Wednesday, April 10, 2019

Arab Saudi Melarang Sufi (Tasawuf) : Tarekat Tijaniah, Qadiriyah Dan Naqsyabandiyah, Makanya Tidak Ada Aliran Sesat. Indonesia Perlu Lembaga Semacam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta.



Apa Jadinya Jika Saudi Arabia Dikuasai Oleh Sufi Dan Syiah, Serta Metode (Pemahaman) Nenek Moyang (Tradisi). Jika Aku Menguasai Haramain.
SUFI Kalau Tidak Dusta Rugi (Dusta Hasanah)
https://lamurkha.blogspot.com/2018/11/sufi-kalau-tidak-dusta-rugi-dusta.html
"Dhirar" Chechnya (Konferensi Sufi Sesat)
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/09/dhirar-chechnya.html
Penyakit Riya Dan Gila Popularitas. Mengapa Kita Tak Perlu Terkenal ? Mereka Orang Yang Shalih, Tapi Tidak Mau Dikenal.
Ketika Banyak Ulama Yang Membingungkan, Carilah Ilmu Syar'i Di Madinah.
Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?

Kerajaan Arab Saudi tergolong yang 100% melarang Tasawuf.
Di Arab Saudi, kerajaaan melalui al-Lajnah ad-Daimah melarang keras eksistensi Tasawuf dan Tarekat. Ada 3 Tarekat yang dianggap munkar dan tidak sesuai petunjuk Rasulullah SAW, diantaranya: Tarekat Tijaniah, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah (2). Alasan pelarangan dikarenakan mengandung bid’ah-bid’ah seperti dzikir jama’i, membaca Laa ilaaha illallah sekian ribu kali, dan tawasul.

Bentuk ketidaksetujuan Saudi juga tercermin dalam penerbitan-penerbitan buku/kitab yang mengkritisi Tasawuf. Karya-karya ulama Saudi banyak yang diterjemahkan di Indonesia. Salah satunya adalah dua buah karya Syeikh Muhammad bin Jamil Zainu yang diterbitkan oleh Pustaka at-Tibyan, Solo. Masing-masing berjudul, Taubat Dari Thariqat Sufi (tanpa tahun) dan Fakta dan Data Kesesatan Tasawuf (2001)(3).

Walaupun kerajaan Saudi bersikap anti Tasawuf, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mata kuliah Tasawuf diajarkan pada jurusan Syariah dan Studi Islam, Qassim University (QU). Kajian Tasawuf di QU tidak dimaksudkan untuk amaliah. Hanya sebatas kepentingan ilmiah. Beberapa dosen di sana sedang fokus riset tentang fenomena Syiah yang kini menampilkan wajah Tasawuf di beberapa negara bercorak Sunni.
(2) Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhutsil ‘ilmiyyah wa Ifta’, jilid 2 (Riyadh: Darul Ashimah, 1419 H).
(3) Dalam buku ini dipaparkan 24 macam penyimpangan kaum Sufi, diantaranya: doktrin Nur Muhammad, Berdzikir dengan menari, wihdatul wujud, meminta barokah ke makam Syeikh dan lain-lain. Lihat Muhammad bin Jamil zainu, Fakta dan Data Kesesatan Tasawuf, (Solo: Pustaka at-Tibyan, 2001), hal 15-39.
http://www.bersamaislam.com/2015/03/inilah-negara-negara-yang-melarang.html

Tarekat Sufi Naqsyabandiyah

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada sebuah perkumpulan wanita dari Kuwait. Mereka menyebarkan dakwah sufi beraliran Naqsyabandiyah secara sembunyi-sembunyi, perkumpulan wanita tersebut berada dibawah naungan lembaga resmi.
Kami telah mempelajari kitab-kitab mereka, dan berdasarkan pengakuan mereka, yang pernah ikut perkumpulan wanita ini, tarekat ini memiliki pemahaman diantaranya :
1. Barangsiapa yang tidak mempunyai syaikh, maka yang menjadi syaikhnya adalah syetan.
2. Barangsiapa yang tidak bisa mengambil ahlak syaikh/gurunya, maka tidak akan bermanfaat baginya Kitab dan Sunnah.
3. Barangsiapa yang mengatakan pada syaikhnya, “Mengapa begitu ?” Maka, tak akan sukses selamanya.
Selain itu, mereka berdzikir (dengan tata cara sufi, tentunya) seraya membawa gambar syaikhnya. Mereka suka mencium tangan gurunya yang bergelar Al-Anisaa, dan berasal dari negeri Arab. Mereka menganggap akan mendapat berkah dengan meminum air sisa sang gurunya.
Mereka menulis do’a dengan do’a khusus yang dinukil dari buku Al-Lu’lu wa Al-Marjan Fi Taskhiri Muluki Al-Jann. Dan dalam lapangan pendidikan, perkumpulan ini membangun madarasah khusus untuk kalangan sendiri, mereka didik anak-anak berdasarkan ide-ide kelompoknya, bahkan ada di antaranya yang mengajar di sekolah-sekolah negeri umum, baik jenjang setingkat SMP maupun SMA. Sebagian mereka ada yang berpisah dengan suami dan meminta cerai lewat pengadilan, hal itu terjadi manakala sang suami menyuruh sang istri agar menjauh dari aliran yang sesat ini.
Pertanyaan yang kami ajukan :
1. Bagaimanakah menurut syariat tentang perkumpulan wanita tersebut ?.
2. Diperbolehkan mengawini mereka ?.
3. Bagaimana pula hukumnya dengan akad nikah yang telah berlangsung selama ini ?.
4. Sekarang, nasihat dan ancaman yang bagaimana yang pantas untuk mereka ?.
Mohon penjelasan.
Jawaban.
Tarekat sufi, salah satunya Naqsyabandiyah, adalah aliran sesat dan bid’ah, menyeleweng dari Kitab dan Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Jauhilah oleh kalian perkara baru, karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim]
Tarekat sufi tidak semata bid’ah. Bahkan, di dalamnya terdapat banyak kesesatan dan kesyirikan yang besar, hal ini dikarenakan mereka mengkultuskan syaikh/guru mereka dengan meminta berkah darinya, dan penyelewengan-penyelewengan lainnya bila dilihat dari Kitab dan Sunnah. Diantaranya, pernyataan-pernyataan kelompok sufi sebagaimana telah diungkap oleh penanya.
Semua itu adalah pernyataan yang batil dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sebab, yang patut diterima perkataannya secara mutlak adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا 
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. [Al-Hasr/59 : 7]
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. [An-Najm/53 : 3]
Adapun selain Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, walau bagaimana tinggi ilmunya, perkataannya tidak bisa diterima kecuali kalau sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah. Adapun yang berpendapat wajib metaati seseorang selain Rasul secara mutlak, hanya lantaran memandang “si dia/orang”nya, maka ia murtad (keluar dari Islam). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa ; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. [At-Taubah /9: 31]
Ulama menafsirkan ayat ini, bahwa makna kalimat “menjadikan para rahib sebagai tuhan” ialah bila mereka menta’ati dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Hal ini diriwayatkan dalam hadits Adi bin Hatim.
Maka wajiblah berhati-hati terhadap aliran sufi, baik dia laki-laki atau perempuan, demikianlah pula terhadap mereka yang berperan dalam pengajaran dan pendidikan, yang masuk kedalam lembaga-lembaga. Hal ini agar tidak merusak aqidah kaum muslimin.
Lantas, diwajibkan pula kepada seorang suami untuk melarang orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya agar jangan masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut ataupun sekolah-sekolah yang mengajarkan ajaran sufi. Hal ini sebagai upaya memelihara aqidah serta keluarga dari perpecahan dan kebejatan para istri terhadap suaminya.
Barangsiapa yang merasa cukup dengan aliran sufi, maka ia lepas dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamaah, jika berkeyakinan bahwa syaikh sufi dapat memberikan berkah, atau dapat memberikan manfa’at dan madharat, menyembuhkan orang sakit, memberikan rezeki, menolak bahaya, atau berkeyakinan bahwa wajib menta’ati setiap yang dikatakan gurunya/syaikh, walaupun bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Barangsiapa berkeyakinan dengan semuanya itu, maka dia telah berbuat syirik terhadap Allah dengan kesyirikan yang besar, dia keluar dari Islam, dilarang berloyalitas padanya dan menikah dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ …….. وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا 
“Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman, ………. Dan janganlah kalian menikahkan (anak perempuan) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman ……..”. [Al-Baqarah/2 : 221]
Wanita yang telah terpengaruh aliran sufi, akan tetapi belum sampai pada keyakinan yang telah kami sebutkan diatas, tetap tidak dianjurkan untuk menikahinya. Entah itu sebelum terjadi aqad ataupun setelahnya, kecuali bila setelah dinasehati dan bertaubat kepada Allah.
Yang kita nasehatkan adalah bertaubat kepada Allah, kembali kepada yang haq, meninggalkan aliaran yang batil ini dan berhati-hati terhadap orang-orang yang menyeru kepada kejelekan-kejelekan. Hendaknya berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, membaca buku-buku bermanfa’at yang berisi tentang aqidah yang shahih, mendengarkan pelajaran, muhadharah dan acara-acara yang berfaedah yang dilakukan oleh ulama yang berpegang dengan teguh pada manhaj yang benar.
Juga kita nasehatkan kepada para istri agar taat kepada suami mereka dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam hal-hal yang ma’ruf.
Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
(Fatwa ini dikeluarkan tanggal 18 Jumadil Awal 1414H dg No. Fatwa 16011 & dimuat di majalah As-Sunnah Edisi 17/II/1416H-1996M. Diterjemahkan oleh Andi Muhammad Arief Mardzy)
Tarekat Tijaniyah, Qadariyah  
dan Kitaniyah

