Saturday, April 1, 2017

Takdir (Qadha' Wa Qadar) (Bagian 2).

Hasil gambar untuk qadha qadar syaikh utsaiminHasil gambar untuk takdir ibrahim al hamd

Pahami TAKDIR Dengan Benar, Sehingga Tidak Lagi Mengatakan Itu Adalah "PILIHAN" Seperti Pemahaman Sekte Qadariyah. Pemahaman Takdir Allah Menurut Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.(Bagian I)



oleh Abu Al-Jauzaa’
Belakangan ini kita dihebohkan oleh khabar beredarnya rekaman suara Ustadz Abdullah Taslim yang berkomentar terhadap Ustadz Adi Hidayat, hafidhahumallah. Sebuah rekaman yang asalnya dari grup WA atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada beliau (Ustadz Abdullah Taslim) dari anggota grup tentang Ustadz Adi. Isinya adalah nasihat kepada anggota grup dan tahdzir kepada Ustadz Adi Hidayat terkait dengan manhaj beliau. Sebenarnya, apapun kontennya tidak patut dipermasalahkan[1]. Tahdzir yang beliau katakan adalah wujud pertanggungjawaban atas pengetahuan yang dimiliki, sebagai pembina grup. Tahdzir bukan barang yang asing[2] meski substansinya sah-sah saja jika ada yang tidak sepakat. Yang menjadikan ramai – selain oknum yang menyebarkan keluar grup – adalah gorengan dan tambahan kata-kata oleh oknum tak bertanggung jawab yang bernada provokatif. Misalnya : Kembalilah kepada para asatidz yang jelas manhajnya yaitu para asatidz Rodja yang pasti benar dan di atas manhaj yang benar. Ada juga framing berita dengan judul : Takut Ditinggal Jama’ah! Ustadz Rodja’ Ini Larang Jama’ahnya Dengarkan Ceramah Ustadz Adi Hidayat!. Benar-benar dagelan…. Saya yakin, ini bukan berasal dari Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, dan memang bukan tipikal beliau. Entah siapa….

