Sunday, February 3, 2019

Mengerikan, RUU PKS Seperti Melegalkan Zina, Tidak Ingin Islam Berdiri Dan Berlaku Secara Kaffah. Ulama Diam Saja, Istidraj ?

Hasil gambar untuk ruu pks


Tolak RUU PKS, Wali Kota Padang: Ini seperti 
Melegalkan Zina

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendapat banyak kritikan dan penolakan. Salah satunya datang dari Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah.

Mahyeldi dengan tegas menolak RUU PKS yang tengah dibahas DPR RI. Menurutnya, draf RUU PKS dapat menghilangkan fungsi agama, adat, dan sosial budaya. Bahkan mengancam peran orang tua dalam mendidik anaknya sendiri.

"Saya, wali kota pertama di Indonesia yang menolak draf RUU PKS. Sepertinya ini sengaja dirancang untuk melindungi kalangan LGBT. Ini seperti lampu hijau melegalkan perbuatan zina. Ini bisa merusak tatanan keluarga dan hidup berumah tangga", kata Mahyeldi, Selasa (5/4).

Pada pasal 7 ayat (2) RUU PKS dinyatakan bahwa kontrol seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Sebab itu dianggap kontrol seksual dalam hal busana.

Begitu juga pada frasa pasal 5 ayat (2) huruf b yang dapat diartikan mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Bahkan, pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan.

"Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial. Aktivitas LGBT juga terlindungi dengan frasa ini," tegas Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
RUU PKS juga tampak mengedepankan kebebasan seksual di pasal 7 ayat (1). Ada hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh, dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya, kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang semisal LGBT.
"Ini jelas-jelas sudah bertentangan dengan agama, filosofi orang Minangkabau. Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Apalagi kami di Kota Padang sudah menjalankan program wajib berbusana muslim bagi pelajar muslim, pesantren Ramadan, dan baru-baru ini mendeklarasikan Kota Padang Bersih Maksiat," tandasnya.

Masih banyak lagi pasal dalam RUU PKS yang terindikasi melindungi dan melegalkan kebebasan seksual. Jika draf RUU PKS tidak mengalami perubahan, Mahyeldi akan terus menyuarakan penolakan terhadap draf RUU PKS. "Saya sangat yakin, banyak dari pendukung LGBT dan kalangan liberal yang mendukung dan berusaha meloloskan draf RUU PKS," cetus Mhayeldi. [JP]

HRS Center: RUU PKS Tak Sesuai dengan Ajaran Islam

Pendiri HRS Center, Abdul Chair Ramadhan memandang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tak sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Di menambahkan, RUU PKS mengesampingkan prinsip-prinsip dasar pernikahan yang diatur oleh Islam.
“Asas pernikahan yang diatur dalam agama Islam itu dikesampingkan dengan pemikiran-pemikiran liberal. Jadi ada inkonsistensi antara ajaran agama dan pemahaman kaum liberalisme dalam RUU PKS,” ujar Abdul Chair kepada Kiblat.net di Jakarta pada Rabu (06/02/2019).
Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI itu juga menilai bahwa pengajuan RUU PKS sangatlah berlebihan.
Menurutnya, poin-poin dalam pasal-pasal RUU PKS sudah banyak diatur dalam undang-undang yang lain, sehingga RUU PKS tak diperlukan.
“Kan sudah ada undang-undang perkawinan, sudah ada undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. Diatur kok tentang hal-hal kekerasan psikis itu. Untuk apa lagi ada RUU PKS,” katanya.
Merujuk isi pada RUU PKS, bisa saja nantinya ada suami yang mengajak istrinya berhubungan, lalu istrinya merasa terpaksa kemudian melaporkan suaminya karena dianggap telah melakukan kekerasan seksual.
“Sedangkan melayani suami itu adalah ibadah,” imbuh Abdul Chair.
Dia pun mengatakan ada banyak pihak yang diuntungkan jika RUU PKS disahkan. Yaitu mereka yang tidak ingin Islam berdiri dan berlaku secara kaffah.
“Diantaranya pendukung sipilis, sekuler liberalis. Berbahayanya RUU PKS ini menegasikan ajaran Islam tentang pernikahan,” pungkasnya.

