Suara Hati Ibnul Jauzi Kepada Buah
Hatinya
(Risalah yang ditulis oleh Ibnul Jauzi
rahimahullah untuk menasehati anaknya yang akhirnya durhaka)
Prolog:
Tidak ada yang mengingkari bahwa anak
merupakan buah hati orang tua. Betapa kebahagiaan yang akan dirasakan oleh
seorang ibu ataupun ayah tatkala memiliki seorang anak yang sholeh yang
berbakti kepada mereka. Sebaliknya jika ternyata sang anak adalah anak yang
durhaka maka sungguh penderitaan dan kepiluan yang dirasakan di hati orang tua.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi kita untuk memiliki
anak sholeh, beliau bersabda :
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika telah meninggal seorang manusia
maka terputuslah amalannya darinya kecuali dari tiga perkara, dari sedekah
jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang sholeh yang mendoakannya”
(HR Muslim no 1631)
Bukanlah dipahami dari hadits ini berarti
doa dari selain anak kita tidak bermanfaat bagi kita !!, karena merupakan
kesepakatan para ulama bahwasanya mendoakan seorang muslim setelah wafatnya
akan bermanfaat bagi sang mayat, siapapun juga yang mendoakannya, baik kerabat
maupun bukan kerabat. Akan tetapi dalam hadits ini Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan anak yang mendoakan orang tuanya.
Kenapa…?
Diantara faedahnya bagi seorang anak
adalah agar tatkala membaca hadits ini timbul semangat untuk mendoakan kedua
orang tuanya. Al-Munaawi berkata :
وَفِائِدَةُ تَقْيِيِدِهِ بِالْوَلَدِ مَعَ أَنَّ
دُعَاءَ غَيْرِهِ يَنْفَعُهُ تَحْرِيْضُ الْوَلَدِ عَلَى الدُّعَاءِ
“Dan faedah dikhususkan pernyebutan
“anak” padahal doa orang lain juga bermanfaat bagi sang mayat yaitu agar
memotivasi sang anak untuk mendoakan sang mayat” (Sebagaimana dinukil dalam
‘Aunul Ma’buud 8/62)
Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa
doa seorang anak lebih bermanfaat bagi orang tuanya yang telah wafat daripada
sedekah atas nama orang tuanya. (lihat penjelasan Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin
dalam syarh Riyaad As-Sholihin)
Kemudian Rasulullah tidak hanya sekedar
menyebutkan anak, akan tetapi anak yang sholeh, karena sebagaimana perkataan
Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin :
لِأَنَّ غَيْرَ الصَّالِحِ لاَ يَدْعُو
لِوَالِدَيْهِ وَلاَ يَبَرُّهُمَا لَكِنَ الصَّالِحَ هُوَ الَّذِي يَدْعُو
لِوَالِدَيْهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا، وَلِهَذَا يَتَأَكَّدُ عَلَيْنَا أَنْ نَحْرِصَ
غَايَةَ الْحِرْصِ عَلَى صَلاَحِ أَوْلاَدِنَا لِأَنَّ صَلاَحَهُمْ صَلاَحٌ لَهُمْ
وَخَيْرٌِ لَنا حَيْثُ يَدْعُوْنَ لَنَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Karena anak yang tidak sholeh tidak
mendoakan kedua orangtuanya dan tidak berbakti kepada mereka. Akan tetapi anak
yang sholeh dialah yang mendoakan kedua orang tuanya setelah wafatnya mereka.
Karenanya semakin ditekankan agar kita sungguh-sungguh semangat untuk meraih
kesolehan anak-anak kita, karena pada kesholehan mereka ada kebaikan bagi
mereka dan juga bagi kita karena mereka mendoakan kita setelah wafatnya kita”
(Syarh riyaadus solihin)
Sungguh anak yang sholeh akan
membahagiakan orangtuanya dengan kebahagiaan yang lestari semasa hidup orang
tua…bahkan berlanjut setelah wafat orangtuanya.
Sungguh benar sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ini…tidak ada yang terus mendoakan kita semasa hidup kita dan
terlebih-lebih lagi setelah wafat kita kecuali anak-anak yang sholeh. Kakak
kita…, adik kita…, sahabat kita… mungkin pernah mendoakan kita semasa hidup
atau setelah wafat kita…akan tetapi doa mereka tidaklah berkesinambungan.
Berbeda dengan anak yang sholeh…yang benar-benar berbakti kepada kita..tentunya
dialah yang ikhlas dan khusyuk tatkala mendoakan kita. Semoga Allah
menganugerahkan kita anak-anak yang sholeh dan berbakti kepada kedua orang tua
mereka.
