitab-kitab.” (Imam Nawawi, Bustanul Arifin, hlm. 79)

Imam Asad bin Furat bercerita tentang dirinya yang berguru pada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani: “Pada aktu itu aku tinggal di bangsal sebuah rumah yang atasnya didiami oleh Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Setiap kali beliau turun “memperdengarkan ilmu” kepadaku, dan beliau menaruh sebuah cawan berisi air di depannya. Kemudian beliau mulai membaca. Apabila malam semakin larut dan beliau melihatku terserang kantuk, maka beliau mengambil air dengan tangan beliau dan dipercikkan ke wajahku sehingga aku pun terjaga. Begitulah yang selalu kami lakukan tiap hari, sehingga aku memperoleh apa yang aku maksudkan, yakni bekal ilmu dari beliau.” (Adz Dzahabi,Tadzkiratul Huffadz, hlm. 21).

Imam Ibnu Aqil Al-Hanbali, seorang pakar bahasa berkata: “Sungguh tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat pun umurku, bahwa ketika mulutku sudah tidak aktif bermudzakarah atau munadzarah, dan penglihatanku tidak kugunakan untuk menelaah, maka aku tetap mengaktifkan pikiranku, di saat aku sedang istirahat.”(Thabaqatul Hanabilah, jilid 1, hlm. 146)

Imam Fakhruddin Ar Razi, seorang ahli filsafat, tafsir, logika, dan kedokteran berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku menyayangkan waktu yang hilang tidak disibukkan untuk menimba ilmu, dan bahkan waktu makan; karena waktu dan zaman teramat agung.” (Al Kanani, Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim, hlm. 72)

Istri Imam Zuhri berkata tentang suaminya (seorang ahli hadits ternama, guru para Imam Madzhab): “Demi Allah, sesungguhnya kitab-kitab ini sangat menyakitkan saya sebagai seorang istri, melebihi sakit hatiku bila dimadu dengan tiga orang istri.” (ibid, hlm. 32)

Imam Al Juwaini, guru dari Imam Al Ghazali berkata: “Aku biasa tidak tidur dan makan. Aku tidur hanya bila kantuk menguasaiku baik malam maupun siang, dan aku makan hanya bila aku berselera, pada waktu apa pun. Kelezatan dan hiburan adalah sewaktu mengingat-ngingat ilmu dan mencari faedahnya dari ilmu macam apa pun.” (Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umr, Al-Ilmu Dharurotun Syar’iyyah)

Ya, membaca dan menelaah ilmu telah menjadi kelezatan dan hiburan bagi mereka. Seperti sebuah buku yang berjudul "Andaikan buku itu sepotong pizza" atau apapun makanan yang kita sukai kita akan melahapnya sampai habis. Sampai sisa-sisa makanan pada jaripun ikut kita jilat.

Bila kita melihat sebuah buku yang menarik perhatian kita, jangan sungkan-sungkan untuk membacanya. Bila waktu kita sangat singkat di toko buku namun kita masih ingin membacanya, jangan pelit untuk membelinya. Bila di dalam sebuah buku terdapat secercah cahaya hidayah, sungguh hidayah itu sangat mahal harganya. Buku adalah investasi bagi kita. Ia tidak meminta tetapi selalu ingin memberi. 

Banyaknya Karya Ulama dalam Tulisan


Bagaimanakah semangat para ulama dalam menulis? Ternyata mereka bisa menghasilkan beribu-ribu lembar bahkan jutaaan lembar. Ini karya mereka bagi umat Islam.

Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil  Ayil Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.
Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi  (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000 juz.
Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya.

[Dinukil dari kitab ‘Uluwul Himmah, karya Syaikh Muhammad Al Muqoddam]
Coba lihat bagaimana semangat para ulama dalam menulis. Artinya, mereka setiap saat selalu menyibukkan diri mereka dengan ilmu. Lihat saja Ibnul Jauzi, hasil karya beliau saja 2000 jilid. Belum lagi beliau membaca, ternyata telah mencapai 20.000 jilid yang dibaca. Kalau kita perkirakan 1 jilid adalah 300 lembar. Berarti yang telah dibaca oleh Ibnul Jauzi sekitar 6 juta lembar dan yang telah ditulis kisaran 600 ribu lembar. Bayangkan saja bagaimana semangat mereka dalam memanfaatkan waktu? Sungguh, di dalam kisah mereka yang sudah tiada terdapat teladan bagi kita yang masih hidup. Marilah kita menorehkan karya besar untuk umat Islam saat ini.
Jadilah orang yang manfaat bagi manusia. Dalam hadits disebutkan,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ
“Manusia yang paling dicintai di sisi Allah adalah yang banyak memberikan kemanfaatan bagi orang lain.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir, 12: 453).
Di antara faedah menulis bagi kita:
Menulis semakin menjaga ilmu.
Menulis semakin menambah ilmu.
Menulis semakin membawa faedah bagi orang banyak.
Menulis adalah bagian dari berdakwah dengan tulisan.
Semoga kita menjadi orang yang banyak memberikan jasa pada umat Islam di jagad raya.

@ Warung Makan Hercules, Pogung Kidul, Utara Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, 1 Rajab 1434 H

Rahasia Dibalik Produktivitas Menulis Para Ulama

Jika kita membaca sejarah kehidupan para ulama, akan kita dapatkan produktivitas mereka dalam beramal saleh. Mereka adalah ahli ibadah, juru dakwah, rajin menuntut ilmu, ditangan mereka kitab-kitab bermutu ditulis. Bagaimana mereka bisa sehebat itu? Di sepertiga malam mereka bangun untuk qiyamul lail, setelah itu mengerjakan shalat shubuh dan berdzikir hingga waktu dhuha. Setelah itu mereka mengajar atau menulis kitab. Di malam harinya mereka beribadah, membaca buku, atau menulis kitab. Jika ada waktu luang, mereka tidak pernah habiskan untuk hal yang tidak bermanfaat.

Subhanallah, di antara mereka terdapat nama Imam Ibnu al-Jauzy, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Katsir, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Asqolani, dan sebagainya. Jika mereka beribadah, sungguh sangat lama sekali; ruku’, sujud, dan berdirinya lama. Jika mereka sedang membaca kitab, mereka berkonsentrasi penuh sehingga kitab itu seolah telah memutuskan dirinya dari dunia luar. Jika mereka berdakwah, ratusan hingga ribuan orang asyik mendengar ceramahnya. Ia tidak hanya menyampaikan ilmu satu jam atau dua jam saja, tetapi dari pagi hingga sore dengan ketekunan yang luar biasa. Di antara mereka ada yang telah menulis puluhan hingga ratusan buku. Imam Jalaluddin as-Suyuti dikabarkan telah menulis 600 jilid. Imam Ibnu Taimiyah dikabarkan telah menulis 500 jilid. Sementara Imam Abu Bakar al-Anbari telah menulis 400 jilid. Subhanallah, sungguh sangat banyak karya tulis yang telah mereka buat.

Ibnu Aththar berkata, “Guru kami an-Nawawi menceritakan kepadaku bahwa beliau tidak pernah sama sekali menyia-nyiakan waktu, tidak di waktu malam atau siang bahkan sampai di jalan beliau terus dalam menelaah dan menghafal.”

Imam Ibnu Katsir mengatakan tentang Imam Ibnul Qayyim, “Beliau seorang yang bacaan al-Quran serta akhlaknya bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak bergeming.”

Imam Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlak shalihah. Jika telah usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untukdzikrullah hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa beban, maka akan didapat kedudukanimamah dalam hal din (agama).’”

Pada zaman itu, memperoleh buku sangatlah susah. Tidak seperti zaman sekarang. Di zaman sekarang, kita kebanjiran informasi. Seolah kita tidak perlu lagi mencari informasi, tetapi informasilah yang mencari kita. Dulu, kita hanya mengenal kuda dan unta untuk kendaraan darat, sekarang kita mengenal motor dan mobil. Jika dipikir-pikir, seharusnya zaman sekarang ini, kita dapat lebih produktif dalam berkarya. Jika kita menulis, maka karya tulis yang kita buat seharusnya lebih banyak daripada para penulis zaman dahulu. Bukan sebaliknya! Zaman sekarang ini kita serba cepat tapi lemah; ilmu cepat hafal tapi cepat pula hilangnya. Kita mengenal metode belajar cepat ala quantum learning dan accelerated learning. Kita dimanjakan oleh berbagai kemudahan yang pada akhirnya akar jati diri dan pengetahuan kita yang seharusnya menghujam ke bumi, tidak kuat, sehingga kita menjadi malas, mudah lupa, dan terkesan menunda-nunda pekerjaan.

Zaman dulu tidak ada komputer. Buku-buku yang mereka buat ditulis tangan. Kalau tidak karena ketekunan yang luar biasa, menulis dengan cara kuno seperti itu akan memakan waktu yang sangat lama. Kita membuat sebuah buku dengan mengetik di komputer saja sudah sangat lama, apalagi kita harus menulis buku dengan tulisan tangan! Bagus kalau dapat dibaca, tapi kalau tidak, bagaimana? Siapa yang mau membaca tulisan yang amburadul itu, yang penuh dengan coretan dan koreksian di sana-sini? Bagaimana mungkin pembacanya dapat mengerti? Mungkin memegang bukunya saja sudah tidak mau, apalagi membacanya!

Dahsyatnya Semangat Belajar Imam Ath Thabari


Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahberkata, "Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya. Pada suatu hari datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu dari ilmu Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang ilmu tersebut. Akhirnya, aku katakan kepadanya, Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah besok dan temui aku. Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari kitab tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli Arudh.''

Sungguh luar biasa Imam Ath-Thabari mampu memahami ilmu Arudh (tentang syair) hanya dalam waktu semalam!