Terkait Dengan RUU PKS, Direktur INSISTS: Ada Akar Ideologi Feminis Radikal!

Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr. Henri Shalahuddin, MA mengkritisi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurut Henri,  meskipun RUU ini dimunculkan untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual, akan tetapi perlindungan negara bukan hanya terhadap perempuan saja.
“Tetapi laki-laki, perempuan, tua-muda harus mendapatkan perlindungan maksimal dari negara,” ungkap Henri dalam diskusi “Kiblat Review: RUU PKS” di Studio Kiblat News, Jum’at (01/02/2019).
Henri juga menyayangkan penggunaan kata-kata yang manipulatif, seperti kalimat “kekerasan dalam perlindungan terkait seksualitas”.
“Kenapa tidak kejahatan? Kalau dalam KBBI tentu ada perbedaan yang sangat mendasar. Kekerasan dan kejahatan, kalau kekerasan dalam KBBI adalah pemaksaan, dan ini yang dimaksud pengusung RUU PKS ini,” jelasnya.
Jadi, Henri memandang bahwa perlindungan kekerasan seksual itu perlindungan hanya untuk kaum rentan, dalam artian kaum rentan versi para pengusung RUU.
“Ini yang perlu dipertanyakan lagi, jadi kaum rentan itu ujung-ujungnya kaum minoritas dalam perilaku seksualitas, seperti gay, lesbi, dan seterusnya itu,” ungkap Henri.
Ia juga menyinggung nilai-nilai paham ideologi asing yang dimasukkan ke dalam RUU PKS ini.
“Ini kelanjutan dari RUU KKG (Kesetaraan dan keadilan gender) yang sudah di tolak dan mati suri itu, itu dari redaksi bahasa yang mereka susun itupun ini sudah terjemahan dari undang-undang negara lain yang mau di aplikasikan disini,” jelas Henri.
Henri menambahkan bahwa RUU PKS hanya melindungi sebagian kecil kelompok tertentu dari sekian ratus juta bangsa Indonesia.
“Kalau begini caranya, RUU PKS ini adalah bentuk kekerasan terhadap mayoritas bangsa Indonesia, jadi dia main paksa dan itu memang ciri khas feminis,” tegasnya.
Dalam pandangan Henri, kelompok feminis itu berjuang di ranah konstitusi, dan mereka selalu mengklaim dirinya bebas tetapi memaksa orang lain tidak bebas, sehingga melepaskan kebebasan yang mereka anut sendiri.
“Terkait dengan RUU PKS ini ada akar ideologi dari feminis radikal. Jadi feminisme itu banyak alirannya, ada feminis liberal, sosialis, marxis, ada feminis global dan banyak lagi,” pungkasnya.

Komnas Perempuan sebagai salah satu penggagas kampanye penghapusan kekerasan seksual di Indonesia merumuskan arti kekerasan seksual sebagaimana definisi PBB, namun ditambahkan frasa “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”.

“ … setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau perbuatan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.” (Dikutip dari berbagai sumber kampanye komnas perempuan, Naskah Ademik dan Draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual)

Definisi kekerasan seksual menggaris bawahi dari frasa relasi kuasa dan/atau relasi gender serta digaris bawahi oleh kata-kata consent (persetujuan). Artinya, filosofi mendasar dari konsep kekerasan seksual atau RUU PKS ini bukan pada baik/halal atau buruk/haramnya suatu perilaku seksual, tetapi pada suka atau tidak sukanya (persetujuan) si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.

Aroma Kebebasan Seksual

Sebagai contoh Frasa ‘kontrol seksual’ pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial termasuk memilih seks bebas, kumpul kebo, dan LGBT. Pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum, sedangkan yang sukarela diperbolehkan.

Turunannya seorang istri bisa sesuka hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan, atau mencolek istrinya sedangkan istrinya tidak mau, maka terkategori pemerkosaan.