Tarekat-Tarekat Sufi Dan Wirid-Wiridnya
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Bufiuts Al-‘Ilmiyah Wal lfta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Bufiuts Al-‘Ilmiyah Wal lfta ditanya : Apa yang dimaksud dengan problematika tasawuf dan apa kedudukannya dalam Islam, yakni; Tarekat Tijaniyah, Qadariyah dan Syi’ah, tarekat-tarekat itu berpusat di Nigeria. Misalnya, Tarekat Tijaniyah, dalam ajarannya ada yang disebut shalawat ba-kariyah, yaitu ucapan; (Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada pemimpin kami Muhammad sang pembuka segala yang tertutup.. dst hingga.. dengan sebenar-benarnya kedudukan dan kedudukannya adalah agung). Shalawat ini dianggap lebih besar dan lebih utama daripada shalawat Ibrahimiyah. Ini saya temukan dalam kitab mereka “Jawahirul Ma’ani” juz I halaman 136. Apakah ini benar?
Jawaban
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada RasulNya, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba ‘du,
Ada yang mengatakan bahwa kata as-sufiyah dinisbatkan kepada as-suffah karena keserupaan mereka dengan sekelompok sahabat yang fakir dan menempati suffah (beranda) masjid Nabawi. Tapi pengertian ini tidak benar, karena penisbatan kepada kata as-suffah menjadi suffiyyun dengan mentasydidkan huruf fa’ tanpa huruf wawu.
Ada juga yang mengatakan bahwa itu dinisbatkan kepada kata shafiwah (suci) karena kesucian hati dan perbuatan mereka. Ini juga salah, karena penisbatan kepada kata shafwah menjadi shafwiyyun. Lain dari itu, kaum sufi lebih banyak diliputi oleh bid’ah dan kerusakan aqidah. Ada juga yang mengatakan, bahwa itu dinisbatkan kepada kata ash-shauf [kain wool], karena merupakan lambang pakaian mereka. Pengertian ini lebih mendekati secara bahasa dan realita mereka. [1]
Hanya Allah lah yang kuasa member! petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Bufiuts Al-‘Ilmiyah wal lfta, 2/182]
TAREKAT-TAREKAT SUFI DAN WIRID-WIRIDNYA
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Bufiuts Al-‘Ilmiyah Wal lfta ditanya : Bagaimana hukum tarekat-tarekat sufi dan wirid-wirid yang mereka susun dan mereka dengungkan sebelum shalat Shubuh dan setelah shalat Maghrib. Apa pula hukum orang yang mengaku bahwa ia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dengan mengu-capkan, ‘semoga kesejahteraan diliimpahkan atasmu wahai matanya semua mata dan ruhnya semua ruh.’?
Jawaban:
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada RasulNya, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba ‘du,
Tarekat-tarekat dan wirid-wirid yang anda sebutkan itu adalah bid’ah, di antaranya adalah Tarekat Tijaniyah dan Kitaniyah. Dari wirid-wirid mereka itu tidak ada yang disyari’atkan kecuali yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan ini, bahwa ada seseorang yang menganut faham Kitani lalu ia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan inderanya dalam keadaan jaga dan mengatakan, ‘semoga kesejahteraan dilimpahkan atasmu wahai matanya semua mata .. dst.’ adalah suatu kebatilan yang tidak ada asalnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah terlihat oleh seseorang dalam keadaan terjaga (tidak dalam keadaan tidur) setelah beliau wafat, dan beliau tidak akan keluar dari kuburnya kecuali pada Hari Kiamat nanti, sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ لَمَيِّتُونَ ﴿١٥﴾ ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di Hari Kiamat. ” [Al-Mukminun/: 15-16]
Dan sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ
“Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat dan yang pertama kali dibukakan kuburnya. [2]
Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’ imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’, 2/184]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Footnote
[1]. Ada bab tersendiri yang membahas tentang tijaniyah dan bid’ah-bid’ahnya. Sebaiknya merujuk fatwa Lajnah Da’imah mengenai hal ini.
[2]. Imam Muslim meriwayatkan seperti itu dalam Al-Fadha’il(2278).
Beberapa Tarekat Dalam Kelompok Tasawuf Dan Hukum Bergabung Dengannya?

Pertanyaan - 20375
Di dalam tarekat sufi ada istilah berjenjang yang dinamakan syariat, thariqah, hakikat, ma’rifat. Apakah benar bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada para sahabatnya cara seperti ini, sama dengan yang dimaksud oleh kaum sufi?
Teks Jawaban
Alhamdulillah
Kita wajib mengetahui bahwa penisbatan pada sufi adalah karena memakai shuf (kain dari bulu kambing) tidak kepada yang lainnya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Nama Sufi dinisbatkan kepada pakaian dari kain yang berasal dari bulu domba. Inilah yang benar. Ada yang mengatakan bahwa sufi itu dinisbatkan kepada “shofwah” (pilihan) dari para ahli fikih, atau dinisbatkan kepada Shufah bin Ad bin Thonjah, sebuah qabilah Arab yang dulu dikenal rajin ibadah, juga ada yang mengatakan dinisbatkan kepada ahli Shuffah (sahabat yang tinggal di masjid Nabawi), atau kepada bukit Shofa atau kepada shofwah (pilihan) atau kepada shaff terdepan di hadapan Alloh, semua pendapat ini lemah. Karena kalau demikian maka mereka akan disebut sebagai Shofiyyun, Shafa’i, Shofwiy, Shofiy, dan tidak disebut dengan Shufi”. (Majmu Fatawa: 11/195)
Tasawuf belum muncul kecuali setelah berlalunya tiga abad pertama yang telah dipuji oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sabdanya:
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ( رواه البخاري، رقم  2652، ومسلم، رقم 2533 من حديث ابن مسعود)
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”. (HR. Bukhari, no. 2652 dan Muslim, no.  2533 dari hadits Ibnu Mas’ud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Adapun kata “Sufi” belum terkenal pada tiga abad pertama, akan tetapi istilah itu baru dikenal setelah berlalunya tiga generasi tersebut”. (Majmu’ Fatawa: 11/5)
Tarekat tersebut dan semua tarekat serupa yang mengandung bid’ah, bertentangan dengan al Qur’an, sunnah dan semua yang dilakukan oleh generasi terbaik umat ini pada tiga masa tersebut. Setiap pimpinan tarekat tersebut membuat dzikir, hizb dan tata cara beribadah yang berbeda dengan yang lainnya. Hal ini tentu bertentangan dengan syari’at dan memecah belah barisan umat.
Alloh telah memberikan karunia kepada umat dengan menyempurnakan agama dan nikmat-Nya. Siapa saja yang melakukan Ibadah dan tarekat yang tidak ada di dalam syari’at, maka dia telah mendustakan firman Alloh –Ta’ala- dan tertuduh berkhianat kepada Nabi –shallallahu alaihi wa sallam-.
Bisa jadi dengan perbuatan bid’ah mereka mengandung kedustaan; karena pimpinannya mengklaim bahwa tarekat mereka itu berasal dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau bahwa mereka sesuai dengan jalan dan petunjuk para Khulafa Rasyidin.
Lajnah Daimah pernah ditanya:
“Apakah ada di dalam Islam tarekat-tarekat yang bermacam-macam, seperti: tarekat Syadzaliyah, tarekat Kholwatiyah dan lain sebagainya. Jika tarekat-tarekat tersebut ada, maka apa yang menjadi dalilnya? dan apa maksud dari firman Alloh –Tabaraka wa Ta’ala-:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (سورة الأنعام: 153)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am: 153)
Dan apa maksud dari firman Alloh yang lain:
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ (سورة النحل: 9)
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar)”. (QS. An-Nahl: 9)
Mana saja beberapa jalan yang bermacam-macam?, dan mana yang dimaksud dengan sabilillah (jalan Alloh) ?. Kemudian apa maksud dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa beliau menggambar sebuah garis, kemudian bersabda:
هذا سبيل الرشد
“Ini adalah jalannya petunjuk.”
Kemudian beliau menggambar beberapa garis ke kanan dan ke kiri kemudian bersabda:
هذه سبل على كل سبيل منها شيطان يدعو إليه ؟
“Beberapa jalan ini, pada setiap jalannya adalah setan yang mengajaknya.”
Mereka menjawab:
“Tidak ada di dalam Islam seperti tarekat-tarekat yang telah disebutkan atau tarekat yang serupa dengannya. Yang ada di dalam Islam adalah apa yang ada di dalam kedua ayat dan hadits yang telah anda sebutkan bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
افترقت اليهود على إحدى وسبعين فِرقة ، وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فِرقة ، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فِرقة ، كلها في النار إلا واحدة " ، قيل : من هي يا رسول الله ؟ قال : " من كان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي
“Orang-orang Yahudi pecah menjadi 71 kelompok, orang-orang Nasrani pecah menjadi 72 kelompok, sedangkan umatku akan pecah menjadi 73 kelompok, semuanya di neraka kecuali satu (kelompok saja)”. Ada yang bertanya: “Siapa gerangan mereka (yang selamat) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mereka adalah orang yang pedomannya seperti apa yang aku bawa saat ini dan para sahabtku.”
Dan sabda Nabi –‘alaihis shalatu was salam-:
لا تزال طائفة من أمتي على الحق منصورة ، لا يضرُّهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله وهم على ذلك
“Senantiasa ada kelompok dari umatku yang membela kebenaran dan mereka adalah golongan yang ditolong. Tidak membahayakan mereka siapa yang mengabaikan mereka dan yang menyelisihi mereka, sehingga datang ketetapan Alloh sedangkan mereka tetap pada kondisi seperti itu.”
Yang benar adalah mengikuti Al Qur’anul Karim dan sunnah Nabawiyah yang shahih dan jelas. Inilah jalan Alloh, merupakan jalan yang lurus, jalan yang dituju, termasuk juga garis yang lurus yang telah disebutkan tadi di dalam hadits Ibnu Mas’ud. Dan itulah yang diajarkan kepada para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan Alloh pun meridhoi mereka dan meridhoi pengikut mereka dari generasi salaf umat ini dan siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka (3 abad terbaik). Tarekat-tarekat dan kelompok lainnya itulah yang merupakan jalan-jalan yang disebutkan dalam firman Alloh –Ta’ala- :
وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ (سورة الأنعام: 153)
“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”. (QS. Al An’am: 153)
(Fatawa Lajnah Daimah: 2/283-284)
Wallahu A’lam.

