بِسْمِ
اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
Di antara keburukan orang-orang
Rafidhah, mereka menjadikan hari kematian Al-Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai
hari berkabung. Mereka tidak berhias, menampakkan kesedihan, mengumpulkan para
wanita untuk meratap, menggambar kubur Al-Husainradhiyallahu ‘anhu,
menghiasinya, dan berthawaf padanya di jalan-jalan sambil mengatakan, “Wahai Husain.” Mereka
terlalu berlebihan dalam hal itu dengan keekstriman yang diharamkan.
Semua ini adalah bid’ah. Meninggalkan
berhias merupakan sikap berkabung yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana hal itu datang dalam kitab Ash-Shahih.[189]
Adapun niyahah (meratapi
mayit), termasuk kemungkaran jahiliyah terbesar dan akan berakibat dari apa
yang mereka lakukan berbagai kemungkaran serta keharaman yang tidak terhitung
banyaknya.
Semua ini adalah bid’ah dan kemungkaran.
Orang yang melakukannya, ridha terhadapnya, yang membantunya, dan menjadi
pegawainya, semuanya berserikat dalam bid’ah. Adapun orang yang berusaha untuk
menghilangkannya, ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala,
maka diharapkan dia akan mendapat pahala yang besar.
Asy-Syaikh Ibnu Taimiyyah Al-Hambali
Al-Harrani rahimahullah[190] berkata,
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadaku dan
kepada engkau, bahwa kesyahidan yang menimpa Al-Husain radhiyallahu ‘anhu di
hari Asyura merupakan karamah dari Allah ‘azza wa jalla yang dengannya Allah
muliakan beliau, tambahan keberuntungan, pengangkatan derajat di sisi Rabbnya,
menggabungkan beliau ke derajat ahli baitnya yang suci, serta agar menjadi hina
orang yang menzhalimi dan berbuat aniaya kepada beliau.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ketika ditanya tentang orang yang paling keras cobaannya, beliau menjawab,
“Para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yang paling
mirip dengan mereka, kemudian yang di bawahnya. Seseorang akan diuji sesuai
dengan kadar agamanya. Jika ada kekokohan dalam agamanya, akan ditambah
ujiannya dan jika ada kelunakan dalam agamanya, maka akan diringankan. Dan
terus saja ujian itu menimpa seorang mukmin sampai dia berjalan di atas muka
bumi dalam keadaan tidak punya kesalahan lagi.[191]
Sehingga seorang mukmin, jika telah tiba
hari Asyura dan ingat peristiwa yang menimpa Al-Husain, hendaknya dia
menyibukkan diri dengan bacaan istirja’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un),
tiada lain, sebagaimana Allah Al-Maula ‘azza wa jalla perintahkan
ketika terjadi musibah, sehingga dia bisa meraih pahala yang dijanjikan dalam
firman-Nya,
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat
dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang- orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 157)
(Hendaknya dia) memperhatikan buah dari
ujian tersebut dan pahala yang Allah janjikan bagi orang-orang yang bersabar,
di mana Dia berfirman,
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Dan bersaksi bahwa musibah itu dari
Allah yang memberikan ujian, sehingga dengan penglihatan Dzat yang dicintainya,
akan lekas terlupakan rasa pahit dan susah cobaan tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan kalian, maka
sesungguhnya kalian berada dalam penglihatan Kami.” (Ath-Thuur: 48)
Dikatakan kepada seorang penjahat yang
keji lagi licik, “Kapan hukuman cambuk dan
potong itu terasa ringan bagimu?” Dia
menjawab, “Ketika kami dilihat oleh orang yang kami senangi, kami pun
menilai musibah itu sebagai kelapangan, keengganan sebagai pemberian, dan
musibah sebagai karunia.”
Sehingga, orang yang berakal akan selalu
ingat dengan perkara yang semisal hal ini ketika keadaan seperti itu, akan
menganggap kecil berbagai musibah, kesusahan dan cobaan dunia yang menimpanya,
serta akan terhibur dan sabar menghadapi musibah-musibah yang menimpanya itu
kemudian menyibukkan harinya dengan berbagai ketaatan dan amal shalih yang
dimampuinya karena adanya motivasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
melakukan puasa di hari Asyura, sehingga dengan semua itu dia menggunakan
waktunya untuk berbagai macam taqarrub, mudah-mudahan dia ditulis dari golongan
orang-orang yang mencintai keluarga dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukannya dia menjadikan hari tersebut untuk berkabung, meratap, dan bersedih
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh itu, sebab yang seperti itu
bukanlah akhlak dan jalan ahli bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Andaikan yang seperti ini merupakan
jalan mereka, tentunya umat Islam akan menjadikan hari wafatnya Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
hari berkabung tiap tahunnya. Ini semua tidak lain hanyalah penghiasan dan
penyesatan syaithan.
