Friday, February 15, 2019

Sahabat Melakukan Bid’ah Pada Masa Rasulullah ??



Sanggahan untuk :
 (1). As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki - Hakikat Bid'ah
(2). Penjelasan luarBiasa Tentang Bid'ah - Habib Umar Bin Hafidz
(3). Arti Bid'ah Yang Sebenarnya - Fatwa Mufti Mesir Dr Ali Jum'ah
(4). Bid’ah Menurut M. Quraish Shihab 
 (5). Definisi Bid'ah - Buya Yahya
(lihat bantahan menarik di 183 Comments)
(6). 7 Dalil Bidah (Bid'ah Hal Baru) Ust. Abdul Somad LC
(7). Kekesalan Ustadz Adi Hidayat dengan 'Logika' Untuk Menyimpulkan Hukum Bid'ah
(lihat 202 Comments)
(8). Apa itu Bid'ah dan Apakah Semua Bid'ah Itu Sesat ?? - Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
(9). Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan menjelaskan bid'ah

Nasihat Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin Dan Syaikh Ali Hasan Al Halabi Bagi Pelaku Bid'ah. Hakikat Bid’ah Oleh As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki, Habib Umar Bin Hafidz Dan Muti Mesir DR. Ali Jum'ah, DR. M. Quraish Shihab, Buya Yahya, Ust. Abdul Somad LC , Ust. Adi Hidayat, Dan Habib Novel.
Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah Dan Beberapa Perkara Baru. (sangat lengkap, mudah dipahami. In sya Allah)
Apakah Anda Tidak Takut Berbuat (Bahaya) Bid'ah ? Konsekuensi Ittiba, Wajib Mengingkari Bid’ah. Sebab-Sebab Gemar Melakukan Bid’ah.

Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah –
 Syubhat Keenam

SYUBHAT KEENAM
Diantara syubhat yang dijadikan dalih oleh para pendukung bid’ah hasanah adalah pernyataan mereka bahwa sebagian sahabat telah melakukan perbuatan-perbuatan ibadah yang bid’ah yang tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan hal tersebut, akan tetapi ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya. Contoh akan hal ini diantaranya :
Pertama : Kisah Khubaib radhiallahu ‘anhu yang sholat dua raka’at sebelum terbunuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya. Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu berkata :
فَلَمَّا خَرَجُوا مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوْهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ : ذَرُوْنِي أَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ، فَتَرَكُوْهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ لَوْلاَ أَنْ تَظُنُّوْا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَطَوَّلْتُهَا … فَقَتَلَهُ ابْنُ الْحَارِثِ فَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ لِكُلِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا
“Tatakala mereka keluar dari daerah tanah haram untuk membunuh Khubaib di tanah halal maka Khubaib berkata kepada mereka, “Biarkanlah aku sholat dua raka’at”. Maka merekapun membiarkan beliau, lalau beliau sholat dua raka’at, setelah itu beliau berkata, “Kalau bukan karena kawatir kalian menyangka aku ketakutan maka tentu aku akan memanjangkan sholatku….
Maka Khubaibpun dibunuh oleh Ibnu Al-Haarits, maka Khubaib adalah orang yang mempelopori sholat dua raka’at bagi setiap muslim yang akan terbunuh dengan penuh kesabaran” (HR Al-Bukhari no 3045)
Kedua : Kisah Bilal radhiallahu ‘anhu yang selalu sholat dua raka’at setelah berwudhu, padahal tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan sunnahnya sholat dua raka’at setelah wudhu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Bilal :
يَا بِلاََلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْرًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّي
“Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku tentang amalan yang paling memberikan pengharapan padamu yang telah kau kerjakan, karena aku mendengar gerakan kedua sendalmu di hadapanku di surga”. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengerjakan suatu amalan yang paling memberikan pengharapan padaku daripada jika aku bersuci kapan saja di malam hari atau siang hari kecuali aku sholat dengan bersuciku tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah” (HR Al-Bukhari no 1149 dan Muslim no 2458)
Ketiga : Dari Rifaa’ah bin Roofi’, ia berkata :
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ الرسول ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ ، قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ ، قَالَ : مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ قَالَ : أَنَا ، قَالَ : رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Suatu hari kami sholat dibelakang Rasulullah, maka tatkala beliau mengangkat kepala, beliau berkata, “Sami’allahu liman hamdahu”. Lalu ada seseorang di belakang beliau berkata, رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. Tatkala beliau selesai sholat maka beliau berkata, “Siapa tadi yang berbicara?”. Orang itu berkata, “Saya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku melihat tiga puluh sekian malaikat berlomba-lomba siapa yang pertama diantara mereka yang mencatatnya” (HR Al-Bukhari no 799)
SANGGAHAN
Pertama : Perbuatan sahabat tergantung pada persetujuan/taqrir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika Nabi menyetujui dan mentaqrirnya maka jadilah perbuatan tersebut dikenal dengan sunnah taqririyah. Selain itu tiga contoh di atas merupakan perbuatan para sahabat sebelum turunnya ayat tentang sempurnanya agama.
Adapun perbuatan bid’ah hasanah setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana cara mengetahui taqrir atau persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam??
Ternyata tidak semua ijtihad sahabat disetujui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya :
Pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyetujui Al-Baroo’ bin ‘Aazib radhiallahu ‘ahu atas kesalahannya dalam mengucapkan lafal doa yang diajarkan Nabi kepadanya. Yaitu Al-Baroo’ telah merubah lafal Nabi dengan lafal Rasul.
Al-Baroo’ bin ‘Aazib berkata :
قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ وَقُلْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah sebagaimana berwudhu untuk sholat, lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan, lalu katakanlah :
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إْلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتُ
“Yaa Allah aku menyerahkan jiwaku kepadaMu, dan aku pasrahkan urusanku kepadaMu, dan aku sandarkan punggungku kepadaMu, dengan kekhawatiran dan harapan kepadaMu. Tidak ada tempat bersandar dan keselamatan dariMu kecuali kepadaMu. Aku beriman kepada kitabMu yang Engkau turunkan dan beriman kepada Nabimu yang Engkau utus“
Nabi berkata :
فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
“Jika engkau meninggal maka engkau meninggal di atas fitroh, dan jadikanlah doa ini adalah kalimat terakhir yang engkau ucapkan (sebelum tidur)”
Al-Baroo’ bin ‘Aazib berkata :
فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُوْلِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ لاَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
“Lalu aku mencoba untuk mengingatnya dan aku berkata “Dan aku beriman kepada RasulMu yang Engkau utus”
Nabi berkata, “Tidak, (akan tetapi) : Dan aku beriman kepada NabiMu yang Engkau utus” (HR Al-Bukhari no 6311)
Kedua : Sebagaimana telah lalu dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingkari tiga orang sahabat yang berijtihad dalam beribadah sehingga ada yang ingin sholat malam terus, dan ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah demi beribadah.
Ketiga : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengingkari Utsman bin Madz’uun yang ingin beribadah dan tidak menikah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi sallam pun berkata kepadanya :
يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا, أَفَمَا لَكَ فِيَ أُسْوَةٌ ؟ فَوَاللهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ للهِ , وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُوْدِهِ
“Wahai ‘Utsman, sesungguhnya Rohbaniyah tidaklah disyariatkan kepada kita. Tidakkah aku menjadi teladan bagimu?, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan akulah yang paling menjaga batasan-batasanNya” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, dan At-Thobrooni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, dan dishahikan oleh Al-Albani, lihat takhrij beliau terhadap hadits ini di Al-Irwaa’ 7/79).
Jika ternyata tidak semua ijtihad para sahabat dalam ibadah disetujui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas darimana para pelaku dan pencipta bid’ah hasanah mengetahui bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti menyetujui bid’ah-bid’ah mereka??!!. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Semua bid’ah sesat”??!!
Kedua : Sholat sunnah wudhu dan juga sholat sunnah sebelum dibunuh oleh musuh bukanlah suatu ibadah yang baru yang tidak pernah disyari’atkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah disebutkan bahwasanya sholat sunnah wudhu adalah kreasi Bilal. Akan tetapi Nabi hanya bertanya kepada Bilal tentang ibadah yang paling memberi pengharapan kepadanya. Tidak termaktub dalam riwayat-riwayat hadits ini bahwasanya Bilal telah menciptakan sholat sunnah wudhu. Maka bisa jadi sudah ada anjuran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya.
Demikian halnya juga dengan sholat sunnah dua raka’at yang dikerjakan oleh Khubaib, pada dasarnya bukanlah cara peribadatan yang baru. Merupakan perkara yang sangat wajar jika seseorang tahu ia akan meninggal maka ia ingin beribadah kepada Allah dengan ibadah yang agung. Diantara ibadah yang sangat agung adalah sholat.
Dan sholat dalam kondisi ini termasuk dalam keumuman hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Rasulullah jika mendapati perkara yang menyulitkan beliau maka belipun sholat” (HR Ahmad no 23299, Abu Dawud no 1319, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/172 dan Al-Albani)
Allah juga telah berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu” (QS Al-Baqoroh : 45)
Ketiga : Kalaupun sholat dua raka’at sebelum terbunuh musuh merupakan kreasi Khubaib radhiallahu ‘anhu maka perbuatan beliau tersebut menjadi sunnah karena beliau lakukan semasa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Qostholaani rahimahullah berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ فِعْلُ خُبَيْبٍ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاةِ الشَّارِعِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَاسْتَحْسَنَهُ
“Dan hanyalah perbuatan Khubaib itu menjadi sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dianggap baik oleh Nabi” (Irsyaad As-Saari 5/165)
Ia juga berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ ذَلِكَ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاتِهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَاسْتَحْسَنَهُ وَأَقَرَّهٌ
“Hanyalah hal itu menjadi sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dianggap baik oleh beliau dan ditaqrir/diakui/disetujui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Irsyaad As-Saari 5/261)
Adapun setelah meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimana kita bias mengetahui suatu bid’ah hasanah disukai dan disetujui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebaliknya justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membencinya??
Keempat : Adapun  perkataan Ibnu Hajar tentang hadits Rifaa’ah bin Roofi radhiallahu ‘anhu
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ إْحَدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلاَةِ غَيْرِ مَأْثُوْرٍ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُوْرِ … وَعَلَى أَنَّ الْعَاطِسَ فِي الصَّلاَةِ يَحْمَدُ اللهَ بِغَيْرِ كَرَاهَةٍ وَأَنَّ الْمُتَلَبِّسَ بِالصَّلاَةِ لاَ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
“Hadits ini dijadikan dalil akan boleh mengada-ngadakan dalam sholat suatu dzikir yang tidak ada ma’tsur (tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-pen) jika tidak menyelisihi dzikir yang ma’tsuur…serta bolehnya orang yang bersin memuji Allah, dan tidak makruh, dan orang yang sedang sholat tidak mesti menjawab orang yang bersin” (Fathul Baari 2/287)
Dalam pernyataan di atas bukan berarti Al-Hafiz memandang bolehnya berbuat bid’ah hasanah secara bebas. Akan tetapi beliau menyebutkan permasalahannya secara khusus, yaitu bolehnya berkreasi dzikir dalam sholat jika tidak bertentangan dengan dzikir yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya Ibnu Hajar tidak membolehkan kreasi dzikir dalam seluruh kondisi sholat, tentunya beliau (Ibnu Hajar) –bahkan tidak seorang ulamapun- yang membolehkan bebas berkreasi dalam menciptakan dzikir-dzikir tatkala doa iftitah, ruku’, tatkala sujud, tatkala duduk diantara dua sujud, dan tatkala tasyahhud.
Akan tetapi sebagian ulama membolehkan kreasi dzikir atau doa dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti tatkala berdoa dalam sujud, atau tatkala doa setelah tasyahhud dan sebelum salam (silahkan lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmuu’ 3/469, lihat juga Asnaa Al-Mathoolib 1/166).
Demikian juga dzikir tatkala i’tidal (bangkit dari ruku’), sebagian ulama menyatakan bahwa tatkala i’tidal merupakan maqom (kondisi) untuk mengagungkan Allah, karenanya tidak mengapa memuji Allah dengan dzikir kreasi sendiri selama tidak menjadi kebiasaan. Terlebih lagi ternyata Ibnu Hajar membawakan kisah Rif’ah tersebut pada kisah bersinnya (lihat Fathul Baari 2/286), sebagaimana sangat jelas dalam riwayat yang lain (HR Abu Dawud no 773 dan At-Thirmidzi no 404), sehingga dzikir yang disebutkan oleh Rifa’ah adalah dzikir bersin yang kebetulan ia ucapkan tatkala i’tidal.  Al-Imam An-Nawawi membolehkan dzikir bersin dengan beberapa bentuk pujian kepada Allah. Beliau berkata,
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْعَاطِسِ أَنْ يَقُوْلَ عَقِبَ عِطَاسِهِ : الْحَمْدُ للهِ ، فَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ كَانَ أَحْسَنَ ، وَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ كَانَ أَفْضَلَ
“Para ulama telah sepakat bahwasanya disunnahkan bagi orang yang bersin setelah bersin mengucapkan “Alhamdulillah”. Jika dia mengucapkan “Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin” maka lebih baik. Dan jika ia mengucapkan “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” maka lebih afdol” (Al-Adzkaar 270)

Akan tetapi Ibnu Hajar berkata :

وَالَّذِي يَتَحَرَّرُ مِنَ الأَدِلَّةِ أَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مُجْزِئٌ لَكِنَ مَا كَانَ أَكْثَرَ ثَنَاءً أَفْضَلُ بِشَرْطِ أَنْ يَكُوْنَ مَأْثُوْرًا
“Dan yang tersimpulkan dari dalil-dalil bahwasanya segala bentuk dzikir (setelah bersin) tersebut cukup, akan tetapi yang lebih banyak pujiannya lebih afdol, dengan syarat dzikir tersebut ma’tsuur (ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –pen)” (Fathul Baari 10/601)

Dalam nukilan ini, jelas Ibnu Hajar menyatakan bahwa segala bentuk dzikir setelah bersin boleh dengan syarat harus ma’tsuur.

