Friday, January 1, 2016

Dialah Ja’far Pemilik Dua Sayap

ilustrasi padang pasir

Kamis 19 Rabiulawal 1437 / 31 December 2015
JA’FAR bin Abu Thalib masih saudara sepupu Rasulullah SAW, putra dari Abu Thalib, paman yang mengasuh beliau dari kecil, dan menjadi pelindung Nabi SAW dan dakwah Islamiah ketika masih di Makkah, walaupun akhirnya meninggal dalam kekafiran. Nabi SAW sangat menyayangi Ja’far karena ia termasuk sahabat yang paling mirip dengan beliau. Beliau sendiri pernah bersabda kepadanya, “Engkau adalah yang paling mirip dengan akhlak dan rupaku!”
Ja’far dan istrinya, Amma binti Umais memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Tak pelak lagi mereka mendapat tekanan dan siksaan dari para pembesar kafir Quraisy. Memang tidak seberat dialami para budak seperti Bilal, Ammar bin Yasir, Khabbat bin Aratt dan beberapa lainnya. Tetapi kehidupan mereka di tanah kelahirannya sendiri menjadi tidak nyaman dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama barunya tersebut. Karena itu, ketikaNabi SAW menghimbau sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), Ja’far dan istrinya segera menyambut seruan tersebut. Bahkan Nabi SAW mengangkatnya sebagai pimpinan rombongan Muhajirin pertama ini.
Kaum kafir Quraisy merasa kecolongan karena beberapa orang muslim (sebanyak 83 lelaki dan 18/19 perempuan) lolos dari pengawasan mereka, dan berhasil hijrah ke Habasyah. Tetapi mereka tidak berdiam diri begitu saja, mereka berupaya keras bagaimana bisa mengembalikan mereka ke Makkah. Dikirimlah dua orang ahli diplomasi, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. untuk mempengaruhi Najasyi agar bersedia mengembalikan kaum muhajirin tersebut ke Makkah. Mereka menyiapkan berbagai macam hadiah dan bingkisan untuk memuluskan rencana tersebut. Setibanya di Habasyah, Amr bin Ash menemui para uskup terlebih dahulu dan memberikan berbagai hadiah, dengan harapan mereka memberikan dukungan kepadanya.
Tiba waktu yang ditentukan, Amr bin Ash dan Ibnu Abi Rabiah menyampaikan hadiah dan bingkisan yang disiapkan untuk Najasyi, Raja Habasyah, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya dengan gaya diplomasi yang manis dan memikat. Para uskuppun ikut berbicara, “Benar apa yang dikatakan mereka berdua, wahai Baginda Raja. Serahkan saja mereka kepada keduanya agar mereka bisa dikembalikan ke negerinya dan kepada kaum kerabatnya.”
Tetapi Ashamah an Najasyi adalah seorang raja yang adil, berilmu dan beriman kuat (pada agama Nashrani yang dipeluknya) dan berakhlak mulia, persis seperti yang digambarkan Nabi SAW kepada para sahabat yang akan berhijrah ke Habasyah. Ia tidak akan mengambil keputusan apapun hanya berdasarkan apa yang disampaikan oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. Karena itu ia memerintahkan agar rombongan muhajirin tersebut dibawa menghadap kepadanya.
Kaum muslimin pun mendatangi majelis Najasyi dengan hati was-was. Mereka memang telah mengetahui kehadiran dua utusan Quraisy dan sepak terjangnya dalam upaya mengembalikan mereka ke Makkah. Merekapun menunjuk Ja’far bin Abu Thalib sebagai juru bicara menghadapi Najasyi. Setibanya di majelis itu, Najasyi berkata, “Agama seperti apakah yang kalian pegangi itu, sehingga karena agama tersebut kalian memecah belah kaum kalian, dan kalian tidak juga memeluk agama kami atau agama lainnya yang kami kenali?”
Sebagai juru bicara kaum muhajirin yang ditunjuk, Ja’far maju menghadap ke Najasyi. Apa yang dikatakannya akan menjadi penentu, apakah mereka akan tetap tinggal di Habasyah dan dengan tenang bisa melaksanakan ibadah, atau apakah mereka akan kembali ke Makkah dan menjadi sasaran siksaan dan pengejaran untuk memaksa mereka kembali ke agama jahiliahnya?
Ja’far berkata, “Wahai Tuan Raja, dulu kami pemeluk agama jahiliah yang menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, yang kuat menindas yang lemah, memutuskan tali persaudaraan dan berbagai pekerti buruk lainnya. Lalu Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri, yang sangat kami kenali nasab, kejujuran, amanah dan kesucian hatinya. Beliau menyeru kami untuk hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Beliau juga memerintahkan kami untuk berbuat jujur, amanah…”
Ja’far pun menyebutkan berbagai macam perintah Islam yang harus dilaksanakan dan juga larangan-larangan yang harus ditinggalkan. Kemudian ia meneruskan, “Tetapi kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan menimbulkan berbagai cobaan dengan tujuan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala dan menghalalkan berbagai macam keburukan seperti dahulu. Mereka menekan dan mempersempit ruang gerak kami, menghalangi kami dari melaksanakan ajaran agama kami sehingga Nabi SAW kami memerintahkan kami pergi ke negeri tuan, dan memilih tuan daripada orang lainnya. Kami gembira mendapat perlindungan tuan, dan kami berharap agar kami tidak didzalimi di sisi tuan, wahai tuan Raja!”[]
NAJASYI terdiam beberapa saat, merenungi penjelasan Ja’far yang panjang lebar tersebut. Kemudian ia berkata, “Apakah kalian bisa membacakan sedikit dari ajaran kalian kepadaku?”
“Bisa, tuan Raja, ” kata Ja’far.
Kemudian ia membacakan beberapa ayat-ayat awal dari Surah Maryam. Najasyi dan beberapa orang uskup dengan ta’dhim mendengar bacaan Ja’far, tanpa terasa mereka berurai air mata sehingga membasahi jenggotnya.
“Cukup,” Kata Najasyi, “Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari misykat yang sama…”
Misykat adalah lubang di tembok tempat menaruh lampu, yang dari tempat itu cahaya menerangi seluruh ruangan. Dengan perkataannya itu berarti Najasyi mengakui bahwa Islam adalah agama wahyu, sebagaimana agama Nashrani yang dipeluknya.