Maybe ‘they’ realize, making a lie is the only way to win the war (?).
Kembali,… kemarin, saya menyimak respon positif Ustadz Adi Hidayat terkait perkataan Ustadz ‘Abdullah Taslim hafidhahumallah (yang saat ini sedang menjalankan ibadah umrah). Intinya, beliau terbuka menerima kritikan dari siapapun dan bersedia rujuk apabila kritikan tersebut memang benar, serta ajakan bersinergi dalam kebaikan (https://goo.gl/XiepHX dan https://goo.gl/MK16ga). Tentu ini sangat baik, karena sikap beliau tersebut didasari oleh pemahaman yang sangat baik atas sabda Nabi :
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Oleh karena itu, izinkan di sini saya memberikan sedikit catatan atau kritikan terkait dengan beberapa isi ceramah Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah yang rekamannya banyak bertebaran di Youtube.
1.   Taqdir
Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah dalam satu rekaman video yang berjudul Memahami Takdir Allah dengan Benar,, membacakan sebuah pertanyaan:
"Apakah semua orang telah ditetapkan taqdirnya oleh Allah subhaanahu wa ta'ala, dan apakah orang kafir itu sudah taqdir Allah ?".
Kemudian direspon:
"Pertama begini, antum pahami dulu apa itu taqdir. Taqdir itu pilihan hidup. Yang pilihan kita itu KEMUDIAN DITETAPKAN oleh Allah subhaanahu wa ta'ala. Jadi Anda bisa terbuka, ingin mengambil atau tidak. Itu pilihan Anda. Karena itu manusia diberikan kemampuan untuk memilih......dst. (kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang menguatkan itu yang intinya manusia diberikan pilihan antara yang positif dan negatif)......”
Dalam rekaman video yang berjudul  Perbedaan Takdir dan Qodarullah, awal ceramah (menit 00:24) beliau mengatakan :
“yang seperti ini, seperti aliran Qadariyyah[3]. Semua terserah Allah. Semua terserah Allah. Bahkan tidak mungkin saya bersin kecuali kecuali Allah berkehendak. Tidak mungkin saya minum kecuali saya berkehendak. Tapi kesimpulannya salah. Anda harus bedakan antara Qadar dan Taqdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi kita di dalamnya, itu disebut Qadar”
Kemudian beliau hafidhahullah mencontohkan qadar adalah ajal dan rizki. Selanjutnya beliau berkata (menit 01:23):
“Tapi, ada sesuatu yang disebut dengan taqdir. Taqdir itu adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan/ditetapkan berdasarkan ikhtiyar makhluk. Kita ikhtiyar dulu, BARU ALLAH MENETAPKAN. Jadi bukan seketika Allah tetapkan. Contoh, perbuatan itu takdir. Amal baik atau buruk, amal shalih atau salah, maka itu adalah taqdir, bukan qadar……dst.”.
Abu-Jauzaa’ berkata:
Ini adalah pemahaman keliru dalam masalah keimanan terhadap taqdir. Secara istilah, makna al-qadar adalah:
تقدير الله للكائنات حسبما سبق به علمُه، واقتضته حكمته
“Ketetapan (taqdiir) Allah bagi semua makhluk sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan yang dikehendaki oleh hikmah-Nya” [Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 37].
Pembedaan dua hal tersebut (qadar dan takdir) tidaklah benar. Tidak mungkin ketetapan Allah datang menyusul setelah adanya ketetapan dari makhluk dalam ikhtiyarnya. Bahkan Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi.
Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh. Allah ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya” [QS. Al-Hadiid : 22].
Rasulullah bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
Bahagia dan celaka, neraka dan surga seseorang; maka semua itu telah ditetapkan oleh Allah ta'ala; sama seperti ajal dan rizki. Bukankah dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ dari Nabi telah disebutkan:
إِنَّ  أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ، أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula (40 hari). Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula (40 hari). Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan RIZKINYA, AJALNYA, AMALANYA, dan CELAKA atau BAHAGIANYA. Maka demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan-Nya, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3207 dan Muslim no. 2643].
Juga tentang kisah perdebatan antara Adam dan Muusaa ‘alaihimas-salaam:
احْتَجَّ آدَمُ، وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَة، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا
“Aadam dan Muusaa saling berhujjah (berdebat). Muusaa berkata kepadanya (Aadam) : “Wahai Aadam, engkau adalah ayah kami, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga”. Aadam berkata kepadanya : “Wahai Muusaa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan telah menuliskan (Taurat) dengan tangan-Nya untukmu. Apakah engkau mencelaku atas perkara yang Allah telah mentakdirkannya untukku 40 tahun sebelum Allah menciptakanku ?”. Maka Aadam mengalahkan Muusaa, Aadam mengalahkan Muusaa” – sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6614 dan Muslim no. 2652].
Yaitu, ketetapan Allah ta'ala telah mendahului perbuatan Adam yang menyebabkannya keluar dari surga.
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa keimanan terhadap takdir tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat tingkatan takdir atau disebut juga rukun takdir. Mulai al-‘ilmu[4], al-kitaabah[5], al-iraadah wal-masyii’ah[6], dan al-khalq[7] yang uraiannya dapat dibaca dalam banyak referensi.