Maksud dari pemaparan ini, sama saja apakah dzikir yang tersebutkan dalam hadits Rif’ah adalah adala dzikir i’tidal atau dzikir bersin maka kalaupun bukan merupakan dzikir yang ma’tsur dan boleh berkreasi dalam dzikir ini maka hal ini hanya dalam cakupan yang terbatas. Maka sungguh aneh jika lalu dijadikan dalil untuk membolehkan bid’ah hasanah…, membolehkan bekreasi membuat dzikir-dzikir baru dalam doa istiftah, dzikir ruku’, sujud, dll??, bahkan membolehkan untuk berkreasi membuat  model ibadah baru??. Tentunya pemahaman seperti ini tidak dipahami oleh para ulama yang mu’tabar. Wallahu A’lam bis showaab.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 02-01-1434 H / 16 November 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
https://firanda.com/629-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam.html   

Memahami Sunnah Taqririyah

Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah

Saudaraku seiman, yang akan kita bahas kali ini sangatlah penting, yaitu persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashalih mursalah. Dalam buku Mana Dalilnya 1, si penulis tak bisa membedakan antara bid’ah dan mashalih mursalah, akibatnya  ia menggolongkan hal-hal yang merupakan mashalih mursalah ke dalam bid’ah[1]). Seperti ketika menjelaskan  bid’ah wajib, ia mengatakan:
Bid’ah wajib ialah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Di antaranya adalah:
1.Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an menjadi satu mushaf demi menjaga keaslian Al Qur’an, karena telah banyak penghapal Al Qur’an yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
2.Memberi titik dan harakat (garis tanda fathah, kasrah dan dzamma pada huruf-huruf Al Qur’an). Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, Al Qur’an ditulis tanpa titik dan harakat. Pemberian harakat dan titik baru dilakukan pada masa Tabi’in. Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan baca yang dapat menimbulkan salah pengertian dan penafsiran.
3.Membukukan Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli Hadits lainnya.
4.Menulis buku-buku tafsir Al Qur’an demi menghindari salah penafsiran dan untuk memudahkan masyarakat memahami Al Qur’an.
5.Membuat buku-buku fiqih sehingga hukum agama dapat diterapkan dengan baik dan mudah. [2])

Sebelum menjelaskan kerancuan klasifikasi di atas, ada baiknya kalau kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan mashalih mursalah itu.
Definisi Mashalih Mursalah
Istilah di atas merupakan salah satu istilah ushul fiqih yang masyhur, yang tersusun dari dua kata; mashalih (مَصَالِحٌ) dan mursalah (مُرْسَلَةٌ). Kata yang pertama adalah bentuk jamak dari ‘maslahah’ (مَصْلَحَةٌ) yang artinya manfaat/kemaslahatan. Sedangkan mursalah artinya yang diabaikan. Jadi mashalih mursalah secara bahasa artinya ialah kemaslahatan-kemaslahatan yang diabaikan.
Agar lebih jelas, kita harus tahu bahwa setiap kemaslahatan pasti tak lepas dari salah satu keadaan berikut;
1.Maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang diperhitungkan)
2.Maslahah mulghaah (kemaslahatan yang dibatalkan)
3.Maslahah mursalah (kemaslahatan yang diabaikan)
Maslahah mu’tabarah pengertiannya ialah setiap manfaat yang diperhitungkan oleh syari’at berdasarkan dalil-dalil syar’i. Aplikasi dari maslahah mu’tabarah ini biasanya kita temui dalam masalah qiyas. Misalnya ketika syari’at mengharamkan khamer, sesungguhnya ada suatu alasan yang selalu diperhitungkan dalam hal ini, yaitu sifat memabukkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ (رواه مسلم رقم 2003).
“Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer itu haram” (H.R. Muslim no 2003).            Karenanya, segala sesuatu yang memabukkan -entah itu makanan, minuman, atau apapun- dihukumi sama dengan khamer. Qiyas semacam ini merupakan bentuk pengamalan akan maslahah mu’tabarah [3]). Karena dengan begitu kita dapat menjaga akal manusia dari segala sesuatu yang merusaknya, yang dalam hal ini adalah khamer. Sedangkan menjaga akal merupakan maslahah yang diperhitungkan oleh syari’at [4]).
Kesimpulannya, pengharaman setiap yang memabukkan seperti miras dan narkoba merupakan maslahah mu’tabarah.
Sedangkan maslahah mulghaah, ialah kemaslahatan yang dianggap batal oleh syari’at. Contohnya ialah maslahat yang terkandung dalam khamer dan perjudian. Allah Ta’ala berfirman,
(البقرة: من الآية 219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (Al Baqarah: 219).
Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa khamer dan judi itu mengandung beberapa manfaat bagi manusia, namun demikian hukumnya haram sehingga manfaatnya dianggap batal oleh syari’at Islam. Inilah yang dinamakan maslahah mulghaah. Contoh lainnya ialah maslahat mencari kekayaan dengan cara menipu dan manipulasi. Kekayaan di sini merupakan maslahat, akan tetapi caranya bertentangan dengan syari’at, sehingga maslahat yang ditimbulkannya dianggap batal. Demikian pula wanita yang mencari uang lewat melacur umpamanya.
Adapun maslahah mursalah, maka tak ada dalil dalam syari’at yang secara tegas memperhitungkan maupun membatalkannya. Singkatnya, maslahah mursalah adalah maslahat-maslahat yang terabaikan –alias tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya,– namun ia sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at [5]). Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kita tahu bahwa sesungguhnya syari’at ditegakkan di atas azas mendatangkan manfaat dan menolak madharat. Karenanya, segala sarana yang bisa mendatangkan manfaat bagi seorang muslim atau menolak madharat darinya, boleh dipakai selama cara tersebut tidak bertentangan dengan syari’at[6]). Inilah sebenarnya hakekat mashalih mursalah, dan inilah yang sering dianggap bid’ah hasanah oleh sebagian orang yang tidak faham.
Untuk lebih jelasnya, kami akan menyebutkan beberapa persamaan antara bid’ah dan mashalih mursalah:
No
Mashalih Mursalah
Bid’ah
1
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
2
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya

Sedangkan perbedaan antara keduanya ialah:
No
Maslahah Mursalah
Bid’ah
1
Bisa bertambah dan berkurang atau bahkan ditinggalkan sesuai dengan kebutuhan, karena ia sekedar sarana& bukan tujuan hakiki, alias bukan ibadah yang berdiri sendiri.
Bersifat paten dan dipertahankan hingga tidak bertambah atau berkurang, karena ia merupakan tujuan hakiki alias ibadah yang berdiri sendiri dan bukan sarana.
2
Sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada tapi ada penghalangnya
Sebab-sebabnya sudah ada di zaman Nabi dan tidak ada penghalangnya.
3
Tidak mengandung unsur memberatkan, karena tujuan dasarnya ialah mencari kemaslahatan.
Mengandung unsur memberatkan, karena tujuannya dasarnya untuk berlebihan dalam beribadah.
4
Selaras dengan misi syari’at (maqashidus syari’ah)
Tidak selaras dengan misi syari’at, bahkan cenderung merusaknya[7]).

Kalau kita merenungi perbedaan-perbedaan di atas, maka kerancuan yang terjadi dalam menentukan mana bid’ah dan mana maslahah mursalah bisa kita hindari. Jika salah satu ciri bid’ah di atas kita temukan dalam suatu masalah, maka ketahuilah bahwa ia termasuk bid’ah, demikian halnya dengan mashalih mursalah.
Kemudian perlu diketahui pula bahwa mashalih mursalah terbagi menjadi tiga: dharuriyyah (bersifat darurat), haajiyyah (diperlukan), dan tahsiniyyah (sekedar tambahan/pelengkap). Contoh yang dharuriyyah ialah pembukuan Al Qur’an dalam satu mushaf, sedangkan contoh yang haajiyyah ialah membuat mihrab di masjid sebagai petunjuk arah kiblat; dan contoh yang tahsiniyyah seperti melakukan adzan awal sebelum adzan subuh[8]). Bertolak dari sini, kita akan menjawab semua yang dianggap bid’ah di atas:
 1. Pembukuan Al Qur’an dalam satu Mushaf
Hal ini termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa alasan; pertama: ia merupakan sarana untuk menjaga keotentikan Al Qur’an dan bukan tujuan hakiki. Karenanya, sekarang Al Qur’an tidak sekedar berwujud mushaf, akan tetapi sudah direkam dalam kaset, CD, dan perangkat elektronik lainnya. Kedua: kendati sebab-sebabnya ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ketika itu ada yang menghalangi para sahabat untuk membukukannya. Karena ketika itu Al Qur’an belum turun seluruhnya, dan sering terjadi nasekh (penghapusan hukum atau lafazh ayat tertentu). Padahal alasan untuk membukukan sudah ada, dan sarana tulis-menulis pun ada. Ketiga: dengan dibukukan dalam satu mushaf, penjagaan akan keotentikan Al Qur’an jadi lebih mudah.
Lebih dari itu, penulisan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan sunnah-nya Khulafa’ur Rasyidin, jadi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah [9]).
2. Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Al Qur’an
Sebagaimana pendahulunya, hal ini bukanlah bid’ah namun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah jika dilihat dari tiga sisi. Pertama: ia merupakan cara/wasilah agar orang tak keliru membaca ayat, tapi bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya cara tersebut bisa ditambah/diperlengkap sesuai kebutuhan, seperti tanda-tanda waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya. Kedua: sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena para sahabat semuanya fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka tak perlu pakai titik dan harakat dalam membaca teks Arab, apalagi sebagian besar mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika banyak orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tak mampu membaca huruf Arab yang gundul tanpa titik dan harakat tadi. Maka diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman membaca. Ketiga: tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an.
3. Membukukan hadits-hadits Nabi
Ini pun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal. Pertama: ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan[10]). Kedua: belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi fitnah antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, para pendukung dari masing-masing golongan mulai berani memalsukan hadits atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut. Ketiga: tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mudah dibaca dan diamalkan.
Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.
Demikian pula dengan contoh keempat dan kelima yang disebutkan oleh Novel di atas. Itu semua termasuk maslahah mursalah yang berkisar antara dharuriyyah atau haajiyyah, dan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah kalau kita terapkan penalaran tadi.
Contoh lain dari maslahah mursalah yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan mikrofon dan karpet di masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang, makan dengan sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan tahlilan, shalawatan, peringatan 7 harian, 40 harian, 100 harian, dan bid’ah-bid’ah lainnya. Sehingga kita jadi serba susah kalau ingin membid’ahkan hal-hal semacam ini. Untuk itu mari kita bahas permasalahan ini dengan menerapkan kaidah pembeda antara bid’ah dengan maslahah mursalah.
4. Penggunaan mikrofon di masjid-masjid
Hal ini sama sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa?
Pertama: karena  mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin  yang bersuara lantang. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat.
Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i.
Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.
5. Berangkat haji dengan pesawat terbang
Hal ini juga sering diidentikkan dengan bid’ah[11]). Tentunya dengan logika yang dangkal pun kita bisa membantahnya… Memang apa sangkut-pautnya antara ibadah haji dan kendaraan yang kita naiki? Adakah seseorang meyakini bahwa dengan naik pesawat hajinya jadi lebih mabrur? Tentu tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat jum’at dengan naik mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya. Sama sekali tak terbetik dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia tumpangi memberikan nilai plus terhadap ibadahnya. Apa lagi kalau dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi belum ada sebab-sebab terwujudnya pesawat terbang. Demikian pula dengan fungsinya yang hanya sebagai sarana transportasi belaka. Juga dari sifatnya yang mengikuti perkembangan teknologi. Kalau dahulu kaum muslimin berangkat haji dengan mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal laut, maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang. Entah kendaraan apa yang akan digunakan seabad kemudian…
Adapun cara makan, jika dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari keyakinan tertentu seperti menghindari jenis makanan tertentu yang dihalalkan dengan niat taqarrub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada anjuran untuk itu; maka ia termasuk bid’ah. Namun jika tidak demikian maka tidak termasuk bid’ah.
Demikian pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah selama tidak menyerupai orang kafir, atau dilakukan cara tertentu yang tidak berdasar kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa hal tersebut dianjurkan dalam Islam.
 -bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
[1]) Demikian pula setiap orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, pasti ia mencampuradukkan antara bid’ah dengan mashalih mursalah.
[2])  Mana Dalilnya 1, hal 29.
[3]) Lihat Mudzakkirah fi Ushulil Fiqh hal 201, oleh Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithy, cet  Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah Saudi Arabia.
[4])  Para ulama menyebutkan bahwa misi setiap syari’at (maqashidu asy syari’ah) itu ada lima:
1.Menjaga dien (agama).
2.Menjaga jiwa.
3.Menjaga akal.
4.Menjaga keturunan.
5.Menjaga harta. Ada pula yang menambahnya dengan:
6.Menjaga kehormatan.
(lihat Al Ihkam, 3/274 oleh Al Aamidy, ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al ‘Afify cet. Al Maktabul Islamy; Al Bahrul Muhith (كتبا القياس, تقسيم المناسب) oleh Badruddien Az Zarkasyi; Syarh Al Kaukabul Munier  (باب القياس, الرابع من مسالك العلة المناسبة) oleh Al Futuhy.
[5]) Lihat: Mukhtasar Al I’tisham hal 101 oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar oleh Sayyid ‘Alawi bin Abdul Qadir Assaqqaf, cet 1 1418H  Daarul Hijrah, Riyadh – Saudi Arabia.
[6])  Lihat: Al Inshaf, 26-28.
[7])  Lihat Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’, oleh DR. Muhammad Husein Al Jezany.
[8])  Ibid, hal 29-30.
[9]) Bandingkan dengan bid’ahnya majelis dzikir jama’ah yang sering terlihat di televisi umpamanya. Pertama: hal tersebut adalah tujuan hakiki, bukan sekedar sarana; karenanya ia dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri. Kedua: sebab-sebab untuk mengadakannya sudah ada di zaman Nabi; dan tidak ada yang menghalangi para sahabat untuk melakukannnya. Ketiga: ia mengandung unsur memberatkan karena sifatnya menambah aktivitas ibadah seseorang. Keempat: tidak sesuai dengan misi syari’at dan dalil syar’i, diantaranya firman Allah yang maknanya: “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan khusyu’ dan rasa takut, serta dengan tidak mengeraskan suara, baik di pagi  maupun petang hari…” (Al A’raf: 205).
[10]) Ada yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya (seperti kitab-kitab musnad); ada pula yang berdasarkan topik-topik tertentu dengan hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’, seperti Al Jaami’us Shahih atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim); ada lagi yang khusus berkenaan dengan masalah fiqih (disebut Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dll), dan seterusnya. Ini menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan model tertentu tapi sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.
[11]  Dalam buku Mana Dalilnya hal 31, Novel menggolongkannya dalam bid’ah mubah.

Takutnya Para Sahabat 
Berbuat Bid’ah

Posted on Oktober 26, 2016 by bidahmunkaroh
Para Sahabat adalah generasi terbaik umat, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,

خَيْرَ أُمَّتِي قَرْنِي

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku (para Sahabat) . .”. (Shahih Al-Bukhari, no. 3650).

Para Sahabat adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat paling mengetahui dan paling benar dalam memahami Islam. Mereka juga adalah para pendahulu dari umat Islam yang memiliki keshalihan yang paling tinggi (Salafus shalih).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً . 

“. . Karena sesungguhnya mereka (para Sahabat) adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keada’annya . .”. (Majma’-uz Zawaa-id, oleh al-Hafizh al-Haitsamy, cet. Daarul Kitab al-‘Araby-Beirut, th. 1402 H).

Para Sahabat adalah umat Rasulullah yang paling faham tentang Islam. Mereka para Sahabat adalah umat Nabi Muhammad yang paling dalam ilmunya. Sehingga mereka sangat takut melakukan perbuatan yang tidak Nabi ajarkan.