Tarekat Tijaniyah (Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz)
Borok-Borok Sufi (Oleh Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij)
Beberapa Kesamaan Antara Agama Syi’ah Dengan Tharikat Sufiyyah (karya Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli)
https://almanhaj.or.id/3715-beberapa-kesamaan-antara-agama-syiah-dengan-tharikat-sufiyyah.html
Ajaran Tasawuf Merusak Aqidah Islam (Oleh ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini)
Buku Pegangan Sufi, Sarat Hadits-Hadits Palsu (DR. Ali Musri, MA)
Sejarah Awal Kemunculan Bid'ah dan Mengapa di Indonesia Bid'ah Berkembang Pesat I Ust Zainal Abidin
Membongkar Ajaran Tasawuf : Ciri Ibadah & Agamanya (tulisan Asy Syaikh Dr Sholeh Fauzan)
Membongkar Kedok Sufi : Tasawuf & Wali
https://salafy.or.id/blog/2005/06/05/membongkar-kedok-sufi-tasawuf-wali/

Kesesatan Sufi - Tasawuf : Aqidah Sesat yang Merajalela 
di Indonesia

Bashrah, sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi.Yang mana (di masa tabi’in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang tidak pernah dicontohkan/diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam), hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf). Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan Sufi, sebagai nisbat kepada Shuuf.

Oleh karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karena nisbat kepadanya dinamakan Shuffi, bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Ta’ala, karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi, bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah karena nisbat kepadanya adalah Shafawi dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh – Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau pun berkata:  Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam ! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dari/dibanding petunjuk Al-Masih), beliau Shallallahu alaihi wassalam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya. (Diringkas dari Majmu Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).

Siapakah Peletak/Pendiri Tasawuf ?

Ibnu Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri. Yang mana beliau –menurut Ibnu Ajibah – mendapatkannya dari Allah Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu Ajibah berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai bumbu-bumbu keanehan dan kedustaan. Ia berkata: "Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu, kemudian Al Hasan Al Bashri rahimahullah menimba darinya. (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).

Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata:  "Perkataan Ibnu Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, karena Allah Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (QS Al-Maidah 5:67)

Beliau juga berkata: "Adapun sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah Radiyallahu anhu ia berkata: Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu, maka datanglah seorang laki-laki serayususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu sendiri yang membantahnya. Ada yang bertanya: Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadamu? Maka Ali pun marah lalu mengatakan: "Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail Radiyallahu anhu berkata: Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin ? Beliau menjawab: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).

Hakikat Tasawuf

Bila kita telah mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu, maka dari manakah ajaran Tasawuf ini?

Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata:  "Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma, Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha." (At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28). [1]

Asy Syaikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata:  "Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah Ta’ala di dalam memerangi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah."

Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf

1. Al Hallaj seorang dedengkot sufi, berkata : "Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum". (Dinukil dari Firaq Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy Syuura 26:11)

قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي

“Berkatalah Musa : Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu. Allah berfirman: Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku.” (yakni di dunia-pen) … (QS Al-A’raaf 7:143)
2. Ibnu Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: "Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!" (Fushushul Hikam).[3]

Betapa kufurnya kata-kata ini …, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?!

3. Ibnu Arabi juga berkata : "Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya". (Al Futuhat Al Makkiyyah).[4]

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat 51:56)

إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (QS Maryam 19: 93)

4. Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : "Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama … masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala." [5]

Padahal Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali Imran 3:85)

5. Pembagian ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : "Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya"(karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen). (Majmu’ Fatawa, juz 11 hal. 401).

6. Dzikirnya orang-orang awam adalah La Illaha Illallah, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus / Allah, / Huu, dan / Aah saja.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
”Sebaik-baik dzikir adalah La Illaha Illallah.” (H.R.Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radiyallahu anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 1104).[6]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : "Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa La Illaha Illallah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah/Huu, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan".. (Risalah Al Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13)

7. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (QS An-Naml 27:65)

8. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari nuur/cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Padahal Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (QS Al Kahfi 18:110).

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِن طِينٍ

“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (QS Shaad 38:71)

Wallahu A’lam bish Shawab.

Hadits palsu yang tersebar di kalangan umat

Hadits Abu Umamah “Pakailah pakaian yang terbuat dari bulu domba, niscaya akan kalian rasakan manisnya keimanan di hati kalian.” (HR Al Baihaqi dlm Syu’abul Iman).

Keterangan: Hadits ini palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Yunus Al Kadimy. Dia seorang pemalsu hadits, Al Imam Ibnu Hibban berkata : Dia telah memalsukan kira-kira lebih dari dua ribu hadits. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah Wal Maudhu’ah, no:90)

Catatan kaki :
[1][2] Dinukil dari kitab Haqiqatut Tashawwuf karya Asy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal.7
[3][4][5] Dinukil dari kitab Ash Shufiyyah Fii Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 24-25.
[6] Lihat kitab Fiqhul Ad Iyati Wal Adzkar, karya Asy Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, hal.173.
[Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 46/III/I2/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli “Hakekat Tasawuf dan Sufi”. Penulis Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc. Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email]