Setidaknya ada 3 pelajaran yang saya dapatkan dari penuturan beliau di atas: Pertama, beliau tidak mengatakan apa yang beliau tidak ketahui. Maka, beliau pun menjawab tidak tahu ketika seseorang bertanya tentang sesuatu yang belum beliau ketahui. Ini adalah kejujuran sekaligus kerendahan hati beliau.

Kedua, beliau memberi kesempatan si penanya untuk datang besok. Kata-kata yang keluar dari lisan beliau ini menunjukkan kesungguhan dan tekad yang kuat untuk menguasai ilmu yang ditanyakan si penanya. Setelah itu, beliau benar-benar menghabiskan waktu yang pendek itu untuk memahami ilmu tersebut. Pada saat itu mungkin beliau tidur sebentar atau tidak sama sekali.

Ketiga, keadaan para ulama yang sibuk dengan ilmunya terutama di zaman keemasan Islam menunjukkan bahwa mereka sangat kaya ilmu. Mereka ibarat tambang yang terus digali dan diambil manfaatnya. Bila memahami satu ilmu saja bisa dikuasai dalam satu malam, bagaimana dengan waktu mereka yang tersisa dalam hidup mereka, berapa banyak ilmu yang pasti telah mereka kuasai? Tidaklah mengherankan jika para ulama pada saat itu seperti ensiklopedia yang berjalan. Mereka menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan.

Selain menguasai sejarah, tafsir Al-Qur'an, fikih, ushul fikih, dan hadits, Imam Ath-Thabari juga menguasai ilmu kedokteran. Pernah suatu ketika beliau meminta seorang dokter untuk mendiagnosa sakitnya. Sang dokter yang diminta malah menjawab, “Sesungguhnya aku tidak lebih pandai dalam ilmu kedokteran dari pada dirimu wahai Imam Besar.” Al Washaya adalah salah satu kitab kedokteran yang beliau tulis.

Bahtera Pena Para Ulama


Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ba’du :
Umat Islam mencapai kejayaannya, manakala para generasinya bekerja keras, tanpa kenal lelah untuk menggapai cita-citanya. Hal ini terbukti pada zaman keemasan Islam di mana para ulama telah menorehkan berbagai karya agung yang mereka toreh dengan keringat, air mata dan darah mereka. Karya-karya besar mereka sebagiannya sudah sampai kepada kita, sehingga kita bisa ikut merasakan manfaatnya yang begitu besar khususnya di dalam memahami ajaran agama kita.

Sebagai generasi yang datang terakhir, hendaknya kita mengambil pelajaran dari karya-karya tersebut, bagaimana mereka menorehnya, bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan yang besar tersebut, padahal kemampuan mereka sebagai manusia bisa dikatakan sama dengan kemampuan kita. Tetapi mereka bisa membuktikannya, sedang kita belum bisa membuktikannya. Apa yang membedakan antara mereka dengan kita ? Bukankah mereka adalah manusia yang juga makan dan minum sebagaimana kita makan dan minum ? Bahkan pada masa mereka sarana kehidupan sangat sederhana dan terbatas, sedang sarana kehidupan kita saat ini sangat banyak, beragam dan serba canggih ?

Dalam tulisan berikut ini, akan kita temukan bahwa mereka mampu berkarya, karena mereka mempunyai kemauan yang kuat dan cita-cita yang tinggi. Mereka benar-benar mengejar cita-cita tersebut dengan keringat, air mata dan darah. Mereka tinggalkan segala bentuk kesenangan yang membuaikan dan meninakbobokan, mereka tiggalkan segala bentuk permainan dan senda gurau yang melupakan, mereka tinggalkan segala bentuk kegiatan yang tidak mendukung cita-cita mereka. Mereka kerahkan seluruh potensi yang ada di dalam diri mereka, mereka bekerja semaksimal dan seoptimal mungkin. Mereka sangat menghargai waktu, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam untuk meraih cita-cita tersebut.

Tiada kata berhenti di dalam hidup mereka, tiada kata istirahat di dalam kegiatan mereka. Mereka terus bekerja, bergerak dan berkarya sampai ajal menyemput mereka. Salah seorang dari mereka, yaitu Imam Ahmad ketika ditanya oleh kawan-kawannya ; “ Wahai Imam…kenapa anda terus menerus belajar ? kenapa tidak istirahat sejenak ? “ . Beliau menjawab : “ wahai teman, istirahatnya nanti ketika kita di syurga “

Tak ayal karya-karya mereka telah memenuhi bumi ini, bagaikan udara yang memenuhi seluruh ruangan. Ibnu Aqil salah satu dari mereka yang memiliki karya tulis yang beraneka ragam dan yang paling spektakuler adalah kitab “ Al-Funun “, sebuah ensiklopedia yang  memuat beragam ilmu yang sangat berharga, terdapat di dalamnya berbagai macam nasehat, tafsir, fiqih, ushul fiqih, aqidah, bahasa Arab, sya’ir, sejarah,  bahkan juga hikayat.  Kitab “ Al-funun  “ ini terdiri dari 800 jilid. Kitab ini hanya salah satu karya beliau saja. Beliau juga mempunyai karya-karya lain yang sangat banyak. . Berkata Imam Ad- Dzahabi : ” Belum ada buku di dunia ini yang lebih tebal dari buku ” Al Funun ” .

Lain lagi dengan Ibnu Jauzi, seorang ulama yang menulis berbagai bidang ilmu dan buku-bukunya yang sangat banyak menghiasi perpustakaan Islam. Dalam kitab Tatimmatul Mukhtashor fi Akhbaril Basyar,  Ibnul Warid mengatakan : “ Bila lembaran-lembaran buku yang berhasil ditulis oleh Ibnul Jauzi dikumpulkan, lalu dikalkulasi dengan umur yang beliau miliki, maka ditetapkan bahwa beliau menulis dalam sehari sebanyak sembilan buah buku seukuran buku tulis.”  Diceritakan juga bahwa bekas rautan pena Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan mayat beliau, itupun masih tersisa. Setelah diadakan kalkulasi judul-judul tulisannya, ternyata karya Ibnul Jauzi mencapai 519 buku. Al-Muwafiq mengatakan bahwa Ibnul Jauzi senantiasa menulis dalam sehari setara empat buku tulis.

Seorang ulama mutakhirin Imam Muhammad bin Ali, atau yang lebih terkenal dengan Asy-Syaukani, pengarang kitab “ Nailul Authar “ adalah seorang ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul fiqh. Beliau dilahirkan pada tahun 1173 H di daerah Syaukan bagian dari wilayah Yaman, dan wafat tahun 1250 H. Beliau mewariskan 114 karya tulis.

Imam Abdul Hayyi Al-Laknawi Al-Hindi yang baru wafat sekitar 100 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1304 H. Dalam umurnya yang ke 39 tahun, tulisan beliau telah mencapai 110 kitab.

Syaikh India Maulana Hakimatul Ummah Asyraf Ali At-Tahanawi, yang wafat tahun 1362 H dalam usia 81 tahun. Beliau telah menghasilkan 1000 buah karya.

Kisah-kisah di atas menunjukkan kepada kita betapa besar dan banyaknya karya tulis mereka. Bisakah kita sebagai generasi penerus mengikuti jejak mereka ?

Menulis Apa Yang Ada Di Benak  

Para ulama menulis apa saja yang mereka dapatkan, dan menulis apa saja yang mereka miliki. Mereka tidak mau ilmu yang pernah mereka dapatkan berlalu begitu saja. Bahkan apa yang terlintas di dalam benak mereka, segera mereka tulis jangan sampai hilang, karena di dalamnya mengandung ide-ide yang cemerlang, sayang kalau dibuang begitu saja, karena kadang-kadang ide-ide tersebut tidak datang lagi. Lihat  umpamanya

Imam Bukhori, beliau pernah bangun dari tidurnya di suatu malam. Dia pun menyalakan lampu dan mencatat ilmunya yang terlintas di benaknya, lalu ia mematikan lampu kembali. Kemudian ia bangun lagi dan melakukan hal yang sama. Demikian, sampai hal itu terjadi kurang lebih dua puluh kali.

Muhammad bin Yusuf berkata, “Suatu malam, aku berada di rumah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhori. Aku memperhatikannya bangun, lalu ia menyalakan lampu untuk mengingat sesuatu, dan mencatatnya sebanyak delapan belas kali.”

Isma’il bin Ayyasy salah seorang ulama besar, ketika sedang sholat, beliau sempat menghentikan shalatnya, sekedar untuk menulis hadits. Beliau bercerita : “ Saat itu aku sedang shalat, maka aku pun membaca beberapa ayat. Lalu aku teringat sebuah hadits dalam salah satu bab yang aku keluarkan. Maka aku pun menghentikan shalat,  lalu aku segera menulisnya, dan kemudian aku kembali shalat.”

Suatu ketika Syaikh Alauddien masuk ke kamar mandi yang berada di pintu Az-Zahumah. Ketika di pertengahan mandi, beliau beranjak ke ujung kamar mandi tempat melepas pakaian pakaian. Beliau minta diambilkan tinta, pena dan kertas. Lalu beliau langsung menyusun tulisan dalam soal denyut nadi hingga selesai. Setelah itu beliau kembali ke kamar mandi dan menyempurnakan mandinya.”

Luar biasa bukan ? Bisakah kita mengikuti jejak mereka ? Saya teringat dengan kata-kata pepatah orang-orang dahulu :

إذا كانت النفوس كبارا       تعبت في مرادها الأجسام

“ Jika jiwa itu mempunyai cita-cita tinggi        Maka badan ini akan capai mengikuti kemauannya. ”

 Kapan Mereka Menulis  ?

Ketika kita mendapatkan karya para ulama yang begitu banyak dan menakjubkan, kadang-kadang timbul rasa penasaran di dalam benak kita : “ Kapan dan bagaimana mereka menulis “ ? Padahal kalau dilihat dari umur dan kesibukan mereka mengajar, sepertinya tidak mungkin mereka berkarya sebanyak itu, bahkan sebagian ulama jika dibandingkan banyak karya-karyanya dengan umur yang mereka miliki rasanya tidak sebanding, bahkan bisa dikatakan mustahil.