Pernyataan ketetapan Allah baru datang menyusul setelah adanya ikhtiyaar makhluk mengkonsekuensikan penafikan terhadap banyak nash. Jika yang dinafikkan dalam fase ikhtiyaar adalah tingkatan ilmu dan kitaabah; maka ini tergolongan pemahaman Qadariyyah purba yang muncul di jaman shahabat radliyallaahu ‘anhum. Para shahabat radliyallaahu ‘anhum mengkafirkan mereka, karena mereka menisbatkan kepada Allah ta’ala sifat bodoh (al-jahl). Allah (dianggap) tidak tahu kecuali setelah terjadinya sesuatu (yaitu perbuatan hamba). Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah berkata tentang mereka:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ، مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Apabila engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengannya, seandainya salah seorang diantara mereka memiliki emas sebesar Uhud lalu ia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْقَدَرِيِّ، فَلَمْ يُكَفِّرْهُ إِذَا أَقَرَّ بِالْعِلْمِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Qadariy (penganut Qadariyyah), maka ia tidak mengkafirkannya apabila menetapkan ilmu (Allah) [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 868].
وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: إِذَا جَحَدَ الْعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لا يَعْلَمُ الشَّيْءَ حَتَّى يَكُونَ، اسْتُتِيبَ، فَإِنْ تَابَ وَإِلا قُتِلَ
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata : “Apabila ada seseorang yang mengingkari ilmu (Allah) dengan mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak mengetahui sesuatu hingga terjadi’; maka ia diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterima, dan jika enggan maka dibunuh[8]” [idem no. 869].
Jika yang dinafikkan dalam fase ikhtiyaar itu adalah tingkatan al-iraadah wal-masyii’ah dan al-khalq (dengan tetap mengimani tingkatan al-‘ilmu dan al-kitaabah), maka inilah keumuman paham qadariyyah yang masih eksis hingga saat ini. Kehendak dan perbuatan hamba adalah murni dari hamba itu sendiri; bukan terjadi karena kehendak dan penciptaan Allah ta’ala.
Dua jenis Qadariyyah di atas adalah sama-sama sesat yang tidak ada jalan lain bagi pelakunya kecuali harus rujuk darinya.
2.   Semua Muslim adalah Salafiy
Dalam Perbedaan Muhammadiyah, NU dan Salafi, ketika menjawab apa perbedaan Muhammadiyyah dan Salafi, maka Ustadz Adi Hidayat menjawab (setelah menjelaskan tentang Muhammadiyyah dan NU – mulai menit 05:23):
“Kalau Salafi, itu bukan Ormas, bukan madzhab. Tapi dari kata salaf. Salaf itu manhaj. Salaf itu artinya sesuatu yang lampau, yang lalu. Kenapa disebut dengan salaf, karena saat kita berusaha untuk beribadah menunaikan pendekatan ibadah kita kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, maka cara ibadah kita mesti seperti siapa ?. Rasululah . Rasulullah itu hidup di jaman kita atau di jaman dulu ?. Jaman dulu. Dulu itu bahasa Arabnya salaf. Jadi, mengikuti yang dulu, dulu bahasa Arabnya salaf. Kalau disebutkan mengikuti, ditambah dengan i ujungnya dalam bahasa Arab dengan ya’ nisbah. Ya’ nisbah itu gampangnya ditambah i saja di ujungnya. Misal, salaf , dulu, ikut yang dulu disebut dengan salafi. Ni asalnya salafi itu bukan madzhab, bukan kelompok, bukan ormas, tapi manhaj. Satu cara, sata arah, supaya kita beribadah mengikuti tuntunan yang dulu yang Rasulullah yang disampaikan kepada para shahabat, yang disampaikan kepada para tabi’in. Itu masa lalu dulu. Kita ikuti jalannya. Nah, maka cara kita mengikuti jalan itu, cara kita disebut salafi. Sebetulnya semua orang Islam itu gak ada yang gak Salafi. Semua salafi. Semua salafi. Tidak mungkin. Misalnya ada orang yang mengaku : ‘saya bukan salafi’, maka berarti shalatnya beda itu. Pasti salafi. Nggak mungkin. Pasti salafi, karena salafi itu artinya ikut yang dulu. Ikut Nabi . Manhajnya. Salafi itu bukan golongan tertentu, bukan kelompok tertentu, bukan eksklusif ini salafi yang lain bukan, maka tidak. Salafi itu manhaj. Nanti satu saat akan saya tunjukkan. Ibu kalau mau akan saya berikan slidenya…..”.
Kemudian beliau mencontohkan praktek ibadah shalat dengan variasi dalil yang ada. Dalam kesempatan lain (video berjudul Semua Muslim Adalah Salafi) dikatakan hal yang senada (menit : 00:28):
Maka di sini ada istilah manhaj salaf. Orang-orang yang mengikuti manhaj ini, sejalur dengan ini sampai ke ujungnya kemudian bermuara ke Rasulullah , maka orangnya disebut dengan salafi. Jadi salafi itu bukan istilah khusus, atau nama khusus, untuk golongan tertentu, aliran tertentu, kelompok tertentu. Semua orang Islam pasti salafi. Bapak Salafi ya ?...Bukan pak, saya Doni…. Iya, nama bapak Doni, cuma bapak pasti melewati jalur ini… pasti ini…. Jadi teman-teman sekalian, tidak ada yang tidak salafi. Pasti salafi. Dan jangan juga mengatakan kepada orang : ‘O ini manhajnya bukan salaf ini’. Lalu apa (kalau bukan salafi) ?”
[selesai kutipan sampai menit 01:12].
Abu-Jauzaa’ berkata:
Jika salafiy adalah orang-orang yang mengikuti cara beragama as-salafush-shaalih, maka mereka itu (as-salafush-shaalih) utamanya adalah tiga generasi pertama : Rasulullah dan para shahabatnya, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin. Mereka adalah generasi yang diridlai Allah ta’ala sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
Generasi terbaik, sebagaimana sabda Nabi :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3651, Muslim no. 2533, At-Tirmidziy no. 3859, Ibnu Maajah no. 2363, dan yang lainnya].
Setelah itu, Nabi bersabda tentang keadaan umat sepeninggal beliau:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam riwayat lain:
مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Siapa saja yang berada di atas jalan yang aku dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 dan Al-Ausath 5/137 no. 4886].
Dalam riwayat lain:
وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ia adalah Al-Jamaa’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4597].
Hadits di atas selaras dengan hadits ‘Irbaadl bin Saariyyah, dari Nabi , beliau bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.....
“Karena siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127, dan yang lainnya; shahih].
Hadits-hadits ini menginformasikan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu kelompok saja yang selamat, yaitu orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan para shahabatnya dengan sebenar-benarnya. Merekalah salafi (sesuai dengan pengertian sebelumnya). Merekalah Ahlus-Sunnah, sebagaimana dikatakan As-Sam'aaniy rahimahullah mengenai ciri pokok mereka:
شعار أهل السنَّة اتباعهم السلف الصالح، وتركهم كل ما هو مبتدع محدث
"Syiar Ahlis-Sunnah adalah sikap ittiba' mereka kepada As-Salafush-Shaalih, dan meninggalkan segala sesuatu yang diada-adakan (dalam agama)" [Al-Intishaar li-Ashhaabil-Hadiits hal. 31].
Selain mereka (Salafi/Ahlus-Sunnah), maka masuk dalam 72 golongan sisanya yang terdiri dari kelompok-kelompok menyimpang dalam Islam yang tidak mengikuti jalan as-salafush-shaalih.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah berkata:
شعار أهل البدع: هو ترك انتحال اتباع السلف
"Syiar Ahli Bid'ah adalah meninggalkan penerimaan dalam ittiba' terhadap salaf" [Majmuu' Al-Fataawaa, 4/155].
Kelompok menyimpang/ahli bid’ah yang masuk ke kelompok sempalan yang 72 buah itu diantaranya apa yang dikatakan oleh Yuusuf bin Asbath rahimahullah:
أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ : إِنَّهَا النَّاجِيَةُ "
“Pokok-pokok kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18 golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah yang disabdakan Nabi : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Ada perkataan ulama lain yang merinci untuk 72 kelompok sempalan ini selain dari penjelasan Yuusuf bin Asbath rahimahullah di atas. Ke-72 kelompok tersebut masih memiliki pokok Islam, namun menyimpang dari jalan as-salafush-shalih.
Jika demikian, apakah dapat dibenarkan untuk dikatakan semua muslim adalah salafiy ?. include di dalamnya kelompok-kelompok sempalan/ahli bid’ah yang menggembosi Islam dari dalam ?. Tentu tidak.
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan biografi para ulama Ahlus-Sunnah yang kuat ittiba’-nya kepada as-salafush-shaalih, menyifatinya dengan salafiy. Diantaranya, ketika menyifati Ad-Daaraquthniy rahimahullah:
لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض في ذلك، بل كان سلفيا
“Ia (Ad-Daaraquthniy) tidak masuk sama sekali dalam ilmu kalam dan jidal (perdebatan), serta tidak pula mendalaminya. Bahkan ia seorang salafy” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 16/457].
Juga Abul-‘Abbas Ahmad bin Al-Muhaddits Al-Faqiih Majduddiin ‘Isaa bin Al-Imaam Al-‘Allamah Muwaffaquddiin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah:
وكان ثقة ثبتا، ذكيا، سلفيا، تقيا، ذا ورع وتقوى
“Ia seorang yang tsiqah (terpercaya), tsabt, pandai, salafiy, hati-hati, punya sifat wara’ dan taqwa…” [Idem, 23/118].
Sebaliknya, ketika menyebut orang-orang yang manhaj atau ‘aqidahnyanya ‘bermasalah’, Adz-Dzahabiy rahimahullah mensifati mereka dengan kebid’ahannya. Misalnya, Ibraahiim bin Abi Yahyaa Al-Aslamiy Al-Madaniy:
قدري، معتزلي، يروى أحاديث ليس لها أصل. وقال البخاري: تركه ابن المبارك والناس. وقال البخاري أيضا: كان يرى القدر، وكان جهميا.
“Qadariy, mu’taziliy. Ia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Al-Bukhaariy berkata : ‘Ibnul-Mubaarak dan orang-orang meninggalkannya’. Al-Bukhaariy juga berkata : ‘Ia memiliki pandangan qadariyyah, seorang jahmiy” [Miizaanul-I’tidaal, 1/57-58 no. 189].
Ibraahiim bin Thahmaan :
ثقة متقن من رجال الصحيحين، وكان مرجئاً
“Tsiqah, mutqin, termasuk perawi kitab Ash-Shahiihain, namun ia seorang Murji’ (memiliki pemikiran Murji’ah)” [Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim, hal. 35 no. 1].
Al-Hasan bin Shaalih bin Hay :
مع جلالة الحسن وامامته كان فيه خارجية.
“Bersamaan dengan keagungan dan keimaman Al-Hasan, namun padanya ada pemikiran Khawaarij (Khaarijiyyah)” [Tadzkiratul-Huffadh, 1/217].
So, apakah kita pikir paham Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, Murji’ah, dan yang lainnya itu telah punah di dunia saat ini ?. Jawabannya : tidak. Malah mereka telah bermutasi dengan berbagai nama sehingga hakekatnya menjadi samar dari kejauhan.
Diantaranya, Khawaarij pada hari ini berada di bawah bendera ISIS yang menghalalkan darah kaum muslimin di berbagai penjuru negeri, dari Timur sampai Barat. Mereka muslim,…. tapi apakah mereka salafi ?. Kalau Anda mengatakan Salafi; mohon maaf, saya jelas tidak sependapat.
Apabila, slogan semua muslim adalah salafi dimaksudkan sebagai ajakan liberalisasi salafi/ahlus-sunnah dengan menyatukan semua kelompok Islam, tak peduli benar atau salahnya ‘aqidah dan manhaj mereka dalam baju salafiy; tentu ini menyalahi kaedah. Tidak mungkin dua hal yang berlawanan untuk disatukan : Sunnah dengan Bid’ah, Salafi/Ahlus-Sunnah dengan Ahli Bid’ah.
Di sini point pentingnya.
[bersambung, insya Allah – abul-jauzaa’, 300032017, 9:52 WIB]