Mengenal Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat Naqsyabandiyah
Tanya:
Ustad kalo tarekat Naqsabandiyah itu bagaimana persisnya?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang memiliki cukup banyak pengikut di indonesia. Naqsyabandiyah sendiri berasal dari kata ’Naqsyaband’ yang merupakan gelar pendirinya, Syah Naqsyaband. Sementara tambahan –yah, merupakan ya nisbah, yang berarti pengikut. Sehingga makna Naqsyabandiyah berarti pengikut Syah Naqsyaband.
Setiap tarekat sufi, memiliki ritual dan aqidah tertentu, yang membedakan antara satu tarekat dengan tarekat lainnya. Tak terkecuali tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini memiliki ritual khusus dalam peribadahan maupun aqidah yang membedakannya dengan tarekat lainnya.
Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat ini pertama kali muncul pada abad 14 M di Turkistan. Pencetusnya bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan meninggal tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M.
(al-Mausu’ah al-Muyasaroh fi adyan wa madzahib, 1/260)
Aqidah dan Keyakinan Tarekat Naqsabandiyah
Bagian penting yang membedakan antara satu tarekat dengan tarekat yang lain adalah masalah aqidah. Setiap tarekat memiliki aqidah dan ritual ibadah yang menjadi andalan mereka. Berikut beberapa keyakianan dan aqidah yang dianut tarekat naqsabandiyah,
Pertama, naqsabandiyah memiliki keyakinan bahwa pendiri tarekat pertama adalah Abu Bakr as-Shiddiq. Abu Bakr mengamalkan dzikir dan wirid naqsabandiyah, dengan mengkarantina diri untuk berdizkir dan tidak putus hingga masuk waktu subuh. Ketika itu banyak orang mencium bau daging panggang. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa itu adalah bau hati Abu Bakar karena saking banyaknya berdzikir kepada Allah. (Irgham al-Murid karya al-Kautsari, hlm. 30, simak Majalah Manar al-Huda, volume 16, hlm. 20).
Kedua, mereka berkeyakian bahwa orang yang tidak mengikuti tarekat naqsabandiyah, dia berada dalam bahaya agamanya. Dan doktrin semacam ini bisa dipastikan ada dalam setiap firqah dan aliran kepercayaan. Karena diantara metode untuk mengikat pengikutnya adalah dengan memastikan bahwa merekalah yang paling berhak dengan surga. (simak Nur al-Hidayah wa al-Urfan, hlm. 41)
Ketiga, pengikut naqsyabandiyah menyikapi para tokohnya yang sudah mati sebagaimana ketika layaknya orang hidup. Mereka istighatsah di kuburan tokohnya, meminta keputusan ke tokohnya, membaiat tokohnya yang sudah mati, bahkan menimba ilmu dari mereka. semuanya biasa mereka lakukan di kuburan tokohnya.
Mereka meyakini bahwa hubungan dengan Allah hanya bisa dilakukan melalui cara mendekatkan diri kepada mereka. Media yang mereka gunakan adalah foto tokohnya, atau membayangkan wajah tokohnya dalam imajinasi ketika mereka berdzikir kepada Allah.
Sarana hubungan semacam ini disebut ar-Rabithah.
Bagi naqsyabandiyah, mendekatkan diri kepada Allah melalui ar-Rabithah lebih kuat dibandingkan shalat 5 waktu yang dikerjakan kaum muslimin.
Bahkan diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa syaikh naqsyabandiyah ada yang berupa binatang, seperti kuda, kucing, macan, lebah, atau elang. Dalam kitab Rasyahat ‘ain al-Hayat, dianyatakan,
وأما الحيوانات فلنا منهم شيوخ ، ومن شيوخنا الذين اعتمدت عليهم الفرس فإن عبادته عجيبة ، فما استطعت أن أتصف بعبادتهم
Terkait binatang, kami menegaskan bahwa diantara mereka ada yang menjadi syaikh (guru). Diantara guru kami yang saya jadikan acuan adalah kuda. Ibadahnya sangat menakjubkan. Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana ibadahnya. (Rasyahat A’in al-Hayat hlm. 133, Ali al-Harawi).
Keempat, pembelaan Naqsyabandiyah terhadap ritual ar-Rabithah sangat kuat. hingga ketika mereka ditanya tentang dalil, mereka menegaskan, ritual Rabithah tidak butuh dalil.
على أنه لا يجب علينا الاستدلال على الرابطة الشريفة بدليل لأن دليل من قلدناه من العلماء العاملين والأولياء العارفين كاف واف بالمقصود
”Kami tidak wajib untuk mencari dalil tentang ritual Rabithah yang mulia, karena dalil yang dimiliki oleh para ulama dan para wali al-arifin yang kami ikuti, sudah cukup dan sesuai maksud.” (Nur al-Hidayah wa al-Urfan, hlm. 37).
Di halaman lain dari kitab Nur al-Hidayah, mereka menyatakan,
رؤية الشيخ تثمر ما يثمره الذكر، بل هي أشد تأثيرا من الذكر، وقد كانت تربية النبي لأصحابه كذلك فكانوا يشتغلون برؤية طلعته السعيدة وينتفعون بها أكثر مما ينتفعون بالأذكار
”Melihat Syaikh (dalam khayalan) membuahkan manfaat sebagaimana layaknya dzikir. Bahkan lebih kuat pengaruhnya dari pada dzikir. Dulu pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat juga demikian. Sehingga para sahabat sibuk melihat penampakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bahagia, dan mereka bisa mendapatkan manfaat dengan bayangan itu, melebihi manfaat dzikir. (Nur al-Hidayah wa al-Urfan, hlm. 51).
Kelima, mereka meyakini bahwa as-Salikin (orang yang menempuh jalan tarekat), bisa melihat Allah dalam bentuk semua makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan, atau binatang. Bahkan Allah menampakkan diri dalam bentuk kuda. (al-Bahjah as-Saniyah, hlm. 6).
Menurut mereka, Allah terkadang berubah wujud dengan bentuk yang beraneka ragam.
Diantara mereka bahkan menyebutkan bahwa Allah juga melaksanakan shalat. (Kitab as-Sab’i Asrar fi Madarij al-Akhyar, Muhammad Ma’shum, hlm. 83).
Keenam, pengikut Naqsyabandiyah sangat meyakini kewalian pendirinya Bahauddin Naqsyaband. Dia dianggap memiliki banyak karomah. Diantara karomah Bahauddin, bahwa dia pernah menyuruh seseorang untuk mati, ”Matilah”, kemudian orang itu langsung mati. Kemudian dia hidupkan kembali, ”Hiduplah” lalu dia hidup kembali.
(al-Mawahib as-Sarmadiyah, hlm. 133 dan al-Anwar al-Qudsiyah, hlm. 137).
Ketujuh, Arwah Syaikh Naqsyabandiyah, langsung menuju Allah tanpa dicabut malaikat,
Abdullah ad-Dahlawi mengatakan,
أرواح عامة المؤمنين يقبضها ملك الموت وأما قبض أرواح خاصة الخاصة فلا دخل للملائكة فيها
Arwah manusia pada umumnya dicabut oleh malakul maut (malaikat pencabut nyawa), sementara dicabutnya arwah ulama khusus, tidak berhak malaikat mencabutnya. (al-Hadaiq al-Waradiyah, 213).
Kedelapan, rumah Syaikh Naqsyaband layaknya kiblat yang wajib disucikan
Salah satu murid Syaikh Bahauddin Naqsyaband menceritakan,
أمرني الشيخ شادي أحد أجلاء أصحاب الشيخ بهاء الدين أن لا يمدّ أحدنا رجله إلى جهة يكون فيها الشيخ قدس الله سره
Syaikh Syadi – salah satu murid senior Bahauddin – menyuruhku agar tidak selonjor kaki ke arah di mana Syaikh Bahauddin berada. (al-Hadaiq al-Waradiyah, hlm. 140).
“Suatu hari, aku mendatangi istana kaum Arifin (rumah Syaikh Bahauddin) untuk mengunjunginya. Sebelum sampai, sayapun berteduh di bawah pohon sambil tiduran. Tiba-tiba datang hewan dan menyengat kakiku dua kali. Akupun berdiri kesakitan. Kemudian aku tiduran lagi, dan binatang itu balik lagi. Akupun duduk dan merenung, hingga aku teringat nasehat Syaikh Syadi. Ternyata kakiku selonjor ke arah istana Arifin.” (al-Hadaiq al-Waradiyah, hlm. 140).
Kesembilan, diantara karomah tokoh Naqsyabandiyah, mereka bisa memindahkan penyakit dari satu orang ke benda lain.
Dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya dinyatakan,
وكان لعبيد الله أحرار ميزة عجيبة فكان عنده قوة ينقل بها المرض من شخص لآخر
Syaikh Ubaidilah Ahrar memiliki keistimewaan khusus, beliau memiliki kekuatan bisa memindahkan penyakit dari seseorang ke benda lain. (Jami’ Karamat al-Auliya 2/236, al-Anwar al-Qudsiyah hlm. 177).
ونص الدهلوي على أن نقل المرض من كرامات مشايخ هذه الطريقة
Ad-Dahlawi menegaskan bahwa kemampuan memindahkan penyakit, termasuk karamah para tokoh Tarekat ini. (Syifa al-Alil Tarjamah al-Qoul al-Jamil, 104)
ويحكي الخاني أن تحمل المشايخ للأمراض ونقله إلى آخرين من عادة السادة أصحاب الطريقة
al-Khoni menegaskan, memindahkan penyakit ke orang lain, termasuk kebiasaan tokoh tarekat ini. (al-Hadaiq al-Waradiyah, 148)
demikian beberapa keyakinan dan aqidah tarekat Naqsyabandiyah, yang tertuang dalam buku-buku tokoh mereka. Tentunya masih banyak lagi beberapa aqidah lainnya, dan apa telah disebutkan semoga telah mewakili.
(Keterangan lebih lengkap, simak di: Mausu’ah al-Firaq al-Muntasibah li al-Islam)
Ritual Dzikir Tarekat Naqsyabandiyah
Mengenai ritual dzikirnya, berikut video dokumentasi tata cara dzikir Naqsyabandiyah di sebagian negara:
Allahu a’lam

Ajaran Tasawuf Merusak 
Aqidah Islam

Oleh ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini
Imam Syafi’i rahimahullah : “Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zhuhur, engkau tidak dapati dirinya, kecuali menjadi orang bodoh”. (al-Manâqib lil Baihaqi 2/207)
Wihdatul mashdar menjadi salah satu ciri Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan masaail aqidah, Mereka hanya berlandaskan misykâtun nubuwwah, wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , tidak memandang akal, qiyas dan kasyf sebagai bagian sandaran aqidah. Justru tiga hal tersebut akan bertentangan banyak dengan nash al-Kitab dan Sunnah. Sehingga amat aneh bila ada orang yang mendahulukannya di atas hujjah-hujjah al-Qur`an dan Hadits. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja pernah menegur ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu dari sekedar melihat-lihat lembar Taurat [1] yang sebelumnya merupakan kitab yang diturunkan dari langit meski tidak telah dimasuki oleh tahrif-tahrif hasil penyelewengan tangan para pemuka agama mereka. Dan tentunya Taurat dalam konteks ini lebih afdhal daripada hasil qiyas akal manusia dan kayalan kalangan Sufi.[2]
Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh umat dari masa kenabian, muncullah berbagai keyakinan dan ideologi dari luar al-Qur`ân dan Sunnah yang mengintervensi aqidah Islamiyyah. Sufi dengan ajaran tasawufnya pun ikut menodai kejernihan dan keutuhan aqidah Islamiyyah. Masuknya ideologi ini di tengah masyarakat menyebabkan terjadinya kegoncangan akidah pada akidah kebanyakan umat Islam, pemikiran dan pandangan-pandangan mereka dan secara otomatis menjauhkan mereka dari aqidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Inilah salah satu dampak buruk yang harus dirasakan bila kekeliruan dan penyimpangan sangat dominan di masyarakat, akhirnya khalayak menganggapnya sebagai kebenaran. Pihak yang menentangnya dipandang keluar dari al-haq. Dan lebih menarik lagi, bangsa Barat memberikan atensi besar pada pengkajian khazanah ‘ilmiah’ Sufi, mencetak dan menyebarluaskannya serta menterjemahkannya ke berbagai bahasa. Tiada lain karena mereka sudah mengetahui bahaya Tasawuf bagi Islam dan umat Islam, bukan dalam rangka mendukung Islam. Wallâhul musta’ân.
Dibangun Di Atas Kedustaan

Kerusakan aqidah bila ditampakkan dengan terang-terangan, pasti akan ditolak oleh manusia-manusia yang berfitrah lurus dan berakal sehat. Maka, sebagian tokoh (tarekat Sufi) ajaran ini memperkenalkan tasawuf dengan slogan-slogan, visi dan misi yang menarik agar mudah menggandeng manusia sebanyak mungkin, menegaskan bahwa dakwah mereka sesuai dengan ajaran Islam , misi mereka untuk mensucikan kalbu, membina akhlak dst slogan-slogan menarik guna mengelabuhi umat.