Tetapi setelah ditelusuri kehidupan mereka secara lebih mendetail, ternyata mereka telah menggunakan waktu mereka sebaik mungkin, mereka tidak rela sedetik waktu yang mereka miliki dibuang sia-sia tanpa ada kegiatan menulis.

Marilah kita tengok sebagian dari keahlian mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk berkarya dan menulis . 

Di Dalam Perjalanan.

Perjalanan banyak menyita waktu di dalam kehidupan manusia. Bahkan kehidupan di kota-kota besar seperti Jakarta, yang terkenal dengan kemacetannya. Membuat banyak orang stress, karena mereka harus berangkat kerja pagi- pagi benar, kemudian malam baru bisa pulang, mereka sering terjebak dalam kemacetan panjang, yang membuat umur mereka habis di jalan. Kapan mereka akan menulis dan berkarya ? 

Para ulama tidak mau kenal menyerah di dalam menempuh cita-cita mereka, di dalam perjalananpun mereka menyempatkan diri untuk berkarya dengan menggoreskan pena-pena mereka, mengukir ilmu, mewariskan banyak manfaat untuk kehidupan manusia.

Sa’id bin Jubair,  seorang tabi’in yang wafat tahun 95 H pernah berkata : “Aku berjalan bersama Ibnu Abbas di suatu jalan di Mekkah di malam hari. Beliau menyampaikan hadits kepadaku, dan aku menulisnya di tengah pelana unta. Sehingga datanglah waktu pagi, lalu aku menulisnya kembali.”

Sementara itu Ibnu Qayim al Jauziyah, konon di dalam perjalanan hajinya bisa menyelesaikan buku yang spektakuler tentang kehidupan dan petunjuk seorang nabi Muhammad saw yang diberinya judul “  Zaadul Ma’aad “ Buku ini terdiri dari enam jilid besar.

Suatu ketika seorang ulama Timur Tengah kontemporer yang hingga kini masih hidup. Dr. Yusuf Qardhawi datang ke Indonesia, dan ditanya tentang tulisan-tulisannya yang begitu banyak, sampai-sampai yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia mencapai 40 buku lebih. Beliau ditanya kapan menulis buku-bukui tersebut, beliau menjawab : “ Di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, atau dalam perjalan menuju ke tempat-tempat lain. “.

Pada 1950, Buya Hamka mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang beberapa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Anda juga bisa seperti mereka, ketika anda punya sopir pribadi, maka dalam perjalanan anda bisa mengetik dengan laptop atau alat tulis yang lebih kecil. Begitu juga ketika anda dalam perjalanan menggunakan angkutan umum seperti bis dan kereta, apalagi pesawat, jangan biarkan anda melamun atau bengong, tapi gunakanlah untuk membaca atau menulis. Kebanyakan orang sekarang mengisi kekosongan mereka  dalam perjalanan dengan bermain hp dan membuka internet, kenapa anda tidak gunakan untuk berkarya dan menulis ?  Di tengah-tengah kemacetan kenapa anda  tidak memnafaatkan untuk membaca, menghafal, merenung, berfikir, serta mencari ide-ide cemerlang ?  
Mengurangi Waktu Makan

Manusia hidup perlu makan. Tapi kadang proses untuk dapat makanan  banyak menyita waktu seseroang. Lihatlah ibu-ibu yang harus belanja sayur-sayuran ke pasar, beberapa jam mereka di pasar, kemudian setelah pulang mereka harus mengolahnya kemudian memasaknya. Berapa jam mereka membutuhkan waktu itu semua ? Bukankah untuk menyediakan makanan menyita banyak waktu dari hidup kita ?  Kapan ibu-ibu itu punya waktu untuk  menulis jika pekerjaan seharian terus-menerus seperti itu ?  Adakah cara yang lebih praktis dan efesien untuk mendapatkan makanan, sehingga sisa waktunya bisa dipakai untuk menulis dan berkarya ?

Para ulama mempunyai trik-trik sendiri untuk menghindari makan yang banyak menghabiskan waktu. Sebagai contoh kita dapatkan Ubaid bin Ya’is teryata untuk efesien waktu, beliau  tidak pernah makan dengan kedua tangannya sendiri. Beliau selalu disuapi saudaranya perempuan selama 30 tahun, karena sibuk menulis.

Ibnu Suhnun, seorang ulama Malikiyah yang sangat terkenal tersebut juga sering disuapi budaknya, karena tidak ada waktu untuk makan. Beliau sedang sibuk menyusun buku.

Diriwayatkan juga bahwa Abu Al Wafa’ bin Uqail Al Hambali adalah seorang ulama dari madzhab Hambali yang sangat ketat di dalam menjaga waktunya. Jika mulut , lidah , dan matanya capai karena banyaknya yang dibaca, dia terdiam merenung dan merancang apa saja yang perlu ditulis, maka ketika ia duduk atau berbaring, kecuali beliau telah menghasilkan banyak hal-hal yang bisa dicatat dalam buku. Bahkan beliau memilih-milih makanan yang paling praktis dan cepat dimakan, untuk kemudian sisa waktunya digunakan untuk membaca dan menulis.

Diriwayatkan bahwa beliau memilih roti  yang agak basah dari pada roti yang kering. Tentunya waktu untuk mengunyah roti yang basah jauh lebih sedikit dibanding waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah roti yang kering. Jeda waktu antara keduanya bisa beliau manfaatkan untuk membaca dan menulis. Subhanallah, tidak kaget kalau karya-karya beliau sampai 800 jilid lebih.  
Di Pengasingan dan Penjara

Imam Syamsudin As-Syarkhasi telah mampu menulis kitab “ Al Mabsuth “, sebuah buku spektakuler yang dijadikan rujukan ulama Hanafiyah. Buku ini terdiri dari 30 jilid besar, kebetulan saya mempunyai buku tersebut. Beliau menulis buku tersebut di dalam penjara dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya. Beliau dimasukkan penjara karena memberikan nasehat kepada salah satu penguasa pada waktu itu.

Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara, karena menyampaikan kebenaran apa adanya, banyak orang yang hasad kepadanya. Beliau difitnah sehingga dijebloskan penjara oleh penguasa.  Selama di dalam penjara, beliau manfaatkan untuk menulis. Tatkala beliau dijebloskan kembali ke dalam penjara yang berada di dalam benteng selama dua puluh bulan lebih, beliau dilarang untuk menulis dan menelaah kitab. Orang orang yang hasad dengan beliau tak membiarkan ada buku tulis maupun tinta di sisi beliau, karena tulisan-tulisannya bisa mempengaruhi banyak orang. Beliau dalam keadaan seperti itu beberapa bulan lamanya, sehingga beliau mulai berkonsentrasi untuk beribadah dengan membaca al-Qur’an, sholat tahajjud, serta berdzikir hingga beliau wafat.

Konon Buya Hamka, tokoh kelahiran Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908, ini hanya sempat masuk sekolah desa selama tiga tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) selama kurang lebih tiga tahun. Pada 27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh pemerintahan Soekarno. Dalam tahanan Orde Lama ini ia menyelesaikan kitab Tafsir al-Azhar (30 Juz). Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang.. Nama beliau dikenal luas berkat karya-karyanya. Tafsir yang beliau beri nama Tafsir Al Azhar tersebut sekarang menjadi rujukan masyarakat Indonesia dan Malaysia.

Sayyid Quthb, seorang tokoh Muslim yang juga berhasil menyelesaikan penulisan tafsir Alquran Fi Dzilalil Qur’an di dalam penjara.

Di Waktu Sepertiga Akhir Malam

Malam hari, khususnya sepertiga akhir malam merupakan waktu yang penuh barakah. Oleh karenanya, kita diperintahkan  bangun dari tidur untuk melaksanakan sholat tahajud dan bermunajat kepada Allah swt.  Para ulama menyebutkan jika seseorang bangun malam diberi dua pilihan antara sholat atau belajar.

Imam Al-Mufassir Abu Tsana’ Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Alusi Al-Baghdadi, seorang mufti sekaligus penutup para ahli tafsir, lahir pada tahun 1217 H dan wafat tahun 1270 H. Di setiap akhir malam beliau memanfaatkan untuk menulis lembaran demi lembaran tentang tafsir. Sehingga, pada keesokan pagi harinya, tulisan itu beliau serahkan kepada para juru tulis yang ditugaskan dirumah beliau. Mereka tidak mampu menyelesaikan tulisan itu secara baik, kecuali dalam rentang waktu sepuluh jam. Beliau terus saja menulis hingga saat sakit beliau yang terakhir.

Antara Sholat Lima Waktu

Allah swt telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melaksanakan sholat dalam lima waktu yang terpisah-pisah  dalam satu hari.   Barangsiapa yang mampu memanfaatkan waktu-waktu tersebut insya Allah akan diberkati amalannya. Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi telah berhasil memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk menulis. Setelah shalat shubuh , beliau mengajarkan al-Qur’an atau terkadang mengajarkan hadits. Lalu beliau berwudhu dan shalat sebanyak 300 rakaat dangan membaca al-fatihah dan mu’awwadzataini, hingga mendekati waktu dzuhur. Kemudian, beliau tidur ringan, lalu bangun untuk shalat dzuhur, dan kemudian sibuk menyimak atau menyalin tulisan hingga datang waktu maghrib.”
Menggunakan Sarana Yang Terjangkau  

Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam kitabnya Al-Intiqa fi Fadha’ilits Tsalasatil A’immatil fuqaha’  dengan sanadnya yang sampai kepada Imam Syafi’I, bahwa Imam Syafi’I menuturkan, “Aku tidak mempunyai harta. Aku menuntut ilmu dalam usia muda yaitu sebelum  13 tahun . Aku pergi ke kantor meminta kertas bekas untuk menulis.” Maksudnya, kertas bekas yang sebelahnya telah dipakai dan sebelahnya belum terpakai. Kemiskinan tidaklah menghalangi beliau, untuk terus menulis ilmu. Sehingga beliau termasuk Imam Madzhab yang paling banyak karyanya dibanding dengan ketiga imam madzhab yang lain.