[1]      Pertama, karena itu merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Sama seperti ketika Anda ditanya : ‘Apa pandangan Anda tentang Ayam Bakar Wong Solo ?’. Tentu Anda bebas menjawab sesuai pandangan Anda. Enak, tidak enak, tidak tahu, atau bahkan tidak menjawab sama sekali.
Kedua, jawaban tersebut sifatnya tertutup untuk anggota grup, khususnya yang bertanya. Hanya saja, karena kurangnya sifat amanah sebagian anggota grup, rekaman jawaban itu pun menyebar keluar (padahal sudah dipesan untuk tidak disebarkan). Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui" [QS. Al-Anfaal : 27].
Inilah adab yang banyak dilupakan oleh banyak anggota grup media sosial yang sifatnya tertutup (WA, path, dll.). Nabi bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah kepadamu dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1264, Abu Daawud no. 3535, Ad-Daarimiy no. 2600, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1831-1832, dan yang lainnya; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 423].
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : Jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika dipercaya dia berkhianat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 33 & 2682 & 2749 & 6095, Muslim no. 59, At-Tirmidziy no. 2631, dan yang lainnya].
[2]      Itulah yang dilakukan para ulama zaman ke zaman. Bukan hanya dilakukan oleh ‘duaat Rodja’ saja (sebenarnya saya tidak nyaman menggunakan frasa ini). Bahkan (sebaliknya), yang mentahdzir ‘duaat Rodja’, ‘pendengar Rodja’, salafi, wahabi, dan yang semisalnya; banyak, dan lebih banyak. Termasuk diantaranya yang menggoreng masalah ini…. Gak percaya ?
Tentang tahdzir,….. dulu, ‘Aliy bin Abi Khaalid pernah menceritakan kepada Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah tentang seorang syaikh yang duduk bermajelis dengan Al-Haarits Al-Muhaasibiy (mubtadi’). Syaikh tersebut telah dinasihati agar tidak bermajelis dengannya, namun tetap saja ia bermajelis dengannya. ‘Aliy bin Abi Khaalid berkata:
فرأيت أَحْمَد قد أحمر لونه، وانتفخت أوداجه وعيناه، وما رأيته هكذا قط، ثم جعل ينفض، ويقول: ذاك؟ فعل اللَّه به وفعل، ليس يعرف ذاك إلا من خبره وعرفه، أويه، أويه، أويه، ذاك لا يعرفه إلا من خبره، وعرفه، ذاك جالسه المغازلي، ويعقوب، وفلان، فأخرجهم إلى رأي جهم، هلكوا بسببه،
فقال الشيخ: يا أبا عَبْد اللَّه، يروي الحديث، ساكن خاشع، من قصته، ومن قصته؟ فغضب أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وجعل يقول: لا يغرك خشوعه ولينه، ويقول لا يغتر بتنكيس رأسه، فإنه رجل سوء، ذاك لا يعرفه، إلا من قد خبره، لا تكلمه، ولا كرامة له، كل من حدث بأحاديث رَسُول اللَّهِ وكان مبتدعا، تجلس إليه؟ لا، ولا كرامة، ولا نعمى عين
Maka aku melihat wajah Ahmad memerah, serta urat leher dan kedua matanya menjadi membesar (karena menahan amarah). Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya sama sekali. Setelah mereda, beliau rahimahullah berkata : “Orang itu (Al-Haarits) ? Semoga Allah menimpakan sesuatu kepadanya. Tidak ada orang yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal dengannya. Ah…ah…ah… Orang itu, .... tidak ada yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal dengannya. Al-Maghaazaliy, Ya’quub, dan Fulaan telah bermajelis dengannya, lalu ia (Al-Haarits) menjerumuskan mereka kepada pemikiran Jahm (bin Shafwaan), hingga mereka binasa dengan sebab dirinya”.
Maka syaikh itu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ia (Al-Haarits) meriwayatkan hadits, tenang, lagi khusyu’. Dan ceritanya begini dan begitu”. Abu ‘Abdillah marah dan berkata : “Jangan engkau tertipu dengan kekhusyukan dan kelembutannya. Jangan engkau tertipu dengan kepalanya yang tertunduk, karena ia adalah orang yang jelek. Tidak ada orang yang mengenalnya kecuali orang yang tahu tentangnya. Jangan engkau berbicara dengannya. Tidak ada kemuliaan padanya. Apakah semua orang yang berbicara tentang hadits-hadits Rasulullah sementara ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah); boleh untuk bermajelis dengannya ?. Tidak, tidak ada kemuliaan padanya. Kita tidak boleh membutakan mata kita (terhadap hal itu)” [Thabaaqatul-Hanaabilah, 2/149-150].
Beberapa pelajaran dari kisah di atas:
a.    Hakekat kesalahan/kesesatan seseorang seringkali hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang telah mengenalinya.
b.    Tahdzir dilakukan para ulama terhadap ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan dalam rangka menjaga agama dan kaum muslimin.
c.     Nasihat untuk tidak bermajelis dengan ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan karena dapat menjerumuskan dalam kesesatan/penyimpangannya tanpa disadari.
d.    Sebagian manusia terkelabuhi oleh ilmu yang disampaikan ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan dan akhlaq yang nampak darinya, sehingga kesesatan/penyimpangannya menjadi samar.
e.    Anjuran untuk bertanya kepada ahli ilmu terkait permasalahan agama yang ia hadapi.
Wallaahu a’lam.
[3]      Mungkin ini keseleo lidah (slip of tongue), karena yang dikatakan tersebut adalah aliran Jabriyah sebagai opposite dari Qadariyyah. Mereka (Jabriyyah) berkata : Sesungguhnya para hamba dipaksa dalam perbuatan-perbuatan mereka, dan mereka tidak mempunyai pilihan. Apabila suatu perbuatan disandarkan kepada makhluk, maka itu hanyalah majaziy saja, karena yang berbuat secara hakiki adalah Allah. Hamba tidak ubahnya seperti kayu yang hanyut di air atau daun yang tertiup angina.
Adapun Qadariyyah, maka mereka menafikkan takdir dengan berbagai tingkatannya.
قِيلَ لابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ قَوْمًا يَقُولُونَ: لا قَدَرَ، قَالَ: فَقَالَ: أُولَئِكَ الْقَدَرِيُّونَ أُولَئِكَ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Dikatakan kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : “Sesungguhnya ada satu kaum yang mengatakan : ‘tidak ada qadar”. Makai ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Mereka adalah Qadariyyah. Mereka adalah Majusinya umat ini” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 958 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 1517].
[4]      Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang ada maupun yang tidak ada; yang mungkin maupun yang tidak mungkin (mustahil); yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang belum terjadi; serta mengetahui bagaimana terjadinya. Dalilnya diantaranya adalah firman Allah ta’ala:
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” [QS. Ath-Thalaq : 12].
[5]      Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi. Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh.
Allah ta’ala berfirman:
وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ * وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” [QS. Al-Qamar : 52-53].
[6]      Yaitu beriman bahwa segala sesuatu yang ada hanya terjadi dengan keinginan dan kehendak Allah ta’ala. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan apa yang telah dikehendaki Allah. Apa yang dikehendaki Allah ta’ala pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah ta’ala tidak akan terjadi.
[7]      Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, baik dzat maupun perbuatannya; semua yang bergerak dan gerakannya; serta yang ada, yang pernah ada, maupun yang belum ada. Oleh karena itu, tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi kecuali Allah ta’ala adalah Penciptanya.
[8]      Juga diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ مَالِك، عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، فَقَالَ: " مَا رَأْيُكَ فِي هَؤُلَاءِ الْقَدَرِيَّةِ ؟ فَقُلْتُ: رَأْيِي أَنْ تَسْتَتِيبَهُمْ فَإِنْ تَابُوا وَإِلَّا عَرَضْتَهُمْ عَلَى السَّيْفِ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " وَذَلِكَ رَأْيِي ". قَالَ مَالِك: وَذَلِكَ رَأْيِي
Dari Maalik, dari pamannya yaitu Abu Suhail bin Maalik, ia berkata : Aku pernah berjalan bersama ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, lalu ia bertanya : "Apa pendapatmu tentang orang-orang Qadariyah?". Aku menjawab : "Menurutku, engkau mesti meminta mereka untuk bertaubat. Jika mereka bertaubat, maka diterima. Namun jika tidak mau bertaubat, maka engkau bunuh mereka dengan pedang”. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azii berkata : "Itu juga pendapatku". Maka Maalik (bin Anas – perawi riwayat ini) berkata : "Dan itu juga pendapatku” [Al-Muwaththa’].