Seorang pemuka tarekat di Mesir, Mahmûd as-Sathûhî menjelaskan bahwa Tasawuf merupakan inti sari pengamalan ajaran Islam, mengamalkan al-Qur`ân dan Sunnah, berjihad melawan musuh dan hawa nafsu. (!!). Sebagian pemuka aliran Tasawuf bahkan memandang bahwa seluruh Sahabat Nabi, generasi Tâbi’în dan Tâbi’ît Tâbi’în adalah pioner aliran Tasawuf karena sikap zuhud dan semangat berjihad mereka. (!?).
Ungkapan-ungkapan di atas hanyalah klaim kosong dan pernyataan yang tidak mendasar. Seorang Muslim yang berilmu akan merasa keheranan dengan klaim-klaim (kosong tanpa bukti). Bagaimana mungkin mereka disebut mengikut al-Qur’ân dan Sunnah, serta menjadi para pengikut dan penerus generasi terbaik umat?. Karena dari sisi aqidah terjadi perbedaan tajam antara aqidah para Sahabat dan kalangan Tasawuf, apalagi dengan aqidah tokoh besar Sufi, semisal Ibnu Arabi.
Namun keheranan ini akan segera sirna begitu mengetahui bahwa klaim-klaim palsu dan tuduhan-tuduhan asal-asalan merupakan salah satu uslub (metode) memasarkan ajaran mereka dan menjauhkan umat dari kebenaran.
Benar-Benar Merusak Aqidah Islamiyah

Kekhawatiran terhadap ideologi Sufi tidak hanya lantaran kandungan penyelewengan akidah yang ada padanya,. Akan tetapi, juga karena penyebarannya yang begitu luas di dunia Islam. Akibatnya, terbentuk semacam opini bahwa kebenaran adalah apa yang ada pada kaum Sufi (?!).

Seperti pepatah Arab, wabil mitsâl yattadhihul maqâl, dengan contoh, pernyataan akan bertambah jelas, maka di sini akan disebutkan beberapa contoh bagaimana ajaran tasawuf merubah kemurnian aqidah Islam:
1. Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-makhluk-Nya dari ‘adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini bukan khaliq (pencipta). Inilah aqidah yang dibawa al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi.
Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Azza wa Jalla dengan aqidahnya yang dikenal dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.
2. Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-Qur`ân dan Hadits telah menentukan abahwa Allâh Azza wa Jalla berada di atas langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy [Thâhâ/20:5]
Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada dimana-mana.
3. Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian mutlak merupakan keutamaan yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada insan yang Allâh kehendaki. Kenabian dan kerasulan tidak datang melalui keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan mereka kepada Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat [al-Hajj/22:75]
Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan melakukan riyadhah, sampai seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab’in[3] mengatakan, “Ibnu Aminah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang lingkupnya luas ketika mengatakan, “Tidak ada nabi sepeninggalku”.
4. Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi serta rasul yang lain juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla memilih mereka dan mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai utusan-utusan-Nya.
Adapun golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad sumber terciptanya makhluk-makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka alam semesta ini tidak akan pernah ada . Mereka pun memandang manusia bila sudah mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam.
5. Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber ketiga atau keempat dan seterusnya…Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata meyakininya sebagai landasan keyakinan.
6. Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik dengan seluruh jenisnya dan praktek penyembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan kuburan dan lain-lain.
7. Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh saja yang mengetahui alam gaib. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan [an-Naml/27:65]
Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut mereka lagi, mereka meemperoleh ilmu itu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Masih banyak keyakinan mereka lainnya yang jelas-jelas berseberangan dengan aqidah yang dibawa oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Pendek kata, ajaran Tasawuf berdiri di atas landasan-landasan berikut:

• Membagi agama menjadi lahir yang diketahui oleh orang-orang awam dan batin yang hanya dimengerti oleh kaum khos (orang-orang khusus saja)

• Memegangi kasyf dan dzauq dalam penetapan masalah-masalah aqidah dan ibadah
• Melegalkan praktek syirik dan bahkan melakukan pembelaan untuknya
• Menshahihkan hadits melalui jalan kasyf
• Beramal berdasarkan hasil mimpi
• Beribadah dengan dasar dzauq dan wajd
• Menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu dan mengamalkannya.
• Membiasakan dzikir jama’i dan beribadah dengan menari-nari diiringi oleh suara-suara alunan bunyi seruling dan alat-alat musik lainnya. Bahkan penulis kitab Ihya Ulumuddin menulis satu bab di dalamnya dukungannya terhadap ‘ibadah’ dengan tarian dan musik disertai penjelasan tentang adab-adab dan menetapkan bahwa musik lebih menggelorakan hati daripada al-Qur`ân dari tujuh aspek. [al-Ihyâ:2/325-328].

Demikian point-point prinsip aqidah yang diajarkan dalam ilmu Tasawuf dan diyakini kalangan Sufi. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala kerusakan dalam keyakinan kita. Wallâhu a’lam.
Dikutip dari at-Tauhîd fî Masîratil ‘Amalil Islami bainal Wâqi wal Ma`mûl, ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini, pengantar Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql, Cet I, Th. 1419H, Darul Qasim. hlm. 25-33.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______

Footnote
[1]. HR. Ahmad, al-Baihaqi, Ibnu Abi Ashim. Hadits hasan dengan berbagai jalur periwayatannya.
[2]. Lihat Manhajul Istidlâl ‘alâ Masâil al-I’tiqâd ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah 1/41-42
[3]. Dia adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrâhîm bin Muhammad bin Nashr bin Sab’în (613-668H), seorang pemuka golongan Sufi dan termasuk berkeyakinan wihdatul wujud.