Menulis tidak harus menunggu punya computer atau laptop, menulislah di buku-buku tulis, atau di kertas-kertas bekas, sebagaimana para ulama menulis. Menulis dengan bulpen, dengan pencil, dengan spidol, dengan apa saja, yang penting anda menulis.

Menulis Sambil Makan

Al-Hafidz Dzahabi berkata di dalam Tsadzkiratul Hufadz, tentang biografi Al-Hafidz Abu Bakar Abdullah Bin Imam Al-Hafidz Abu Daud As-Sijistani, ia berkata, “Aku memasuki kota kuffah dan hanya mempunyai uang satu dirham. Dengannya aku membeli 30 mud kacang-kacangan . Aku makan darinya dan menulis hadits dari Al-Asyaj –yakni Abdullah bin Sa’id Al-Kindi, ahli hadits kuffah-. Kacang-kacangan tersebut belum habis, hingga aku mampu menulis darinya 30.000 hadits , baik yang maqthu’ maupun yang mursal.”

Al-Barqani menuturkan, “ Aku memasuki kota Isfirayin, sedangkan aku berbekal uang tiga dinar dan satu dirham. Tiga dinar tersebut hilang, dan yang tersisa hanyalah satu dirham. Aku memberikannya kepada tukang roti. Setiap harinya aku menerima darinya dua potong roti. Aku mengambil satu jilid buku dari Bisyr bin Ahmad, lalu aku menyalinnya dan menyelesaikannya di petang hari. Aku telah menyalin 30 jilid kitab, sedangkan jatahku dari tukang roti telah habis. Maka, aku pun melanjutkan melanjutkan perjalanan.”

Menulis Cepat

Abu Isma’il Al-Anshari berkata : ” Seorang ahli hadits harus memiliki sifat cepat dalam berjalan, cepat dalam menulis, cepat dalam membaca.”  Perlu ditambah satu lagi, yaitu cepat dalam makan.

 Kenapa harus cepat berjalan ? Karena dengan cepat berjalan, waktu akan lebih efesien dan lebih cepat sampai kepada tujuan. Bisa diartikan lebih cepat kepada syekh atau guru, sehingga ilmu yang akan di dapat lebi banyak. Untuk zaman sekarang, bisa diterapkan dengan menggunakan pesawat, walaupun mahal sedikit, tapi bisa efesien waktu, apalagi di dalam perjalanan bisa dimanfaatkan untuk menulis.

Kenapa harus cepat menulis ? Karena seseorang yang bisa menulis cepat, berarti dia bisa menulis lebih banyak, sehingga menjadi produktif. Oleh karenanya dianjurkan bagi siapa saja yang ingin menulis, hendaknya dia menulis yang ada di dalam benaknya dan yang ia kuasai. Jika ingin menambahkan dari beberapa referensi, hendaknya mencari referensi yang terjangkau dan mudah dipahami, sehingga tidak menghambat proses penulisan.

Kenapa harus membaca cepat ? Karena dengan membaca cepat, maka maklumat yang ia dapatkan jauh lebih banyak, sehingga membantunya untuk mempercepat tulisannya. Karena tulisan seseorang tergantung kepada maklumat yang dimilikinya.

Kenapa cepat dalam makan ?  Kalau seseorang bisa makan cepat, waktu yang tersisa bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, terutama membaca dan menulis.  Di bawah ini dijelaskan bagaimana para ulama yang produktif, ternyata mereka menulis dengan cepat.

Imam Burhanuddin Ibrahim Ar-Rasyid berkata, “jika Ala’ bin Nafis ingin mengarang sebuah kitab, maka beliau pun meletakkan pena-pena yang telah dirautnya, lalu beliau berputar menghadapkan wajahnya kearah dinding. Kemudian beliau menulis dari berbagai ide yang terbetik dalam benaknya. Beliau menulis ibarat air yang mengalir. Bila penanya tumpul dan tidak jelas tulisannya, maka beliau mencampakkannya dan menggunakan yang lainnya, agar waktunya tidak terbuang untuk meraut pena yang tumpul .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam usia 57 tahun adalah beliau menghasilkan sekitar 500 jilid karya tulis. Beliau mampu mengarang dalam sehari sebanding dengan jumlah lembar tulisan seorang juru tulis pada zaman itu yang ditulis selama sepekan atau bahkan lebih banyak lagi. Biasanya saat menyampaikan fatwa, beliau mampu menulis sejumlah masalah dangan tulisan yang sangat cepat, disertai penjelasan dan penjabaran hal-hal yang sulit.

Dalam sehari semalam beliau mampu menulis masalah tafsir atau fiqih, atau masalah-masalah ushul fiqih, ushul kalam, dan tauhid, atau memberikan bantahan terhadap kalangan filosof dan ahli takwil, sekitar empat buku tulis atau lebih. Maka tak berlebihan jika karya beliau hingga sekarang mencapai 500 jilid. Dalam sejumlah masalah, beliau memiliki karya tersendiri. Beliau seorang yang pandai menulis secepat kilat dan laksana hujan deras yang tak henti-hentinya.

Beliau mampu menulis tentang satu masalah hingga tak ada batasnya. Beliau mampu menulis dua atau tiga lembar dalam sekali duduk. Syaikh Ibnu Qoyyim telah menulis sebuah risalah yang berisi nama-nama karya Ibnu Taimiyah, hingga mencapai 22 halaman.

Adalah Al- Khatib Al Baghdadi pernah berkata : ” Saya mendengar dari Al-Simsi yang menceritakan bahwa Ibnu Jarir At Tobari selama 40 tahun, menulis setiap harinya 40 lembar . Bahkan salah seorang murid Ibnu Jarir yang bernama  Al Farghani mengatakan bahwa para murid Ibnu Jarir telah mendata kehidupan beliau sejak baligh hingga meninggal dunia pada umur 86 tahun. Kemudian mereka mengumpulkan seluruh karya-karya beliau, dan jika dibandingkan dengan umur beliau, ternyata didapatkan bahwa beliau menulia setiap harinya 14 lembar. Dan ini tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang kecuali atas inayah Allah swt. Dan jika dihitung-hitung lembaran karya tulisnya maka didapatkan jumlahnya sekitar 358.000 lembar. Wallahu A’lam
Cipayung, Jakarta Timur,  26 Jumadil Ula 1432 H /30 April 2011 M

Ulama Kini, tak Banyak Menulis Buku

Oleh: Hannan Putra
Direktur Pusat Kajian Hadis, Dr KH Lutfi Fathullah mengatakan kemauan para cendekiawan Tanah Air untuk menulis masih kurang. Banyak ulama masyhur, tetapi mereka tak mempunyai karya buku. 



"Mestinya sudah banyak yang bisa menulis buku. Tapi, karya yang dihasilkan masih sangat minim. Ini sangat kita sayangkan," ungkap pakar hadis alumnus perguruan tinggi di Syria dan Yordania ini menjelaskan.

Di antara penyebabnya, kata Lutfi, banyak cendekiawan Muslim di Tanah Air yang merasa rendah diri untuk melahirkan buku. Ada yang tidak terbiasa menulis, ada pula yang terang-terangan tidak akan menyentuh dakwah bil kitabah ini. 

"Menulis itu bukan hal yang mudah. Banyak ulama yang hebat, tapi belum tentu mereka bisa menulis. Banyak juga yang merasa dirinya belum pantas untuk menulis," ujar Kiai Lutfi menerangkan.

"Banyak yang merasa dirinya dari awal, Ente belum berhak untuk menulis. Padahal, menulis itu dibiasakan. Tak perlu menulis sesuatu yang berat dulu, tapi mulailah dari pembahasan yang sederhana dan ringan-ringan," katanya.

Selain itu, para pelajar Islam membatasi diri dengan buku-buku yang sudah ada. Mereka dimanjakan dengan pembahasan-pembahasan ulama terdahulu yang dianggap sudah terlalu komplet menuntaskan khazanah keilmuan Islam. 

"Kita terlalu mengandalkan buatan orang. Kita mencukupkan diri dengan membaca buku-buku yang sudah ada. Mengapa kita tidak menulis dan membaca buku-buku karya kita sendiri?" ujarnya menjelaskan.

Putra Buya Hamka, Irfan Hamka, menambahkan, para cendekiawan sekarang harus banyak belajar dari ulama zaman dulu soal penulisan buku. Zaman dulu, para ulama menulis buku dengan manual dengan segala keterbatasan. Namun, karya yang bisa mereka lahirkan sangatlah banyak.

"Zaman dulu, 500-1.000 tahun lalu, para ulama itu saling berlomba untuk melahirkan buku. Mereka saling bersilaturahim dan sering berdiskusi soal agama. Kemudian, itu tidak lewat begitu saja. Mereka tuangkan itu dalam tulisan," ujar Irfan.

Irfan menambahkan, ulama dahulu sangat menjunjung tinggi idealisme mereka sebagai Muslim. "Lihat buku-buku yang dihasilkan. Mereka tegas, mana yang halal dan mana yang haram. Kode etik mengenai khilafiyah saja misalkan. Itu ketat sekali," paparnya.

Seperti sang ayah, Buya Hamka. Dalam berbagai karya buku yang dihasilkan Buya terkesan tegas jika menyangkut persoalan hukum Islam.

"Buya Hamka itu tergolong ulama yang tidak mau main-main. Mana yang dia anggap tidak tepat, dia tidak mau lakukan. Buya Hamka tidak mau mencampuradukkan," katanya menjelaskan.

