Tidak Ada Bid'ah
Hasanah - Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Kaidah Penyebutan
Pelaku & Penyeru Bid'ah sebagai Mubtadi' - Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
https://youtu.be/IhmYMJqBIWISyaikh Ali Hasan Al Halabi - Tercelanya Bid'ah
https://youtu.be/tFdXqiCtka4
(1). As-Sayyid
Muhammad Bin Alawi Al Maliki - Hakikat Bid'ah
(2). Penjelasan luarBiasa
Tentang Bid'ah - Habib Umar Bin Hafidz
(3). Kenali Bid'ah – Fatwa
Muti Mesir DR. Ali Jum'ah
(Sanggahan lihat Syubhat-Syubhat Para
Pendukung Bid’ah Hasanah DR. Firanda Andirja)
(4). Bid’ah Menurut M. Quraish Shihab
(4). Bid’ah Menurut M. Quraish Shihab
(artikel paling
bawah)
(5). Definisi Bid'ah -
Buya Yahya
(lihat bantahan menarik di 183 Comments)
(lihat
74 Comments)
(7). Kekesalan Ustadz Adi Hidayat dengan 'Logika' Untuk Menyimpulkan Hukum Bid'ah
(lihat 202 Comments)
(6). 7 Dalil Bidah
(Bid'ah Hal Baru) Ust. Abdul Somad LC
(7). Kekesalan Ustadz Adi Hidayat dengan 'Logika' Untuk Menyimpulkan Hukum Bid'ah
(lihat 202 Comments)
(8). Apa itu Bid'ah dan Apakah Semua Bid'ah Itu
Sesat ?? - Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
(10). Habib Rizieq Sihab
Angkat Bicara Masalah Bid'ah
(11). Apa Itu
Bid'ah?--Ustadz Abdullah Hadrami (baca 113 Comments)?????
https://youtu.be/NM5j6v8SVzw
https://youtu.be/NM5j6v8SVzw
Sanggahan Pendapat diatas (1,2,3,4,5,6,7,8,9.10.11) lihat
Artikel dibawah
(A). Sahabat Melakukan Bid’ah Pada Masa Rasulullah ??
(B). Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah Dan Beberapa Perkara Baru. (sangat
lengkap, mudah dipahami. In sya Allah)
(C). Beberapa Artikel Ilmiyah, dengan Dalil
Shahih
dan Sharih.
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah- Syubhat Pertama (lihat Comments) :
Syubhat Kedua : Sabda Nabi “Seluruh Bid’ah
Sesat, Adalah Lafal Umum Tapi Terkhususkan” (lihat Comments)
https://firanda.com/571-syubhat-kedua-sabda-nabi-seluruh-bid-ah-sesat-adalah-lafal-umum-tapi-terkhususkan.html
https://firanda.com/571-syubhat-kedua-sabda-nabi-seluruh-bid-ah-sesat-adalah-lafal-umum-tapi-terkhususkan.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Ketiga
https://firanda.com/576-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-ketiga.html
https://firanda.com/576-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-ketiga.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat
Keempat
https://firanda.com/581-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keempat.html
https://firanda.com/581-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keempat.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah –
Syubhat Kelima (lihat Comments)
https://firanda.com/589-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-kelima.html
https://firanda.com/589-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-kelima.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah –
Syubhat Keenam
https://firanda.com/629-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam.html
https://firanda.com/629-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam.html
Semua Bid’ah Adalah Kesesatan (lihat Comments)
https://firanda.com/200-semua-bidah-adalah-kesesatan.html
https://firanda.com/200-semua-bidah-adalah-kesesatan.html
Ulama Syafi’iyah Mengingkari Bid’ah (lihat
Comments)
https://firanda.com/613-ulama-syafi-iyah-mengingkari-bid-ah.html
https://firanda.com/613-ulama-syafi-iyah-mengingkari-bid-ah.html
Ustadz Farhan Abu Furaihan [Membantah Syubhat -
Sahabat melakukan, sedangkan Nabi tidak Melakukannya (lihat 738 Comments)
Meluruskan Syubhat Ahlul Bid'ah yang Berhujjah
Pada Kisah Sahabat I Ust Sofyan Chalid Ruray
Ini Dalilnya (1): Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah?
Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai
Rujukan
Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti
Bid’ah
Ini Dalilnya (4): Adakah Bid’ah Hasanah?
Ini Dalilnya (5): Makna Setiap Bid’ah adalah
Sesat
Ini Dalilnya (6): Benarkah Pembagian Bid’ah
Menjadi Lima?
Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih
Mursalah
Ini Dalilnya (8): Pembagian Bid’ah yang Tepat
Ini Dalilnya (9): Meluruskan Pemahaman Tentang
Bid’ah
Ini Dalilnya (10): Terapi Intensif bagi Pelaku
Bid’ah
Ini Dalilnya (11): Benarkah Rasulullah Tidak
Khawatir Umatnya Berbuat Syirik?
Definisi Bid’ah ('Abdullah bin 'Abdul 'Aziz
at-Tuwaijiri)
(D). Apakah Anda Tidak Takut Berbuat (Bahaya) Bid'ah
? Konsekuensi Ittiba, Wajib Mengingkari Bid’ah. Sebab-Sebab Gemar Melakukan
Bid’ah.
Pelaku Bid’ah Lebih Gemar Bicara Dienul Islam Bil
YouTube (Lisan). Manhaj Salaf = Manhaj Ilmu, Ilmiyah dengan dalil Shahih dan Sharih. Tidak ada yang disembunyikan.
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan.
Dakwah Bil YouTube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia
Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Jawaban Bagi Orang Yang Menganggap Bid'ah Sebagai Perbuatan Baik Seperti Merayakan Maulid Nabi
Pertanyaan
Mohon diperhatikan masalahi ini. Terjadi perdebatan antara mereka yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi merupakan bid'ah dengan mereka yang mengatakan bahwa perkara tersebut adalah bid'ah. Mereka yang mengatakan bahwa merayakan maulid nabi adalah bid'ah, beralasan bahwa hal tersebut tidak terlaksana pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan pada masa shahabat atau salah seorang tabi'in. Sedangkan kelompok lain menjawab dengan berkata, 'Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan tabi'in. Misalnya, sekarang kita mengenal apa yang dikenal 'Ilmu Ar-Rijal' dan ' Al-Jarh wa Ta'dil (ilmu untuk mengenal kapasitas seorang perawi dalam ilmu hadits) dan lainnya. Tidak ada seorang pun yang mengingkari hal tersebut. Oleh karena itu, prinsip dalam pengingkaran masalah ini adalah apabila perkara bid'ah tersebut telah bertentangan dengan pokok (agama). Adapun merayakan maulid, pokok agama mana yang telah dilanggar? Dan masih banyak lagi perbedaan pandangan seputar masalah ini. Merekapun beralasan bahwa Ibnu Katsir rahimahullah menyetujui pelaksanaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apa hukum yang lebih kuat dalam masalah ini berdasarkan dalil?
Teks Jawaban
Alhamdulillah
Pertama,
Hendaknya diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang tanggal persisnya kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan beberapa pendapat. Ibnu Abdul Bar rahimahullah berpendapat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan pada tanggal 2 bulan Rabi'ul Awal. Ibnu Hazm rahimahullah menguatkan pendapat bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 8 Rabiul Awal. Ada pula yang berpendapat tanggal 10 Rabiul Awal, sebagaimana dikatakan oleh Abu Ja'far Al-Baqir. Ada pula yang berpendapat tanggal 12 Rabiul Awal, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ishaq. Adapula yang berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada bulan Ramadan sebagaimana dikutip oleh Ibnu Abdul Bar dari Zubair bin Bakar.
Lihat As-Sirah An-Nabawiah, Ibnu Katsir, hal. 199-200.
Pendapat-pendapat ini cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa orang-orang yang mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada masa lalu tidak memastikan hari tertentu sebagai hari kelahirannya, apalagi untuk merayakannya. Telah berlalu sekian abad kaum muslimin tidak melakukan perayaan hari kelahiran beliau, hingga akhirnya kaum Fathimiah mengada-adakannya.
