Kelengahan Hati Dan Perbaikan Diri
Kenapa Ibadah Terasa Hambar? Keshalehan Bathin,
Tinggalkan Yang Haram Sekalipun Dalam Keadaan Terdesak Dan Riya’ Mengancam Kita
Jagalah Allah !
Jagalah Allah Azza Wa Jalla, Niscaya Allah Azza
Wa Jalla Menjagamu (2)
Kebanyakan orang memberi perhatian besar
terhadap amalan-amalan dzohir. Kita dapati sebagian orang benar-benar berusaha untuk
bisa sholat sebagaimana sholatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
seluruh gerakan-gerakan sholat Nabi yang terdapat dalam hadits-hadits yang
shahih berusaha untuk diterapkannya. Sungguh ini merupakan kenikmatan dan
kebahagian bagi orang yang seperti ini. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda :
صَلوُّا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلّي
“Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat”
Demikian juga perihalnya dengan haji, kebanyakan orang benar-benar berusaha untuk bisa berhaji sebagaimana haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Demikian juga perihalnya dengan haji, kebanyakan orang benar-benar berusaha untuk bisa berhaji sebagaimana haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Hendaknya kalian mengambil manasik haji kalian dariku”
Akan tetapi…..
Akan tetapi…..
Ternyata banyak juga orang-orang yang
memberi perhatian besar terhadap amalan-amalan yang dzohir –termasuk penulis
sendiri- yang ternyata lalai dari amalan hati…
Sebagai bukti betapa banyak orang yang
bisa jadi gerakan sholatnya seratus persen sama seperti gerakan sholat Nabi
akan tetapi apakah mereka juga memberi perhatian besar terhadap kekhusyu’an
dalam sholat mereka??
Bukankah Nabi bersabda
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرفُ؛ وَمَا كُتِبَ إِلا
عُشُرُ صلاتِهِ، تُسُعُها، ثُمُنُها، سُبُعُها، سُدُسُها، خُمُسُها، رُبُعُها،
ثلُثُها، نِصْفها
“Sesungguhnya seseorang selesai dari
sholatnya dan tidaklah dicatat baginya dari pahala sholatnya kecuali
sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya,
seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya” (HR
bu Dawud no 761 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Al-Munaawi rahimahullah berkata
أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلاَفِ الأَشْخَاص
بِحَسَبِ الْخُشُوْعِ وَالتَّدَبُّرِ وَنَحْوِهِ مِمَّا يَقْتَضِي الْكَمَالَ
“Perbedaan pahala sholat tersebut sesuai dengan perbedaan orang-orang yang
sholat berdasarkan kekhusyu’an dan tadabbur (bacaan sholat) dan yang semisalnya
dari perkara-perkara yang mendatangkan kesempurnaan sholat” (Faidhul
Qodiir 2/422)
Bukankah khusyuk merupakan ruhnya
sholat??. Bukankah Allah tidak memuji semua orang yang sholat, akan tetapi
hanya memuji orang beriman yang khusyuk dalam sholatnya??
Allah berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ
فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang
khusyu’ dalam sembahyangnya (QS Al-Mukminun : 1-2)
Hal ini dengan jelas menunjukan akan
pentingnya amalan hati. Oleh karananya Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah
berkata;
وَفِي الأَثَرِ أَنَّ الرَّجُلَيْنِ لَيَكُوْنُ
مَقَامُهُمَا فِي الصَّفِّ وَاحِدًا وَبَيْنَ صَلاَتَيْهِمَا كَمَا بَيْنَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Dalam sebuah atsar bahwasanya sungguh dua orang berada di satu saf sholat
namun perbedaan antara nilai sholat keduanya sebagaimana antara timur dan
barat” (Minhaajus Sunnah 6/137)
Sungguh merupakan perkara yang
menyedihkan… banyak diantara kita yang memiliki ilmu yang tinggi, melakukan
amalan-amalan dzohir yang luar biasa… akan tetapi dalam masalah amalan hati
maka sangatlah lemah. Ada diantara mereka yang sangat mudah marah… sangat tidak
sabar…kurang tawakkal…, yang hal ini menunjukkan lemahnya iman terhadap
taqdiir. Tatkala datang perkara yang genting maka terlihat dia seperti anak
kecil yang tidak sabar dan mudah marah… menunjukan lemahnya amalan hatinya.