Kemudian Najasyi berpaling kepada dua utusan Quraisy tersebut dan berkata, “Pergilah kalian! Sungguh aku tidak akan pernah menyerahkan mereka kepada kalian, tidak akan pernah !”

Tak ada pilihan bagi keduanya kecuali pergi dari hadapan Najasyi. Tetapi Amr bin Ash sempat berkata pelan, “Demi Allah, besok aku akan mendatangkan mereka lagi dengan sesuatu yang bisa membinasakan mereka.”
“Jangan lakukan itu,” Kata Ibnu Abi Rabiah, “Bagaimanapun mereka masih kerabat kita walaupun mereka menentang kita!”
Tetapi Amr bin Ash tidak memperdulikan saran temannya tersebut. Esoknya ia menghadap Najasyi dan berkata, “Wahai tuan Raja, sesungguhnya mereka menyampaikan perkataan yang menyalahi Tuan dalam masalah Isa bin Maryam!”
Sekali lagi Najasyi mengirim utusan memanggil kaum muhajirin tersebut untuk menjelaskan masalah Isa.Mereka menjadi kaget dan risau, bagaimanapun juga mengenai Isa bin Maryam menjadi masalah yang krusial karena jelas-jelas Islam menolak ketuhanan Isa bin Maryam. Sempat terpikir untuk mencari jawaban yang bisa menyenangkan Najasyi, tetapi akhirnya semua ditepiskan, tidaklah mereka akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran semata.
Ketika mereka dihadapkan dan Najasyi menanyakan hal tersebut, Ja’far berkata diplomatis, “Mengenai Isa bin Maryam, kami katakan seperti apa yang dinyatakan oleh Nabi SAW kami, bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang Perawan Suci…”
Sebenarnya sama saja dan juga lebih mudah kalau dikatakan, “Isa bin Maryam bukan Tuhan”. Tetapi itu akan langsung menghantam keyakinan Raja dan para pengikutnya. Di sinilah tampak kemampuan diplomatis yang dimiliki Ja’far bin Abu Thalib. Mereka telah siap dan pasrah atas keputusan dan kemarahan Raja Najasyi. Tetapi reaksi yang terjadi jauh di luar dugaan.
Tiba-tiba Najasyi turun dari tahtanya, ia mengambil sepotong ranting yang ada di tanah dan berkata, “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian.”
Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata, “Aku tidak perduli jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusan-Nya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam urusanNya.”
Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan terhina.
Ja’far dan para muhajirin lainnya tetap tinggal di Habasyah sampai datang perintah Nabi SAW agar mereka segera berhijrah lagi ke Madinah, itu terjadi di bulan Dzulhijjah 6 H, atau Muharam 7 H. Tetapi sebelum mereka meninggalkan bumi Habasyah, Raja an Najasyi menyatakan dirinya memeluk Islam, sesuai dengan seruan Nabi SAW, di hadapan Ja’far bin Abu Thalib. Pada saat yang sama, Najasyi juga mengadakan ‘pesta’ pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ia juga memberikan hadiah dan perbekalan yang cukup melimpah kepada kaum muhajirin yang dipimpin Ja’far ini.[]
DALAM perjalanan hijrah ke Madinah ini mereka bersama-sama dengan Abu Musa al Asy’ari dan kaumnya, Asy’ariyyin yang berasal dari Yaman. Kaum Asy’ariyyin ini sebenarnya ingin menyertai Nabi SAW dan pasukan muslim lainnya yang akan menyerang kaum Yahudi di benteng Khaibar, tetapi perahu mereka mengalami kerusakan dan terdampar di Habasyah beberapa hari lamanya.
Rombongan muhajirin ini bertemu dengan Nabi SAW yang baru pulang dari perang Khaibar, Nabi SAW langsung memeluk Ja’far dengan hangat dan berkata, “Aku tidak tahu, mana yang lebih menggembirakan aku, dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Ja’far…”
Setelah itu Nabi SAW memberikan bagian ghanimah Perang Khaibar mereka semua.
Di Madinah, Ja’far berkumpul lagi dengan banyak sahabat dan kerabatnya yang memeluk Islam, termasuk kaum Anshar yang baru dikenalinya saat itu. Ada senang dan haru, tetapi juga ada sedih, karena sebagian dari merekatelah syahid di medan perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya. Tiba-tiba saja muncul gairah dan kerinduan ketika mengenang mereka, gairah untuk menerjuni medan perjuangan dan syahid menyusul mereka, “Kapankah aku bisa berbuat demikian pula?” Begitu angan-angannya.