Syekh Ali Mahfuz rahimahullah berkata,
"(Perayaan maulid) pertama kali diadakan di Kairo, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, abad ke 4. Ketika itu mereka mengada-adakan empat perayaan kelahiran (maulid); Maulid Nabi, Maulid Imam Ali radhiallahu anhu, Maulid Fatimah Az-Zahra' radhiallahu anha, Maulid Hasan dan Husain radhiallahu anhuma dan maulid Khalifah saat itu. Perayaan tersebut terus dilaksanakan hingga dihilangkan oleh Al-Afdhal, pemimpin tentara. Kemudian diadakan kembali pada masa khalifah Al-Amir bi Ahkamillah, pada tahun 524 H setelah nyaris dilupakan orang. Sedangkan yang pertama kali mengadakan maulid di wilaya Arbil adalah Raja Muzaffar Abu Sa'id pada abad ketujuh dan terus diadakan hingga hari ini. Bahkan orang-orang mengembangkannya dan melakukan bid'ah sesuka hati mereka dengan bisikan setan manusia dan jin."
Al-Ibda' Fi Madhari Al-Ibtida', hal. 251
Adapun pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang merayakan maulid nabi, ''Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan tabi'in' Hal itu menunjukkan bahwa mereka belum paham makna bid'ah yang telah diperingatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak hadits.
Dalam masalah ibadah, tidak dibenarkan seseorang bertaqarrub (beribadah) kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada kita. Kesimpulan inilah yang dapat kita ambil dari larangan beliau tentang bid'ah. Maka bid'ah adalah beribadah kepada Allah Ta'ala dengan sesuatu yang tidak dia ajarkan. Karena itu, ulama kalangan mazhab Hanafi radhiallahu anhu berkata,
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْهَا أَصْحَابُ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَلاَ تَعَبَّدُوهَا
'Semua ibadah yang tidak dilakukan para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hendaklah jangan kalian beribadah dengannya.'
Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Imam Malik rahimahullah,
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيناً ، لاَ يَكُونُ الْيَوْمَ دِيناً
'Apa yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka pada hari inipun bukan bagian dari agama.'
Maksudnya adalah sesuatu yang tidak dianggap agama pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak dijadikan sebagai ibadah kepada Allah, maka hal tersebut tidak dianggap agama setelah itu.
Adapun contoh yang disebutkan penanya, yaitu ilmu jarh wa ta'dil, yang dinyatakan sebagai bid'ah yang tidak tercela. Kesimpulan ini dipakai oleh mereka yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk). Lalu mereka tambahkan pembagian bid'ah dalam hukum taklifi yang lima (wajib, sunah, mubah, haram, makruh). Pembagian ini dinyatakan oleh Al-Izz bin Abdussalam rahimahullah, kemudian diikuti muridnya, Al-Qarafi.
Asy-Syatibi telah membantah Al-Qarafi atas persetujuannya terhadap pembagian tersebut, dia berkata,
'Pembagian ini merupakan perkara baru, tidak ada landasannya dari dalil syar'i, bahkan pembagian itu sendiri bertolak belakang. Karena hakikat bid'ah adalah sesuatu yang tidak dilandasi dalil syar'i, baik dari teks syar'i, maupun dari prinsip-prinsip. Sebab, jika ada dalil dari syariat yang menunjukkan wajib, sunah atau mubah, maka hal tersebut tidak dapat disebut bid'ah, dan amalnya dapat digolongkan sebagai amal yang diperintahkan secara umum atau dipilih. Maka menjadikan satu masalah sebagai bid'ah sementara dalil-dalil yang ada menunjukkan wajib, atau sunnah atau mubah, merupakan kesimpulan yang bertolak belakang.
Adapun perkara makruh dan haram dapat diterima sebagai bid'ah dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain. Karena, seandainya ada dalil yang melarang suatu perkara, atau memakruhkannya, maka hal tersebut tidak tepat dikatakan bid'ah, tapi lebih tepat disebut maksiat, seperti pembunuhan atau pencurian, minum khamar dan semacamnya. Maka tidak ada bid'ah yang dapat digambarkan dalam pembagian tersebut selain pembagian haram dan makruh sebagaimana telah disebutkan dalam babnya.
Apa yang dinyatakan Al-Qarafi tentang disepakatinya penolakan terhadap bid'ah adalah benar. Akan tetapi pembagian yang dia lakukan tidak benar. Uniknya, pengakuan adanya kesepakatan terebut dibenturkan dengan sesuatu yang berlawanan, padahal dia tahu perkara-perkara yang dapat merusak ijmak. Sepertinya dia mengikuti gurunya dalam masalah pembagian ini, yaitu Ibnu Abdussalam, tanpa memperhatikan lagi.
Kemudian dia, Asy-Syatibi, menyebutkan dipahaminya kekeliruan Al-Izz bin Abdusssalam rahimahullah dalam masalah pembagian ini, dan bahwa dia menyebutkannya sebagai Al-Mashalih Al-Mursalah sebagai bid'ah. Lalu dia berkata, 'Adapun Al-Qarafi, tidak dapat diterima kekeliruannya yang mengutip pembagian bid'ah tersebut tidak sesuai yang dimaksud oleh gurunya, juga tidak sesuai dengan yang dimaksud orang lain. Karena dia telah berbeda pendapat dengan semua pihak dalam pembagian ini. Maka itu artinya bahwa pandangannya bertentangan dengan ijmak."
Al-I'tisham, hal. 152-153. Kami nasehatkan untuk merujuk kepada kitab tersebut. Sebagian beliau telah membantah dengan sangat baik dan sangat bermanfaat.
Al-Izz bin Abdussalam telah memberikan contoh bid'ah yang wajib dalam pembagiannya. Dia berkata,
Contoh pertama, "Bid'ah yang wajib memiliki beberapa contoh, di antaranya, 'Menyibukkan diri dengan ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) untuk memahami Kalamullah (Al-Quran) dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ini adalah kewajiban, karena memelihara syariah adalah kewajiban, dan hal tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan mengetahuinya. Sebuah kewajiban yang tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu perkara, maka perkara itu menjadi wajib.'
Contoh kedua, 'Menjaga kosa kata yang sulit dalam Al-Quran dan Sunnah.'
Contoh ketiga, 'Membukukan Ushul Fiqih.
Contoh keempat, 'Membincangkan Al-Jarh Wat-Ta'dil (ilmu untuk membedakan mana perawi yang dapat diterima dan mana yang tidak) untuk membedakan hadits shahih dan hadits lemah.
Kaidah dalam syariat telah menunjukkan bahwa memelihara syariat merupakan fardhu kifayah apabila telah melampaui batasan fardhu ain. Memelihara syariah tidak dapat terlaksana kecuali dengan apa yang telah kami sebutkan."
Qawa'idul Ahlam Fi Mashalih Al-Anam, 2/173.
Asy-Syatibih juga telah membantah perkataannya dengan berkata, 'Adapun apa yang dikatakan oleh Izzuddin, maka telah dibicarakan sebelumnya. Contoh-contoh tentang perkara wajib yang dikemukakan, berdasarkan bahwa sebuah kewajiban tidak dapat diwujudkan kecuali dengan perkara tersebut, seperti yang dia katakan, tidak disyaratkan terlaksana di kalangan salaf, juga tidak disyaratkan memiliki landasan khusus dalam syariat, karen hal itu termasuk dalam bab 'Al-Mashalih Al-Mursalah', bukan bid'ah."
Al-I'tisham, hal. 157-158.
Kesimpulan dari bantahannya adalah bahwa ilmu-ilmu ini tidak pantas jika dikatagorikan sebagai bid'ah syar'iah yang tercela. Karena kebenarannya dikuatkan oleh nash-nash yang umum dan kaidah syariah yang umum yang memerintahkan untuk memelihara agama dan sunah serta perintah untuk menyampaikan ilmu syariah dan nash-nash syar'I (Al-Quran dan Sunnah) kepada manusia dengan cara yang benar.
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
"Bi'dah menurut defenisi syariat adalah tercela, berbeda menurut definisi bahasa. Karena semua perkara yang diada-adakan tanpa contoh sebelumnya (menurut bahasa) adalah bid'ah, apakah yang terpuji atau tercela."
Fathul Bari, 13/253.