Ketakutan para Sahabat tersebut bisa kita ketahui dalam riwayat ketika mereka hendak membuat mushaf Al-Qur’an.

Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup, ayat-ayat Al-Qur’an tidak terkumpul dalam satu mushaf, sebagaimana dikatakan oleh seorang Sahabat Nabi Zaid bin Tsabit,

قبض النبي صلعم ولم يكن القران جمع فى شيئ

“Sa’at Nabi Muhammad wafat, Al-Qur’an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku”.

Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Al-Qur’an di tulis pada lembaran kulit binatang, pelepah kurma, terukir pada batu tulis dan tulang belulang hewan, dan banyak dari para Sahabat yang menghafalnya, bahkan diantara para Sahabat ada yang hafal Al-Qur’an secara keseluruhan.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kemudian Kaum Muslimin mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah. Pada masa Abu Bakar sebagai Khalifah terjadi peperangan dengan kaum murtadin dan pendukung nabi palsu Musailamah, banyak dari penghafal al-Qur’an gugur sebagai Syahid, sehingga Abu Bakar khawatir akan mengakibatkan lenyapnya Al-Qur’an dari muka bumi.

Umar bin Khattab menyarankan agar segera dilakukan pengumpulan Al-Quran dalam sebuah buku (mushaf).

Saran dari Umar bin Khatab tidak begitu saja di terima oleh Khalifah Abu Bakar As-Shidiq.

Sebuah riwayat menerangkan bahwa Umar Ibnu Khattab merasa khawatir dengan gugurnya 70 orang Sahabat penghafal Al-Qur’an pada perang Yamamah. Ia pun segera menghadap Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq kemudian berkata, “Wahai Abu Bakar sungguh telah terjadi musibah besar”. Abu Bakar Ash Shiddiq pun bertanya, ”Bencana apa yang kau maksud itu wahai Umar ?”. Umar bin Khatab menjawab, ”Tujuh puluh orang penghafal Al-Qur’an syahid di perang Yamamah. Padahal kita masih akan menghadapi berbagai peperangan yang mungkin bisa merenggut lebih banyak korban. Saya takut nanti tidak ada lagi penghafal Al-Qur’an diantara kita. Dan Al Qur`an akan dilupakan tidak ada yang membaca”. Abu Bakar Ash Shiddiq kemudian bertanya, “Lalu apa saranmu?”. Umar bin Khatab pun menjawab, ”Saya menyarankan agar tulisan-tulisan Al-Qur’an yang ada di lembaran-lembaran pelepah kurma, kulit binatang, lempengan batu atau apa saja semuanya dikumpulkan dan dihimpun menjadi satu mushaf”. Mendengar usulan Umar Ibnu Khattab itu, Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq lama terdiam. Setelah beberapa sa’at kemudian Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan keberatannya atas usul itu. Abu Bakar Ash Shiddiq tidak berani melakukan sesuatu yang tidak pernah di lakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru setelah Umar meyakinkan dengan argument-argument yang kuat, akhirnya Khalifah Abu Bakar Siddiq pun menyetujuinya. Maka di tunjuklah panitia pembukuan Al-Qur’an yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit di bantu oleh Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan lain-lain.

Perhatikan riwayat di atas, Khalifah Abu Bakar As-Shidiq tidak begitu saja menerima usulan Umar bin Khatab. Abu Bakar takut terjatuh kepada perbuatan mengada-adakan perkara dalam urusan agama yang tidak Nabi lakukan. Namun akhirnya usulan Umar bin Khatab di setujuinya. Karena pertimbangan maslahat dan madharatnya. Selain itu dalam hadits sohih di sebutkan bahwa Abu Bakar As-Shidiq mendapat ilham dari Allah Ta’ala sehingga beliau pun akhirnya merealisasikan usulan Umar tersebut.

Ketakutan membuat-buat perkara baru dalam urusan agama yang tidak di lakukan Nabi juga menghinggapi perasa’an Zaid bin Tsabit yang di tunjuk untuk memimpin pembuatan mushaf Al-Qur’an tersebut.

Perhatikan perkata’an Zaid bin Tsabit berikut ini sebagai ungkapan rasa takutnya,

“Demi Allah, Jika sekiranya mereka memintaku memindahkan sebuah gunung yang besar, hal itu akan terasa lebih ringan dari apa yang mereka perintahkan padaku sa’at ini”.

Begitulah ketakutan para Sahabat Nabi untuk melakukan perkara yang tidak ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu Kita Bandingkan Dengan Orang-Orang Yang Dengan Mudahnya Membuat Aneka Macam Bid’ah Sa’at Ini. Apakah Mereka Punya Perasa’an Takut Sebagaimana Abu Bakar Dan Zaid Bin Tsabit. Apakah Ketika Mereka Akan Membuat Beragam Bid’ah Mendapatkan Ilham Sebagaimana Abu Bakar ?

Ahli bid’ah sering menjadikan riwayat pembuatan Mushaf Al-Qur’an ini di jadikan dalil bolehnya membuat kebid’ahan. Menurut mereka apa yang di lakukan para Sahabat tersebut sebagai bid’ah hasanah.

Benarkah anggapan mereka tersebut ?

MEMBUKUKAN AL-QUR’AN ADALAH IJTIHAD BUKAN BID’AH

Membukukan al-Qur’an menjadi sebuah mushaf, adalah hasil dari sebuah IJTIHAD. Bukan BID’AH sebagaimana yang dikatakan oleh para pembela bid’ah.

Apakah itu IJTIHAD ?

IJTIHAD (اجتهاد) adalah usaha yang sungguh-sungguh, karena adanya kebutuhan untuk kemaslahatan. Dan Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak terdapat dalam Al Quran maupun hadits. Dan Ijtihad dalam hukum Islam ditempatkan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Quran dan As-Sunnah, jadi Ijtihad dalam Islam di akui sebagai sebuah legalitas hukum.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata ;

وهو أن يرى المجتهد أن هذا الفعل يجلب منفعة راجحة، وليس في الشرع ما ينفيه

“Dia, seorang mujtahid melihat bahwa perbuatan tersebut mendatangkan manfa’at yang sangat jelas, dan tidak ada dalam Syari’at perkara yang menafikan-nya atau menolaknya”. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ, XI/342-343).

Dan berikut ini macam-macam bentuk Ijtihad ; Ijma’, Qiyas, Istihsân, Maslahah murshalah, Sududz, Dzariah, Istishab, Urf.

Dan IJTIHAD yang dilakukan Abu Bakar membukukan Al-Qur’an menjadi sebuah mushaf, termasuk kedalam bentuk Ijtihad MASLAHAH MURSALAH.

• APAKAH BEDA BERIJTIHAD DENGAN BERBUAT BID’AH ?

BERIJTIHAD dan BERBUAT BID’AH tentu saja bebeda, BERIJTIHAD mendapatkan pahala walaupun ijtihadnya salah.

Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.

“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”. (H.R Al-Bukhaariy 13/268 dan Muslim no. 1716).

Adapun BERBUAT BID’AH adalah tercela.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“. . . Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i, 1578).

Kenapa membukukan al-Qur’an di katakan sebagai sebuah IJTIHAD, bukan BID’AH sebagaimana dikatakan para pembela bid’ah ?

Pertama : Tidak mungkin para Sahabat berbuat bid’ah, karena para Sahabat sangat mengetahui bahwa bid’ah dalam urusan agama adalah perkara yang tercela, yang dilarang didalam Islam.

Kedua : Antara IJTIHAD dan BID’AH memiliki ciri-cirinya, dan dari ciri-cirinya tersebut kita bisa mengetahui apakah perkara tersebut IJTIHAD atau BID’AH.

Berikut ini perbeda’an antara IJTIHAD dan BID’AH :

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa IJTIHAD yang dilakukan Abu Bakar membukukan Al-Qur’an itu, termasuk kedalam bentuk Idjtihad MASLAHAH MURSALAH .

Berikut ini Perbeda’an MASLAHAH MURSALAH dengan BID’AH diantaranya ;

1. MASLAHAH MURSALAH dilakukan, bukan diniatkan untuk menambah atau mendapatkan nilai pahala dan keutama’an (mubalaghah). Adapun BID’AH, tujuannya sangat jelas, ingin mendapatkan pahala dan keutama’an (mubalaghah) dari amalan yang dibuatnya.

Membukukan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, bukan ditujukan untuk mendapatkan tambahan nilai pahala atau keutama’an (mubalaghah). Tapi karena semata-mata ada kebutuhan. Yaitu karena sa’at itu banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang gugur sebagai Syahid, sehingga Abu Bakar khawatir akan mengakibatkan lenyapnya al-Qur’an dari muka bumi.

Adapun orang-orang yang berbuat bid’ah tujuannya jelas, ingin mendapatkan nilai pahala dan keutama’an (mubalaghah) dari ibadah yang dilakukan.

Contohnya, orang yang mebuat bid’ah Maulid Nabi. Mereka yang membuat Maulid Nabi, tentu saja ingin mendapatkan pahala, dan keutama’an (mubalaghah) dari amalan yang dibuatnya.

2. MASLAHAH MURSALAH, mendatangkan kemaslahatan buat umat. Adapun BID’AH, memberatkan dan menambah kesulitan pelakunya dalam beribadah.

Pembukuan Al-Qur’an jelas mendatangkan maslahat, menjadikan Al-Qur’an terjaga keasliannya dan tidak hilang dari muka bumi.

Adapun BID’AH menambah berat dan kesulitan bagi pelakunya. Contohnya selamatan kematian Tahlilan, banyak orang yang memaksakan diri, berutang kepada saudara atau tetangga, untuk biaya tahlilan tersebut.

3. MASLAHAH MURSALAH ada kendala, yang menghalangi untuk dilakukan. Adapun bid’ah, Tidak terdapat kendala untuk melakukannya, bahkan sangat mungkin untuk dilakukan.

Membukukan Al-Qur’an menjadi sebuah mushaf ada kendala yang menghalangi apabila dilakukan sa’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, karena pada sa’at itu wahyu masih terus turun, Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila sa’at itu Al Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap sa’at.

Adapun bid’ah, tidak ada kendala apabila sa’at Rasulullah masih hidup dilakukan. Contohnya tahlilan atau maulid Nabi, tidak ada yang menghalangi apabila perkara tersebut sa’at itu dilakukan.

Setelah kita mengetahui perbeda’an antara IJTIHAD dengan BID’AH.

Maka nampak dengan jelas, bahwa membukukan Al-Qur’an menjadi sebuah mushaf adalah IJTIHAD bukan BID’AH sebagaimana para pembela bid’ah katakan.
با رك الله فيكم
By : Дδµ$ $@ŋţ$ą $๏๓ąŋţяί

Tanggapan Atas Tulisan Ust. H. Abdul Somad, Lc., MA. – Bag. 1
(Pendalilan Bid’ah Hasanah dengan Kisah Bilal)

Ust. H. Abdul Somad, Lc., MA. –semoga Allah selalu menjaga dan membimbing beliau— dalam bukunya yang berjudul “37 Masalah Populer” pada halaman yang ke-42, membawakan kisah tentang Bilal radhiallahu ‘anhu.  Kisah ini beliau jadikan sebagai dalil atau argumentasi yang menyokong apa yang beliau sebut sebagai bid’ah mahmudah atau bidah hasanah.
Beliau mengatakan:
“Ada beberapa perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah  tidak pernah beliau ucapkan dan tidak pernah beliau ajarkan. Tapi dilakukan oleh sahabat, Rasulullah  membenarkannya.”
Kemudian beliau membawakan riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam shahihnya (no. 1149) dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 2458).
Disebutkan bahwasanya Rasulullah bertanya kepada Bilal:
يا بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دف نعليك في الجنة
“Wahai Bilal, kabarkan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam ini. Karena aku mendengar suara terompahmu dihadapanku di surga.
قال: ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعتي ليلا ونهارا إلا صليت بذلك الطهور
Bilal menjawab: “tidak ada amalan yang paling aku harapkan di sisiku melainkan jika aku berwudhu baik di waktu malam maupun di siang hari melainkan pasti aku melakukan shalat setelahnya​ sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untukku dari shalat tersebut”
Setelah membawakan hadits ini, Ust. Abdul Somad memberikan kesimpulan:
“Apakah Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat sunnat setelah wudhu’? tentu tidak pernah, karena tidak ada hadits menyebut Rasulullah Saw pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’. Jika demikian maka shalat sunnat setelah wudhu’ itu bid’ah, karena Rasulullah Saw tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah..
Jika ada yang mengatakan bahwa ini sunnah taqririyyah, memang benar. Tapi ia menjadi sunnah taqririyyah setelah Rasulullah Saw membenarkannya. Sebelum Rasulullah  membenarkannya, ia tetaplah bid’ah, amal yang dibuat-buat oleh Bilal. Mengapa Bilal tidakmerasa berat melakukannya? Mengapa Bilal tidak mengkonsultasikannya kepada Rasulullah Saw sebelum melakukanya? Andai RasulullahSaw tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Rasulullah Saw tentang shalat dua rakaat setelah wudhu’ itu. Maka jelaslah bahwa shalat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah sebelum diakui Rasulullah Saw. Setelah mendapatkan pengakuan Rasulullah Saw, maka ia berubah menjadi Sunnah taqririyyah. Fahamilah dengan baik!” (37 Masalah Populer, hal: 42-43)