Beberapa pertempuran kecil dan beberapa pengiriman pasukan setelah Perang Khaibar dan Umrah Qadha’ belum bisa menutupi dan memuaskan gairah Ja’far untuk berjuang di jalan Allah, sampai tibanya Perang Mu’tah.
Pada perang Mu’tah, Nabi SAW menetapkan bahwa pimpinan pasukan adalah Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja’far bin Abu Thalib, dan jika ia gugur juga digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Dari apa yang dipesankan oleh Nabi SAW tersebut, Ja’far yakin betul bahwa kegairahan dan kerinduannya akan terpuaskan dalam pertempuran ini, karena beliau telah menunjuk penggantinya. Artinya, kerinduannya untuk menjadi syahid sebagaimana banyak sahabat dan kerabat lainnya pasti menjadi kenyataan. Semangatnya pun jadi makin menggelora.
Nabi SAW menyiapkan tigaribu tentara dalam pasukan Mu’tah tersebut, dan itu merupakan jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirimkan Nabi SAW. Pasukan di bawah komando Zaid bin Haritsah ini bergerak ke arah Syam, Nabi SAW sendiri mengantar keberangkatannya sampai ke Tsaniyatul Wada’.
Setibanya di Mu’an, tak jauh dari Mu’ tah, mereka mendapati kenyataan bahwa Pasukan Romawi yang harus mereka hadapi sejumlah seratus ribu orang, itupun masih ditambah tentara dari sekutu-sekutunya sejumlah seratus ribu orang, sehingga totalnya duaratus ribu tentara. Sungguh kekuatan yang sangat tidak berimbang. Pasukan muslim bermusyawarah, dan sempat memutuskan untuk mengabarkan jumlah pasukan musuh kepada Nabi SAW, sambil menunggu petunjuk beliau lebih lanjut.
Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah. Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan Agama-Nya, bukan karena jumlah pasukan yang dihadapinya, Rasulullah SAW telah menetapkan pertempuran ini dan tugas mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat ini yang akhirnya disetujui secara aklamasi.
Pertempuran-pun berlangsung seru, jumlah yang sedikit tidak mematahkan semangat perjuangan mereka, dan tidak berarti menjadi mudah bagi pasukan Romawi untuk menaklukan pasukan muslim. Ketika akhirnya Zaid menemui syahidnya, Ja’far segera mengambil panji peperangan dari tangan Zaid, dan terus menghambur menyerang musuh. Ketika gerakan kudanya makin terbatas sehingga tidak leluasa berperang, ia turun dari kudanya yang bernama Syaqra’ dan melukai kaki kudanya. Ia tidak ingin kudanya tersebut lari dari medan pertempuran, selagi tuannya masih terus berjuang. Ia adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.
Sebagian riwayat menyebutkan, Ja’far tidak turun, tetapi terlempar jatuh dari kudanya karena begitu semangatnya, dan ia meneruskan perjuangan dengan berjalan kaki. Tangan kiri memegang panji dan tangan kanan terus menyerang musuh tanpa ampun. Ketika tangan kanannya putus terkena senjata lawan, ia mengepit panji dengan sisa tangan kanannya, dan tangan kirinya meraih pedang untuk meneruskan menyerang musuh. Ketika tangan kirinya juga terputus kena pedang lawan, ia berdiri tegak mempertahankan panji agar tetap berkibar, sampai akhirnya senjata lawan bertubi-tubi menyerangnyahingga dia gugur sebagai syahid, gugur dengan senyum tersungging karena gairah dan kerinduannya terpuaskan. Panji peperangan diambil alih Abdullah bin Rawahah untuk meneruskan perempuran.
Ketika Nabi SAW diberitahu tentang kondisi tubuh Ja’far bin Abu Thalib tersebut, beliau mengatakan bahwa Allah menganugerahinya dua sayap di surga sebagai pengganti tangannya tersebut. Karena itu, Ja’far juga digelari dengan ‘ath Thayyar’ (penerbang) atau ‘Dzul Janahain’ (orang yang memiliki dua sayap).[]
Referensi: 101 Sahabat Nabi/Hepi Andi Bustomi/Pustaka Al-Kautsar