Dia juga berkata,
"Bid'ah adalah segala sesuatu yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Maka dari segi bahasa bid'ah dapat mencakup perkara yang terpuji dan tercela. Sedangkan menurut pemahaman syariah bid'ah khusus memiliki sifat tercela. Jadi kalau disebutkan dalam katagori terpuji, maka maksudnya adalah pemahaman bid'ah dari segi bahasa."
Fathul Bari, 13/340
Syekh Abdurrahman Al-Barrak ketika memberi penjelasan tentang hadits no. 7277 dalam bab Al-I'tisham bil Kitab was-Sunnah, pasal 2 dalam kitab Shahih Bukhari, beliau berkata,
"Pembagian ini benar jika bid'ah dipahami secara bahasa. Adapun bid'ah menurut syariat, semuanya adalah sesat. Sebagaimana hadits Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam 'Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat." Dengan kaidah yang umum ini, maka tidak dibenarkan jika dikatakan, di antara bid'ah ada yang sifatnya wajib, sunah, mubah. Tapi yang namanya bid'ah dalam agama, apakah masuk dalam perkara haram atau makruh. Di antara perkara bid'ah yang dimakruhkan dan ada pula bahwa ini adalah perkara yang mubah, adalah mengkhususkan waktu Shubuh dan Ashar untuk saling berjabat tangan setelah shalat.."
Yang layak dipahami dan diperhatikan adalah hendaknya diperhatikan tersedianya semua sebab dan tidak adanya penghalang dalam suatu perbuatan pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta para shahabatnya. Maka perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta kecintaan para shahabat terhadapnya merupakan dua sebab yang terdapat pada masa shahabat yang mulia untuk menjadikan hari maulid sebagai perayaan yang mereka rayakan. Tidak sesuatu yang mencegah mereka untuk melakukna hal itu. Maka ketika hal tersebut tidak dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, juga para shahabatnya tidak ada satupun yang melakukannya, maka dapat disimpulkan bahwa perkara tersebut tidak disyariatkan. Sebab seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka akan lebih dahulu dari kita untuk melakukannya."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,
"Demikian pula apa yang diada-adakan sebagian orang. Apakah hendak menyerupai kaum Nashrani dalam merayakan hari lahirnya Isa alaihissalam, atau karena kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta penghormatannya kepadanya, maka boleh jadi Allah akan memberi mereka pahala atas kecintaan dan kesungguhannya, bukan atas perbuatan bid'ahnya, yaitu dengan cara menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai perayaan dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Sesungguhnya hal ini tidak terdapat di kalangan salaf, padahal sebabnya ada, dan penghalangnya tidak ada. Jika perkara itu murni sebuah kebaikan, atau lebih besar kemungkinan benarnya, niscaya kalangan salaf lebih layak melakukannya ketimbang kita. Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada kita, dan mereka adalah orang yang sangat gemar pada amal kebaikan. Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengormatan kepadanya terwujud dengan mengikuti jejaknya, taat kepadanya, mengikuti petunjuknya, menghidupkan sunahnya lahir batin seta menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu, baik dengan hati, tangah dan lisan. Ini merupakan petunjuk generasi awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik."
Iqtidha Ash-Shiratal Mustaqim, hal. 294-295.
Ini adalah ucapan yang tepat, menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terwujud dalam bentuk mencintai sunahnya, mengajarkannya dan menyebarkannya di antara manusia serta membelanya. Inilah jalan yang ditempuh para shahabat radhiallahu anhum.
Adapun orang-orang yang datang belakangan, mereka menipu diri mereka sendiri, dan mereka ditipu oleh setan dengan perayaan-perayaan tersebut dengan pandangan bahwa semua itu sebagai ekspresi kecintaan mereka terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sementara mereka jauh dari tindakan untuk menghidupkan sunah, mengikutinya, mendakwahkannya, mengajarkannya dan membelanya.
Ketika.
Adapun bantahan orang tersebut yang berdalil dengan ucapan Ibnu Katsir rahimahullah, bahwa dia membolehkan pelaksanaan maulid Nabi, hendaknya dia menyebutkan kepada kami dimana dia dapatkan ucapan Ibnu Katsir seperti itu. Karena kami tidak mendapatkan ucapan Ibnu Katsir rahimahullah seperti itu. Kami yakin Ibnu Katsir jauh dari tindakan membela dan mengajarkan bid'ah seperti itu.
Wallahua'lam.
(4). Bid’ah Menurut M.
Quraish Shihab
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo
dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri
Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Bid’ah dari segi bahasa adalah sesuatu yang
baru, belum ada yang sama sebelumnya. Tentu saja, dalam kehidupan ini banyak
hal baru yang bukan saja bersifat material, melainkan juga immaterial dan bukan
saja dalam adat kebiasaan, tetapi juga dalam praktik-praktik yang berkaitan
dengan agama. Hal yang baru itu boleh jadi baik dan boleh jadi juga buruk. Jika
demikian, pastilah ada bid’ah yang baik dan buruk. Agama ada yang berkaitan
dengan ibadah murni (mahdhah) dan ada juga yang bukan ibadah murni (ghair
mahdhah). Bid’ah dalam hal-hal yang bukan ibadah murni dapat dibenarkan selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Katakanlah penggunaan
telepon dan teleks untuk menggantikan pertemuan langsung dan ucapan dalam ijab
dan kabul pada transaksi perdagangan bahkan pernikahan.
Di sisi lain, banyak ulama yang menganalisis
sebab-sebab Rasul saw. tidak mengerjakan sesuatu. Ada yang tidak beliau
kerjakan karena sejak semula itu terlarang dan ada juga yang tidak beliau
kerjakan karena ketika itu belum ada alasan atau dorongan mengerjakannya. Nah,
bila kemudian ada alasan yang mendorong dan dapat dibenarkan, bid’ah dalam hal
ini dapat dibenarkan, seperti menulis dan membukukan al-Qur’an dalam satu
mushaf pada masa Abu Bakar ra. Kita semua tahu bahwa pada masa Rasul saw.,
al-Qur’an belum dibukukan bukan saja karena ayat-ayat masih silih berganti
turun selama hidup Rasul saw., melainkan juga karena kebutuhan untuk
membukukannya belum dirasakan. Ini berbeda setelah beliau wafat. Ada lagi yang
tidak dikerjakan Rasul saw. karena ketika itu ada dorongan atau sebab untuk
tidak mengerjakan.
Shalat Tarawih berjamaah pada mulanya beliau
lakukan di masjid dengan delapan rakaat dan banyak sahabat mengikutinya. Dari
malam ke malam semakin banyak. Ketika itu, beliau khawatir jangan sampai ada
yang menduga shalat itu wajib, maka beliau hentikan dan shalat di rumah
sendirian. Ketika beliau wafat dan kekhawatiran telah sirna, Sayyidina ‘Umar
menganjurkan shalat Tarawih dilaksanakan di masjid dan berjamaah dengan dua
puluh rakaat plus witir. Sayyidina ‘Utsman ra. juga melakukan apa yang tidak
dilakukan Rasul saw. Ketika kota Madinah telah melebar dan penduduknya
bertambah, pada hari Jumat, beliau azan dua kali padahal pada masa Nabi saw.
hanya sekali.
Demikianlah, bid’ah dalam ibadah pun
tidak semuanya terlarang jika dasar pokoknya ada. Memang, pada dasarnya, dalam
hal ibadah murni, segalanya tidak boleh kecuali apa yang dikerjakan Rasul saw.,
sedangkan dalam soal muamalat, segalanya boleh kecuali yang dilarang. Akan
tetapi, ulama pun menegaskan bahwa apa yang ditinggalkan Rasul saw. hendaknya
dikaji mengapa ketika Nabi saw. hidup, beliau tidak mengerjakannya. Kalau
memang suatu ibadah atau pekerjaan ada alasan untuk mengerjakannya dan
diketahui bahwa Rasul saw. tidak mengerjakannya, karena enggan, kemudian ada
sesudah beliau yang mengada-ada, itulah bid’ah yang sesat. Itulah yang tidak diterima
Allah swt. dan itu yang dimaksud dengan setiap bid’ah dhalalah (sesat) dan
semua dhalalah di neraka. Dalam konteks ini, ulama berbeda pendapat tentang
tahlil, maulid, dan sebagainya.