Tanggapan dan Kritikan:
Pertama: Jika kita memperhatikan dengan seksama, redaksi hadits ini sama sekali tidak mengandung indikasi sedikitpun bahwasanya Bilal membuat atau mengada-ada ibadah yang baru. Rasulullah hanya sekedar bertanya kepada Bilal tentang amalan apa yang paling beliau harapkan, karena Rasulullah mendengarkan suara terompah beliau di surga. Ini tidak menunjukan bahwasanya Bilal mengada-ada amalan baru.
Kedua: Shalat dua rakaat yang dilakukan oleh Bilal setelah berwudhu’ sudah memiliki dasar nash yang tegas dan jelas (bukan bid’ah yang dilakukan Bilal sebagaimana anggapan Ust. Abdul Somad). Di antara nash tersebut adalah:
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 234), bahwasanya Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidaklah seseorang melakukan wudhu dengan wudhu yang baik, kemudian dia melakukan shalat 2 rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan pasti dia akan mendapatkan surga”
Hadits ini dengan tegas sekali menyebutkan bahwa shalat 2 rakaat setelah berwudhu adalah perkara yang disunnahkan.
Di antara dalilnya juga adalah, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no 160 dan Imam Muslim no 22 tentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu, ketika beliau mengajarkan tata cara wudhu Rasulullah . Di akhir hadits tersebut ‘Utsman membawakan sabda Rasulullah :
من توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian ia bangkit melakukan shalat 2 rakaat dengan hati yang khusyu’ (hatinya tidak berbisik tentang perkara-perkara duniawi yang tidak layak dalam shalat -pent), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”
Kedua hadits di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa shalat 2 rakaat setelah wudhu’ yang dilakukan oleh Bilal memiliki dasar yang kuat di dalam syari’at.
Kedua hadits tersebut sekaligus menyanggah anggapan Ust. Abdul Somad yang mengatakan:
“…tidak ada hadits menyebut Rasulullah pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu…”
Alhasil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bilal sama sekali tidak mengada-ada ibadah yang baru.
Jika ada yang berkata: “boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) Bilal melakukan ibadah tersebut sebelum beliau mengetahui kedua hadist ini”
Kita pun bisa mengatakan:
“Boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) sebaliknya; Bilal melakukan ibadah tersebut setelah beliau mengetahui kedua hadits ini”
Karena adanya ihtimal (kemungkinan) ini dan itu, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Ust. Abdul Somad sendiri dalam bukunya di hal. 41:
ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
“Jika dalil itu mengandung kemungkinan atau ketidakpastian maka tidak layak dijadikan sebagai dalil”
Maka berdasarkan kaidah yang dibawakan Ust. Abdul Somad sendiri, sungguh aneh rasanya beliau berdalil dengan kisah Bilal untuk sampai pada kesimpulan Bid’ah Hasanah yang diinginkannya, karena kisah Bilal—sekali lagi—mengandung ihtimal. Lantas dari mana bisa disimpulkan bahwasanya Bilal melakukan ibadah shalat setelah wudhu tanpa mengetahui pendapat Rasulullah   dalam masalah ini…? yang kemudian​ membawa Ust. Abdul Somad pada kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Bilal adalah Bid’ah Hasanah…?? [Lihat al-Haqul Ablaj, hal. 128, Syaikh Dr. Abdul Aziz ar-Rays]
Bahkan ihtimal yang kedua jauh lebih memungkinkan dan lebih dekat pada kebenaran. Bahwasanya Bilal melakukan shalat sunnah wudhu tersebut atas dasar pengetahuan sebelumnya bahwa shalat tersebut memang telah disunnahkan oleh Rasulullah . Karena dengan demikian, kita telah ber-husnuz-zhaan kepada salah seorang Sahabat yang mulia (Bilal).
Dengan mengambil ihtimal (kemungkinan) yang kedua, kita juga bisa mengkompromikan nash-nash umum yang keras melarang perbuatan mengada-ada dalam syariat dengan atsar perbuatan Sahabat yang mengesankan mereka beribadah atas dasar kreasi pribadi. Sebab jika tidak demikian, kita justru telah su’uz-zhaan atau berprasangka buruk terhadap Sahabat dengan mengatakannya telah berbuat bid’ah sebelum ada taqriir dari Nabi, padahal  para Sahabat dikenal sangat perhatian dalam upaya mereka menyesuaikan setiap amalan mereka dengan petunjuk Rasulullah . Mengatakan Bilal telah berbuat bid’ah dan mengada-ada (terkait shalat sunnah setelah wudhu) adalah bentuk sikap kurang adab terhadap seorang Sahabat yang mulia lagi berilmu.
Ketiga: Kalaupun kita menerima anggapan bahwa Bilal telah melakukan suatu ibadah shalat sebelum mengetahui dalil-dalil khusus tentang Shalat setelah wudhu, maka tetap saja Bilal tidak bisa dikatakan telah membuat-buat perkara baru dalam agama. Karena Bilal mengamalkan apa yang beliau pahami dari firman Allah dan sabda Rasulullah yang berisi anjuran melakukan atau memperbanyak shalat-shalat sunnah secara mutlak. Adapun shalat yang beliau lakukan setiap selesai berwudhu, karena memang seseorang jika ingin melakukan shalat maka dia harus berwudhu terlebih dahulu. Dan sebaik-baik amalan saat dalam keadaan suci—di antaranya—adalah shalat. Maka tidak heran jika Bilal segera shalat setelah suci dengan berwudhu.
Di antara dalil umum yang jadi pegangan Bilal dalam hal ini adalah, firman Allah:
واستعينوا بالصبر والصلاة
“Mohonlah pertolongan dengan kesabaran dan shalat.”
Ini adalah dalil umum yang menunjukan bahwasanya melakukan shalat sunnah secara mutlak—di waktu yang dibolehkan melakukan shalat Sunnah—sangatlah dianjurkan dan tentu saja sebelum melakukannya harus berwudhu.
Diriwayatkan dari hadits Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, sebagaimana dalam Shahih Muslim (no. 489); bahwa suatu ketika Rabi’ah meminta kepada Rasulullah agar di akhirat nanti bisa dekat dengan beliau di surga maka Rasul berkata kepada beliau:
فأعني على نفسك بكثرة السجود
“Wahai Rabi’ah, kalau begitu perbanyaklah sujud”
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim (jilid 4 hal. 206):
“Yang dimaksud memperbanyak sujud di sini adalah sujud dalam shalat”
Ini adalah dalil umum yang memotivasi kita untuk banyak melakukan shalat Sunnah yang sifatnya mutlak (tidak terikat).
Lagi pula jika kita merujuk penjelasan ulama, shalat Sunnah setelah wudhu adalah jenis ibadah yang bersifat​ “ghairu maqshuudah bi-dzaatihaa”, dalam artian; dia bukanlah jenis shalat yang bersifat khusus semisal shalat fardhu. Dia mirip dengan shalat Tahiyyatul Masjid, yang penting shalat dulu ketika masuk masjid sebelum duduk, shalat apa saja, sudah terhitung Tahiyyatul Masjid. Demikian pula, jika ada orang melakukan shalat Sunnah Qabliyah Zhuhur langsung setelah ia berwudhu, maka ia sudah terhitung melakukan shalat Sunnah wudhu. Karena yang terpenting adalah; dia shalat setelah wudhu, shalat apa saja. Demikian pendapat Syaikh Nawawi al-Bantani (wafat: 1898-M) dalam kitabnya Nihaayatu az-Zain (hal. 104), beliau menuliskan:
ومنه صلاة سنة الوضوء عقب الفراغ منه وقبل طول الفصل والإعراض ، وتحصل بما تحصل به تحية المسجد ؛ فلو أتى بصلاة غيرها عقب الوضوء من فرض أو نفل ففيها ما تقدم في تحية المسجد من جهة حصول الثواب وسقوط الطلب
Ini juga yang menjadi pendapat ulama al-Lajnah ad-Da-imah (7/248-249). Termasuk juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin (Liqo’ al-Bab al-Maftuh: 25/20).
Berarti shalat Sunnah mutlak yang dilakukan setelah wudhu, termasuk dalam cakupan makna hadits Bilal di atas. Sehingga semua dalil-dalil yang berisi anjuran memperbanyak shalat secara mutlak, berlaku juga bagi​ orang yang shalat setelah wudhu. Dengan demikian, tak lagi bisa diterima alasan yang menyebut Bilal telah melakukan ibadah tanpa dalil, atau sebelum ia mengetahui dalilnya.
Keempat: Ibadah yang dilakukan oleh Bilal ini resmi menjadi sunnah setelah mendapatkan taqriir atau pengakuan dari Nabi. Kita menyebutnya sebagai sunnah taqririyyah, yaitu sunnah yang telah mendapat legitimasi dan pengakuan dari Nabi. Jadi ibadah tersebut menjadi bagian dari syari’at karena taqriir Nabi, bukan semata-mata karena dipelopori oleh Sahabat atau ulama tertentu.
Adapun di zaman ini, Sunnah Taqriiriyyah sudah tak ada lagi sepeninggal Rasulullah . Sehingga tak ada alasan bagi kita  untuk mengada-ada atau menambah-nambah perkara baru dalam hal ibadah.
Jika dikatakan; bukankah perbuatan Bilal tersebut sebelum mendapat taqrir dari Nabi adalah bid’ah..??, sebagaimana yang disimpulkan oleh Ust. Abdul Somad pada hal. 43.
Jawabannya; berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita bisa menilai itu adalah anggapan yang sangat jauh dari kebenaran. Namun anggaplah kita sepakat dengan Ust. Abdul Somad bahwa tindakan Bilal adalah bid’ah sebelum mendapat taqriir Nabi. Maka kita katakan; bahwasanya para Sahabat punya kekhususan dalam masalah ini. Karena mereka hidup di zaman turunnya wahyu. Tidak bisa disamakan apa yang dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini.
Jika ada amalan Sahabat yang tidak diridhai secara syar’i di era turunnya wahyu dan pensyariatan, niscaya Allah akan menurunkan teguran melalui Nabi-Nya, dan menjelaskan jalan ibadah yang sesuai dengan keridhaan-Nya. Namun yang demikian ini tidak berlaku bagi mereka yang hidup tidak di zaman turunnya wahyu. Ibnu al-Qayyim mengatakan:
أن علم الرب تعالى بما يفعلون في زمن شرع الشرائع ونزول الوحي وإقراره لهم عليه دليل على عفوه عنه
“Ilmu Rabb ta’ala atas apa-apa yang diamalkan (oleh para Sahabat) di zaman pensyariatan, atau di era turunnya wahyu, lantas Allah men-taqriir-nya (atau mendiamkannya), adalah bukti bahwa Allah tidak mempermasalahkan amalan mereka tersebut.” [al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Mustakhrajah min I’lamil Muwaqqi’in: 292, Abdurrahman al-Jazairi, Taqdim: Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid]
Adapun pada zaman ini, Rasul sudah tiada, wahyu sudah terputus dan agama sudah disempurnakan. Wahyu mana yang akan menjamin keabsahan setiap ide atau kreasi orang dalam ibadah..? Sementara itu amalan yang dilakukan oleh Bilal adalah amalan yang dilakukan pada waktu Rasul masih hidup, dan belum diturunkan ayat tentang kesempurnaan Islam:
اليوم أكملت لكم دينكم
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Kalian”
Sehingga tidak bisa disamakan kasus yang terjadi di zaman para sahabat dengan apa yang terjadi di zaman ini.
Ibadah yang diada-adakan pada zaman ini tidak ada jaminan legitimasi dari Allah dan Rasulullah . Karena agama ini sudah disempurnakan, Rasulullah sudah wafat dan wahyu telah terputus. Di sisi yang lain, Rasulullah telah menutup peluang bagi orang-orang belakangan untuk berkreasi dalam ibadah, melalui sabdanya:
كل بدعة ضلالة
“Semua bid’ah itu sesat”
Para sahabat seperti Ibnu ‘Umar, menafsirkan sabda Rasulullah ini dengan ucapannya;
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap kebidahan adalah kesesatan sekalipun manusia memandangnya hasanah (baik)”
Kelima; jangankan di zaman ini, di era Nabi masih hidup saja, tidak semua ide Sahabat dalam hal ibadah di-taqriir oleh Nabi. Ada yang bahkan diingkari dengan keras.
Seperti kisah 3 orang yang ingin beribadah lebih—yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063)–. Di antara mereka ada yang ingin membujang selamanya agar fokus beribadah, ada yang ingin berpuasa sepanjang tahun (dahr), dan ada yang hendak shalat malam tanpa tidur. Rasulullah mengingkari ide mereka tersebut, sekalipun niat mereka baik.
Juga kisah al-Baraa’ bin ‘Aazib yang mengganti lafaz “wabi-nabiyyika…” menjadi “wabi-rasuulika…” dalam doa sebelum tidur yang diajarkan Nabi pada beliau. Tindakan al-Baraa’ ini langsung mendapat teguran dari Nabi (lihat Shahih al-Bukhari no. 6311).
Nah, jika Sahabat saja ada yang diingkari oleh Nabi ide atau tindakan mereka dalam hal ibadah, maka apalagi ide baru orang-orang zaman sekarang…??
***
Kesimpulannya; perbuatan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk menyokong adanya bid’ah mahmudah/hasanah dalam ranah ritual ibadah sehingga seseorang bisa bebas melakukan atau membuat ibadah-ibadah baru (seperti ritual perayaan Maulid). 
________
Abu Ziyan Johan Saputra Halim
(Pimred alhujjah.com, pengasuh kanal dakwah Telegram: t.me/kristaliman)

Bilal Membuat Bid’ah ?

Diantara sebagian jurus yang selalu dibawa para pembela bid’ah, yaitu riwayat Bilal radhiallahu ‘anhu yang selalu sholat dua raka’at setelah berwudhu, padahal tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan sunnahnya sholat dua raka’at setelah wudhu.
Berikut riwayatnya ;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Bilal :
يَا بِلاََلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْرًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّي
“Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku tentang amalan yang paling memberikan pengharapan padamu yang telah kau kerjakan, karena aku mendengar gerakan kedua sendalmu di hadapanku di surga”. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengerjakan suatu amalan yang paling memberikan pengharapan padaku daripada jika aku bersuci kapan saja di malam hari atau siang hari kecuali aku sholat dengan bersuciku tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah” (HR Al-Bukhari no 1149 dan Muslim no 2458).