Ketika Pasukan Tartar Menjadikan Buku Para Ulama Sebagai Tempat Penyeberangan

mongol

Ketika pasukan Tartar (Mongolia) –yang dipimpin Hulagu Khan- menaklukkan Baghdad (656H/1258 M), kavalerinya membuang buku-buku yang berada di perpustakaan Bagdhad ke sungai Tigris. Buku yang berjumlah banyak tersebut,  dijadikan jembatan penyebrangan dari arah Barat ke Timur (baca: Rāghib al-Sirjāni , Qisshatu al-Tatār min al-Bidāyah ila `Ain Jālūt, 161-162).
Bayangkan, luas sungai Tigris yang hampir sama dengan Nil (kedalamannya mencapai 10-11 meter) itu, dipenuhi buku untuk dijadikan jembatan.
Anda bisa membayangkan berapa besar jumlah buku yang ada saat itu. Ada satu kata kunci untuk memahami cerita tersebut, yaitu: produktivitas tulisan para ulama.
Banyaknya buku yang tersimpan diperpustakaan Baghdad adalah salah satu bukti prokdutivitas ulama dalam bidang kepenulisan.
Dalam sejarah Islam, begitu banyak contoh mengenai produktivitas ulama dalam hal menulis di antaranya: Ibnu Jarir At-Thabari, karangannya berjumlah 358 ribu lembar, dalam sehari ia mampu menulis sebanyak 40 lembar ( dalam Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, Abdu al-Fattah Abu Ghuddah, 43).
Imam Ibnu Jauzi meninggalkan karya sebanyak lima ratus buku ( dalam Qimatu al-Zaman, 56). Abu Bakar al-Bāqalāni tidak tidur hingga menulis 35 lembar (Qimatu al-Zaman, 86) dan ulama lainnya.
Itu hanya contoh kecil dari sekian banyak contoh produktivitas ulama dalam bidang tulisan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah, “Mengapa mereka bisa produktif di zaman yang fasilitas untuk menulis begitu ala kadarnya, hanya tinta dan kertas.  Pada zaman itu, untuk menggandakan buku saja harus ditulis ulang secara manual?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini akan dijelaskan secara gambalang –melalui kaca mata historis peradaban Islam- tentang rahasia produktivitas ulama dalam bidang tulisan. Di antara rahasianya ialah:
Pertama, para ulama menulis didasari keikhlasan sebagai investasi akhirat (dakwah). Dalam hadits disebutkan, bahwa mereka adalah pewaris para Nabi (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Turmudzi).
Bagi mereka menulis bukan sekadar urusan hobi, karena mereka adalah penerus estafeta perjuangan para Nabi, maka menulis adalah urusan investasi akhirat.
Kedua, manajemen waktu yang mantap dan brilian. Mereka sadar betul bahwa waktu adalah nafas kehidupan. Sehingga, memanfaatkannya adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang ingin sukses. Sebagai contoh riil-tanpa bermaksud membatasi-, Ibnu Jarir At-Thabari yang mampu menulis 40 lembar tulisan dalam sehari sangat pandai dalam mengatur waktu.
Muridnya sendiri –al-Qadhi Abi Bakar bin Kamil-memberi kesaksian bahwa beliau mempunyai waktu khusus untuk menulis dari ba`da Dzuhur hingga Ashar (baca: Qīmatu al-Zaman, hal. 44). Bahkan, menjelang meninggal pun ia menyempatkan diri untuk mencatat ilmu(hal. 44).
Ibnu Rusyd –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan mala-malamnya, kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali dua malam saja: Pertama, waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam pengantin (baca: Kaifa Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni).
Lebih dari itu, ada cerita unik mengenai Tsa`lab al-Nahwi (Ahmad bin Yahya al-Syaibani), di antara sebab wafatnya ialah karena ditabrak kuda ketika membaca buku hingga jatuh ke jurang (baca: wafayātu al-A`yān, Ibnu Khillikan, 1/104).
Kakek Ibnu Taimiyah pun juga sangat bagus dalam manajemen waktu. Ia minta dibacakan buku ketika sedang buang hajat, supaya waktunya tidak sia-sia (baca: Dzailu Thabaqāt al-Hanābilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 2/249).
Cerita-cerita tersebut,  menunjukkan bahwa mereka sangan pandai mengatur waktu. Sehingga, wajar kalau mereka sangat produktiv menulis. Bagi siapa saja yang ingin produktiv menulis, maka tak ayal lagi harus menapaktilasi jejak mereka dalam manajemen waktu.
Ketiga, apresiasi negara yang begitu tinggi pada penulis.
Khalifah Ma`mun –selaku Khalifah Daulah Abbasiyah-misalnya, memberi imbalan emas bagi para penerjemah buku (baca: `Uyūnu al-Anbā`, Ibnu Abi Ushaibah, 2/133).
Para penulis pada masa itu sangat didukung dan dihargai oleh negara, sehingga produktivitas menulis sedemikian tinggi. Salah satu bukti produktivitas mereka bisa dilihat dari banyaknya perpustakaan.
Pada masa keemasan Islam, perpustakaan sudah menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa, kota, di rumah sakit dan lain sebagainya. Waktu itu perpustakaan dibagi menjadi lima bagian: Pertama, perpustakaan akademis. Kedua, pribadi. Ketiga, umum. Keempat, sekolah. Kelima, perpustakaan masjid dan universitas (baca: Rāghib al-Sirjāni, Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-`Ālam Ishāmātu al-Muslimīn fī al-Hadhārah al-Insāniyah,hal. 224-225)..
Di antara contoh perpustakaan besar dalam Islam ialah: Perpustakaan Baghdad (yang jumlahnya sangat banyak, sampai-sampai bisa dibuat jembatan oleh Tartar).
Perpustakaan Darul `Ilm Kairo (Setiap bagian berisi 18000 buku) lebih dari tujuh ratus ribu kitab. Perpustakaan Cordova (berisi setengah juta kitab) Perpustakaan Tripoli (baca: Kaifa Tushbihu `Āliman, Raghib al-Sirjani).
Ada juga perpustakaan koleksi pribadi. Sebagai contoh, Abu al-Fadhl bin al-`Amīd, ketika dia mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia membutuhkan seratus unta untuk mengangkatnya.
Al-Shahib bin `Abbād, menurut penuturan Gustav Lobon atau Will Durent: “Perpustakaan al-Shahib bin `Abbād, pada abad keempat hijriah berisi lebih dari buku-buku yang ada di semua negara Eropa.
Dari paparan di atas, kita bisa mengetahu bahwa ada tiga hal mendasar di balik produktivitas ulama dalam bidang tulisan:
Pertama, keikhlasan.
Mereka menulis dalam rangka investasi akhirat, bukan mencari sekadar dunia atau sanjungan umat.
Kedua, mereka sangat pandai dalam manajemen waktu.
Ketiga, adanya apresiasi dan kontribusi negara.
Bila ketiga hal tersebut saling bersinergi, maka produktivitas ulama dalam bidang tulisan akan kembali bangkit.
Kalau diamati secara cermat, problem umat Islam sekarang ini, terkait dengan lesuhnya produktivitas ulama dalam bidang tulisan, diakibatkan banyaknya orang menulis bukan dalam rangka investasi akhirat, tapi orientasi keduniaan.
Di samping itu, tidak pandai menghargai waktu. Dan yang terpenting, negara sebagai lembaga paling strategis dalam mengembangkan produktivitas, kurang apresiatif dalam menghargai karya-karya penulis.
Mudah-mudahan, dengan mengetahui rahasia produktivitas ulama dalam bidang tulisan, kita sebagai umat Islam, kembali bisa produktiv, sehingga nilai-nilai luhur Islam bisa tersebar ke seantero alam. Bukan saja tersebar secara lisan, namun juga tulisan. Apalagi di era perkembangan  teknologi-informasi seperti sekarang ini, keinginan itu sangat riil, bukan mustahil. Wallahu a`lam bi al-Shawab.*
*Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc (Penulis adalah penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014)
sumber: hidayatullah.com

Syaikh Prof. Sayyid Sabiq: Faqih Abad ke-20

Fikih Sunnah adalah karya beliau yang paling terkenal. Karya beliau ini bermula ketika beliau rutin menulis majalah Ikhwanul Muslimin. Beliau mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme madzhab tetapi tidak menjelek-jelekkannya. Ia berpegang kepada dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’, mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk pembaca, menghindari istilah-istilah yang runyam, tidak memperlebar dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat agar mereka cinta agama dan menerimanya. Beliau juga antusias untuk menjelaskan hikmah dari pembebanan syari’at (taklif) dengan meneladani Al-Qur’an dalam memberikan alasan hukum.

Juz pertama dari kitab beliau yang terkenal “Fikih Sunnah” diterbitkan pada tahun 40-an di abad 20. Ia merupakan sebuah risalah dalam ukuran kecil dan hanya memuat fiqih thaharah. Pada mukaddimahnya diberi sambutan oleh Imam Hasan Al-Banna yang memuji manhaj (metode) Sayyid Sabiq dalam penulisan, cara penyajian yang bagus dan upayanya agar orang mencintai bukunya.

Setelah itu, Sayyid Sabiq terus menulis dan dalam waktu tertentu mengeluarkan juz yang sama ukurannya dengan yang pertama sebagai kelanjutan dari buku sebelumnya hingga akhirnya berhasil diterbitkan 14 juz. Kemudian dijilid menjadi 3 juz besar. Belaiu terus mengarang bukunya itu hingga mencapai selama 20 tahun seperti yang dituturkan salah seorang muridnya, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi.