Buku Pegangan Sufi, Sarat Hadits-Hadits Palsu

Kemunculan firqah-firqah yang menggulirkan banyak perkara baru dalam agama (bid’ah-bid’ah), seperti golongan Sufi, telah mendatangkan fitnah dan ujian tersendiri terhadap keyakinan dan amaliah umat Islam. Fitnah ini salah satunya dalam bentuk ajakan mengagungkan Rasûlullâh hanya melalui ucapan-ucapan lisan saja, dengan mengesampingkan ajakan mengikuti perbuatan-perbuatan beliau. Dengan begitu, mereka telah berseberangan dengan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jalan para Sahabat yang mulia, para Khulafa Rasyidin dan ulama-ulama setelah mereka.
Saudaraku, ketahuilah, di antara landasan pokok kaum Sufi dan ciri khas mereka, adalah menyebarluaskan hadits-hadits lemah, palsu, dan cerita-cerita khayalan (khurafat) disertai mengamalkan kandungan-kandungannya. Landasan dasar mereka yang lain, mentashhih hadits-hadits palsu itu (menilai hadits shahih) melalui kasyf, manâmât (bisikan dan mimpi) yang menyelisihi kaedah Ulama Hadits dalam menilai satu hadits.
Bila diperhatikan, akan cukup sulit bagi Saudara untuk menjumpai dan mendengarkan hadits shahih dalam ceramah dan khutbah-khutbah golongan Sufi. Jarang sekali mereka menyampaikan hadits shahih. Kalaulah mengetengahkan hadits shahih, itu pun dengan memenggalnya dan dijadikan sebagai dalil dalam masalah yang tidak pada tempatnya. Pasalnya, tumpuan utama mereka pada hadits-hadits yang didustakan atas nama Rasûlullâh (hadits palsu), hadits-hadits gharib, dan cerita-cerita khurafat, yang semua ini ditonjolkan untul melegalkan keyakinan-keyakinan yang sesat, praktek syirik dan bid’ah-bid’ah.
Jumlah hadits-hadits dusta dan palsu yang di kalangan Sufi tidak terhitung, baik muncul karena kedangkalan ilmu mereka terhadap hadits maupun kesengajaan. Hadits-hadits dusta dan palsu ini disebarluaskan di tengah umat sampai mengakibatkan diikutinya hadits-hadits yang tertolak dan terbengkalainya hadits-hadits shahih. Pada dasarnya, mereka mengakui kurang menguasai hadits dan kitabt-kitabnya, perbedaan hadits shahih dengan hadits yang bermasalah. Siapa saja memperhatikan buku-buku rujuan penting mereka, akan menjumpai contoh-contoh tersebut dengan jelas sekali.
Seorang tokoh Sufi kontemporer, ‘Abdullâh al-Ghimâri mengaku,” …buku-buku tentang maulid Nabi sarat dengan hadits-hadits palsu, namun telah menjadi akidah yang mengakar pada benak orang awam”.
Sungguh, hadits-hadits dusta sangat banyak (dalam buku-buku Sufi). Dalam konteks ini, ada sebagian orang yang ditokohkan dalam agama yang telah menyusun sebuah kitab berisi berbagai macam kedustaan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat yang mudah memperdayai orang-orang jahil. Meskipun si penulis kitab mungkin tidak punya niat untuk sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan orang itu mencintai beliau, mengagungkan beliau, namun ia melakukannya (menulis hadits-hadits dusta dalam kitabnya) lantaran tidak memiliki kemampuan menyeleksi hadits yang benar dan hadis palsu.
Kalangan Sufi telah menjadikan aktifias menekuni membaca buku Dalâil Khairât (petunjuk-petunjuk kebaikan-kebaikan) sebagai pengganti membaca al-Qur`ân. Padahal dalam buku ini terdapat kedustaan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi Salaf, serta dipenuhi dengan hadits-hadits palsu dan dusta.
Begitu pula, buku pegangan lain berjudul Raudhul Rayâhîn, ar-Raudhul Fâiq, Majâlisu al-‘Arâis dan kitab Maulid Ibni Hajr. Kalangan Sufi lebih menggemari membacari buku-buku yang berbahaya tesebut yang memuat keburukan, hadits palsu dan bid’ah yang disertai ajakan untuk menghidupkannya dengan memalsukan hadits-hadits untuk itu. Mereka tidak memperdulikan kitab-kitab hadits standar yang menjadi landasan umat Islam umumnya, semisal Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, kitab Sunan, Muwaththa, Musnad dan kitab-kitab hadits lain yang menjadi perbendaharaan Islam dalam bidang hadits yang sarat dengan ajaran-ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saudaraku Muslim, jangan sampai engkau membaca buku-buku beracun lagi penuh dusta tersebut, juga jangan membelinya. Kewajiban kita adalah memegangi Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya. Ambillah dari sumber-sumbernya yang terstandar, yaitu kitab-kitab hadits yang telah popular seperti Shahîhain, kitab Sunan, Musnad-musnad, kitab Mushannaf, Muwatha dan kitab-kitab hadits lainnya yang sudah jelas menjadi rujukan umat. Kitab-kitab hadits ini sudah sangat memadai bagi kita, tanpa perlu melihat buku-buku penuh racun yang tersebar di kalangan Sufi.
Selain itu, masih ada kitab-kitab lain yang bermanfaat dalam bahasan ini, seperti Jalâul Afhâm fi ash-Shalâti was Salâmi ‘ala Khairil Anâm karya Imam Ibnul Qayyim, al-Adzkâr dan Riyâdhus Shâlihîn karya Imam Nawawi, al-Kalimu ath-Thayyibi karya Syaikhul Islam.
(Diangkat dari makalah Taqwîmu al-Mafâhîm al-Khâthi`ah ‘Indal Ghulâti wal Jufaati fi ad-Difâ’i ‘anin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, DR. Ali Musri, MA, hlm. 37-38. Disampaikan dalam ”Muktamar Internasional” dengan tema ”Nabi Rahmat, Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam” tanggal 2-4 Oktober 2010 di kota Riyadh, Saudi Arabia)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Kesesatan Tarekat 
Naqsyabandi Haqqani


Oleh, Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI)