Demikian, wallahu a’lam.
Bid'ah menjadi tema perbincangan yang
amat menarik akhir-akhir ini. Tak jarang diskusi dan "ijtihad"
tentang masalah yang satu itu menjadikan satu kelompok menghujat dan
mengkafirkan yang lain. Melihat kelompok lain tak lebih dari sekadar mengada-ada
dalam Islam dan menilai mereka tak menolak bahwa Islam sudah sempurna. Atau
bahkan dianggap menuduh Nabi Muhammad Saw menyembunyikan risalah.
Apa yang dikatakan oleh salah satu ulama ahli tafsir Indonesia tentang masalah
bid'ah ini? Berikut ini pendapat beliau yang kami kutip dari buku "1001
Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui".
Kesempurnaan yang dimaksud dalam surat
Al-Maidah [5]: , adalah kesempurnaan prinsip-prinsipnya. Adapun perinciannya,
maka ia dapat dijabarkan dari prinsip-prinsip tesebut. Salah satu prinsip
ajaran Al-Quran adalah kewajiban mengikuti penjelasan Rasulu (Muhammad saw).
(Lihat QS. an-Nisa' [4]:5) baik penjelasan itu dalam bentuk ucapan dan
perbuatan, maupun pembenaran. Al-Quran juga memberikan analogi (qiyas). Dari
prinsip inilah tertampung banyak sekali hal-hal baru yang bermunculan setiap
saat dalam kehidupan manusia.
Tanpa qiyas, maka tidak mungkin persoalan baru itu dapat ditetapkan
hukumnya atau diketahui bagaimana pandangan agama terhadapnya. Padahal, semua
Muslim berpendapat bahwa ajaran Islam memberikan tuntunan dan selalu sesuai
untuk setiap waktu dan tempat.
Sesuatu yang baru, yang diada-adakan, dan belum ada contoh sebelumnya itulah
yang dianamai "bid'ah". Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Al-Quran
untuk menyatakan, Saya bukan bid'ah dari rasul-rasul (QS. al-Ahqaf [46]: 9)
dalam arti bahwa beliau tidak mengada-ada dengan menyatakan dirinya sebagai
rasul dan beliau bukan orang pertama yang menjadi rasul; banyak rasul sebelum
beliau. Tentu saja ada hal-hal baru dalam kehidupan manusia yang terus
berkembang ini. Semua itu adalah bid'ah, walapun harus diingat bahwa
hal-hal yang baru dan dan yang belum pernah ada pada masa Rasul itu, ada yang
baik dan ada yang buruk.
Dari sini, bid'ah perlu dibagi menjadi bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah
sayyi'ah (yang buruk). Bahkan sementara ulama membaginya kepada bid'ah wajibah;
yaitu sesuatu yang baru tetapi sesuai dengan kewajiban yang ditetapkan agama
serta termasuk dalam kaidah-kaidahnya. Al-Quran tidak dibukukan pada zaman Nabi
saw, namun para sahabat menyepakati pembukuannya karena pembukuan itu adalah
cara pemeliharaannya, dan, tanpa itu, al-Quran dapat hilang.
Ada lagi bid'ah mandubah (yang dianjurkan), seperti shalat Tarawih berjamaah.
Tarawih berjamaah tidak diamalkan oleh Rasul saw., namun karena shalat
berjamaah sesuai dengan kaidah-kaidah sunnah, maka ia menjadi bid'ah yang
dianjurkan. Demikian seterusnya. Jadi, ada bid'ah yang makruh dan ada pula yang
haram. Yang makruh dan haram adalah mengada-ada atas nama agama, berupa ibadah
yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim yang menyatakan: "Semua bid'ah sesat, dan setiap yang sesat
maka di nerakalah (tempat yang wajar bagi pelakunya).", tentu saja yang
dimaksud bukan semua bid'ah.
Atas dasar itu pula para ulama merumusan: "Dalam hal ibdah mahdhah (murni
ritual), segala sesuatu tidak boleh kecuali apa yang dicontohkan atau diajarkan
oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan dalam soal muamalah (selain ibadah murni
ritual), segala sesuatunya boleh selama tidak ada larangan."
Dari kaidah inilah kita dapat berkata bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad saw.
dapat dibenarkan karena ia bukanlah suatu ibadah ritual, melainkan merupakan
salah satu cara untuk mengenang Rasulullah saw dan mempelajari ajaran
Islam--hal mana sesuai dengan kaida-kaidah keagamaan.
Bahkan, Nabi sendiri, dengan cara beliau, merayakan hari lahirnya. Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau ditanya tentang mengapa beliau
berpuasa pada hari Senin (dan Kamis). Beliau menjawab, "Itulah hari
ketika aku dilahirkan."
http://kaderulamakemenag.blogspot.com/2012/12/pandangan-prof-quraish-shihab-tentang.html?m=1
(3). Penjelasan Prof. Dr. Syeikh Ali Jum’ah
tentang Bid’ah
Untuk bisa memahami maksud dari “bid’ah”
maka kita harus memahaminya secara bahasa dan istilah syara’. Dan kita mulai
dari makna secara bahasa terlebih dahulu.
Bid’ah secara bahasa ada sesuatu yang
baru dan apa yang diada-adakan di dalam agama setelah penyempurnaannya. Menurut
Ibnu al-Sukait: Bid’ah ada sesuatu yang baru dan kebanyakan apa yang digunakan
oleh ahli bid’ah secara umum ada di dalam sesuatu yang tercela. Berkata Abu
‘Adnan: seorang ahli bid’ah adalah seseorang yang mendatangkan sesuatu yang
tidak ada yang menyerupainya sebelumnya. Dan (dicontohkan dalam kalimat) “Si
fulan melakukan bid’ah di dalam masalah ini.” Maksudnya adalah tidak ada yang
mendahului melakukan itu sebelumnya.
Allah berfirman di dalam surat Al-Hadid ayat 27.
Allah berfirman di dalam surat Al-Hadid ayat 27.
ورهبانية ابتدعوها….
“Dan kerahiban yang mereka ada-adakan.”
Bid’ah secara syara’:
Ada dua jalan yang ditempuh para ulama
dalam mendefinisakan bid’ah secara syara’:
Pertama: Jalan yang ditempuh oleh Al-‘Izz
bin Abdussalam; sesuatu yang Nabi SAW tidak pernah melakukannya maka itu adalah
bid’ah, dan bid’ah sendiri terbagi menurut hukum-hukum fikih. Al-‘Izz bin
Addussalam berkata: “Perbuatan yang tidak ada di masa Rasulullah SAW itu
terbagi ke dalam beberapa hukum: :Bid’ah Wajib, Bid’ah Haram, Bid’ah Sunat,
Bid’ah Makruh, dan Bid’ah Mubah. Dan jalan mengetahui hal tersebut adalah
dengan cara memasukkan perbuatan bid’ah tersebut ke dalam kaidah-kaidah
syariat: Kalau dia masuk ke dalam kaidah wajib maka dia menjadi bid’ah wajib,
apabila dia masuk ke dalam kaidah haram maka dia menjadi bid’ah haram, apabila
dia masuk ke dalam kaidah sunat maka dia menjadi bid’ah sunat, apabila dia
masuk ke dalam kaidah makruh maka dia menjadi bid’ah makruh, apabila dia masuk
ke dalam kaidah mubah maka dia menjadi bid’ah mubah.
Imam Nawawi mendukung pernyataan ini
dengan berkomentar: “Setiap yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW adalah
bid’ah, akan tetapi daripadanya ada yang baik dan ada yang sebaliknya.”
Jalan Kedua: Sebagian ulama ada yang
memahami bid’ah secara syara’ lebih khusus daripada secara bahasa. Maka mereka
menamakan bid’ah hanya untuk perbuatan yang tercela dan haram saja. Dan tidak
menamai bid’ah yang masuk ke dalam kategori wajib, sunat, mubah, atapun makruh
sebagai bid’ah sebagaimana yang dilakukan oleh Al-‘Izz bin Abdussalam. Kelompok
ini membatasi pemahaman bid’ah hanya pada perbuatan haram. Dan di antara yang
berpendapat seperti itu adalah Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah. Dan dia
menjelaskan pendefinisian ini dalam perkataannya: “Dan yang dimaksud dengan
bid’ah adalah apa saja yang tidak ada asal-usulnya/dasarnya di dalam syariat
yang menjadi dalil atas perbuatan itu. Ada pun apa saja yang memiliki
asal/dasar di dalam syariat yang menjadi dalil atas perbuatan itu maka itu
bukan bid’ah, walau pun itu bid’ah secara bahasa.”