Lebih jauh lagi, tidak boleh ada pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Maka, orang tua yang mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat dapat dipidanakan karena melakukan kontrol seksual dalam hal busana, ekstrem bukan?

Kalimat hukum yang tertera dalam draft tersebut seolah manis mengangkat isu seksualitas terutama kekerasan pada perempuan padahal bak buah simalakama, konsekuensi dari hal tersebut ialah free sex, berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi.

Tentu saja RUU PKS ini perlu diwaspadai, terutama pasal-pasal dalam rancangan tersebut sarat dengan agenda feminis kaum liberal, sebagaimana yang disampaikan oleh Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Ustaz Bachtiar Nasir, beliau mengungkapkan bahwa saat ini kelompok feminis radikal telah mengusung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) untuk mengelabui masyarakat Indonesia. Hal itu beliau ungkapkan saat memberi kajian di Insan Cendekia Madani (ICM), Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu, (23/1/2019).

Kalau kita amati tentang terjadinya kekerasan seksual di masyarakat, terjadi karena masyarakat kita saat ini hidup di dalam sebuah kehidupan yang liberal (bebas). Naluri seksual akan bisa terjaga fitrahnya jika tidak ada faktor yang merangsang kemunculannya. Namun faktanya dalam kehidupan kita, senantiasa disuguhi dengan pornografi dan pornoaksi, dan ini dilegalkan oleh negara.

Betapa banyaknya perempuan yang mengumbar tubuh seksinya, bahkan dalam tataran keluarga pun mereka tidak memiliki pengaturan pergaulan dengan anggota keluarga yang lain sehingga sering kita temui justru yang melakukan tindakan kekerasan seksual adalah keluarga terdekat mereka.

Faktor pemikiran materialistik pun menjadi momok yang menjijikkan di tengah masyarakat. Bagaimana masyarakat memandang materi adalah puncak dari kebahagiaan, sehingga beberapa kalangan menganggap prostitusi suka sama suka dengan bayaran puluhan juta bahkan ratusan juta adalah hal yang patut dibanggakan.

Sebaliknya, kehidupan suami dan istri dalam lingkup keluarga justru dianggap sebagai perbudakan kepada perempuan, na’udzubillahi min dzalik. Semua ini adalah buah dari sistem sekulerisme yang melingkupi kehidupan kita.

Permasalahan seksual dan solusi yang ditawarkan memang masih tambal sulam. Solusi yang tambal sulam ini pun nyata akhirnya bukannya menyelesaikan permasalahan, justru menuai konflik demi konflik. Hal ini terjadi karena sistem saat ini membiarkan bahkan seolah menjadikan tuntutan agar masing-masing kepala berfikir untuk mencari solusi terhadap setiap permasalahan yang terjadi.

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki peraturan antara laki laki dan perempuan. Aturan pergaulan dalam Islam ini sangat praktis jika dilegislasi menjadi qanun (undang-undang) beserta dengan sistem sanksinya.

Adanya ketaqwaan individu dengan aqidah yang benar, kontrol masyarakat, aturan dalam keluarga dan yang terakhir adalah penerapan syariat oleh negara karena negara-lah yang berhak menghukum adanya tindakan kriminal di tengah masyarakat.

Penerapan hudud oleh negara, misal penerapan rajam ataupun hukum cambuk untuk pezina akan memberikan efek yang luar biasa bagi masyarakat ataupun pezina itu sendiri. Bagi pezina, hudud yang diberlakukan oleh negara akan menjadi penghapus dosa zina-nya sehingga tidak akan lagi dihukum oleh Allah SWT di akhirat.

Negara juga menerapkan sistem pendidikan dan pergaulan sesuai dengan Islam. Menjamin informasi bersih dari pornografi dan pornoaksi. Menjamin pengaturan ekonomi untuk masyarakat, serta menjamin kewajiban suami sebagai kepala keluarga bisa terpenuhi dengan menyediakan pekerjaan yang layak bagi mereka. Inilah solusi tuntas kekerasan seksual.