Silahkan lihat COMMENTS yang menarik disumber :

Disini juga ada Comments menarik :

Tambahan info :
Kalau Anda ingin belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah, mustahil Anda keluar dari ajaran yang dibawa keempat ulama ini (Abu Haniifah, Maalik, As-Syaafi'iy, dan Ahmad). Pasti lewat ini.....'

maka ini kurang valid juga.

Pertama, tidak semua ilmu dan periwayatan melewati imam yang 4. Banyak pendapat fiqh yang menjadi khazanah Islam di luar pendapat imam yang 4. Misalnya dalam masalah kewajiban yang harus dilakukan bagi wanita hamil dan/atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadlan. Ragam pendapat dalam masalah ini tidak hanya keluar dari imam yang 4....

Kedua, masih terkait dengan yang pertama, imam mujtahid (madzhab) tidak terbatas pada imam 4 saja. Al-Laits bin Sa'd rahimahullah adalah seorang imam mujtahid dalam fiqh selain dari 4 imam madzhab yang terkenal. Hanya saja madzhabnya tidak tersebar - sebagaimana madzhab yang 4 - karena murid-muridnya tidak menyebarkan ilmunya. Asy-Syaafi'iy rahimahullah berkata tentang Al-Laits bin Sa'd :

الليث أفقه من مالك إلا أن أصحابه لم يقوموا به

"Al-Laits lebih faqih daripada Maalik. Namun murid-muridnya tidak turut andil menyebarkan ilmu (madzhabnya)" [Tahdziibut-Tahdziib].

Selain itu, ada fuqahaa lain seperti Sufyaan Ats-Tsauriy yang dikatakan Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahumallah:

كان إماما من أئمة المسلمين و علما من أعلام الدين مجمعا على أمانته بحيث يستغنى عن تزكيته مع الإتقان و الحفظ ، و المعرفة والضبط و الورع و الزهد

"Ia termasuk imam dari imam-imam kaum muslimin, ulama dari ulama-ulama agama Islam yang disepakati amanatnya. Cukuplah tazkiyyah dirinya dengan ketelitian, hapalan, pemahaman, wara', dan kezuhudannya" [idem].

Pendapat-pendapat keduanya masih banyak terekam dalam berbagai riwayat dan kutipan kitab-kitab.

Kemudian,.... betapa banyak orang yang menisbatkan kepada ajaran imam 4 ternyata tidak seperti imam 4. Di artikel sudah saya sebutkan contoh tentang ISIS. Memangnya mereka tidak mengakui imam 4 sebagai imam mereka ? Mengakui. Tapi pemahaman mereka tidak seperti imam 4. Apakah kemudian kita katakan ISIS itu Salafi ?. Di dalam negeri ada LDII. Mereka bahkan ngaku punya sanad pada imam-imam kaum muslimin, sampai ke Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Lantas, apakah kemudian dengan tergopoh-gopoh kita katakan LDII itu Salafi ?.