Meskipun ilmunya tinggi…, meskipun amalannya banyak.. akan tetapi ia adalah
orang awam dalam masalah hati. Bahkan bisa jadi banyak orang awam yang jauh
lebih baik darinya dalam amalan hati.
Renungan…
Renungkanlah hadits berikut ini
sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ
الْجَنَّةِ ” فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ
وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ
الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ،
فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى . فَلَمَّا كَانَ
الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ
مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى،
فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ
بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ
لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ
حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ
“Kami sedang duduk bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliapun berkata : “Akan muncul kepada
kalian sekarang seorang penduduk surga”. Maka munculah seseorang dari kaum
Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua
sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan
kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang
ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama
dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi
berdiri (pergi) maka Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash mengikuti orang tersebut
lalu berkata kepadanya : “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk
tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di
rumahmu selama tiga hari?. Maka orang tersebut berkata, “Silahkan”.
Anas bin Malik melanjutkan tuturan
kisahnya :
وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ
مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ
شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ
عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ
اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ
الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ
إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ
مِرَارٍ: ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ”
فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ
مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا
الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ . قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ:
مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ
إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي
لَا نُطِيقُ
“Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Aaash
bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam.
Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan sholat malam,
hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur
maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun
untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : “Hanya saja aku tidak pernah
mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga hari –dan
hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai
hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku,
apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata sebanyak tiga kali : Akan muncul sekarang kepada kalian
seorang penduduk surga”, lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin
menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku
tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Orang itu berkata :
“Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat”. Abdullah bertutur : “Tatkala aku
berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang
engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam
hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada
seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya”. Abdullah berkata,
“Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surge-pen), dan inilah
yang tidak kami mampui” (HR Ahmad 20/124 no 12697, dengan sanad yang shahih)
Perhatikanlah hadits yang sangat agung
ini, betapa tinggi nilai amalan hati di sisi Allah. Sahabat tersebut sampai
dinyatakan sebagai penduduk surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut. Padahal amalan hati yang ia
lakukan –yaitu tidak dengki dan hasad- bukanlah amalan hati yang paling mulia,
karena masih banyak amalan hati yang lebih mulia lagi seperti ikhlas, tawakkal,
sabar, berhusnudzon kepada Allah, dan lain-lain. Namun demikian telah
menjadikan sahabat ini menjadi penduduk surga. Padahal amalan dzohirnya
sedikit, sahabat ini tidak rajin berpuasa sunnah dan tidak rajin sholat malam,
akan tetapi yang menjadikannya mulia… adalah amalan hatinya.
Hadits ini juga menunjukan bahwa amalan
hati jauh lebih berat daripada amalan dzohir. Semua orang bisa saja puasa,
semua orang bisa saja bangun sholat malam, semua orang bisa saja sholat sesuai
sunnah Nabi, semua orang bisa saja berpakaian sebagaimana yang disunnahkan oleh
Nabi… akan tetapi ..:
–
Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahayanya riyaa namun masih saja
terlena dengan kenikmatan semu riyaa’, bangga tatkala dipuji hingga kepala
membesar hampir sebesar gunung…
–
Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahaya ‘ujub, akan tetapi tetap saja
bangga dengan amalan dan karya sendiri…
–
Betapa banyak diantara kita sudah menghapalkan sabda Nabi “Janganlah marah…”,
akan tetapi hati ini susah untuk bersabar dan menerima taqdir Allah yang
memilukan…
–
Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui bahwasanya semua taqdir dan
keputusan Allah adalah yang terbaik akan tetapi tetap saja bersuudzon kepada
Allah…
–
Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui dengan ilmu yang tinggi
bahwasanya Allahlah yang mengatur dan memutuskan segala sesuatu, akan tetapi
tetap saja tawakkalnya kurang kepada Allah..
