Noam Chomsky adalah anomaly. Meski ia berdarah Yahudi,
tapi ia anti Israel dan kritis kepada pemerintah Amerika. Keintelektualannya
diakui dunia. Bahkan seorang penulis –Arthur Naiman- menempatkannya intelektual
ke-8 setelah: Marx, Lenin, Shakespeare, Aristoteleles, Injil, Plato dan Freud.
Ia lahir
pada 7 Desember 1928 di Philadelpia, Amerika. Karya-karya tulisnya menghiasi
dunia. Tulisan-tulisannya tajam, lugas dan kritis. Baik soal bahasa maupun
politik. Ia menjadi professor linguistik di usia muda belia, 32 tahun. Ia
terakhir mengajar di MIT, Amerika.
Bukunya yang
kini beredar di Indonesia, How the World Works (Penerbit Bentang, 2014) telah
dicetak ratusan ribu di seluruh dunia. Buku ini sebenarnya kumpulan dari empat
buku kecilnya, yaitu: Apa Yang Sesungguhnya Diinginkan Paman Sam; Yang Kaya
Sedikit dan Yang Gelisah Banyak; Rahasia, Kebohongan dan Demokrasi ; dan
Kebaikan Bersama.
Menurut
Chomsky, hubungan antara Amerika Serikat dan negara-negara lain semestinya
ditelusuri sejak awal mula sejarah Amerika, tapi Perang Dunia II adalah tapal
batas yang nyata. Ketika kebanyakan negara industry pesaing berada dalam
kondisi lemah atau hancur karena perang, AS justru menangguk untung yang
teramat besar, Teritori AS nyaris tak mendapat serangan dan produksi nasional
naik lebih dari tiga kali lipat.
Bahkan
sebelum perang, AS telah menjadi negara industry paling maju di dunia – situasi
yang berlangsung sejak peralihan abad. Saat ini, bagaimanapun secara harfiah AS
menguasai 50% kekayaan dunia dan mengontrol kedua sisi dari dua samudera. Dalam
sejarah, tak pernah ada masa ketika satu kekuasaan memiliki control menyeluruh
atas dunia atau keamanan nasional yang begitu rupa.
Para pembuat
kebijakan AS menyadari dengan baik bahwa AS muncul dari Perang Dunia II sebagai
kekuasaan global dalam sejarah. Selama dan setelah perang, dengan hati-hati
mereka merencanakan cara membentuk dunia paska perang. Lantaran AS adalah
masyarakat yang terbuka, kita bisa membaca rencana-rencana mereka yang sangat
mugas dan jelas.
Para
perencana kebijakan AS – mulai dari mereka yang ada di Departemen Luar Negeri
hingga Badan Urusan HUbungan Luar Negeri (lembaga utama tempat para pemimpin
bisnis dapat memengaruhi kebijakan luar negeri)- sepakat bahwa dominasi AS
harus dipertahankan. Namun ada beragam pendapat mengenai cara melakukannya.
Pada garis
ekstrim, Anda dapat melihat dokumen-dokumen seperti National Security Cuncil
Memorandum 68 (1950). NSC 68 mengembangkan pandangan Menteri Luar Negeri Dean
Acheson dan ditulis oleh Paul Nitze, orang yang hingga kini masih berada dalam
lingkaran kekuasaan (dia adalah salah seorang negoisator control militer pada
masa Presiden Reagen). Strategiini dinamakan roll back strategyyang “membantu perkembangan benih-benih
kehancuran dalam system Uni Soviet” sehingga nantinya AS bisa menegoisasikan
penyelesaian konflik berdasarkan syarat-syarat tertentu “dengan Uni Soviet
(atau negara-negara penerusnya).”
Kebijakan-kebijakan
yang direkomendasikan dalam NSC 68 mensyaratkan pengorbanan dan disiplin AS
–dengan kata lain pengeluaran militer yang besar dan pemotongan anggaran untuk
pelayanan sosial. Hal itu juga diperlukan untuk mengatasi “ekses toleransi”
yang menghasilkan terlalu banyak perbedaan pendapat dalam lingkup domestic.
Nyatanya
kebijakan-kebijakan semacam itu telah lama diimplementasikan. Pada 1949,
spionase AS di Eropa Timur telah bersalin rupa menjadi jaringan yang dijalankan
Reinhard Gehlen, yang mengepalai intelijen Nazi di Front Timur. Jaringan ini
merupakan satu bagian dari aliansi AS-Nazi yang melibatkan kriminal-kriminal
paling keji untuk operasi intelijen di Amerika Latin dan wilayah lainnya.