Kita menyaksikan dalam buku Fikih Sunnah tampak kepakaran, kecerdasan, dan kejeniusan seorang Sayyid Sabiq. Tidak heran banyak ulama kontemporer menyarankan untuk mempelajari buku ini. Syaikh Muhammad Al-Ghazali menjuluki Syaikh Sayid Sabiq sebagai orang yang paling faqih di abad ke 20. Beliau menjadi tempat rujukan ulama-ulama besar termasuk Syaikh Mutawalli Sya’rawi. Bahkan saking populernya buku Fikih Sunnah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani merasa terpanggil untuk mentakhrij hadits-hadits yang ada di dalam kitab tersebut, sehingga kitab tersebut semakin berbobot di mata umat. Selain Fikih Sunnah 3 jilid, beliau juga menulis beberapa buku seperti Aqidah Islamiyah dan Islamuna.



Menuntut ilmu agama haruslah diiringi dengan ketakwaan. Karena jika telah memperoleh banyak ilmu, biasanya timbul dalam hati perasaan ujub. Sedangkan ketakwaan membawa hati tetap tawadhu. Bahwa di atasnya masih ada orang yang lebih tinggi ilmunya. Dan semua ilmu pada akhirnya adalah milik Allah Azza wa Jalla.

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)

Kemunduran Ilmu Islam di Luar Wilayah Jazirah Arab


Penyusun kitab-kitab hadits paling terkenal ternyata bukan berasal dari kawasan Jazirah Arab. Yaitu, kawasan di mana terdapat tujuh negara di dalamnya: Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, UEA, Qatar, dan Bahrain.

Imam Bukhari lahir di kota Bukhara, Uzbekistan. Imam Muslim, Imam Al Hakim, dan Imam Al Baihaqi lahir di kota Naisabur Iran. Imam Abu Daud lahir di kota Sijistan (daerah antara Iran dan Afghanistan). Imam Tirmidzi lahir di kota Tirmidz, Iran. Imam Ibnu Majah lahir di kota Qazwin Iran. Imam An Nasa’i lahir di Nasa’, salah satu kota di Khurasan Iran. Imam Ad Darimi lahir di daerah Darim, Samarkand, Uzbekistan.

Saya memahami pesan ini sebagai berikut: Para penguasa muslim pada waktu itu bukan sekedar menaklukan wilayah musuh tetapi juga turut menyebarkan Islam dan bahasa Arab. Hal ini mendorong bahasa Arab menjadi bahasa resmi kaum muslimin. Kalaupun ada bahasa non Arab, dapat disebut sebagai bahasa daerah, seperti bahasa sunda atau bahasa jawa di Indonesia.

Bila dibandingkan saat ini, di mana wilayah Islam terpecah-belah atau tidak berdiri tunggal dalam satu kekuasaan khilafah, bahasa pun ikut-ikutan terpecah. Bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa resmi. Bahasa nomer dua pun bukan. Di masyarakat pada umumnya lebih senang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Jadi bahasa Arab entah berada di kedudukan ke berapa. Yang di maksud bahasa Arab hanyalah bahasa orang jazirah Arab.

Dengan keadaan ini, kecil kemungkinan orang-orang di non-Arab menjadi ulama besar. Padahal di masa kejayaan Islam, sumbangsih orang non Arab terhadap ilmu pengetahuan sangat besar. Bahkan mungkin saja lebih besar daripada orang Arab itu sendiri. Selain ahli-ahli hadits di atas, terdapat banyak ahli ilmu lainnya yang bukan berasal dari Arab. Misalnya Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Biruni, dan Ar Razi.


Dawud At-Tha’i rahimahullah memakan alfatit (roti yang dibasahi dengan air). Dia tidak memakan roti kering (tanpa dibasahi). Pembantunya bertanya, “Apakah anda tidak berhasrat makan roti kering?” Dawud menjawab, “Saya mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca 50 ayat antara memakan roti kering dan basah.” (Sifatus Shafwah, 3/92)

Ibnu Aqil berkata, “Aku menyingkat semaksimal mungkin waktu-waktu makan, sehingga aku lebih memilih memakan kue kering yang dicelup ke dalam air (dimakan sambil dibasahi) daripada memakan roti kering, karena selisih waktu mengunyahnya (waktu dalam mencelup kue dengan air lebih pendek daripada waktu memakan roti kering) bisa aku gunakan untuk membaca dan menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” (Dia melakukan hal itu supaya bisa memanfaatkan waktu lebih). (Dzailut Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab,1/177)

Imam Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Imam Ibnu Aqil telah menulis satu judul kitab dengan tebal 800 jilid. Sebuah maha karya yang belum ada bandingannya dari segi jumlah.

Belajar dari Semangat Menulis Imam Jalaluddin As Suyuthi


Imam Jalaluddin As Suyuthi adalah salah satu ulama yang produktif dalam menulis. Dikabarkan karya tulisnya mencapai 600 judul dalam berbagai disiplin ilmu mulai dari hadits, tafsir, Fiqh, Ushul Fiqh, bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, sirah Nabawiyah, dan Tarikh. Jadi boleh dikatakan beliau adalah salah seorang ulama yang paling produktif menulis dalam sejarah Islam.

Begitu usianya menginjak 40 tahun, ia segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang. Beliau berdiam diri di dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah Al-Miqyas dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan kirinya selama seminggu.
****
Imam Jalaluddin As Suyuthi hidup di zaman kekuasaan Islam mulai melemah. Penghancuran kekhalifahan Abbasiyah beserta asset intelektualnya oleh tentara Mongol sedikit banyak telah menyumbang pelemahan ini. Sebagai salah seorang ulama yang memiliki ilmu yang tinggi dan wawasan yang luas, Imam As Suyuthi turut merasakan pelemahan ini. Beliau kemudian terpanggil untuk menghimpun kembali warisan ilmiah umat Islam yang banyak tercecer di berbagai belahan dunia Islam. Beliau melihat warisan ilmiah di masa lampau adalah ibarat harta karun yang sangat bernilai harganya dan bisa digunakan untuk meraih kemuliaan Islam dan kaum muslimin, sebagaimana yang telah diraih pendahulu-pendahulunya. Jika warisan itu tidak diperoleh, berarti umat Islam akan terputus dari sejarah masa lalunya yang sangat istimewa dan berharga itu.

Di masa mudanya beliau begitu gigih dalam menuntut ilmu. Guru tempat beliau menuntut ilmu mencapai ratusan orang dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Dari sana beliau banyak memperoleh ilmu yang bermanfaat. Dan lalu ilmu-ilmu itu beliau himpun dalam buku-buku yang beliau tulis. Ada dua hal yang paling menonjol yang tampak dari karya-karya tulis beliau: Pertama, beliau banyak menghimpun kutipan-kutipan atau pendapat-pendapat dari masa lalu yang kemudian beliau gabung-gabungkan sesuai dengan tema buku yang beliau tulis sambil sesekali beliau mengomentarinya. Kedua, beliau banyak meringkas buku-buku yang berjilid-jilid tebalnya hingga satu-dua jilid saja, sehingga umat islam pada umumnya dan para pelajar pada khususnya dapat memperoleh gambaran tentang isi buku aslinya.

Jadi, Imam As-Suyuthi ibarat jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Beliau berusaha dengan sekuat tenaga menyelamatkan warisan intelektual umat Islam masa lampau untuk dimanfaatkan di masanya dan masa yang akan datang. Sehingga kemudian banyak umat Islam mengetahui ilmu yang sangat bermanfaat, yang semula disangka "hilang", yaitu dari buku-buku yang beliau tulis.

Hikmah dan pelajaran
Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Demikianlah Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. berkata. Ilmu akan hilang bila kita tidak segera menuliskannya. Imam As Suyuthi telah menjadi contoh bagaimana beliau telah banyak menulis. Dari buku-buku yang beliau tulis itu, beliau telah memberikan kepada kita warisan ilmiah yang melimpah dan bermanfaat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. bahwa salah satu amal jariyah adalah ilmu yang bermanfaat, maka menulis adalah amal jariyah karena menulis adalah bagian dari ilmu yang bermanfaat. Jadi, sungguh beruntung para penulis itu karena mereka akan mendapatkan pahala yang terus menerus mengalir untuknya meskipun dirinya sudah meninggal dunia.

Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya



Sudah 20 kali Imam Bukhari terbangun dari tidur malamnya. Beliau mencatat ilmu yang terlintas di dalam pikirannya. Ilmu seringkali tidak datang dalam satu waktu. Tapi mungkin berjarak.Maka, beliaupun berusaha mengikatnya lewat tulisan. Alangkah meruginya orang diberi Allah ilmu dan hikmah, tapi tidak mengikatnya lewat tulisan. Karena hikmah itu barang yang mahal harganya; diberikan Allah kepada orang tertentu saja.
"Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran." (QS. Al Baqarah:269)
Saya tidak heran bila begini adanya tingkah laku ulama memperlakukan ilmu. Lihatlah kitab-kitab yang mereka tulis. Lihatlah kitab-kitab yang ditulis Imam Bukhari, jangan dikira hanya Al Jami Ash Shahih dan Adabul Mufrad saja. Tapi masih banyak kitab lainnya. Lihatlah Tafsir Ath Thabari berapa banyak halamannya, 26 jilid. Cukup disitu beliau menulis? Ternyata tidak. Beliau menulis kitab Tarikhnya sebanyak 6 jilid. Apa berhenti juga sampai disitu? Ternyata juga tidak. Yang pasti, menurut penelitian ulama, jika dikumpulkan semua karya beliau, maka hasilnya: selama 40 tahun, beliau menulis rata-rata 40 lembar setiap harinya. Subhanallah!
Foto: kitab tarikh al islam 53 jilid yang ditulis Imam Adz Dzahabi. Sumber wikipedia

Tetap Produktif Menjelang Wafat


Imam Ibnu Al Jauzy berkata, “Orang berakal adalah yang tahu bahwa dunia ini tidak diciptakan hanya untuk mencari kesenangan, karenanya dalam kondisi apa pun ia harus konsisten dalam menggunakan waktunya secara tepat.”