TANGGAPAN ;
Sholat sunnah wudhu bukanlah suatu ibadah yang baru yang tidak pernah disyari’atkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah disebutkan bahwasanya sholat sunnah wudhu adalah kreasi Bilal. Akan tetapi Nabi hanya bertanya kepada Bilal tentang ibadah yang paling memberi pengharapan kepadanya. Tidak termaktub dalam riwayat hadits ini bahwasanya Bilal telah menciptakan sholat sunnah wudhu. Maka bisa jadi sudah ada anjuran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya.
Perlu difahami, bahwa bid’ah adalah perkara baru dalam agama, yang muncul setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam WAFAT.
Sebagaimana yang diterangkan oleh para Ulama berikut ini.
1- Imam Al-’Iz bin ‘Abdissalam berkata :
هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ الرَّسُوْلِ
“Bid’ah adalah mengerjakan perkara yang tidak ada di masa Rasulullah”. (Qowa’idul Ahkam 2/172).
2- Imam An-Nawawi berkata :
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
“Bid’ah adalah mengada-ngadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah”. (Tahdzibul Asma’ wal lugoot 3/22).
3- Al-Fairuz Abadi berkata :
الحَدَثُ فِي الدَّيْنِ بَعْدَ الإِكْمَالِ، وَقِيْلَ : مَا استَحْدَثَ بَعْدَهُ مِنَ الأَهْوَاءِ وَالأَعْمَالِ
“Bid’ah adalah perkara yang baru dalam agama setelah sempurnanya, dan dikatakan juga, apa yang diada-adakan sepeninggal Nabi berupa hawa nafsu dan amalan”. (Basoir dzawi At-Tamyiiz 2/231).
4- Imam Al-‘Aini berkata :
وَقِيْلَ: إِظْهَارُ شَيْءٍ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ
“. . Dan dikatakan juga (bid’ah adalah) menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak ada juga di masa para sahabat”. (Umdatul Qori’ 25/37).
Dari keterangan para Ulama tersebut, dapat kita fahami, bahwa bid’ah adalah ;
“PERKARA BARU (dalam urusan agama), YANG TIDAK ADA DI MASA RASULULLAH MASIH HIDUP”.
Perhatikan sekali lagi berikut ini ! !
“Bid’ah adalah segala perkara yang terjadi (dalam urusan agama) SETELAH NABI TIADA”.
Adapun perbuatan Bilal radhiallahu ‘anhu yang selalu sholat dua raka’at setelah berwudhu tersebut, adalah ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam MASIH HIDUP.
Perkara yang di katakan atau dilakukan oleh seorang Sahabat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam MASIH HIDUP, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujuinya tidak mengingkarinya, maka itu adalah yang disebut SUNNAH TAQRIRIYAH.
Perbuatan yang dilakukan seorang Sahabat, dan disukai oleh Rasulullah, maka yang dilakukan oleh seorang Sahabat Rasulullah tersebut menjadi SUNNAH.
Al-Qostholaani rahimahullah berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ ذَلِكَ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاتِهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَاسْتَحْسَنَهُ وَأَقَرَّهٌ
“Hanyalah hal itu menjadi SUNNAH, karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dianggap baik oleh Beliau dan disetujuinya”. (Irsyaad As-Saari 5/261).
• APA ITU SUNNAH TAQRIRIYAH ?
SUNNAH TAQRIRIYAH adalah ; Perkata’an atau Perbuatan Sahabat Rasulullah, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkannya tidak mengingkarinya, tidak melarangnya.
Artinya ; Apa yang dikatakan atau di lakukan oleh Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, disetujui oleh Rasulullah. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan kesalahan yang dilakukan Sahabatnya.
Dan SUNNAH TAQRIRIYAH adalah sumber hukum dalam Islam, sebagaimana SUNNAH FI’LIYAH dan SUNNAH QAULIYAH.
Mungkin disini perlu disebutkan sedikit tentang sunnah.
Sunnah adalah ;
Maa udhifa ilaan nabiy min qowlun aw fi’lin aw taqriirin .
Artinya ; “Segala yang disandarkan kepada Nabi baik itu perkata”an atau perbuatan, persetujuan” (ushul fikih).
Sunah ada tiga ;
1- SUNNAH QAULIYAH (perkata’an Nabi)
2- SUNNAH FI’LIYAH (perbuatan Nabi)
3- SUNNAH TAQRIRIYAH (diamnya Nabi)
Diamnya Nabi, artinya Rasulullah membolehkannya, menyukainya. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan kalau yang dilakukan para Sahabatnya tersebut tidak benar.
Riwayat Bilal radhiallahu ‘anhu yang selalu sholat dua raka’at setelah berwudhu tersebut, dilakukan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam MASIH HIDUP.
• TIDAK SEMUA YANG DILAKUKAN PARA SAHABAT DISUKAI RASULULLAH
Perlu diketahui, tidak semua yang dilakukan dan niat baik para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di setujui.
Berikut ini, pengingkaran Rasulullah terhadap perbuatan yang dilakukan para Sahabatnya.
1- Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyata’an tiga orang, yang pertama berkata : “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua berkata : ”Saya akan puasa dan tidak akan berbuka”, yang terakhir berkata : “Saya tidak akan menikah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata : “Apa urusan mereka dengan berkata seperti itu ?, Padahal saya puasa dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pun tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku”. (Muttafaqun alaihi).
2- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyetujui Al-Baroo’ bin ‘Aazib radhiallahu ‘ahu dalam mengucapkan lafal doa yang diajarkan Nabi kepadanya.
Al-Baroo’ bin ‘Aazib berkata :
قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ وَقُلْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah sebagaimana berwudhu untuk sholat, lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan, lalu katakanlah :
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إْلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتُ
“Yaa Allah aku menyerahkan jiwaku kepadaMu, dan aku pasrahkan urusanku kepadaMu, dan aku sandarkan punggungku kepadaMu, dengan kekhawatiran dan harapan kepadaMu. Tidak ada tempat bersandar dan keselamatan dariMu kecuali kepadaMu. Aku beriman kepada kitabMu yang Engkau turunkan dan beriman kepada Nabimu yang Engkau utus”
Nabi berkata :
فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
“Jika engkau meninggal maka engkau meninggal di atas fitroh, dan jadikanlah doa ini adalah kalimat terakhir yang engkau ucapkan (sebelum tidur)”
Al-Baroo’ bin ‘Aazib berkata :
فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُوْلِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ لاَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
“Lalu aku mencoba untuk mengingatnya dan aku berkata “Dan aku beriman kepada RasulMu yang Engkau utus”
Nabi berkata, “Tidak, (akan tetapi) : Dan aku beriman kepada NabiMu yang Engkau utus” (HR Al-Bukhari no 6311).
3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari Utsman bin Madz’uun yang ingin beribadah dan tidak menikah.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi sallam pun berkata kepadanya :
يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا, أَفَمَا لَكَ فِيَ أُسْوَةٌ ؟ فَوَاللهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ للهِ , وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُوْدِهِ
“Wahai ‘Utsman, sesungguhnya Rohbaniyah tidaklah disyariatkan kepada kita. Tidakkah aku menjadi teladan bagimu ?, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan akulah yang paling menjaga batasan-batasanNya” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, dan At-Thobrooni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir).
Dari riwayat-riwayat tersebut bisa kita ketahui, bahwa tidak semua niat atau perbuatan baik yang dikatakan atau dilakukan para Sahabatnya selalu disetujui dan disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka, apabila sa’at ini ada sebagian orang yang berhujah, boleh berbuat bid’ah (perkara baru dalam urusan agama), karena para Sahabat pun banyak yang melakukan suatu amalan hasil kreasinya sendiri. Maka ini adalah suatu kekeliruan.
Apakah para pelaku bid’ah bisa memastikan, jika amalan-amalan baru dalam urusan ibadah yang di buatnya, di sukai oleh Allah dan Rosulnya ?
Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun ada pengingkaran terhadap yang dilakukan para Sahabatnya ?
KESIMPULANNYA ;
Berhujjah membela bid’ah dengan membawakan riwayat yang menyebutkan ada seorang Sahabat membuat kreasi baru dalam ibadah, adalah sangat keliru. Karena yang dilakukan seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tersebut, dilakukan ketika Rasulullah MASIH HIDUP.
Disamping itu, tidak semua yang dilakukan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam disetujui dan disukai oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam.
Lalu darimana para pembuat bid’ah bisa mengetahui, kalau perkara baru yang dibuatnya pasti disukai Allah ta’ala dan Rasulnya ?
Selain itu, riwayat Bilal radhiallahu ‘anhu yang selalu sholat dua raka’at setelah berwudhu tersebut, merupakan perbuatan seorang Sahabat sebelum turunnya ayat tentang sempurnanya agama.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3].
Wallahu A’lam bis showaab.
Agus Santosa Somantri
https://agussantosa39.wordpress.com/2015/01/14/bilal-membuat-bidah/amp/

Para Sahabat Membuat Bid’ah ?

Di Antara jurus yang sering di bawa para pembela bid’ah, adalah riwayat-riwayat yang menunjukkan adanya amalan-amalan yang dilakukan para Sahabat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkannya, artinya menyukainya. Tidak mungkin Rasulullah membiarkan kalau yang dilakukan para Sahabatnya tersebut tidak benar.
Berikut ini perbuatan-perbuatan para Sahabat yang dibiarkan dan disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ;
1- Bilal selalu bersuci tiap waktu (yakni selalu dalam keada’an berwudhu) siang-malam sebagaimana akan menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal). Dan Bilal selalu melakukan shalat dua raka’at setelah bersuci. (HR Bukhori, Muslim).
* Rasulullah meridhoi apa yang dilakukan, di prakarsai Bilal dan Bilal diberi kabar gembira sebagai orang-­orang yang lebih dahulu masuk surga.
2- Khubaib yang melakukan shalat dua raka’at sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. (H.R Bukhari).
* Yang dilakukan Khubaib disetujui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
3- Seorang sahabat mengucapkan : “Rabbana lakal hamdu” (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku’ dan berkata “Sami’allahu liman hamidah” (Semoga Allah mendengar siapapun yang memuji­Nya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a ?’. Orang yang bersangkutan menjawab : Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat berebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “. (H.R Bukhari dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi).
* Sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena amalannya.
4- Ibnu Umar berkata, “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw, ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi ? Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. . .” (HR. Muslim dan Tirmidzi).
* Rasulullah kagum dengan apa yang dilakukan seorang Sahabatnya.
5- Khabbab shalat dua raka’at sebagai pernyata’an sabar (bela sungkawa) disa’at menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Shahih Bukhori).- (Fathul Bari jilid 8/313).
* Rasulullah membenarkan apa yang dilakukan sahabatnya tersebut.
6- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan : “Pada suatu sa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “. (Kitabut-Tauhid Al-Bukhori).
* Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan Allah menyukainya.
7- Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas, dan ini dilakukannya setiap raka’at. Setelah shalat para ma’mum menegurnya, Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas ? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya : ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’ ? Imam tersebut menjawab : ‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata : ‘Kecinta’anmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
* Rasulullah mengatakan Orang yang jadi imam tersebut akan dimasukkan ke Surga karena perbuatannya itu.
8- Sa’id Al-Khudriy ra mengatakan, ia mendengar seorang mengulang-ulang baca’an Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy) memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keada’an orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’. (H.R Al-Bukhori).
9- Bapaknya Abu Buraidah menceriterakan, ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi. Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a ; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda ; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
* Rasulullah menyukai yang dilakukan orang tersebut.
10- Sekelompok sahabat yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata : Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa ? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulullah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
* Rasulullah membenarkan apa yang dilakukan para Sahabatnya tersebut.
11- Paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan ; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata : ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (Rasulullah), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (H.R Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i, Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath).
12- Rifa’ah ibn Rafi’ bersin saat shalat, kemudian berkata: “Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan ‘alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha” (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: “Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditu­gaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit.” (At- Tirmidzi).
* Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyukainya dan memberinya kabar baik.
13- Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menambah do’a talbiyah dengan kalimat :
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
14- Beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat.” (H.R mam Muslim dan Imam An-Nasa’i).
* Rasulullah menyukainya dan memberi kadar gembira.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Para pembela bid’ah berkata, Apa yang dilakukan oleh para Sahabat tersebut, tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perbuatan para Sahabat tersebut merupakan prakarsa atas inisiatif mereka sendiri.
Sekalipun begitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya, tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan kalau yang dilakukan para Sahabatnya itu salah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
TANGGAPAN :
Riwayat-riwayat yang di sebutkan tadi, yang dilakukan oleh para Sahabat tersebut, adalah ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam MASIH HIDUP.
Untuk memahami perkara ini, kita harus memahami arti bid’ah secara benar.
Berikut ini DEFINISI BID’AH menurut para Ulama. Definisi bid’ah yang dimaksud disini adalah arti bid’ah menurut SYARI’AT, bukan arti bid’ah menurut BAHASA.
Berikut ini penjelasan bid’ah menurut para Ulama ;
1- Imam Al-’Iz bin ‘Abdissalam berkata :
هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ الرَّسُوْلِ
“Bid’ah adalah mengerjakan perkara yang tidak ada di masa Rasulullah”. (Qowa’idul Ahkam 2/172).
2- Imam An-Nawawi berkata :
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
“Bid’ah adalah mengada-ngadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah”. (Tahdzibul Asma’ wal lugoot 3/22).
3- Al-Fairuz Abadi berkata :
الحَدَثُ فِي الدَّيْنِ بَعْدَ الإِكْمَالِ، وَقِيْلَ : مَا استَحْدَثَ بَعْدَهُ مِنَ الأَهْوَاءِ وَالأَعْمَالِ
“Bid’ah adalah perkara yang baru dalam agama setelah sempurnanya, dan dikatakan juga, apa yang diada-adakan sepeninggal Nabi berupa hawa nafsu dan amalan”. (Basoir dzawi At-Tamyiiz 2/231).
Sampai disini, bisakah para pembela bid’ah faham ?
Dari keterangan para Ulama tersebut dapat kita fahami, bahwa bid’ah adalah ;
“PERKARA BARU (dalam urusan agama), YANG TIDAK ADA DI MASA RASULULLAH MASIH HIDUP”.
Perhatikan sekali lagi berikut ini ! !
“Bid’ah adalah segala perkara yang terjadi (dalam urusan agama) SETELAH NABI TIADA”.
Adapun perbuatan-perbuatan yang dilakukan para Sahabat tadi, adalah ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam MASIH HIDUP.
Perkara yang di katakan atau dilakukan oleh para Sahabat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkannya tidak mengingkarinya, maka itu adalah yang disebut SUNNAH TAQRIRIYAH
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan disukai oleh Rasulullah, maka Perbuatan-perbuatan para Sahabat Rasulullah tersebut menjadi sunnah.
Al-Qostholaani rahimahullah berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ ذَلِكَ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاتِهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَاسْتَحْسَنَهُ وَأَقَرَّهٌ
“Hanyalah hal itu menjadi sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dianggap baik oleh beliau dan ditaqrir / diakui / disetujui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Irsyaad As-Saari 5/261)
• APA ITU SUNNAH TAQRIRIYAH ?
SUNNAH TAQRIRIYAH adalah ; Perkata’an atau Perbuatan yang dikatakan atau dilakukan Sahabat Rasulullah, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkannya tidak mengingkarinya, tidak melarangnya.
Artinya ; Apa yang dikatakan atau di lakukan oleh Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut disetujui oleh Rasulullah. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan kesalahan, yang dilakukan Umatnya.
Dan Sunnah taqririyah adalah sumber hukum dalam Islam, sebagaimana sunnah fi’liyah dan sunnah qauliyah.
Mungkin disini perlu disebutkan sedikit tentang sunnah.
Sunnah adalah ;
Maa udhifa ilaan nabiy min qowlun aw fi’lin aw taqriirin .
Artinya ; “Segala yang disandarkan kepada Nabi baik itu perkata”an atau perbuatan, persetujuan” (ushul fikih).
Sunah itu ada tiga ;
1- Perkata’an Nabi (sunnah qauliyah)
2- Perbuatan Nabi (sunnah fi’liyah)
3- Diamnya Nabi (sunnah taqririyah)
Diamnya Nabi, artinya Rasulullah membolehkannya, menyukainya. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan kalau yang dilakukan para Sahabatnya tersebut tidak benar.
Riwayat-riwayat yang disebutkan tadi, dilakukan oleh para Sahabat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam MASIH HIDUP.
• TIDAK SEMUA YANG DILAKUKAN PARA SAHABAT DISUKAI RASULULLAH
Perlu diketahui, tidak semua yang dilakukan dan niat baik para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di setujui.
Berikut ini, pengingkaran Rasulullah terhadap perbuatan yang dilakukan para Sahabatnya.
1- Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyata’an tiga orang, yang pertama berkata : “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua berkata : ”Saya akan puasa dan tidak akan berbuka”, yang terakhir berkata : “Saya tidak akan menikah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata : “Apa urusan mereka dengan berkata seperti itu ?, Padahal saya puasa dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pun tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku”. (Muttafaqun alaihi).
2- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyetujui Al-Baroo’ bin ‘Aazib radhiallahu ‘ahu dalam mengucapkan lafal doa yang diajarkan Nabi kepadanya.
Al-Baroo’ bin ‘Aazib berkata :
قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ وَقُلْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah sebagaimana berwudhu untuk sholat, lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan, lalu katakanlah :
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إْلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتُ
“Yaa Allah aku menyerahkan jiwaku kepadaMu, dan aku pasrahkan urusanku kepadaMu, dan aku sandarkan punggungku kepadaMu, dengan kekhawatiran dan harapan kepadaMu. Tidak ada tempat bersandar dan keselamatan dariMu kecuali kepadaMu. Aku beriman kepada kitabMu yang Engkau turunkan dan beriman kepada Nabimu yang Engkau utus”
Nabi berkata :
فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
“Jika engkau meninggal maka engkau meninggal di atas fitroh, dan jadikanlah doa ini adalah kalimat terakhir yang engkau ucapkan (sebelum tidur)”
Al-Baroo’ bin ‘Aazib berkata :
فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُوْلِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ لاَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
“Lalu aku mencoba untuk mengingatnya dan aku berkata “Dan aku beriman kepada RasulMu yang Engkau utus”
Nabi berkata, “Tidak, (akan tetapi) : Dan aku beriman kepada NabiMu yang Engkau utus” (HR Al-Bukhari no 6311).
3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari Utsman bin Madz’uun yang ingin beribadah dan tidak menikah.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi sallam pun berkata kepadanya :
يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا, أَفَمَا لَكَ فِيَ أُسْوَةٌ ؟ فَوَاللهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ للهِ , وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُوْدِهِ
“Wahai ‘Utsman, sesungguhnya Rohbaniyah tidaklah disyariatkan kepada kita. Tidakkah aku menjadi teladan bagimu ?, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan akulah yang paling menjaga batasan-batasanNya” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, dan At-Thobrooni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir).
Dari riwayat-riwayat tersebut bisa kita ketahui, bahwa tidak semua niat atau perbuatan baik yang dikatakan atau dilakukan para Sahabatnya selalu disetujui dan disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka, apabila sa’at ini ada sebagian orang yang berhujah, boleh berbuat bid’ah (perkara baru dalam urusan agama), karena para Sahabat pun banyak yang melakukan suatu amalan hasil kreasinya sendiri. Maka ini adalah suatu kekeliruan.
Apakah mereka bisa memastikan, jika amalan-amalan baru dalam urusan ibadah yang di buatnya, yang diikutinya di sukai disetujui oleh Allah dan Rosulnya ?
Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun ada pengingkaran terhadap yang dilakukan para Sahabatnya ?
KESIMPULANNYA ;
Berhujjah dengan membawakan riwayat-riwayat yang menyebutkan para Sahabat membuat kreasi-kreasi baru dalam ibadah adalah sangat keliru, karena tidak semua yang dilakukan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam disetujui dan disukai oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam.
Lalu darimana para pembuat bid’ah bisa mengetahui kalau perkara baru yang dibuatnya pasti disukai Allah ta’ala dan Rasulnya ?
Selain itu, riwayat-riwayat para Sahabat tadi merupakan perbuatan para sahabat sebelum turunnya ayat tentang sempurnanya agama.
Wassalam
Agus Santosa Somantri