Asy-Syaikh kemudian berkata setelah
menyebutkan hal itu[192],
“Demikianlah, sebagaimana juga dihiaskan kepada kaum yang lain lawan dari
perbuatan Rafidhah. Mereka menjadikan hari Asyura ini sebagai ‘ied (hari raya),
lantas mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita.”
Mungkin mereka dari golongan nawashib
yang fanatik menancapkan permusuhan terhadap Al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan
ahli baitnya atau dari kalangan orang-orang bodoh yang hendak menghadapi
kerusakan dengan kerusakan, menghadapi keburukan dengan keburukan dan bid’ah.
Mereka menampakkan perbuatan berhias seperti mencat rambut, memakai pakaian
baru, bercelak, membagi sedekah, memasak berbagai makanan dan biji-bijian yang
tidak biasanya mereka lakukan dalam keseharian. Mereka melakukan di hari itu
apa yang dilakukan di hari raya dan mereka sangka bahwa hal seperti itu bagian
dari As-Sunnah dan kebiasaan yang baik.
Adapun sunnahnya adalah meninggalkan hal
itu seluruhnya, sebab tidak datang satu hadits pun yang bisa dijadikan sandaran
dalam hal itu dan tidak ada atsar shahih untuk menjadi rujukan.”
Sampai beliau berkata,
“Mereka, dengan kebodohannya itu menjadikan hari Asyura sebagai
suatu hari yang layaknya pekan raya ‘ied dan kegembiraan. Adapun orang-orang
Rafidhah menjadikannya sebagai hari berkabung, mereka tampakkan padanya
berbagai kesedihan. Masing-masing dari kedua kelompok ini salah, keluar dari
As-Sunnah, mencampakkan dirinya ke dalam perbuatan haram dan dosa.”
Ibnul Qayyim berkata[193],
“Adapun hadits-hadits tentang memakai celak, minyak rambut, dan
wewangian di hari Asyura, maka termasuk pemalsuan para pendusta. Lantas, mereka
dihadapi oleh kelompok yang lain yang menjadikan hari itu sebagai hari
berkabung dan bersedih. Kedua kelompok ini sama-sama ahli bid’ah, keluar dari
As-Sunnah. Adapun apa yang disebutkan dari orang-orang Rafidhah yang
mengharamkan daging binatang yang halal dimakan di hari Asyura sampai mereka
membacakan kitab tentang kematian Al-Husain radhiyallahu ‘anhu termasuk
kebodohan dan bahan tertawaan, dalam membantahnya tidak butuh kepada satu dalil
pun. Cukup bagi kami Allah dan Dialah sebaik-baik Dzat yang diserahi urusan.” Selesai
ucapan Asy-Syaikh dengan sedikit diringkas.
Kejelekan-kejelekan kelompok ini terlalu
banyak untuk disebutkan, aib-aib mereka terlalu tenar untuk diperkenalkan,
sehingga dengan ini, kiranya cukup untuk mengetahui mazhab mereka yang tidak
laku dan pendapat mereka yang rusak.
_________________________
188 Peletakan bab ini tambahan dari kami
dan tidak terdapat dalam naskah Ar-Rasyid.
189 Riwayat Al-Bukhari no. 5774 dan
Muslim no. 1486 dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas
mimbar, ‘Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari
akhir berkalung atas mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas suami selama 4
bulan sepuluh hari’.”
190 Majmu’ Al-Fatawa jilid
25 hal. 302,307 dan 308
191 Hadits dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2403, Ibnu Majah no. 4023 dan Ad-Darimi no.
2681. Hadits ini shahih.
192 Majmu’ Al-Fatawa jilid
25 no. 309-310
193 Dalam Al-Manar Al-Munif hal. 89 cet. Darul ‘Ashimah.
[Dari: Risalatun fir Raddi ‘alal Rafidhah;
Penulis: Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab; Ta’liq & Tahqiq: Abu Bakr Abdur Razzaq bin Shalih bin Ali An-Nahmi;
Judul Indonesia: Bantahan & Peringatan atas Agama Syiah Rafidhah;
Penerjemah: Abu Hudzaifah Yahya; Penerbit: Penerbit Al-Ilmu]