Sungguh sebuah ungkapan yang menarik. Dalam kondisi apapun kita harus konsisten menggunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, tak terkecuali disaat kita sakit hingga menjelang wafat. Para ulama kita dibawah ini telah memberikan contoh yang baik bagaimana mereka tetap konsisten dalam menjaga waktunya meskipun mereka saat itu sedang sakit berat yang berujung pada kematian.

Ibrahim bin al-Jarrah berkata, Imam Abu Yusuf Al-Qadhi rahimahullah sedang sakit. Saya pun menjenguknya. Saat itu dia tidak sadarkan diri. Ketika terjaga, beliau lalu bersandar dan mengatakan, "Hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?' Saya menjawab, 'Dalam kondisi seperti ini?' Dia mengatakan, "Tidak mengapa, kita terus belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karena kita memecahkan masalah ini." Lalu saya pulang, ketika baru sampai rumah, saya mendengar kabar bahwa beliau telah wafat.

Ibnu Asy Syahnah adalah seorang hafidz hadits yang bermadzhab Hanafi yang memiliki umur lebih dari 100 tahun dan masih mampu melaksanakan puasa Ramadhan dan 6 hari setelah Syawal di usia 100 tahun.

Sehari sebelum wafatnya ulama Damaskus ini, murid beliau Muhibbuddin bin Muhib membaca Shahih Al Bukhari di hadapan beliau. Kemudian di keesokan harinya di waktu dhuha beliau kembali menyimak As Shahih dan wafat sesaat sebelum dhuhur tahun 730 H. (Dzail Tadzkirah Al Huffadz, hal. 134-135)

Ibnu Malik, ulama nahwu memiliki semangat yang cukup tinggi dalam mencari ilmu. Hal ini tercermin dari kesungguhan beliau menghafal ilmu meskipun ajal hendak menjemput. Dimana beliau sempat menghafal delapan bait ilmu, di hari wafatnya beliau. Di saat beliau sedang sakit keras, putranya membantu mendiktekan bait tersebut (Nafh At Thayib, 2/222, 229).

Abu Hasan Al Walwaliji pada tahun 440 H, menjenguk Abu Raihan Al Biruni, seorang ahli falak dan sastrawan di zaman itu. Ulama ini sakit keras di tengah usianya yang mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya terdengar mengorok di tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam keadaan demikian, beliau mengatakan kepada Al Walwaliji,"Apa yang pernah engkau katakan kepadaku pada suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah (nenek dari jalur ibu)?"

"Apakah dalam kondisi seperti ini pantas (membahas hal itu)?" Jawab Al Walwaliji, menaruh belas kasihan. "Wahai Al Walwaliji, saya meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui masalah ini, lebih baik daripada saya meninggalkannya dalam keadaan jahil terhadapnya."

Akhirnya Al Walwaliji mengulangi apa yang pernah beliau sampaikan sebelumnya. Dan Abu Raihan pun menghafalnya. Tidak lama kemudian, Al Walwaliji keluar, dan saat di jalan beliau mendengar teriakan. Ternyata Abu Raihan telah wafat. Rahimahullah Ta’ala. (Mu’jam Al Udaba`, 17/181,182).

Al-Jariri berkata, "Saya berada di kepala Junaid ketika menjelang kematiannya. Pada saat itu dia sedang membaca Al-Qur’an dan saya berkata kepadanya,"Kasihanilah dirimu.”"(yakni, jangan engkau memberatkan dirimu dengan membaca Al-Qur’an pada saat menjemput). Dia menjawab,"Apakah ada orang yang lebih membutuhkan pahala dariku pada saat seperti ini, dan inilah diriku. Buku catatan amalku hampir ditutup." Al-Jariri berkata,"Junaid telah mengkhatamkan Al-Qur’an, dia kemudian memulai lagi dengan surat Al-Baqarah dan telah membaca tujuh puluh ayat, kemudian dia wafat." (Thabaqat Asy-Syafiiyah, As-Subki, juz 4).

Imam Abu Ishak An-Naisaburi rahimahulloh sedang menghadapi ajalnya. Sepanjang hari itu dia berpuasa. Dia berkata kepada anaknya, “Buka kelambu,” kemudian dia berkata lagi, "Saya haus." Lalu anaknya membawakan air untuknya. Abu Ishak berkata, “Apakah matahari telah terbenam?” Anaknya menjawab,"Belum." Maka Abu Ishak mengembalikan air tersebut, lalu dia berkata, "Untuk seperti inilah hendaknya orang-orang beramal." Kemudian ruhnya pergi kepada Tuhannya. (Tarikh Baghdad, Al-Khatib Al-Baghdadi, juz 6)

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahulloh adalah orang yang selalu memperbanyak dzikir kepada Alloh Ta’ala. Hingga dia meninggal dalam keadaan bertasbih yang dia hitung dengan jarinya. (Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Ahmad Al-Hambali, juz 5).

Semoga Allah merahmati mereka dan menjadi cambuk bagi kita untuk tetap konsisten dalam menjaga waktu dengan kegiatan yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita.



Imam Syafi'i berkata tentang Imam Laits bin Sa'd bahwa Imam Laits lebih fakih ketimbang Imam Malik.

Imam Syafi'i berani berkata demikian karena beliau telah berguru kepada kedua ulama tersebut. Dari sana beliau mampu menilai mana yang lebih fakih di antara keduanya.

Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah Imam Laits yang dikatakan Imam Syafi'i sebagai ulama yang lebih fakih ketimbang Imam Malik? Mengapa beliau tidak termasuk di antara Imam Madzhab fikih yang ada hingga sekarang ini?

Imam Laits adalah ulama besar yang tinggal di Mesir. Beliau adalah ahli hadits, fikih, ushul fikih, dan tafsir. Sekaligus pedagang yang kaya raya namun hidup zuhud dan wara. Walaupun dikenal sebagai ulama yang fakih namun sayangnya beliau tidak menulis satupun buku. Kalaupun ada karya tulis yang dinisbatkan kepada beliau, itupun ditulis oleh murid-murid beliau dan itupun sangat sedikit jumlahnya. Pemikirannya yang besar hanya bisa didapat dari buku-buku yang dikutip secara terpisah-pisah sehingga seringkali tidak dapat menampilkan pemikirannya secara utuh dan konfrehensif.

Berbeda dengan Imam Malik yang rajin menulis dan pemikirannya juga banyak dibukukan oleh para murid dan pengikutnya. Sehingga namanya terus dikenang sebagai salah satu Imam fikih paling terkemuka sepanjang sejarah.

Begitupun dengan imam madzhab fikih yang lainnya, mereka semua dikenal karena masih adanya pemikiran mereka yang tersimpan dalam buku yang mereka dan murid-muridnya tulis. Buku-buku seperti itu masih saja terus ditulis dengan ijtihad yang diambil dari pokok-pokok fikih imam madzhab. Para ulama hingga kini berlomba-lomba menulis buku terkait dengan madzhab yang dianutnya.

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Al Ghazali, Imam Nawawi, dan ulama-ulama lainnya, nama-namanya begitu dikenal dalam sejarah. Mereka akan selalu hidup di benak sanubari kaum muslimin berkat karya-karya yang telah mereka tulis.

Beragamnya Tema Buku yang Ditulis Para Ulama

Saya kaget ketika pada suatu ketika mendapatkan sebuah buku terjemahan berjudul "Bergonju: Seni Bercinta dalam Islam" karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi di sebuah pameran buku. Saya bertanya dalam hati, apakah benar penulis buku tersebut adalah beliau? Saya berkeliling mencari buku yang serupa, saya dapatkan buku "Sutra Ungu" karya Abu Umar Basyir. Saya berkata dalam hati menyimpulkan, bila ada ulama sekarang menulis masalah seks tentu merujuk pada ulama-ulama terdahulu. Saya berkata lagi, tema yang serupa pasti juga pernah dibahas oleh para ulama lainnya dan entah berapa buku yang telah ditulis mengenai hal ini. Hanya karena ketidaktahuan saya membuat saya kaget; ulama sekelas Imam Jalaluddin As-Suyuthi menulis buku tentang seks! Walaupun dijual bebas, buku ini bagusnya dibaca bagi mereka yang akan dan sudah menikah. Karena disana ada cara-cara dan posisi dalam berhubungan intim suami-istri *_*

Buku-buku seks seperti ini mengingatkan saya pada buku-buku dengan tema lain yang ditulis oleh para alim ulama. Misalnya buku tentang tema "cinta" seperti buku Raudhatul Muhibbin karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dan Thauqul Hamamah karya Imam Ibnu Hazm. Kedua buku ini begitu dalam membahas tema cinta walaupun dengan bahasa yang berbeda. Ada bahasan tentang sifat-sifat orang yang jatuh cinta, bagaimana mengatasi mabuk asmara, kisah-kisah orang yang terlibat percintaan, dan sebagainya. Yang hebat, keduanya ditulis oleh ulama pakar syariah, ahli ilmu hadits dan fikih. Keduanya ibarat psikolog yang mengetahui tentang seluk beluk cinta. Dan mungkin, keduanya memang psikolog cinta yang sesungguhnya. Banyak buku yang mereka tulis menunjukkan keahlian mereka dalam ilmu psikologi. Lagi-lagi karena sedikitnya buku cinta yang ditulis ulama yang saya baca, saya baru mengetahui dua buku ini. Diluar sana mungkin masih banyak buku dengan tema serupa.