Operasi ini
termasuk “tentara rahasia’ di bawah sokongan AS Nazi yang menyediakan agen-agen
dan bantuan-bantuan militer kepada pasukan yang dibentuk Hitler dan masih
beroperasi di Uni Soviet dan Eropa Timur hingga awal 1950-an. (Informasi ini
telah diketahui di AS, tetapi dianggap tak penting –meskipun mungkin orang akan
terkejut jika menilik lebih jauh dan menemukan bahwa katakanlah Uni Soviet
telah memasok agen dan bantuan untuk pasukan bentukan Hitler yang beroperasi di
wilayah Rockies).
Kebijakan-kebijakan Amerika di dunia ketiga sangat
mudah dipahami. AS secara konsisten menentang demokrasi bilamana hasil-hasilnya
tak dapat dikontrol. Masalah pada demokrasi sejati adalah bahwa demokrasi
memungkinkan terjadi pembelotan sehingga pemerintah di negara Dunia Ketiga
harus merespon kebutuhan-kebutuhan penduduk mereka sendirialih-alih kebutuhan
para investor AS.
Kajian atas
system inter Amerika dipublikasikan oleh Royal Institute of International
Affairs di London menyimpulkan bahwa ketika secara permukaan AS berperan dalam
demokrasi, nyatanya komitmen mereka sesungguhnya adalah pada “perusahaan
kapitalis dan swasta.” Ketika hak-hak investor terancam, demokrasi harus
dienyahkan. Sebaliknya selama hak-hak ini dilindungi, bahkan para pembunuh dan
penyiksa akan tetap aman sentosa.
Beberapa
pemerintahan parlementer dihambat atau digulingkan dengan dukungan AS. Sebagian
bahkan melalui intervensi langsung, misalnya di Irak pada 1953, di Guetamala
pada 1954 (juga pada 1963 ketika Kennedy mendukung kudeta militer untuk
mencegah kembalinya demokrasi), di Republik Dominika pada 1963 dan 1965, di
Brasil pada 1964, di Cile pada 1973 juga di tempat-dtempat lainnya.
Kebijakan-kebijakan AS di El Savador memiliki begitu banyak kesamaan dengan
kebijakan AS di banyak tempat lainnya di seantero jagad.
Metode-metode
yang digunakan tidaklah terlalu cantik. Yang dilakukan militer pemberontak yang
didukung AS di Nikaragua atau yang dilakukan oleh teroris binaan AS di El
Savador dan Guetamala bukanlah pembunuhan biasa. Elemen utamanya adalah
penyiksaan brutal dan sadis –memukul-mukulkan tubuh anak-anak ke
bebatuan, menggantung para perempuan dengan kaki di atas, dada terpotong dan
kulit wajah dikelupas mati kehabisan darah.Memenggal kepala dan menaruhnya di
atas tiang. Tujuan penyiksaan ini adalah untuk menghancurkan gagasan
nasionalisme independen dan kekuatan rakyat yang dapat melahirkan demokrasi
yang lebih bermakna.
Tak satupun
negara yang bebas dari perlakuan demikian, tak peduli meski itu adalah negara
yang tak terlampau penting. Pada kenyataannya negara-negara yang palig lemah
dan miskin justru seringkali memunculkan hysteria terbesar.
Misalnya
Laos yang pada 1960-an agaknya merupakan negara yang paling miskin di dunia.
Kebanyakan rakyat yang tinggal di sana bahkan tak tahu ada sebuah negara
bernama Laos. Mereka hanya tahu desa kecil tempat mereka tinggal dan desa kecil
di dekatnya.
Akan tetapi
segera setelah revolusi sosial level rendah mulai berkembang di sana,
Washington menundukkan Laos dengan pengeboman rahasia yang membunuh secara
massif, menyapu habis area pemukiman, dan dinyatakan sebagai sebuah operasi
yang tak berhubungan dengan AS yang tengah memerangi Vietnam Selatan.
Grenada
adalah sebuah negara penghasil pala dengan seratus ribu penduduk yang
wilayahnya bahkan sulit ditemukan dalam peta. Namun ketika benih-benih revolusi
sosial mulai muncul di Grenada, Washington bergerak cepat untuk menghancurkan
ancaman tersebut.
Dari
Revolusi Bolshevik 1917 sampai runtuhnya pemerintahan-pemeirntahan komunis di
Eropa Timur pada ahir 1980an, sah-sah saja bagi AS untuk mengklaim bahwa setiap
serangan merupakan aksi pertahanan terhadap ancaman Uni Soviet. Maka ketika
menginvasi Grenada pada 1983, Kepala Staf Gabungan menjelaskan bahwa di tengah
serangan Soviet atas Eropa Barat, sikap tidak kooperatif Grenada akan
merintangi pasokan minyak dari Karibia ke Eropa Barat dan membuat AS tidak
dapat melindungi sekutu-sekutunya yang terkepung. Mungkin ini terdengar lucu,
tetapi cerita semacam itu membantu mobilisasi dukungan public untuk tindakan
agresi, terror dan subversi.