Mengenal Syaikh Muhammad Hisham Kabbani
Syaikh Muhammad Hisham Kabbani adalah seorang ulama dan Syaikh Sufi (guru besar sufi) dari Timur Tengah, lulusan dari American University Beirut (Libanon) dalam bidang ilmu kimia, dan lulusan dari fakultas Hukum Islam (Islamic Law) dari Universitas Damaskus. Kemudian dia pergi ke Belgia untuk meneruskan kuliahnya dan mengambil jurusan kedokteran di Universitas Louvain.
Sejak masa kanak-kanak, Hisham Kabbani selalu menemani Syaikh Abdullah Ad-Daghestani dan Syaikh Muhammad Nazhim Al-Haqqani, Grandsyaikh (master sufi) dari Tarekat Naqsyabandiyah yang dianggap paling mulia di abad 21 ini. Hisham Kabbani banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di Timur Tengah, Eropa, dan Timur Jauh untuk menemani syaikhnya itu.
Pada tahun 1991, Hisham Kabbani diperintahkan oleh syaikhnya itu untuk pindah ke Amerika Serikat untuk mendirikan Yayasan Tarekat Naqsyabandiyah di sana. Setelah berhasil merintis sebuah yayasan di sana, akhirnya Hisham Kabbani berhasil membuka 13 yayasan pusat sufi lainnya yang tersebar di Kanada dan Amerika Serikat. Kegiatan HishamKabbani sehari-harinya adalah sebagai dosen di sejumlah universitas, seperti di University of Chicago, Columbia University, Howard, Berkeley, McGill, Concordia, dan Dawson College. Juga HishamKabbani mengajar di sejumlah pusat keagamaan dan spiritual di seluruh Amerika Utara, Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah.
Misi dari pindahnya Syaikh Hisham Kabbani ke Amerika adalah untuk menyebarkan ajaran sufi di benua Amerika. Sebagai seorang syaikh sufi, Syaikh Hisham Kabbani telah diberi wewenang dan diperbolehkan untuk membimbing para pengikutnya menuju cinta ilahi dan menuju maqam (tempat) spiritual menurut ajaran sufi.
Seperti telah diketahui bahwa Hisham Kabbani telah mendirikan sebuah yayasan sufi di Amerika dengan nama Haqqani Foundation sebagai corong untuk menyebarkan ajaran sufi untuk mempererat persaudaraan seluruh umat manusia dan menyatukan kepercayaan manusia kepada Tuhan yang terdapat di dalam semua agama melalui jalur spiritual.
Selain mendirikan yayasan sufi di Amerika, ternyata Hisham Kabbani juga mendirikan sebuah yayasan sufi di negara mayoritas kaum Muslimin ini, yaitu di negara kita Indonesia dengan nama Yayasan Haqqani Indonesia. Secara kejamaahan, masyarakat Naqsyabandi Haqqani Indonesia secara resmi mulai terjalin hubungannya dengan Haqqani Foundation di Amerika Serikat sejak ditunjuknya KH Mustafa Mas’ud sebagai perwakilan pertama dari As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil Al-Haqqani An-Naqsyabandi untuk Indonesia pada tanggal 5 April 1997. Penunjukan dan baiat sebagai representatif telah dilaksanakan oleh As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani pada kunjungan perdana beliau ke Indonesia (ke Jakarta) pada saat itu.
Kedatangan HishamKabbani tersebut bermula dari seringnya terjadi pertemuan antara sebagian warga negara Indonesia yang tinggal di California dengan dirinya, di mana mereka secara rutin selalu mengikuti ritual Sohbet Naqsyabandi Haqqani di Amerika Serikat, shalat Jum’at, dzikir khatam kwajagan, dan lain sebagainya yang biasa diadakan di Masjid Mountain View, CA sebagai salah satu Masjid Utama Jamaah Naqsyabandi Haqqani di Amerika Serikat.
Pada akhirnya, Hisham Kabbani selaku Khalifah dari Syaikh Nazhim di Amerika Serikat bertemu dengan kaum muslimin Indonesia, termasuk seorang mahasiswa bernama M. Hadid Subki yang sedang berada di San Jose, CA. Selanjutnya dia mengutarakan maksudnya untuk membuka hubungan dengan Indonesia atas nama Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil Al-Haqqani An-Naqsyabandi yang akhirnya terbentuklah Yayasan Haqqani Indonesia di Jl. Teuku Umar No. 41 Jakarta Pusat 10310 Indonesia, Tlp. (021) 315 3014 dan Fax. (021) 315 3013.
Meskipun kegiatan Yayasan Haqqani Indonesia sudah berjalan sejak tahun 1997, akan tetapi secara hukum Yayasan Haqqani Indonesia baru diresmikan pada akhir tahun 2000. Yayasan Haqqani Indonesia merupakan cabang Haqqani Foundation yang tersebar di beberapa negara, sehingga pada prinsipnya mempunyai pola dasar keorganisasian yang tidak berbeda dengan Yayasan Haqqani lainnya. Sampai saat ini sudah tersebar beberapa cabang Haqqani Foundation di beberapa negara, misalnya di Italia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Malaysia, Perancis, dan Indonesia.
Di bawah ini akan penulis uraikan beberapa bentuk kesesatan Tarekat Naqsyabandi Haqqani Hisham Kabbani menurut buku-buku yang telah penulis baca dan penulis kaji. Di antaranya dapat penulis simpulkan bahwa Yayasan Haqqani Indonesia di bawah pimpinan HishamKabbani telah melakukan beberapa penghinaan. Di antaranya melakukan: (1) Penghinaan terhadap Allah SWT, (2) Penghinaan terhadap Rasulullah SAW, (3) Penodaan terhadap syariat Islam dan (4) Menyebarkan doktrin sesat.
1. Penghinaan Terhadap Allah SWT
Di dalam hal. 16 di dalam buku karangan Mawlana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani QS yang berjudul Rahasia Tiga Cahaya – Rahasia Di Balik Bilangan Tiga, Hisham Kabbani menulis, "Mawlana berkata, 'Jika Allah mengutuk orang-orang kafir, Dia tidak akan menjadi Tuhan, karena semuanya diciptakan dari Cahaya Ilahi, dari cahaya Rasulullah SAW, dan dari cahaya Adam AS. Bagaimana mungkin Dia mengutuk mereka? Tidak mungkin mengutuk mereka. Di lain pihak mengapa Dia berfirman, "Qalbul mu’min baytullah," "Hati orang-orang yang beriman adalah rumah Allah"? Jika Allah telah menetapkan bahwa hati orang-orang yang beriman adalah rumah-Nya, bagaimana mungkin pada saat yang bersamaan Dia mengutuk seorang manusia? Tidak mungkin, tetapi Allah mengutuk umat manusia, yang tergolong orang-orang kafir, hanya di lidah Rasulullah SAW dan pada level kita, sehingga kita bisa mengerti'."
Padahal, Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, Dia menentukan apa yang Dia ingin lakukan terhadap seluruh makhluk-Nya yang ada di langit maupun di bumi. Di dalam Al-Qur`an telah dijelaskan tentang kutukan (laknat) Allah SWT terhadap orang-orang kafir.
Allah SWT berfirman,
"Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS. Al-Maidah [5] : 78)
"Sungguh, Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. Al-Ahzab [33] : 64)
Apabila kita sebagai umat Islam yang meyakini Al-Qur`an sebagai Kalam Ilahiyang berisi kebenaran, maka kita tidak akan mempermasalahkan kutukan/laknat Allah SWT terhadap orang-orang kafir.
Kemudian, di dalam surah dan ayat berapa Allah SWT berfirman bahwa hati orang-orang yang beriman itu adalah rumah Allah? Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-Qur`an yang menyatakan bahwa hati orang-orang yang beriman adalah rumah Allah SWT. Inilah bentuk kedustaan dari Hisham Kabbani yang sangat besar. Sorban yang besar, tidak berarti ilmunya juga banyak, malah justru bisa sebaliknya, di balik sorbannya yang besar itu, tersembunyi kebohongan yang lebih besar.
Allah SWT berfirman,
"Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau yang berkata, 'Telah diwahyukan kepadaku,' padahal tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata, 'Aku akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.' (Alangkah ngerinya) sekiranya engkau melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam kesakitan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), 'Keluarkanlah nyawamu.' Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan, karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya."(QS. Al-An'am [6] : 93)
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah padahal dia diajak kepada (agama) Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."(QS. Ash-Shaff [61] : 7)
2. Penghinaan Terhadap Rasulullah SAW
Masih di dalam buku yang sama karangan Mawlana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani QS yang berjudul, Rahasia Tiga Cahaya – Rahasia Di Balik Bilangan Tiga, pada hal. 82 terdapat tulisan dengan sub judul “Tiga Karakter Auliya,” isi tulisan tersebut adalah:
"Bismillaahhir Rahmaanir Rahiim. Gransyaikh Abdullah QS menggambarkan bagaimana seorang darwis bisa diterima sebagai hamba Allah yang Maha Kuasa, yaitu pertama dengan cara: 'Dia harus memiliki satu sifat dari masing-masing tiga jenis hewan'." ujar beliau.
"Dari keledai, dia harus mampu membawa beban dengan kesabaran dan tanpa rasa keberatan. Kecuali dia mampu melakukan hal ini, dia tidak akan berhasil, karena tanpa kesabaran, seseorang tidak bisa membawa tanggung jawab hidup."
"Dari anjing, dia harus belajar kesetiaan kepada tuannya. Bila tuannya memerintahkan anjing itu untuk diam di suatu tempat sampai tuannya kembali, anjing tersebut akan melakukannya, bahkan sampai mati. Bila majikannya memukul dan mengejarnya, anjing itu tetap akan kembali, dengan menggoyangkan ekornya, ketika tuannya memanggil."
"Yang terakhir, ketika seseorang melihat seekor babi dia harus tahu bahwa nafsunya lebih kotor dan lebih busuk dari babi itu. Kotoran babi berasal dari luar, sementara nafsu sudah kotor di dalam. Kotoran nafsu datang dari perlawanan terhadap Tuhannya. Kotoran babi berasal dari makanan yang kotor, bukan perlawanan. Orang yang sempurna harus memiliki sifat yang demikian hingga ia mau menerima kotoran apapun yang dilempar kepadanya, baik lewat ucapan maupun tindakan, dengan mengetahui bahwa nafsunya lebih kotor."
"Tiga sifat hewan-hewan ini milik para Nabi dan Aulia. Bila seorang manusia tidak memiliki sifat-sifat ini, dia bukanlah seorang nabi yang membawa semua beban dunia, menerima semua bentuk penyiksaan, dan masih menjaga utuh keyakinan akan Tuhannya dan kesabaran bagi semua. Inilah jejak-jejak yang mana harus kita teladani. Sifat-sifat ini memberikan ketenangan dan kepuasan dalam hatinya. Hanya dengan begini dia mampu meraih kebahagiaan dalam hidup ini. Kalau tidak, ia tidak akan bahagia selalu."
Menurut penulis bahwa semua ini adalah bentuk penghinaan yang jelas-jelas nyata yang ditujukan kepada pada nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW sebagai insan mulia yang mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT. Apakah layak kita menganggap bahwa seorang nabi harus memiliki 3 sifat dari 3 jenis hewan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur`an? Misalnya sifat seekor keledai, anjing dan babi.
Allah SWT berfirman,
"Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al-Jum'ah [62] : 5)
"Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir."(QS. Al-A'raf [7] : 176)
"Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."(QS. Al-Baqarah [2] : 173)
3. Penodaan Terhadap Syariat Islam