Pada hakikatnya kedua pandangan ini
bersepakat bahwa bid’ah yang tercela secara syara’ yang pelakunya mendapatkan
dosa adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya di dalam syariat yang bisa menjadi
dalil atas bid’ah tersebut. Dan inilah yang dimaksud dari sabda Rasulullah SAW.
“Setiap bid’ah itu sesat.”
Dan ini adalah pemahaman yang jelas dan
terang dari para imam ahli fikih dan ulama yang menjadi panutan umat. Dan di
antara yang mengikuti pemahaman ini adalah Imam Syafi’i rahimahullah ta’alaa
yang mana meriwayatkan dari Imam Baihaqi bahwa dia berkata: “Hal-hal yang baru
dari berbagai hal itu ada dua macam: Pertama; hal-hal baru yang menyelisihi
Al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat, dan ijma’ ulama maka ini adalah bid’ah yang
sesat. Kedua: Hal-hal baru yang berupa kebaikan yang tidak menyelisihi satu pun
sumber-sumber agama maka ini adalah hal baru yang tidak tercela.”
Hujatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali
rahimahullah berkata: “Tidak semua bid’ah itu terlarang, akan tetapi yang
terlarang itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah tsabitah, dan
menyingkirkan perintah-perintah syariat.” (Ihya Ulumuddin)
Imam al-Nawawi rahimahullah menukil dari
Sultan Para Ulama Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam tentang masalah ini, dia
berkata: “Berkata Syeikh Imam yang terkumpul di dalam dirinya berbagai
kemuliaan dan cakap dalam berbagai ilmu beserta seluk beluknya, Abu Muhammad
Abdul Aziz bin Abdussalam radhiyallahu ‘anhu di dalam akhir kitabnya tentang
kaidah bid’ah itu terbagi ke dalam wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah. Dan
dia berkomentar di tempat lain di dalam kitabnya perihal bersalaman setelah
selesai shalat. Maka kami sisipkan fatwa perihal bersalaman setelah selesai shalat.
“Ketahuilah bahwa salaman ini disunatkan di setiap perjumpaan, adapun
orang-orang menambahi bersalam setelah dua shalat yaitu Subuh dan ‘Ashar, maka
tidak ada dasar di dalam syariat akan hal ini. Akan tetapi tidak mengapa karena
sesungguhnya asal hukum bersalaman adalah sunat. Ada pun mereka yang menjaga
tetap melakukan di sebagian keadaan dan meninggalkan di sebagian besar atau
kebanyakan hal lain tidaklah menjadikan salaman itu keluar dari hukum asal
bersalaman yang datang di dalam syariat.
Berkata Ibnu Al-Atsi: Bid’ah itu ada dua,
bid’ah hidayah (yang berdasarkan petunjuk) dan bid’ah dhalalah (yang sesat).
Maka apa saja yang menyelisihi apa yang diperintahkan Allah dan Rasulullah SAW
maka dia cenderung kepada ketercelaan dan keingkaran. Dan sesuatu yang berada
di bawah naungan dalil-dalil umum yang sunat dan yang dianjurkan maka dia
cenderung kepada keterpujian. Dan sesuatu yang tidak ada contohnya (dari
Rasulullah SAW) baik berupa kedermawanan, kemurahan hati, dan berbagai
perbuatan baik lainnya maka itu adalah perbuatan yang terpuji.
Dan tidak boleh perbuatan baru itu
menyelisihi apa yang datang di dalam syariat, karena Rasulullah SAW menjajikan
pahala (jika sesuai syariat). Maka Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadits
shahih:
من سن سنة حسنة كان له أجرها و أجر من عمل بها
“Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan
yang baik maka dia akan mendapatkan pahala atas perbuatan baiknya itu dan
pahala orang-orang yang ikut melakukan perbuatan baik itu.”
Dan Rasulullah SAW bersabda sebagai
kebalikan dari hadits di atas:
من سن سنة سيئة كان عليه وزرها و وزر من عمل بها
“Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan
buruk maka dia akan mendapatkan dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa
orang-orang yang mengikuti perbuatan buruk itu.”
Hal ini jika perbuatan itu menyelisihi
apa yang diperintahkan Allah Ta’alaa dan Rasul-Nya SAW.
Dan di antara jenis yang ini (bagian yang
tidak menyelisihi syariat) adalah perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu “Ini adalah
sebaik-baiknya bid’ah”, ketika Umar bin Khattab melihat adalah perbuatan baik
yang masuk ke dalam kecenderungan terpuji maka dia menamainya dengan bid’ah dan
dia memujinya, karena Nabi SAW tidak memberikan contohnya kepada mereka. Pada
waktu itu di bulan Ramadhan Nabi melakukan shalat tarawih beberapa malam di
masjid kemudian dia meninggalkannya dan tidak meneruskannya dan tidak pula
mengumpulkan orang untuk shalat berjama’ah dengannya. Dan shalat tarawih
berjama’ah ini juga tidak dikerjakan di masa Abu Bakar. Kemudian di masa Umar
bin Khattab radhiyallahu ‘anhu orang-orang dikumpulkan oleh Umar dan Umar
mensunnahkan untuk mereka dan Umar menamainya dengan bid’ah namun secara
hakikatnya dia sejalan dengan sunnah dengan berdasar kepada hadits Nabi SAW:
عليكم بسنتي و سنة خلفاء الراشدين من بعدي
“Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan
sunnah para khulafa’ur rasyidin setelahku”
Dan atas dasar hadits:
اقتدوا بالذين من بعدي: أبي بكر و عمر
“Ikutilah orang-orang setelahku
(utamanya) Abu Bakar dan Umar.”
Dan dengan penafsiran ini maka mencakupi
makna hadits lain yang berbunyi:
كل محدثة بدعة
“Setiap yang baru itu bid’ah.”
Maksudnya adalah setiap apa-apa yang
menyelisihi pokok-pokok syariat dan tidak sesuai dengan sunnah.
Lantas bagaimana para ulama menyepakati
pemahaman “bid’ah” ini?
Jumhur Imam dari para ulama yang jadi
panutan menyepakati tentang bid’ah bahwasannya bid’ah itu terbagi menjadi
beberapa bagian sebagaimana muncul hal itu di dalam perkataan Imam Syafi’i
rahimahullah dan ulama yang mengikutinya Imam Al-‘Izz bin Abdussalam, Imam
al-Nawawi, Abu Syamah. Dan para pengikut Malikiyah seperti Al-Qurofi dan
Al-Zarqani. Dan para pengikut Hanafiyah semisal Ibnu ‘Abidin. Dan pengikut
Hanabilah Ibnu Al-Jauzi, dan pengikut aliran zahiriyah seperti Ibnu Hazm. Dan
definisi yang diberikan oleh Al-‘Izz bin Abdussalam mewakili semua pandangan
tentang bid’ah ini:
“Bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada di
zaman Rasulullah SAW dan dia terbagi menjadi bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah
sunnah, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah.”
Dan para ulama memberikan contoh dari
setiap pembagian di atas.
Contoh bid’ah wajib adalah menyibukkan
diri dalam belajar ilmu nahwu dan sharaf, karena dengan mempelajari ilmu nahwu
dan sharaf kita bisa mempelajari Kalam Allah dan Hadits Rasulullah SAW. Maka
dari itu belajar nahwu dan sharaf adalah bid’ah yang wajib.
Contoh bid’ah yang haram adalah adanya
madzhab Qadariyah, madzhab Jabariyah, madzhab Murji’ah, dan madzhab Khawarij.
Contoh bid’ah yang sunnah adalah shalat
Tarawih berjama’ah di masjid, membangun sekolahan, membangun saluran air, dan
lain-lain yang bermanfaat bagi orang banyak.
Contoh bid’ah yang makruh adalah
membuatkan perhiasan mewah di masjid dan menata ulang susunan mushaf.