Rujukan Pendalaman :

Apakah Point ke ( 2 ) Risalah Amman "Iman Kepada Qadha’ dan Qadar" Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
 [IT] Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (12) – Beriman kepada Taqdir
Keyakinan Ahlussunnah Mengenai Qadha’ dan Qadar Secara Umum
Perbuatan Baik Bukan Jaminan Dia Adalah Ahli Surga, Dan Sebaliknya, Semua Akan Mengikuti Takdirnya. Kalau Memang Sudah Ditaqdir ( Allah Menciptakan Manusia ), Buat Apa Allah Menyiksanya Di Neraka? Apakah Allah Tidak Adil Jika Memasukkan Hambanya Ke Neraka? ( Bagian I )
Pentingnya Iman Kepada Hari Akhir. Allah Subḥānahu Wa Ta'alā Menjadikan Orang Yang Mengingkari Akherat Sebagai Orang Yang Kafir, Karena Ia Mengingkari KemampuanNya Dan KetuhananNya
www.jalyat.com/jalyatcm/wp-content/uploads/اندونيسي-القضاء-والقدر-عنيزة.pdf
Page 1. Page 2. @ADI-IA'. »¿ QADAR. Syaikh Muhammad Shalih. AI-Utsaimin. Page 3. Syaikh Muhammad Shalih AI-Utsaimin. QADHA'. _ &. QADAR.
Qadha dan qadar [indonesia ]
Muhammad bin shalehal-‘utsaimin
Penerjemah: masykur. Mz
Qadha dan Qadar
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin
http://www.jalyat.com/jalyatcm/wp-content/uploads/%D8%A7%D9%86%D8%AF%D9%88%D9%86%D9%8A%D8%B3%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B6%D8%A7%D8%A1-%D9%88%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%AF%D8%B1-%D8%B9%D9%86%D9%8A%D8%B2%D8%A9.pdf



Oleh : Abu Abdil Muhsin Firanda
BAGIAN PERTAMA : Aqidah Qodariyah AH tentang masalah Taqdir

Beberapa waktu yang lalu sempat muncul kritikan dari seorang ustadz AT terhadap ustadz AH. Lalu muncul komentar-komentar yang buruk dan menganggap ustadz AT hasad dan dengki kepada ustadz AT. Tentu seseorang berusaha untuk berprasangka baik terhadap saudaranya yang mengkritik. Jika kritikannya baik hendaknya diterima dengan baik dan segera berusaha memperbaiki diri. Namun jika kritikannya keliru maka silahkan kritikan tersebut dikritiki kembali. Toh para ulama sejak dahulu hingga sekarang saling mengkritiki, saling memperbaiki satu dengan yang lainnya, saling mengingatkan satu dengan yang lainnya.

Alhamdulillah masing-masing baik AT maupun AH sudah memunculkan klarifikasi atau komentar atas apa yang telah bergulir. Dan AH pun telah menyatakan siap untuk diberi masukan.

Untuk menanggapi -sedikit kegaduhan ini- maka penulis bertekad untuk turut berpartisipasi memberi masukan kepada al-Ustadz AH hafizohullah, semoga bermanfaat. Dan penulis juga menyadari bahwa tidak ada yang luput dari kesalahan, termasuk penulis yang juga tidak luput dari kesalahan, akan tetapi hal ini tidak menghalangi punulis untuk memberi masukan dan juga diberi masukan demi kemasalahatan umat, dan menjauhkan umat dari segala kesalahan sejauh-jauhnya, baik kesalahan dalam aqidah atau yang lainnya.

Dalam ceramah ustadz AH yang mulia dengan judul : Perbedaan antara Taqdir dan Qodarullah https://www.youtube.com/watch?v=p5g7e_o7dJM

Al-Ustadz AH berkata (menit 0:27) : “Yang seperti ini aliran qodariyah, semua terserah Allah semuanya terserah Allah, bahkan tidak mungkin saya bersin kecuali Allah berkehendak, tidak mungkin saya minum kecuali Allah berkendak. Tapi kesimpulannya ini salah, Anda harus membendakan antara qodar dengan taqdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi kita di dalam itu disebut qodar, contoh tentang ajal seseorang....”

(Komentar : AH keliru, kelompok yang seperti itu namanya bukan qodariyah tapi jabariyah)

Beliau berkata (pada menit 1:29) :”Taqdir itu adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan ditetapkan berdasarkan ikhtiar makhluk. Jadi kita ikhtiar dulu baru Allah menetapkan. Jadi bukan seketika Allah menetapkan...”

(Pada menit 2:37) “Jadi ada sesuatu yang kehendak Allah tidak mutlaq disitu, kehendak Allah bergantung ikhtiar yang kita kerjakan...”

Dalam ceramah AH yang lain dengan judul : Apakah jodoh termasuk taqdir (https://www.youtube.com/watch?v=anabATdqrWQ)

(pada menit : 0.50) : “Sedangkan taqdir adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan atas ikhtar makhluk, jadi ada usaha kita dulu, usaha baru Allah tetapkan.... dan jodoh termasuk taqdir”

KRITIKAN :

Apa yang diutarakan oleh al-Ustadz AH adalah aqidah al-Qodariyah. Sesungguhnya semua yang terjadi di alam semesta ini baik makan dan minum maupun bersin, iman dan kufur, jodoh, rizki dan ajal semuanya dikehendaki dan telah ditetapkan oleh Allah.