Di dalam Jurnal Ahl Haq Koleksi I, edisi Maret-Juni 2005,yang diterbitkan oleh Yayasan HaqqaniIndonesia, Hisham Kabbani bercerita di bawahjudul, "Wanita Inggris Itu," isinya adalah sebagai berikut, Seorang wanita masuk ke ruang pertemuan. Berbusana cantik dan tidak berkerudung. "Apakah beliau yang bernama Syaikh Abdullah QS?" Tanya si wanita itu. Maka mereka pun menjawab, "Ya!" Maka wanita itu pun menghampiri Grandsyaikh, lalu memeluk, dan mencium beliau, dan kemudian dia menangis. Para ulama yang hadir mulai berbisik-bisik, "Pemandangan macam apa ini? Dari mana asal wanita itu?"
Grandsyaikh berkata, "Oh anakku, apa yang Nabi SAW katakan padaku saat ini, aku akan sampaikan kepadamu. Jika Nabi SAW muncul saat ini (bukan secara spiritual, tetapi secara nyata bagi semua orang), maka beliau akan memerintahkan kamu persis seperti apa yang akan aku sampaikan kepadamu. Ini semua dari beliau, jika kamu tetap menjaga dijalan itu, maka kamu akan mampu bertemu dan melihat Nabi SAW. Jangan melihat seorang muslim, kamu tidak ada urusan dengan mereka. Siapa pun yang ingin menjadi seorang muslim, harus mengikuti tiga kewajiban ini, dan jika kamu menerimanya, maka kamu akan bersama Nabi SAW dan para auliyanya, dan jangan dengarkan yang lain!"
Begitu kamu membuka mata saat bangun pagi, ucapkan, Asyhadu an laa ilaaha illalllaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah (Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya). Kemudian minta ampun kepada Allah SWT dan bacalah berulangkali astagfirullah, sebagai pelindung bagimu sepanjang hari agar tidak terjatuh ke dalam dosa!
Kamu hanya perlu mengetahui ibadah 5 kali, yaitu sebelum matahari terbit, siang hari, satu atau dua jam sebelum matahari tenggelam, ketika matahari tenggelam, dan satu jam setelah matahari tenggelam. Kerjakan 5 kali sujud saja, satu kali setiap ibadah. Ucapkan, “Allahu Akbar” dan bersujudlah. Ketika sujud katakan “Ya Allah, Engkau adalah Tuhankudan aku adalah hamba-Mu, aku beriman kepada-Mu, beriman kepada semua utusan-utusan-Mu, dan beriman kepada utusan-Mu Muhammad SAW.” Hanya itulah yang perlu kamu ucapkan, tidak perlu membaca yang lain. Lakukan hal ini pada setiap ibadah 5 kali sehari!”
Sebelum kamu tidur, katakan di depan tempat tidurmu, “Ya Allah, ampunilah apa pun yang telah aku perbuat sepanjang hari ini. Dan siapa pun yang menyakitiku sepanjang hari ini aku memaafkan mereka semua." Lalu ucapkan lagi syahadat 3 kalidan astagfirullah 3 kali. Inilah yang aku ajarkan kepada seorang wanita di Bombay tentang ibadah selain mengajarinya tentang spiritualitas. Jika engkau terus mengamalkan hal ini, maka akan dicatat sama dengan melakukan shalat 5 waktu seperti yang dilakukan oleh semua muslim. Jangan bertanya kepada ulama, jangan dengarkan kata mereka! Wanita itu menjawab, “Baik Syaikh!” (Ahl Haq Koleksi 1, edisi bulan Maret- Juni 2005, hal. 29, 30, 31).
Penulis menilai bahwa cara beribadah yang diajarkan seperti yang telah ditulis oleh Syaikh Hisham Kabbani yang telah kami cantumkan kutipannya di atas sangat menyimpang dan sesat serta menyesatkan. Syariat Islam telah menjelaskan bahwa kewajiban melaksanakan ibadah shalat telah termaktub di dalam Al-Qur`an dan tata caranya telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Tidak ada tata cara shalat selain apa yang telah Nabi Muhammad SAW ajarkan kepada para sahabatnya dan termaktub di dalam hadits-hadits beliau.
Membuat tata cara shalat baru dan mengajarkannya kepada orang lain adalah sebuah bentuk penodaan terhadap ajaran Islam dan penghinaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta pengingkaran terhadap syariat Islam.
Pernyataan untuk tidak bertanya kepada para ulama dan jangan mendengarkan apa yang difatwakan (dikatakan) oleh para ulama adalah pernyataan yang sangat merendahkan martabat (kedudukan) para ulama. Padahal Allah SWT telah berfirman, "Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama."(QS. Fathir [35] : 28), dan Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi.
4. Menyebarkan Doktrin Menyesatkan
Di dalam tulisan Syaikh HishamKabbani yang berjudul, “Pikiran Buruk,” tertulis doktrin Tarekat Naqsyabandi terhadap para pengikutnya, yaitu: "Suatu hari Maulana Syaikh Nazhim berkata, 'Saat yang membahagiakan bagi seorang syaikh bukanlah ketika ia melihat muridnya sedang beribadah, berdzikir, menghadiri Suhbah, ataupun sedang berpuasa. Namun ketika beliau melihat ke dalam hati muridnya, dan beliau tidak menemukan prasangka buruk (di dalam hati muridnya) akan syaikhnya'." (Ahl Haq Koleksi 1, Juni 2005, hal.17).
Sedangkan di dalam tulisanyang lain yang berjudul, "Khalwat: Perintah Untuk Diikuti dan Dukungan dari Allah."terdapat doktrin lain yang menyatakan, “Di dalam tarikat, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh syaikh, walaupun beliau menyuruh menggali bumi lapisan ke-7 dengan sekop patah, maka kalian harus menggali. Janganlah kalian mengatakan, “Tidak!” Jangan gunakan akal kalian dan berkata, “Itu mustahil!” Jika syaikh mengatakan, “Anakku, pergilah ke laut itu, kosongkan air laut itu dengan sebuah gelas atau sebuah ember. Amanat kalian ada di dasar lautan!” Maka kalian harus mengosongkan lautan itu, duduk di sana dan bawa satu ember, lalu kalian katakan, “Syaikh telah menyuruh saya untuk mengosongkan air laut, maka aku akan mengosongkannya.” Bahkan jika kalian mengosongkan dari sini dan airnya kembali lagi dari belakang, maka itu tidak masalah. Kalian telah melaksanakan perintah (itha’atul mursyid/taat kepada mursyid). Jika kalian taat kepada syaikh, maka kalian pun taat kepada Nabi SAW dan taat kepada Allah SWT.” (Ahl Haq, Koleksi 1, Maret 2005, hal. 68-69).
Sedangkan di dalam Ahl Haq Koleksi 2 edisi Juli – Oktober 2005 di dalam tulisan yang berjudul, Hikayat “Orang Gila” (bagian II) disebutkan, “Ketika Sayyidina Umar RA, Khalifah Kedua wafat, maka dua Malaikat Maut mendatangi beliau. “Siapa Tuhanmu?” Sayyidina Umar RA mempunyai watak yang keras dan beliau diam saja ketika pertanyaan itu diajukan. “Apa agamamu?” Beliau tetap diam. “Apa kitabmu?” Tetap tidak ada jawaban. Akhirnya mereka harus membawa beliau menuju neraka. Sayyidina Umar RA berkata, “Aku tidak mendengar apa yang kau ucapkan, mendekatlah ke sini!” Mereka mendekat dan mengulang pertanyaan tadi. “Aku masih belum mendengar...lebih dekat lagi!” “Siapa Tuhanmu?” Sayyidina Umar RA segera mengepalkan tangan dan memukul tepat di mata Malaikat Munkar AS. Para auliya mengatakan bahwa Malaikat Munkar AS hanya memiliki satu mata saja, itu akibat dipukul oleh Sayyidina Umar RA.” (Ahl Haq Koleksi 2, edisi Juli – Oktober 2005, hal. 8).
Doktrin-doktrin seperti ini sudah menjadi ciri khas setiap aliran sesat. Sesuatu yang tidak masuk akal yang sengaja mereka ciptakan dan ajarkan kepada para pengikutnya agar mereka ditaati oleh para pengikutnya.
Menurut penulis, sungguh luar biasa kisah Umar RA versi mereka ini yang berani meninju mata malaikat. Padahal malaikat jelas lebih kuat dan lebih hebat daripada manusia yang hanya diciptakan dari setetes air mani (sperma). Hal ini sama dengan ucapan Abu Jahal yang menghina firman Allah SWT yang dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa neraka Jahannam itu dijaga oleh 19 malaikat. Kemudian Abu Jahal berkata kepada teman-temannya, “Wahai teman-teman, Muhammad telah mengatakan bahwa penjaga Neraka Jahannam itu hanya 19 malaikat. Kalian adalah orang-orang kuat dan banyak jumlahnya. Apakah mampu 100 orang dari kalian untuk mengalahkan 1 malaikat?” Padahal, walaupun berkumpul orang-orang hebat yang ada di dunia ini sejak zaman Nabi Adam AS sampai hari ini untuk mengalahkan 1 malaikat, maka mereka semua tidak akan mampu mengalahkan malaikat, walaupun mereka semua mengeroyok 1 malaikat.
Hisham Kabbani juga sering menyebut-nyebut nama Abdullah Al-Faiz Ad-Daghestani. Siapakah sosok Abdullah Al-Faiz Ad-Daghestani QS itu? Di dalam Tarekat Naqsyabandi Haqqani, ada yang disebut dengan istilah Mata Rantai Naqsyabandi Haqqani. Mata rantai ini dimulai dari Rasulullah Muhammad SAW. Ternyata, Abdullah Al-Faiz Ad-Daghestani menempati posisi ke-39, kemudian posisi ke-40 adalah Muhammad Nazhim Adil Al-Haqqani, sedangkan Muhammad Hisham Kabbani adalah Khalifah Tarekat Naqsyabandi Haqqani untuk seluruh dunia. Lalu di dalam buku yang berjudul, “MUHASABAH, Nilai Seseorang Berhubungan dengan Cara Dia Menilai Waktunya – The Teaching of Sufi Master Mawlana Syaikh Hisham Kabbani,” yang diterbitkan oleh Haqqani Sufi Institute of Indonesia, Abdullah Al-Faiz Ad-Daghestani lahir di Daghestan (nama negara di Rusia) pada 1309 H/ 1891 M. dan dibesarkan serta dididik secara khusus oleh pamannya, yaitu Syaikh Syarafuddin Ad-Daghestani, seorang imam Tarekat Naqsyabandi. Pada 1980-an, negara Daghestan berada di bawah penjajahan tentara Rusia (Uni Soviet). Paman dan ayahnya memutuskan untuk pindah ke Turki. Syaikh Syarafuddin merawat dan melatih Syaikh Abdullah dengan disiplin spiritual secara intensif dan melatihnya berdzikir dengan durasi yang cukup lama. Enam bulan setelah pernikahannya, Abdullah Al-Faiz Ad-Daghestani diperintahkan untuk memasuki khalwat selama 5 tahun.
Pada masa khalwat inilah dia mengklaim hal-hal yang menyesatkan, di antaranya:
Mengklaim mampu melihat detik-detik Muhammad berkhalwatbertahannuts/beribadah) di gua Hira (dahulu, sebelum beliua diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah SWT). Dia mengaku telah duduk selama 40 hari di belakang Muhammad dan mengaku tidak pernah tidur.
Mengklaim mampu berdzikir di Hadirat (di hadapan) Allah SWT.
Mengklaim mampu mendengar sebuah bisikan dari Hadirat Allah SWT, dia mengaku telah mencapai rahasia kesadaran dan wukuf abadi, telah berhasil meraih kunci maqam itu, dan disuruh memasuki Hadirat-Nya dalam tingkatan seseorang yang mampu berbicara dengan Tuhannya, seperti tingkatan Nabi Musa AS ketika beliau berbicara dengan Allah SWT di bukit Thur.
Kemudian dia juga mengklaim beberapa pengakuan aneh pada saat Abdullah Al-Faiz Ad-Daghestani menjadi pasukan tentara Ottoman (Turki Utsmani). Dia mengklaim beberapa hal, di antaranya:
Ketika dia tertembak dan sedang sekarat, dia mengklaim melihat Nabi Muhammad SAW dan beliau pun menghampirinya seraya berkata, “Oh anakku, engkau ditakdirkan untuk meninggal di sini, namun kami masih memerlukanmu di bumi ini, baik secara spiritual maupun fisik…”
Mengklaim menemani Nabi Muhammad SAW pada saat beliau melihat-lihat ketujuh surga pada saat Isra Mikraj. Dia mengaku bisa melihat apa yang ada di dalam ketujuh surga tersebut dan melihat siksaan di neraka seperti yang Nabi Muhammad SAW pernah sebutkan di dalam hadits-hadits beliau.
Mengklaim menerima tugas kembali ke dunia setelah ruhnya diangkat ke Hadirat Allah SWT.
Inilah di antrara doktrin-doktrin sesat yang dihembuskan oleh Hisham Kabbani ke dalam masyarakat muslim Indonesia.
Mudah-mudahan Allah SWT selalu melindungi kita semua dari serangan musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.