Karena hal ini maka Syari’at
memerintahkan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka agar menjadi
anak-anak yang sholeh dan terhindar dari siksa api neraka. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS At-Tahriim : 6)
Ali bin Abi Thoolib radhiallahu ‘anhu
berkata :
عَلِّمُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُم الْخَيْرَ
“Ajarilah kebaikan pada kalian dan
keluarga kalian” (HR Al-Haakim 4/494 dan Al-Khothiib Al-Baghdaadi di Al-Faqiih
wa Al-Mutafaqqih 1/47)
Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memperingatkan putri tercintanya Fathimah untuk menyelamatkan
dirinya dari api neraka, tentunya dengan beramal sholeh. Beliau bersabda :
يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنَ النَّارِ
فَإِنِّي لاَ أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari
api neraka, sesungguhnya aku tidak bisa menyelamatkan kalian sama sekali” (HR
Muslim no 204)
Karenanya Nabi memerintahkan para orang
tua untuk mulai mendidik anak mereka sejak dini, beliau shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda :
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ
سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk
sholat tatkala mereka berumur 7 tahun, dan pukullah mereka untuk sholat tatkala
mereka berumur 10 tahun, dan pisahkan mereka di tempat tidur (*antara anak
lelaki dan anak perempuan)” (HR Abu Dawud 495)
Ibnul Jauzi diuji dengan anak yang
durhaka
Akan tetapi tidaklah harapan setiap orang
tua terkabul…, ternyata terkadang meskipun orang tua telah berusaha semaksimal
mungkin agar sang anak menjadi anak yang sholeh dan berbakti akan tetapi Allah
mentaqdirkan sang anak tetap menjadi anak yang durhaka…. Tentunya dibalik semua
ini ada hikmah. Lihatlah Nabi Nuuh ‘alaihis salaam yang telah berusaha keras
mendakwahi kaumnya…(terlebih-lebih lagi anaknya). Bukan hanya… sepekan
sekali beliau berdakwah…bukan hanya sesaat dalam sehari beliau menasehati
kaumnya dan anaknya…akan tetapi siang dan malam !!!, bukan hanya setahun dua
tahun….bahkan 950 tahun…, Allah berfirman :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ
فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh
tahun (QS Al-Ankabuut : 14)
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا
وَنَهَارًا (٥)فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًا (٦)
Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku
telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah
mereka lari (dari kebenaran) (QS Nuuh : 5-6).
Semakin Nuuh berdakwah kepada anaknya
maka semakin kafir anaknya tersebut.
Demikian pula terkadang kita mendapati
ada sebagian ulama yang ternyata diuji oleh Allah dengan kondisi sebagian
anak-anaknya yang durhaka, sebagaimana yang dialami oleh Ibnul Jauzi rahimahullah.
Siapakah anak Ibnul Jauzi yang druhaka?
Anak Ibnul Jauzi ini bernama Badruddin
Abul Qoosim Ali, ia adalah anak laki-laki satu-satunya yang masih hidup tatkala
Ibnu Jauzi menulis risalah untuk menasehatinya.
Ibnul Jauzi berkata di awal risalahnya,
“Tatkala aku mengetahui mulianya menikah dan mengharapkan anak-anak maka akupun
mengkhatamkan Al-Qur’an lalu aku berdoa kepada Allah agar Allah menganugerahkan
kepadaku 10 anak, maka Allahpun menganugrahkan kepadaku 10 anak, 5 putra dan 5
putri. Lalu meninggal 2 putriku dan 4 putraku. Maka tidak tersisa dari para
putraku kecuali Abul Qosim” (Laftah Al-Kabid hal 25-26)
Abul Qosim Ali adalah seorang yang sholeh
di masa mudanya, bahkan beliau seorang muhaddits yang memberi isnad dan
riwayat. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Seorang syaikh yang mulia al-musnid…
seorang yang menjaga kehormatan dirinya…, Ibnu An-Najjar berkata ; Dia adalah
seorang pemberi nasehat/ceramah di masa kecilnya” (Siyar A’laam An-Nubalaa’
22/352)
Akan tetapi kondisi Abul Qosim yang sholeh
ternyata tidak berlangsung seterusnya, ia mengalami perubahan, mulailah ia
malas dalam menuntut ilmu. Dan perubahan ini dirasakan oleh sang ayah Ibnul
Jauzi. Ibnul Jauzi berkata dalam risalahnya tentang Abul Qoosim, “Kemudian aku
melihat ada kemalasan pada dirinya dalam kesungguhan menuntut ilmu, maka akupun
menuliskan risalah ini untuk memotivasinya dan menggerakkannya agar menempuh
jalan yang telah aku tempuh dalam menuntut ilmu, dan mengarahkannya agar
bersandar kepada Allah yang Maha memberi taufiq” (Laftah Al-Kabid hal 26).
Dan ternyata nasehat yang ditulis oleh
Ibnul Jauzi kepada sang anak tidak memberikan perubahan kepada sang anak,
bahkan sang anak malah menjadi semakin durhaka.