–
Dan seterusnya..
Besar Kecilnya Nilai Amalan Dzohir Bergantung Dengan Amalan Hati
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا
نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari
kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka
(kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam tangan” (HR
Al-Bukhari no 3673 dan Muslim no 221)
Perhatikanlah…tahukah para pembaca yang
budiman bahwasanya gunung Uhud panjangnya sekitar 7 km dan lebarnya 2 sampai 3
km, dengan ketinggian sekitar 350 meter?. Tentunya kalau ada emas seukuran ini
maka beratnya tibuan ton tentunya. Kalau kita memiliki emas sebesar itu…,
apakah kita akan menginfakkannya??
Lantas kenapa para sahabat mendapat
kemuliaan yang luar biasa ini?, mengapa ganjaran amalan mereka sangat besar di
sisi Allah??
Al-Baydhoowi berkata :
مَعْنَى الْحَديْثِ لاَ يَنَالُ أَحَدُكُمْ
بِإنْفَاق مِثْلِ أُحُدٍ ذَهَبًا منَ الْفَضْلِ وَالأَجْرِ مَا يَنَالُ أَحَدُهُمْ
بِإِنْفَاق مُدِّ طَعَامٍ أَوْ نَصِيْفِهِ وَسَبَبُ التَّفَاوُت مَا يُقَارِنُ
الأَفْضَلَ منْ مَزِيْدِ الإِخْلاَصِ وَصِدْقِ النِّيَّةِ
“Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan emas
sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia sebagaimana yang
diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun hanya menginfakan
satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan tersebut adalah karena
(mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai dengan keikhlasan
yang lebih dan niat yang benar“ (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul Baari 7/34)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فَإِنَّ الْأَعْمَالَ تَتَفَاضَلُ بِتَفَاضُلِ
مَا في الْقُلُوْبِ مِنَ الإِيْمَانِ وَالْإِخْلاَصِ، وَإِنَّ الرَّجُلَيْنِ
لَيَكُوْنَ مَقَامُهُمَا فِي الصَّفِّ وَاحِدًا وَبَيْنَ صَلاَتَيْهِمَا كَمَا
بَيْنَ السَّمَاء وَالْأَرْضِ
“Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan
tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua
orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat mereka
berdua sejauh antara langit dan bumi” (Minhaajus sunnah 6/136-137)
Beliau juga berkata,
أَنَّ الْأَعْمَالَ الظَّاهِرَةَ يَعْظُمُ
قَدْرُهَا وَيَصْغُرُ قَدْرُهَا بمَا في الْقُلُوْبِ، وَمَا فِي الْقُلُوْبِ
يَتَفَاضَلُ لاَ يَعْرِفُ مَقَادِيْرَ مَا فِي الْقُلُوْبِ مِنَ الْإِيْمَانِ
إِلاَّ اللهُ
“Sesungguhnya amalan-amalan lahiriah (dzohir) nilainya menjadi besar atau
menjadi kecil sesuai dengan apa yang ada di hati, dan apa yang ada di hati
bertingkat-tingkat. Tidak ada yang tahu tingkatan-tingkatan keimanan dalam
hati-hati manusia kecuali Allah” (Minhaajus Sunnah 6/137)
Oleh karenanya Allah berfirman
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا
وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya (QS Al-Hajj : 37)
Tentunya banyak orang yang menyembelih
hewan kurban, dan banyak pula yang menyembelih hewan hadyu (tatkala hajian),
dan banyak pula orang yang bersedekah dengan menyembelih hewan, akan tetapi
bukanlah yang sampai kepada Allah darah hewan-hewan tersebut akan tetapi yang
sampai kepada Allah adalah ketakwaan yang terdapat di hati (lihat minhaajus
sunnah 6/137)
Dari sini jelas bagi kita rahasia kenapa
Allah menjadikan pahala sedikit infaq yang dikeluarkan oleh para sahabat lebih
tinggi nilainya dari beribu-ribu ton emas yang kita sedekahkan. Sesungguhnya
amalan-amalan hati para sahabat sangatlah tinggi, keimanan para sahabat
sangatlah jauh dibandingkan keimanan kita. Mungkin kita bisa saja menilai
amalan dzhohir seseorang, akan tetapi amalan hatinya tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah. Para sahabat yang luar biasa amalan dzohirnya bisa
saja ada seorang tabiin yang meniru mereka akan tetapi yang menjadikan mereka
tetap istimewa adalah amalan hati mereka yang sangat tinggi nilainya di sisi
Allah.