Pendiri Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Fahmi Salim menyatakan pihaknya menolak RUU PKS karena ada poin yang menggiring masyarakat melakukan tindakan bebas. Beberapa poinnya adalah isu soal legalisasi LGBT.

“Kekerasan seksual yang dilakukan suka sama suka boleh saja, Anda kumpul kebo boleh kawin sejenis walau bertentangan masih boleh. Istri yang menolak hubungan suami istri juga dikriminalisasi. Ini yang tidak boleh,” tutup Fahmi.

Di dalam draf UU PKS, terdapat sembilan jenis bentuk kekerasan seksual yang dijabarkan secara detail. Kekerasan itu ialah, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi.

Kemudian ada perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Sumber: cnn indonesia

AILA Menilai Langkah Penghapusan RUU P-KS Justru Bentuk Kekerasan Seksual

Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia memandang, RUU P-KS (Penghapusan Kekerasan Seksual) merupakan proyek kaum feminis yang ingin mengubah cara pandang masyarakat Indonesia terhadap isu seksualitas.

Ketua Bidang Media Aila Suci Susanti menyatakan, banyak perempuan yang tertipu dengan berbagai tawaran solusi yang diberikan. Atas nama penghapusan kekerasan seksual, masyarakat Indonesia justru mendukungnya.

“Padahal jika dicermati, banyak agenda tersembunyi dalam definisi maupun berbagai pasal dalam RUU ini,” katanya Kamis (24/1).

Menurutnya, Filosofi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) membebaskan tubuh perempuan (dari nilai moral dan agama). Dirinya mempertanyakan, yang mengontrol tubuh perempuan (contohnya mengatur cara berpakaian) maka, kata Suci penghapusan RUU ini telah melakukan kekerasan seksual dan harus dipidanakan.

“Maka dalam RUU P-KS ini perzinaan, LGBT, pelacuran, aborsi, tidaklah dilarang (bukan kejahatan) apabila dilakukan dengan kesadaran atau tanpa paksaan (by consent),” ungkapnya.

Ia menjelaskan, RUU P-KS ini akan menjadi prioritas untuk disahkan di tahun 2019. Suci juga menekankan, kekerasan seksual tidak sama dengan kejahatan seksual.

Suci menuturkan, kekerasan seksual asasnya tidak ada paksaan. Aktivitas seksual yang haram jika dilakukan dengan kesadaran (suka sama suka) bukanlah suatu kejahatan.

“Kejahatan seksual justru melanggar norma dalam masyarakat, melanggar moralitas dan nilai – nilai agama,” pungkasnya.

Oleh karena itu, AILA mengajak untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena RUU P-KS ini tidak akan mengkriminalisasi para pelaku kejahatan seksual.
Reporter: rhio

Penolakan mengenai RUU PKS sebelumnya datang dari sebuah petisi yang dibuat Maimon Herawati, pengajar di Universitas Padjajaran, di situs Change.org. Maimon menilai RUU PKS pro zina lantaran karena tidak ada pengaturan kejahatan seksual, yaitu hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama. Selain itu, Maimon juga berpandangan bahwa RUU PKS membolehkan lelaki berhubungan dengan sesama lelaki asal suka sama suka. Juga menganggap konsekuensi RUU PKS adalah seks bebas.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan Maimon Herawati menolak RUU PKS. Di antaranya RUU ini dianggap berpotensi melegalkan perzinahan.
“Pemaksaan hubungan seksual bisa kena jerat hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka, walaupun di luar pernikahan, diperbolehkan. Zina boleh kalau suka sama suka,” tulis Maimon.
Maimon juga menuding bahwa RUU PKS melegalkan aborsi dan LGBT.
"Pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum, sedangkan yg sukarela diperbolehkan. Bahkan, seorang ibu yg memaksakan anak perempuan nya untuk berhijab, bisa dijerat hukum. Ekstrim, bukan?” Tulisnya.
“Relasi yg dibahas adalah relasi kuasa berbasis gender, artinya lelaki boleh berhubungan badan dengan sesama lelaki, asal suka sama suka.”