Ibnu An-Najjaar berkata,
وَعظَ فِي صِبَاهُ، وَكَانَ كَثِيْرَ المَيْلِ
إِلَى اللَّهْوِ وَالخَلاَعَةِ، فَتركَ الوعظَ، وَاشْتَغَلَ بِمَا لاَ يَجوزُ،
وَصَاحَبَ المُفسدِينَ…وَلَمْ يَزَلْ عَلَى طَرِيقتِهِ إِلَى آخرِ عُمُرِهِ
“Abul Qoosim memberi nasehat/ceramah di
masa kecilnya, dan dia terlalu condong kepada hiburan dan pengumbaran hawa
nafsu, maka diapun meninggalkan ceramah dan berkutat dengan perkara-perkara
yang tidak diperbolehkan, serta bergaul dengan orang-orang perusak….dan dia
senantiasa demikian hingga akhir hayatnya” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 22/353)
Perubahan yang semakin parah inilah yang
menjadikan Ibnul Jauzipun meng-hajr sang anak Abul Qoosim selama
bertahun-tahun.
Bahkan Abul Qoosim telah mencuri
kitab-kitab ayahnya Ibnul Jauzi tatkala ayahnya dipenjara, lalu menjualnya
dengan harga yang sangat murah (lihat Siyar A’laam An-Nubalaa’ 21/384)
Ibnul Jauzi pun telah mengisyaratkan
bahwasanya risalah yang ia tulis untuk anaknya Abul Qoosim hanyalah sekedar
usaha, adapun keberhasilan dan taufiq serta hidayah, seluruhnya di tangan
Allah. Beliau berkata dalam risalahnya tersebut, “Maka akupun menulis risalah
ini untuk anakku untuk memotivasinya dalam menuntut ilmu dan menggerakannya
untuk menempuh jalan yang telah aku tempuh dalam menuntut ilmu, serta
mengarahkannya untuk bersandar kepada Allah Yang Maha memberi taufiiq, meskipun
aku mengetahui bahwasanya tidak ada yang bisa menyesatkan orang yang telah
diberi taufiq oleh Allah, dan tidak ada yang bisa memberi petunjuk bagi
orang yang telah disesatkan oleh Allah, akan tetapi Allah telah berfirman :
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ (٣)
Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran. (QS Al-‘Ashr : 3)
Dan Allah juga berfirman :
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (٩)
Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat (QS
Al-A’la : 9)
Dan tidak ada daya, upaya, serta kekuatan
kecuali dengan Allah yang Maha Agung” (Laftah Al-Kabid hal 27)
Semoga Abul Qoosim yang telah durhaka
kepada ayahnya telah bertaubat kepada Allah sebelum wafatnya.
Allah menggantikan bagi Ibnul Jauzi anak
yang berbakti
Ternyata setelah durhakanya sang anak
Abul Qoosim Ali Allah kemudian menganugerahkan bagi Ibnul Jauzi putra yang lain
yang bernama Muhyiddin Abu Muhammad Yusuf. Si bungsu ini lahir pada tahun 580 H
sehingga beliau lebih muda 30 tahun dari kakaknya Abul Qoosim Ali yang lahir
pada tahun 551 H.
Sejak kecil Yusuf telah memberikan
ceramah-ceramah mau’idzoh, dan ia sangat dicintai oleh Ibnul Jauzi. Yusuf
sibungsu inilah yang telah berusaha untuk membebaskan sang ayah tatkala sang
ayah dipenjara (Siyar A’laam An-Nubaalaa 21/377), berbeda dengan kakaknya Abul
Qoosim yang tatkala sang ayah dipenjara justru mencuri buku-buku ayahnya dan
dijual dengan harga yang sangat murah.
Yusuf bersama tiga putranya meninggal
dalam kedaan syahid, dibunuh oleh Holako pada tahun 656 H (Lihat Siyar A’laam
An-Nubalaa’ 23/374)
(Bersambung pada artikel : Sepenggal
nasehat-nasehat Ibnul Jauzi pada anaknya)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, 24-01-1433 H / 19 Desember 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Untaian Perkataan Ibnul Jauzi Rahimahullah Yang Menggetarkan Hati Para Da’i
Untaian perkataan Ibnul Jauzi rahimahullah yang menggetarkan hati para da’i,
beliau berkata :
((Sungguh suatu hari aku di majelisku maka aku melihat di sekitarku lebih dari
10 ribu hadirin, tidak seorangpun dari mereka kecuali trenyuh/luluh hatinya
atau meneteskan air mata (*karena nasehat dan ceramahku). Akupun berkata pada
jiwaku : Bagaimana nasibmu jika mereka seluruhnya selamat (*di akhirat) sedangkan
engku celaka??. Maka akupun berucap dengan lisan perasaanku : Wahai Tuhanku…,
wahai Tuhanku…jika kelak Engkau menetapkan untuk mengadzabku maka janganlah
Engkau mengabarkan kepada mereka tentang tersiksanya aku… demi untuk menjaga
kemuliaanMu bukan demi aku, agar mereka tidak berkata : Allah yang telah
ditunjukan/diserukan oleh Ibnul Jauzi telah mengadzab Ibnul Jauzi)) lihat
Soidul Khootir hal 78