Apakah Pengumpulan Al Qur’an Termasuk Bid’ah?

Apakah kumpulan mushaf yang kita sebut sekarang Al-Qur’an itu bid’ah?
 (Dijawab oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi)
 Pengumpulan mushaf di zaman ‘Utsman bukanlah termasuk bid’ah. Walaupun di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum ada pengumpulan mushaf tersebut, namun kondisi di zaman ‘Utsman sangat menuntut untuk dikumpulkannya mushaf. ‘Utsman sendiri telah didahului oleh Abu Bakr di zamannya, para sahabat pun waktu itu sepakat. Sehingga hal ini adalah ijma’ atau kesepakatan para sahabat. Dan sesuatu yang disepakati para sahabat tentu bukan termasuk bid’ah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru memerintahkan untuk kita mengikuti mereka sebagaimana sabdanya:
 فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Shahih, HR. Abu Dawud)
Di zaman Abu Bakr, semua sahabat sepakat, termasuk ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Sedangkan di zaman ‘Utsman, para sahabat yang ada juga bersepakat, termasul ‘Ali.
Demikianlah. Ijma’ merupakan salah satu landasan agama, sebagaimana dijelaskan para ulama berdasarkan dalil dari ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَجَارَ أُمَّتِي أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلَالَةٍ
“Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku untuk sepakat dalam kesesatan.” (Shahih, HR. Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtarah)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menceritakan sejarah pengumpulan Al-Qur’an:
Zaid bin Tsabit Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu -beliau termasuk salah seorang penulis wahyu- berkata:  “Abu Bakr mengutus kepadaku (utusan untuk memanggilku setelah) pembantaian oleh penduduk Yamamah. Umar berada di sisinya. Lalu Abu Bakr mengatakan: “Sesungguhnya pembunuhan telah memakan korban banyak manusia pada peperangan Yamamah. Aku khawatir akan banyak pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur’an di banyak tempat, sehingga banyak yang hilang dari Al-Qur’an, kecuali bila kalian mengumpulkannya. Sungguh aku memandang agar engkau kumpulkan Al-Qur’an.”
Abu Bakr mengatakan: “Aku katakan kepada Umar, ‘Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!’ Maka Umar menjawab: ‘Itu, demi Allah, baik.’Maka Umar terus mengulang-ulangi hal itu kepadaku, sehingga Allah Subhanahu wa ta’alalapangkan dadaku untuk itu dan aku memandang sebagaimana pandangan Umar.
Zaid mengatakan: Umar duduk di sisi Abu Bakr dan tidak berbicara. Abu Bakr lalu mengatakan: “Sesungguhnya engkau (wahai Zaid) adalah seorang yang masih muda, lagi cerdas dan kami tidak curiga kepadamu. Engkau dahulu ikut menulis wahyu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka telusurilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.”
Zaid mengatakan: “Maka demi Allah, seandainya Abu Bakr membebani aku untuk memindahkan salah satu gunung, itu tidak lebih berat bagiku daripada perintahnya kepadaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an.”

Aku katakan: “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi?” Maka Abu Bakr mengatakan: “Itu, demi Allah, baik.”

Maka aku terus berdiskusi dengannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala lapangkan dadaku untuk apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lapangkan untuknya dada Abu Bakr dan Umar. Aku pun bangkit sehingga aku telusuri Al-Qur’an. Aku kumpulkan dari lembaran, potongan tulang, pelepah kurma, dan dada-dada manusia. Sehingga aku dapatkan dua ayat dari surat At-Taubah bersama Khuzaimah Al-Anshari, yang aku tidak dapati keduanya pada seorang pun selain dia:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu…” (At-Taubah: 128-129) sampai akhir kedua ayat.
Dahulu lembaran-lembaran yang dikumpulkan padanya Al-Qur’an bersama Abu Bakr sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan beliau. Lalu lembaran-lembaran itu bersama Umar sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan dia, lalu lembaran-lembaran tersebut bersama Hafshah bintu Umar.
Hudzaifah Ibnul Yaman mendatangi Utsman. Waktu itu, dia membantu penduduk Syam berperang membuka daerah Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak. Maka perselisihan mereka dalam bacaan (Al-Qur’an) telah membuat Hudzaifah takut, sehingga beliau mengatakan kepada Utsman: “Wahai Amirul Mukminin, segera selamatkan umat ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Qur’an seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Maka Utsman mengutus utusan kepada Hafshah: “Kirimkanlah kepada kami lembaran-lembaran (kumpulan Al-Qur’an) untuk kami salin dalam mushaf, lalu kami kembalikan kepadamu.” Maka Hafshah mengirimkannya kepada Utsman, lalu beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id Ibnu Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, untuk menyalinnya di mushaf-mushaf. Lalu Utsman mengatakan kepada tiga orang Quraisy tersebut, ‘Bila kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit pada sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan bacaan Quraisy, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka.” Maka mereka melakukannya. Ketika mereka telah selesai menyalin lembaran-lembaran itu di mushaf-mushaf, ‘Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Beliau kemudian mengirimkan ke tiap penjuru satu mushaf dari yang mereka salin, lalu beliau memerintahkan agar Al-Qur’an selainnya baik lembaran atau mushaf untuk dibakar.
Asy-Syatibi mengatakan: “Banyak orang menganggap bahwa mayoritas maslahat mursalah [1]sebagai bid’ah, lalu mereka menyandarkan bid’ah ini kepada para sahabat dan tabi’in. Kemudian mereka menjadikan hal ini sebagai hujjah untuk membenarkan ibadah yang mereka buat-buat… (lalu beliau memberikan beberapa contoh, di antaranya) bahwa para sahabat sepakat untuk mengumpulkan Al-Qur’an padahal tidak ada nash (dalil) yang jelas dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an dan menulisnya. Bahkan sebagian sahabat mengatakan: ‘Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?’ … Akan tetapi mereka melihat adanya maslahat yang sesuai dengan tindakan-tindakan syariat yang pasti, karena pengumpulan itu kembalinya kepada penjagaan syariat. Sementara perintah untuk menjaga syariat itu sesuatu yang sangat diketahui. Hal itu juga menutup jalan menuju perselisihan dalam Al-Qur’an.” (Al-I’tisham)
Footnote:
[1] Suatu maslahat yang tidak dianjurkan dengan nash syariat secara tegas dan jelas, namun tidak juga dilarang.
Sumber: asysyariah.com

Sahabat Nabi Boleh Buat Bid’ah, Mengapa Kami Tidak?

Jika diteliti hadis-hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan atsar para sahabat radhiallahu ’anhum, akan ditemui sejumlah hadis atau riwayat yang menjelaskan bahawa ada di kalangan para sahabat Nabi yang melakukan ibadah tertentu di mana ianya bukanlah suatu yang berasal daripada sunnah baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Walau bagaimanapun baginda shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang ibadah-ibadah tersebut, bahkan  mengiktirafnya sebagai satu amalan yang terpuji dan dianjurkan di sisi ajaran Islam. Berdasarkan kepada hadis atau riwayat-riwayat tersebut, sebahagian pihak berhujah bahawa diperbolehkan bagi sesiapa jua untuk mewujudkan amalan baru di dalam Islam. Ini meskipun amalan-amalan tersebut bukanlah suatu yang berasal dariapda sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Antara amalan-amalan para sahabat yang dimaksudkan adalah seperti berikut:
Pertama: Azan. 
Pada dasarnya azan yang biasa kita dengari setiap kali masuknya waktu solat-solat fardu bukanlah berasal daripada amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi ia sebenarnya merupakan mimpi salah seorang sahabat baginda yang bernama Abdullah bin Zaid bin ‘Abd Rabbih radhiallahu ’anhu.
Setelah mendapat mimpi tersebut, sahabat tadi mencadangkan kepada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam agar menjadikan azan sebagai salah satu kaedah bagi menunjukkan masuknya waktu bagi umat Islam mengerjakan solat-solat fardu yang diperintahkan ke atas mereka.
Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan bimbingan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala-  telah menerima baik cadangan tersebut. Dengan penerimaan ini, maka menjadilah azan salah satu syi’ar di dalam ajaran Islam sehingga ke saat ini. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya Sunan Abu Daud, hadis no. 420, bersumberkan daripada Abu ‘Umair bin Anas radhiallahu’anhu.
Kedua: Solat sunat wudhuk. Disebutkan di dalam sebuah hadis bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal radhiallahu ’anhu tentang amalan yang dia lakukan sehingga dengan amalan itu baginda mendengar bunyi terompahnya di dalam Syurga, maka Bilal radhiallahu ‘anhu menjawab dengan katanya:[1]
مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ أَنْ أُصَلِّيَ.
Aku tidak melakukan sesuatu amalan yang paling aku harapkan, hanya sahaja setiap kali aku bersuci (berwuduk), sama ada pada waktu malam atau siang hari, aku sering mengerjakan solat setelah berwuduk.
Sebagaimana yang dimaklumi solat sunat selepas wuduk, atau lebih tepat dikenali sebagai solat sunat wuduk, bukanlah berasal daripada amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya ia berasal daripada amalan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas iaitu Bilal bin Rabbah radhiallahu ‘anhu. Meskipun demikian Allah dan Rasul-Nya tidak mengingkari amalan tersebut.
Ketiga: Bacaan bangkit daripada rukuk.
Pernah suatu ketika apabila baginda bangkit daripada rukuk dalam satu solat bersama para sahabat, baginda terdengar salah seorang daripada mereka membaca: Rabbana lakal hamdu hamdan katsiran thoyyiban mubarokan fihi.
Sebaik sahaja selesai solat, baginda bertanya siapakah di kalangan mereka yang membaca doa berkenaan dan sahabat yang membaca tadi membuat pengakuan. Lalu baginda pun mengkhabarkan kepadanya bahawa dengan doa berikut, baginda melihat seramai tiga puluh orang malaikat saling berebutan untuk mencatatnya. Sila rujuk Shahih al-Bukhari, no. 799 bagi melihat riwayat yang dimaksudkan.
Sebagaimana hadis sebelum ini, hadis ini juga menjadi bukti kukuh bahawa terdapat di kalangan para sahabat yang mengamalkan sesuatu ‘perkara baru’ dalam urusan ibadah apa yang tidak diajar dan disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana pun baginda tidak mengingkarinya.
Keempat: Solat Tarawih secara berjemaah. 
Selain daripada tiga riwayat sebelum ini, para pelaku bid’ah juga menjadikan kisah berikut sebagai dalil diperbolehkan mewujudkan perkara baru di dalam urusan ibadah. Perhatikan riwayat berikut:[2]
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ.
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahawa dia berkata: “Aku keluar bersama ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang solat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah. Ada yang solat sendiri dan ada seorang yang solat diikuti oleh makmum yang jumlahnya kurang daripada sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku fikir seandainya mereka semuanya solat berjama’ah dengan dipimpin seorang imam itu lebih baik”. Kemudian ‘Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” [3]
 Demikian beberapa hadis atau riwayat yang masyhur dijadikan sebagai dalil oleh para pelaku bid’ah bagi menjustifikasikan perbuatan mereka mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) di dalam urusan agama. Walau bagaimanapun hujah ini dilihat sangat lemah dan ia dapat dijawab semudah berikut:
Bantahan Pertama:
Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, khususnya para Khulafa’ al-Rasyidin, adalah  termasuk dalam keumuman hadis baginda yang memerintahkan agar kita umat Islam sentiasa berpegang teguh kepada sunnah-sunnah mereka selain daripada sunnah baginda shallallahu ’alaihi wasallam. Berikut hadis yang dimaksudkan:[4]
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.
Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham.  
Justeru apa yang dilakukan oleh para sahabat dalam riwayat-riwayat yang disebutkan sebelum ini tidak boleh dianggap sebagai bid’ah akan tetapi ia merupakan sunnah di sisi syarak. Lebih-lebih lagi ia mendapat perkenan dan pengiktirafan secara langsung daripada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa sebarang tegahan atau pun larangan.[5]
Seandainya amalan-amalan tersebut adalah suatu yang bercanggah dengan ajaran Islam, tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan segera menegurnya sebagaimana yang dilakukan oleh baginda dalam beberapa riwayat yang akan dikemukakan sebentar lagi.
Adapun selain mereka, khususnya generasi yang hidup selepas kewafatan baginda shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah termasuk di dalam perbincangan hadis ini. Justeru, apa jua amalan yang wujud selepas kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun ia kelihatan baik dan tidak terdapat sebarang dalil khusus yang menjelaskan larangannya, ia tetap tidak boleh dianggap sebagai sunnah, tetapi adalah bid’ah yang tercela di sisi agama.
Bantahan Kedua:
Perlu diketahui bahawa tidak semua amalan ‘baru’ dalam urusan ibadah yang diada-adakan oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum mendapat pujian dan pengiktirafan daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terdapat sebahagian daripada amalan-amalan tersebut yang mendapat teguran dan bantahan yang tegas daripada baginda shallalahu a’alaihi wasallam. Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
Hadis #1: 
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahawa tiga orang sahabat telah datang ke rumah para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi bertanyakan tentang ibadah baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah mendapat penjelasan daripada para isteri baginda shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sifat ibadahnya, ketiga-tiga sahabat tadi terfikir bahawa adalah perlu untuk mereka melipat-gandakan ibadah mereka mengatasi ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ini kerana – menurut andaian mereka – jika baginda sebagai insan yang maksum lagi diampuni segala dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang beribadah dengan kadar dan kualiti sebagaimana yang dijelaskan oleh para isterinya, maka sudah tentulah mereka sebagai manusia yang tidak maksum perlu melaksanakan ibadah yang jauh lebih banyak daripada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bagi tujuan tersebut, ketiga-tiga sahabat tersebut memasang azam masing-masing di mana salah seorang daripada mereka bercadang untuk melakukan puasa sepanjang tahun, manakala dua orang yang lain pula berazam untuk mengerjakan solat sepanjang malam dan hidup membujang seumur hidup.
Walau bagaimanapun keazaman mereka ini telah mendapat bantahan yang tegas daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana sabdanya:[6]
أَمَا وَاللهِ إِنيِّ لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
Ketahuilah! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah di antara kamu tetapi (kadangkala) aku (juga) berpuasa dan (kadangkala) tidak, aku bersolat (malam) tetapi aku juga tidur dan aku juga berkahwin dengan wanita-wanita. Sesiapa yang berpaling daripada sunnahku maka dia bukan dari (umat) aku!
Hadis #2: 
Di bawah ini pula akan dinukilkan sebuah riwayat berkenaan larangan baginda ke atas beberapa orang sahabat yang memanggilnya dengan gelaran Sayyidina:
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ: قَالَ أَبِي انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا:  أَنْتَ سَيِّدُنَا! فَقَالَ: السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى! قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طَوْلاً.  فَقَالَ: قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ.
Dari Mutarrrif bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata bahawa ayahnya pernah bersama satu rombongan daripada Bani Amir pergi untuk berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka tiba, mereka berkata kepada Rasulullah:  ‘Anta Sayyidina’ (Engkau Tuan kami). (Mendengarkan yang demikian). Rasulullah menjawab: ‘Tuan kamu ialah Allah Tabaraka wa Ta’ala!” Mereka (Bani Amir) berkata lagi: ‘Engkau adalah yang paling mulia kemuliaannya, dan yang paling besar kemuliaannya’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Berkatalah kamu dengan perkataan itu, akan tetapi janganlah sampai syaitan menjadikan kamu sebagai wakilnya!.’
Hadis #3:         