Contoh bid’ah yang mubah adalah
bersalaman setelah selesai shalat, mengembangkan kelezatan makanan dan minuman,
dan mengembangkan model pakaian.
Para ulama membagi bid’ah menjadi 5
dengan argumentasi dari nash-nash yang ada, di antaranya:
1. Perkataan Umar bin Khattab di dalam
masalah shalat Tarawih berjama’ah di masjid di bulan Ramadhan, dengan
kata-katanya: “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah.”
Telah diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Abdul Qari bahwa dia berkata: “Aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab pada
suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, pada saat itu orang-orang terbagi-bagi
ke dalam beberapa kelompok dan mengerjakan shalat sendiri-sendiri. Dan
seseorang shalat dengan kelompoknya sendiri. Maka Umar berkata: “Membayangkan
kalau seandainya aku mengumpulkan mereka semua di belakang satu imam tentu itu
adalah hal bagus. Kemudian Umar berazam untuk mewujudkan bayangannya. Maka
akhirnya Umar mengumpulkan dengan menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam kemudian
aku keluar bersama Umar di malam yang lain dan orang-orang shalat Tarawih
berjama’ah di belakang satu qori’/imam. Maka Umar berkata: “Ini adalah
sebaik-baiknya bid’ah. Dan yang tidur (untuk bangun di tengah malam dan shalat
Tarawih) itu lebih afdhol dari yang shalat berjama’ah.” Maksudnya adalah di
akhir malam dan sebagian orang shalat tarawih di awal malam.
2. Abdullah bin Umar bin Al-Khattab juga
menamakan shalat Dhuha’ secara berjama’ah di masjid sebagai bid’ah. Dan itu
termasuk di dalam perkara-perkara yang bagus. Diriwayatkan oleh Imam Mujahid,
dia berkata: “Aku dan Urwah bin Al-Zubair masuk ke dalam masjid. Ketika itu
Ibnu Umar sedang duduk dekat kamarnya ‘Aisyah ra. Sementara orang-orang shalat
dhuha’ berjama’ah di masjid. Maka kami menanyakan tentang shalat dhuha’ yang
dilakukan mereka. Abdullah bin Umar pun berkata: “Itu bid’ah.”
3. Banyak hadits-hadits yang meriwayatkan
tentang pembagian bid’ah menjadi bid’ah khasanah dan sayyiah (baik dan buruk),
di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan secara marfu’ (Sanadnya sampai ke
Rasulullah SAW.):
من سن سنة حسنة كان له أجرها و أجر من عمل بها
إلى يوم القيامة، من سن سنة سيئة كان عليه وزرها و وزر من عمل بها إلى يوم القيامة
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang
baik (apapun itu baik yang dicontohkan Nabi atau tidak) maka dia akan
mendapatkan pahala dari amal baiknya itu dan orang yang ikut mengerjakan amal
baik itu. Dan barangsiapa yang melakukan amal yang buruk maka dia akan
mendapatkan dosa dari perbuatannya itu dan dari orang yang ikut mengerjakan
amal buruk itu. (HR. Muslim)
Dari apa yang sudah dijelaskan, maka
jelas lah bahwa di sana ada pandangan umum dari hal ini yaitu: Pendapat yang
disampaikan Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah dan ulama lain yang sependapat
dengannya itu menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang pelakunya diberi pahala
atas pekerjaan itu tidaklah dinamai bid’ah secara syara’, walaupun secara
bahasa itu dinamai bid’ah. Dan Ibnu Rajab bermaksud untuk tidak menamai
perbuatan itu sebagai bid’ah yang tercela secara syara’.
Wallahu a’lam.
Sanggahan :
Lihat Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah
Hasanah- Firanda.com
Memaknai Lafadz Kullu
Sesuka Hati
Demi membela keyakinan adanya bid’ah
hasanah, sepertinya ahli bid’ah tidak merasa takut, walaupun harus menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan makna yang sesungguhnya.
Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
bukan dengan metode yang benar yang di syaratkan oleh para Ulama, diantaranya
yaitu merujuk kepada penafsiran para Ulama ahli tafsir.
Tapi mereka memaknai ayat-ayat Al-Qur’an
mengikuti hawa nafsu.
Sungguh celaka menafsirkan Al-Qur’an
dengan hawa nafsu. Padahal Rasulullah sudah memberikan ancaman yang sangat
keras.
Sebagaimana sabdanya :
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار
“Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an
tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. [HR.
Tirmidzi No.2874].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
juga bersabda :
وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa mengatakan tentang al-Qur’an
dengan akalnya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. [HR.
Tirmidzi No.2875].
Lafadz kullu (كل) dalam hadts :
كل بدعة ضلالة
“Semua bid’ah sesat”
Mereka menolak lafadz “kullu” (كل) dalam hadits
tersebut diartikan “SEMUA”.
Mereka maknai lafadz “kullu” (كل) dalam hadits
tersebut dengan arti “SEBAGIAN”.
Kemudian mereka menunjukkan lafadz
“kullu” (كل) yang terdapat di dalam
beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Kemudian mereka membuat penafsiran sendiri
terhadap ayat-ayat tersebut dengan model penafsiran yang tidak kita temukan
dalam kitab-kitab tafsir para Ulama.
Berikut ini beberapa ayat dalam Al-Qur’an
yang terkait dengan lafadz “kullu” (كل) yang mereka maknai
sesuka hati.
1. Allah Ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍ
”Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup”. (Q.S Al-Anbiyya ayat 30).
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala
menerangkan, bahwa air sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk yang hidup
di muka bumi.
Artinya : Semua makhluk yang hidup di
muka bumi bisa tumbuh dan bertahan hidup karena adanya air.
Itulah penafsiran yang benar.
Itulah penafsiran yang benar.
Adapun ahli bid’ah, mereka menafsirkannya
sebagai berikut :
Lafadz KULLA (كل) pada ayat ke 30
Surat Al-Anbiyya tersebut, maknanya “SEBAGIAN”. Sehingga ayat itu berarti :
Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup. Karena Allah juga
berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi : “Khalaqtanii
min naarin”. Artinya : “Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api”.
Tanggapan :
Allah Ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
”Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup”. (Q.S Al-Anbiyya: 30).
Ayat ke 30 Surat Al-Anbiya di atas
menerangkan bahwa AIR MERUPAKAN SUMBER KEHIDUPAN BAGI SEMUA MAKHLUK YANG HIDUP
DI MUKA BUMI.
AYAT TERSEBUT BUKAN SEDANG MENERANGKAN
MENGENAI PENCIPTA’AN MANUSIA ATAU APAPUN.
Perhatikan penafsiran ayat tersebut dalam
kitab tafsir jalalain,
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan : “Dan
dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. Maksudnya air lah yang
menjadi penyebab bagi seluruh kehidupan baik manusia, hewan, maupun
tumbuh-tumbuhan. Namun mengapalah orang-orang kafir tiada juga beriman terhadap
ke esa’an Allah ?”. [Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti,
Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo), 2008, hlm. 126-127].
Untuk mendapatkan penafsiran yang benar
ayat ke 30 dari surat Al-Anbiyya tersebut, maka diantaranya harus melihat
kepada ayat sebelumnya masih dalam ayat yang sama.
Perhatikanlah ayat sebelumnya !
Allah Ta’ala berfirman :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا
”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”
Dengan melihat ayat sebelumnya, maka
jelaslah bahwa ayat ke 30 surat Al-Anbiyaa tersebut sedang menerangkan tentang
langit dan bumi yang dahulunya bersatu. Dan menerangkan bahwa air sebagai
sumber kehidupan bagi makhluk yang ada di bumi.
Maka jelaslah makna air dalam ayat ke 30
dalam Surat Al-Anbiyaa tersebut adalah air yang sesungguhnya, bukan jenis air
apapun.
Dan lafadz (كُلَّ) pada ayat
tersebut, artinya SETIAP / SEMUA. Karena memang semua makhluk yang hidup di
muka bumi kehidupannya bergantung kepada air.
Tidak ada satu pun makhkuk hidup di muka
bumi yang tidak membutuhkan air.
Jadi sangat keliru apabila lafadz kullu (كل) pada ayat tersebut
diartikan SEBAGIAN.