Ibnu Taimiyyah berkata tentang para
sahabat, “Hal ini (ditinggikannya pahala para sahabat-pen) dikarenakan keimanan
yang terdapat dalam hati mereka tatkala mereka berinfaq di awal-awal Islam, dan
masih sedikitnya para pemeluk agama Islam, banyaknya hal-hal yang menggoda
untuk memalingkan mereka dari Islam, serta lemahnya motivasi yang mendorong
untuk berinfaq. Oleh karenanya orang-orang yang datang setelah para sahabat
tidak akan bisa memperoleh sebagaimana yang diperoleh para sahabat… oleh
karenanya tidak akan ada seorangpun yang menyamai Abu Bakr radhiallahu ‘anhu.
Keimanan dan keyakinan yang ada di hatinya tidak akan bisa disamai oleh
seorangpun. Abu Bakr bin ‘Ayyaas berkata مَا
سَبَقَهُمْ أَبُو بَكْرٍ بِكَثْرَةِ صَلاَةٍ وَلاَ صِيَامٍ وَلَكنْ بشَىْءٍ وَقَرَ
في قَلْبِهِ “Tidaklah Abu Bakr mengungguli para sahabat
yang lain dengan banyaknya sholat dan puasa akan tetapi karena sesuatu yang
terpatri di hatinya”
Demikian pula para sahabat yang lain yang
telah menemani Rasulullah dalam keadaan beriman kepada Nabi dan berjihad
bersamanya maka timbul dalam hati mereka keimanan dan keyakinan yang tidak akan
dicapai oleh orang-orang setelah mereka…
Sesungguhnya para ulama telah sepakat
bahwasanya para sahabat secara umum (global) lebih baik dari para tabi’in
secara umum. Akan tetapi apakah setiap individu dari para sahabat lebih mulia
dari dari setiap individu dari generasi setelah mereka?, dan apakah Mu’aawiyah
radhiallahu ‘anhu lebih mulia daripada Umar bin Abdil Aziz rahimahullah??.
Al-Qodhi Iyaadh dan ulama yang lain menyebutkan ada dua pendapat dalam
permasalahan ini. Mayoritas ulama memilih pendapat bahwasanya setiap individu
sahabat lebih mulia dari setiap individu dari generasi setelah mereka. Ini
adalah pendapat Ibnul Mubarok, Ahmad bin Hnbal dan selain mereka berdua.
Diantara argumentasi mereka adalah amalan
(dzohir) para tabi’in meskipun lebih banyak, sikap adilnya Umar bin Abdil Aziz
lebih nampak dari pada sikap adilnya Mu’aawiyah, dan ia lebih zuhud daripada
Mu’aawiyah, akan tetapi mulianya seseorang di sisi Allah adalah tergantung
hakekat keimanannya yang terdapat di hatinya…mungkin bisa saja kita mengetahui
amalan (dzohir) sebagian mereka lebih banyak dari pada sebagian yang lain, akan
tetapi bagaimana kita bisa mengetahui bahwasanya keimanannya yang terdapat di
hatinya lebih besar daripada keimanan hati yang lain..?” (Minhaajus
Sunnah An-Nabawiyyah 6/137-139)
Kota Nabi, 24 Muharram 1432 / 30 Desember
2010