Al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu menceritakan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:[7]

إِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ وَاجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ كَلَامِكَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ مُتَّ وَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ قَالَ فَرَدَّدْتُهُنَّ لِأَسْتَذْكِرَهُنَّ فَقُلْتُ آمَنْتُ بِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.
Apabila kamu hendak tidur, maka berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat. Setelah itu berbaringlah dengan miring ke kanan, lalu berdoalah: “Ya Allah ya Tuhanku, aku pasrahkan wajahku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu dan aku serahkan punggungku kepada-Mu dengan berharap-harap cemas kerana tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.”
Jadikan bacaan tersebut sebagai penutup ucapanmu menjelang tidur. Apabila kamu meninggal dunia pada malam itu, maka kamu meninggal dalam kesucian diri (fitrah).” al-Barra’ berkata: “Saya mengulang-ulangi bacaan tersebut agar (ia dapat saya) hafal dan (ketika) saya ucapkan: Saya beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.’ Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ucapkanlah: Saya beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.” 
Dalam hadis di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada salah seorang sahabatnya, al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu tentang doa yang perlu dia lafazkan ketika hendak tidur. Ketika menghafal doa tersebut di hadapan Nabi, al-Barra’ didapati telah mengubah salah satu lafaz daripada doa yang baginda ajarkan kepadanya. Lafaz tersebut ialah ‘Nabi-Mu’ yang diubah oleh al-Barra’ kepada lafaz ‘Rasul-Mu’. Walaupun pengubahan lafaz ini kelihatan baik, namun baginda tetap melarangnya berbuat demikian dan memerintahkan agar dia mengekalkan sahaja lafaz asal sebagaimana yang diajarkan oleh baginda kepadanya.
Hadis #4:
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:[8]
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
Semasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah, baginda melihat seorang lelaki berdiri di bawah cahaya matahari lalu baginda bertanya tentangnya. Para sahabat berkata: Dia ialah Abu Israil. Dia bernazar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, tidak bercakap dan akan berpuasa.  Baginda berkata: “Beritahu kepadanya agar (hendaklah dia) bercakap, berteduh, duduk dan biarkan dia terus berpuasa.” 
Hadis #5:

Bersumberkan daripada Abul Malih radhiallahu ‘anhu bahawa seorang lelaki telah berkata:[9] 

كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ

Aku membonceng di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketika haiwan tunggangan baginda lambat saat berjalan aku berkata: “Celakalah Syaitan ini.”Baginda lalu bersabda: Janganah engkau berkata: “Celakalah Syaitan ini” kerana jika engkau berkata seperti itu ia (Syaitan) akan semakin besar hingga seperti rumah dan berkata: “Demi kekuatanku.” Tetapi hendaklah engkau katakan ‘Bismillah” (dengan menyebut nama Allah). Jika engkau ucapkan itu maka syaitan akan semakin kecil hingga (menjadi) seperti lalat.
Memadai dikemukakan beberapa hadis di atas bagi menunjukkan bahawa terdapat sebahagian amalan para sahabat yang tidak mendapat perkenan baginda untuk diangkat menjadi ibadah yang diiktiraf di dalam ajaran Islam.

Hakikat bahawa pada sebahagian amalan sahabat ada yang diterima oleh Rasulullah manakala sebahagian yang lain mendapat tegahan dan larangan daripada baginda menunjukkan kepada kita bahawa penentuan sama ada diterima atau ditolaknya sesuatu ibadah itu adalah tertakluk sepenuhnya kepada ketentuan yang datang daripada Allah melalui lisan Rasul-Nya.

Pasti saja, penentuan ini pula tidak mungkin boleh berlaku melainkan jika baginda shallallahu ‘alaihi wasallam hadir dan menyaksikan sesuatu amalan yang disandarkan ke atas ajaran agama sebagaimana baginda menyaksikan dan menentukan kedudukan amalan para sahabatnya. Memandangkan Rasulullah sudah wafat dan tidak berkesempatan lagi untuk menyaksikan sekaligus menentukan kedudukan bid’ah yang diciptakan oleh sebahagian pihak di zaman ini, maka apakah lagi faedah untuk kita mengada-adakan bid’ah di dalam urusan agama?
Penjelasan tambahan.

Apa yang menarik untuk diperhatikan adalah, usaha mengingkari amalan-amalan bid’ah yang bercanggah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya khusus dilakukan oleh baginda ketika masih hayatnya tetapi juga oleh para sahabat baginda setelah kewafatannya.

Semua ini menjadi bukti betapa kukuhnya kefahaman para sahabat terhadap pengertian bid’ah yang dicela di sisi agama, sehingga dengan kefahaman itu mereka mengambil peranan baginda untuk mengingkari apa jua amalan baru yang bermunculan selepas kewafatannya. Perhatikan riwayat-riwayat  berikut:
Riwayat #1: [10]  
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَ مُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَ مُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا أَنْ نَقُولَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ.
Daripada Nafi’ beliau meriwayatkan bahawa pada suatu ketika seorang lelaki telah bersin di sisi Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu lelaki tersebut berkata:  “Alhamdulillah wassalam ‘ala Rasulillah.” (Mendengarkan yang demikian) berkatalah Ibnu ‘Umar: “(Adakah) saya mengucapkan “Alhamdulillah wassalam ‘ala Rasulillah?.”  Bukanlah ucapan seperti ini (yang diajar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  kepada kami tetapi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kami ucapan ini: “Alhamdulillah ‘ala kulli haal.”

Riwayat #2: 

عن سعيد المسيب: أنه رأى رجلا يصلى بعد طلوع الفجر أكثر من ركعتين، يكثر فيها الر كوع والسجود، فنهاه، فقال: يا ابا محمد! يعذبني اﷲ على الصاة؟ قال: لا! ولكن يعذبك غلى خلاف السنة.
Daripada Said Ibnu al-Musayyib radhiallahu ‘anhu bahawasanya dia telah melihat seorang lelaki solat setelah terbit fajar lebih daripada dua rakaat. Lelaki itu memperbanyakkan rukuk dan sujud dalam solatnya itu. Lalu beliau pun melarang lelaki itu berbuat sedemikian. Maka lelaki itupun berkata kepadanya: “Wahai Abu Muhammad! Adakah Allah mengazabku di atas solat yang aku kerjakan ini?.” Beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi Allah mengazabmu kerana perlakuanmu ini menyelisih sunnah (cara Nabi shalallahu‘alaihi wasallam).”
Riwayat #3:

Daripada ‘Amr bin Salamah radhiallahu ’anhu, dia berkata:

كنا نجلس على باب عبد الله بن مسعود قبل صلاة الغداة. فإذا خرج مشينا معه إلى المسجد. فجاءنا أبو موس الأشعري فقال: أخرج إليكم أبو عبد الرحمن. بعد قلنا: لا. فجلس معنا حتى خرج. فلما خرج قمنا إليه جميعا فقال له أبو موس: ياأبا عبد الرحمن إني رأيت في المسجد آنفا أمرا أنكرته ولم أر والحمد لله إلا خيراز قال: فماهو. إن عشت فستراه قال رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا ينتظرون الصلاة في كل حلقة رجل وفي أيديهم حصى فيقول كبروا مائة فيكبرون مائة فيقول هللوا مائة فيهللون مائة ويقول سبحون مائة فيسبحون مائة. قال: فماذا قلت لهم؟ قال: ما قلت لهم شيئا انتظار رأيك وانتظار أمرك. قال: أفلا أمرتهم أن يعدوا سيئاتهم وضمنت لهم أن لا يضيع من حسناتهم؟ ثم مضى ومضينا معه حتى أتى حلقة من تلك الحلق فوقف عليهم فقال: ما هذا الذي أراكم تصنعون؟ قالوا: ياأبا عبد الرحمن حصى نعد به التكبير والتهليل والتسبيح. قال: فعدوا سيئاتكم فأنا ضامن أن لا يضيع من حسناتكم شيء ويحكم يا أمة محمد ما أسرع هلكتكم هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه وسلم متوافرون وهذه ثيابه لم تبل وآنيته لم تكسر والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدى من ملة محمد أو مفتتحو باب ضلالة. قالوا: والله يا يا أبا عبد الرحمن ماأردنا إلا الخير. قال: وكم من مريد للخير لن يصيبه.
Suatu ketika kami duduk di pintu ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum solat Subuh. Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy’ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abdul Rahman (‘Abdullah bin Mas’ud) telah keluar kepada kamu.” Kami jawab: “Tidak.” Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar. 
Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya. Lalu Abu Musa al-Asy’ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdul Rahman[11], aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku tidak lihat – Alhamdulillah – melainkan ia baik[12].”

Dia (‘Abdullah bin Mas’ud) bertanya: “Apakah ia?.” Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu puak, mereka duduk di dalam lingkungan (bulatan/halaqah) menunggu waktu solat. Bagi setiap lingkungan ada seorang lelaki (yang bertindak sebagai ketua dalam lingkungan mereka), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu. 

Apabila lelaki (ketua dalam lingkungan) itu berkata: “Takbir (Allahu Akbar) 100 kali”, maka mereka (yang lain) pun bertakbir 100 kali. Apabila dia berkata “Tahlil (La ilaha ilallah) 100 kali”, maka mereka pun bertahlil 100 kali. Apabila dia berkata: “Tasbih (Subhanallah) 100 kali”, maka mereka pun bertasbih 100 kali.”
Tanya ‘Abdullah bin Mas’ud: “Apa yang telah engkau katakan kepada mereka?.” Jawabnya (Abu Musa): “Aku tidak kata kepada mereka apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu.” Kata ‘Abdullah bin Mas’ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan engkau jaminkan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun?.”
Lalu dia (‘Abdullah bin Mas’ud) berjalan dan kami pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia (’Abdullah bin Mas’ud) tiba kepada salah satu daripada lingkungan berkenaan. Dia (‘Abdullah bin Mas’ud) berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu sedang lakukan ini?”
Jawab mereka (yang sedang berzikir dalam halaqah): “Wahai Abu ‘Abdul Rahman[13]! Anak-anak batu yang dengannya kami menghitung Takbir, Tahlil dan Tasbih.” 
Jawabnya (‘Abdullah bin Mas’ud): “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih ramai lagi, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama (yang dibawa oleh) Muhammad atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?.”

Jawab mereka: “Demi Allah wahai Abu ‘Abdul Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya (‘Abdullah bin Mas’ud): “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi tidak mendapatinya.”                

Nota kaki
[1] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no. 1149.
[2] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no.1871.
[3] Mengerjakan solat terawih secara berjemaah bukanlah perkara yang bid’ah di dalam agama. Ini kerana telah masyhur riwayat yang menjelaskan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengerjakan solat terawih bersama-sama dengan para sahabatnya di bulan Ramadan (Shahih Muslim, no. 761 dan Shahih Sunan al-Nasa’i, no. 1604). Justeru itu perkataan Amirul Mukminin ‘Umar al-Khaththab radhiallahu ‘anhu dalam riwayat di atas hendaklah difahami dalam konteks pengertian bahasa (etimologi) dan bukannya  menurut takrifan syarak (terminologi). Wallahua’lam.
[4] Hadis riwayat Abu Daud, no. 4607, at-Tirmidzi, no. 2676 dan al-Hakim 1/95. Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat komentar Syeikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 2455.
[5] Inilah yang disebutkan oleh para ulama sebagai sunnah takririyyah, iaitu apa-apa perkataan dan perbuatan para Sahabat yang tidak dilakukan mahupun dianjurkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam akan tetapi baginda tidak melarangnya. Diamnya baginda terhadap perbuatan tersebut menunjukkan ia adalah suatu yang dibolehkan. Sekiranya perbuatan tersebut salah di sisi ajaran Islam, pastilah Rasulullah akan segera menegahnya.
[6] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no. 5063 dan Muslim dalam Shahih Muslim, no. 1401.
[7] Hadis riwayat Muslim dalam Shahih Muslim, no. 4884.
[8] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no. 6210.
[9] Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, no. 4330 dan dinilai sahih oleh Syeikh al-Albani. Lihat Shahih Sunan Abu Daud, no. 4982.
[10] Hadis riwayat at-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmizi, no. 2662 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, no. 7691.
[11] Iaitu gelaran bagi ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
[12] Maksud beliau, perkara tersebut kelihatan baik walaupun dia tidak menyetujuinya.
[13] Iaitu gelaran bagi ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ’anhu.
by Mohd Hairi Nonchi on Tuesday, May 1, 2012
Oleh: Mohd Hairi Nonchi (Cikgu Arie)

Beralasan Dengan Shalat Tarawih Yang Dilakukan Oleh Umar

[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru.  (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?

Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang.  Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 136)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
Tidak dilakukan terus menerus.
Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
https://muslim.or.id/389-mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html

[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).

Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)

Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”

Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.

Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.

Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-


Ada dua pendapat ’ekstrim’ terkait dengan bahasan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau bentuknyanya (mereka anggap) baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah secara mutlak.[1]
Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة
”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.
Ada dua kata kunci di sini, yaitu :
1.          Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2.          Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Contoh (1) : Pengumpulan Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena faktor atau sebab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur (sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor penghalang yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :
”Dalam peperangan Yamamah para shahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang perlu dikumpulkan”.
Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.
Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada huruf hijaiyyah.[3] Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.
Contoh (2) : Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabishallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam syari’at.
Ibnu Taimiyyah berkata :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص .  وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم  بإحسان
”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan”.[4]
Atau jika kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin kita semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[5] Apa indikasinya ? Faktor pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau tetap tidak melakukannya.[6] Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.
Contoh (3) : Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai sekarang bisa dikatakan bid’ah ? Jawabannya : Tidak. Mengapa ? Karena ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :
فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan syari’at telah mantap[7], maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.
****
Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja, penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam............
Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
 [Abul-Jauzaa’ – Shaffar, 1430 di Ciomas Permai].
[1]     Sebagian ikhwah memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.
[2]     Kaidah turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak dilakukan oleh ­as-salafush-shaalihdari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
[3]     Huruf hijaiyyah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda, titik, dan harakat.
[4]     Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615.
[5]     Kecuali yang sudah ‘kebangetan’ doyan bid’ah.
[6]     Sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat :
عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887].
[7]     Tidak ada kewajiban tambahan yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, karena Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3.
Waspadalah…. Bid’ah Tersebar, Reduplah Sunnah

Tak ada seorang mukmin pun yang tidak mengharapkan kembalinya kejayaan Islam, sebagaimana Islam dahulu pernah berada pada masa emas kejayaannya di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi cita-cita bukanlah angan-angan dan mimpi indah di kala terjaga. Bagaimana kita bisa meraih kejayaan Islam seperti dahulu sedangkan saat ini banyak diantara kaum muslimin sendiri yang meninggalkan ajaran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan mengamalkan bid’ah. Kebid’ahan inilah yang menjadi pengeruh sunnah Nabi (syariat Islam) yang sebenarnya.

Dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ النّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْخَيْرِ. وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشّرِّ. مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِِ إنّا كُنّا فِي جَاهِلِيّةٍ وَشَرٍّ. فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ. فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: “نَعَمْ” فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: “نَعَمْ. وَفِيهِ دَخَنٌ” قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: “قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي. تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ”. فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: “نَعَمْ. دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ. مَنْ أَجَابَهُمْ إلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا”. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا. قَالَ: “نَعَمْ. قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا. وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا” قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ فَمَا تَرَى إنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: “تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإمَامَهُمْ” فَقُلْتُ: فَإنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: “فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا. وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتّىَ يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ، وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir hal tersebut akan menimpaku. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dulu kami berada pada masa jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya‘ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan lagi?’ Beliau menjawab,‘Ya, namun ada kerusakan‘ Aku bertanya lagi, ‘Apa bentuk kerusakan itu?’ Beliau menjawab, ‘Suatu kaum yang berjalan bukan di atas sunnahku dan mengikuti petunjuk selain petunjukku. Engkau mengenali mereka dan mengingkarinya’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, (yaitu) para da’i yang mengajak kepada pintu neraka jahanam. Barangsiapa yang menerima ajakan mereka, niscaya mereka akan menjerumuskannya ke dalam neraka’ Aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami sifat-sifat mereka!’ Beliau menjawab, ‘Ya. Mereka berasal dari kaum kita dan berbicara dengan bahasa kita‘. Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa yang kau perintahkan jika aku bertemu mereka?’ Beliau menjawab, ‘Berpegangteguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka‘ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kami tidak mendapati adanya jamaah kaum muslimin dan imam mereka?’ Beliau menjawab,‘Tinggalkanlah semua kelompok-kelompok itu meskipun dengan menggigit pokok pohon hingga kematian datang menjemputmu sedang engkau masih dalam keadaan seperti itu‘” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna kerusakan yang memperkeruh kebaikan, yaitu ‘suatu kaum yang berjalan bukan di atas sunnahku dan mengikuti petunjuk selain petunjukku‘. Artinya kaum tersebut melakukan amalan ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca: bid’ah). Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada terhadap amalan-amalan bid’ah yang banyak sekali tersebar saat ini, sebagaimana shahabat Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu ‘anhu merasa khawatir akan terjerumus dalam keburukan tersebut.
Sesungguhnya syariat Islam ini sudah sempurna, tidak membutuhkan lagi penambahan maupun pengurangan dalam urusan ibadah, sebagaimana hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS.Al Maidah : 3)
Bahaya Bid’ah
Di antara bahaya bid’ah adalah perbuatan ini akan menghilangkan sunnah yang semisal. Hal ini sebagaimana pernyataan salah seorang tabi’in, Hasan bin ‘Athiyah,
ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله من سنتهم مثلها ولا يعيدها إليهم إلى يوم القيامة
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu perkara yang diada-adakan dalam urusan agama mereka (bid’ah) melainkan Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisal dari lingkungan mereka. Allah tidak akan mengembalikan sunnah itu kepada mereka sampai kiamat” (Lammud Durril Mantsur, hal. 21)
Demikianlah gambaran masyarakat kita sekarang yang tidak lagi mengenal perbedaan sunnah dan bid’ah. Ajaran Nabi yang benar, dianggap sebagai bid’ah atau aliran menyimpang, sedangkan suatu amalan bid’ah justru dianggap sebagai sunnah Nabi yang perlu dilestarikan. Hal ini sudah jauh hari disinyalir keberadaannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al Ghuroba’)” (HR. Muslim 2/175-176)
Terdapat beberapa penafsiran ulama mengenai kata al ghuroba’, namun penafsiran yang marfu’ (berdasarkan riwayat yang sampai kepada Nabi), adalah:
Orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak.
Orang-orang shalih di antara banyaknya orang-orang buruk. Orang yang menyelisihinya lebih banyak daripada yang mentaatinya.
(Mengapa Memilih Manhaj Salaf, hal. 70)
Contoh Amalan Bid’ah yang Menghilangkan Amalan Sunnah
Ada banyak amalan bid’ah yang tersebar di masyarakat, akibatnya amalan sunnah Nabi yang seharusnya dikerjakan justru ditinggalkan. Di antaranya:
1. Membaca doa اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ ketika akan makan.
Doa ini merupakan bacaan yang sering diajarkan para guru sekolah, pesantren, maupun TPA ketika membahas tentang adab makan. Padahal hadits yang dijadikan sandaran doa ini adalah hadits yang lemah sekali. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Ad Du’a: 888, Ibnu Sunni: 457, Ibnu Adi 6/2212 dari beberapa jalan dari Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Isa bin Sami’, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abi Zu’aiza’ah dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau apabila akan makan makanan berdoa ….(dengan doa di atas)…
Sisi cacat hadits ini adalah Hisyam bin Ammar dan Ibnu Sami’ diperbincangkan oleh para ulama, namun yang lebih parah adalah Ibnu Abi Zu’aiza’ah, dia seorang yang tertuduh berdusta dan haditsnya sangat munkar. Hadits ini dianggap munkar oleh Ibnu Adi, Adz Dzahabi, dan Ibnu Hajar. (Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, hal. 220-221 dari Takhrij Al Adzkar hal. 424)
Adapun bacaan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika akan makan justru kurang dikenal oleh masyarakat kita. Beliau mengajarkan sebelum makan hendaknya membaca :بِسْمِ اللهِ atau بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Dan apabila lupa membacanya, hendaknya kita membaca : بِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ atau بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian akan makan maka sebutlah nama Allah Ta’ala. Jika lupa menyebutnya di awal makannya, hendaknya mengucapkan : ‘Dengan menyebut nama Allah di awalnya dan di akhirnya’” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dan ia (Tirmidzi) berkata : ‘hadits hasan shahih’)
Begitu juga hal ini disebutkan dalam hadits dari ‘Umar bin Abi Salamah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa sebelum makan hendaknya kita menyebut nama Allah yakni dengan membaca بِسْمِ الله . Tidaklah mengapa apabila seseorang menambahkan kata الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ karena Allah menggunakan kedua nama ini untuk memuji diri-Nya sendiri pada bacaan basmalah, بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ , dalam Al Qur’an Al Karim. Oleh karena itu, tidaklah mengapa membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ atau cukup meringkasnya dengan membaca بِسْمِ الله saja. (Syarh Riyadhus Sholihin: Kitab Adab Ath Tho’am)
2. Mengucap istighfar (“Astaghfirullah“) atau ta’awudz (“A’udzu billahi minasy syaithanirrajim“) ketika menguap.
Tatkala menguap, beberapa orang mengucapkan kalimat istighfar atau ta’awudz. Hal ini merupakan salah satu bentuk dzikir yang tidak ada tuntunannya dan menyelisihi apa yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika menguap, hendaknya kita menahannya dengan sekuat tenaga, boleh jadi menahan mulut agar tidak terbuka yaitu dengan mengatupkan gigi pada bibir atau menutup mulut dengan tangan, kain, atau benda semisalnya (Kitabul Adab, hal. 322-323).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ، فَإِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ وَحَمِدَ اللهَ، كَانَ حَقًّا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ، وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ: فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَثَاءَبَ ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ
“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika salah seorang di antara kalian bersin lalu mengucapkan hamdalah (الحَمْدُ لِلَّهِ ), maka menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang mendengarnya untuk mengucapkan : يَرْحَمُكَ اللهُ (Semoga Allah merahmatimu). Adapun menguap, maka itu datangnya dari setan. Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaknya ia menahannya sekuat tenaga karena sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian menguap maka setan akan tertawa karenanya” (HR.Bukhari)
Sebagian orang berargumen dengan ayat di bawah ini mengenai alasan mereka berta’awudz ketika menguap. Allah Ta’ala berfirman :
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah . Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al A’raf : 200)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwasanya godaan setan tersebut maknanya adalah perintah setan untuk melakukan kemaksiatan dan meninggalkan kewajiban-kewajiban. Oleh karena itu, jika kita merasa bahwa setan mengajak pada hal tersebut, hendaknya kita berta’awudz memohon perlidungan pada Allah. (Syarh Riyadhush Sholihin: Kitab As Salam).
3. Membaca surat Yasin (Jawa: Yasinan) pada malam Jum’at
Di sebagian masjid, pada malam Jumat, setelah shalat Maghrib sering diadakan pembacaan surat Yasin. Menurut mereka, hal ini berdasar hadits :
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ (يس) فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ ؛ غُفِرَ لَهُ
“Barangsiapa membaca surat Yasin pada malam Jum’at, maka (dosanya) akan diampuni”
Teks hadits tersebut disebutkan oleh Al Ashfahani dalam At Targhib wat Tarhib dari jalan Zaid bin Al Harisy, mengabarkan pada kami Al Aghlab bin Tamim, mengabarkan kepada kami Ayyub dan Yunus dari Al Hasan dari Abu Hurairah secara marfu’.
Syaikh Al Albani menilai hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali) karena ada perawi bernama Al Aghlab bin Tamim yang dinilai oleh Ibnu Hibban sebagai perawi yang haditsnya munkar serta perawi bernama Zaid bin Al Harisy yang dinilai oleh Ibnu Hibban sebagai perawi yang seringkali salah (dalam meriwayatkan hadits) (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah 11/191)
Pada hari Jumat (yaitu dimulai ketika matahari sudah tenggelam/malam Jum’at sampai sebelum matahari tenggelam keesokan harinya) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengajarkan umatnya untuk membaca surat Al Kahfi. Sayangnya, sunnah ini banyak ditinggalkan masyarakat karena kekurang-tahuan mereka akan ilmu yang benar.
Dari Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Ju’mat, akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at” (HR. Al Hakim 2/368 dan Al Baihaqi 3/249, dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 626)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku juga menyukai surat Al Kahfi dibaca pada malam Jum’at” (Shahih Al Adzkar 1/449)
Semua keterangan di atas menunjukkan disunnahkan untuk membaca surat Al Kahfi pada malam dan hari Jum’at (Doa dan Wirid, hal.304)
Semoga tulisan yang ringkas ini dapat menjadi pemicu semangat bagi kaum muslimin untuk lebih mendalami agama Islam dengan sebenarnya sehingga kita dapat mengenali mana yang haq dan mana yang bathil. Pada akhirnya, kita tidaklah beramal kecuali di atas dasar ilmu yang benar yaitu yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman salafush shalih.
Selanjutnya, kita mendakwahkannya kepada orang lain dengan penuh hikmah dan kesabaran, sehingga lambat laun masyarakat kita akan kembali menemukan kesejukan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murni dan terwujudlah kejayaan Islam yang sebenarnya.
Sungguh indah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah yang selayaknya digoreskan dengan tinta emas:
لَا يُصْلِحُ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Tidak akan menjadikan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah menjadikan baik generasi awalnya”
واللهُ المُوَفِّق
والحَمْدُ للهِ الذي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Nabiilah Siwi Nur Danayanti
Muraja’ah: Ust Ammi Nur Baits
Rujukan:
Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi, Muroja’ah Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Lammud Durril Mantsur minal Qoulil Ma’tsur, Darus Salaf.
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Pustaka Al Furqon, Gresik.
Fuad bin Abdul ‘Azis Asy Syalhub, Kitabul Adab, Darul Qosim, Riyadh.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Syarh Riyadhush Sholihin, Maktabah Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, www.islamspirit.com.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah, Al Jami’ li Muallafat Asy Syaikh Al Albani, www.islamspirit.com.
Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaly, Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Terj. Limadza Ikhtartu li Manhaj Salaf), Pustaka Imam Bukhari, Solo.
Yazid bin Abdul Qodir Jawwaz, Doa dan Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Bogor.