2. Ayat lainnya yang di salah tafsirkan
ialah,
Allah Ta’ala berfirman :
ﺗُﺪَﻣِّﺮُ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ
ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤُﻮﺍ ﻟَﺎ ﻳُﺮَﻯ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺴَﺎﻛِﻨُﻬُﻢْ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻧَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ
ﺍﻟْﻤُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ
“Angin yang menghancurkan segala sesuatu
dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi
kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum
yang berdosa”. (QS al-Ahqaf: 25).
Ahli bid’ah berkata :
Kata kullu (كل) belum tentu
berarti “SEMUA”. sebagai contoh kata kullu dalam ayat ke 25 surat Al-Ahkaf.
Angin topan pada ayat diatas tidak menghancurkan Nabi Hud dan orang-orang
beriman. juga tidak menghancurkan langit dan bumi.
Tanggapan :
Kalimah “kullu” (كل) yang terdapat pada
ayat ke 25 surat Al-Ahkaf tersebut, harus dimaknai “SEMUA”. Tidak bisa di
maknai “SEBAGIAN”
Karena memang realitanya Allah Ta’ala
menghancurkan “SEMUA” yang Allah perintahkan untuk di hancurkan, yaitu
orang-orang yang durhaka dari kaum ‘Ad.
Perhatikan di penghujung ayat tersebut,
ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻧَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻤُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ
“Demikianlah Kami memberi balasan kepada
kaum yang berdosa”.
Di penghujung ayat tersebut menerangkan
tentang pembalasan Allah Ta’ala kepada kaum yang berdosa, yaitu kaum ‘Ad. Juga
penghujung ayat tersebut sebagai penjelas bahwa yang Allah Ta’ala perintahkan
untuk di hancurkan hanyalah orang-orang yang berdosa.
Adapun Nabi Hud ‘alaihis salam beserta
orang-orang beriman, tentu saja tidak termasuk kepada orang-orang berdosa. Dan
tidak Allah perintahkan untuk di hancurkan.
Jadi memang benar apabila lafadz kullu (كل) pada ayat tersebut
dimaknai “SEMUA” karena kenyata’annya memang Allah Ta’ala menghancurkan semua
kaum ‘Ad yang berdosa.
Adapun pengecualiannya,
ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺴَﺎﻛِﻨُﻬُﻢْ
“Kecuali tempat tinggal mereka (negri
tempat mereka berada)”.
Yang tidak Allah Ta’ala hancurkan. Tidak
bisa merubah makna kata kullu (كل) pada ayat
tersebut. menjadi “SEBAGIAN”. Karena tempat tinggal mereka, sebagaimana halnya
Nabi Hud ‘alaihis salam dan orang-orang beriman, bukan yang Allah Ta’ala
perintahkan untuk di hancurkan.
Yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala
untuk dihancurkan. Yaitu kaum ‘Ad yang berdosa, Adapun Nabi Hud dan orang-orang
beriman, begitu pula langit dan bumi tidak hancur, karena memang tidak Allah
Ta’ala perintahkan untuk dihancurkan.
Perhatikan penjelasan Ibnu Jarir dalam
tafsirnya :
اِنَّمَا عَنَى بِقَوْلِهِ : { تُدَمِّرُ كُلَّ
شَيْءٍ بِاَمْرِ رَبِّهَا } مِمَّا اُرْسِلَتْ بِهَلاَكِهِ لاَنَّهَا لَمْ
تُدَمِّْ هُوْدًا وَمَنْ كَانَ آمَنَ بِهِ
“Sesungguhnya yang di maksudkan Allah
Subhanahu wa ta’alla dengan firmanNya : Yang menghancurkan segala sesuatu
dengan perintah Tuhannya. Adalah bahwa angin menghancurkan segala sesuatu YANG
DIKEHENDAKI oleh Allah Ta’alla untuk di hancurkan. Sebab angin tidak
menghancurkan Nabi Hud alaihis salam dan orang-orang yang beriman kepadanya”.
(Lihat: تفسير الطبرى (13/ 26-27)).
Penjelasan Ibnu Jarir dalam tafsirnya
tersebut menerangkan, bahwa yang dimaksud angin yang menghancurkan segala
sesuatu, maksudnya ialah YANG DI KEKENDAKI oleh Allah Ta’ala untuk di
hancurkan. Dalam hal ini adalah kaum ‘Ad yang berdosa.
Penafsiran yang sama kita dapatkan dari
Imam Al-Qurtubi rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas sebagai berikut :
اَيُّ كَلُّ شَيْءٍ مَرَّتْ عَلَيْهِ مِنْ
رَجَالِ عَادٍ وَاَمْوَالِه
“Maksudnya, yang di hancurkan hanyalah
segala sesuatu yang dilewati angin dari kaum ‘Ad dan harta mereka”. (الجامع
لاحكام القرآن (16/206). Al-Qurtubi).
Dari keterangan para Ulama ahli tafsir
diatas, maka jelaslah makna kata kullu (كل) yang benar pada
ayat ke 25 surat Al-Ahkaf tersebut adalah “SEMUA” bukan “SEBAGIAN”.
3. Ayat lainnya yang di salah artikan,
Allah Ta’ala berfirman :
وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ
“Ratu Balqis itu telah diberikan semua
(segala sesuatu)”. (Q.S An-Naml: 23).
Ahli bid’ah berkata :
Kata kullu (كل) tidak berarti
semua, bisa kita perhatikan pada ayat di atas. Bagaimana bisa kata kullu (كل) diartikan semua,
bukankah ratu Balqis tidak memiliki kebesaran sebagaimana kebesaran yang
dimiliki Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ?
Bantahan :
Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai
ungkapan-ungkapan yang disajikan dengan gaya bahasa kinayah (kiasan).
Kata-kata kinayah bisa di fahami hanya
oleh orang-orang yang mempelajari ilmu balaghah (sastra Arab).
Dalam ilmu balaghah kata “kullu” pada
ayat tersebut termasuk kepada kalimat kinayah (kiasan). yang berarti
menerangkan sesuatu dengan perkata’an lain.
Makna kata “kullu” (كل) yang artinya
“SEGALANYA” dari ayat tersebut mengandung arti, “RATU BALQIS MEMILIKI KERAJA’AN
YANG BESAR”.
Sebagaimana disebutkan pada kalimat
selanjutnya, masih dalam ayat yang sama.
وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Serta mempunyai singgasana yang
besar.(QS. An-Naml: 23).
Ratu Balqis itu telah diberikan SEMUA
(segala sesuatu), kalau kita fahami dengan ilmu balaghah (sastra Arab) tentu
kita bisa faham, bahwa tentu saja ratu Balqis bukan berarti memiliki segalanya
yang ada di dunia ini. Termasuk yang dimiliki keraja’an Nabi Sulaiman.
Arti SEMUA (segalanya) yang di miliki
ratu Balqis mengandung pengertian : “RATU BALQIS MEMILIKI KERAJA’AN YANG
BESAR”.
Jadi kata “kullu” (كل) pada ayat ke 23
dalam Surat An-Naml tersebut artinya memang “SEMUA” sebagai kinayah (kiasan)
dari “KERAJA’AN YANG BESAR”.
Sebagai perumpama’an : Apabila ada orang
kaya, dia disebut memiliki segalanya. Kita tentu faham, arti SEGALANYA yang
dimaksud adalah : ORANG TERSEBUT SANGAT KAYA. Sehingga dikatakan, MEMILIKI
SEGALANYA.
Kesimpulannya : Yang di sebut ratu Balqis
memiliki segalanya, makna sesungguhnya ratu Balqis memang memiliki SEGALANYA
dalam artian ratu Balqis memiliki KERAJA’AN YANG BESAR.
Jadi memaknai kata “kullu” (كل) pada ayat tersebut
dengan artian “SEGALANYA” adalah pengertian yang benar.
MEMAKNAI KATA KULLU DENGAN BENAR
Kata KULLU (كُلُّ) bisa bermakna
SEBAGIAN juga bisa bermakna SETIAP / SEMUA.
Untuk bisa mengetahui kata KULLU (كُلُّ) apakah bermakna
SEBAGIAN atau SEMUA, maka kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk)
yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain
yang shahih, atau dengan realita yang ada, sehingga kita tidak salah
memaknainya.