Tak peduli apakah mereka liberal atau konservatif,
media-media utama dikuasai oleh korporasi raksasa yang dimiliki oleh dan
berjejaring dengan para kongomerat yang bahkan lebih besar lagi. Seperti
korporasi lainnya, mereka menjual produk ke pasar.
Pasar adalah
para pengiklan –yakni kelompok bisnis yang lain. Sementara produknya adalah
para audiens. Bagi para elite media yang merancang agenda dasar yang kemudian
diadopsi media lain, produk itu lebih jauh lagi, adalah audiens yang secara
relative memiliki hak-hak istimewa.
Karenanya
ada korporasi besar yang menjual audiens yang kaya dan istimewa kepad
perusahaan lain. Tak mengherankan gambaran dunia yang ditampilkan merefleksikan
kepentingan yang sempit dan bias, serta mengakomodasi nilai-nilai yang dipegang
oleh para penjual, pembeli dan produk itu sendiri.
000
Hampir
sepanjang abad 20, Amerika menjadi kekuatan ekonomi dunia yang dominan dan tak
terjangkau. Hal itu membuat perang ekonomi menjadi senjata yang mematikan,
termasuk aneka tindakan seperti embargo illegal sampai penguatan aturan IMF
(bagi negara-negara yang lemah).
Namun dalam
dua puluh tahun terakhir, ekonom AS relative mundur dibandingkan dengan Jepang
dan Eropa dibawah komando Jerman (berkat mismanajemen ekonomi pada masa
pemerintahan Presiden Reagan yang memanjakan orang-orang kaya dengan
membebankan biaya kepada mayoritas populasi dan generasi-generasi masa depan).
Namun pada saat yang sama, kekuatan militer AS unggul secara mutlak.
Selama Uni
Soviet masih ada, ada batasan mengenai seberapa besar kekuatan yang bisa
dipakai oleh AS, terutama di area-area jauh yang tidak dikuasai AS secara
langsung. Lantaran Uni Soviet biasa mendukung pemerintah dan gerakan-gerakan
politik yang ingin dihancurkan oleh AS.
Muncul
kekhawatiran bahwa intervensi AS di dunia ketiga bisa meledak menjadi perang
nuklir. Dengan runtuhnya Soviet, AS menjadi bisa lebih bebas menggunakan
kekerasan di seluruh dunia, sebuah fakta yang diketahui dengan baik oleh para
analis kebijakan AS semenjak beberapa tahun sebelumnya.
Dalam pelbagai
konfrontasi, setiap pihak mencoba menggeser ke domain dengan lebih banyak
kemungkinan untuk menang. JIka Anda ingin memimpin, mainkanlah kartu andalan
Anda. Kartu andalan Amerika Serikat adalah kekuatan –jika AS bisa menegakkan
prinsip sehingga kekuatan menguasai dunia, itu adalah kemenangan.
Namun
sebaliknya jika sebuah konflik diselesaikan dengan cara damai, itu akan
merugikan, karena rival-rival AS pastinya lebih baik atau lebih hebat dalam
domain tersebut.
Bagi AS,
diplomasi secara khusus adalah opsi yang buruk kecuali jika dicapai di bawah
ancaman senjata. Tujuan AS di negara-negara dunia ketiga hanya
mendapatkan sedikit dukungan.
Hal ini tak
mengejutkan sebab AS mencoba memaksanakanstruktur-struktur dominasi dan
eksploitasi. Penyelesaian diplomasi digunakan untuk merespons, setidaknya dalam
beberapa hal, , kepentingan partisipan lain dalam negoisasi, dan itu menjadi
masalah jika posisi Anda tak begitu popular.
Karenanya
negoisasi adalah hal yang dihindari oleh AS. Berlawanan dengan banyak propaganda,
hal demikian benar terjadi di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Amerika Tengah
dalam jangka waktu yang lama.
Bertentangan
dengan latar belakang ini, wajar jika pemeirntahan Bush menganggap kekuatan
militer sebagai instrument kebijakan utama yang lebih disukai ketimbang
pemberian sanksi dan diplomasi (sebagaimana yang terjadi dalam krisis Teluk).
Namun
lantaran kini kekurangan basis ekonomi untuk memaksanakan tatanan dan
stabilitas di dunia ketiga, AS harus mengandalkan pihak lain untuk membayar
ongkosnya –pihak yang sangat dibutuhkan untuk menjamin penghormatan yang pantas
bagi sang tuan.
Aliran
keuntungan dari produksi minyak Teluk memang cukup membantu, tetapi Jepang dan
dataran Eropa yang dipimpin Jerman juga harus menanggung sebagian biaya sebab
AS berperan sebagai tentara bayaran, seperti yang diberitakan oleh media-media
bisnis internasional.*NH.