Para ulama juga menulis buku yang lain daripada yang lain, misalnya lagi tentang tata cara memperlakukan buku, bagaimana meraut ujung pena agar tulisan lebih baik, dan bagaimana menjadi penyalin buku yang baik. Simak penuturan Imam Musa Almawi dalam bukunya yang berjudul Mu'id fi Adab Al-Mufid wa Al-Mustafid sebagaimana dikutip Franz Rosenthal dalam "Etika Kesarjanaan Muslim", "Buku-buku harus diatur menurut subjeknya, dan buku yang paling penting harus ditempatkan paling atas. Urutan berikut ini harus dipatuhi: pertama adalah Al-Qur'an; lalu kitab hadits shahih, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim; selanjutnya tafsir Al-Qur'an; berikutnya komentar terhadap kitab hadits; disambung kitab-kitab fikih; lalu kitab ushuluddin dan ushul fiqh; terus buku-buku tata bahasa, puisi, dan ilmu-ilmu lain."

Imam Ibnu Jama'ah juga menulis tema serupa yang ditulis Imam Musa Almawi. Judul bukunyaTadzkirah Al-Sami' wa Al-Mutakallim fi Adab Al-'Alim wa Al-Muta'allim. Beliau berkata, "Jika ada dua buku tentang subjek yang sama, maka buku yang lebih banyak mengandung kajian Al-Qur'an atau hadits hendaklah ditempatkan di atas. Jika dalam hal ini keduanya sama, maka tingkat pentingnya pengarang buku tersebut mesti dipertimbangkan. Jika dalam hal itu kedua pengarang sama, maka pengarang yang lebih tua umurnya dan lebih dicari para ulama ditempatkan lebih atas. Kalaupun dalam hal ini keduanya sama, maka buku yang lebih benar penulisannya harus ditempatkan di atas."

Coba dengarkan lagi beberapa nasehat Imam Almawi, "Buku tidak boleh dijadikan tempat menyimpan lembaran-lembaran keras atau benda-benda lain yang serupa. Buku tidak boleh dijadikan bantal, dijadikan kipas, sandaran punggung atau alas berbaring, atau dipakai untuk membunuh lalat. Untuk menandai halaman yang sedang dibaca, pinggir atau sudut halaman buku tidak boleh dilipat. Orang-orang bodoh sering melakukan hal itu." Kata Imam Ibnu Jama'ah, "Untuk penanda bacaan harus dipakai selembar kertas atau yang serupa itu, tetapi tidak boleh dari potongan kayu atau apapun yang terbuat dari bahan yang keras."

Subhanallah, sampai sedetail itu para ulama kita dalam menguraikan sebuah pengetahuan. Hampir semua ilmu yang berkembang saat itu ada bukunya. Tapi sayang sekali, yang sampai kepada kita baru sedikit daripadanya. Apalagi banyak buku yang ditulis para ulama itu hilang atau dimusnahkan seperti yang pernah dilakukan oleh pasukan Mongol saat menyerbu Baghdad (ibukota kekhalifahan Abbasiyah). Buku-buku yang ada diperpustakaan besar dibuang ke sungai Tigris hingga sungai pun berubah warna menjadi hitam karena tinta. Kejadian ini ibarat pukulan hook, dalam tinju, membuat umat Islam sempoyongan dan mundur beberapa langkah. Banyak akhirnya para ulama dan ilmuwan setelah kejadian itu berusaha mencari salinan buku yang dimusnahkan itu. Salah satu caranya adalah dengan berteriak, "Wahai fulan, apakah kalian mempunya buku anu?" saat berada ditanah suci pada musim haji. Karena saat itu berkumpul jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia. Itulah mengapa para ulama berusaha mendapatkan buku yang dimaksud pada saat itu. Bila ada yang punya, maka para ulama itu tidak segan-segan untuk menyalinnya meskipun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk mendapatkannya. Di antara para ulama yang menjadi "jembatan" ilmu-ilmu masa lalu untuk disampaikan oleh umat terkemudian adalah Imam Jalaluddin As-Suyuti. Beliau berhasil merangkum banyak pengetahuan dari buku-buku langka itu. Konon kabarnya jumlah buku yang beliau tulis mencapai 500 jilid.

Buku-buku yang ditulis ulama zaman dahulu mungkin tidak kalah hebat dengan yang ditulis oleh orang-orang zaman sekarang, khususnya cerdik pandai dari dunia Barat. Kelebihannya adalah, buku-buku itu ditulis oleh para ulama yang memiliki jiwa tauhid, paham syariah, dan memiliki akhlak yang baik. Melewati fase kemunduran Islam artinya kita memulai dari apa yang ada atau memulainya dari nol. Dan ini merupakan pekerjaan rumah umat. Karena kita harus yakin bahwa kejayaan itu akan kembali berulang di masa yang akan datang. Apakah kita menjadi bagian di dalamnya?

Semangat Para Salaf Dalam Menulis Ilmu

Menulis memiliki banyak sekali kegunaan. Selain sebagai pengikat ilmu pengetahuan, menulis juga banyak digunakan sebagai hobi yang menyenangkan. Menulis diary, jurnal, novel, puisi, cerita, bahkan tak sedikit orang yang setiap hari menulis hanya untuk update status.

Memiliki hobi menulis tentu sangat bermanfaat terutama dalam kancah menuntut ilmu syar’i. Para ulama salaf adalah teladan kita dalam hal ini. Dengan besarnya semangat, kerja keras, dan keikhlasan, mereka telah memberi  kita khazanah ilmu yang sangat berharga dalam buku – buku yang mereka tinggalkan. 




Dalam postingan kali ini, akan kami berikan sedikit kisah dan untaian hikmah para salaf yang semoga dapat menambah semangat kita dalam menuntut ilmu.

Ia Menulis Sementara Aku Tidak

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata ( tidak ada satupun sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang lebih banyak haditsnya daripada aku, kecuali Abdullah bin Amr, karena sesungguhnya ia menulis sementara aku tidak menulis ) diriwayatkan oleh bukhari : 113

Tulislah Walau Di Dinding

As Sya'by rahimahullah berkata ( bila engkau mendengar sesuatu maka tulislah walaupun di dinding ) diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu no 146

Segera Ia Tulis Karena Takut Hilang

Al Humaidy rahimahullah berkata ( aku pernah pergi bersama Syafi'I ke Mesir, Ia tinggal di atas sementara aku tinggal di tengah, suatu saat aku keluar malam hari dan aku melihat ia menyalakan lentera, maka aku pun berteriak kepadanya, ia mendengar suaraku lalu ia berkata  : naiklah, maka aku naik ternyata ada kertas dan tinta, aku berkata : apa yang engkau lakukan wahai Abu Abdillah ? Ia berkata : terpikirkan olehku makna suatu hadits atau suatu masalah ilmiyah dan aku takut akan hilang dariku maka aku menyalakan lentera dan menulisnya ) Manakib As Syaafi'I : 43

Banyak Sekali Kitab Yang Telah Ia Salin Dengan Tangannya

Adalah Muhammad bin Ahmad bin Qudamah rahimahullah telah menulis ulang banyak sekali kitab dengan tanganya sendiri diantaranya : Al Mughny, Tafsir Al Baghawy, Hilyatul Auliyaa, Al Ibaanah milik Ibnu Batthah, dan banyak juga mushaf Al Qur’an yang ia salin.  ( Dzail Thabaqaat Hanabilah 2 / 53 )

Bila Tidak Ditulis Maka Sia – Sia

Ma’mar rahimahullah berkata ( aku meriwayatkan beberapa hadits kepada Yahya bin Abi Katsir , lalu ia berkata : tuliskan untukku hadits ini dan hadits ini, maka aku berkata : aku tidak suka menulis ilmu, ia berkata : tulislah karena sesungguhnya bila engkau tidak menulis maka engkau telah berbuat sia – sia ) atau ia berkata ( …..engkau akan lemah ) diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al Mushannaf no. 20488

Jangan Pergi Sampai Aku Menulisnya

Abdurrahman bin Mahdy rahimahullah berkata ( aku pernah berjalan bersama Abdullah bin Mubarak lalu aku ingatkan ia tentang suatu hadits, maka ia berkata : jangan pergi sampai aku menulisnya ) Hilyatul Auliyaa ( 9 / 3 )

Ia Menulis Apapun Yang Ia Dengar

Abu Az Zinaad rahimahullah berkata  ( dahulu kami hanya menulis halal dan haram saja, sementara Ibnu Syihab menulis apapun yang ia dengar, maka tatkala hal – hal tersebut dibutuhkan, akupun tahu bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang paling berilmu ) Siyar A’laamin Nubala ( 5 / 332 )

Tanpa Tulisan Tak Akan Bisa Hafal

Abu Shalih Al Faraa’ rahimahullah berkata  ( aku bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang pentingnya menulis ilmu, maka ia berkata : kalau bukan karena tulisan tentulah kita tak akan hafal ) Siyar A’laamin Nubalaa ( 8 / 409 )

Menulis Sambil Berdiri

Abu Fadhl bin Nabhan Al Adiib rahimahullah berkata ( suatu ketika aku melihat Abul Alaa di dalam salah satu masjid diantara masjid – masjid Baghdad, Ia sedang menulis sambil bediri diatas kedua kakinya, karena lentera – lentara di tempat itu sangat tinggi ) Dzail Thabaqaat Hanabilah 1 / 326

Seakan Setiap Hari Menulis Enam Puluh Lembar Lebih

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabary rahimahullah bisa dibilang keajaiban bagi umat islam. Ia telah menulis banyak kitab dalam berbagai bidang ilmu, seandainya jumlah seluruh kertas yang telah ia tulis dibagi dengan jumlah umurnya, maka seakan setiap hari beliau menulis enam puluh lembar lebih. Suatu ketika ia menyuruh murid – muridnya untuk menulis tarikh islam atau tafsir, lalu beliau meminta disediakan tiga puluh ribu lembar kertas. Maka para muridnya berkata ( pekerjaan ini akan membutuhkan waktu yang sangat panjang ) maka ia berkata kepada mereka ( Allahu Akbar ! telah matikah semangat kalian, sediakan tiga puluh ribu lembar kertas ) Tadzkiratul Huffadz 2 / 712