Adapun kata KULLU (كُلُّ) pada hadìst,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Maka kata KULLU pada hadìst terebut bermakna
SETIAP atau SEMUA.
Jadi arti yang benar dari hadits tersebut
adalah :
”SETIAP atau SEMUA bid’ah adalah sesat”
Memaknai kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas
dengan arti SETIAP atau SEMUA, bukan berdasarkan hawa nafsu. Tapi berdasarkan
beberapa qarinah yang menunjukkan kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas
memang menunjukkan arti SETIAP atau SEMUA.
Berikut beberapa qarinah yang menunjukkan
kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas yang
menunjukkan makna SETIAP atau SEMUA.
• Qarinah dari perkata’an para Salafus
Shaalih
– Ibnu Umar berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
”Seluruh bid’ah itu sesat sekalipun
manusia memandangnya baik”. (Al Lalika’i 11/50).
– Imam Malik berkata :
من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن
محمدا ﷺ خان الرسالة
“Siapa yang membuat bid’ah dalam agama,
dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik (hasanah), berarti dia telah menuduh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah”. (Al I’tishom
1/64-65).
Dari perkata’an lbmu Umar dan Imam Malik
diatas, kita mendapatkan keterangan bahwa semua bid’ah sesat. Tidak ada
pengecualian.
Jadi kata kullu (كُلُّ) dalam hadits كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ mengandung arti SETIAP
atau SEMUA.
• Qarinah dari sikap para Sahabat
Kata kullu dalam hadits كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ bermakna SETIAP atau
SEMUA juga bisa kita perhatikan dari sikap para Sahabat yang mengingkari
praktek-praktek bid’ah yang di lakukan sebagian orang sa’at itu.
Perhatikan beberapa riwayat berikut ini :
(1) Sa’id bin Musayyib (tabi’in), Ia
melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua
raka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Sa’id bin Musayyib pun
melarangnya. Orang itu berkata : “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan
menyiksaku dengan sebab shalat ? Beliau menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan
menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam
Sunanul Kubra, II/466).
(2) Shahabat yang mulia Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma, menceritakan, Bahwasannya ada seorang laki-laki yang
bersin kemudian dia berkata, “Alhamdulillah wassalaamu ‘alaa Rasuulillaah”
(segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah). Maka Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma berkata : Aku juga mengatakan, “Alhamdulillah was-salaamu
‘alaa Rasuulillah” (maksudnya juga bershalawat). Akan tetapi tidak demikian
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) :
“Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.” (Diriwayatkan olehAt-Tirmidzi, no. 2738).
(3) Terdapat kisah yang telah masyhur
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di
dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka
bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka
dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ
لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا
أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم-
مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ،
وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ
مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah
penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang.
Celakalah kalian, wahai umat Muhammad !, Begitu cepat kebinasa’an kalian !,
Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya
Muhammad ? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah) ?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ
الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ
لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَه
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu
‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa
para Sahabat mengingkari praktek-praktek baru dalam urusan ibadah yang tidak
ada tuntunannya (bid’ah).
Kalaulah bid’ah dalam urusan ibadah itu
ada yang baik, tentu para Sahabat yang disebutkan dalam riwayat-riwayat diatas
tidak akan menegur orang yang melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut.
Maka jelas kata kullu (كُلُّ) pada hadìst كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ terebut bermakna SETIAP
atau SEMUA.
Menurut kaidah atau ketetapan ilmu usul
jika sesuatu kalimah diulang berkali-kali di beberapa tempat sebagaimana
diulang-ulangnya kalimah kullu (كُلُّ) dalam menetapkan
bahawa “setiap (كل) bid’ah itu sesat”,
maka apabila ia terdapat dalam dalil-dalil (al-Quran, al-Hadist dan atsar yang
sahih) maka ia menjadi dalil syarii kulli (دليل
شرعي كلي) yaitu : “Pasti setiap (كل) bid’ah itu sesat.”
• MENURUT SEORANG ULAMA PAKAR BAHASA ARAB
Menurut Imam Asy-Syatibhi seorang Ulama
Shalaf dan pakar gramatika bahasa Arab (nahu-sharf).
Imam As-Sytibhi (wafat 790 H / 1388 M),
adalah seorang Ulama ahlu sunnah, yang keilmuannya diakui oleh seluruh umat
Islam di dunia.
Imam Asy Sytibhi juga dikenal sebagai
seorang pakar atau ahlinya dalam gramatika bahasa arab (nahwu). Beliau menulis
kitab-kitab tentang ilmu nahwu dan sharf, ini sebagai bukti bahwa Imam Asy
Sytibhi ahlinya dalam ilmu tata bahasa arab nahwu dan sharf.
Kitab-kitab nahwu sharf yang beliau tulis
adalah :
– Al-Maqashid al-Syafiyah fi Syarhi
Khulashoh al-Kafiyah, kitab bahasa tentang Ilmu nahwu yang merupakan syarah
dari Alfiyah Ibnu Malik.
– Unwan al-Ittifaq fi ‘ilm al-isytiqaq,
kitab bahasa tentang Ilmu sharf dan Fiqh Lughah.
– Ushul al-Nahw, kitab bahasa yang
membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu sharf dan Ilmu nahwu.
Kitab karya Imam Asy Syatibhi terkenal
lainnya adalah :
– Al-I’tisham, kitab manhaj yang
menerangkan tentang bid’ah dan seluk beluknya.
Tentang lafadz ”KULLU” pada hadits ”Kullu
bid’ati dholaalah” Imam Asy Syatibhi rahimahullaah berkata :
“PARA ULAMA MEMAKNAI HADITS DI ATAS
SESUAI DENGAN KEUMUMANNYA, TIDAK BOLEH DIBUAT PENGECUALIAN SAMA SEKALI. OLEH
KARENA ITU, TIDAK ADA DALAM HADITS TERSEBUT YANG MENUNJUKKAN ADA BID’AH YANG
BAIK (HASANAH)”.
(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91,
Darul Ar Royah).
Para pembela bid’ah hasanah yang memaknai
lafadz ”Kullu” dengan membuat pengecualian ”ada bid’ah yang baik (hasanah)”,
apakah lebih pintar dan lebih faham ilmu tata bahasa Arab nahwu sharf dibanding
Imam Asy Syatibhi ?
Yang kredibilitasnya sebagai Ulama
dikenal luas oleh umat Islam dan juga sebagai pakar / ahlinya tata bahasa Arab,
nahwu sharf.
Perkata’an Imam Asy Syatibhi tentu patut
diperhatikan.
با رك الله فيكم
Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί
Pertanya’an
Paling Mematikan Buat Para Pembela Bid’ah
Kalau soal ngotot-ngototan para pembela
bid’ah jagonya. Tidak ada dalil, mimpi dan cerita dusta pun di keluarkan.
Baiklah, Tidak usah banyak kalam, coba
kita tanya mereka dengan pertanya’an di bawah ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda ;
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“. . SEMUA bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim, 867).
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Dan SEMUA kesesatan tempatnya di
neraka”. (HR. An Nasa’i, 1578).
Kata “KULLU” pada hadits tersebut,
bermakna SETIAP atau SEMUA.
Ahli bid’ah menolak dengan keras memaknai
kata “KULLU” dengan SETIAP atau SEMUA.
Menurut mereka, kata “KULLU” di situ
bermakna SEBAGIAN.
Yah sudah, yang waras ngalah.
Kita coba artikan kata “KULLU” dengan
makna, sebagaimana mereka inginkan, yaitu bermakna SEBAGIAN.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam
bersabda ;
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“. . SEBAGIAN bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim, 867).
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Dan SEBAGIAN kesesatan tempatnya di
neraka”. (HR. An Nasa).
SEBAGIAN kesesatan tempatnya dineraka ?
Kalau SEBAGIAN kesesatan tempatnya di
neraka, berarti SEBAGIAN kesesatan lagi tempatnya di surga.
Bukankah di akhirat itu hanya ada dua
tempat, kalau tidak masuk surga, ya masuk neraka.
Sekarang para pembela bid’ah harus bisa
menjawab dengan benar ! ! !
“Sebagian” Kesesatan
Apa Yang Masuk Surga ? ? ?
Wasallam . . .
Mangga di jawab wilujeng puyeng