Allah berfirman :

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan taqdir (QS al-Qomar : 49)

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan taqdir (segala sesuatu)nya  (QS Al-Furqon : 2)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah mencatat taqdir para makhluq 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumu, (HR Muslim No. 2653)

Nabi juga menjelaskan bahwa amal sholeh maupun amal buruk, masuk surga maupun masuk neraka semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah. Tidak ada bedanya hal ini dengan masalah rizki dan ajal yang juga telah ditaqdirkan. Beliau bersabda :

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا (رواه البخاري ومسلم)

Sesungguhnya (fase) penciptaan kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selama 40 hari (dalam bentuk) nutfah (sperma), kemudian selama itu (40 hari) menjadi segumpal darah kemudian selama itu (40 hari) menjadi segumpal daging, kemudian diutuslah Malaikat, ditiupkan ruh dan dicatat 4 hal: rezekinya, ajalnya, amalannya, apakah ia beruntung atau celaka. Demi Allah Yang Tidak Ada Sesembahan yang Haq Kecuali Dia, sungguh di antara kalian ada yang beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) hingga antara dia dengan jannah sejarak satu hasta kemudian ia didahului dengan catatan (taqdir) sehingga beramal dengan amalan penduduk an-Naar (neraka), sehingga masuk ke dalamnya (an-Naar). Sesungguhnya ada di antara kalian yang beramal dengan amalan penduduk an-Naar, hingga antara dia dengan an-Naar sejarak satu hasta kemudian ia didahului dengan catatan (taqdir) sehingga beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) sehingga masuk ke dalamnya (jannah) (HR al-Bukhari dan Muslim)

Pernyataan AH : “Yang seperti ini aliran qodariyah, semua terserah Allah semuanya terserah Allah, bahkan tidak mungkin saya bersin kecuali Allah berkehendak, tidak mungkin saya minum kecuali Allah berkendak. Tapi kesimpulannya ini salah, Anda harus membendakan antara qodar dengan taqdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi kita di dalam itu disebut qodar, contoh tentang ajal seseorang....”

Demikian juga pernyataan AH : “Jadi ada sesuatu yang kehendak Allah tidak mutlaq disitu, kehendak Allah bergantung ikhtiar yang kita kerjakan...”

Adalah pengingkaran terhadap taqdir. Diantaranya :

- Menganggap ada kehendak Allah yang tidak mutlaq

- Menganggap manusia bisa ikut intervensi dalam keputusan Allah, bahkan keputusan Allah tergantung kehendak manusia

Padahal Allah berfirman :

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

(Al-Insan : 30)

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam (At-Takwir : 29)

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. (QS Yunus : 99)

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. (QS Al-AN’aam : 125)

Nabi Nuuh berkata kepada kaumnya :

وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ إِنْ كَانَ اللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُغْوِيَكُمْ

Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan" (QS Huud : 34)

مَنْ يَشَأِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus (QS Al-An’aam : 39)

Diakhir zaman para sahabat mulailah muncul kelompok qodariyah yang sulit menerima dengan akal mereka bahwa semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah, dan kelompok ini telah diingkari oleh Ibnu Umar.

Tatkala seseorang berkata kepada Ibnu Umar :

أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ... وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ

“Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), sesungguhnya telah muncul dari sisi kami (di Iraq) sekelompok orang yang membaca al-Qur’an dan mendalami ilmu...dan bahwasanya mereka menyangka  bahwa tidak ada qodar, dan bahwasanya perkara adalan baru”

Imam An-Nawawi menjelaskan pernyataan mereka ini :

أَيْ مُسْتَأْنَفٌ لَمْ يَسْبِقْ بِهِ قَدَرٌ وَلَا عِلْمٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنَّمَا يَعْلَمُهُ بَعْدَ وُقُوعِهِ

“Yaitu perkara baru tidak didahului oleh takdir dan tidak ada diketahui oleh Allah, akan tetapi Allah mengetahuinya setelah terjadi” (Syarah Shahih Muslim jilid 1 halaman 138, letaknya di bagian kanan atas kalau di cetakan milik penulis)

Mereka menganggap bahwa perkara belum ditaqdirkan, Allah baru mentaqdirkan (mengkukuhkan/menetapkan) kecuali setelah hamba berbuat. Dan ini sama persis dengan pernyataan ustadz AH “Keputusan Allah baru dikukuhkan setelah ikhtiar/perbuatan manusia”.

Karenanya qodariyah dijuluki dengan majusi umat ini, karena menganggap ada penentu keputusan di alam semesta selain Allah. Apalagi menyatakan bahwa kehendak manusia yang menentukan keputusan Allah?!.

Apa komentar Ibnu Umar terahadap pernyataan qodariyah di atas ?, beliau berkata :

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ»

“Jika engkau bertemu dengan mereka maka kabarkanlah kepada mereka bahwasanya aku berlepas diri dari mereka, dan bahwasanya mereka berlepas diri dariku. Dan demi Dzat Yang Ibnu Umar bersumah denganNya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu ia infaqkan maka tidak akan diterima oleh Allah hingga ia beriman dengan taqdir” (Shahih Muslim halaman 24 hadits no 1, letaknya si bagian buku sebelah kanan agak kiri atas)

Semoga bermanfaat, dan semoga Allah menjaga aqidah kita. Aaamiin  Yang benar dari Allah, yang salah dari kesilapan penulis, semoga Allah menunjukkan kita semua kepada jalan yang lurus. (bersambung)

Jakarta, 01-07-1438 H / 29-03-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda